RUANG


PEMANFAATAN LAHAN PRA DAN PASCA REKLAMASI DI PULAU SERANGAN

SPACE


Oleh: I Gede Surya Darmawan 1

Abstract

Reclamation of the Serangan Island, south of Bali, a controversial decision, has expanded the physical size of the Island from 111 to 481 hectares between 1995 and 1998. The project was carried out by PT. Bali Turtle Island Development (BTID), who also has been the legal owner of the reclaimed land since then. In consequence, there are two types of areas existing. The first is that of the residential area of existing local inhabitants, and second is the reclaimed land of the BTID. This article discusses the pattern of land use changes and factors underlining the spatial changes taking place on Serangan Island before and in the aftermath of reclamation activity. While land use changes are inevitable, there are several reasons. These include physical dimensions of the reclaimed and non-reclaimed land, as well as economic; socio-cultural; policy and political factors.

Keywords: Land use change, factors, pre-and post-reclamation

Abstrak

Reklamasi Pulau Serangan di sebelah selatan Pulau Bali yang merupakan sebuah keputusan kontroversial, telah memperluas ukuran fisik dari Pulai ini dari 111 menjadi 481 hektar. Kegiatan ini dilaksanakan dalam kurun waktu 1995-1998, oleh PT. Bali Turtle Island Development (BTID), yang kemudian menjadi pemilik sah dari semua lahan hasil reklamasi. Sebagai konsekuensinya, muncul dua tipe lahan. Pertama, lahan permukiman yang ditempati warga Pulau Serangan, dan kedua, lahan reklamasi BTID. Artikel ini membahas tentang patrun perubahan penggunaan lahan beserta faktor-faktor pemicunya sebelum dan sesudah dilaksanakannya reklamasi di Pulau Serangan. Disini diakui jika perubahan tata guna lahan merupakan fenomena yang tidak terelakan. Namun untuk kasus Pulau Serangan alasan-alasan pemicunya melingkupi: adanya perbedaan ukuran fisik yang sangat signifikan dari lahan permukiman warga dibandingkan dengan lahan hasil reklamasi BTID; faktor ekonomi; sosial-budaya; kebijakan dan faktor politis.

Kata kunci: Pemanfaatan lahan, faktor, pra dan pasca reklamasi

Pendahuluan

Pulau Bali dinobatkan sebagai Pulau dengan daerah tujuan wisata terfavorit tahun 2009 (Travel + Leisure, 2009).Oleh karena itu berbagai daerah di Bali termasuk Pulau Serangan, mulai gencar mengembangkan daya tarik untuk dijadikan tujuan wisata.Berdasarkan izin dari pemerintah provinsi Bali tahun 1995, PT. BTID melakukan

reklamasi Pulau Serangan dengan tujuan untuk membangun berbagai fasilitas wisata seperti: lapangan golf, resort, lagoon untuk sarana rekreasi air, yatchclub, beachclubhouse, villa, marina, serta jembatan penyeberangan Pulau Bali ke Pulau Serangan.Akibatnya, Pulau Seranganpra reklamasi seluas 111 hektar dan terdiri dari gugusan pulau yang dipisahkan laut berubah menjadi seluas 481 hektar dan menjadi satu pulau pasca reklamasi. Akhirnya proyek tersebut terhenti tahun 1998 karena faktor krisis moneter, politik, sosial, budaya, dan faktor-faktor lainnya (Woinarski, 2002).

Perubahan lahan secara makro di Pulau Serangan melalui reklamasimembawa dampakperubahan wilayah kepemilikan lahan di Pulau Serangan. Meskipun Pulau Serangan sudah menjadi satu kesatuan pulau, namun terdapat pembagian wilayah kepemilikan yang dipisahkan oleh kanal wisata.Kanal ini membelah Pulau Serangan menjadi dua wilayah yaitu wilayah PT. BTID yang berada di sebelah kanan kanal dan wilayah Permukiman Penduduk yang berada di sebelah kiri kanal. Adanya beberapa lahan di wilayah permukiman penduduk yang masih dimiliki oleh PT. BTID disebabkan karena pada proses reklamasi, PT. BTID juga menimbun wilayah perairan dangkal yang di wilayah permukiman penduduk yang memisahkan pulau satu dengan pulau yang lain, sehingga mempermudah akses transportasi antar penduduk di wilayah permukiman penduduk (wawancara, Mudita. 2013).

Adanya perubahan fisik secara makro melalui reklamasi Pulau Serangan yang ditandai dengan adanya kanal wisata yang membagi kepemilikan lahan di Pulau Serangan yang justru membuat mengecilnya daerah kekuasaan dan kepemilikan lahan bagi masyarakat lokal Pulau Serangan dengan adanya reklamasi. Selain itu, adanya reklamasi perluasan Pulau Serangan ini justru menyebabkan menyempitnya garis pantai yang bisa dinikmati oleh masyarakat Pulau Serangan karena pasca reklamasi, hampir 75% garis pantai berada di wilayah kepemilikan PT. BTID. Fenomena ini tentunya menimbulkan kontradiksi dengan maksud perencanaan perluasan Pulau Serangan yang diharapkan mensejahterakan masyarakat Pulau Serangan.Namun kenyataannya justru mempersempit wilayah kekuasaan masyarakat lokal Pulau Serangan.

