EDITORIAL


RUANG



Oleh: Gusti Ayu Made Suartika 1

Transportasi publik masih merupakan isu problematik dalam pembangunan daerah perkotaan. Kondisi ini tetap menjadi faktor penentu yang membedakan negara maju dengan negara berkembang. Secara kontekstual, transportasi publik memiliki tiga dimensi: ekonomi, politik dan fungsional. Dimensi ekonomis murni berkaitan dengan pembiayaan. Beragam transportasi publik yang umum digunakan sampai saat ini termasuk kereta api, kereta bawah tanah, monorail, bis, bis bertingkat, dan mini bis memerlukan investasi sebelum keuntungan bisa dicapai, baik oleh publik, lingkungan, maupun pemilik modal. Bahkan, sistem transportasi publik bawah tanah bisa membutuhkan waktu berpuluh tahun sebelum manfaatnya bisa dirasakan. Sistem transportasi bawah tanah untuk Kota Jakarta misalnya, telah direncanakan selama berpuluh tahun, namun sampai sekarang belum terealisasikan. Kondisi semacam ini tidak unik untuk satu atau dua kota saja, namun telah menjadi permasalahan yang berkelanjutan, baik bagi pemerintah di pusat maupun di daerah. Disini kita tidak hanya berbicara tentang pembangunan sebuah sistem, tetapi juga yang berkaitan dengan infrastruktur pendukung sistem, utilitas penjamin operasionalnya, penguasaan/pembebasan lahan, dan faktor penentu lainnya.

Dimensi politik dari pembangunan transportasi publik ditunjukan oleh hubungan antara pemilik modal dalam mekanisme pasar, dan investasi publik yang berasal dari pinjaman dan pajak. Para pemilik modal memandang jika pembangunan sistem transportasi yang dilakukan oleh negara akan memangkas kesempatan mereka untuk memperoleh keuntungan. Pada saat yang sama, kelompok ini lebih memilih untuk memanfaatkan uang rakyat dalam membangun sistem transportasi yang dibutuhkan publik, yang kemudian bisa dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan pribadi. Misalnya, investasi publik dipakai untuk membangun jalur transportasi bawah tanah, kemudian hak pembangunan lahan di atasnya diambiloleh oleh sektor swasta, pemilik modal. Sedangkan dimensi fungsional dari pembangunan transportasi publik secara langsung berkorespondensi dengan proses perencanaan kota yang secara ideal memiliki tugas untuk mengatur, menciptakan sistem yang bebas korupsi beserta membangun mekanisme pengendalian yang berpihak kepada publik.

Efisiensi dalam sirkulasi barang dan orang merupakan kebutuhan mutlak untuk tujuan pelayanan dan penyediaan komoditas dalam era pasar dan kapitalisme saat ini. Kondisi ini juga berlaku bagi pelayanan kesehatan. Tersedianya sumber daya yang efisien tidak bisa dicapai jika manusianya tidak sehat dan tidak bisa bekerja tepat waktu. Absennya transportasi publik yang efisien telah memaksa orang-orang untuk memilih alternatif yang tersedia, yang di negara berkembang pilihan ini biasanya jatuh ke sepeda motor. Jika kita pandang ini sebagai sebuah solusi, tentu saja hanya untuk jangka waktu yang pendek, sampai kita menemukan alternatif yang lebih baik. Berjuta-juta sepeda motor berada di jalanan, melakukan perjalanan beratus kilometer setiap harinya tanpa polusi kontrol, seperti halnya yang terjadi di Bali. Kondisi ini merusak lingkungan secara serius dan juga kesehatan manusianya. Beragam kecelakaan terjadi dalam setiap hari yang melibatkan kendaraan roda dua ini. Semua ini memunculkan biaya sosial dan ekonomi yang harus ditanggung, penyakit pulmonaris yang berkepanjangan, patah tulang, serta kematian yang tidak terhitung. Selain itu, kita juga perlu memperhitungkan terjadinya peningkatan polusi, tidak adanya test mengendarai, beban (stress) psikologis saat mengendarai di jalan raya yang padat dan sempit, kurangnya penanda lalu lintas, parkir yang tidak teratur serta tidak adanya aturan berlalulintas yg jelas. Semua ini mensyaratkan penanganan serta mekanisme pengelolaan transportasi publik yang berlapis-lapis.

