TRANSFORMASI PEMANFAATAN RUANG KOMUNAL PADA PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI DI DESA PEKRAMAN PEDUNGAN
on
RUANG
SPACE
TRANSFORMASI PEMANFAATAN RUANG KOMUNAL PADA PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI DI DESA PEKRAMAN PEDUNGAN
Oleh: Ni Made Emmi Nutrisia Dewi 1
Abstract
Communal spaces of Pedungan Village (Denpasar, Bali) have played important roles within the community. They have acted as places for various communal activities and interactions which over time have grown in type and scale. This takes place in line with level of physical and social development the Pedungan Village has been through. It is written based on a study aiming at how functions of these communal spaces have been transformed, as well as factors behind this transformation. The study achieves its objective by first, analysing the use/s of each communal space by certain groups within its communities and how these uses have changed. Second, it develops typologes of functional transformation experienced by many forms of communal spaces of Pedungan Village. In doing so, it implements qualitative research approaches and a naturalistic research paradigm. It is discovered that communal spaces have been transformed bith in functions and spatial structures. Major factors behind this transformation include systems of belief, customs and traditions, an increasing need for space, economic considerations, and the location of the communal space being studied. This study finds that the most functional transformations have taken place in communal spaces of a balai banjar. Such a trend however, does not happen on communal spaces where religious/ritual activities are performed. This is bcause ritual places are sacred and therefore cannot be amended, both in their uses and structures as is the case of other public spaces.
Keywords: communal space, spatial use, spatial transformation
Abstrak
Ruang-ruang komunal telah memiliki peran yang penting dalam keseharian di Desa Pekraman Pedungan (Denpasar, Bali). Ruang-ruang ini telah menjadi wadah bagi masyarakat dalam beraktivitas dan berinteraksi, dan fungsi ini telah mengalami perkembangan baik secara tipe maupun skala dari waktu ke waktu. Artikel ini diulis berdasarkan sebuah studi yang bertujuan untuk menstudi bagaimana fungsi ruang-ruang komunal telah ditransformasi beserta faktor-faktor yang melandasinya. Dalam mencapai tujuannya, studi ini menerapkan pendekatan penelitian kualitatif dan paradigma naturalistik. Hasil studi menemukan bahwa ruang-ruang komunal di Desa Pedungan tidak hanya telah mengalami transformasi secara fungsi, namun juga secara struktur keruangan. Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya transformasi termasuk sistem kepercayaan, tradisi dan adat istiadat, peningkatan kebutuhan akan ruang, pertimbangan ekonomi, dan lokasi dari site dimana ruang komunal tersebut berada. Lebih lanjut studi ini menemukan bahwa, ruang komunal yang paling banyak mengalami trasnformasi adalah ruang-ruang yang ada
di balai banjar. Tetapi berbeda dengan balai banjar, ruang-ruang komunal di tempat-tempat berfungsi religius/ritual mengalami transformasi yang paling sedikit. Ini dikarenakan adanya pandangan akan ruang-ruang yang berada di sebuah tempat ritual bernilai sakral yang tidak bisa dirubah semudah mentransformasi ruang-ruang komunal lainnya.
Kata kunci: ruang komunal, pemanfaatan ruang, transformasi ruang
Pendahuluan
Masyarakat Desa Pekraman Pedungan merupakan makhluk sosial yang masih mempertahankan tradisi. Sikap sosial tersebut ditunjukkan melalui interaksi dengan sesama anggota desa untuk menunjukkan keberadaanya terhadap lingkungan desa tersebut. Hal tersebut menyebabkan masyarakat Desa Pekraman Pedungan dalam pelaksanaan suatu kegiatan pada umumnya lebih banyak dilakukan secara komunal (kebersamaan) bersama anggota masyarakat lainnya.
Interaksi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Desa Pekraman Pedungan tersebut memerlukan kebutuhan akan ruang komunal (bersama). Pada Ruang komunal tersebut terlihat fenomena keseharian masyarakat dalam menjalankan kehidupan bersama seperti pelaksanaaan suatu upacara agama, pertemuan/musyawarah dan sebagainya. Seiring dengan perkembangan dalam segala bidang maka kegiatan-kegiatan tersebut mengalami perkembangan seperti contohnya balai banjar yaitu untuk kegiatan ekonomi (toko/kios, pasar, koperasi, dan lain-lain), untuk pendidikan, untuk olahraga, dan lain-lain.
