RUANG


SPACE


KONSERVASI FASADE BANGUNAN KOLONIAL DI JALUR BELANDA, KOTA SINGARAJA, BALI

Oleh: Agus Kurniawan1, Rumawan Salain2, Ciptadi Trimarianto3

Abstract

The city of Singaraja is an old town in Bali that has a complex numerous cultural heritage, including the Dutch corridor. It was built after Durch imperialism invaded Bali in 1846. Moreover, the colonial government also constructed public facilities, such as offices, commercial buildings, public services, and houses. Since the city was targetted as a tourist destination by local government, the area has been significantly modified; even some public facilities have been demolished. The study aims to determine the façade typology of colonial buildings and their evolution. Certain causal factors have already been identified. The objective of the study is to determine conservation policy for this corridor. Theories of conservation and spatial restructuring have been used to inform data analysis and synthesis. The research suggests three major typologies of such facades.These arethe original facade (Type A), a partial change (Type B), and a complete change (Type C). Demographic factors, physical environment, and new cultural elements are considered as determining factors that encourage changes to Type B and Type C; whereas new elements occur in Type A. Consequently, techniques for physical conservation, preservation, restoration, and reconstruction are suggested. Whenever possible, restoration is supported by finance and policy initiatives. The study concludes that old buildings need to be supported by government intervention: legal protection and penalties, loans and subsidies, adaptively-reused development, and appropriate planning.

Keywords: conservation, colonial building’ façade, the Dutch Line

Abstrak

Kota Singaraja merupakan salah satu kota lama yang memiliki beberapa peninggalan budaya, di antaranya Jalur Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda membangun jalur ini setelah menguasai Bali pada tahun 1846. Sepanjang jalur ini, Belanda membangun fasilitas kota, seperti perkantoran, perdagangan, fasilitas pelayanan umum, dan rumah-rumah dinas. Sejak Kota Singaraja dicanangkan sebagai obyek pariwisata oleh Pemerintah setempat, kawasan ini mengalami banyak perubahan, bahkan terjadi penghancuran bangunan-bangunan tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tipologi fasade bangunan kolonial dan sejumlah perubahan yang terjadi, serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Dengan demikian, penelitian ini menghasilkan sejumlah rekomendasi

1

2

3


sebagai upaya pendekatan konservasi pada fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda di Kota Singaraja. Analisa data dilakukan melalui pendekatan teori konservasi dan teori bentuk, sedangkan metode yang digunakan adalah sequential explanatory. Studi ini menghasilkan tiga kategori fasade: fasade bangunan masih asli (Tipe A), fasade yang telah mengalami perubahan sebagian (Tipe B), dan fasade yang sudah berubah total (Tipe C). Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fasade pada kategori B dan C adalah faktor pertambahan penduduk, lingkungan alam fisik, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Pada kategori A, faktor yang mempengaruhi adalah adanya penemuan baru. Metode dan teknik konservasi secara fisik menggunakan preservasi, restorasi, dan rekonstruksi, sedangkan metode nonfisik dilakukan secara restorasi dalam konteks intangible. Penelitan ini menyatakan bahwa bangunan kuno perlu lebih diberdayakan melalui mekanisme legal protection (perlindungan hukum) dan penalties (hukuman), pinjaman dan subsidi, dan adaptively-reused development.

Kata kunci: konservasi, fasade bangunan kolonial, Jalur Belanda

Pendahuluan - Konservasi dan Pelestarian Bangunan-bangunan Tua

Konservasi merupakan istilah yang menjadi payung bagi semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan Internasional yang telah dirumuskan dalam Piagam Burra (1981). Beberapa pendekatan dalam kegiatan pelestarian yang telah disepakati adalah restorasi yaitu kegiatan pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya; preservasi ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan; rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki seakurat mungkin bangunan dan lingkungan; konsolidasi ialah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan memperkuat, memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis banguna terpenuhi dan bangunan tetap laik fungsi; dan revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya.

Konservasi dilandasi atas penghargaan terhadap keadaan semula suatu tempat dan sesedikit mungkin melakukan intervensi fisik terhadap bangunannya. Ini dilakukan untuk tidak mengubah bukti-bukti sejarah yang dimiliki bangunan-bangunan tua. Konservasi dimaksudkan untuk mengetahui kembali makna kultural suatu tempat dan harus dapat menjamin keamanan serta pemeliharaannya di masa mendatang. Konservasi suatu tempat harus mempertimbangkan segenap aspek yang berkaitan dengan makna kulturalnya, tanpa menekankan pada salah satu aspek saja dan mengorbankan aspek yang lain. Suatu bangunan atau hasil karya bersejarah harus tetap berada di lokasi historisnya. Pemindahan seluruh atau sebagian tidak diperkenankan, kecuali jika hal itu merupakan satu-satunya cara guna menjamin kelestariannya. Konservasi menjaga terpeliharanya latar visual yang cocok seperti bentuk, skala, warna, tekstur, dan bahan bangunan. Setiap perubahan baru yang berakibat negatif terhadap latar visual itu harus dicegah. Kebijakan konservasi yang sesuai untuk suatu tempat harus didasarkan atas pemahaman terhadap makna kultural dan kondisi fisik bangunannya.

