INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN KUMUH

RUANG


SPACE


DI KECAMATAN DENPASAR BARAT

Oleh: Desak Made Sukma Widiyani 1

Abstract

The Mayor of Denpasar has designated 35 slum areas, nine being located in the most populous area of West Denpasar, with the provision of infrastructure remaining a critical issue. The following research had two objectives. First, to identify current conditions in existing problem areas. Second, to expose the underlying determinants affecting current provision. Three case studies are undertaken using qualitative research strategies in (i) Dauh Puri Kauh Village; (ii) Tegal Kertha Village; (iii) and Pemecutan Kelod Village. Four types of infrastructure require an urgent attention - road networks, fresh water, waste material, and latrine facilities. Natural, artificial, and social factors are identified that affect the condition and provision of infrastructure, with the potential to inform future government strategy in regard to slum environments.

Key words: Slums, slums infrastructure

Abstrak

Sembilan dari 35 titik kumuh yang ditentukan oleh Bapak Walikota Denpasar beralokasikan di Denpasar Barat. Keterbatasan pengadaan infrastruktur merupakan permasalahan krusial bagi permukiman informal ini. Ada memiliki dua tujuan yang ingin dicapai melalui pelaksanaan studi ini. Pertama, mengkaji permasalahan yang ada. Kedua, menstudi faktor-faktor penentu yang mempengaruhi pengadaannya. Dengan mengimplementasikan pendekatan serta metode penelitian kualitatif, tiga titik kumuh telah dipilih sebagai studi kasus, termasuk yang berlokasikan di (i) Desa Dauh Puri Kauh; (ii) Desa Tegal Kertha; dan (iii) Desa Pemecutan Kelod. Terdapat empat wujud infrastruktur yang harus memperolah perhatikan secara cepat, yaitu: pembangunan jaringan jalan, pengadaan air bersih, penanganan limbah, dan keberadaan fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK). Kondisi ini dipengaruhi oleh beragam faktor yang dikategorisasikan menjadi faktor alam, buatan, dan sosial. Diharapkan agar hasil studi ini bisa dijadikan masukan bagi beragam usaha yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas lingkungan permukiman kumuh.

Kata kunci: Permukiman kumuh, infrastruktur permukiman kumuh

Pendahuluan

Kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sekaligus juga sebagai kawasan permukiman penduduk dengan segala aktivitasnya sangat memerlukan dukungan infrastruktur dasar tersebut, telah memicu meningkatnya kebutuhan infrastruktur penunjangnya. Perkotaan. Pertumbuhan aktivitas ekonomi perkotaan yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas

pergerakan orang, barang dan jasa keluar maupun masuk kawasan perkotaan Permasalahan akan muncul apabila percepatan pertumbuhan aktivitas tersebut tidak diimbangi dengan percepatan penyediaan infrastruktur penunjangnya.

Denpasar barat merupakan salah satu kecamatan dari Kota Denpasar yang kepadatan penduduknya paling tinggi. Pada tahun 2011 jumlah penduduk Denpasar Barat mencapai 182.621 jiwa dengan luas wilayah 2.406 Ha (Badan Pusat Statistik Bali, 2011). Padatnya jumlah penduduk di Kecamatan Denpasar Barat ini diakibatkan oleh tingginya arus urbanisasi yang terjadi, hal ini tentunya tidak terlepas dari munculnya permukiman-permukiman baru dengan kondisi yang kurang layak atau bahkan kumuh (Bali Post, Kamis 10 Februari 2011).

Berdasarkan Keputusan Walikota Denpasar tanggal 23 juli 2012 No. 188.45/509/HK/2012 tentang Penetapan Lokasi Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Di Kota Denpasar, terdapat 35 titik kumuh di Denpasar yang tersebar di empat Kecamatan. Kecamatan Denpasar Utara, Denpasar Timur, dan Denpasar Barat masing-masing terdapat 9 titik kumuh. Kecamatan Denpasar Selatan terdapat 8 titik kumuh. Permasalahan utama yang dihadapi pada permukiman kumuh di Denpasar Barat adalah mengenai kondisi infrastruktur yang kurang memadai. Menurut PP (Peraturan Pemerintah) RI No. 5 Tahun 2010 tentang RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Nasional tahun 2010-2014, permasalahan utama yang dihadapi pada permukiman kumuh adalah rendahnya akses terhadap air minum dan sanitasi (air limbah, pengelolaan persampahan, dan drainase).

