RUANG


KARAKTER TAPAK PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA DENPASAR

SPACE


Oleh: Ayu Wadhanti 1

Abstract

This article examines the development of slum settlements across Denpasar City. The government's latest identification shows 35 slum areas expanding in four districts of North, West, East and South Denpasar. Each exhibits a specific stage of development, which varies from one slum to another. This research attempts to understand the spatial characteristics of slum settlements, by studying both determining factors and processes. Qualitative research methods are used for 8 selected case studies. What emerges is that slums have been developed either on rented land or within inadequately constructed buildings. Dominant influences include the provision of infrastructure; building form and materials in use; occupation and social conditions of the inhabitants. Additionally, these areas tend to grow in unprotected land/space located along rivers; within settlement areas; within the city's economic centre; within a neglected building; and on unproductive land consequent upon specific government activities and programs.

Key words: Slums, development factor, site

Abstrak

Artikel ini mengkaji proses kemunculan permukiman kumuh di Kota Denpasar. Berdasarkan identifikasi terakhir yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar, terdapat 35 titik kumuh yang tersebar di empat kecamatan, yaitu Denpasar Utara, Selatan, Timur dan Barat. Masing-masing menunjukan tahapan perkembangan yang spesifik, serta berbeda antara satu dengan yang lainnya. Penelitian ini mencoba memahami karakteristik dari ruang-ruang kota yang memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi permukiman kumuh, dengan mengkaji faktor-faktor penentu serta proses kemunculannya. Metode penelitian kualitatif telah digunakan dalam mengkaji kondisi ini di 8 titik kumuh. Ditemukan bahwa, permukiman informal cenderung muncul di atas dua tipe lahan, yaitu lahan sewa dan lahan tidak dipakai yang ada pada site-site konstruksi. Faktor-faktor penentu perkembangannya termasuk keberadaan infrastruktur pendukung permukiman; adanya bangunan yang terbengkelai; keberadaan bahan bangunan; ketersediaan pekerjaan di area sekitarnya; serta kondisi sosial penghuni. Sementara itu, karakter ruang dalam kota yang memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi permukiman kumuh adalah lahan yang bersebelahan dengan sungai; berada di area permukiman; berdekatan dengan pusat kota; memiliki bangunan yang tidak terpakai; merupakan lahan negara yang tidak terpakai karena adanya kegitan atau rencana khusus pemerintah yang belum diaktualisasikan.

Kata kunci: Permukiman kumuh, faktor pembangunan, tapak

Pendahuluan

Masalah permukiman kumuh dewasa ini menjadi tantangan yang berat untuk ditangani oleh masyarakat maupun pemerintah. Keberadaan permukiman kumuh di kota-kota besar umumnya memunculkan berbagai dampak negatif, baik bagi penghuni maupun masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dalam sambutan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) (seperti dikutip dalam Lensaindonesia, Senin 1 Oktober 2012), pada peringatan Hari Habitat Dunia tanggal 1 Oktober 2012, dikatakan bahwa Indonesia saat ini cenderung mengalami peningkatan luasan permukiman kumuh yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Kantong-kantong permukiman kumuh di Indonesia terus bertambah dengan kecepatan sekitar 1,37 % pertahun. Pada saat ini, luas permukiman kumuh telah mencapai 57.800 Ha (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 dalam Lensaindonesia, Senin 1 Oktober 2012).

Untuk menghadapi masalah permukiman kumuh, Menpera Djan Faridz (2012) mengatakan bahwa penanganannya di Indonesia pada dasarnya telah direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah, usaha ini terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Beberapa kebijakan yang terkait permukiman kumuh yang telah dikembangkan dan diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan juga telah dilakukan (Lensaindonesia, Senin 1 Oktober 2012).

Kota Denpasar merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang tidak terhindar dari permasalahan permukiman kumuh. Berdasarkan observasi awal (2012) diketahui bahwa permukiman kumuh di Kota Denpasar telah ada sejak tahun 1967. Bila melihat Keputusan Walikota Denpasar tanggal 23 Juli 2012 No. 188.45/509/HK/2012 tentang Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh di Kota Denpasar, diketahui bahwa Kota Denpasar saat penelitian dilaksanakan memiliki 35 titik permukiman kumuh yang tersebar di 4 kecamatan, yakni: Kecamatan Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan dan Denpasar Barat.

Dalam penanganan permukiman kumuh di Kota Denpasar, pihak pemerintah kota telah berupaya melakukan beberapa kegiatan untuk mengatasi masalah permukiman ilegal ini. Beberapa kegiatan yang telah diupayakan yaitu dengan merancang Detailed Engineering Design (DED) yaitu gambar desain dalam menata sebuah kawasan untuk menata permukiman kumuh di Kota Denpasar. Kegiatan bedah rumah yang menyasar rumah-rumah penduduk pada beberapa kawasan permukiman kumuh di Kota Denpasar juga telah dilaksanakan. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai upaya dalam penataan permukiman kumuh di Kota Denpasar.

Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa permukiman kumuh tetap tumbuh dan berkembang dibeberapa titik, diluar 35 titik kumuh yang telah diidentifikasi oleh pemerintah Kota Denpasar, seperti permukiman kumuh di Jalan A. Yani Selatan (Kampung Jawa) dan permukiman kumuh di Jalan Padang Kartika Denpasar Barat. Bila hal tersebut tidak segera ditindaklanjuti, maka kedepannya dikhawatirkan segala kegiatan yang telah diupayakan dalam rangka mencegah terbentuknya permukiman kumuh yang baru akan sia-sia. Pada saat yang sama, program penanganan permukiman kumuh yang telah dilaksanakan oleh pemerintah, penyelenggaraannya tidak merata menyentuh seluruh titik permukiman kumuh yang ada di Kota Denpasar, salah satunya adalah program perbaikan jalan lingkungan yang belum menyentuh seluruh permukiman kumuh yang ada.

Penelitian ini dilaksanakan untuk mempelajari lebih jauh tentang bagaimana proses terbentuk dan berkembangnya permukiman kumuh yang ada di Kota Denpasar, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya permukiman kumuh pada tapak yang ada di Kota Denpasar, serta kondisi tapak bagaimanakah yang memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi permukiman kumuh di Kota Denpasar. Hasil yang diperoleh melalui pelaksanaan penelitian ini diharapkan akan mampu menemukan solusi yang lebih bermanfaat dalam upaya pencegahan munculnya dan penanganan permukiman kumuh yang ada di Kota Denpasar. Lebih penting lagi adalah hasil penelitian ini akan mampu dipakai untuk mencegah tumbuhnya permukiman-permukiman kumuh yang baru.

Studi yang dilaksanakan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi dan paradigma naturalistik. Metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi digunakan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di lapangan dalam bentuk kalimat deskriptif yang dapat menggambarkan maupun menjelaskan proses terbentuk dan berkembangnya suatu permukiman kumuh di Kota Denpasar. Paradigma naturalistik digunakan karena dalam penelitian ini dilakasanakan proses penelusuran fenomena-fenomena di lapangan yang kompleks. Kompleksitas ini terjadi karena antara kawasan permukiman kumuh satu dengan lainnya memiliki karakter dan latar belakang terbentuk maupun berkembang yang berbeda.

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan melakukan penyeleksian terhadap 35 titik kumuh di Kota Denpasar yang didasarkan pada kriteria-kriteria antara lain: (1) jumlah titik permukiman kumuh terbesar di setiap kecamatan, (2) tahun terbentuknya permukiman kumuh, (3) pihak-pihak yang sekiranya terlibat dalam terbentuknya permukiman kumuh, (4) lokasi tempat berkembangnya permukiman kumuh, (5) Status lahan yang dimiliki oleh penghuni pada permukiman kumuh, (6) luas titik permukiman kumuh, (7) daerah asal para penghuni permukiman kumuh, (8) jumlah KK pada masing-masing titik permukiman kumuh, serta (9) jumlah rumah yang ada pada titik permukiman kumuh. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut diperoleh 8 titik permukiman kumuh yaitu (Gambar 2): (1) Denpasar Barat (Resimuka Barat VII; Jl. Kertapura, Gg. Segina dan Jl. Pulau Buru, sekitar No. 23B); (2) Denpasar Selatan (Jl. Hang Tuah, Gg. Mawar); (3) Denpasar Utara (Jl. Karya Makmur, dan Jl. Bedahulu V, VII & IX); (4) Denpasar Timur (Jl. Tegal Harum, Kesiman Kertalangu dan Jl. Nusa Indah, Gg. XXI).

Proses menentukan sumber data di lapangan dilakukan dengan purposive sampling, sehingga dalam kegiatan ini akan ditentukan terlebih dahulu key person yang dianggap sebagai pihak yang memang mengenal baik daerah yang dijadikan obyek penelitian. Pada penelitian ini yang menjadi key person adalah penghuni permukiman kumuh, aparat pemerintah yang bertugas mendata permukiman kumuh di Kota Denpasar, pemilik lahan yang menjadi tempat terbentuk dan berkembangnya permukiman kumuh di Kota Denpasar, serta pihak konsultan yang ikut serta dalam mendata permukiman kumuh di Kota Denpasar.


Gambar 1. Peta Pulau Bali

Sumber: RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Denpasar 2010-2030

Permukiman

Kumuh Jalan

Karya Makmur

Permukiman Kumuh Jalan Bedahulu V & IX

Permukiman Kumuh Jalan Resimuka Barat VII

Permukiman Kumuh Jalan Kertapura Gang Segina



Gambar 2. Lokasi penelitian permukiman kumuh di Kota Denpasar

Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya

Permukiman Kumuh dan Lokasi Terbentuknya

Beragam studu telah dilaksanakan berkenaan dengan permukiman kumuh. Kurniasih (2007) menyatakan bahwa Permukiman kumuh merupakan permukiman yang terdiri dari

hunian-hunian dengan kondisi yang tidak layak, dengan kualitas sarana dan prasarana penunjang baik fisik maupun non fisik berada dibawah standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Pandangan yang serupa juga diungkapkan oleh Budiharjo (1997) dalam Heryati (2008:3), yang menyatakan permukiman kumuh merupakan lingkungan dengan hunian yang tidak layak huni. Sementara itu Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman mendeskripsikan bahwa permukiman kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan fungsi sebagai tempat hunian. Selain itu Undang-Undang ini juga menjelaskan bahwa permukiman kumuh merupakan perumahan yang tidak layak huni karena: (1) ketidakteraturan bangunan, (2) tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, (3) kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.