Perubahan lahan secara makro pasca reklamasi ini juga berimbas pada perubahan lahan secara mikro yaitu perubahan lahan yang berada di wilayah permukiman penduduk dan wilayah PT. BTID seperti perubahan lahan Banjar Kubu dan permukiman warganya pra reklamasi menjadi lahan kosong milik PT. BTID pasca reklamasi. Selain itu terdapat pula perubahan lahan yang pra reklamasi berupa laut, pasca reklamasi dimanfaatkan dengan fungsi baru seperti pasar desa, LPD, KUD, konservasi penyu, fasilitas watersport, dan perluasan beberapa Pura seperti Pura Sakenan, Pura Segara, dan Pura Khayangan (wawancara, Wiguna, 2013).

Berdasarkan uraian diatas, diperoleh fakta bahwa adanya reklamasi dari PT. BTID telah mengubah fisik pemanfaatan lahan Pulau Serangan serta wilayah kekuasaan masyarakat lokal dengan wilayah kekuasaan PT. BTID. Melalui penulisan ini akan dibahas secara rinci mengenai perubahan pemanfatan lahan secara makro dan mikro di Pulau Serangan sehingga diketahui jenis-jenis perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi di Pulau Seragan pasca reklamasi. Selain itu, akan dibahas juga faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan tersebut baik faktor utama maupun faktor-faktor pendukung perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan.

Kondisi Pemanfaatan Lahan Pra Dan Pascareklamasi Di Pulau Serangan

Dalam membahas kondisi pemanfaatan lahan pra dan pasca reklamasi di Pulau Serangan, akan diuraikan dalam dua sub bagian, yaitu: 1) Perubahan pemanfaatan lahan secara makro/global dan 2) Perubahan pemanfaatan lahan secara mikro/mendetail.

Perubahan Pemanfaatan Lahan Secara Makro/Secara Global

Secara makro, perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan dengan adanya reklamasi telah merubah fisik Pulau Serangan menjadi empat kali lipat dari luas aslinya. Terdapat jembatan penyeberangan Pulau Bali ke Pulau Serangan pascareklamasi yang berdampak kemudahan transportasi dan informasi dari Pulau Bali menuju Pulau Serangan. Bagian yang paling banyak direklamasi adalah wilayah Pulau Serangan bagian Timur, Selatan, dan Barat sehingga semakin mendekatnya wilayah Barat Daya Pulau Serangan dengan wilayah Tanjung Benoa.

PRAREKLAMASI (Sebelum 1995)


PROSES REKLAMASI (1995-1998)


PASCAREKLAMASI


(Setelah 1998) Kanal Wisata


Keterangan :

□ : Lahan Eksisting

: Lahan Hasil Reklamasi

Gambar 1. Rekonstruksi reklamasi tahun 1995-1998

Meskipun luas Pulau Serangan prareklamasi sudah mengalami perluasan melalui reklamasi, tidak membuat wilayah kekuasaan masyarakat terhadap lahan menjadi semakin meluas. Justru membuat semakin menyempit karena pihak PT. BTID membagi wilayah kekuasaan lahan di Pulau Serangan menjadi dua yaitu wilayah Permukiman Penduduk dan wilayah PT. BTID yang dipisahkan oleh kanal wisata selebar 10 meter.Pada prareklamasi, seluruh lahan di Pulau Serangan dikuasai oleh masyarakat setempat yaitu seluas 111 hektar. Namun pascareklamasi, wilayah permukiman penduduk menyempit menjadi sekitar 46,5 hektar sedangkan wilayah yang dikuasai oleh PT. BTID sekitar 435 hektar.Adanya pembagian wilayah kekuasaan menyebabkan berkurangnya garis pantai yang dikuasai masyarakat setempat. Pada prareklamasi, masyarakat setempat menguasai seluruh garis pantai di pesisir pantai Pulau Serangan yaitu sepanjang 13,5 kilometer. Namun pada pascareklamasi, wilayah garis pantai yang dikuasai/dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat hanya sekitar 2,5 kilometer dari total panjang garis pantai pascareklamasi Pulau Serangan sekitar 20 kilometer. Artinya sekitar 17,5 kilometer garis pantai atau 3/4 dari total panjang garis pantai dikuasai oleh pihak yang melakukan reklamasi yaitu PT. BTID.

Perubahan Pemanfaatan Lahan Secara Mikro/Terperinci

Secara mikro/terperinci, perubahan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan pada wilayah permukiman penduduk dan wilayah PT. BTID, terdiri dari dua jenis yaitu perubahan laut menjadi suatu fungsi baru pada lahan dan perubahan laut menjadi suatu fungsi lama pada lahan.

Wilayah Permukiman Penduduk

Pada wilayah permukiman penduduk, terdapat dua jenis perubahan pemanfaatan yaitu :

  • -    Perubahan laut menjadi suatu fungsi baru pada lahan (perubahan laut menjadi taman kota, pasar, LPD, KUD, konservasi penyu dan watersport).

  • -    Perubahan laut menjadisuatu fungsi lama pada lahan (perubahan laut menjadi perluasan Pura Sakenan, Pura Puseh/Dalem Cemara, Pura Segara, Pura Dalem Khayangan dan kuburan).

Perubahan Laut menjadi Fungsi Baru pada Lahan

Perubahan laut menjadi fungsi baru pada lahan yang pertama yaitu perubahan laut pra reklamasi menjadi taman kota pasca reklamasi. Awalnya, pihak PT. BTID mengurug zona tersebut untuk disiapkan sebagai lahan permukiman sebagai kompensasi dari wilayah permukiman penduduk yang sudah dibeli oleh PT. BTID. Luas laut yang diurug oleh PT. BTID sekitar 40 are yang diberikan kepada masyarakat lokal Pulau Serangan.Kenyataannya, meskipun PT. BTID telah memenuhi janji untuk melakukan pengurugan, namun tempat bermukim warga tidak kunjung dibuat. Oleh karena itu, Desa Dinas membuat sejenis taman kota di lahan tersebut dengan mendapat persetujuan dari PT. BTID dan Desa Pakraman Serangan. Taman kota difungsikan sebagai tempat berkumpulnya aktivitas bersama, olahraga, tempat rekreasi, dan parkir kendaraan bagi pemedek Pura Sakenan saat ada piodalan.