Kemacetan yang panjang, polusi udara dan suara, minimnya penanda lalu lintas, tingkah laku pemakai jalan yang membahayakan, seperti halnya yang terjadi di Kota Denpasar, membutuhkan pengadaan transportasi publik sesegera mungkin. Denpasar sudah memulai prosesnya dengan dioperasikannya bis sarbagita. Tidak bisa dipungkiri lagi jika transportasi publik yang dibangun dan dikelola dengan baik sudah menjadi kebutuhan semua kota besar. Kondisi ini tidak hanya mensyaratkan perubahan dalam tata guna lahan, patrun investasi, dan implementasi praktek-praktek global terbaik dan relevan, namun yang lebih penting adalah kesadaran masyarakat dan semua pihak untuk mengakomodasi transportasi publik beserta perubahan yang disyaratkan. Pemakaian sepeda motor dan kendaraan pribadi yang begitu luas, mencegah terjadinya perencanaan yang lebih awal dan segala ketidakefisienan yang mengikutinya. Dalam konteks pembangunan keruangan di Bali, semakin tingginya level polusi yang terjadi saat ini, stress, inefisiensi dalam mekanisme produksi, serta dampak dari semua kondisi ini terhadap industri kepariwisataan akan menjadi semakin buruk jika kita tidak mengakui permasalahan yang kita hadapi. Jadi pemecahan masalahnya bukan hanya berkaitan dengan manajemen lalu lintas, tetapi melibatkan pertimbangan yang lebih luas, dari pembangunan daerah perkotaan sampai ke munculnya pertanyaan: ''lingkungan perkotaan yang bagaimana yang kita akan tampilkan, yang sekaligus merepresentasikan rasa hormat kita terhadap bentang alamiah?''

Jurnal Ruang-Space untuk edisi ini mempublikasikan tujuh artikel yang ditulis oleh para penulis dengan keragaman latar belakang profesi. Artikel pertama ditulis oleh Agus Kurniawana (Dosen, Program Studi Arsitektur, Universitas Warmadewa, Bali), Rumawan Salain (Dosen, Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana, Bali) and Ciptadi Trimarianto (Dosen, Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana, Bali). Paper ini memaparkan hasil studi tentang perubahan yang terjadi terhadap fasade bangunan yang berlokasi di sepanjang Jalur Belanda di Kota Singaraja. Jalur ini merupakan koridor bersejarah, dilestarikan karena perannya sebagai salah satu peninggalan zaman

penjajahan Belanda di daerah Bali utara. Artikel kedua ditulis oleh I Putu Eka Musdiana, salah satu staf ahli di Departmen Pekerjaan Umum, Kabupaten Tabanan. Tulisan ini mendiskusikan punahnya subak dan praktek-praktek terkait sebagai akibat terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi ruang-ruang terbangun. Ini terjadi dalam rangka menyediakan ruang untuk mengakomodasi beragam kebutuhan akan lahan yang dimunculkan oleh berbagai sektor pembangunan. Artikel ketiga ditulis oleh Irwansyah seorang akademis dari Universitas Sriwijaya, Palembang. Irwansyah menstudi tentang morfologi bangunan mesjid di Kota Denpasar. Penulis menyimpulkan bahwa wujud arsitektur mesjid di Indonesia telah dipengaruhi oleh tiga gaya arsitektur, termasuk arsitektur Malabar (luar), arsitektur Jawa dan arsitektur vernakular dari daerah dimana mesjid bersangkutan dibangun.

Artikel keempat disusun oleh Arya Bagus Mahadwijati Wijaatmaja. Objektif yang ingin dicapai melalui penulisan ini adalah mengkaji proses perencanaan keruangan yang diterapkan oleh Kota Denpasar, pihak-pihak serta kepentingan yang terlibat di dalamnya, dan pendekatan-pendekatan yang telah diimplementasikan. Artikel kelima ditulis oleh ditulis oleh Nyoman Suartha, seorang staf ahli dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Badung. Penulis mendiskusikan tentang pembangunan perumahan pasca direlokasikannya Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung ke lokasinya yang baru. Artikel keenam disusun oleh Sketsa Ultra Pelangi yang mengkaji proses menyusun strategi pelestarian Yaroana Masigi sebagai ruang publik dan peninggalan historis dari Kesultanan Buton. Studi ini melingkup identifikasi kharakter fisik dari area studi, signifikasi historis yang dimiliki, dan arah pelestarian peninggalan bersejarah ini. Artikel ketujuh merupakan dokumentasi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh I Wayan Sutarman, seorang arsitek profesional. Sutarman mendiskusikan tentang ruang-ruang kota yang tersedia bagi para remaja di Kota Denpasar dalam mengisi waktu luangnya. Beranjak dari jarangnya penyediaan sumberdaya spasial semacam, artikel ini merumuskan kebutuhan serta tipe ruang-ruang kota yang dibutuhkan oleh para remaja.

□□□

In urban development, public transportation remains a vexed issue. It is a battleground within developed and developing countries alike. It has three main dimensions, namely economic, political and functional. The economic dimension is purely that of cost. Public transportation can take many forms – heavy rail, light rail, underground, monorail, buses both single and double deck, and minibuses. Most public transport systems represent investment before profit, and frequently the returns on an extended underground system can take decades to realize. In Jakarta, an underground system has been planned for thirty years, and has as yet hardly begun. Public transportation is always a headache for national and local governments alike. It is not only the actual installed system itself that is the problem, but the addition of associated infrastructure, utilities, land acquisition and other factors that accompany it.