Permukiman kumuh tidak terjadi dimana-mana, namun hanya muncul di lokasi-lokasi tertentu. Bila dikaitkan dengan site permukiman kumuh dan latar belakangnya, Sinulingga (2005) menyatakan bahwa permukiman kumuh dapat dilihat dari ciri-ciri lingkungan yang umumnya terdiri dari: (1) jumlah penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ Ha, (2) jalan lingkungan umumnya sempit, (3) fasilitas drainase sangat tidak memadai dan bahkan ada permukiman tanpa fasilitas drainase, (4) fasilitas pembuangan limbah padat dan cair yang sangat minim, (5) fasilitas penyedia air bersih sangat kurang, (6) bangunan umumnya tidak permanen dan tidak tertata dengan baik, (7) kondisi 1 sampai 6 membuat lingkungan ini sangat rawan terhadap penularan penyakit, (8) Kepemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.

UN-HABITAT (2009) lebih lanjut menjelaskan bahwa, pada umumnya lokasi dan tapak yang menjadi tempat berkembang bagi permukiman kumuh memiliki ciri antara lain: (1) tapak yang sebelumnya merupakan lingkungan perumahan dengan kondisi yang baik namun seiring berjalannya waktu mengalami penurunan kualitas lingkungan atau menjadi daerah berkepadatan tinggi dan disewakan pada kelompok-kelompok masyarakat berpendapatan rendah (MBR), (2) lokasi yang menjadi tempat tumbuh dan berkembang merupakan daerah perumahan dengan kualitas buruk yang dibangun pada lahan yang ditempati secara ilegal, (3) tapak yang oleh pemilik dibagi menjadi beberapa petak dan dijual ataupun disewakan tanpa mengikuti peraturan bangunan yang terkait, (4) tapak yang ditempati berada dekat dengan sumber penghasilan, namun akibat keterbatasan ekonomi umumnya dipilih lahan yang tidak diinginkan orang, seperti daerah-daerah berbahaya yang rentan banjir atau longsor, di sepanjang jalan dan rel kereta api atau di pinggir sungai maupun kanal, (5) tapak yang tidak memiliki jaminan kepemilikan, sehingga masyarakat di permukiman ini tidak ingin berinvestasi untuk meningkatkan kualitas permukiman mereka.

Bhide et al (1984) dalam Erni (2007:79) mengkategorikan lokasi permukiman kumuh sebagai berikut: (1) permukiman kumuh di daerah permukiman, (2) permukiman kumuh disekitar daerah industri, (3) permukiman kumuh di sekitar badan air (waduk, kolam, dll), (4) permukiman kumuh memanjang di sepanjang jalan, rel KA, dan lain-lain, (5) permukiman kumuh di daerah pertanian, (6) permukiman kumuh di proyek perumahan.

Di dalam proyek            Di dalam daerah                 Di dalam daerah

perumahan                permukiman                       industri

Di sepanjang jalan,          Di sekitar badan air               Di dalam daerah

jalan kereta api                                                    pertanian

Gambar 3. Enam kategori permukiman kumuh

Sumber: Bhide et al (1984) dalam Erni (2007:79)

Lebih lanjut Sutanto (1995), mengatakan bahwa jika dilihat dari proses terjadinya maka permukiman kumuh bisa dibagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu: (1) kumuh bangunan (created), (2) kumuh turunan (generated), dan (3) kumuh dalam proyek perumahan (in project housing). Kumuh bangunan merupakan kekumuhan akibat jenis bangunan yang mudah dipindahkan, dibangun dengan material seadanya, dan dibangun sendiri oleh penghuni dengan kondisi kurang layak sejak awal dibangun. Kumuh turunan biasanya disebabkan oleh: bangunan yang awalnya dibangun dengan ijin mengalami penurunan kualitas tampilan yang semakin buruk sehingga memberi kesan kumuh, desa lama yang terkepung oleh pemekaran kota yang cepat, dan kualitas bangunan maupun sarana prasarana mengalami kemerosotan tampilan akibat dari kurangnya pemeliharaan. Kumuh dalam proyek perumahan yaitu: kelompok proyek perumahan yang disedikan oleh badan pemerintah bagi masyarakat ekonomi lemah, dan perluasan rumah tinggal oleh pemilik dengan pemeliharaan yang kurang layak sehingga menurunkan kualitas sarana prasarana lingkungan.

Permukiman kumuh terbentuk melalui proses yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukungnya. Hariyanto (2007) menjelaskan bahwa faktor penyebab munculnya kawasan kumuh (slum) dapat dibagi menjadi 2 (dua), antara lain sebagai berikut: (1) faktor yang bersifat langsung berupa faktor fisik yang dilihat dari kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan, dan (2) faktor yang bersifat tidak langsung, seperti faktor ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Proses perkembangan permukiman kumuh berdasarkan waktu terbentuknya menurut Drakakis-Smith (1980) tidak hanya berlangsung dalam waktu yang cukup singkat dengan jumlah yang besar (instantaneous), namun dapat pula berlangsung secara perlahan-lahan dalam waktu yang relatif lama (continuous).