Melihat perubahan pemanfaatan ruang komunal tersebut maka dilakukan studi penelitian transformasi pemanfaatan ruang komunal pada permukiman tradisional Bali di Desa Pekraman Pedungan. Hal ini untuk mengetahui transformasi ruang komunal dan faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi pada permukiman tradisional Bali di Desa Pekraman Pedungan serta klasifikasi pemanfaatan ruang komunal tersebut. Adapun batasan dalam penelitian ini berupa ruang komunal milik komunitas masyarakat Desa Pekraman Pedungan dan sebagai wadah untuk interaksi sosial budaya yang dilakukan antar anggota masyarakat, serta berada pada lingkup wilayah Desa Pekraman Pedungan.
Di dalam pelaksanaannya, penelitian terkait menggunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan naturalistik. Metode kualititaif yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu proses penelitian secara cermat dan detail terhadap suatu objek yang menghasilkan deskripsi kompleks dari kondisi lapangan dan kemudian menganalisisnya. Sedangkan pendekatan naturalistik ini digunakan karena cara pengamatan dan pengumpulan datanya dilakukan dalam kondisi alamiah/sesuai kenyataan pada tempat yang menjadi obyek studi.
Tranformasi Pemanfaatan Ruang Komunal
a. Transformasi fungsi ruang pada Pura Kahyangan Tiga
Pada jenis ruang komunal ini terdapat beberapa temuan yaitu penambahan bangunan penunjang, dan perubahan fungsi wantilan menjadi ruang serbaguna yang semuanya terjadi pada areal jaba sisi. Pada jaba sisi terdapat penambahan bangunan penunjang seperti wantilan, balai pesantian dan toilet (Gambar 1). Penambahan tersebut dikarenakan desa ini tidak memiliki tempat khusus untuk pertemuan serta kegiatan lainnya, khususnya yang mendukung kegiatan agama di pura tersebut. Untuk Penambahan balai pesantian dikarenakan masyarakat masih kuat keyakinannya untuk menyanyikan lagu pemujaan dalam mengiringi upacara agama. Hal ini sesuai dengan
temuan Titib (2003), bahwa Pura Kahyangan Tiga ini merupakan tempat persembahyangan anggota masyarakat dalam suatu lingkup pedesaan. Maka dari itu diperlukan suatu bangunan khusus untuk melakukan kegiatan menyanyikan lagu pemujaan.
Seiring perkembangan waktu balai wantilan terdapat penambahan fungsi seperti tempat pembinaan desa, kegiatan pesraman, penyuluhan dan lain-lain. Hal ini disebabkan wantilan ini terdapat pada lokasi yang strategis dan masih mempertahankan kebiasaan kebersamaan sehingga memerlukan ruang yang luas. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat perekonomian dan pendidikan yang semakin meningkat.
B. Denah setelah direnovasi terjadi penambahan bangunan yaitu wantilan, balai pesantian dan toilet (ditunjukkan oleh kotak dengan garis putus-putus).
Gambar 1. Deskripsi penambahan bangunan penunjang pada area jaba sisi Sumber: Penulis
Transformasi pada balai banjar ini terjadi pada bangunan utama, natah, sanggah, balai kul-kul, dapur dan ruang mebat (membuat lawar) serta bangunan penunjang lainnya. Transformasi pada bangunan utama ini berupa perluasan area baik vertikal maupun horizontal, penyatuan bangunan menjadi bangunan bertingkat (Gambar 1 dan 2), penambahan ruang dan fungsi lain (fungsi pendidikan, olahraga, dan lain-lain) serta perubahan disain ruang pertemuan menjadi ruang serbaguna (ruang pendidikan, hiburan, olahraga, dan lain-lain). Hal tersebut disebabkan oleh terbatasnya lahan, kemajuan perekonomian, perkembangan teknologi, kebutuhan, dan sumber pendapatan.
