RUANG


SPACE


PERUBAHAN PEMANFAATAN LAHAN PELABA PURA DI DESA PEKRAMAN PANJER, KOTA DENPASAR

Oleh: Kadek Wisnawa

Abstract

The study has two purposes. The first is to find out the importance of tanah pelaba pura (communal land dedicated to a temple) to the the pengemong pura (community members who act as caretakers to the temple). The second is to study how views of pengemong pura towards tanah pelaba pura have shifted which consequently influence the use of communal land. The study implements naturalistic research approaches. Tabulation and verification of the data collected throughout the study have been presented in maps, matrices and charts. Changes in views on and uses of tanah pelaba pura have been divided into five different time frames: Period I before 1980 - this was when the new land administration was introduced by the Indonesian State; Period II of 1990 - this was the beginning of the implementation of land consolidation policy; Period III of 1995 when tanah pelaba pura was used for communal purposes to build public facilities; Period IV of 2003-2005, when there were huge political and economic pressures placed upon the tanah pelaba pura; and Period V of 2010-2012 when the economic value of this communal land determines its use rather than socio-cultural concerns.

Keywords: Land use change, pelaba pura land

Abstrak

Penelitian ini memiliki dua tujuan. Pertama, menstudi arti penting tanah pelaba pura (lahan komunal yang didedikasikan untuk mendukung operasional pura) bagi pengemong pura (anggota masyarakat yang bertanggung jawab terhadap keberadaan pura). Kedua, mengkaji bagaimana pandangan para pengemong pura terhadap tanah pelaba pura berubah yang secara konsekuensi berpengaruh terhadap pemanfaatannya. Studi ini menerapkan pendekatan naturalistik. Data-data yang diperoleh telah ditabulasi, diverifikasi, dan dipresentasikan ke dalam peta, matix, dan diagram. Perubahan pandangan serta pemanfaatan lahan dibagi ke dalam lima periode waktu: Periode I-sebelum 1980, dimana tata aturan baru terkait administrasi lahan diperkenalkan oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Periode II-1990, merupakan awal diterapkannya kebijakan konsolidasi lahan; Periode III-1995 ketika lahan pelaba pura yang seyogyanya dimanfaatkan untuk mewadahi kegiatan-kegitan pendukung keberadaan pura dimanfaatkan sebagai wadah pembangunan beragam fasilitas publik; Periode IV-2003-2005 dimana faktor ekonomi dan politik menjadi aspek penentu pemanfaatan lahan pelaba pura; Periode V-2010-2012, era dimana faktor ekonomi menjadi dasar pertimbangan utama pemanfaatan lahan pelaba pura, dibanding aspek sosial dan budaya.

Kata kunci: Perubahan pemanfaatan lahan, lahan pelaba pura

1. Arsitek profesional. Email: [email protected]

1.Pendahuluan

Tanah pelaba pura merupakan salah satu tipologi tanah adat yang penting untuk dicermati terkait nilai dan vitalnya fungsi lahan pelaba pura bagi kehidupan Desa Pakraman. Tanah pelaba pura merupakan tanah adat dengan status kepemilikan komunal dengan muatan nilai religius didalamnya karena keterkaitannya dengan keberadaan Pura.

Intererelasinya menimbulkan perlakuan yang tidak biasa, mempunyai nilai sakral dan realitasnya menjadi suatu entitas supernatural terlebih fungsi lahan pelaba pura adalah sebagai penunjang keberlangsungan pura sebagai simbolik alam dewata (Ambara, 2009, Budiana, 2006). Terkait fungsinya yang krusial, keberadaannya perlu diperhatikan, terlebih kehidupan desa pakraman pada saat ini mulai dan sedang memasuki kehidupan yang jauh lebih kompleks daripada keadaan sebelumnya.

Tanah pelaba pura di Desa Pakraman Panjer sebelum tahun 1980-an dimanfaatkan sebagai lahan pertanian atau fungsi di sektor agraris. Fungsi baru yang nampak pada lahan pelaba pura diantaranya disewakan menjadi ruko, toko dan distro, ada juga yang dikontrakkan menjadi perumahan (rumah kos), Sekolah Dasar, TK, pasar, dan beberapa lagi dimanfaatkan sebagai rumah tinggal jero mangku. Adanya perubahan fungsi tersebut menunjukkan adanya gejala berubahnya konsepsi masyarakat dalam memanfaatkan lahan pelaba pura. Berdasarkan ketertarikan akan fenomena dan arti pentingnya pelaba pura bagi kehidupan Desa Pakraman mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut.

Metode Penelitian

Pendalaman substansi perubahan ditelusuri kasus-perkasus perubahan (10 kasus), dari kasus perkasus. Digunakan matriks temuan untuk mempermudah mencari keterkaitan data temuan. kemudian disintesakan menjadi beberapa tema temuan yang kemudian didialogkan untuk mencari keterkaitan antar tema tersebut. Tahap selanjutnya dianalisis dan diverifikasi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian

Perubahan Pemanfatan Lahan Pelaba Pura Desa Pakraman Panjer

Pemanfaatan tanah pelaba pura di Desa Pakraman Panjer sebelum dilaksanakannya Land Consolidation pada tahun 1990, sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian (Rastina,wawancara Mei 2013). Setelah perubahan Undang-undang pertanahan, dengan terbitnya UUPA terjadi perubahan dalam struktur status kepemilikan lahan desa yang juga berpengaruh pada perubahan kepengelolaan lahan pelaba pura (Budiana, wawancara Juni 2013). Dalam pencarian dokumen penunjang berdasarkan rujukan Drs. I Gusti Made Anom selaku mantan bendesa periode 2002-2007. Pada awig-awig Desa Pakraman Panjer dijelaskan bahwa dulu keadaan tanah pelaba pura terdiri dari beberapa petak lahan dengan pengemponnya masing-masing lahan pelaba pura desa pakraman Panjer pada awal mulanya tanah terbagi menjadi 5 persil yang letaknya terpisah secara fisik dengan luasan yang jelas antara lain seluas 150 are sebagai lahan sawah, 30 are sebagai rumah pemangku, 10 are sebagai gegaleng Pura Dalem, tanah ladang seluas 60 are, digarap oleh pemangku Pura Dalem dan pemangku Pura Kahyangan, tanah ladang yang digunakan untuk pererainan, dan 30 are sebagai tempat Pura Puseh, dan Bale Agung. Jika ditotal, tanah pelaba pura desa seluas 254 are dan tanah untuk pura seluas 30 are. Kepemilikan tanah pelaba pura sekarang luasannya tetap. Berdasarkan penelusuran lebih lanjut didapatkan data kepemilikan lahan pelaba pura

yang kemudian menjadi dasar penelusuran lebih mendalam mengenai perubahan yang terjadi kasus-perkasus sebagaimana dilihat pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Data kepemilikan lahan pelaba pura Desa Pakraman Panjer

