RUANG


CITRA KOTA BLAHKIUH (BADUNG, BALI) MENURUT KOGNISI PENGAMAT

SPACE


Oleh: Ni Made Dhina Avianthi Irawan 1

Abstract

The study of Blahkiuh city image is important in order to expose the features that make the city both comprehensible and recognized by its people. The present study is about the survey, analysis and method by which this understanding can take place. There are three main components, -identity, structure and meaning of Blahkiuh city, which in term of hierarchy is classified as a city class IV. Data collection was initially conducted by giving selected individuals three stimuli, namely iconic (photos of their surroundings), graphic (sketches of objects/elements which are easy to remember and give meaning to specific areas), and verbal. After that they were given a series of structured and unstructured questions using the ‘open-closed’ method. This study uses both quantitative and qualitative approaches, assisted by the Statistical Program for Social Science (SPSS). The program uses the method of data analysis frequency and z score in order to determine the identity and the structure of the city as well as bivariat correlation analysis to discover two variables. These are the identity and structure which reveal the meaning of the city. The study is also supported by the use of qualitative analysis. Using this technique, 27 city elements generating identity were revealed, some of which were sourced from the kingdom heritage. The 27 elements were allocated to 6 nodal points in Blahkiuh. However only 4 nodal points were considered as forming the elemental city structure. These 4 points provide the easiest orientation, and generate most identity and impact. In conclusion, the data analysis using SPSS shows that the image of Blahkiuh city is one which has a historical value (having close relation with the existence of Singasari Kingdom and Puri Mayun Kingdom in 17 Century, and colonialization in 19 Century), On top of these Blahkiuh has potentials to be developed as a city of a great cultural significance, educational opportunity, business potential especially agro-business development.

Keywords: cognition, identity, spatial structure, meaning

Abstrak

Penelitian tentang citra kota Blahkiuh penting untuk dilaksanakan agar kota itu bisa dipahami dan dikenali oleh masyarakat. Studi yang didokumentasikan melalui artikel ini adalah tentang survey, analisa dan metode dimana pemahaman ini dikaji lebih lanjut. Ada tiga komponen kajian dalam konteks ini, yaitu: identitas, struktur dan makna dari Kota Blahkiuh yang dalam hierarkhi kota dikategorikan ke dalam kota kelas IV. Aktivitas pengkoleksian data awal dilaksanakan dengan memberikan group responden tiga stimulus berupa: stimulus ikonik dengan menunjukkan foto lingkungan sekitar pada pengamat; stimulus grafis dengan memperlihatkan sketsa obyek/elemen yang mudah diingat dan memberikan makna pada kawasan khusus; dan stimulus verbal. Kemudian para responden serangkaian pertanyaan tersruktur maupun tidak terstruktur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, yang dibantu dengan program SPSS (Statistical Program for Social Science). Analisa data dilaksanakan dengan metode frekuensi dan z score untuk mencari identitas dan struktur kota serta, serta korelasi bivariat untuk mengetahui korelasi dua variabel. Kedua variabel dimaksud adalah indentitas dan struktur sebagai elemen dasar dalam memahami makna pembangun image sebuah kota. Penelitian ini selanjunya didukung oleh analisis kualitatif. Dari penelitian ini ditemukan bahwa Kota Blahkiuh memiliki 27 elemen -

pembentuk identitas kota, dan beberapa diantaranya berupa elemen-elemen artefak peninggalan kerajaan. Dua puluh tujuh elemen yang disebutkan di atas tersebar di enam titik lokasi/ruas jalan Blahkiuh. Namun hanya empat titik lokasi/ruas jalan yang menurut kognisi/persepsi pengamat dianggap sebagai struktur elemen kota yang paling mudah digunakan sebagai pusat orientasi dan memberi kesan paling kuat serta memiliki makna khusus terhadap Kota Blahkiuh. Dari analisis data dengan menggunakan program SPSS bisa disimpulkan bahwa citra Kota Blahkiuh adalah sebuah kota yang memiliki nilai historis, dilihat dari keberadaan Kerajaan Singasari dan Puri Mayun yang dibangun di abad 17 dan adanya peninggalan masa kolonialisme di abad 19. Selain itu Kota Blahkiuh memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kota budaya, pendidikan, pusat bisnis khususnya agro-bisnis.

Kata kunci: kognisi, identitas, struktur ruang, makna

Pendahuluan

Penelitian citra kota Blahkiuh menyangkut persoalan bagaimana karakter dan makna Kota Blahkiuh tercipta dalam benak pengamat sebagai sebuah proses penghayatan, pengamatan dan pengenalan lingkungan kota. Kota Blahkiuh adalah sebuah kota lama yang dibentuk sejak abad ke-17 yang saat ini telah mengalami perkembangan pembangunan cukup pesat dan kemudian berdampak terhadap citra kota Blahkiuh.

Citra kota adalah kaitan fungsi kota dan makna kota yang tertanam dalam gambaran mental/ peta kognisi, sebagai hasil proses pemahaman dan ingatan atas dasar pengalaman tentang lingkungannya. Dengan kata lain citra kota adalah sebuah pandangan perancangan kota kearah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya (Zand 2006). Menurut Gifford (1987) dalam Agli (2004) memang cara yang paling mudah untuk mengenal citra kota melalui meminta pendapat (opini) terhadap kognisi pengamat tentang lingkungan geografis. Citra kota dapat dipahami dengan baik, jika pengamat yang dimintai opininya memiliki hubungan dengan lingkungan secara dekat, kelas sosial yang baik dan bergender laki-laki, sesuai teori Appleyard (1964) dan Pacione (2005).