Proses perkembangan secara perlahan oleh Bourne (1981), dibagi lagi menjadi dua tipe, yaitu ageing process (proses penuaan) dan densification process (proses pemadatan bangunan). Proses penuaan bangunan adalah proses penurunan kualitas bangunan karena faktor umur bangunan yang semakin tua dan rapuh namun tidak diimbangi dengan perbaikan dan perawatan mengakibatkan kondisi bangunan menjadi semakin buruk

sehingga menciptakan lingkungan yang kumuh. Proses yang kedua adalah pemadatan bangunan atau densifikasi, karena adanya pertambahan penduduk menyebabkan kebutuhan akan ruang untuk tempat tinggal semakin meningkat dan ada kencenderungan untuk menempati lahan-lahan kosong yang ada. Proses ini berjalan terus menerus sehingga praktis tidak ada lagi lahan kosong yang tersisa, dan kecenderungan yang terjadi adalah semakin berdesaknya permukiman yang tidak lagi menyisakan ruang kosong.

Proses Terbentuk dan Berkembangnya Permukiman Kumuh di Kota Denpasar

Setelah dilaksanakan studi komparatif, maka fenomena terbentuk dan berkembangnya permukiman kumuh di Kota Denpasar menunjukan kemiripan dengan perkembangan permukiman kumuh di Kota Bau-Bau, Pulau Buton, Sulawesi Utara. Ishak Kadir (2010) dalam penelitiannya tentang "Studi Karakteristik dan Pola Penanganan Kawasan Kumuh Kota Bau-Bau" menemukan bahwa, permukiman kumuh di Kota Bau-Bau terjadi di beberapa lokasi, misalnya di kawasan bantaran sungai merupakan lahan hak milik dengan kondisi rumah-rumah yang permanen dan semi permanen. Di beberapa titik lokasi juga terdapat bangunan non permanen/temporer. Permasalahan permukiman lainnya adalah terdapat lahan-lahan yang disewakan kepada masyarakat pendatang yang belum memiliki tempat tinggal. Selain itu, juga terdapat bangunan rumah tinggal non permanen dibangun oleh masyarakat kemudian dipersewakan ke masyarakat pendatang. Hal tersebut yang menyebabkan permukiman kumuh itu terbentuk.

Sejalan dengan kasus di Kota Bau-Bau, permukiman kumuh di Kota Denpasar menunjukan kondisinya yang hampir sama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 8 lokasi, diketahui secara umum permukiman kumuh terbentuk sebagai akibat dari kegiatan penyewaan lahan. Lahan yang disewakan merupakan lahan yang sudah tidak produktif serta berada di pinggiran sungai yang sering terkena banjir. Pemilik lahan memandang jika akan lebih menguntungkan bila lahan yang mereka miliki disewakan kepada pendatang, dibanding jika harus dikelola secara swadaya. Para pendatang yang menyewa lahan umumnya memiliki keterbatasan ekonomi sehingga mereka hanya mampu membangun bangunan yang semi permanen atau seadanya pada lahan yang disewa. Hal tersebut karena mereka memiliki kekhawatiran jika suatu waktu tidak diijinkan untuk memperpanjang masa sewa lahan.

Dari ke 8 titik permukiman kumuh yang diteliti ditemukan bahwa, permukiman kumuh di Jalan Bedahulu V dan IX serta permukiman kumuh di Jalan Karya Makmur Ubung Kaja memiliki perkembangan yang sedikit berbeda dengan permukiman kumuh yang lain yang ada di Kota Denpasar. Jika dibandingkan dengan permukiman kumuh lainnya, permukiman ini berkembang dalam waktu yang relatif cepat (instantaneous). Permukiman di Jalan Bedahulu V dan IX muncul di tahun 1990an dan saat penelitian dilaksanakan telah memiliki luasan kumuh sebesar 16.290 m2, sedangkan permukiman kumuh di Jalan Karya Makmur muncul pada tahun 2000an dan luasan yang dimiliki saat penelitian ini dilaksanakan mencapai 11.193 m2. Hal tersebut diakibatkan adanya kegiatan LC (land consolidation) yang dilakukan oleh pemerintah Kota Denpasar. Kegiatan LC di Jalan Bedahulu V dan IX merupakan dampak dari perkembangan daerah Jalan Gatot Subroto sebagai pusat perekonomian kota yang baru pada masa itu (sekitar tahun 1990an). Kegiatan LC di Jalan Karya Makmur dilakukan untuk menghubungkan jalur perekonomian di Jalan Cokroaminoto dengan jalur perekonomian di Jalan Cargo yang merupakan rute yang saling berhubungan dalam kegiatan perekonomian antar kabupaten, provinsi maupun pulau.

Sebelum dilaksanakan LC, kawasan ini merupakan area persawahan yang sangat subur dan memberikan hasil panen yang cukup bagi pemiliknya untuk digunakan sebagai sumber penghidupan. Setelah dilaksanakan LC, lahan persawahan ini menjadi tidak produktif. LC merupakan salah satu program pemerintah dalam memfasilitasi tersedianya ruang-ruang untuk perumahan. Namun pada saat yang sama, kegiatan LC tersebut memotong jalur-jalur irigasi yang diperlukan oleh para petani untuk pengairan persawahannya. Kegiatan ini memberikan dampak pada keberlanjutan usaha tani, karena petani tidak bisa bercocok tanam lagi, sementara itu para petani secara rutin diwajibkan membayar pajak ke negara. Hal ini menjadi alasan bagi para pemilik lahan (petani) untuk menyewakan lahannya kepada para pendatang. Menyewakan lahan merupakan pilihan terbaik bagi mereka, karena ketika itu tidak ada yang tertarik untuk membeli lahan mereka dengan harga yang cukup tinggi untuk menutupi biaya pajak yang ditanggung pemilik lahan. Proses berkembangnya fungsi lahan untuk permukiman kumuh di gambarkan pada alur Diagram 1.