Kasus

Sertifikat

No

Luas

Fungsi

Lokasi

Pelaba pura Puseh

1

-

9.5 are

Genah LPD dan Toko , gegaleng pura Desa/Puseh

Jl. Waturenggong

Tanah Pelaba pura Dalem

2

3349

45,95 are

Genah Pasar Nyanggelan, hak milik Pura Dalem

Jl. Tukad Mawa

3

5600

21,5 are

Genah margi Tukad Mawa/Pura Kahyangan, hak milik pura desa

Jl. Tukad Mawa

4

5602

3.5 are

Genah TK Kumara Loka, hak milik Pura Puseh

Jl Tukad Musi

5

3197

17 are

Perumahan/kos, hak milik Pura Dalem,

6

3348

7,65 are

Perumahan/kos, hak milik Pura Dalem

Jl. Tukad Mawa

7

3348

7,65 are

Genah Jaba sisi Pura Dalem, hak milik pura dalem

Jl. Tukad Mawa

8

-

60 are

Genah Baler pura dalem

Jl. Tukad Mawa

9

-

30 are

Genah jeroan jero mangku pura Dalem lan pemangku Kahyangan

Jl. Tukad Mawa

Tanah Pelaba pura Subak

10

2309

8 are

Genah SD 1 Panjer, hak milik Pura Pengulun Subak

Jl. Tukad Musi V

Sumber: Wawancara (Wayan Rastina, 2013)

Pada Tabel 1 diuraikan kepemilikan lahan pelaba pura diantaranya pelaba pura hak milik Pura Puseh sejumlah 1 persil yang dimanfaatkan sebagai LPD dan Toko yang berlokasi di jalan waturenggong, kepemilikan Pura Dalem terdiri dari 8 persil diantaranya dimanfaatkan sebagai pasar Nyanggelan, jalan desa, tk, jaba sisi, rumah kos, lapangan dan wantilan, dan pemukiman jero mangku Pura Dalem. Sedangkan 1 persil terakhir merupakan hak milik Pura Subak yang berlokasi di jalan Tukad Musi V.

Pada kasus pertama (lahan pelaba Pura Puseh) perubahan yang mendasar terjadi pada tahun 2003 dari awalnya merupakan lahan sawah, lahan tidur, kemudian dimanfaatkan sebagai LPD dan toko. Lahan pelaba pura bersebelahan dengan Pura Puseh, dengan akses berupa jalan desa. Dalam kasus ini ditemukan adanya sikap masyarakat untuk memproteksi benda atau ritus sakral pada site dengan memindahkannya keareal pura dengan artian bahwa terdapat unsur kepercayaan dinamisme yang masih kuat. Dasar pertimbangan dalam memutuskan pemanfaatan lahan yang baru antara lain ketersediaan fasilitas desa, motif ekonomis, sosial dan proteksi terhadap nilai religiusitas yang terkandung didalamnya dengan men-setting zona gegaleng pada area yang bersebelahan dengan pura. Terdapat proses tukar guling dalam prosesnya atau dapat dikatakan ditemukan mekanisme baru serta keterlibatan pihak pemerintah dalam mekanisme pemanfaatan lahan yang sebelumnya hanya melibatkan pihak internal desa. Terakhir berbagai bentuk kepercayaan ternyata masih dipegang kuat oleh krama desa pakraman. Beberapa fungsi baru pada lahan pelaba Pura Puseh dapat dilihat pada Gambar 1.

Pada kasus 2, Perubahan terjadi pada tahun 1995 dari awalnya dimanfaatkan sebagai lahan sawah, menjadi lahan pasar desa. Dasar pertimbangan perubahan yakni dikarenakan kebutuhan akan fasilitas pasar yang semakin mendesak. Lokasinya mempunyai akses berupa jalan desa yang juga menjadi dasar pertimbangan terpilihnya lahan pelaba ini untuk mengakomodasi kebutuhan desa akan fasilitas pasar. Prosesi

hampir sama dengan kasus 1, namun tidak disertai dengan proses tukar guling. Dalam pengelolaannya desa membentuk organisasi baru yang didelegasikan khusus untuk memanajemen jalannya kegiatan pasar hingga retribusinya. Situasi lokasi pasar Nyanggelan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Lahan pelaba pura yang dimanfaatkan sebagai LPD dan toko

Sumber: Survey Juni 2013

Gambar 2. Lahan pelaba pura yang dibangun sebagai Pasar Nyanggelan

Sumber: Dokumen perencanaan Desa Pakraman Panjer, Juni 2013

Pada kasus 3, dulunya merupakan lahan sawah sekarang dimanfaatkan sebagai jalan desa. Munculnya fungsi sebagai jalan desa ini didasari atas pertimbangan proteksi terhadap area hulu Pura Dalem (utara) yang bagi masyarakat Desa Pakraman Panjer memiliki nilai "sakral" dimaksudkan sebagai jalan alternatif bagi sawa (jasad) menuju setra (kuburan). Aktivitas ini dinilai dapat mengakibatkan leteh (kotor) atau dapat menyebabkan terganggunya vibrasi kesucian pura (I Gusti Made Anom, wawancara 9 Juni 2013). Disisi lain, faktor ekonomi juga menjadi motif di fungsikannya lahan ini, yakni untuk memperbesar peluang peningkatan produktivitas Pasar Nyanggelan. Proses perubahan sama dengan kasus 2. Perubahan fisik menjadi lahan terbangun, tidak ditemukan pelinggih yang secara khusus pada fungsi ini. Upacara dilakukan secara “ngayat” dan tidak ditemukan unsur-unsur kepercayaan sebagaimana ditemukan pada

beberapa kasus yang telah dipaparkan sebelumnya. Situasi lahan pelaba pura pada kasus 3 dapat dilihat pada Gambar 3, sebagai berikut:

Gambar 3. Lahan pelaba pura yang dimanfaatkan sebagai jalan desa Sumber: SurveyJuni 2013

Pada kasus 4, merupakan tanah pelaba pura milik Pura Dalem yang berlokasi di sebelah timur lapangan Desa Pakraman Panjer yang sekarang dimanfaatkan sebagai TK Kumara Loka. Batas sebelah timur, utara dan selatan persil adalah jalan lingkungan. Pada kasus ini, hampir sama dengan kasus 2 dimana dibentuknya organisasi baru untuk pengurusan fungsi baru pada lahan.Proses perubahan didahului dengan paruman, perijinan walikota, ritual caru, dan kemudian pelaksanaan pembangunan dilakukan.

Kasus berikutnya yakni tanah pelaba Pura Dalem dengan sertifikat no 3384 yang dimanfaatkan sebagai perumahan (rumah kos). Tanah pelaba pura ini dikontrakkan selama 20 tahun kepada Ibu Lusi yang merupakan krama tamiu (pendatang). Sebelum dimanfaatkan sebagai rumah kos, lahan pelaba ini dimanfaatkan sebagai lahan tegalan yang di sakap (garap) oleh pemangku pura, dan sebelum dikembangkan jalan lingkungan merupakan lahan sawah. Dasar pertimbangan dilakukannya perubahan tersebut adalah didasarkan pada keinginan untuk menguatkan sumber pendapatan desa. Disamping untuk menguatkan perekonomian, desa juga sangat membutuhkan biaya untuk melakukan upakara Ngenteg Linggih Pura Dalem yang menghabiskan biaya kurang lebih 2 Miliar sehingga manggala desa bersama krama desa memutuskan untuk mengkontrakkan lahan pelaba ke pihak swasta (Drs. I Gusti Made Anom, wawancara 6 juni 2013). Proses didahului dengan melakukan rapat desa, sebagaimana dilakukan pada proses perubahan pada kasus 1, 2, 3, dan 4. Biaya operasional dan hasil sewa pemanfaatan lahan sepenuhnya dikelola oleh pihak penyewa selama masa kontrak masih berlaku. Mengenai fisik pelaba pura, tidak sebagaimana kasus lain, pada kasus ini tidak ditemukan pelinggih pada site, dan berberapa petanda fisik yang mencirikan atau memberikan tanda bahwa lahan mempunyai kaitan dengan keberadaan Pura Dalem. Situasi lahan pelaba pura pada kasus 5 dapat dilihat pada Gambar 5.