Opini pengamat tentang citra kota didapat melalui pemahaman pengamat atas tiga komponen, yaitu mengetahui identitas kota, struktur dan makna kota. Banyak rangkaian cara untuk menganalisis tiga komponen, salah satu upaya awal adalah melalui peta kognitif pengamat. Peta kognitif akan menunjukkan imaji-imaji gambar dan semantik di dalam kepala pengamat pada tanda-tanda atau simbol-simbol lingkungan, (Laurenz 2005). Kognisi pengamat mengenai lingkungannya menyangkut beberapa dimensi antara lain dimensi fungsional, historik, budaya, politik, dan simbolik. (Sudrajat ,1984 dalam Tohjiwa 2011). Seiring dengan perkembangan kota, citra kota tentunya juga akan selalu berkembang, seperti pernyataan seorang ahli Handinoto menjelaskan bahwa kota yang ada sekarang merupakan lapisan-lapisan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan kota merupakan sebuah kolasi sejarah, begitu pula dengan citra kota yang selalu berkembang seiring perkembangan kota (Handinoto 2010).

Citra kota adalah sesuatu yang bersifat dinamis dalam setiap kognisi pengamatnya. Citra kota perlu diketahui lebih lanjut terutama bagi kota-kota yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat. Salah satu contoh kasus yang terjadi di sebuah kota kecamatan di Kabupaten Badung, kota tersebut saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat dibidang pembangunan, kota itu bernama Kota Blahkiuh. Blahkiuh adalah kota kecil yang terletak di Kecamatan Abiansemal. Tercantumnya Blahkiuh sebagai kota kecil (hierarki ke IV) terdapat dalam keputusan RTRW tahun 2010-2020,

yang mana Blahkiuh adalah kota dengan jumlah penduduk 20.000-50.000 jiwa (Bappeda 2010).

Awal pembentukkan Kota Blahkiuh dipenuhi dengan pemaknaan dan simbol-simbol agama yang dimanifestasikan kedalam bentuk ruang. Simbol tersebut salah satunya dengan menentukkan sebuah titik pertemuan sebelum pembangunan kota melalui sebuah prosesi ritual. Titik tersebut dikenal dengan istilah “catuspatha”, catuspatha adalah titik pertemuan empat arah mata angin sebagai simbol kehidupan. Setelah menentukan letak catuspatha, barulah kemudian raja membentuk pola grid untuk menempatkan elemen-elemen pendukung yang lain. Elemen-elemen tersebut antara lain kediaman raja, tempat suci pura, ruang terbuka (lapangan), dan lain sebagainya.

Berdasarkan hasil grand tour elemen-elemen pembentuk kota yang diwariskan di zaman kerajaan, sampai saat ini masih dapat dijumpai. Kondisinya berhimpitan dengan elemen-elemen baru yang bermunculan sebagi wujud sifat kota yang dinamis. Aktivitas masyarakat dalam hal pembangunan menyangkut keputusan ekonomi memacu sebagian besar masyarakat melakukan alih fungsi lahan ataupun wajah bangunan menjadi bangunan komersiil. Kondisi tersebut dilakukan dengan berbagai cara, melalui pemasangan papan reklama sebagai “pertanda” dari fungsi ruang yang ada. Disamping itu bangunan puri sebagai tempat tinggal raja berubah fungsi menjadi bangunan yang bersifat terbuka, seiring dimanfaatkannya sebagai tempat syuting ataupun obyek wisata, bahkan sebagai lahan parkir.

Seiring dengan terjadinya perkembangan elemen pembentuk kota di Blahkiuh tentunya berdampak terhadap citra kota. Upaya pemahaman citra kota dilakukan dengan analisis tiga komponen yaitu, identitas, struktur dan makna kota melalui sebuah kognisi dari pengamat. Pemahaman citra kota pada kota yang sedang mengalami perkembangan perlu dilakukan guna mengevaluasi perkembangan karakter kota dan sebagai bahan pertimbangan dalam menciptakan kota yang mudah dipahami atau dikenali oleh pengamat, kota yang teratur, dan nyaman bagi masyarakatnya.

Secara keseluruhan penelitian yang didokumentasikan melalui tulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut:

  • 1.    Mengetahui ragam elemen-elemen yang menjadi identitas kota dan mengetahui kognisi pengamat terhadap alasan terbentuknya identitas kota melalui keberadaan elemen-elemen tersebut.

  • 2.    Mengetahui kedudukan elemen-elemen tersebut jika dilihat secara keseluruhan sehingga membentuk struktur citra kota, yang dengan mudah mampu dipahami sebagai pembentuk kesan khusus bagi lokasi atau kawasan tersebut.

  • 3.    Mengetahui makna citra kota dari pemahaman masyarakat akan identitas dan makna kota.

Sementara itu manfaat yang ingin diperoleh melalui pelaksanaan dan dokumentasi penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat penelitian secara praktis. Adapun manfaat penelitian secara teoritis, diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat menambah sumbangan aspek teoritas (keilmuan), dalam bidang perancangan kota. Terutama keilmuan mengenai citra Kota Blahkiuh.

Manfaat praktis dari penelitian, ditujukan kepada pemerintah dan masyarakat setempat, sebagai bahan pertimbangan dan masukan terhadap perencanaan pembangunan di masa

mendatang, dengan melihat konsepsi serta artefak-artefak peninggalan masa lalu, sebagai pembelajaran dan pelestarian serta pertimbangan terhadap perencanaan kota mendatang.

Manusia dan Lingkungan Sekitarnya

Menurut Laurenz (2005), manusia merupakan pusat lingkungan dan sekaligus juga menjadi bagian dari lingkungan. Karena itu seorang individu dipengaruhi dan juga mempengaruhi lingkungannya. Keunikan yang dimiliki setiap individu akan mewarnai lingkungannnya. Sebaliknya keunikan lingkungan juga akan mempengaruhi prilakunya. Karena lingkungan bukan hanya menjadi wadah manusia untuk beraktivitas melainkan juga menjadi bagian integral dari pola perilaku manusia. Proses individual meliputi hal-hal sebagai berikut:

  • 1.    Persepsi lingkungan yaitu proses bagaimana manusia menerima informasi mengenai lingkungan sekitarnya dan bagaimana informasi mengenai ruang fisik tersebut diorganisasikan ke dalam pikiran manusia.

  • 2.    Kognisi yaitu keragaman proses berpikir selanjutnya, mengorganisasikan, menyimpan dan mengingat kembali informasi mengenai lokasi, jarak dan tatanan dalam lingkungan fisik.