Diagram 1. Perkembangan fungsi lahan menjadi permukiman pada permukiman kumuh di Jalan Bedahulu V dan IX, 2012

Sumber: Penulis

Para pendatang yang bersedia menyewa lahan adalah mereka yang memiliki usaha pengumpulan barang-barang bekas. Lahan yang disewa tersebut digunakan untuk dibangun gudang pengumpulan maupun pengepakan barang-barang bekas sebelum dijual ke Pulau Jawa. Kegiatan ini terus berkembang pada lokasi ini dan hingga penelitian ini dilaksanakan, sebagian besar permukiman ini merupakan gudang barang-barang bekas. Fenomena lain yang terjadi pada permukiman ini adalah adanya pemilik gudang yang sengaja membangun bilik-bilik bangunan semi permanen, bahkan banyak dari mereka yang menggunakan material bekas untuk disewakan kembali kepada para pekerjanya. Hal tersebut yang menyebabkan permukiman ini tumbuh dan berkembang menjadi permukiman kumuh.

Gambar 4. Permukiman kumuh di Jalan Bedahulu V & IX

Sumber: Penulis

Bila dilihat secara menyeluruh diketahui bahwa permukiman kumuh di Kota Denpasar awalnya terbentuk dari adanya lahan yang disewakan oleh para pemilik lahan (pribadi ataupun milik banjar/desa) kepada para pendatang yang belum memiliki tempat tinggal di Kota Denpasar. Lahan yang disewakan tersebut merupakan lahan yang sudah tidak produktif lagi dan dirasa lebih menguntungkan bila disewakan kepada pendatang daripada harus mengelola sendiri. Para pendatang umumnya memiliki keterbatasan ekonomi sehingga mereka hanya mampu menyewa dan membangun hunian semi permanen, dengan pertimbangan tetap bisa tinggal dalam jangka waktu yang lama.

Para pendatang rata-rata menyewa lahan dalam jangka waktu 5 tahun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan dari mereka yang memilih tinggal hingga belasan tahun. Alasan yang sering diperoleh dari para penghuni permukiman untuk tinggal dalam kurun waktu yang relatif lama adalah: (1) biaya sewa lahan yang murah, (2) dekat dengan tempat bekerja, (3) banyak teman atau kerabat yang juga tinggal pada lingkungan yang sama. Sebagai ilustrasi Gambar 5 merupakan kondisi permukiman kumuh di Kota Denpasar.

Gambar 5. Permukiman kumuh di Kota Denpasar Sumber: Penulis

Pihak desa/banjar tidak dapat berbuat banyak untuk melakukan tindakan terhadap permukiman kumuh tersebut. Aparat desa/banjar dalam hal ini hanya mampu melaksanakan kegiatan gotong-royong yang melibatkan para penghuni permukiman serta melakukan penyuluhan-penyuluhan kesehatan maupun kebersihan lingkungan untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan. Pihak pemerintah daerah/pusat pun mengalami kesulitan dalam penangulangan permukiman ini, karena banyak kepentingan masyarakat yang harus dipertimbangkan. Di sisi lain, pemerintah tetap berupaya memperbaiki kondisi kekumuhan dari permukiman ini, salah satu usaha yang telah dilaksanakan adalah membangun sanimas (sanitasi masyarakat) pada salah satu permukiman kumuh di Kota Denpasar yaitu di Jalan Kerthapura Gang Segina. Perbaikan sarana dan prasarana lingkungan lainnya juga dilakukan oleh pihak Pemerintah pada permukiman kumuh yang

ada, seperti bantuan pemavingan jalan, perbaikan saluran pembuangan dan penyuluhan-penyuluhan.

Berdasarkan landasan teori mengenai proses terjadinya permukiman kumuh menurut Sutanto (1995), permukiman kumuh di Kota Denpasar termasuk dalam kategori kumuh bangunan (created) karena dibangun dengan material seadanya, mudah dibongkar atau dipindahkan dan sebagian besar memang dibangun sendiri oleh penghuni dengan kondisi kurang layak (kumuh sejak awal). Dengan melihat proses perkembangannya, permukiman kumuh di Kota Denpasar berkembang secara cepat dalam waktu singkat (instantaneous) dengan proses pemadatan bangunan (densification process) sehingga tidak adanya lahan atau ruang kosong yang tersisa. Jika dirangkum proses terbentuk dan berkembangnya permukiman kumuh di Kota Denpasar digambarkan dalam Diagram 2.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Permukiman Kumuh di Kota Denpasar

Dengan mengimplementasikan konsep faktor pengaruh yang di kemukakan oleh Hariyanto (2007), aspek-aspek yang menjadi faktor kemunculan permukiman kumuh di Kota Denpasar dapat dibagi menjadi 2 faktor, yaitu: (1) faktor yang bersifat langsung dan (2) faktor yang bersifat tidak langsung. Faktor langsung merupakan kondisi fisik dari permukiman kumuh yang ada di Kota Denpasar, berupa: (1) kondisi infrastruktur lingkungan, (2) bentuk hunian, dan (3) material hunian. Faktor tidak langsung dilihat dari non fisik penghuni permukiman kumuh, diantaranya: (1) kondisi ekonomi/mata pencaharian, dan (2) kehidupan sosial & budaya (Tabel 1).