Pada kasus 6, juga dimanfaatkan sebagai rumah kos, dulunya merupakan lahan sawah. Persil tanah pelaba milik Pura Dalem ini disewa oleh Ibu Lusi yang juga sebagai penyewa tanah pelaba pura dengan sertifikat No: 3384. Sebagaimana lahan yang lain, lahan ini ditanami tanaman yang bermanfaat untuk menunjang kelangsungan upakara seperti pisang dan tanaman lain. Lama sewa tanah pelaba pura ini adalah 10 tahun dengan sistem perjanjian yang sama dengan sewa tanah pelaba sertifikat no: 3384. Bangunan akan menjadi hak milik Desa Pakraman setelah selesai masa kontrak.

Sumberdana pembangunan sepenuhnya ditanggung oleh penyewa lahan termasuk pajak lahan dan usaha serta biaya operasional yang timbul atas pemanfaatan lahan. Selama 10 tahun masa kontrak penyewa lahan berhak atas pengelolaan lahan tersebut. Situasi lahan pelaba pura kasus 6 dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 4. Lahan pelaba pura yang dimanfaatkan sebagai TK Kumara Loka

Sumber: Survey, Juni 2013

Gambar 5. Rumah Kos

Survey, Juni 2013)

Gambar 6. Rumah Kos

Survey, Juni 2013)

Kasus 7 yakni lahan pelaba pura dengan sertifikat tanah no: 3348, dimanfaatkan sebagai jaba sisi (mandala) pura merupakan salah satu kasus pemanfaatan tanah pelaba pura yang dimanfaatkan sebagai Parhyangan. Pemanfaatan tanah pelaba pura Dalem sebagai mandala pura, didasari atas kesadaran manggala desa akan apa yang telah menjadi tata atur dalam pembangunan Parhyangan sebagaimana yang telah disuratkan dalam awig-awig. Sebelum difungsikan sebagai madya dan nistaning mandala, lahan pelaba pura merupakan lahan kosong yang dimanfaatkan sebagai areal temporal parkir kendaraan bermotor, dan tempat mempersiapkan sarana prasarana upakara yang berlangsung dipura tersebut. Secara fisik terdapat pohon beringin besar yang dipercaya sebagai stana rencang-rencang (penjaga) pura. Masyarakat secara rutin menghaturkan sesaji berupa lak-lak tape (sejenis sesaji), canang, serta prasarana persembahan lain pada linggih yang dirancang sedemikian rupa pada pohon tersebut. Petanda fisik lain, area ini diberikan

pagar guna menghindari hal-hal yang dapat mengganggu kesucian tempat areal yang dianggap tenget (angker).

Pada kasus 8, yakni tanah pelaba Pura Dalem belum bersertifikat dengan luas sebesar 60 are yang dimanfaatkan sebagai lapangan desa, dan wantilan yang didalamnya difungsikan juga sebagai kantor Desa Pakraman . Pembangunan wantilan dilaksanakan pada tahun 2003 yang digagas oleh Bendesa Pakraman dengan dasar pertimbangan bahwa desa belum mempunyai sarana yang dapat mengakomodasi krama dalam berkesenian, pementasan serta melakukan sosialisasi (siwakrama). Sebelum dimanfaatkan sebagai fungsi lapangan dan bangunan wantilan dan kantor desa di dalamnya, lahan pelaba pura ini merupakan lahan sawah yang di-sakap (digarap) oleh pemangku Pura Dalem dan Pura Kahyangan. Dalam prosesnya, sebagaimana pada kasus lainnya selalu diawali dengan ritual atau upakara yang ditujukkan guna menetralisir area lahan agar keseimbangan secara sekala niskala tetap terjaga. Pada kasus ini ditemukan fenomena metafisis terkait upaya pemindahan sumur yang mulanya hanya berupa lubang kecil dengan terjadinya kesisipan (keadaan trancendental atau oleh eliade disebut sebagai Heirofany) pada pemangku Pura Dalem. Proses perubahan sebagaimana kasus 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8.

Pada kasus 9, pemanfaatan lahan pelaba dialokasikan seluas 30 are sebagai area pemukiman pemangku Pura Dalem dan Kahyangan. Alokasi tanah pelaba pura ini sebagai salah satu bentuk rasa penghargaan dari desa untuk jasa para pemangku niasayang jagat desa Nyanggelan (Desa Pakraman Panjer). Insentif ini berlaku bagi para pemangku yang mengabdikan dirinya sebagai pemangku Pura Dalem dan kahyangan, sedangkan bagi mereka keluarga pemangku yang berhenti menjadi pemangku tidak diperkenankan untuk bermukim pada tanah tersebut. Guna memproteksi nilai fisik dan invasi ruang oleh pemangku kearah Pura Dalem, desa mensiasatinya dengan mengalokasikan Pura Taman sebagai pembatas fisik antara pura dengan areal pemukiman. Upakara yang dipersembahkan atas dasar lahan tersebut merupakan lahan pura, dilakukan pada pelinggih pemerajan masing-masing keluarga.

Pada kasus 10, yakni tanah pelaba Pura Subak dengan sertifikat no: 2309. Tanah pelaba Pura subak berlokasi jauh dari lokasi puranya di areal Pura Bale Agung Desa Pakraman Panjer. Areal lahan merupakan Persil hasil Land Consolidation yang dilaksanakan pada Tahun 1990. Dasar pertimbangan dilakukannya perubahan pemanfaatan lahan dikarenakan kebutuhan akan fasilitas pendidikan desa sudah tidak representatif, yang awalnya berlokasi di pertigaan Jalan Waturenggong pada lahan pelaba Pura Puseh yang dibangun secara temporer oleh desa (Wayan Budiana, 15 Juni 2013). Segala bentuk pembiayaan yang muncul dari dimanfaatkannya lahan tersebut ditanggung oleh desa yang didukung dari dana bantuan dinas pendidikan. Implementasi fungsi baru ini mengakibatkan dilibatkannya pemerintah dalam bentuk pembiayaan operasional.(Gusti Made Anom, 16 Juni 2013). Dalam kasus ini terdapat juga fenomena yang menarik yakni terjadi hal yang cukup meresahkan murid-murid dalam kegiatan belajar di kelas. Terdapat tempat yang dianggap “tenget” bagi masyarakat.