  • 3.    Perilaku spasial menunjukkan hasil termanisfestasikan dalam tindakan dan respons seseorang, termasuk deskripsi dan prefensi personal, respons emosional ataupun evaluasi kecenderungan perilaku yang muncul dalam interaksi manusia dengan lingkungan fisiknya.

Kognisi dan Peta Kognisi

Terdapat beragam pandangan berkenaan kognisi dan pemetaannya. Rapoport (1982) dalam Nagar (2006) memandang kognisi sebagai cara yang digunakan manusia untuk menjelaskan bagaimana mereka memahami, menyusun dan memperlajari lingkungan dan menggunakan peta-peta mental untuk menegosiasikannya. Sementara Lang (1987) dalam Purwanto (2001) menyatakan bahwa kognisi adalah daya cipta akibat proses penghayatan, pengamatan dan pengenalan lingkungan kota terbentuk atas unsur-unsur yang diperoleh dari pengalaman langsung, melalui apakah seseorang telah mendengar mengenai suatu tempat, dan dari informasi yang dibayangkan.

Ke berikutnya Holahan (1982) dalam Tohjiwa (2011) menjelaskan bahwa kognisi pengamat bersifat subyektif, ditemukan sebuah korelasi antara aktivitas pengamat terhadap kognisi pengamat terhadap lingkungannya. Masih dari sumber bacaan yang sama, Tohjiwa (2011), juga menyebutkan pandangan dari Appleyard (1964), Pacione (2005) dan Walker (2011) yang menjelaskan kognisi sebagai wujud keakraban manusia dengan lingkungan. Dikatakan bahwa dalam suatu kelas sosial yang baik, gender laki-laki berkontribusi besar terhadap pemahaman citra kota yang baik.

Dalam konteks keruangan, kognitif spasial tercermin dalam peta mental, Peta mental adalah adalah perwujudan dan gejala persepsi terhadap lingkungan, dengan adanya peta mental itulah maka seseorang dapat menunjukkan arah atau lokasi terhadap orang lain. Peta mental sifatnya sangat subyektif. Apa yang dirasakan penting oleh seseorang akan digambarkan dengan jelas, berukuran lebih besar dan sebaliknya yang diangap kurang penting akan digambarkan dalam ukuran yang lebih kecil.

Perbedaan individual dalam peta mental citra arsitek tentang arsitektur yang baik diperolehnya dari pengalaman sebuah ruang, pengetahuan akan dibentuk dan simbolisasi

yang didapat dari pendidikannya. Kognitif peta mental adalah sebuah metode yang progresif dari sebuah perencanaan dan perancangan kota, yang mana dari peta tersebut akan diketahui bagaimana perbedaan setiap orang memahami sebuah kota, selain itu dari sebuah peta kognitif akan diketahui beragam histori atau sejarah kota yang unik.

Dalam sebuah ilmu sosial Florence, Ladd (1970) dalam Walker (2011), penggunaan kognitif peta dari dua orang muda, Amerika dan Afrika, dalam gambaran yang sama ditemukan terdapat perbedaan gambar detail dan skala. Gambaran peta kognitif diketahui bahwa antara satu orang dan orang lainnya memiliki kemampuan mengingat yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan budaya.

Peta kognitif dipengaruhi oleh perbedaan gender, seorang wanita memiliki kemampuan yang rendah perihal jalan, ruang terbuka, Pacione (2005) dalam Walker (2011). Peta mental: atau cognitive map didefinisikan oleh David Stea, sebagai suatu proses yang memungkinkan kita mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil serta menguraikan kembali lokasi relatif dan tanda lingkungan geografis. Semua informasi yang ada di simpan dalam suatu sistem struktur yang selalu dibawa dalam benak seseorang.

Peta ini merupakan kumpulan pengalaman mental seseorang, dan bukan merupakan peta kartnografi yang akurat dan lengkap sehingga tidak dalam ukuran yang benar, tidak lengkap, ada distorsi dan sederhana. Peta mental bersifat sangat subyektif. Apa yang dirasakan penting oleh seseorang akan digambarkan dengan jelas, dengan ukuran besar, dan sebaliknya sesuatu yang dianggap kurang penting digambarkan kecil. Karena peta mental adalah suatu pengalaman bukan peta berdasarkan ukuran yang presisi.

Fungsi peta mental adalah untuk mengatasi masalah lokasi dan jarak, juga bisa untuk tujuan komunikasi, bahkan untuk menunjukkan identitas diri. Misalnya, Jakarta dengan tugu monas, Surabaya dengan tugu pahlawan, Bukit tinggi dengan jam gadang, Bandung dengan Gedung Sate atau London dengan gedung opera house dan paris dengan menara eifel. Kevin Lynch kemudian menstrukturkan lima elemen yang merupakan gambaran kognisi dari sejumlah tempat, seperti landmark, path, jalur, edges, atau distrik.

Citra Kota

Menurut Koeswhoro (1992), citra kota ditentukan oleh pola dan struktur lingkungan fisik yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, adat istiadat serta politik yang pada akhirnya akan berpengaruh pula dalam penampilan fisiknya. Menurut Lynch (1982) untuk mewujudkan citra kota itu sendiri harus mencangkup tiga komponen, yaitu identitas, struktur dan makna. Identitas atau jati diri mengacu pada perbedaan suatu obyek dengan obyek lainnya, dilihat dari bentuk fisik maupun fungsinya. Identitas atau jati diri kawasan tersebut erat kaitannya dengan khasanah budaya masyarakatnya, sesuai dengan perkembangan peradaban. Dengan demikian pengertian identitas adalah citra mental yang terbentuk dan ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial, ekonomi, budaya masyarakatnya yang mengacu pada makna individualitas yang mencerminkan perbedaan dengan obyek yang lain, serta pengenalannya sebagai entitas tersendiri.

Lebih lanjut Lynch (1982) mengatakan bahwa identitas dimaknai tidak dalam arti keserupaan suatu obyek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna individualitas yang mencerminkan perbedaanya dengan obyek lain serta pengenalannya

sebagai entitas tersendiri. Sementara dentitas kota dipandang Lynch sebagai citra mental yang terbentuk dari ritme biologis, tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri.