Transformasi pada natah terjadi berupa mengalami pergeseran posisi perletakan baik vertikal maupun horisontal, terjadi penyempitan area (Gambar 3) serta perubahan fungsi natah menjadi fungsi lain (fungsi ekonomi dan pendidikan). Faktor penyebabnya yaitu perkembangan teknologi, informasi dan kehidupan kearah lebih modern, lokasi yang strategis, mata pencaharian, sumber pendapatan dan aktivitas adat. Transformasi pada sanggah berupa terjadi pergeseran posisi perletakan secara vertikal dan sanggah mengalami penyempitan area. Kedua perubahan diatas disebabkan oleh pola hidup krama banjar yang memerlukan ruang luas untuk segala kegiatan, serta terbatasnya lahan dan kondisi ekonomi yang meningkat sehingga dapat merenovasi bangunan sanggah tersebut.
2
B3
B1 1
L j
B1.
B2.
B3.
Posisi perletakkan gudang pada lantai 1. Posisi perletakkan ruang pertemuan/ serbaguna pada lantai 2.
Posisi perletakkan bangunan sanggah, balai daja dan balai kul-kul pada lantai 3.
A. Denah balai banjar sebelum mengalami renovasi menjadi satu bangunan bertingkat.
B. Gambar bangunan balai banjar sesudah mengalami renovasi menjadi satu bangunan
Gambar 2. Perluasan area baik vertikal maupun horizontal dan penyatuan bangunan Sumber: Penulis
A. Area halaman sebelum mengalami perubahan fungsi.
B. Area halaman berubah fungsi menjadi toko, sekolah dan parkir toko. D
C. Area halaman berubah fungsi menjadi balai daja dan tempat gong.
D. Gambaran kondisi natah yang berubah menjadi sekolah, toko dan parkir.
Gambar 3. Penyempitan area dan perubahan fungsi natah banjar menjadi fungsi lain Sumber: Penulis
Transformasi pada balai kul-kul yaitu terjadi pergeseran posisi perletakan secara horizontal dan mengalami pergeseran posisi perletakan secara vertikal. Faktor penyebab persegeseran tersebut yaitu kebutuhan akan ruang karena keterbatasan lahan, kebiasaan (adat istiadat) dan kepercayaan. Transformasi pada dapur dan ruang mebat (membuat lawar) yaitu mengalami pergeseran posisi perletakan, penyempitan area dan beberapa sudah ditiadakan keberadaannya. Faktor yang menyebabkan transformasi dapur dan ruang mebat ini yaitu akibat dari pergeseran atau perluasan bangunan utama yang mengambil lahan dapur, kebiasaan dalam penyelenggaraan suatu acara atau upacara di banjar ini tidak memerlukan area yang luas, kebiasaan dalam bergotong royong bersama-sama dalam menyiapkan makanan dapat dilakukan di tempat lain. Terakhir terjadi transformasi pada bangunan penunjang lainnya (bangunan untuk mendukung kegiatan yang ada di banjar) seperti bangunan sumanggen (12 saka), bangunan saka 6, bangunan bale daja, bangunan barong landung dan dan sebagainya. Transformasi yang terjadi berupa pergeseran posisi perletakan dan penambahan jenis bangunan. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor kebutuhan dan kebiasaan, ketersediaan lahan dan kemampuan ekonomi.
Kuburan di desa ini merupakan ruang terbuka hijau yang pada umumnya merupakan lapangan yang luas dan terdapat beberapa kuburan dan tempat pembakaran mayat.
A. Pura Dalem Pakerisan
B. Setra Gede sebelum mengalami penyempitan area (menjadi satu dengan setra sama)
C. Pura Kahyangan Tungkub
D. Setra Gede saat ini (setelah mengalami penyempitan area)
E. Setra sama saat ini
F. Rumah Penduduk
Gambar 4. Transformasi besaran ruang Sumber: Penulis
Terjadi penambahan bangunan penunjang dan tembok pembatas.