Gambar 7. Jaba sisi pura

Sumber: Survey, 2013

Gambar 8. Pelinggih (Pemandian Dedari)

Sumber: Survey, 2013

Gambar 9. Permukiman pemangku

Sumber: Survey, 2013

Sumber: Survey, 2013

Berdasarkan perubahan kasus-perkasus tersebut, didapatkan beberapa tema temuan yang akan menjadi bagian pembentuk gambaran utuh terjadinya rekonsepsualisasi antara lain ada perbedaan waktu perubahan, tipe jalan desa dan jalan lingkungan, kemudian jarak, dalam setiap kasus perubahan juga mempunyai dasar pertimbangannya sendiri, dari dasar pertimbangan tersebut muncul guna lahan baru (terjadi diversifikasi tata guna lahan), terdapat sequen pada proses perubahan yang didahului dengan rapat desa (paruman), kemudian pengurusan ijin peruntukan lahan ke pemerintah kota, prosesi ritual, dan muncul proses baru yakni tukar guling pada beberapa kasus. Temuan berikutnya yakni sumber dana pembangunan yang sekarang telah melibatkan pemerintah dan pihak swasta dalam pembangunan fungsi baru, biaya operasional pemanfaatan lahan yang sekarang tidak lagi ditanggung oleh penyakap (Desa Pakraman mempunyai peran vital dalam pembiayaan operasional). Temuan berikutnya yaitu munculnya pihak swasta dalam pengelolaan lahan serta terjadi perubahan fisik pada lahan. Terakhir, distribusi pemanfaatan lahan yang cenderung masuk ke kas desa berupa uang tidak lagi sebagaimana pemanfaatan awal berupa beras dan palawija

Terdapat perbedaan waktu perubahan yang menandakan bahwa di setiap perubahan yang terjadi dilatarbelakangi oleh hal yang berbeda dan atas dasar tujuan yang berbeda pula. Beberapa diantaranya yakni pada tahun 1960 yakni dimanfaatkannya lahan pelaba pura sebagai pemukiman pemangku, pada tahun 1995 perubahan pada fungsi tanah pelaba Pura Dalem menjadi pasar Nyanggelan, pada tahun 2003, terjadi pada 4 kasus yakni tanah pelaba Pura Subak yang dirubah menjadi fungsi toko, tanah pelaba Pura Dalem yang dimanfaatkan sebagai jalan desa dan wantilan, pada tahun 2005 pada lahan pelaba

Pura Dalem sebagai TK Kumara Loka, pada tahun 2010 dimanfaatkannya tanah pelaba Pura Dalem sebagai perumahan, dan pada tahun 2012 lahan pelaba Pura Dalem kembali dimanfaatkan sebagai lahan perumahan. Ditemukan juga adanya pengaruh tipe jalan dalam perubahan. Tema temuan ini berkaitan dengan nilai lahan.Tipe jalan di sekitar lahan pelaba dapat dibedakan menjadi tipe jalan desa dan jalan lingkungan. Dengan adanya perbedaan tipe jalan ini mengindikasikan adanya perbedaan nilai strategisitas lahan, dimana lahan pelaba yang mempunyai akses berupa jalan desa akan mempunyai nilai strategisitas yang lebih tinggi dari pada jalan lingkungan. Beberapa lahan pelaba yang mempunyai akses berupa jalan desa yakni lahan pelaba Pura Puseh (kasus 1), dan lahan pelaba Pura Dalem dengan fungsi sebagai pasar desa (kasus 2) sedangkan sisanya mempunyai akses berupa jalan lingkungan. Disisi lain ditemukan pengaruh jarak lahan pelaba ke pura yang bersangkutan. Setiap lahan pelaba pura terletak dengan jarak yang berbeda-beda jika ditarik pura yang bersangkutan sebagai sumbunya. Jarak tersebut diterjemahkan kedalam skala dekat (<15 m), sedang (15 m-30 m) dan jauh (> 30 m). Jarak tersebut ternyata berdampak terhadap bagaimana krama desa pakraman memanfaatkan lahan pelaba-nya. Lahan pelaba pura yang termasuk dalam kategori dekat diantaranya lahan pelaba Pura Puseh (kasus 1), lahan pelaba Pura Dalem (kasus 2, 3, 7 dan 8), kategori sedang yakni lahan pelaba Pura Dalem (kasus 4, dan, 9) dan yang termasuk dalam kategori jauh yakni pada kasus (5, 6, dan 10).

Setiap perubahan selalu diawali dengan dasar pertimbangan perubahan. Perubahan pemanfaatan lahan pelaba pura di Desa Pakraman Panjer terjadi dengan dasar pertimbangan yang beragam. Pada kasus 1 pada awalnya didasari atas pemenuhan akan kebutuhan fasilitas pendidikan yang kemudian bergerak kearah pemanfaatan sebagai zona komersial akibat adanya kesempatan untuk merelokasi zona pendidikan atas pertimbangan kurang representatifnya fungsi pendidikan pada zona strategis. Di sisi lain nilai sosial dan ekonomi dapat dikatakan menjadi pertimbangan lain yang tersirat jika dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kesejahteraan anggota krama desa. Prioritas atas dasar pertimbangan belum tersedianya fasilitas di desa juga ditemukan pada kasus 4, 8 dan 10. Perubahan pemanfaatan lahan pelaba pura juga didasari atas faktor sosial yang terdapat pada kasus 1, 3, 4, 7, 8, 9, dan 10 dan dasar pertimbangan ekonomi pada kasus 1, 2, 3, 5, dan 6. Dari data ini, faktor pertimbangan yang dominan muncul adalah faktor sosial, kemudian diikuti dengan faktor ekonomi, dan faktor tersedianya fasilitas desa.

Perubahan fungsi yang terjadi mengakibatkan berubahnya tata guna lahan. Pada awalnya merupakan lahan terbuka hijau produktif, sekarang tata guna lahannya antara lain fungsi perdagangan pada kasus 1 dan 2, guna lahan sebagai fasilitas umum pada kasus 3 dan 4, guna lahan dengan fungsi pemukiman pada kasus 5, 6, dan 9, tata guna lahan dengan fungsi sebagai pendidikan pada kasus 8 dan 10, fungsi pemerintahan dan sebagai ruang terbuka hijau pada kasus 8. Perubahan guna lahan pelaba pura dapat dilihat pada Gambar 11 sebagai berikut:

Gambar 11. Perubahan Tata Guna Lahan Pelaba Pura di Desa Pakraman Panjer

Sumber: Survey 2013

Temuan yang lain adalah terdapat sequen pada prosesnya. Gagasan yang muncul selalu di kaji terlebih dahulu melalui rapat atau musyawarah di tingkat Desa Pakraman, kemudian gagasan tersebut di ajukan ke pemerintah dalam hal ini pihak walikota Denpasar untuk mendapatkan persetujuan atas peruntukannya, baru kemudian sebelum melaksanakan proses pembangunan (perubahan pemanfaatan lahan) selalu dilakukan ritual (caru sapuh au) guna menetralisir atau menyeimbangkan lahan secara sekala maupun niskala dan pada tanah yang merupakan lahan sawah dengan diadakannya upakara Ngingsirang Bethari Sri. Dalam beberapa kasus juga dilaksanakan mekanisme tukar guling atas berbagai pertimbangan pada kasus 1, 4, dan 10. Pada tahun 1980 (perkembangan perkotaan belum menyentuh Panjer), dalam pengelolaannya sama sekali tidak ditemukan peran pemerintah begitu juga halnya dengan pihak swasta, yang dilibatkan hanyalah manggala Desa Pakraman, Kertha dan Sabha Desa sebagai penasehat atau legislatif di desa, dalam proses perubahan juga ditemukan dilakukannya tukar guling pada kasus no 1, 4, dan 10. Skema dari sequen prosesnya dapat dilihat pada Tabel 3, sebagai berikut.