Kondisi infrastruktur lingkungan permukiman kumuh yang dimaksud merupakan sarana maupun prasarana yang ada di area permukiman kumuh yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama oleh para penghuni permukiman kumuh. Bentuk hunian merupakan tampilan tempat tinggal yang dihuni oleh penghuni permukiman kumuh. Material hunian merupakan bahan yang digunakan dalam membangun hunian yang ditempati penghuni permukiman kumuh. Kondisi ekonomi/mata pencaharian penghuni permukiman kumuh dilihat dari pengahsilan yang dimiliki. Kehidpuan sosial & budaya penghuni permukiman kumuh dapat dilihat dari kegiatan keseharian penghuni permukiman kumuh diluar jam berkerja.


  • 1.    Berawal dari lahan pertanian ataupun tegalan yang tidak produktif.

  • 5.    Semakin lama, lahan yang disewakan semakin meluas dan membentuk sebuah permukiman. Jumlah hunian disetiap permukiman berbeda akibat perbedaan luas lahan yang disewakan. (Terdapat beberapa kawasan permukiman kumuh yang tidak mungkin untuk berkembang lagi karena sudah tidak tersedia lagi lahan kosong)


Kondisi Saat Penelitian Dilaksanakan

Awal

Proses

RUANG - VOLUME 2, NO. 1, APRIL 2015

53


Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya permukiman kumuh pada tapak yang ada di Kota Denpasar

Lokasi Permukiman

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Faktor Langsung

Faktor Tidak Langsung

M   P

O ¾ .S W t≤ J

CQ K

3 β ⅛ CS

5 3

∙S

2  ⅛

-SgS

MCft

∞ CQ

Jalan Nusa Indah Gg. XXI

⅛⅛¾

⅛⅜⅜

Jalan Tegal Harum, Kesiman Kertalangu

⅛2⅛

Jalan Bedahulu V dan IX

¾^

Jalan Karya Makmur, Ubung Kaja

i⅞⅛∙

Jalan Hangtuah, Gang Mawar

Jalan Resimuka Barat VII

Jalan Pulau Buru, sekitar 23 B

⅛¾¾

Jalan Kertapura, Gang Segina

⅛⅛⅛

KESIMPULAN

⅞j⅛

πτ

^⅛y

Keterangan kondisi permukiman kumuh:

: Kurang nm : Cukup

E3 : Cukup Baik

Il 111 : Baik


Sumber: Penulis

Berdasarkan uraian pada Tabel diatas, bisa diketahui bahwa faktor fisik maupun nonfisik yang terdapat pada permukiman kumuh di Kota Denpasar dianggap dalam kondisi yang cukup bagi penghuni. Cukup dalam hal ini dinilai dari persepsi penghuni permukiman tersebut. Bila dilihat kondisi di lapangan hal tersebut masih kurang layak untuk dimiliki oleh permukiman padat tersebut.

Dari segi kondisi infrastruktur yang dimiliki masih kurang layak (Gambar 6). Kurang layaknya infrastruktur yang dimiliki dapat dilihat dari tampilan bangunan infrastruktur seperti salah satunya tempat MCK (mandi, cuci, kakus) bersama, yang dibuat semipermanen tanpa finishing, bahkan ada yang dibuat dengan pembatas seadanya. Namun bagi penghuninya, kondisi tersebut umumnya sudah cukup untuk keperluan mereka sehari-hari.

Dari segi bentuk dan material hunian pada umumnya dibangun dalam ukuran kecil (berkisar antara 0.5 are sampai 1 are) dengan material berupa batako tanpa finishing, yang terkadang dikombinasikan dengan triplek dan seng pada bagian dinding (Gambar 7). Atap bangunan sebagian besar menggunakan asbes ataupun seng. Bagian lantai bangunan lebih banyak yang diplester halus dan ditutupi oleh karpet, plastik ataupun alas lantai lainnya.

Gambar 6. Kondisi MCK bersama pada permukiman kumuh di Kota Denpasar, 2012 Sumber: Penulis

Gambar 7. Bentuk dan material hunian pada permukiman kumuh di Kota Denpasar, 2012 Sumber: Penulis

Berdasarkan faktor non fisik (tidak langsung), faktor ekonomi berpengaruh cukup besar dalam membentuk tampilan permukiman kumuh di Kota Denpasar. Penghuni permukiman kumuh umumnya merupakan penduduk pendatang dari luar Kota Denpasar yang tidak memiliki tempat tinggal tetap dan hanya memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah (rata-rata dibawah Rp 1.500.000,00 perbulan, bahkan ada yang tidak tetap jumlah penghasilannya). Dengan kondisi tersebut, mereka yang tinggal pada permukiman kumuh adalah penghuni yang rata-rata hanya mampu menyewa tanah dan membangun bangunan seadanya akibat keterbatasan ekonomi yang dimiliki.