Struktur mencangkup pola hubungan antara obyek/elemen dengan obyek/elemen dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada. Makna merupakan pemahaman arti pengamat terhadap dua komponen (identitas dan struktur) melalui dimensi : simbolik, fungsional, emosional, historik dan budaya (Sudrajat, 1984) dalam (Tohjiwa 2011). Menurut Gordon Cullen (1961) dalam (Tohjiwa 2011), lingkungan akan menghasilkan suatu reaksi emosional sehingga pengamat akan menangkap makna tertentu dari suatu kawasan, adapun hal-hal yang mempengaruhi antara lain:

  • 1.    Optik

Korelasi visual yang baik dan menerus dan memberi kesan estetis terentu melalui suatu pemandangan secara menyeluruh, pandangan berseri atau yang disebut dengan serial vision.

  • 2.    Place

Memperhatikan pada reaksi pengamat yang berada pada sebuah lingkungan, sehingga pengamat akan merasakan sense yang terbentuk pada lingkungan tersebut. Menurut Cullen sense akan terbentuk melalui perjalanan pengalaman seseorang pada saat memasuki, saat berada di dalam serta pada saat meninggalkannya.

  • 3.    Isi

Bahwa pengamat akan melihat dan menilai berdasarkan pada apa yang ada pada lingkungan tersebut baik tekstur material bangunan, warna, style, dsb.

Citra kota terbentuk dari pemaknaan identitas kawasan Harris dan Howard (1970) dalam Purwanto (2001) dan (Routledge 2011) dipengaruhi oleh komponen fisik dan komponen non fisik, yang dimaksud dengan komponen fisik antara lain adalah umur, dimensi, warna, gaya arsitektur, dan daya tarik visual. Umur dengan mengidentifikasikan berdasarkan kelompok umur tua, sedang dan muda. Dimensi dengan mengidentifikasikan berdasarkan perbedaan ukuran fisik dari yang terkecil sampai terbesar, warna dengan mengidentifikasikan berdasarkan perbedaan warna yang dimiliki, gaya arsitektur dengan mengidentifikasikan desain arsitektur yang digunakan. Dan daya tarik visual secara umum dapat dilihat melalui bentuk atau fasade kawasan bangunan.

Komponen non fisik , menyangkut sejarah, politik, fungsional, pemberian makna khusus, daya tarik aktivitas dan suasana. Sejarah mengidentifikasikan berdasarkan kegiatan masyarakat yang bersifat kesejarahan, Politik sosial dan budaya mengidentifikasikan berdasarkan keputusan pada waktu itu, dan pada masa sekarang lebih ditekankan pada upaya konservasi dan preservasi. Fungsional mengidentifikasikan berdasarkan fungsi yang berkembang dari pengguna ruang, pemberian makna khusus, mengidentifikasikan berdasarkan makna khusus yang tersurat dalam pembentukkannya. Daya tarik ativitas mengidentifikasikan berdasarkan daya tarik secara khusus terhadap pengamat. Suasana mengidentifikasikan berdasarkan suasana khas yang tidak dapat ditemui pada tempat lain.

"Citra Kota Blahkiuh menurut Kognisi Pengamat" dalam Studi

Penelitian mengenai “Citra Kota Blahkiuh Menurut Kognisi Pengamat” adalah penelitian mengenai pemahaman, penyusunan dan bagaimana pengamat mempelajari lingkungan terhadap kesan yang ditimbulkan oleh lingkungannya, melalui tiga komponen antara lain adalah identitas, struktur dan makna pada kota hierarki IV, yaitu Kota Blahkiuh. Kognisi tiga komponen tersebut dianalisis melalui pilihan jawaban kuisioner maupun penjelasan deskriptif, oleh pengamat yang dianggap memahami benar tentang lingkungannya serta dilengkapi peta mental yang menggambarkan kondisi geografis cermin identitas dan struktur kota.

Penelitian ini menyangkut bagaimana ingatan atau memori pengamat terhadap lingkungan Kota Blahkiuh. Memori ini tercermin dalam sebuah gambaran lingkungan geografis pengamat melalui peta kognisi/ peta mental. Peta mental tersebut didapat pengamat baik melalui pengamatan langsung ataupun sekedar informasi dari kerabat. Pengamat Kota Blahkiuh tidak diharuskan penduduk asli Blahkiuh, tetapi dapat pula penduduk pendatang yang lolos dalam tiga kriteria yaitu akrab dengan lingkungan, kelas sosial dan jenis kelamin laki-laki.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan akrab dengan lingkungan adalah para pengamat yang memiliki frekuensi yang besar untuk mengetahui beragam pembangunan dan perkembangan lingkungan di Kota Blahkiuh. Kelas sosial yang baik adalah para pengamat dengan status pendidikan yang memadai untuk mengenal suatu lingkungan kota, minimal setara sekolah menengah atas. Jenis kelamin dalam penelitian ini lebih diutamakan pengamat yang berjenis kelamin laki-laki, karena menurut, Appleyard (1970) dalam Tohjiwa (2011), bahwa laki-laki memiliki peta mental yang lebih baik.

Setelah tiga kriteria sudah terpenuhi, barulah dapat dianalisis citra kota blahkiuh, melalui pemahaman identitas, struktur dan makna yang dapat diketahui melalui komponen fisik maupun komponen non fisik. Komponen fisik antara lain adalah desain bangunan yang unik, umur bangunan, dimensi dan warna, keserupaan elemen terhadap elemen lainnya, kemudahan dalam berorientasi. Komponen non fisik antara lain sejarah, politik, sosial, budaya dan suasana yang khas.