Tabel 3. Proses perubahan pemanfaatan lahan pelaba pura

Skema Perubahan

Dulu

Paruman

O                              ∙    Upakara caru sapuh au

r                                 ►

Ijin peruntukan

Sekarang

Upakara caru        n    Pihak swasta

Upakara caru sapuh au              -----------------►

n            a                            o  Organisasi desa

Paruman

Tukar guling -------------►

Temuan lain yakni terdapat beberapa sumber pendanaan untuk melaksanakan pembangunan baik fisik dan non fisik. Sebagian besar sumber dana dialokasikan dari

hasil pengelolaan lahan pelaba pura. Beberapa sumber dana didapatkan dari pemerintah dengan dasar proposal yakni pada kasus 2, 8, dan 10. Sumber pendanaan dari pihak swasta ditemukan pada kasus no 5 dan 6 (fungsi rumah kos) yang dilakukan dengan sistem Build Operasional Transfer. Sebelumnya pendanaan pengelolaan lahan diserahkan sepenuhnya kepada penyakap lahan. Lebih jelas lihat pada Gambar 12. sebagai berikut:

Gambar 12. Skema perubahan sumber dana pembangunan

Dengan bertambahnya pihak-pihak yang turut berperan mendanai pembiayaan pembangunan mengakibatkan modal keuangan Desa Pakraman menjadi semakin kuat terlebih sisa dana pembangunan diinvestasikan guna menambah dana abadi di LPD Desa Pakraman (Wayan Rastina, wawancara tanggal 15 mei 2013). Pembiayaan operasional atas biaya-biaya yang timbul dari pemanfaatan atas lahan pada fungsi yang baru dikeluarkan oleh Desa Pakraman. Pengempon sekarang tidak dilibatkan dalam pembiayaan hanya sebatas pada lahan pelaba pura sebagai tempat tinggalnya saja. Pada kasus 1 dan 2, biaya operasional dilakukan oleh para penyewa kios/toko/dari Desa Pakraman pada fungsi kantor LPD yang dianggarkan dari dana abadi yang terbentuk.

Temuan lain yakni terjadi perubahan fisik pada lahan terutama pada lahan-lahan pelaba pura yang radiusnya kurang dari 15 m, atau dapat dimasukkan ke dalam jarak yang cukup dekat dari pura antara lain pada kasus 1 berupa dipindahkannya batu besar yang mulanya berada di lahan pelaba pura ke areal pura, tidak ditebangnya pohon jepun, Perubahan lain pada aspek fisik yakni perubahan radius kesucian pura “gegaleng”. Skema perubahan dapat dilihat pada Gambar 13 sebagai berikut.

Gambar 13. Skema Radius Kesucian Pura yang Menyempit

Berikutnya, sebagian besar pemanfaatan lahan (hasil retribusi, sewa lahan) menghasilkan keuntungan berupa uang tidak sebagaimana pemanfaatan lahan sawah dan ladang dengan hasil pemanfaatan berupa beras dan palawija. Hasil atau laba yang diperoleh dari pemanfaatan lahan tersebut sebagian besar dialokasikan ke kas desa baru kemudian dianggarkan untuk berbagai macam kepentingan pembangunan, pengelolaan bahkan gaji dari pada manggala dan prajuru Desa Pakraman. Pada kasus pemanfaatan lahan pelaba sebagai pemukiman pemangku dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan pemangku. Sistem pembagian distribusi ini merupakan suatu sistem yang baru, dulunya pembagian hasil pemanfaatan lahan didistribusikan kepada pemangku sebagai penyakap lahan.

Ritual yang berkaitan di pelaba pura tetap dilaksanakan pada setiap kasus. Upakara dilaksanakan pada setiap hari-hari besar keagamaan, dan hari-hari tertentu seperti Tumpek Bubuh, Purnama, Tilem dan hari suci lainnya selalu dilaksanakan upakara, yang ditujukan ke masing-masing pelaba pura dengan menghaturkan persembahan pada masing-masing pelinggih di lahan pelaba pura. Perubahan yang terjadi hanya pada lokasi dilakukannya upakara, dimana sebelumnya dilakukan pada areal-areal yang dianggap “tenget”, sekarang dilakukan pada pelinggih, dan pada lahan pelaba yang tidak dibangun pelinggih upakara di lakukan di pura.

Keberadaan pelaba pura juga ternyata identik dengan nilai-nilai metafisis, sebuah sikap mental krama desa pakraman dalam menyikapi kehidupan. Nilai-nilai dinamisme tersirat dari setiap fenomena transcendental yang muncul pada kasus-perkasus. Pada kasus 1, masyarakat mempercayai bahwa terdapat kekuatan magis dalam batu besar yang disebut dengan Ratu Gde Muntung. Terdapatnya pemandian dedari pada kasus 8 yakni tanah pelaba pura sebagai fungsi wantilan dan lapangan desa. Terdapat area tenget pada kasus pelaba Pura Subak (kasus 10). Pohon besar pada area jaba sisi Pura Dalem. Hal yang lain yakni kepercayaan masyarakat akan hal-hal yang dapat mengakibatkan "cuntaka” yang merupakan dasar pertimbangan dari difungsikannya lahan pelaba sebagai jalan desa. Hanya pada beberapa kasus, hal-hal supernatural ini tidak ditemukan di antara pada kasus 4, 5 dan 6.

Keterkaitan Antar Tema Temuan

Terdapat keterkaitan antara waktu perubahan dan tata guna lahan. Berdasarkan kurun waktu dapat klasifikasikan menjadi 5 periode yakni sebelum tahun 1980, 1990, periode 1995, periode 2003-2005 dan periode 2010-2012 dengan masing masing tata guna lahan pada setiap periodenya mempunyai karakteristik tertentu yang diduga mewakili kondisi yang melatarbelakangi perubahan konsepsi krama desa pakraman dalam memanfaatkan lahan pelaba-nya. Disisi lain dapat dicermati bahwa seiring bertambahnya tahun, pemanfaatan lahan pelaba cenderung mulai dimanfaatkan sebagai fungsi sekular. Sekularitas ini muncul dari tidak ditemukannya atribu-atribut keagamaan didalamnya seperti keberadaan pelinggih, upakara yang dilakukan secara ngayat, pihak pengelola yang dilakukan oleh pihak swasta khususnya pada kasus 5 dan 6. Sekularitas pemanfaatan lahan pelaba pura sebagai perumahan kos ini juga diduga memiliki keterkaitan dengan tidak adanya bentuk-bentuk kepercayaan dinamisme pada lahan sebagaimana ditemukan pada beberapa kasus lain.