Tingkat perubahan pada tindakan konservasi menurut Antariksa (2007), dijabarkan dalam tujuh tingkatan, pertama, perlindungan terhadap seluruh struktur bangunan, beserta dengan subbagian-bagian penyusunny, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana-prasarana. Kedua, perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior bangunan, termasuk atap dan sebagian besar interiornya, dengan perubahan kecil pada struktur internal, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana saniter. Ketiga, perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior eksisting, termasuk atap, dengan perubahan besar pada struktur internal serta perbaikan finishing, utilitas, dan sarana saniter. Keempat, perlindungan seluruh dinding selubung bangunan, dan demolisi total pada atap dan interiornya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang fasade yang dipertahankan. Kelima, perlindungan hanya pada dua atau tiga penampang/tampak bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan pembangunan bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasade yang dipertahankan. Keenam, perlindungan hanya pada satu penampang/tampak bangunan, sebuah dinding fasade dari bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasade. Ketujuh merupakan opsi paling drastis pada pengembangan kembali adalah dengan tidak memberikan pilihan untuk pelestarian, tetapi dengan demolisi total bangunan eksisting dan menggantinya dengan bangunan yang baru.

Lebih lanjut Antariksa (2007) mengatakan bahwa arah pembangunan suatu kawasan atau bangunan perlu ada motivasi yaitu motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah; motivasi untuk menjamin terwujudnya variasi dalam bangunan perkotaan sebagai tuntutan aspek estetis dan variasi budaya masyarakat; motivasi ekonomis, yang menganggap bangunan yang dilestarikan dapat meningkatkan nilai komersial yang digunakan sebagai modal lingkungan, motivasi simbolis; bangunan merupakan manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu yang pernah menjadi bagian dari suatu kota.

Sementara itu menurut Dobby (1978), aktivitas konservasi memiliki komponen-komponen yang dikelompokkan menjadi tiga bagian yang merupakan elemen pembentuk citra suatu kawasan atau bangunan yaitu, fix, semi fix, dan non fix. Komponen fix adalah sesuatu yang menjadi inti seperti kawasan dan bangunan yang tidak dapat berubah (konservasi ketat). Komponen semi fix seperti ornamen, perabot dan sebagainya boleh berubah boleh tidak (konservasi setengah ketat) tergantung pada keberadaan bangunannya. Komponen non fix seperti warna cat, fungsi ruang, bahan dan sebagainya dapat berubah (konservasi longgar/lunak).

Bangunan Kolonial Belanda

Gaya kolonial menurut Handinoto (1996), adalah gaya desain ini berkembang di beberapa negara di Eropa dan Amerika. Arsitektur kolonial menyiratkan adanya akulturasi diiringi oleh proses adaptasi antara dua bangsa berbeda. Proses adaptasi yang dialami oleh dua bangsa terbentuk dengan apa yang dinamakan arsitektur kolonial. Dalam mendesain dan membangun mencakup penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan dengan perbedaan iklim, ketersediaan material, cara membangun, ketersediaan tenaga kerja, dan seni budaya yang terkait dengan estetika. Di Indonesia terbentuknya Arsitektur Kolonial Belanda ditinjau dari proses akulturasi yang terjadi, terdapat dua faktor yang

mempengaruhi, yaitu faktor budaya setempat dan faktor budaya asing Eropa yang di representasikan oleh Belanda.

Dutch Colonial adalah gaya desain yang popular di Netherland (Belanda) sekitar tahun 1624-1820 (Handinoto, 1996). Arsitektur Kolonial Belanda berkembang di Indonesia pada awal abad ke-19 sampai dengan tahun 1920-an, banyak pengaruh Eropa dan terjadi percampuran bentuk arsitektur barat dan tradisional, termasuk pada penggunaan elemen bangunan dan detail ragam hiasnya pada seni bangunan. Bentuk Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900-an merupakan bentuk hasil kompromi dari Arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada jaman yang bersamaan dengan iklim tropis basah Indonesia. Ada juga beberapa bangunan arsitektur kolonial belanda yang mengambil elemen-elemen tradisional setempat, yang kemudian diterapkan ke dalam bentuk Arsitektur nya (Antariksa, 2004).

Menurut Handinoto (1996), arsitektur kolonial lebih banyak mengadopsi gaya neo-klasik, yakni gaya yang berorientasi pada gaya arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya Barat dan Timur. Lebih lanjut Handinoto (1996) mengungkapkan elemen arsitektur kolonial pada fasade bangunan, yaitu:

  • a.    Gevel (gable), pada tampak depan bangunan sangat bervariasi seperti curvilinear gable, stepped gable, gambrel gable, pediment (dengan entablure).

  • b.    Tower, penggunaan tower pada bangunan, yang pada mulanya digunakan pada bangunan gereja kemudian diambil alih oleh bangunan umum dan menjadi mode pada arsitektur kolonial belanda pada abad ke 20.

  • c.    Dormer (Cerobong asap semu), berfungsi untuk penghawaan dan pencahayaan. Di tempat asalnya, Belanda. Dormer biasanya menjulang tinggi dan digunakan sebagai ruang atau cerobong asap untuk perapian.

  • d.    Windwijzer (penunjuk angin), merupakan ornamen yang diletakkan di atas nok atap. Ornamen ini berfungsi sebagai penunjuk arah angin.

  • e.    Nok Acroterie (hiasan puncak atap), terletak di bagian puncak atap. Ornamen ini dulunya dipakai pada rumah-rumah petani di Belanda, dan terbuat dari daun alang-alang. Di Indonesia, ornamen ini dibuat Nok Acroterie dari bahan beton atau semen.

  • f.    Ragam hias pada tubuh bangunan, biasanya berupa hiasan/ornamen ikal sulur tumbuhan yang berujung tanduk kambing pada lubang angin diatas pintu dan jendela.

  • g.    Balustrade, adalah pagar yang biasanya terbuat dari beton cor yang digunakan sebagai pagar pembatas balkon, atau dek bangunan.