Penelitian citra kota adalah penelitian eksplorasi untuk melihat keberadaan elemen-elemen identitas dalam satu struktur kota yang dapat memberikan pemahaman makna citra pusat kota Blahkiuh kepada pengamat. Untuk menjawab berbagai persoalan dalam permasalahan citra kota diperlukan pendapat masyarakat dengan kriteria remaja sampai manula yang akrab dengan lingkungan, tingkat pendidikan yang baik minimal SMU/sederajat, dan diutamakan pengamat berjenis kelamin laki-laki, sesuai dengan teori Pacione (2005) dan Aplleyard (1964)

Tiga kriteria tersebut menjadi dasar penentuan sejumlah populasi, maka populasi yang diputuskan adalah seluruh staff/karyawan yang bekerja di kantor camat dan kantor desa yang membidangi pembangunan (kaur pembangunan) selaku pelaku dan obyek pembangunan. Untuk mendapatkan jawaban yang valid, juga diputuskan meneliti seluruh populasi kelian banjar adat Kota Blahkiuh. Variabel penelitian terdiri atas variabel bebas dan variabel terikat. Variabel terikat adalah identitas, struktur dan makna.

Pendekatan penelitian lebih dominan dilakukan secara kuantitatif, dan disertai dengan penjelasan-penjalasan yang bersifat deskriptif kualitatif. Penjelasan secara deskriptif diperlukan karena citra kota menyangkut penelitian fenomenologis. Instrumen yang digunakan adalah kuisioner, alat perekam berupa kamera dan handphone. kuisioner yang

disusun menggunakan format skala dikotomus. Metode analisis menggunakan metode analisis deskriptif data frekuensi dan z score untuk mengetahui nilai frekuensi diatas ambang kritis. Bagi nilai di bawah ambang kritis maka diabaikan dalam kesimpulan karena dianggap sebagai data yang meragukan. Penerapan z-score atau Standard Score, dalam output SPSS, nilai z bisa dipakai untuk secara cepat melihat nilai mana yang menyimpang cukup jauh dari rata-ratanya (outlier).

Metode analisis lainnya adalah analisis korelasi data frekuensi melalui analisis bivariat. Analisis bivariat atau disebut juga dengan analisis bivariabel adalah analisis yang mengkaitkan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Penyajian angka koefisien korelasi dapat bernilai positif atau negatif, tetapi tanda positif dan negatif tersebut khusus menunjukkan arah hubungan, bukan kekuatan hubungan.

Identitas Kota

Identitas kota mengacu kepada satu tatanan elemen-elemen yang dianggap mampu memberikan kemudahan orientasi terhadap lingkungan yang memiliki karakter dan membedakannya terhadap lingkungan yang lain. Dalam suatu kota elemen identitas sebagai tanda (sign), yang kemudian tanda-tanda tersebut tersimpan dalam kognisi pengamat.

Cara awal untuk mengetahui identitas Kota Blahkiuh, terlebih dahulu dengan melakukan identifikasi terhadap elemen-elemen apa saja di Kota Blahkiuh yang dengan mudah dapat diingat pengamat sebagai tanda (sign) sebagai upaya pemahaman terhadap lingkungan. Elemen-elemen tersebut didapat melalui kuisioner metode pertanyaan terbuka. Sebanyak 28 orang pengamat, didapat 23 elemen yang paling mudah diingat pengamat. Berdasarkan hasil analisis terhadap kesamaan isi ditemukan 20 elemen yang dipilih pengamat lebih dari 50%, tiga elemen dipilih kurang dari 50%. Elemen-elemen yang terpilih, selanjutnya dianalisis sebagai pembentuk identitas Kota Blahkiuh. Elemen-elemen tersebut dipaparkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Elemen-elemen pembentuk identitas kota

No

Nama Elemen

Frekuensi (Jumlah Rensponden yang memilih)

Prosentase

1

Pasar Blahkiuh

28

100 %

2

Lapangan Kopral Wayan Surem

27

96,42 %

3

Kantor Camat

25

89,28 %

4

Kantor PDAM

25

89,28 %

5

Puri Mayun Blahkiuh

25

89,28 %

6

Sekolah-sekolah

25

89,28 %

7

Bumi perkemahan Blahkiuh

22

78, 57 %

8

Kantor Polsek

22

78, 57 %

9

Pura Swargan

21

75 %

10

Gria Gede

20

71, 42 %

11

Puskesmas

19

67, 85 %

12

Pura Giri Kusuma

19

67, 85 %

13

Kantor Desa

19

67, 85 %

14

Monumen perjuangan

18

64,28 %

15

Sema Mati

17

60,71 %

16

Pura Mrajapati

17

60,71 %

17

Pura Dalem Majapahit

17

60,71 %

No

Nama Elemen

Frekuensi (Jumlah Rensponden yang memilih)

Prosentase

18

Pura Desa

16

57,14 %

19

Bale Banjar

12

42, 85 %

20

Koranmil

12

42, 85 %

21

Catus Patha Agung

12

42, 85 %

22

Pura Dalem Pancer

11

39,28 %

23

Alfamart

11

39,28 %

Sumber: Penulis

Seusai pengamat menjawab hasil kuisioner, dilanjutkan dengan memberikan stimulus grafis dan verbal, gambaran stimulus grafis dan verbal bertujuan untuk mengetahui peta kognisi pengamat terhadap elemen-elemen yang disebutkan ke dalam lingkungan geografis. Dalam peta mentalnya, pengamat sering menggambarkan beberapa elemen-elemen baru, yang tidak disebutkan pada elemen-elemen dalam hasil jawaban kuisioner sebelumnya. Beberapa elemen tersebut dipaparkan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Elemen-elemen pembentuk identitas kota menurut pengamat

No

Nama Elemen

Frekuensi (Jumlah Rensponden yang memilih)

Prosentase

1

Papan Penanda

11

39,28 %

2

Sawah/ Ladang

11

39,28 %

3

Deret Hunian

11

39,28 %

4

Deret Warung/Toko

11

39,28 %

Sumber: Penulis

Setelah melakukan stimulus grafis yang dilaksanakan bersamaan dengan stimulus verbal, selanjutnya dilakukan analisis terhadap kategori masing-masing elemen. Menurut Lynch ada lima katagori yang dipergunakan masyarakat dalam menstrukturkan gambaran kognisi dari sejumlah tempat; elemen tersebut adalah landmark, jalur (path), titik temu (nodes), batas wilayah (edges) dan juga distrik. Selain Lynch beberapa ahli lainnya juga merumuskan kognisi pengamat terkait lingkungan, antara lain adalah Gestalt. Gestalt merumuskan proksimitas, similaritas, kontinuitas, dan closure. Masing-masing para ahli merumuskan kategori berkaitan dengan kognisi pengamat terkait identitas kota dengan sebutan berbeda-beda, namun sebenarnya antara satu peneliti dan peneliti lain memiliki kesamaan makna.