Berikutnya, adalah adanya keterkaitan antara tata guna lahan dengan tipe jalan di sekitarnya. Lahan pelaba cenderung dimanfaatkan sebagai fungsi perdagangan pada lahan dengan akses berupa jalan desa dan dimanfaatkan sebagai fungsi yang lain pada lahan pelaba pura dengan akses berupa jalan lingkungan. Keterkaitan ini memberikan gambaran bahwa nilai lahan mempunyai pengaruh bagi masyarakat dalam menentukan fungsi baru pada lahan pelaba pura. Selanjutnya yakni antara jarak dan guna lahan serta perubahan fisik pada lahan, semakin jauh jarak lahan pelaba fungsinya cenderung sekular dimana semakin jauh jarak pelaba dari pura maka semakin berkurang kontrol radius kesuciannya. Hal lain yang menguatkan yakni semakin dekat jaraknya dengan pura selalu diikuti dengan munculnya gegaleng (fisik) pada fungsi yang baru.

Lahan pelaba cenderung dimanfaatkan sebagai fungsi sekular jika tidak ditemukan area yang dianggap “tenget” atau benda-benda sakral pada lahan. Nilai kepercayaan ini memegang peranan penting dalam setiap keputusan pemanfaatan lahan, dan sebaliknya, kontrol fungsi lahan akan semakin kuat jika pada lahan ditemukan tempat-tempat yang dipercayai memiliki kekuatan gaib atau dianggap “tenget”. Adanya keterkaitan antara pihak pengelola lahan dengan bagaimana krama desa pakraman melangsungkan upacara. Keterlibatan pihak swasta pada fungsi yang baru mengakibatkan upakara tidak lagi dilaksanakan pada lahan serta pindahnya lokasi upakara akibat adanya Aktivitas baru yang sekular pada lahan pelaba. Keterkaitan antara kepercayaan dinamisme dan perubahan fisik pada lahan. Keberadaan benda-benda atau lokasi-lokasi yang memiliki nilai sakral cenderung dipertegas secara fisik apabila Aktivitas sekular mulai memasuki ruang-ruang sakral tersebut.

Latar Belakang dan Gambaran Perubahan Konsepsi

Hal yang melatar belakangi berubahnya konsepsi krama desa pakraman dalam memanfaatkan lahan pelaba pura-nya akan dipaparkan dengan melihat kejadian-kejadian penting yang terjadi di Desa Pakraman Panjer sepanjang tahun 1980-2013 sebagai konteksnya.

Diketahui bahwa, sebelum tahun 1980, hampir semua lahan pelaba pura dimanfaatkan sebagai lahan sawah dan dijadikan lahan pemukiman pemangku pura. Seiring dengan berkembangnya sistem kepemerintahan pasca kemerdekaan Republik Indonesia,

pemerintah berusaha untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya dengan merekonstruksi sistem perundang-undangan agraria (terbitnya Undang-undang Pokok Agraria yang dikenal dengan istilah UUPA). Krama desa pakraman Panjer menyambut hangat sistem ini, secara perlahan status tanah ayahan desa dan pekarangan desa-pun beralih menjadi status kepemilikan penuh yang pada akhirnya melemahkan wewenang desa untuk memanfaatkan tanah adatnya. Dengan demikian, maka pada periode menjelang tahun 1995 ketika mulai dibutuhkannya lahan untuk fasilitas sosial, satu-satunya kemungkinan adalah hanya dengan memanfaatkan lahan pelaba pura.

Di lain sisi, berkembangnya Kota Denpasar, mulai mengarah keluar dan menjadikan Panjer sebagai daerah peri urban. Berbagai bentuk perencanaan direncanakan pemerintah guna menjembatani perkembangan kota, salah satunya dengan munculnya program Land Consolidation. Pasca diimplementasikannya program ini krama desa pakraman mulai melihat peluang diluar sektor agraris yang kemudian men-difersifikasikan mata pencahariannya. Beriringan dengan hal tersebut migrasi penduduk ke Panjer semakin deras, kebutuhan akan lahan semakin meningkat yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan secara besar-besaran di kawasan Panjer. Krama desa mulai berpikir untuk memindahkan benda-benda sakral dari lahan pelaba pura ke areal pura. (awal mula perubahan pada kasus 1). Perubahan secara perlahan mulai direncakan, hingga pada akhirnya mulai terlihat munculnya gagasan terkait pemanfaatan pelaba pura menjadi fungsi yang baru memasuki awal tahun 1995. Sehingga dapat dikatakan latar belakang yang mengawali terjadinya perubahan pasca periode 1980 yakni dimplementasikannya program Land Consolidation.

Periode ketiga yakni perubahan yang terjadi pada tahun 1995 dasar pertimbangan dibangunnya pasar yakni disebabkan oleh karena semakin mendesaknya kebutuhan akan fasilitas pasar. Dengan tidak adanya lahan desa yang secara khusus disediakan untuk fungsi pasar, maka krama pakraman Panjer mulai melirik lahan pelaba pura yang kondisinya memang sangat memungkinkan selain merupakan lahan tidur, juga merupakan satu-satunya lahan yang mudah diaplikasikan baik dalam yuridisial ataupun kemudahan lainnya sehingga terpilihlah lahan pelaba Pura Dalem sebagai lahan Pasar dengan pertimbangan pemilihan lokasi atas dasar luasan serta aksesbilitas.

Memasuki awal tahun 2003, biaya pererainan mulai meningkat, masyarakat mulai menjadi sibuk dengan pekerjaan barunya, dan kemudian muncul ide untuk mempermudah sistem pakraman dalam pembiayaan yadnya sebagaimana pernyataan Wayan Budiana sebagai berikut:

“menginjak tahun 2003, mulai dirasakan bahwa diperlukan sebuah langkah untuk memperkuat permodalan desa dalam hal pembiayaan pererainan, masyarakat mulai merasa keberatan atas urunan yang dilimpahkan setiap diberlangsungkannya piodalan. Hal tersebut juga disebabkan karena lahan pelaba pura tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya atau sebagai lahan tidur” (wawancara 16 Juni 2013)

Beban finansial yang menekan krama desa pakraman pada saat itu diantaranya yakni akan diadakannya upacara Ngenteg Linggih yang menghabiskan dana lumayan besar, sudah tidak representatifnya kantor pemerintahan desa, dan hal lain yang mempengaruhi krama desa pakraman dalam memanfaatkan lahan pelaba menjadi fungsi yang baru yakni mulai dilihat meningkatnya produktivitas LPD yang mengakibatkan krama mulai merencanakan tempat yang lebih representatif untuk gedung LPD yang baru dimana pada

mulanya berada di jaba sisi Pura Puseh. Kebutuhan akan ruang terbuka juga menjadi suatu kebutuhan tersendiri bagi krama pakraman oleh karena semakin tingginya alih fungsi lahan di Desa Pakraman Panjer. Disinilah arah pandang krama desa pakraman mulai berorientasi pada profit sehingga lahan pelaba lebih cenderung dilihat dari sisi nilai strategisinya, krama desa pakraman akan memilih lahan lebih menguntungkan dan yang tepat guna menampung fungsi sosial (non-profit). Pada fase ini dapat dikatakan manufer konseptual cukup jelas dapat dilihat, bagaimana nilai-nilai ekonomis mulai menjadi prioritas dengan munculnya fungsi toko, dan LPD pada lahan pelaba pura yang mempunyai nilai strategisitas yang tinggi. Sedangkan fungsi lain muncul pada lahan yang memiliki nilai strategisitas yang lebih rendah. Sehingga pada fase ini dapat disimpulkan bahwa yang melatarbelakangi terjadinya perubahan yakni tekanan ekonomi dan sosial.