Gambar 1. Elemen Arsitektur Kolonial pada Fasade Bangunan

Sumber: Handinoto, 1996

Perubahan pada Fasade Bangunan

Menurut Sajogyo (1985) ada dua faktor yang mempengaruhi perubahan pada fasade bangunan yaitu:

  • a.    Faktor-faktor yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri (Endogen), yaitu: bertambah/berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan (konflik) dan terjadinya pemberontakan (revolusi).

  • b.    Faktor-faktor yang bersumber dari luar masyarakat (exogen), yaitu: lingkungan alam fisik, peperangan dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Ching (1979) mengungkapkan, berubahnya suatu bentuk dapat disebabkan oleh :

  • a.    Perubahan dimensi, suatu bentuk dapat dirubah dengan mengganti salah satu atau beberapa dimensi-dimensinya dan tetap mempertahankan identitasnya sebagai anggota bagian dari suatu bentuk.

  • b.    Perubahan dengan pengurangan, suatu bentuk dapat diubah dengan mengurangi sebagian dari volumenya.

  • c.    Perubahan dengan penambahan, suatu bentuk dapat diubah dengan menambah unsur-unsur tertentu kepada volume bendanya.

Menurut Habraken (1982) ada tiga dasar yang dapat dikatakan sebagai indikasi suatu perubahan dalam kaitannya dengan elemen pembentuk ruang dalam suatu site. Ketiga hal tersebut meliputi :

  • a.    Penambahan (addition), penambahan suatu elemen dalam suatu site sehingga terjadi perubahan. Misalnya menambah sekat partisi pada suatu ruang sehingga ruang yang tercipta bertambah.

  • b.    Pengurangan/membuang (elimination), pengurangan suatu elemen dalam suatu site sehingga terjadi perubahan.

  • c.    Pergerakan/perpindahan (movement), perubahan yang disebabkan oleh perpindahan atau pergeseran elemen pembentuk ruang pada suatu site.

Metode

Penelitian ini tentang pendekatan konservasi fasade bangunan kolonial di sepanjang Jalur Belanda di Kota Singaraja dengan menggunakan teori konservasi, bangunan kolonial, teori perubahan dan teori bentuk. Metode penelitian menggunakan metode kombinasi model sequential explanatory yaitu menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif secara berurutan, dimana pada tahap pertama dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan pada tahap kedua dilakukan dengan metode kualitatif.

Penelitian ini mengambil lokasi di kawasan bersejarah Kota Singaraja yaitu di koridor Jalan Ngurah Rai Singaraja di Kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia. Letaknya berada pada 08° 03’40” - 08° 23’00” LS 114° dan 25’ 55” - 115° 27’ 28” BT. Lokasi penelitian dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR, 2005) Kawasan Kota Singaraja tahun 2004, merupakan Jalur pengikat antara Pusat Kota I (pusat perdagangan & niaga) dan Pusat Kota II (pusat perkantoran pemerintahan skala Kabupaten). Lokasi penelitian, disamping sebagai linkage system di Kota Singaraja, juga termasuk dalan bagian wilayah kota (BWK) II dengan arahan pengembangan area konservasi bangunan bersejarah untuk kawasan masyarakat kota.

Jenis data metode kombinasi adalah menggabungkan data metode kuantitatif dan data kualitatif (Nasution, 2001). Data kuantitatif berupa data hasil pengukuran bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja yang berupa gambar denah dan tampak bangunan yang dikerjakan dengan program komputer Auto_CAD. Data kualitatif berupa informasi mengenai fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja baik berupa data non fisik. Sampel penelitian adalah bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja, baik yang di sebelah barat maupun timur jalan dengan fungsinya masing-masing. Instrumen yang dipergunakan berupa kamera, meteran, kertas dan alat tulis. Kamera digunakan untuk mendokumentasikan kondisi fisik bangunan. Meteran digunakan untuk mengukur masing-masing bangunan baik secara horizontal maupun vertikal. Instrumen lain yang digunakan adalah kertas dan alat tulis untuk melakukan sketsa dan mencatat hasil pengukuran sebelum digambar ulang menjadi gambar arsitektur. Instrumen penelitian yang paling penting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, artinya hasil observasi dan data-data yang ada, baik data literatur maupun informan terpilih akan diolah oleh peneliti (Nasution, 2001).

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan terhadap bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja, wawancara, dan studi kepustakaan guna mendukung penelitian yang akan dilakukan. Data diperoleh melalui pengukuran langsung ke kawasan Jalur Belanda Kota Singaraja dengan penggambaran ulang di komputer dengan program AutoCAD. Pengumpulan data dengan metode kualitatif seperti wawancara untuk memperkuat data kuantitatif sebelumnya (Nasution, 2001).

DESA

NGSIT

DESA

Br. B

NARUKAN

DESA SINABUN

KEL

Br. S

ECAMATAN

Ketewel

Br. B

engah

anyuning In

KEL

B

TISERAGA

r. Liligundi

r. Galiran

KEL

eratan

Br.Bangan

SAMBANGAN

ELURAHAN S

r. Sangket

Br. D

DESA PANJI

ULELENG

Br.Banyuning Tengah

L. BANJARBALI

r. Bali

Muara Buleleng

Pelabuhan Buleleng

Br.