Denah Sesuda Renovasi
Sebelum direnovasi, setra tidak memiliki bangunan ⅜penunjang dan masih berupa hutan .
aha
Pintu masuk setra
nah Sebelum Renovasi
Gambar 5. Penambahan bangunan penunjang Sumber: Penulis
Seiring perkembangan waktu maka kuburan ini mengalami transformasi dalam bidang tatanan ruang yaitu berupa penyempitan ruang (Gambar 5) dan penambahan bangunan penunjang pada area kuburan (Gambar 6). Dahulu kuburan di desa ini memiliki areal yang luas dan pada umumnya berupa hutan. Hal ini disebabkan bahwa dahulu belum terdapat batasan luas yang jelas dari kuburan sehingga ikut bercampur dan menjadi satu dengan lahan milik masyarakat lainnya. Sekarang lahan itu dimanfaatkan oleh
pemiliknya baik untuk rumah tinggal, untuk kos-kosan maupun dikontrakkan. Faktor-faktor yang menyebabkan lahan kuburan mengalami penyempitan area yaitu pertambahan penduduk, keterbatasan lahan, kemampuan dan sumber ekonomi dan kepercayaan. Penambahanan beberapa bangunan penunjang pada setra ini disebabkan perlunya suatu bangunan untuk memfasilitasi segala rangkaian upacara dan masyarakat. Selain itu dilihat dari kegiatan dan jumlah masyarakat saat ini dan sesuai perkembangan aspirasi masyarakat. Fasilitas itu seperti toilet dan tempat untuk berteduh baik peralatan gong, angklung maupun krama banjar. Selain itu dibuat suatu tempat khusus untuk pembakaran mayat.
Denah
Sebelum
l⅛lrc⅛F
leπψdl
Semaaryanq
Terjadi penambahan bangunan penunjang dan tembok pembatas.
1
2
TEMPAT MEIASTI
c
Denah Sesudah Renovasi
b
l a M'>V v Twcw
a
yMww^r∣ :
1. SM
-⅛√-—
Z DM Gbγ∏
1 rw
4 Twnprt tartar Jr PMMegftB
Q Twv<W Frifcraa
b MftrM*1
d
Gambar 6. Penambahan bangunan penujang pada tempat melasti Sumber: Penulis
-
a. Tempat yang digunakan untuk menyanyikan lagu pemujaan.
-
b. Tempat krama desa memainkan gamelan gong untuk mengiringi upacara melasti.
-
c. Tempat pemimpin upacara (pemangku), banten dan beberapa krama desa melaksanakan persembahyangan.
-
d. Tempat meletakkan pratima yang akan disucikan melalui upacara melasti.
Sejak awal difungsikannya tempat ini sebagai tempat melasti terjadi perubahan dalam hal pemanfaatan ruangnya. Dahulu tempat melasti ini merupakan lahan yang menyatu dengan pantai. Perubahan yang terjadi yaitu terjadi penambahan bangunan penunjang seperti balai pesantian, bangunan gong, tempat upakara dan pemangku, tempat pratima, pelinggih dewa baruna dan tempat melancaran bhatara. Faktor-faktor yang memperngaruhi penambahan bangunan penunjang ini yaitu: kebutuhan bangunan penunjang, kemampuan ekonomi serta kepercayaan dan adat istiadat.
Tifologi Transformasi Pemanfaatan Ruang Komunal Desa Pekraman Pedungan
Klasifikasi pemanfaatan ruang komunal pada desa pekraman Pedungan merupakan suatu dialog antara semua tema temuan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Tema-tema temuan tersebut dikelompokkan menjadi 3 konsep utama yaitu jenis pemanfaatan ruang komunal, konsep ruang komunal asli, dan transformasi pemanfaatan ruang komunal.
Bagian ini menjelaskan pembagian jenis ruang komunal berdasarkan aktivitas dan fungsi utamanya. Kegiatan-kegiatan utama tersebut lebih mengarah pada fungsi religius dan sosial budaya masyarakat. Hal ini hampir sama dengan hasil penelitian Nopianto (2002) bahwa seting ruang komunal dipilahkan berdasarkan perbedaan
kegiatan dominan yang terjadi. Fungsi-fungsi utama tersebut terbentuk sejak pertama kali dibuatnya ruang-ruang komunal ini dan sampai sekarang masih tetap sebagai fungsi utama. Ruang religi adalah jenis ruang komunal yang memiliki fungsi utama yaitu sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan ritual agama seperti pura kahyangan tiga, kuburan dan tempat melasti. Sedangkan ruang sosial adalah jenis ruang komunal ini memiliki fungsi utama yaitu sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan sosial budaya dan pada ruang komunal di desa ini hanya balai banjar.