TAMAN KOTAPRAREKLAMASI

Kondisi Taman Kota Prareklamasi hanya berupa Laut.


TAMAN KOTAPASCAREKLAMASI


Taman Kota seluas 30 are difungsikan sebagai lapangan sepak bola, aktivitas joging dan parkir pemedek Pura Dalem Sakenan dan Pura Dalem Susunan

Sisa lahan hasil pengurugan laut dipakai sebagai lahan kosong kira-kira seluas 9,5 are.


  • Gambar 2. Perubahan laut menjadi taman kota

Selanjutnya perubahan laut prareklamasi menjadi pasar, Lembaga Perkreditan Desa (LPD), dan Koperasi Unit Desa (KUD) pasca reklamasi. Awalnya yaitu pada prareklamasi, letak pasar, LPD, dan KUD berada di sisi Utara dan Barat Pura Desa. Luas lahan untuk pasar prareklamasi sekitar 1 are. Selanjutnya di siang hingga malam hari, lahan ini dipergunakan untuk parkir/ruang terbuka bagi pemedek Pura Desa.LPD dan KUD prareklamasi berada di sisi Utara Pura Desa di atas lahan seluas + 90 m2 (LPD dan

KUD berada pada satu bangunan).Ketiga fungsi ini berada di atas lahan Pelaba Pura Desa. Pasca reklamasi, pihak PT. BTID memberikan sejumlah lahan hasil reklamasi (pada prareklamasi berupa laut), kira-kira sejumlah 17,5 are kepada masyarakat Pulau Serangan untuk pembangunan pasar (Memorandum of Understanding/MoUtanggal 14 Oktober 1998) yang salah satu butirnya berisikan PT. BTID menjanjikan memberikan lahan dan pendirian fasilitas pasar desa. Lahan yang letaknya 200 meter ke Utara dari lahan pasar desa yang lama inilah dijadikan lahan untuk didirikannya pasar desa, LPD, dan KUD pasca reklamasi (wawancara, Tamat, W., 2013).

Perubahan laut menjadi fungsi baru selanjutnya yaitu perubahan pemanfaatan laut menjadi balai konservasi penyu dan fasilitas watersport. Sama halnya dengan perubahan pemanfaatan laut menjadi pasar, perubahan pemanfaatan balai konservasi penyu dan watersport juga terjadi pada lahan yang pra reklamasi berupa laut. Lahan hasil reklamasi PT. BTID ini memiliki luas total sekitar + 3,15 hektar.Pemberian lahan hasil reklamasi PT. BTID kepada Desa Pakraman Serangan sesuai salah satu MoU yaitu memberikan sejumlah lahan untuk mendirikan konservasi penyu dan perluasan areal melasti. Tujuan pendirian balai konservasi penyu adalah agar para wisatawan tetap mengunjungi Pulau Serangan meskipun penyu-penyu yang terdapat di Pulau Serangan pasca reklamasi tidak segampang ditemui saat prareklamasi karena kondisi fisik Pulau Serangan yang sudah berubah total (wawancara, Wayan Geria, 2013).

PASCAREKLAMASI

U

PRAREKLAMASI

U

Gambar 4 .Lahan konservasi penyu dan watersport pra-reklamasi berupa


laut



I

Zona C


Zona B


Zona

Zona A

Zona D

Gambar 5. Pemanfaatan lahan pasca-reklamasi sebagai konservasi penyu dan watersport


Zona A



Perubahan Laut menjadi Fungsi Lama pada Lahan

Perubahan laut menjadi fungsi lama pada lahan sebagian besar terdiri dari perubahan laut menjadi perluasan pemanfaatan lahan Pura-Pura yang diempon Puri Kesiman dan Desa Pakraman Serangan serta Kuburan. Seperti pada perubahan laut menjadi perluasan Pura Sakenan dan Pura Pesamuan Agung yang dilakukan PT. BTID atas permintaan Puri Kesiman. Pada prareklamasi luas areal Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan Agung

sekitar + 51 are, sedangkan pasca reklamasi menjadi + 1 hektar karena terdapat penambahan luasan Jaba Tengah. Keberadaan Pura Sakenan sebagai Pura Dhang Khayangan menjadi salah satu alasan masyarakat Bali datang ke Pulau Serangan, sehingga saat piodalan/hari raya, banyaknya pemedek Pura yang tangkil ke Pura Sakenan tidak diimbangi dengan daya dukung lahan Pura. Sehingga dilakukan perluasan Jaba Tengah Pura Sakenan dengan mereklamasi sisi Barat dan Timur Pura Sakenan. Komparasi perbandingan Pura Sakenan pra dan pasca reklamasi akan dipaparkan pada Gambar 6.

PURA SAKENAN DAN PESAMUAN AGUNG


U


PRAREKLAMASI


Lahan Laba


Pura Sakenan


prareklamasi seluas + 1,5


hektar


Luas Pura Sakenan dan Pura Pesamuan


Agung prareklamasi adalah + 51


PURA SAKENAN DAN PESAMUAN AGUNG PASCAREKLAMASI

U


Lahan JabaTengah hasil reklamasi laut sekitar 54 are.