DESA PANJIANOM

DESA PETANDAKAN


LOKASI PENELITIAN ;

DI JALUR BELANDA KOTA SINGARAJA



Gambar 2. Lokasi Penelitian

Sumber : RDTR Kawasan Perkotaan Singaraja, 2005 dan Citra Satelit, 2014


Data yang diperoleh dalam penelitian, didokumentasikan dan digambar ulang utuk masing-masing fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja. Kemudian dilakukan kompilasi data, yaitu mengumpulkan, memilah, dan menyusun data sesuai dengan rumusan masalah. Selanjutnya dilakukan analisis data, yaitu mengkaji kondisi bagunan kolonial kelanda dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fasade bangunan kolonial belanda. Terakhir dilakukan sintesis data, yaitu memilah-milah hasil uraian dengan tujuan menentukan strategi konservasi yang paling tepat. Data yang telah dianalisis, selanjutnya disajikan dalam bentuk grafik serta angka prosentase sebagai hasil analisis kuantitatif. Penyajian data kualitatif berupa gambar-gambar arsitektur, dan foto-foto bangunan kolonial, sedangkan bentuk naratif dari hasil analisis data kualitatif yaitu data tulisan disajikan dalam bentuk deskriptif agar hasil analisis data dapat memberikan kontribusi terhadap gambar/foto yang disajikan.

Gambaran Umum Jalur Belanda di Kota Singaraja

Pemerintah Hindia Belanda menguasai daerah Bali pada tahun 1846 dan menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahannya di Pulau Bali. Sebagai kota pusat pemerintahan, maka dibangunlah berbagai fasilitas kota. Pola kota lama Singaraja, pada awalnya membentang secara linier dari Perempatan Agung (Catuspata) di depan Puri Kanginan sampai dengan Pelabuhan Lama Buleleng, pada masa dulu Jalur ini merupakan ”Jalur Raja” yaitu Jalur Raja merupakan jalur perjalanan raja ketika mengunjungi rakyatnya. Tetapi setelah kedatangan Belanda maka pola kota mengalami perubahan. Belanda mulai membentuk pusat pemerintahan di sebelah barat Puri yaitu membentang secara linier dari Kantor Residen ke arah Pelabuhan Lama Buleleng. Pada masa itu pola ini dinamakan ”Jalur Belanda”.

Sejak dicanangkan sebagai objek pariwisata, kawasan ini telah banyak mengalami perubahan. Tuntutan fasilitas baru pada kawasan ini berujung pada penggantian bangunan-bangunan tua dengan bangunan-bangunan baru. Bahkan terjadi penghancuran bangunan. Penghancuran bangunan kuno-bersejarah ini, sama halnya dengan menghapuskan salah satu sejarah dan tradisi masa lalu. Hilangnya bangunan kuno, lenyap pulalah bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas sejarah. Fasade bangunan dalam konteks Arsitektur kota, baik bangunan fungsi komersial maupun fungsi hunian tidaklah semata-mata merepresentasikan kepentingan individual pemilik bangunan tetapi juga merupakan tanggungjawab kolektif terhadap tatanan lingkungan kota yang harus berkesinambungan (kontekstual). Dengan kata lain koridor dapat membantu pembangunan sebuah kota untuk memiliki image. Image tersebut akan lebih kuat bila koridor memilki karakter yang kuat terhadap lingkungannya. Citra kota lama dapat kita gali dari keberadaan bangunan-bangunan tuanya sehingga dapat memberikan gambaran Singaraja Tempoe Doloesekaligus perkembangan Kota Singaraja sehingga pada nantinya dapat dikembangkan menjadi potensi wisata sejarah perkotaan.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tipologi fasade bangunan kolonial serta perubahan yang terjadi dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perubahan pada fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja. Tujuan khususnya yaitu merekomendasikan upaya pendekatan konservasi yang dilakukan pada fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja. Manfaat penelitian ini

penelitiaan ini diharapkan dapat dapat memperkaya bahan studi tentang bangunan kolonial, khususnya yang menyangkut upaya pendekatan konservasi fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja sebagai warisan budaya. dapat dipakai menjadi acuan untuk merumuskan upaya pendekatan konservasi fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja sebagai warisan budaya yang menjadi objek pariwisata, dalam menjaga kelestarian cagar budaya dan identitas suatu tempat. Bagi obyek itu sendiri, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai inspirasi rumusan kebijakan untuk mengontrol perubahan fasade bangunan kolonial yang terjadi khususnya di Jalur Belanda Kota Singaraja.

Singaraja adalah ibu kota Kabupaten Buleleng, yang terletak di bagian utara Pulau Bali. Kawasan Kota Singaraja merupakan salah satu kota tua di Bali. Rangkaian sejarah panjang yang dimiliki kota ini dimulai pada abad ke 17 dan abad 18. Kota tua ini merupakan pusat Kerajaan Buleleng. Dalam Babad Buleleng, sejarah Kota Singaraja dimulai pada sekitar tahun 1568. Sejak Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda, saat mana pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali. Selanjutnya semasa penjajahan Hindia Belanda di Bali, khususnya Bali Utara pada tahun 1846 turut memberi warna bagi perkembangan Kota Singaraja. Pada jaman itu, Kota Singaraja menjadi pusat kegiatan pemerintahan Hindia Belanda di Bali. Terakhir Kota Singaraja sempat menjadi Ibukota Kepulauan Sunda Kecil dan Ibukota Provinsi Bali sampai tahun 1958.