Konsep pemanfaatan ruang komunal asli merupakan pembahasan mengenai kondisi pemanfaatan ruang komunal dahulu. Sebelum mengalami perubahan seperti saat ini yang terdiri dari fungsi ruang dan tatanan ruang. Fungsi ruang komunal asli di desa ini yaitu sama-sama sebagai tempat pertemuan dan interaksi sosial masyarakat. Perbedaannya yaitu dalam hal kegiatan utama yang dilaksanakan pada jenis masing-masing ruang komunal tersebut berupa kegiatan upacara keagamaan dan musyawarah untuk mencapai suatu keputusan bersama. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Anwar (1998) bahwa ruang komunal merupakan wadah interaksi sosial. Dari segi civitasnya, Anwar (1998) meneliti penghuni rumah susun sedangkan penelitian ini terhadap krama Desa Pekraman Pedungan. Sedangkan untuk tatanan ruang komunal asli terdiri dari besaran ruang, posisi perletakan dan komposisi ruangnya. Tatanan ruang komunal dahulu dirancang sesuai dengan konsep tradisi masyarakat Bali, kebutuhan ruang dan kegiatan utama. Hal ini dapat dilihat dari penempatan dan jenis-jenis bangunan yang terdapat didalamnya berorientasi ke halaman ruang terbuka yang luas (natah).
Bagian berikut ini merupakan dialog temuan transformasi baik wujud fisik (transformasi tatanan ruang) maupun non-fisik (transformasi fungsi) mengenai pemanfaatan ruang komunal.
Transformasi fungsi ini menjelaskan tentang perubahan non-fisik pada fungsi-fungsi ruang komunal.Transformasi fungsi ruang komunal merupakan perubahan fungsi yang terjadi pada areal ruang komunal di desa ini baik berupa penambahan maupun pengurangan. Adapun yang mengalami perubahan fungsi yaitu ruang religi terjadi pada bagian jaba sisi tepatnya wantilan sedangkan ruang sosial yaitu balai banjar terjadi pada bangunan utama, natah dan dapur serta ruang mebat. Faktor yang menyebabkan perubahan fungsi tersebut yaitu dominan kebutuhan masyarakat akan fungsi baru, tingkatan kemampuan dan sumber ekonomi, lokasi yang strategis dan kebiasaan/adat istiadat setempat. Transformasi fungsi lebih dominan terjadi pada balai banjar. Hal ini dikarenakan ruang religi pada pura kahyangan tiga tersebut lebih mengandung nilai magis dan terjaga kesakralannya sehingga tidak mudah untuk mengubah atau menambah fungsi lain pada ruang tersebut. Sedangkan pada balai banjar merupakan ruang yang memang dibuat untuk interaksi sosial antar krama banjar.
Berikut ini merupakan transformasi dalam wujud fisik dalam penataan ruang.
-
• Transformasi besaran ruang
Transformasi besaran ruang yang terjadi pada ruang komunal ini berupa perluasan dan penyempitan ruang. Transformasi besaran ruang terjadi pada kedua jenis ruang baik religi dan sosial. Pada ruang religi terjadi penyempitan pada kuburan yang dikarenakan perubahan sistem kepercayaan dan kondisi ekonomi. Ruang sosial yaitu balai banjar terjadi perluasan dan penyempitan pada beberapa bangunan. Perluasan tersebut terjadi pada bangunan utama baik secara vertikal maupun horizontal karena segala aktivitas pokok berada pada bangunan ini sedangkan untuk penyempitan terjadi pada bangunan atau fungsi lainnya seperti natah, sanggah, dapur dan ruang mebat. Penyebab utama penyempitan tersebut karena sistem kepercayaan, kebiasaan, keterbatasan lahan dan akibat perluasan dari bangunan utama. Pada ruang religi tidak mengalami perluasan area pada ruang atau bangunannya. Hal ini disebabkan aktivitas pada ruang religi tidak mengalami perkembangan yang pesat seperti yang terjadi pada balai banjar. Secara umum perluasan dan penyempitan tersebut terjadi karena perkembangan kebutuhan ruang dan fungsi serta aktivitas dari kedua jenis ruang tersebut.