Gamb ar 6.Perluasan Pura Sakenan dan Pesamuan Agung

Selanjutnya adalah perubahan laut menjadi perluasan Pura Puseh/Dalem Cemara dan Pura Segara. Pura Puseh/Dalem Cemara yang berada satu lahan dengan Pura Segara, mengalami perubahan pemanfaatan dan luas lahan. Perubahan yang terjadi yaitu lahan di depan (Barat) Pura Puseh/Dalem Cemara dan Pura Segara prareklamasi berupa laut, pada pascareklamasi dimanfaatkan sebagai JabaTengah Pura dan didepannya dimanfaatkan sebagai lahan parkir (Laba PuraPuseh/Dalem Cemara dan Pura Segara). Lahan yang direklamasi oleh PT. BTID ini diminta untuk diserahkan ke Desa Pakraman Serangan melalui Bendesa Adat saat itu Wayan Mudita, untuk dimanfaatkan sebagai perluasan Pura Puseh/Dalem Cemara dan Pura Segara. Detail perubahan pemanfaatan laut menjadi

menjadi perluasan Pura Puseh/Dalem Cemara dan Pura Segara akan dipaparkan pada Gambar 7.

Pura Puseh/Dalem Cemara pra reklamasi hanya terdiri dari Jeroan saja, didepannya sudah terdapat laut.

- Luas Pura Puseh/ Dalem Cemara + 13 are.

- Luas Pura Segara + 4 are.


U


PASCA REKLAMASI


erluasan Jaba Tengah (Bekas Laut)


1A U∙'Λ

≡≠-


Laba Pura (Bekas Laut)


  • -    Luas          Pura

Puseh/Dalem

Cemara + 19 are.

  • -    Luas Pura Segara + 6 are.

  • -    Luas  JabaSisi/ laba

Pura

+ 12 are.


Gam bar 7. Pura Dalem Cemara dan Pura Segara, pra dan pasca reklamasi

U

U





- Luas Pura Dalem

Khayangan+ 7,5 are.

- Luas Pura Prajapati + 70 m2.


PURAKHAYANGAN

PASCAREKLAMASI

Jaba Tengah (perluasan)

Jeroan (perluasan)

Luas Pura Dalem Khayangan + 25 are.

Luas Pura Prajapati +70 m2


isi(perluasan)


-


-


Ga mbar 8. Perbandingan Pura Khayangan, pra dan pasca reklamasi

Perubahan laut menjadi fungsi lama pada lahan juga terjadi pada perubahan laut menjadi perluasan pemanfaatan lahan Jeroan, Jaba Tengah dan Jaba SisiPura Khayangan dan Pura Prajapati. Pada prareklamasi, Pura Khayangan dan Prajapati hanya terdiri dari Jeroan dan Jaba Sisi seluas + 7,5 are. Pascareklamasi meluas menjadi+ 25 are.

Perubahan pemanfaatan juga terjadi pada lahan di depan Pura Dalem Kahyangan, yang mana pada pr reklamasi masih berupa laut, pada pasca reklamasi menjadi jalan dengan lebar + 4 meter (wawancara, Made Suana, 2013).

Perluasan pemanfaatan lahan juga terjadi pada kuburan karena mengalami perluasan lahan dari + 1,7 hektar menjadi + 2,5 hektar. Pada prareklamasi, terdapat ritualisasi unik yaitu mengarak/membawa mayat ke kuburan untuk diaben dengan berjalan kaki menyeberang laut (tinggi air mencapai dada orang dewasa).Keberadaan kuburan prareklamasi juga dirasakan agak terpencil dan hanya sedikit warga yang menjamah kuburan karena letaknya jauh dengan permukiman warga dan dipisahkan oleh laut. Adanya reklamasi, menyebabkan hilangnya tradisi mengarak mayat dengan menyeberangi laut. Meskipun memberikan kemudahan bagi warga dalam transportasi menuju Kuburan yang dapat ditempuh dengan jalur darat namun beberapa masyarakat juga merindukan adanya ritualisasi unik ini yang mungkin hanya ada di Pulau Serangan.

U

U

√√∙>

KUBURAN PRAREKLAMASI

5M^ KUBURAN

PASCAREKLAMASI

’ V

Luas Kuburan Pascareklamasi : 2 5 hektar

Bentuk Kuburan sudah utuh menjadi satu

I I

, ~≥ Luas Kuburan Pra reklamasi : 1,7 hektar

Bentuk Kuburan terdapat laut yang menjorok ke daratan.

Gambar 9. Perubahan pemanfaatan lahan kuburan pra dan pasca reklamasi

Wilayah PT. BTID

Pada wilayah PT. BTID, terdapat tiga jenis perubahan pemanfaatan yaitu :

  • -    Pemanfaatan daratan menjadi daratan namun terjadi perubahan fungsi pada lahan (perubahan Banjar Kubu dan permukiman warganya menjadi daratan kosong milik PT. BTID).

  • -    Perubahan laut menjadi suatu fungsi baru pada lahan (perubahan laut menjadi Pura Beji Dalem Sakenan, Pura Batu Api dan Pura Batu Kerep).

  • -    Perubahan laut menjadi suatu fungsi lama pada lahan (perubahan laut menjadi perluasan Pura Tanjung Sari, Pura Puncaking Tingkih, Pura Taman Sari dan Pura Tirta Arum).