Gambar 3. P.L. Van Bloemen sebagai controleur yang pertama di Bali. Sumber: KITLV, 2014

Singaraja ketika masa pemerintahan Hindia Belanda merupakan sebuah kota dengan fasilitas terlengkap di Bali yang terdapat pelabuhan, terminal, pusat perdagangan dan pemerintahan Belanda di Pulau Bali. Jalur ini dibangun di Jalan Ngurah Rai (sekarang) untuk menandingi Jalur Raja yang telah dibangun oleh Raja Buleleng terlebih dahulu. Kawasan Kota Singaraja merupakan pusat orientasi kegiatan perkotaan, tujuan utama dari pembangunan yaitu berupaya mengembalikan citra kota dengan tetap memperhatikan

nilai historis dan perkembangan kota yang semakin meningkat di berbagai kegiatan perekonomian. Disamping itu juga berupaya mengembangkan kegiatan perkotaan untuk kegiatan wisata, perdagangan dan usaha dengan tetap mengutamakan nilai-nilai sejarah-budaya yang sudah ada di kawasan perkotaan.

Jahir Raja yaitu jalur dim ana biasanya raja rrengadakan Kunjungan-Kunjunean KeraKyatnya, hal ini tercermin dari adanya Koncep bangunan JP IPuri-Pura-Peken) yang irajihdapat dilihat di sepanjang jalan Oajah Mada, Cliantaranya bangunan Puri Kanginan-PuriSingaraja. PuraPuseh-Dalorr-Secara, PoKen serta Bale Banjar, Kuburan JSrtroJdan Kairpune Kampung bagi penduduk pribumi asli IBaIiJ atau penduduk pendatang (Bugis. Cina. IndiaJ

JaIurBefanda yaitu jalur yang membentang Secaralinierke arah pelabuhan Pabean Buleleng, dimana sepanjang jalur ini Iianyadibangun kantor-kantor dan rumah-rumah dinas bagi pegawai & tentara Belanda. Konsepjaliir ini sangat berbeda dengan jalurraja.

Gambar 4. Jalur Raja dan Jalur Belanda di Kota Singaraja Sumber: Survey Lapangan, 2014 dan Citra Satelit, 2014

Bangunan Kolonial di Jalur Belanda

Dalam rangka pencarian data tentang bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja, maka langkah yang dilakukan sebelum pengamatan lapangan yang lebih spesifik mengenai unit bangunan adalah menetapkan kategori bangunan kolonial. Kategori ini dibangun berdasarkan pemetaan yang dilakukan untuk mengetahui letak suatu unit hunian dalam kawasan Jalur Belanda Kota Singaraja. Menurut Tenaya (2004) serta wawancara yang dilakukan dengan I Gusti Putu Teken (Kepala Museum Buleleng) dan

Ida Pandita Nabe Shri Bhagawan Dwija Putra Yoga Wiswa (sulinggih/arsitek/tokoh masyarakat), Bangunan kolonial yang ada di Jalur Belanda dapat dikelompokkan sebagai berikut.

Gambar 5. Bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja Sumber: Survey Lapangan, 2014 dan Citra Satelit, 2014

Dari segi fungsi yang diwadahi maka tipologi bangunan yang cenderung berkembang di lokasi penelitian (core area) bersifat campuran, namun masih dapat digeneralisasi sebagai berikut :

  • a.    Bangunan rumah tinggal, yaitu tempat dulu pemerintahan keresidenan Belanda membangun rumah-rumah dinas sebagai rumah tinggal pegawai/tempat liburan serta barak tentara Belanda di sepanjang Jalan Ngurah Rai.

  • b.    Bangunan perkantoran, yaitu bangunan kantor Bupati (bekas gedung residen). Penerapan bentuk bangunan lebih banyak di pengaruhi oleh fungsi yang harus diwadahi sehingga nuansa asli kawasan (Kolonial/Bali) ditampilkan hanya pada penerapan bahan/.material, ragam hias (ornamen) & warna.

  • c.    Bangunan pendidikan, dilokasi penelitian terdapat Sekolah Dasar 1, 2 dan 6 Singaraja.

  • d.    Bangunan kesehatan, di lokasi penelitian terdapat bangunan RSAD Wirasatya merupakan bangunan tua dengan arsitektur kolonial belanda. Bangunan ini merupakan bekas barak atau mess tentara Belanda.

Dalam penelitian ini, komponen fasade bangunan yang diamati yaitu bagian kepala (atap), bagian badan (pintu, jendela dan dinding) dan bagian kaki (lantai). Komponen pertama yaitu atap merupakan bagian yang paling dipertahankan kemurnian dari awal bangunan itu berdiri pada bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja. Mayoritas bentuk atap yang digunakan pada wilayah kajian dan pada kasus terpilih ada dua, yaitu perisai dan gevel. Ditemukan sembilan belas bangunan kolonial yang menggunakan jenis atap perisai, yaitu pada layout 01, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan 17 dan tiga bangunan mengunakan atap gevel, yaitu pada layout 02, 03 dan 04.

Gambar 6. Tipologi fasade bangunan kolonial berdasarkan atap perisai Sumber : Observasi Lapangan, 2014

Gambar 7. Tipologi fasade bangunan kolonial berdasarkan atap gewel Sumber : Observasi Lapangan, 2014

Pada komponen kedua yaitu badan bangunan (dinding), dari tekstur dinding pada kasus ada dua, yaitu bertekstur halus dan bertekstur kasar. Hal ini karena permainan ornamen batu dan plester kasar pada bidang bawah dinding. Penggunaan tekstur halus terlihat pada layout 01, 02, 05, 12 dan 13. Penggunaan batu kali dan plester kasar sebagai bagian dari dinding bangunan bagian bawah pada layout 03, 04, 06, 07, 08, 09, 10, 11, 14, 15, 16 dan 17.