Dalam kehidupan sosial dan budaya, penghuni yang tinggal pada permukiman ini umumnya memang telah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Penghuni permukiman ini sebagian besar berasal dari daerah perdesaan. Hal tersebut juga turut menyebabkan kekumuhan tersebut sulit untuk diperbaiki ataupun ditanggulangi.

Tapak yang Memiliki Kecenderungan untuk Berkembang Menjadi Permukiman Kumuh di Kota Denpasar

Berdasarkan kategori yang dikemukakan oleh Bhide et al (1984), diketahui bahwa permukiman kumuh di Kota Denpasar berkembang pada: (1) daerah pinggir sungai, dan (2) area perumahan. Dalam penelitian ini ditemukan 2 kategori permukiman kumuh yang juga tumbuh di Kota Denpasar, yaitu: (1) area dekat pusat pemerintahan dan (2) area dekat dengan pusat perekonomian kota.

Secara menyeluruh, tapak yang dominan berkembang menjadi permukiman kumuh di Kota Denpasar adalah tapak yang tidak produktif yang disewakan dengan harga murah dan berada dekat dengan pusat perekonomian kota. Hal tersebut akibat dari tuntutan hidup para pendatang yang memerlukan pekerjaan dan tempat tinggal yang sesuai dengan pengahasilan yang dimiliki. Data yang mendukung pernyataan tersebut diatas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tapak yang memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi permukiman kumuh di Kota Denpasar

Jenis

Lokasi

A

B

C

D

Jl. Nusa Indah Gang XXI

-

Jalan Tegal Harum Kesiman Kertalangu

-

-

Jalan Bedahulu V dan IX

-

Jalan Karya Makmur Ubung

Kaja

-

Jalan Hangtuah Gang Mawar

-

-

Jalan Resimuka

Barat VII

-

-

Jalan Pulau Buru sekitar No. 23 B

-

Jalan Kertapura Gang Segina

-

-

Keterangan :

A      : Tapak tidak produktif berada di pinggir sungai

B       : Tapak tidak produktif pada area perumahan

C       : Tapak tidak produktif akibat kegiatan Pemerintahan

D      : Tapak tidak produktif dekat dengan pusat perekonomian kota

Sumber: Penulis

  • a.    Tapak tidak produktif berada di pinggir sungai

Pesatnya perkembangan perekonomian di Kota Denpasar berpengaruh pula terhadap perkembangan permukiman di Kota Denpasar, tidak terkecuali terhadap perkembangan permukiman kumuh. Tapak-tapak atau lahan yang berada di pinggiran sungai memiliki peluang yang besar untuk tumbuh dan berkembang menjadi permukiman kumuh yang baru. Pada umumnya tapak di pinggiran sungai merupakan tempat yang sering terkena dampak banjir akibat meluapnya permukaan air sungai serta tempat bermuaranya air buangan dari tapak yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan tapak atau lahan pada pinggir sungai kurang diminati serta memiliki nilai jual yang rendah.

Fenomena tersebut yang sebagian besar menyebabkan tumbuh dan berkembangnya permukiman kumuh pada pinggir sungai. Sebagian besar pemilik lahan tersebut memilih untuk menyewakan lahannya sebab para pendatang dengan ekonomi rendah banyak yang bersedia menyewa lahan tersebut. Bagi para pemilik lahan, hal tersebut memang lebih menguntungkan untuk menyewakan daripada harus menjual lahan mereka. Selain mereka tidak akan kehilangan tanah, mereka juga akan tetap mendapatkan penghasilan dari sewa lahan atau tapak tersebut.

  • b.    Tapak tidak produktif pada area perumahan

Perkembangan Kota Denpasar diiringi pula dengan perkembangan area perumahan disekitarnya. Perumahan ini terus mengalami peningkatan akibat dari banyaknya pendatang yang mencari pekerjaan di Kota Denpasar. Para pendatang tidak semuanya

mampu membeli lahan di Kota Denpasar, sehingga mereka memilih untuk menyewa lahan untuk tempat tinggal mereka. Kondisi mereka yang hanya mampu menyewa lahan menjadikan mereka lebih selektif dalam memilih lokasi tempat tinggalnya. Para pendatang yang bekerja pada sektor usaha informal lebih memilih lokasi pada area perumahan yang padat penduduk agar lebih mudah memasarkan hasil usahanya.

  • c.    Tapak tidak produktif di pusat perekonomian kota

Tapak yang berada dekat dengan pusat perekonomian kota dan merupakan lahan sewa adalah lahan yang paling diminati oleh para pendatang yang berasal dari luar daerah Kota Denpasar. Lahan dengan sewa murah menjadi pilihan utama bagi pendatang dengan kelas ekonomi menengah kebawah yang memiliki penghasilan tidak menentu setiap bulannya. Umumnya mereka yang memilih lahan sewa adalah pendatang yang bekerja pada sektor informal sebagai penunjang kegiatan yang berkaitan dengan perekonomian kota, seperti usaha penyedia bahan makanan, pedagang kaki lima, pedagang keliling dan jenis pekerjaan informal lainnya.