Perubahan Daratan Menjadi Daratan Namun Terjadi Perubahan Fungsi Pada Lahan

Perubahan yang dimaksud adalah perubahan fungsi Banjar Kubu dan permukiman warganya prareklamasi menjadi lahan yang tidak bergungsi/lahan kosong milik PT. BTID.Total luas Banjar Kubu, permukiman warganya dan tegalan yang mengalami perubahan pemanfaatan lahan adalah sekitar 65 hektar yang mana pada pascareklamasi lahan tersebut sudah menjadi milik PT. BTID dan dimanfaatkan sebagai lahan kosong. Selanjutnya warga Banjar Kubu berpindah tempat pada lahan hasil reklamasi PT. BTID di wilayah permukiman penduduk. Luas lahan yang disediakan PT. BTID untuk relokasi warga Banjar Kubu sebagai tempat bermukim kira-kira seluas 10 hektar. PT. BTID berjanji akan mensertifikatkan lahan tersebut sehingga menjadi milik warga banjar Kubu, namun hingga saat ini yaitu tahun 2013, janji tersebut tidak diwujudkan kepada warga Banjar Kubu.

PRAREKLAMASI

Kanal Wisata

PASCAREKLAMASI

Rencana

∕ Kanal Wisata

, Pascareklamasi

jr,mΛ

∣Λ'ΛsjMN]⅛M‰, TT4AIAK

Gambar 10. Perubahan Banjar Kubu, permukiman warganya dan tegalan

Letak permukiman warga Banjar Kubu pascareklamasi berdekatan dengan warga Banjar Dukuh dan mereka bergabung menjadi warga Banjar Dukuh (Banjar Kubu hilang pasca reklamasi). Lahan Banjar Dukuh pada masa pra reklamasi seluas + 2,5 are, sedangkan pasca reklamasi luasnya + 3,5 are. Pada prareklamasi, tidak terdapat daratan di depan (utara) Banjar Dukuh karena berupa laut. Adanya reklamasi mengakibatkan perubahan wilayah laut menjadidaratan termasuk reklamasi di depan Banjar Dukuh. Sehingga pihak Banjar Dukuh meminta perluasan lahan Banjar Dukuh kepada pihak PT. BTID.Pihak PT. BTID menyanggupi dengan syarat agar warga Banjar Dukuh mau menerima kehadiran warga Banjar Kubu yang lahan Banjarnya sudah beralih fungsi menjadi lahan milik PT. BTID.

BANJAR DUKUH PRAREKLAMASI


Letak Banjar Dukuh yang bersebelahan dengan laut


Luas lahan Banjar Dukuh prareklamasi 2,5 are.


i           BANJAR DUKUH PASCAREKLAMASI

■j Banjar Dukuh mengelami perluasan lahan menjadi seluas 3,5 are.


Gambar 11. Perubahan luas lahan Banjar Dukuh, pra dan pasca reklamasi

Perubahan Laut Menjadi Suatu Fungsi Baru pada Lahan

Terdapat tiga fungsi yang mengalami perubahan pascareklamasi yaitu perubahan laut menjadi Pura Beji Dalem Sakenan, Pura Batu Api dan Pura Batu Kerep. Pada Pura Beji Dalem Sakenan, didirikan tahun 2008 (pasca reklamasi) dan terletak kira-kira 2,2 kilometer sebelah Selatan Pura Dalem Sakenan tepatnya di ujung Selatan Pulau Serangan. Pura Beji Dalem Sakenan difungsikan untuk tempat pebersihan dan pemandian Ida Bhatara yang berstana di Pura Dalem Sakenan. Pada prareklamasi, lahan ini masih berupa laut. Adanya pawisik dari Ida Bhatara yang berstana di Pura Dalem Sakenan menyebabkan dibangunnya Pura Dalem Beji di atas lahan hasil reklamasi dengan luas sekitar 6 are.

Prareklamasi      Pascareklamasi

U


Rencana letak Pura Beji Dalem Sakenan.Pada prareklamasi belum ada.




isi


Gambar 12. Perubahan tegalan dan laut menjadi Pura Beji Dalem Sakenan

Perubahan laut menjadi fungsi baru selanjutnya adalah adanya Pura Batu Api (seluas + 1,2 are)dan Pura Batu Kerep (seluas + 80 m2) yang sama-sama didirikan pasca reklamasi tepatnya pertengahan tahun 2010 karena reklamasi laut. Pemangku yang diperkenankan menjalankan prosesi upacara di Pura Batu Api dan Pura Batu Kerep adalah pemangku Pura Segara karena memiliki keterkaitan dengan unsur laut dengan airnya yang asin/segara. Fungsi Pura Batu Kerep adalah sebagai penyawangan dan jalur pemargi Ida Bhatara di Pura Dalem Peed di Nusa Penida menuju Pura Pat Payung di Pulau Serangan.

Prareklamasi


Pascareklamasi


Bentuk Pura yang tidak lazim karena mengambil bentuk makhluk laut (ikan duyung, kura-kura )


Pura Batu Kerep sebagai titik tengah pertemuan Pura

Dalem Peed di Nusa Penida dengan Pura Pat Payung


Gamba r 13. Pemanfaatan laut menjadi Pura Batu Api dan Pura Batu Kerep pasca reklamasi

Perubahan Laut menjadi suatu Fungsi Lama pada Lahan

Di wilayah PT. BTID, terdapat 4 Pura yang mengalami perluasan lahan diatas lahan hasil reklamasi laut yaitu: Pura Tanjung Sari (dari 5 are menjadi 21 are), Pura Puncaking Tingkih (dari 5 are menjadi 19 are), Pura Taman Sari (dari 1,5 are menjadi 6,5 are), dan Pura Tirta Arum (dari 4 are menjadi 50 are). Pada prareklamasi, kesemua Pura tersebut hanya terdiri dari Mandala Jeroan saja. Namun pasca reklamasi, terdapat penambahan Mandala Jaba Tengah pada keempat Pura tersebut yang digunakan untuk fasilitas pendukung Pura seperti dapur/pewaregan, bale penyimpanan alat-alat keperluan Pura, dan Jaba Sisi yang difungsikan sebagai tempat parkir pemedek Pura. Perluasan lahan ini tentunya didasarkan kesepakatan antara pihak pengemong Pura dan pihak PT. BTID selaku pemilik lahan.