Untuk memberikan gambaran hasil identifikasi elemen-elemen yang telah disebutkan pengamat sebagai identitas Kota Blahkiuh, maka perlu diketahui terlebih dahulu kategori dari masing-masing elemen yang telah disebutkan (lihat Tabel 3 Kategori Elemen Berdasar Kognisi Pengamat. Tabel ini menunjukkan bahwa elemen yang dipilih pengamat sebagai pembentuk identitas kota, sebagaian besar adalah elemen landmark/ closure.

Elemen yang terpilih sebagai pembentuk identitas kota, adalah elemen-elemen yang dianggap memiliki kualitas fisik yang kuat sehingga dapat berfungsi sebagai pertanda (sign) suatu lingkungan, hal ini sesuai dengan teori Budiharjo (1991) dalam Purwanto (1996) bahwa kualitas fisik yang diberikan oleh suatu kota dapat menimbulkan suatu image yang cukup kuat dari seorang pengamat. Kualitas ini disebut dengan imageability

artinya kemampuan mendatangkan kesan. Imageability berhubungan erat dengan legibility atau kemudahan untuk dipahami dan dikenali.

Tabel 3. Kategori Elemen Berdasar Kognisi Pengamat dari Hasil Stimuli Grafis Menurut Lynch dan Gestalt

Menurut Lynch

Menurut Gestalt

Nama Elemen

Land mark

Jalu r

Titik temu

Batas wilayah

Distrik

Proksi-mitas

Simila ritas

Kon tinui -tas

Closure

Pasar Blahkiuh

1

0

1

0

1

1

1

0

0

Lapangan Kopral Wayan Surem

1

0

1

0

0

0

0

0

1

Deretan warung / toko

0

0

0

1

1

1

1

1

0

Kantor Camat

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Kantor PDAM

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Puri Mayun Blahkiuh

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Sekolah-sekolah

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Bumi perkemahan Blahkiuh

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Kantor Polsek

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Pura Swargan

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Gria Gede

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Puskesmas

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Pura Giri Kusuma

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Kantor Desa

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Monumen perjuangan

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Sema Mati

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Pura Mrajapati

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Pura Dalem Majapahit

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Pura Desa

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Bale Banjar

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Koranmil

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Catus Patha

0

0

1

0

0

0

0

0

0

Papan Penanda

0

1

0

1

0

1

1

1

0

persawah/ Ladang

0

1

0

0

0

1

1

1

0

Deret Hunian

0

1

0

0

0

1

1

1

0

Pura Dalem Pancer

1

0

0

0

0

0

0

0

1

Alfamart

1

0

0

0

0

0

0

0

1

TOTAL

22

4

3

1

2

5

5

4

22

Sumber: Penulis

Kota Blahkiuh begitu mudah dapat dikenali oleh pengamat, dengan terdapatnya 27

elemen sebagai pertanda (sign) akibat dari masing-masing elemen dianggap memiliki karakter yang spesifik akibat kualitas fisik yang kuat sehingga mampu memudahkan orang dalam menggambarkan dan membayangkan citra Kota Blahkiuh, hal ini tercermin saat melakukan stimuli grafis hampir lebih dari 90 persen pengamat mampu menggambarkan lingkungan kotanya dengan benar. Hal tersebut sesuai dengan teori Lynch (1960) yang mengatakan kemudahan dalam identifikasi elemen struktur fisik sejumlah kota mencerminkan kota tersebut memiliki citra kota yang mudah dipahami dan dikenali oleh pengamat.

Kota adalah sebuah tempat pusat kegiatan dan tempat manusia berinteraksi dengan sesamanya. Pada tempat-tempat pertemuan akan terkumpul banyak orang dan untuk menuju ke tempat kegiatan yang diinginkan dibutuhkan informasi kepada warga kota tersebut. Oleh sebab itu diperlukan jenis informasi berupa elemen-elemen identitas sebagai tanda (sign) tertentu yang dapat memberikan petunjuk kepada warga kota, selain itu juga agar dapat memudahkan warga kota dalam berorientasi sehingga warga kota dapat mengenali suatu daerah sesuai dengan kognisi yang sudah ada dalam pikiran seseorang.

Struktur Kota Blahkiuh

Menurut Harris dan Howard (1972), pemahaman struktur kota berkaitan dengan kawasan-kawasan yang dapat memberikan suatu pemaknaan. Menurut Purwanto (1996), disamping memberikan suatu pemaknaan, analisis struktur kota berkaitan terhadap kesan yang ditimbulkan, kemudian membentuk kawasan-kawasan khusus. Kawasan-kawasan khusus tersebut berkaitan dengan keberadaan elemen-elemen yang menyertainya. Analisis mengenai struktur kota didapat dari stimuli verbal yang bersamaan saat stimuli grafis, dengan mengarahkan pengamat untuk melingkari kawasan atau spot-spot yang dianggap pengamat sebagai spot yang paling memberikan kesan dan pemaknaan tersendiri serta memudahkan orientasi baik dari fungsi ataupun karakternya dalam mengenali lingkungan.

Sebanyak 28 elemen yang dikenali oleh pengamat, tersebar di enam titik lokasi. Enam titik tersebut terletak di ruas Jalan Diponogoro, ruas Jalan Patimura, simpang empat ruas jalan ciung wanara, simpang empat ruas Jalan Jenggala, ruas Jalan Majapahit, pertigaan ruas Jalan Tenun. Ruas Jalan Diponogoro meliputi deretan warung/toko, deretan hunian, puskesmas, Pura Dalem Pancer, Alfamart, Koranmil, Bank BPD, Dan Kantor Polisi. Jalan Patimura meliputi bumi perkemahan blahkiuh dan sederatan hutan dan sawah serta kantor polsek. Jalan simpang empat ruas jalan ciung wanara teridiri dari elemen kantor camat, kantor PDAM, SDN 4, SMP 1, SMA 1, kantor desa, kodim, pura desa dan deret pertokoan. Simpang empat ruas Jalan Jenggala terdiri atas Puri Mayun, Pasar, Pura Giri Dan Bale Banjar. Ruas Jalan Majapahit adalah Pura Mrajapati, Pura Dalem Swargan, sema mati, monumen, deret hunian dan sawah. Pertigaan ruas Jalan Tenun terdapat deret toko/warung dan lapangan.