  • d.    Tapak tidak produktif akibat program Pemerintahan

Permukiman kumuh yang ada di Kota Denpasar berkembang pada lahan sewa, baik lahan sewa milik perseorangan ataupun milik Banjar. Lahan sewa tersebut berkembang menjadi permukiman kumuh akibat tingkat ekonomi para penghuni permukiman tersebut. Ekonomi yang relatif rendah mengakibatkan mereka tidak dapat membangun hunian maupun sarana dan prasarana lingkungan yang memadai. Tidak sedikit lahan sewa yang murah ini timbul akibat program yang dilakukan oleh pemerintah, seperti akibat kegiatan LC.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa permukiman kumuh di Kota Denpasar awalnya terbentuk dari adanya lahan yang disewakan oleh para pemilik lahan (pribadi ataupun milik banjar/desa) kepada para pendatang yang belum memiliki tempat tinggal di Kota Denpasar. Lahan yang disewakan umumnya merupakan lahan yang tidak produktif. Proses terbentuknya permukiman kumuh di Kota Denpasar dapat dikatakan terjadi akibat kumuh bangunan (created), yang mana bangunan pada permukiman ini memang sudah kurang layak sejak awal dibangun (semi permanen). Hampir seluruh bangunan yang ada pada permukiman ini memiliki kondisi yang sama sehingga berdampak kepada wajah lingkungan permukiman yang semakin berkembang. Perkembangan permukiman ini secara umum terjadi secara cepat dan dalam waktu singkat (instantaneous) dengan proses pemadatan bangunan (densification process) hingga tidak adanya lahan kosong yang tersisa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses terbentuknya, permukiman kumuh ini dipengaruhi pula oleh faktor yang bersifat langsung dan tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi terbentuknya permukiman kumuh di Kota Denpasar adalah kondisi infrastruktur lingkungan, bentuk dan material bangunan hunian. Faktor yang bersifat tidak langsung adalah kondisi ekonomi/mata pencaharian, serta sosial dan budaya yang dimiliki oleh penghuninya.

Bila melihat proses terbentuk dan berkembangya permukiman kumuh tersebut, dapat disimpulkan bahwa tapak yang cenderung berkembang menjadi permukiman kumuh

adalah: (1) tapak tidak produktif yang berada di pinggir sungai, (2) tapak tidak produktif yang berada pada area permukiman, (3) tapak tidak produktif yang dekat dengan pusat perekonomian kota, dan (4) tapak tidak produktif yang terjadi akibat kegiatan Pemerintah. Dari ke 4 kategori tapak tersebut, tapak yang paling dominan berkembang menjadi permukiman kumuh di Kota Denpasar saat ini adalah tapak yang berada dekat dengan pusat perekonomian kota. Hal tersebut akibat dari tuntutan hidup para pendatang yang memerlukan pekerjaan dan tempat tinggal yang sesuai dengan pengahasilan yang dimiliki.

Daftar Pustaka

Drakakis-Smith, David (1980) Urbanisation, Housing and the Development Process New York: ST. Martin's Press.

Hariyanto, Asep (2007) 'Strategi Penanganan Kawasan Kumuh sebagai Upaya Menciptakan Lingkungan Perumahan dan Permukiman yang Sehat' Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 7, No 2, p: 11.

Kurniasih, Sri (2007) Usaha Perbaikan Permukiman Kumuh di Petukangan Utara-Jakarta Selatan Tesis, Jakarta: Universitas Budi Luhur.

Sinulingga, Budi D (2005) Pembangunan Kota, Tinjauan Regional dan Lokal Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suharini, Erni (2007) 'Menemukenali Agihan Permukiman Kumuh di Perkotaan

Melalui Interpretasi Citra Penginderaan Jauh" Jurnal Geografi Volume 4, No. 2, Juli.

Surtiani, Eny Endang (2006) Faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya Kawasan Permukiman Kumuh di Kawasan Pusat Kota (studi kasus: Kawasan Pancuran, Salatiga) Tesis, Semarang: Universitas Diponegoro.

UN HABITAT, UNESCAP (2009) Perumahan Bagi Kaum Miskin di Kota-Kota Asia, Urbanisasi: Peran Kaum Miskin Di Dalam Perkembangan Kota Nairobi: United Nations Office.

UN HABITAT, UNESCAP (2009) Perumahan Bagi Kaum Miskin di Kota-Kota Asia, Perumahan untuk MBR: Memberi Tempat Yang Layak Bagi Kaum Miskin Kota Nairobi: United Nations Office.

UN HABITAT, UNESCAP (2009) Perumahan Bagi Kaum Miskin di Kota-Kota Asia, Lahan: Komponen Kritis Dalam Pengadaan Perumahan Bagi MBR Nairobi: United Nations Office.

http://www.lensaindonesia.com/2012/10/01/wah-permukiman-kumuh-di-indonesia-akan-meningkat.htm diakses tgl 1 Oktober 2012.

http://denpostnews.com/index.php/2011-10-30-16-50-49/2467-di-denpasar-ter data-35-kawasan-pemukiman-kumuh.html diakses pada 11 Februari 2013.

Ucapan Terimakasih

Dalam kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc., PhD atas bimbingan, nasihat dan kesempatan yang diberikan dalam penyelesaian Jurnal ini. Terimakasih pula kepada Ibu Ni Made Swanendri, ST., MT yang telah membimbing dalam penyelesaian Jurnal ini.

58      SPACE - VOLUME 2, NO. 1, APRIL 2015