Pascareklamasi

Prareklamasi

Gambar14.Perluasan Lahan Pura Tanjung Sari (kiri), Pura Puncaking Tingkih (kanan), Pura Taman Sari dan Pura Tirta Arum (bawah)

Faktor-Faktor Pengaruh Perubahan Pemanfaatan Lahan Pascareklamasi

Terjadinya perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Menurut Barlowe, 2001 terdapat tiga faktor utama dalam menentukan perubahan pemanfaatan lahan yaitu faktor fisik lahan, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan. Disamping itu terkadang terdapat faktor sosial dan budaya serta faktor-faktor lainnya yang ikut pula mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan.

Faktor Fisik Lahan

Pada fenomena yang terjadi di Pulau Serangan, faktor utama penyebab perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi di Pulau Serangan pasca reklamasi tidak telepas dari adanya faktor kepentingan penguasa pada masa itu. Adanya kepentingan dari Bambang Trihatmojo dan Tommy Soeharto (anak Mantan Presiden Soeharto) yang membentuk Group Bimantara serta Kodam IX Udayana yang ingin melakukan pengembangan wisata di Pulau Serangan. Investasi yang sangat besar tersebut tentunya diharapkan mampu

menghasilkan income yang lebih besar pula. Sehingga apabila tidak ada faktor kepentingan dari Group Bimantara dan Kodam IX Udayana, maka tidak akan ada perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi.

Alasan dipilihnya Pulau Serangan untuk dilakukannya reklamasi adalah karena letak Pulau Serangan yang terpisah dari Pulau Bali sehingga keadaannya masih asli, letak Pulau Serangan yang berada di jalur pariwisata Sanur, Pelabuhan Benoa, Tanjung Benoa, dan Nusa Dua, serta tingkat abrasi Pulau Serangan yang cukup tinggi sehingga perlu dilakukan perluasan wilayah daratan Pulau Serangan.Faktor fisik lahan yaitu masalah abrasi/pengikisan daratan oleh air laut menjadi masalah utama yang terjadi sebelum adanya reklamasi. Dari data analisa peta dengan metode tumpang tindih (super impose) memperlihatkan adanya perbedaan morfologi pulau antara tahun 1948 dan tahun 1990. Dari analisa tersebut, diperoleh data terbenamnya daratan pulau sekitar 50% dalam kurun waktu 42 tahun. Dan diperkirakan bahwa pengikisan air laut ini akan mengalami percepatan dengan semakin besarnya arus air laut di sisi barat pulau akibat semakin meningkatnya volume lalu lintas laut di Pelabuhan Benoa. Oleh karena itu, perlu segera diadakan suatu usaha penyelamatan secara menyeluruh, dalam arti pemecahan ini bukan hanya bersifat internal di pulau itu sendiri, tetapi juga pemecahan eksternal keadaan lingkungan sekitar pulau yang turut mempengaruhi (Kodam IX Udayana, 1995).

PULAU SERANGAN          PULAU SERANGAN

TAHUN 1948

TAHUN 1995

Gam bar 15. Tingkat abrasi Pulau Serangan yang cukup besar dari tahun ke tahun

Faktor Ekonomi

Selain faktor fisik lahan, faktor ekonomi juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan.Perlu diketahui, adanya reklamasi menjadi titik total terjadinya perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan. Sehingga faktor ekonomi yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan sama dengan faktor ekonomi yang mempengaruhi adanya reklamasi. Faktor ekonomi yang dimaksudkan disini adalah ekonomi sub sistem yang diibaratkan seperti lingkaran-lingkaran kecil yang saling berhubungan, berinteraksi dan akhirnya membentuk suatu kesatuan sistem dalam lingkaran besar yang bergerak sesuai aturan yang ada (Astuti, 2009).

Fakor ekonomi yang mempengaruhi adanya perubahan lahan melalui reklamasi adalah kedatangan investor PT. BTID yang melakukan pengembangan wisata di Pulau Serangan dengan cara reklamasi pulau berdasarkan permasalahan ekonomi yang terjadi di Pulau Serangan diantaranya (Kodam IX Udayana, 1995):

  • 1.    Masalah Income Penduduk

Mata pencaharian penduduk Pulau Serangan pada umumnya adalah nelayan. Dengan mata pencaharian ini diperkirakan bahwa penduduk Pulau Serangan rata-rata berpenghasilan rendah. Maka, di dalam usaha pengembangan Pulau Serangan sebagai daerah rekreasi hendaknya mengikut sertakan penduduk mulai dari tahapan, perencanaan, pelaksanaan, dan operasionalnya. Dengan keikutsertaan penduduk dalam proses ini, selain menumbuhkan sense of belonging juga diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup ke arah yang lebih baik.

  • 2.    Masalah Pelestarian Penyu

Penyu sebagai trade mark Pulau Serangan, belum dikelola secara profesional baik untuk kepentingan atraksi wisata, maupun untuk pelestarian dan kebutuhan konsumsi. Sehingga penduduk yang mengelolanya belum mendapatkan nilai tambah yang berarti dengan ternak penyu ini. Selain itu kendala dari habitat alam lingkungan Pulau Serangan tidak mendukung dan semakin tercemarnya laut oleh minyak dan sampah dari Benoa dan Suwung.