Dari enam titik lokasi keberadaan elemen-elemen yang telah disebut, lebih dari 89 persen pengamat menyebutkan empat titik lokasi yang paling memberikan kesan dan makna serta memudahkan orientasi, antara lain simpang empat ruas Jalan Jenggala, simpang empat ruas Jalan Ciung Wanara, ruas Jalan Patimura dan ruas Jalan Majapahit. Dua titik lokasi lainnya dipilih sebanyak 53 persen dan 39 persen. Setelah memberikan stimuli grafis kepada pengamat, dilanjutkan dengan menanyakan alasan pemilihan lokasi atau

spot-spot tersebut sebagai spot yang paling memberikan kesan, makna serta memudahkan orientasi dengan menjawab rangkaian pertanyaan kuisioner metode tertutup. Hasil analisis alasan pengamat terkait terhadap lokasi yang bermakna antara lain:

  • a.    Struktur Simpang Empat Ruas Jalan Jenggala

Simpang empat ruas Jalan Jenggala dipilih oleh pengamat sebagai ruas jalan yang paling mudah sebagai tempat berorientasi sebanyak 89 persen. Ruas jalan ini merupakn catus patha agung atau nodes, yang dikelilingi oleh beragam landmark dengan keterdekatan hubungan perihal sejarahnya. Berdasarkan kognisi pengamat diketahui ruas Jalan Jenggala memiliki karakter sejarah yang melekat. Beberapa artefak peninggalan sejarah antara lain adalah Puri Mayun, pasar, dan Pura Giri.

Hasil kognisi pengamat pula, diketahui bahwa selain elemen-elemen tersebut dikenal memiliki keterdekatan hubungan, yang memudahkan orientasi pengamat, dikenal pula bahwa simpang empat ruas Jalan Jenggala merupakan titik simpul dari beberapa aktivitas, yaitu aktivitas sosial, budaya, ritual keagamaan dan aktivitas pariwisata. Kemudahan dalam berorientasi tidak hanya dipengaruhi oleh komponen fisik melain juga oleh komponen non fisik, serupa dengan pernyataan oleh Harris dan Howard (1972), disamping itu Harris dan Howard (1972) juga menjelaskan bahwa sturktur kota berkaitan dengan pemaknaan khusus yang diberikan pengamat terhadap spot/kawasan tersebut. Pemaknaan khusus dapat tercipta jika spot tersebut merupakan titik simpul kegiatan, memiliki elemen-elemen yang diunggulkan menjadi landmark dengan jumlah lebih tidak hanya satu, dan memiliki keterdekatan perihal hubungan kesejarahan.

  • b.    Simpang Empat Ruas Jalan Ciung Wanara

Simpang empat ruas Jalan Ciung Wanara memiliki makna khusus menurut pengamat akibat aktivitas dan style arsitektur yang selaras. Aktivitas dan style arsitektur yang selaras masing-masing elemen yang serupa dan bersifat khusus memberikan kesan berbeda dengan lingkungan sekitar mencerminkan fungsinya sebagai pusat perkantoran dan sekolah, sesuai dengan teori Lynch mengenai struktur kota. Menurut Lynch (1960) bahwa struktur kota mencangkup pola hubungan antara obyek/ elemen dengan obyek/ elemen lain dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada.

  • c.    Ruas Jalan Patimura

Ruas jalan ini dipilih pengamat sebagai ruas jalan yang dianggap mudah dalam berorientasi sebesar 89 persen. Dari hasil kognisi grafis pengamat, diketahui bahwa ruas Jalan Patimura memiliki salah satu obyek pariwisata sekaligus sebagai landmark yang memiliki nilai sejarah yang kuat, yaitu bumi perkemahan Blahkiuh. Ruas jalan ini belum dipadati oleh bangunan, kanan dan kiri jalan dibatasi tembok gang dan hutan belantara dan sawah, dengan lebar ruas jalan sekitar lima meter. Keberadaan penanda dan tembok pembatas (distrik) berupa tembok gang dan pepohonan yang jelas memudahkan pengamat untuk berorientasi. Keserupaan gaya ataupun keserupaan lingkungan sekitar mampu meningkatkan kognisi pengamat terhadap lingkungan. Hal ini serupa dengan teori visualisasi Gestalt, dalam konsep similaritas, bahwa individu akan mudah memahami elemen-elemen serupa (mirip) dalam bentuk ataupun warnanya apabila dikaitkan dalam sebuah pola.

  • d.    Ruas Jalan Majapahit

Ruas Jalan Majapahit dipilih pengamat sebanyak 67,8 persen sebagai ruas jalan yang memberikan kemudahan dalam berorientasi. Kognisi pengamat terhadap ruas jalan ini cukup rendah dibandingkan dengan ruas jalan lainnya, hal ini disebabkan karena lokasi kawasan yang relatif agak jauh dari pusat kota, walaupun terdapat beberapa landmark namun nampaknya keberadaan landmark tersebut kurang cukup kuat untuk menjadikan kawasan tersebut memberikan makna atau menjadikan sebuah kawasan khusus. Salah satu teori Harris dan Howard (1972) bahwa pemaknaan suatu kawasan juga dipengaruhi oleh aksesibilitas menyangkut sulit atau tidak dan posisi jarak jauh/dekat, kondisi inilaih yang terjadi pada struktur ruas jalan Majapahit. Lokasinya yang jauh dair jalan utama mempengaruhi prosentase kemudahan dalam berorientasi oleh pengamat.