Gambar 8. Tipologi fasade bangunan kolonial berdasarkan tekstur dinding

Sumber: Observasi Lapangan, 2014

Jenis pintu yang ditemukan pada bangunan kolonial di Jalur Belanda di Kota Singaraja ini, keseluruhan pintu pada fasade utama terbagi atas pintu ganda krepyak dan pintu ganda kaca. Penggunaan pintu ganda krepyak terdapat pada layout 02, 03, 04, 10, 11 dan 12. Penggunaan pintu ganda dengan kaca terdapat pada layout 01, 05, 06, 07, 08, 09, 13, 14, 15, 16 dan 17.

Gambar 9. Tipologi fasade bangunan kolonial berdasarkan pintu ganda krepyak (kiri) dan pintu ganda kaca (tengah dan kanan).

Sumber: Observasi Lapangan, 2014

Jenis jendela yang ditemukan pada bangunan kolonial di Jalur Belanda di Kota Singaraja ini, keseluruhan pintu pada fasade utama ada tiga. Penggunaan jendela rangkap ganda dengan kaca terdapat pada layout 01, 05, 06, 08 dan 12. Penggunaan jendela ganda kaca terdapat pada layout 05, 06, 07, 08, 09, 13, 14, 15, 16 dan 17. Penggunaan jendela ganda krepyak terdapat pada layout 02, 03, 04, 07, 09, 10, 11, 12, 13, 14, 16 dan 17.

Gambar 10. Tipologi fasade bangunan kolonial berdasarkan jendela rangkap ganda kaca Sumber: Observasi Lapangan, 2014

Tipologi bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja bedasarkan periode pembangunan ada tiga yaitu adalah periode 1902-1920 pada layout 01,02,03,04,05,06, 09,10,11,12,13 dan14, periode 1920-1940 pada layout 07,08,15 dan 17 dan periode setelah1940-an pada layout 16.

Gambar 11. Tipologi fasade bangunan kolonial berdasarkan periode pembangunan tahun 19021920

Sumber : Observasi Lapangan, 2014

Perubahan Fasade Bangunan Kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja

Usaha pelestarian perlu dilakukan dan bisa dimulai dengan identifikasi kerusakan yang dialami oleh beberapa bagian bangunan kolonial ini. Dari kerusakan yang ada (baik yang sudah mengalami perbaikan maupun yang belum mendapatkan perawatan), maka bisa ditentukan seperti apa penanggulangan yang sesuai dengan kondisi seperti itu. Kurangnya pemahaman tentang konservasi mengakibatkan beberapa bangunan telah mengalami perubahan atau telah direnovasi dengan fasade baru. Baik akibat perubahan bentuk, material, atau karena ada penambahan fungsi baru. Data-data mengenai perubahan unit bangunan akan membandingkan obyek penelitian di masa lalu dengan keadaan saat ini didapatkan dengan wawancara dan observasi lapangan. Untuk menstrukturkannya, dilakukan kategorisasi yang mampu menunjukkan perubahan secara berjenjang dari tingkat perubahan yang paling sedikit sampai yang paling banyak.

Terdapat tiga kategori perubahan pada fasade bangunan kolonial di di Jalur Belanda Kota Singaraja ini yaitu :

  • a.    Kategori A yaitu fasade bangunan masih dalam keadaan asli tanpa ada perubahan. Kategori ini dapat ditemui pada Layout 2, 3, 4, 6, 14 dan 15 dengan wujud, dimensi & proporsi, warna & tekstur, posisi & orientasi, skala dan irama bangunan masih tetap.

Gambar 12. Fasade bangunan masih dalam keadaan asli tanpa ada perubahan Sumber : Observasi Lapangan, 2014

  • b.    Kategori B yaitu fasade bangunan dengan beberapa bagiannya telah mengalami perubahan, perbaikan (renovasi) dan akibat penambahan bangunan baru. Perubahan terjadi pada wujud, dimensi & proporsi dapat ditemui pada Layout 5, 8, 11, 16 dan 17. Perubahan terjadi pada warna & tekstur dapat ditemui pada Layout 1, 7, 9, 11 12 dan 13.

Gambar 13. Fasade bangunan dengan beberapa bagiannya telah mengalami perubahan Sumber: Observasi Lapangan, 2014

  • c.    Kategori C yaitu fasade bangunan yang sudah mengalami perubahan total baik diganti dengan bentuk fasade yang baru atau berubah total. Kategori ini hanya dapat ditemui pada Layout 10.

Gambar 14. Fasade bangunan yang telah mengalami perubahan total Sumber : Observasi Lapangan, 2014

Pada kategori perubahan fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja diatas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fasade bangunan adalah:

  • a.    Bertambah/berkurangnya penduduk, bertambahnya penduduk menyebabkan terjadinya perubahan struktur masyarakat yang diikuti denga perubahan pola kebudayaan masyarakat (sikap, perilaku dan pola pikir) seperti kebutuhan akan ruang dalam bangunan. Faktor ini juga akan mempengaruhi perubahan fasade bangunan kolonial pada wujud, dimensi & proporsi. Faktor bertambahnya penduduk berpengaruh pada kategori B dan C.

  • b.    Penemuan-penemuan baru dalam hal bahan bangunan, hal-hal baru yang ditemukan itu bisa berupa unsur-unsur kebudayaan: nilai, norma, cita-cita yang menggerakkan pola bersikap, perilaku atau pola sarana fisik, atau bisa berupa unsur struktur masyarakat. Hal ini berpengaruh pada pemilihan material (warna & tekstur) pada saat pemilik melakukan perbaikan pada rumah miliknya. Faktor adanya penemuan-penemuan baru berpengaruh pada kategori B.

  • c.    Lingkungan alam fisik iklim tropis, seiring dengan umur bangunan dan terjadinya perubahan cuaca dapat merubah fasade bangunan khususnya pada bagian material. Faktor lingkungan alam fisik berpengaruh pada kategori B dan C.