  • 3.    Masalah Kurangnya Sarana Prasarana di Pulau Serangan

Dari tahun ke tahun, jumlah pengunjung yang melakukan persembahyangan di Pura Sakenan pada Hari Raya Kuningan semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk ini tidak disertai dengan peningkatan sarana dan prasarana yang memadai, seperti : pelabuhan dan pemberangkatan. Ruang terbuka di sekitar pulau yang bercampur aduk dengan warung makan/minum, masalah kebersihan dan kurangnya fasilitas toilet, dan lain-lain.

  • 4.    Masalah Kondisi Pura Sakenan yang perlu diperluas dan diperbaiki karena memiliki arti khusus bagi masyarakat Bali.

  • 5.    Permasalahan rendahnya kesejahteraan masyarakat Pulau Serangan dilakukan dengan peningkatan ekonomi masyarakat melalui lapangan pekerjaan baru. Misalnya : pengelolaan pasar ikan, home stay, art shop, transportasi eksternal/internal. Menjadikan proyek pengelolaan Pulau Serangan yang terencana yang mengikutsertakan masyarakat secara langsung dalam perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan kawasan wisata.

Faktor Kelembagaan

Perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi di Pulau Serangan pascareklamasi dipengaruhi oleh faktor kelembagaan. Secara makro, perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terjadi karena kedatangan PT. BTID yang terdiri dari Group Bimantara dan Kodam IX Udayana tahun 1992 ke Pulau Serangan, untuk melakukan reklamasi berdasarkan izin SK Gubernur Bali 24 Desember 1992 dan Izin Keruk dan Reklamasi oleh Departemen Perhubungan Juli 1996.Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan pemanfaatan lahan secara makro diantaranya penyatuan wilayah yang pada prareklamasi berupa gugusan pulau, perluasan lahan dari 111 hektar menjadi 481 hektar, dan pembagian zona wilayah penduduk dan wilayah PT. BTID. Untuk lebih jelasnya, pada Diagram 2.1 disajikan mekanisme kelembagaan yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan secara makro pascareklamasi di Pulau Serangan.

Berdaarkan Diagram 1, terdapat kesepakatan antara masyarakat Pulau Serangan dengan PT. BTID pasca terhentinya reklamasi di Pulau Serangan. Kesepakatan kedua belah pihak ini tertuang dalam MoU 14 Oktober 1998, yang beberapa isinya

mendasari/melatarbelakangi perubahan pemanfaatan secara mikro di Pulau Serangan. Perubahan tersebut diantaranya: perubahan laut menjadi pasar, LPD, KUD, Balai Konservasi Penyu (Turtle Exibition), akses dan perluasan Pura Sakenan, Pura Puseh/Dalem Cemara, Pura Segara, Pura Khayangan, Pura Tanjung Sari, Pura Puncaking Tingkih, Pura Batu Api, dan Pura Batu Kerep. Namun terdapat pula beberapa pasal dari MoU yang belum dilaksanakan PT. BTID yaitu pendirian Cultural Centre Budaya yang rencananya dibangun dekat Pura Sakenan, perluasan lahan permukiman yang masih terbatas, serta janji untuk memberikan lapangan kerja bagi masyarakat lokal di proyek PT. BTID.

INVESTOR

PEMERINTAH

Diagram 1. Mekanisme kelembagaan perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan

Faktor-Faktor Lainnya

Faktor-faktor lain seperti faktor sosial, budaya, kebiasaan, dan kepercayaan, juga turut mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan pra hingga pascareklamasi di Pulau Serangan. Pada pra reklamasi PT. BTID, terdapat budyaa/kebiasaan masyarakat lokal menimbun/mereklamasi lahan pesisir mereka dengan cara konvensional untuk meminimalisir tingkat abrasi air laut yang cukup tinggi. Masyarakat setempat mengambil pasir di bagian lahan yang memiliki topografi yang tinggi dan menimbun sedikit demi

sedikit lahan permukiman mereka yang berbatasan langsung dengan laut.Dengan kedatangan PT. BTID yang mereklamasi Pulau Serangan maka budaya atau kebiasaan masyarakat setempat yang melakukan penimbunan/reklamasi pun hilang digantikan dengan reklamasi PT. BTID menggunakan alat-alat berat yang jauh lebih efektif dalam menghasilkan kuantitas reklamasi di Pulau Serangan.

Gambar 16. Proses reklamasi Pulau Serangan tahun 1995-1998

Selain itu, faktor kepercayaan seperti pada kasus perubahan laut prareklamasi menjadi Pura Batu Api dan Pura Batu Kerep pascareklamasi juga menjadi faktor pengaruh perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi di Pulau Serangan.Faktor kepercayaan yang dimaksud adalah adanya mimpi/pawisik/sunia dari Ida Bhatara untuk mendirikan tempat suci.Seperti misalnya adanya mimpi dari Pemangku Pura Dalem Sakenan bernama I Gusti Ketut Lengur yang bermimpi didatangi Ida Bhatara yang melinggih di Pura Sakenan untuk membuatkan tempat pemandian beliau di ujung Selatan Pulau Serangan. Hal yang sama juga dialami pemangku Pura Pat Payung untuk membuatkan pelinggih penyawanganIda Bhatara yang berstana di Pura Dalem Peed Nusa Dua, sehingga didirikanlah Pura Batu Kerep.Bendesa Adat Serangan bernama Gede Mudana Wiguna juga mengalami mimpi yang melatarbelakangi pendirian Pura Batu Api tahun 2008. Beliau bermimpi didatangi sosok penyu dengan lidah mengeluarkan api merah dan ikan berkepala manusia perempuan yang datang dari arah Barat Daya. Sehingga dibuatlah Pura Batu Api dengan bentuk pelinggihnya yang tidak biasa (kura-kura dengan mulut mengeluarkan api dan ikan duyung wanita).