The political dimension is represented by the relationship that exists between private capital and the market mechanism, and public investment from loans and taxation. Private capital views transport systems developed by the state as depriving them of an opportunity to make profit from investment. On the other hand, private capital usually prefers public tax money to be spent on creating the conditions for development that can

then be exploited – for example by using public tax money to build underground systems and then using private capital to exploit air rights above the stations. The functional dimension is straightforward and more or less corresponds to urban planning whose job it is to organise and sanction the whole process, to create uncorruptible systems of development and design control that will have beneficial impacts on the public as a whole.

The efficient circulation of goods, materials and people is an absolute necessity for the production of services and commodities under advanced capitalism. The same is true of health services. An efficient labour force cannot be generated if people are continually sick and cannot get to work on time. But without an efficient public transport system, people will resort to the most efficient means available, in developing countries this usually means motorbikes and scooters. To view such methods as ‘efficient’ has to be a short term fix, until better methods arise. Millions of scooters without pollution controls travelling millions of kilometres per day, as in Bali, is seriously damaging to the environment and to individuals. There are hundreds of accidents per day involving such vehicles, and the social and economic cost of long term pulmonary disease, as well as broken bones and death has not been quantified. Add to this the increasing population, no driving tests, the personal cost of stress while driving on roads that are narrow, badly signed, with uncontrolled parking and no policing to speak of, and you have several levels of ongoing disaster management.

Heavy traffic jams, polluted environments, poor traffic control, and dangerous driving in cities such as Denpasar demands an immediate consideration of extended public transport, now begun with the Sabargita system. It is a fact of life that a well-developed public transport system is a necessary feature of all large cities. But the presence of such a system not only demands changes in land use, investment patterns and recognition of global best practice, it also demands a change in the consciousness of citizens to effect such change. Paradoxically, the prevailing use of motor cycles actually supports existing land use and discourages the need for advance planning and the inefficiencies this represents. The current nature of environmental pollution, personal stress, inefficient production and impacts on tourism can only get worse unless we truly accept the magnitude of the problems we face. So the solution is not merely one of traffic management, it also involves much larger problem of urban development and raises the question ‘What kind of urban environment do we wish to present to the world as emblematic of Balinese awareness and respect for the natural world?’

This issue of Ruang-Space Journal publishes seven articles written by group of authors from different background and one book review. The first article is authored by Agus Kurniawana (an academic of the Department of Architecture, Warmadewa University, Bali), Rumawan Salain (an academic of the Department of Architecture, Udayana University, Bali) and Ciptadi Trimarianto (an academic of the Department of Architecture, Udayana University, Bali). It is a study of evolutionary changes taking place on building envelopes exist along the so called ''Dutch Line'' in the centre of Singaraja City. This is an historic corridor of the northern part of Bali, conserved for its celebrated importance being a reminder of Dutch colonization within the area. The second article is authored by I Putu Eka Musdiana a staff member of the Department of Public Works of Tabanan Regency. His paper discusses about the disappearance of Subak association and practices pertaining to its existence as an immediate result of paddy fields

conversions into developed areas. This takes place to accommodate different needs for spaces generated by varying sectors. The third article is submitted by Irwansyah, an academic of Sriwijaya University of Palembang Indonesia. His article studies about the morphology of mosque architecture located in Denpasar, the capital city of Bali Province. In doing so, he underlines his approach by a view saying that the architecture of mosques in Indonesia has been influenced by three different architectural styles including that of the architecture of Malabar (foreign architecture), the architecture Java and vernacular architecture of the place, where the mosque is constructed.

The fourth article is authored by Arya Bagus Mahadwijati Wijaatmaja. The objective of Arya's study is to determine the spatial planning process in Denpasar, parties and influential interests and approaches in spatial planning in Denpasar. The fifth article is submitted by Nyoman Suartha an, officer of Planning & Development Office for Badung Regency. Suartha discusses about the emergence of housing developments in the aftermath of relocation of Badung Civic Centre to the new area. The seixth article is written by Sketsa Ultra Pelangi developing a conservation strategy for the preservation of Yaroana Masigi as a public space, an historical legacy of Buton Sultan. The strategy involves identification of physical characteristic of the area, historical significance, and direction of the preservation. The seventh article is by I Wayan Sutarman an architect by profession. He discusses urban spaces available to young people to spend their free time outside school in Denpasar City. As such spaces are poorly provisioned, this article studies the types of spatial resources required by the young generation.

148

SPACE - VOLUME 2, NO. 2, OCTOBER 2015