Makna Kota yang Dimiliki Blahkiuh

Makna kota adalah telaah dari hasil kognisi pengamat atas identitas dan struktur. Analisis makna kota, dilakukan melalui analisis korelasi dengan cara mengkorelasikan hasil analisis frekuensi variabel bebas elemen-elemen pembentuk identitas kota terhadap hasil analisa frekuensi variabel bebas struktur kota. Teknik analisis menggunakan teknik bivariat, dengan tujuan mengetahui korelasi antara dua variabel yaitu, variable identitas dan variabel struktur.

Makna yang tercipta pada ruas simpang empat ruas Jalan Jenggala sebagai sumbu as kerajaan Puri Mayun (artefak peninggalan sejarah) sebagai kota lama. Simpang empat ruas Jalan Ciung Wanara sebagai spot perkantoran dan pendidikan. Ruas Jalan Patimura dan Ruas Jalan Majapahit sebagai ruas jalan dengan nuansa agraris dan terdapat beberapa landmark yang memiliki nilai historis, sosial dan budaya. Pertigaan ruas Jalan Tenun dan ruas Jalan Diponogoro sebagai titik simpul beragam aktivitas, sejarah, ekonomi, sosial (ruas jalan fungsi campuran).

Kesimpulan

Elemen-elemen yang dapat dipahami, dan memudahkan orientasi bagi pengamat sebagian besar adalah elemen-elemen yang memberikan identitas sebagai landmark Kota Blahkiuh. Sebanyak 28 orang pengamat yang terdiri dari pegawai negeri sipil kantor kecamatan, kantor desa dan kelian adat, mengenal elemen-elemen tanda (sign) pembentuk identitas kota sebanyak 27 elemen. 23 elemen diantaranya selalu disebut pada kuisioner dengan jawaban terbuka dan 4 elemen lainnya selalu dicantumkan dalam stimulus grafis dan verbal, sehingga total elemen yang diketahui sebanyak 27 elemen. Struktur Kota Blahkiuh dapat dikenali melalui enam titik lokasi, yaitu simpang empat ruas Jalan Jenggala, simpang empat ruas Jalan Ciung Wanara, ruas Jalan Patimura, ruas Jalan Majapahit, simpang empat ruas Jalan Tenun, dan ruas Jalan Diponogoro, namun hanya empat titik lokasi yang dianggap paling berkesan dan bermakna menurut pengamat. Makna yang tercipta di Kota Blahkiuh adalah beragam yaitu makna historis, pusat perkantoran dan sekolah, dan aktivitas sosial-budaya yang masih kental. Jadi citra Kota Blahkiuh memberikan gambaran akan karakter setempat sebagai kota sejarah, budaya, pendidikan dan perkantoran, sekaligus kota dengan aktivitas agraris.

Daftar Pustaka

Agli, W (2004) ‘Identifikasi kualitas tata kawasan melalui pemetaan kognitif studi kasus: Kawasan Cempaka Putih’ NALARs JurnalArsitektur FT-UMJ Vol. 3 No. 1, Jakarta, Universitas Muhammadiyah

Appleyard, D, Lynch, K, and Myer, J R (1964) The View Form The Road Cambridge: Mass MIT Press.

Cullen, G (1961) Townscape New York: Reinhold Pub. Corp.

Gifford, R (1987) Environmental Psychology, Principles and Practice Newton Massachusetts: Allyn and Bacon Inc.

Handinoto (2010) Arsitektur Kota-Kota di Jawa Pada Masa Kolonia Yogyakarta: Graha Ilmu.

Harris, J D and Howard, W A (1971) The Role Meaning in the Urban Image Sage Publication, Inc.

Holahan, C J (1982) Envionmental Psychology New York: Random House

Koeswhoro, P J (1992) Eksplorasi Karakter Pusat Kota Bandar Pantai Utara Jawa Tengah Bandung: Universitas Institut Teknologi Bandung.

Lang, J (1987) Creating Architectural Theory, The Role of The Behavioral Sciences in Environmental Design Van Nostrand Reinhold Company Inc.

Laurenz, J M (2005)Arsitektur dan Perilaku Manusia Jakarta: PT. Grasindo.

Lynch, K (1960) The Image Of The City Cambrige: MIT Press.

Nagar, D (2006) Environmental Psychology New Delhi: Ashok Kumar Mital.

Pacione, M (2005) Urban Geography: A Global Perspective (2nd ed), London: Routledge.

Purwanto, E (2001) 'Pendekatan pemahaman citra lingkungan perkotaan (melalui kemampuan peta mental pengamat) Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 28, No. 1, Juli 2001, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat-Pusat Penelitian Universitas Kristen Petra, Surabaya, p: 85-92.

Purwanto, E (1996) Citra Pusat Kota Yogyakarta Menurut Kognisi Peta Mental Pengamat Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Rapoport (1982) Human Aspects of Urban Form New York: Pargamon.

Routledge (2011) Urban Design the Composition of Complexity New York: Ron Kasprisin.

Sudrajat, I (1984) Struktur Pembahasan Lingkungan Perkotaan Thesis Bandung: Universitas Teknologi Bandung.

Tohjiwa, A D (2011) Citra Pusat Kota Depok Berdasarkan Kognisi Pengamat Vol 4, Oktober 2011, Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Gunadarma.

Walker, J (2011) 'Representing social space: cognitive mapping and the potential for progressive urban planing & design’ An Undergraduate Geography Journal, Vol 5, 2011.

Ucapan Terimakasih

Penulis pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:

  • 1.    Prof. Ir. Ngakan Putu Sueca, MT. Ph.D untuk masukan, saran dan semangatnya.

  • 2.    Ir. Anak Agung Gde Djaja Bharuna, MT atas masukannya mengenai tata tulis

  • 3.    Prof. Ir. I Made Sukadana, MM. Ph.D atas saran dan masukannya.

  • 4.    Dr. Ir. I Made Adhika, MSP atas saran dan masukannya.

  • 5.    Gusti Ayu Made Suartika, ST. MEngSc. Ph.D atas saran dan masukannya.

40

SPACE - VOLUME 1, NO. 1, APRIL 2014