SIMPULAN

Pemanfaatan lahan yang terjadi di Pulau Serangan terbagi menjadi dua fase waktu yaitu prareklamasi yaitu sebelum tahun 1995 dan pascareklamasi yaitu setelah tahun 1998. Perubahan pemanfaatan lahan tersebut terjadi secara makro dan mikro. Secara makro, perubahan lahan terjadi karena reklamasi PT. BTID dengan mengubah luas Pulau Serangan menjadi empat kali lipat luas aslinya (dari 111 hektar menjadi 481 hektar) dan menyatukan gugusan pulau pra reklamasi menjadi satu pulau tanpa adanya pemisah laut diantara pulau. Kehadiran PT. BTID sebagai investor pereklamasi, menyebabkan perubahan wilayah kekuasaan yang terbagi dua yaitu wilayah permukiman penduduk dan wilayah PT. BTID yang dipisahkan kanal wisata.Dengan adanya perubahan pemanfaatan lahan secara makro ini justru membuat wilayah Permukiman Penduduk mengecil dari 111 hektar menjadi 46,5 hektar dan hampir 3/4 panjang garis pantai dikuasai PT. BTID (17,5km).

Perubahan pemanfaatan lahan secara mikro terbagi menjadi tiga yaitu: perubahan daratan menjadi daratan namun terjadi perubahan fungsi lahan (perubahan Banjar Kubu dan permukiman warganya menjadi daratan kosong milik PT. BTID), perubahan laut menjadi

suatu fungsi baru pada lahan (perubahan laut menjadi taman kota, pasar, LPD, KUD, konservasi penyu, watersport, Pura Batu Api dan Pura Batu Kerep), dan perubahan laut menjadi suatu fungsi lama pada lahan (perubahan laut menjadi perluasan Pura Sakenan, Pura Puseh/Dalem Cemara, Pura Segara, Pura Khayangan, Pura Tanjung Sari, dan Pura Puncaking Tingkih).

Faktor utama yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi di Pulau Serangan tidak terlepasdari adanya faktor kepentingan penguasa pada masa itu. Adanya kepentingan dari Bambang Trihatmojo dan Tommy Soeharto (anak Mantan Presiden Soeharto) yang membentuk Group Bimantara serta Kodam IX Udayana yang ingin melakukan pengembangan wisata di Pulau Serangan. Investasi yang sangat besar tersebut tentunya diharapkan mampu menghasilkan income yang lebih besar pula. Sehingga apabila tidak ada faktor kepentingan dari Group Bimantara dan Kodam IX Udayana, maka tidak akan ada perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi.

Dari faktor utama tersebut, selanjutnya terdapat faktor pendukung seperti faktor fisik lahan, ekonomi, kelembagaan, dan faktor sosial, budaya, dan keagamaan.Faktor fisik lahan yaitu masalah pengikisan air laut sekitar 50% dalam kurun waktu 42 tahun menjadi masalah utamasebelum adanya reklamasi.Faktor ekonomi yang mempengaruhi perubahan lahan adalah masalah kondisi Pura Sakenan sebagai Pura Dhang Khayangan yang perlu diperbaiki, masalah income penduduk yang rendah, serta masalah rendahnya SDM masyarakat Pulau Serangan prareklamasi. Sedangkan faktor kelembagaan, adanya kesepakatan antara PT. BTID dengan Masyarakat Pulau Serangan melalui MoU 14 Oktober 1998 merupakan kesepakatan yang merubah pemanfaatan lahan secara mikro di Pulau Serangan seperti salah satu pasal dalam MoU yang melatarbelakangi pendirian pasar, LPD, KUD, balai konservasi penyu, dan permukiman Banjar Kubu. Faktor kepercayaan yaitu adanya pawisik yang berdampak pada adanya Pura Batu Kerep dan Pura Batu Api pascareklamasi serta faktor budaya/kebiasaan masyarakat prareklamasi yang menimbun laut secara manual karena tingkat abrasi yang tinggi di Pulau Serangan pra reklamasi.

DAFTAR PUSTAKA

Barlowe, R (1986) Land Resource Economics, The Economics of Real Estate New York: PrenticeHall Inc.

Bungin, B (2009) Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya Jakarta: Kencana.

Issabel, P (2008) 'Kajian Pengembangan Pemanfaatan Ruang Terbangun di Kawasan Pesisir Kota Kupang' Tesis Program Magister Perencanaan Kota dan Wilayah. Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

Kelurahan Serangan (2011) Profil Kelurahan Serangan Tahun 2011 Denpasar: Desa Dinas Kelurahan Serangan.

Kodam IX Udayana (1987) Pelestarian dan Pengembangan Lingkungan Fisik dan Budaya Pulau Serangan Denpasar: PT. Bina Cipta Adi Buana.

Wisnawa, I M (2002) 'Model Pemanfaatan Pulau Serangan di Kota Denpasar Pasca Reklamasi' Tesis Program Magister Perencanaan Kota dan Wilayah. Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

Woinarski, L (2002) 'Pulau Serangan: Dampak Pembangunan Pada Lingkungan dan Masyarakat' Laporan Studi Lapangan. Malang: Universitas Muhammadiyah.

138     SPACE - VOLUME 2, NO. 1, APRIL 2015