  • d.    Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, kalau hubungan dilakukan secara fisik, perubahan itu cenderung menimbulkan pengaruh timbal-balik. Peralihan kekuasaan dari Pemerintah Belanda ke Pemerintah Indonesia dalam hal ini Pemerintah Propinsi Bali, merubah beberapa Fasade Bangunan. Hal ini dapat dilihat pada bangunan Kantor Bupati yang dulunya Kantor Residen Belanda. Bagian fasade sekarang di tambah dengan tempelan style bali yang tidak sesuai dengan gaya bangunan kolonial. Faktor pengaruh kebudayaan masyarakat lain berpengaruh pada Kategori B dan C.

Konservasi Fasade Bangunan Kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja

Metode dan teknik konservasi pada bangunan kolonial dapat digolongkan menjadi dua yaitu metode dan teknik konservasi yang bersifat fisik dan non fisik. Metode dan teknik konservasi bersifat fisik yang perlu dilakukan adalah :

  • a.    Preservasi, kegiatan yang perlu dilakukan pada fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja adalah kegiatan pemeliharaan bentukkan fisik dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukkan fisik tersebut dari proses kerusakan. Fasade bangunan kolonial yang perlu mendapatkan tindakan preservasi adalah Layout 02, 03, 04, 06 dan 14.

  • b.    Restorasi, kegiatan yang perlu dilakukan adalah pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan lingkungan semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. Pelaksanaan restorasi sebaiknya tidak ada penggantian material baru, kecuali material lama sudah tidak tersedia lagi. Fasade bangunan kolonial yang perlu mendapatkan tindakan restorasi adalah Layout 01, 07, 09, 11, 12, 13, 16 dan 17.

Gambar 15. Metode dan teknik konservasi restorasi pada bangunan kolonial Sumber : Penulis, 2014

  • c.    Rekonstruksi, kegiatan yang perlu dilakukan adalah membangun kembali dan memperbaiki seakurat mungkin bangunan, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut laik fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. Perawatan kuratif perlu dilakukan secara rutin, baik secara tradisional maupun secara modern. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah sistem registrasi menggunakan kode pada bahan yang dibongkar sehingga nanti tidak mengalami kesulitan dalam pemasangan kembali. Fasade bangunan kolonial yang perlu mendapatkan tindakan rekonstruksi adalah Layout 05, 08 dan 10.

Gambar 16. Metode dan teknik konservasi rekonstruks pada bangunan kolonial Sumber : Penulis, 2014

Metode dan teknik konservasi bersifat non fisik yang perlu dilakukan adalah restorasi dalam konteks intangible, artinya perlunya dipertahankan keahlian dari para tukang khususnya bangunan kolonial. Penyampaian informasi tentang bangunan kolonial sebagai bentuk penanaman pemahaman pentingnya konservasi sejak dini. Sejarah sebaiknya diceritakan sebagimana adanya sehingga tidak menjadi momok bagi generasi muda. Manajemen pengelolaan konservasi dapat dilakukan dengan komunikasi yang efektif akan sangat menentukan tingkat keberhasilan kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Untuk menjembatani seluruh kepentingan-kepentingan yang ada, diusulkan dibentuk sebuah tim/panitia khusus sebagai fungsi yang bertugas membantu kepentingan masyarakat dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan swasta. Realisasinya berupa design committee, yang bertugas memberi petunjuk-petunjuk/nasehat-nasehat, pengarahan dan pemantauan desain bangunan. Dalam melaksanakan tugasnya, design committee dibekali dengan design criteria yang ditetapkan dalam arahan konservasi ini dan perangkat aturan lain yang berlaku. Proses pemantauan dan pengarahan (design review) dilakukan tiga tahap yaitu: design schematic, preliminary design dan construction drawing.

Keterlibatan pemerintah sangat diperlukan dalam melibatkan tenaga teknis/tenaga ahlinya untuk pengelolaan bangunan kolonial. Untuk masyarakat sekitar disarankan untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitarnya khususnya fasade bangunan kolonial dan ikut menjaga kelestariannya. Sistem kelembagaan yang dibentuk diarahkan sebagai sebuah sinergi dari seluruh stake holder, dengan pendekatan kebijakan top down dan bottom up. Komponen yang terkait antara lain: penggerak kawasan, pemerintah dan konsultan. Pengelolaan kawasan dilakukan secara kolektif oleh masyarakat yang dikoordinir oleh kepala desa, dengan anggota kelihan desa ataupun banjar, dan komponen lain di masyarakat seperti tokoh masyarakat, termasuk masyarakat dengan tetap di dampingi oleh pimpinan setempat seperti bupati dan camat. Selain itu, untuk lebih memberdayakan bangunan kuno yang dilestarikan dan dalam upaya menunjang kehidupan secara sosial-ekonomi-budaya, antara lain perlu ditunjang dengan cara-cara berikut: legal protection (perlindungan hukum) dan penalties (hukuman), pinjaman dan subsidi, adaptive-reuse, dan sale development right. Pihak pemerintah juga harus membantu usaha pelestarian dengan menyediakan alat yang dapat memenuhi kebutuhan pihak yang terlibat dalam kegiatan konservasi dan preservasi dalam bentuk bantuan langsung ataupun pemberian pinjaman dengan bunga ringan, keringanan pajak, penurunan nilai bangunan yang dipercepat dan hak-hak kompensasi pembangunan.