-
• Transformasi posisi perletakan
Transformasi posisi perletakan berupa perpindahan suatu ruang baik secara horizontal maupun vertical yang hanya terjadi pada balai banjar. Bagian ruang yang mengalami pergeseran posisi tersebut yaitu bangunan yang memiliki fungsi penunjang seperti tempat suci, natah, balai kul-kul, bangunan penunjang, dapur dan ruangan mebat. Sama halnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Saraswati (2006) mengatakan di kawasan perkotaan ditemukan beberapa balai kul-kul yang terletak pada atap atau plat lantai 2 atau 3 balai banjar bertingkat disebabkan oleh keterbatasan lahan. Penyebab pergeseran tersebut yaitu keterbatasan lahan, sumber dan tingkat perekonomian, kebutuhan ruang, kepercayaan dan adat istiadat setempat serta beberapa disebabkan oleh perluasan yang dialami oleh bangunan utama. Pada ruang religi, untuk bangunan maupun fungsi-fungsinya tidak mengalami pergeseran posisi. Hal ini disebabkan bahwa ruang ini mengandung nilai religi (magis) yang membuat masyarakat harus menjaga keasliannya seperti contoh pada pura kahyangan tiga untuk bangunan pelinggih tidak terjadi perubahan posisi, hanya dirawat dan diperbaiki saja.
-
• Transformasi komposisi ruang
Transformasi komposisi ruang merupakan perubahan berupa penambahan, pengurangan atau penyatuan ruang. Pada transformasi ini terjadi pada semua jenis ruang komunal dengan dominan berupa penambahan bangunan penunjang pada masing-masing areanya. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan bangunan penunjang untuk mendukung kegiatan utama pada ruang komunal tersebut. Bangunan penunjang tersebut seperti balai gong, balai pesantian, wantilan, dan lain-lain. Pada ruang sosial yaitu balai banjar terjadi juga penggabungan bangunan menjadi satu, penambahan bangunan dengan fungsi baru dan bangunan penunjang serta pengurangan bangunan dapur. Penyebab penggabungan disebabkan terbatasnya lahan dan kebutuhan ruang. Pada bangunan tersebut terdapat beberapa fungsi lama atau fungsi baru sedangkan untuk pengurangan disebabkan fungsi dapur dan ruang mebat sudah tidak diperlukan lagi pada beberapa balai banjar. Pada beberapa
banjar juga ditemukan kasus pada areal halaman terjadi penambahan bangunan yang difungsikan untuk sekolah dan toko. Latar belakangnya yaitu untuk pemanfaatan lahan secara maksimal sehingga dapat menghasilkan sumber pendapatan.
Dari penjelasan di atas maka terlihat pada ruang religi dan ruang sosial terjadi transformasi komposisi ruang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan suatu ruang tertentu, kebiasaan/adat istiadat, kepercayaan dan kemampuan ekonomi seperti transformasi tatanan ruang lainnya, ruang sosial yang lebih dominan mengalami transformasi komposisi tersebut. Faktor kebutuhan ruang di atas diperkuat oleh hasil penelitian Stephany (2009) namun penelitiannya fokus pada rumah Tongkonan. Hasilnya yaitu bahwa transformasi yang terjadi pada tatanan ruang dan fungsi disebabkan oleh penggunaan ruang yang semakin kompleks dibutuhkan oleh masing-masing penggunanya. Sedangkan transformasi yang disebabkan oleh faktor ekonomi juga diperkuat oleh hasil penelitian Sueca, dkk (1999) mengenai Transformasi Ruang Publik Tradisional di Sepanjang Jalan Supratman Denpasar.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan disini, maka dapat disimpulkan antara lain bahwa dahulu fungsi ruang komunal ini sebagai tempat interaksi sosial masyarakat dalam hal upacara agama dan musyawarah. Sedangkan tatanan ruangnya terdapat beberapa bangunan yang berorientasi natah. Seiring perkembangan zaman terjadi transformasi pada ruang komunal tersebut yang dibagi menjadi 2 yaitu transformasi fungsi (non-fisik) dan transformasi tatanan ruang (fisik). Transformasi fungsi dominan terjadi pada balai banjar sedangkan ruang religi hanya pura kahyangan tiga tepatnya pada wantilan di jaba sisi. Transformasi tatanan ruang, seperti besaran ruang/dimensi (baik perluasan maupun penyempitan ruang) dan posisi perletakan (baik secara vertikal maupun horisontal) dominan terjadi juga pada balai banjar. Untuk transformasi komposisi ruang dan bangunan terjadi pada semua areal ruang komunal berupa penambahan bangunan penunjang. Faktor utama penyebab transformasi terdiri dari kepercayaan dan adat istiadat setempat, kebutuhan ruang, sumber dan tingkat perekonomian serta lokasi strategis.