Fase terakhir pada periode tahun 2010-2012, terlihat sequent perubahan cara pandang krama desa pakraman semakin berorientasi kearah peningkatan modal keuangan. Dengan cara pandang yang semakin rasional, krama mulai melihat adanya peluang dengan menginterpretasikan kembali nilai-nilai keruangan, dengan beberapa variabel yang dapat dilihat yakni adanya jarak dan tata guna lahan. Interpretasi ruang yang sakral dan profan dilihat sebagai sebuah ruang yang memiliki deviasi hirarki. Semakin jauh jarak semakin hilang kontrol “rasa” serta proteksi terhadap fungsi lahan. Pada fase ini juga nampak bahwa fungsi sekular dapat diterima dengan syarat “munculnya fenomena negosiasi nilai ruang” berupa pembatas fisik yang mereka sebut dengan gegaleng pura. Pada fase ini juga dapat dikatakan fase dimana mulai munculnya keterkaitan adanya semakin dekat dengan tempat-tempat yang dianggap “sakral” maka semakin tegas pembatas fisik sebagai zona proteksi terhadap nilai-nilai kesuciannya. Ruang–ruang ekonomis semakin melebar mengeliminasi ruang–ruang religi hingga sampai pada batasan tertentu oleh karena masih dipertahankannya aspek kepercayaan didalam peta mental krama pakraman. Fungsi yang muncul pada akhirnya nampak jauh keluar dari fungsi-fungsi religius dengan merujuk pada tidak ditemukannya pelinggih, atau ritus simbolik sebagai petanda bahwa lahan pelaba tersebut merupakan lahan yang mempunyai nilai “sakral”. Dengan demikian dapat dikatakan latar belakang perubahan konsep krama desa pakraman pada periode ini dilatarbelakangi oleh pola pikir masyarakat yang cenderung rasional-kapital atau bergerak sebagai masyarakat “pemodal.”

Dari munculnya berbagai keadaan pada setiap fasenya, dapat dilihat bahwa krama desa pakraman melalui pihak yang berwenang mulai memikirkan cara-cara baru dalam memanfaatkan lahannya. Hal ini dapat dicermati sebagaimana pemahaman mengenai perubahan dimana manusia senantiasa berusaha untuk menyeimbangkan dirinya, senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan (Merton dalam Ritzer 1992). Sehingga uupaya untuk merekonsepsi kembali yang dilakukan oleh krama desa pakraman Panjer dapat dipahami sebuah upaya untuk “menghidupkan” kembali manusia.

Berdasarkan berbagai bentuk rekonseptualisasi yang dilakukan di atas maka dapat dipahami berbagai bentuk perubahan yang nampak sekarang adalah sebuah kristalisasi konseptual yang telah berubah dari sebagaimana awalnya konsepsi pemanfaatan lahan pada sebelum tahun 1980. Dari dinamika yang terjadi, ternyata memberikan warna pada

berbagai aspek yang terkait dengan pemanfaatan lahan pelaba pura itu sendiri diantaranya adalah aspek-aspek yang dipaparkan dalam paragraf berikut ini.

Aspek kepercayaan yang cenderung tetap, tidak terjadi perubahan dalam masyarakat dalam memandang tempat-tempat yang dipercayai mempunyai kekuatan gaib dan kepercayaan lain terkait dengan keberadaan lahan pelaba pura. Upakara adalah salah satu unsur yang tidak mengalami perubahan secara signifikan, yang berubah hanyalah tempat melaksanakan upakara tersebut. Mekanisme pemanfaatan lahan dan peran lahan pelaba pura adalah dua aspek yang terdeviasi namun masih bersinggungan dengan wilayah "sakral" sehingga beberapa elemen didalamnya tidak berubah, sedangkan yang berubah dapat dipastikan adalah elemen-elemen penunjang atau pelengkap. (lihat kembali bangun pemahaman mengenai dokotomi sakral-profan, Marcia Eliade yang menjelaskan bahwa nilai sakral muncul dari pemetaan pemikiran yang disebut dengan keadaan heirophany). Sehingga aspek-aspek yang berada di wilayah “manusia” seperti organisasi masyarakat yang terkait dengan fungsi pelaba pura, pembiayaan operasional pemanfaatan lahan, pengelolaan dan distribusi hasil mengalami perubahan yang cukup signifikan. Didalam peran daripada lahan pelaba pura selain cenderung tetap secara umum adalah meluas. Peran sosial semakin menguat, peran ekonomi dari pada lahan pelaba pura yang sudah dapat dipastikan meningkat sangat signifikan.

Berkembangnya akumulasi modal desa yang ditanamkan di LPD, meningkatnya penghasilan pasar desa, peningkatan retribusi penyewaan lahan menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek pembiayaan. Sekarang, desa pakraman mengambil alih kepengelolaan dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap biaya-biaya yang timbul, maka hasil pemanfaatan lahan juga sepenuhnya masuk ke Desa Pakraman, baru kemudian di distribusikan pada kegiatan lain dengan pengajuan proposal anggaran. Sebelumnya, segala bentuk pembiayaan yang muncul dibiayai oleh para penyakap lahan masing-masing. Keterlibatan Desa Pakraman hanya sebagai lembaga yang mengkoordinasi hak-hak pengelolaan petak lahan. Dengan memusatnya pengaturan pembiayaan di desa, maka distribusi hasilnya pun mengerucut ke desa tidak lagi ke penyakap, atau pengempon pura.

Terjadi perubahan konsep keruangan pada pemanfaatan lahan pelaba pura diantaranya yakni fungsi lahan pasca perubahan, dan setting gegaleng. Fungsi lahan sebagaimana data rekonstruksi pada setiap kasus sebelumnya merupakan lahan sawah, dan berubah secara perlahan menjadi lahan ladang dan kemudian menjadi berberapa fungsi baru sesuai dengan dasar pertimbangannya masing-masing. Terkait dengan nilai religius lahan pelaba pura dan kebutuhan akan ruang (fungsi baru), maka tata aturnya adalah merupakan hasil sintesa dari dualisme sisi keruangan tersebut. Unsur-unsur yang nampak pada data yakni perubahan interpretasi mengenai jarak gegaleng sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dimana dulunya selebar apanimpug, dan sekarang diterjemahkan kedalam adepa agung yang merupakan jarak batas antara aktivitas sakral dengan aktivitas yang berdimensi sekular. Rentang nilai ruang ekonomis semakin melebar hingga berhenti ketika menyentuh batas-batas norma yang dilandaskan atas etika, tatwa dan upakara. Implementasinya dapat dilihat dari berbagai bentuk pengaturan yang timbul disekeliling pura dengan pengaturan zona-zona dan pembatas fisik di lahan pelaba pura. Misalnya pada kasus 1: gegaleng selebar adepa agung, kasus 2: diplotnya bale desa, dan bale banten sebagai pembatas Pura Dalem dengan pasar, kasus 3: jalan desa yang

digunakan untuk menghindari sawa melintasi areal Pura Dalem, kasus 9: di plotnya Pura Taman sebagai pembatas fisik antara permukiman pemangku dan Pura Dalem.