Gambar 17. Metode dan Teknik Konservasi yang Bersifat Fisik Sumber : Analisis, 2014 dan Citra Satelit, 2014

Kesimpulan

Fungsi bangunan kolonial di sepanjang Jalur Belanda ini dapat dikelompokkan menjadi bangunan rumah tinggal, perkantoran, pendidikan dan bangunan kesehatan. Tipologi bangunan kolonial berdasarkan fasade yaitu berdasarkan bentuk atap, elemen pada dinding dan lantai bangunan. Periode pembangunan bangunan kolonial yaitu periode 1902-1920, periode 1920-1940 dan periode setelah 1940-an. Perubahan bentuk pada fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja di akibatkan oleh kurangnya pemahaman tentang konservasi mengakibatkan beberapa bangunan telah mengalami perubahan atau telah direnovasi dengan fasade baru. Baik akibat perubahan bentuk, material, atau karena ada penambahan fungsi baru. Terdapat tiga kategori perubahan

fasade bangunan kolonial di di Jalur Belanda Kota Singaraja ini yaitu: kategori A yaitu fasade bangunan masih dalam keadaan asli tanpa ada perubahan baik dari struktur konstruksi, bahan maupun bentuknya. Kategori ini dengan wujud, dimensi & proporsi, warna & tekstur, posisi & orientasi, skala dan irama bangunan masih tetap; kategori B yaitu fasade bangunan dengan beberapa bagiannya telah mengalami perubahan, perbaikan (renovasi) dan akibat penambahan bangunan baru. Perubahan terjadi pada wujud, dimensi & proporsi dan warna & tekstur; dan kategori C yaitu fasade bangunan yang sudah mengalami perubahan total baik diganti dengan bentuk fasade yang baru atau berubah total.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja adalah akibat bertambah/berkurangnya penduduk mempengaruhi perubahan fasade bangunan kolonial pada wujud, dimensi & proporsi, berpengaruh pada kategori B dan C. Faktor adanya penemuan-penemuan baru berpengaruh pada pemilihan material (warna & tekstur) pada saat pemilik melakukan perbaikan pada rumah miliknya, berpengaruh pada kategori B. Faktor lingkungan alam fisik, seiring dengan umur bangunan dan terjadinya perubahan cuaca dapat merubah fasade bangunan khususnya pada bagian material, berpengaruh pada kategori B dan C. Sedangkan pengaruh kebudayaan masyarakat lain berpengaruh pada kategori B dan C.

Berdasarkan identifikasi kerusakan dan usaha pelestarian yang telah di data, maka masalah yang perlu dibenahi pada bangunan kolonial di sepanjang koridor ini adalah masalah pemeliharaan dan pelapukan di beberapa bagian bangunan. Urutan peringkat yang perlu mendapat prioritas adalah mempertahankan dan memperpanjang usia bangunan, melakukan pendataan (registrasi), memperkuat manajemen pemeliharaan, melakukan perbaikan, memberikan perlindungan dan menjaga bangunan dari hal-hal negatif. Metode dan teknik konservasi pada bangunan kolonial dapat digolongkan menjadi dua yaitu metode dan teknik konservasi yang bersifat fisik dan non fisik. Metode dan teknik konservasi yang dilakukan secara fisik yaitu preservasi, restorasi dan rekonstruksi. Metode non fisik yang dilakukan adalah restorasi dalam konteks intangible.

Daftar Pustaka

Antariksa (2004) Sejarah dan Konservasi Perkotaan sebagai Dasar Perancangan Kota Malang: Universitas Brawijaya.

Antariksa (2007) Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai Aset Sejarah Budaya Bangsa Malang: Universitas Brawijaya.

Budihardjo, E (1986) Architecture Conservation in Bali Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Cattanese, Anthony J. & Snyder (1992) Perencanaan Kota Jakarta: Erlangga.

Ching, Francis D.K (1979) Arsitektur : Bentuk, Ruang dan Tatanan Jakarta: Erlangga.

Habraken N.J (1982) Transformations of the Site Awater Press.

Handinoto (1996) Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940 Yogyakarta: Andi Offset.

ICOMOS (1971) Conservation and Restoration Of Monument Site Venice: ICOMOS.

ICOMOS (1981) Conservation of Places of Cultural Significance Australia: ICOMOS.

Kirana, Andi (1992) Preservasi dan Konservasi Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Krier, R (1983) Komposisi Surabaya: Erlangga.

Kurniawan, A., dkk (2013) The Conservation of Façade Dutch Building in Corridor Ngurah Rai Street Singaraja-The 2nd Annual International Conference On Urban Heritage And Sustainable Infrastructure Development 2013 (UHSID) Semarang: Universitas Diponegoro.

Nasution (2001) Metode Research (Penelitian Ilmiah) Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Pemerintah Kabupaten Buleleng (2005) Rencana Detail Tata Ruang Singaraja: Dinas Cipta Karya.

Pemerintah Kabupaten Buleleng (2010) Sejarah Buleleng Singaraja: UPTD Gedong Kirtya.

Sajogyo, P (1985) Sosiologi Pembangunan Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta.

Salain, P R (2003) Representasi Arsitektur Tradisional Bali “Konservasi Arsitektur Bali” Denpasar: Universitas Udayana.

Salain, P.R (2003) Rencana Konservasi dan Revitalisasi pada Inti Sejarah Singaraja Denpasar: Universitas Udayana.

Sidharta dan Budihardjo, E (1989) Konservasi Lingkungan dan Bangunan Bersejarah Kuno Bersejarah di Surakarta Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Tenaya, I (2004) Inventarisasi dan Penetapan Bangunan Masa Kolonial di Kota Singaraja Kabupaten Buleleng Gianyar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Propinsi Bali NTB NTT.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Jakarta.

168 SPACE - VOLUME 2, NO. 2, OCTOBER 2015