Ruang komunal berdasarkan fungsi utamanya dibagi menjadi dua yaitu ruang religi seperti: pura kahyangan tiga, kuburan dan tempat melasti dan ruang sosial yaitu banjar. Jenis pemanfaatan ruang komunal yang bernilai religi maupun sosial mempengaruhi transformasi pemanfaatan ruang komunal. Terlihat baik transformasi fungsi maupun tatanan ruang pada ruang komunal, dominan terjadi pada ruang sosial yaitu balai banjar. Hal ini dikarenakan pada balai banjar merupakan ruang untuk interaksi sosial antar krama banjar yang tidak terdapat batasan khusus atau aturan kepercayaan tertentu (seperti kepercayaan tentang nilai sakral dan magis), hanya cukup sesuai kesepakatan bersama antara krama banjar tersebut. Sedangkan ruang religi tersebut lebih mengandung nilai magis dan terjaga kesakralannya sehingga tidak mudah untuk mengubah atau menambah fungsi maupun melakukan perubahan pada tatanan ruangnya. Pada ruang religi hanya beberapa mengalami transformasi fungsi dan tatanan ruang dan masih dalam batas menjaga kesakralan ruang tersebut.
Dari pembahasan dan kesimpulan di atas maka dapat dikemukakan beberapa saran yaitu bagi Desa Pekraman Pedungan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dokumen
sehingga dapat diwariskan kepada generasi mendatang agar mengetahui kondisi desa ini terutama dalam hal pemanfaatan ruang komunal beserta perubahannya. Sedangkan bagi pemerintah sebaiknya ikut memperhatikan ruang komunal agar keberadaannya tetap bertahan seperti mendukung segala kegiatan yang terdapat di ruang komunal tersebut.
Daftar Pustaka
Anwar (1998) Analisis Model Seting Ruang Komunal sebagai Sarana Kegiatan Interaksi Sosial Penghuni Rumah Susun, Studi Kasus Rumah Susun Pekunden dan Sombo Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Didik (2002) Seting dan Atribut Ruang Komunal Mahasiswa Kampus Universitas Negeri Semarang, Studi Kasus Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Saraswati, A A A O (2006) 'Bale kulkul sebagai bangunan penanda pendukung karakter kota budaya' Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 34, No.1, p: 7-12.
Stephany, S (2009) 'Transformasi tatanan ruang dan bentuk pada interior tongkonan di Tana Toraja Sulawesi Selatan' Dimensi Interior Vol. 7, No.1, p: 28-39.
Titib, I M (2003) Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu Surabaya: Penerbit Paramita.
Sueca, N P, et all (1999) Transformasi Ruang Publik Tradisional pada Jalur Pusat Pertumbuhan, Studi Kasus Lingkungan Sepanjang Jalan Supratman Denpasar Laporan Penelitian. Denpasar: Universitas Udayana.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu proses penyelesaian penelitian ini. Yang pertama saya ucapkan terima kasih banyak kepada keluarga saya yaitu Ibu, Bapak (almarhum), kakak dan pacar saya Harry atas dukungan di segala bidang. Secara khusus terima kasih Penulis ucapkan atas saran serta masukan yang telah diberikan oleh Bapak Prof. Ir. Ngakan Putu Sueca, MT., PhD, Bapak Dr. Eng. I Wayan Kastawan, ST, MA, Ibu Prof. Dr. Ir. Sulistyawati, MS, MM, MMis., Bapak Ir. Ciptadi Trimarianto, PhD., dan Ibu Gusti Ayu Made Suartika, ST, MEngSc, PhD. Kepada seluruh warga Desa Pekraman Pedungan, saya mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
50 SPACE - VOLUME 1, NO. 1, APRIL 2014
Discussion and feedback