Dari sekian pemaparan mengenai perubahan konseptual serta tingkatan perubahan yang terjadi dapat dilihat gambaran besar perubahan konseptual krama desa pakraman dalam memanfaatkan lahan pelaba-nya diantaranya bahwa lahan pelaba pura bukan lagi sepenuhnya milik pura, melainkan milik pura dan desa atau dengan kata lain perannya meluas. Meluasnya peran dan fungsi dari lahan pelaba ini menandakan bahwa esensi lahan pelaba pura yang dulunya sebagai sebidang tanah yang dimanfaatkan guna memberikan keuntungan guna menunjang keberadaan pura, sekarang telah bergeser menjadi sebidang tanah yang dimanfaatkan guna menunjang keberadaan Desa Pakraman dan pura. Makna kata laba yang sebelumnya dimaknai lebih pada nilai keuntungan sosial-religius sekarang lebih pada keuntungan dalam cara pandang kapitalistik atau materiil dengan melihat bahwa peran ekonomis daripada lahan cenderung menguat, dan terjadi perubahan konsep keruangan pada tata atur zonasi pelaba pura.

Simpulan

Terdapat 12 tema temuan diantaranya yakni 1) Ada perbedaan waktu dengan masing-masing karakteristik perubahannya, 2) Masing-masing pelaba pura berdekatan dengan beberapa tipe jalan dengan yang ternyata mempunyai pengaruh terhadap bagaimana krama pakraman memanfaatkan lahannya, 3) mempunyai jarak yang berbeda terhadap pura inti, 4) masing-masing memiliki dasar perubahan yang berbeda-beda, 5) terjadi perubahan tata guna lahan, 6) terjadi perubahan mekanisme atau proses pemanfaatan lahan,7) perluasan sumber dana pembangunan, 8) perubahan manajemen pembiayaan pemanfaatan lahan, terjadi perubahan fisik pada lahan, 9) perubahan fisik pada lahan, 10) perubahan sistem distribusi hasil pemanfaatan lahan, 11) perubahan tata cara pelaksanaan upakara, dan 12) terdapat unsur kepercayaan dinanisme pada masyarakat dalam memanfaatkan lahan pelaba puranya.

Dari ke 12 tema temuan ini terdapat beberapa keterkaitan diantaranya yakni terdapat keterkaitan antara waktu dan fungsi lahan dimana semakin beranjak periode semakin kompleks fungsinya. Terdapat keterkaitan antara waktu dan sekularitas fungsi lahan, dimana semakin mendekati tahun 2013 semakin sekular pemanfaatannya. Cara pandang kraman pakraman mulai menjadi lebih rasional atau mulai mengarah pada pola pikir sebagai masyarakat pemodal. Terdapat keterkaitan antara tipe jalan dan fungsi lahan, kecenderungan bahwa pada posisi lahan yang bersebelahan dengan persimpangan akan dimanfaatkan sebagai fungsi ekonomi dan sebaliknya pada jalan lingkungan kecenderungan akan dimanfaatkan sebagai fungsi sosial, Disamping itu juga terdapat keterkaitan antara kepercayaan dan tata guna lahan, dimana pada setiap lahan yang dipercayaai mempunyai nilai-nilai metafisis maka krama pakraman akan sangat hati-hati dalam mengimplementasikan fungsi didalamnya, dan terakhir terdapat keterkaitan antara jarak dan pengaturan fisik pada lahan, dimana semakin jauh jarak maka semakin sekular fungsinya dan berlaku sebaliknya semakin dekat maka semakin sakral fungsinya, pengaturan fisik dipertegas dengan tata atur zonasi sebagai "gegaleng" pura.

Dengan memaparkannya menjadi satu kesatuan maka diketahui juga latar belakang perubahan adalah berbeda-beda sebagaimana masing masing periode perubahan diantarana yakni periode 1 (sebelum tahun 1980) dilatarbelakangi oleh perubahan sistem pertanahan, (tahun 1990) diimplementasikannya Land Consolidation, (2003-2005)

kebutuhan akan fasilitas desa, tekanan ekonomi dan sosial, dan (pada tahun 2010-2012) adanya keinginan untuk memperkuat modal keuangan desa pakraman.

Perubahan terjadi sangat mendasar, krama pakraman semakin berpikir secara rasional atau menerapkan pola pikir selayaknya masyarakat pemodal, walaupun demikian nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam adat mereka tetap dipertahankan, sehingga terjadi proses "negosiasi" terhadap ruang-ruang pada lahan pelaba pura. Secara konseptual tidak terjadi perubahan, esensi lahan pelaba pura masih sebagai lahan yang dimanfaatkan guna menunjang pura, walaupun ditemukan pada periode tahun 2010-2012 karena surplus pendapatan akibat pemanfaatannya sebagai fungsi ekonomis maka selain digunakan untuk menunjang pura juga digunakan untuki menunjang kehidupan desa pakraman.

Daftar Pustaka

Ambara, I G N P (2006) 'Eksistensi Tanah-Tanah milik Pura Desa Pakraman Di Kota Denpasar' Thesis program studi magister kenotariatan Universtas Diponegoro Semarang.

Artadi, I K (2001) Kebudayaan Spiritualitas, Nilai Makna dan Martabat Kebudayaan Denpasar: PT. Offset BP.

Budiana, I N (1998) 'Memahami Keberadaan Palemahan Tanah Pekarangan Desa dan Tanah Ayahan Desa di Bali (Suatu Pendekatan dari Aspek Hukum Adat di Bali)' Widya Satya Dharma Jurnal Kajian Hindu, Budaya dan Pengembangan Edisi Nyepi Vol. 5 N, Maret-Oktober, Singaraja: STIE Satya Dharma.

Brouwer, M A W Psikologi Fenomenologis Jakarta: PT. Gramedia

Bushar M (1988) Pokok-pokok Hukum Adat Jakarta: PT Pradnya Paramitha.

Creswell, J W (2003) Research design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods. Approaches New York: SAGE.

Dharmayuda, I M S (2001) Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali Denpasar: PT. Upada Sastra bekerjasama dengan Yayasan Adi Karya IKAPI dan The Ford Foundation.

Effendi, S dan Singarimbun, M (1989) Metode Penelitian Survey Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Eliade, M (1961) The Sacred anf Profane, terjemahan dari Bahasa Perancis oleh Willard R. Trask, New York: Harper & Row Publishers.

Moleong, L J (1993) Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suasthawa, M D (1987) Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya UUPA, Denpasar: CV. Kayu Ma.

120     SPACE - VOLUME 2, NO. 1, APRIL 2015