Berdasarkan observasi lapangan (2012), permukiman kumuh yang ada di Denpasar Barat mayoritas terletak pada lahan di sepanjang aliran sungai maupun dekat dengan sungai. Penghuni permukiman kumuh cenderung memanfaatkan sungai sebagai salah satu potensi yang dapat menunjang infrastruktur mereka seperti, tempat pembuangan limbah rumah tangga, pembuangan sampah, bahkan sebagai sumber air untuk konsumsi maupun non konsumsi. Pemilik lahan maupun pengontrak, pada saat menyewakan lahan/kamar di kawasan tersebut, ia tidak menyediakan sarana yang memadai. Persoalan air bersih, jaringan jalan, limbah dan fasilitas MCK menjadi salah satu masalah yang sangat serius untuk ditangani di kawasan pemukiman padat/kumuh. Terbatasnya ketersediaan sarana tersebut, maka pencemaran terhadap lingkungan (tanah, air dan udara) pun sangat potensial terjadi dan sangat sulit dikendalikan.

Dalam penelitian ini dilihat bagaimana kondisi infrastruktur pada permukiman kumuh di Denpasar Barat, bagaimana proses pengadaan infrastruktur tersebut serta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, kemudian faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi infrastruktur yang digunakan dan dikelola oleh penghuni permukiman tersebut. Produk penelitian ini diharapkan nantinya dapat digunakan oleh pemerintah kota sebagai dasar untuk mereview, mengelola, serta memperbaiki jaringan infrastruktur yang sudah ada dan mengadakan jaringan infrastruktur yang masih diperlukan pada suatu permukiman.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada metode penelitian kualitatif deskriptif. Metode penelitian kualitatif deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta yang ada di lapangan terkait dengan kondisi infrastruktur pada permukiman kumuh yang distudi. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Dalam pemilihan lokasi, dari 9 titik permukiman kumuh yang ada di Kecamatan Denpasar Barat, dipilih 3 titik permukiman kumuh yang kemudian diteliti lebih lanjut. Pemilihan kasus ini berdasarkan pada beberapa kriteria

yaitu, jenis infrastruktur yang tersedia, pihak yang mengadakan infrastruktur, penghuni permukiman kumuh, serta lokasi lahan permukiman. Ketiga kasus permukiman kumuh yang terpilih adalah, (1) permukiman kumuh di Banjar Jematang, Desa Dauh Puri Kauh; (2) permukiman kumuh di Banjar Buana Asri, Desa Tegal Kertha; serta (3) permukiman kumuh di Banjar Pekandelan, Desa Pemecutan Kelod. Untuk pemilihan informan maupun narasumber yang akan diwawancara menggunakan teknik purposive sampling, sebagai langkah awal dipilih key person sebagai narasumber yang akan memberikan informasi mengenai data non fisik.

Kondisi Infrastruktur Permukiman Kumuh di Kecamatan Denpasar Barat

Pada bagian hasil dan pembahasan akan dipaparkan hasil dari penelitian yaitu kondisi eksisting infrastruktur dari 3 kasus permukiman kumuh yang ada di Kecamatan Denpasar Barat, proses pengadaan infrastruktur permukiman kumuh beserta pihak-pihak yang terlibat didalamnya, dan faktor yang mempengaruhi kondisi serta proses pengadaan infrastruktur tersebut.

a. Kondisi eksisting infrastruktur permukiman kumuh kasus 1

Gambar 1. Peta lokasi permukiman kumuh di Banjar Jematang Sumber: BAPPEDA Kota Denpasar, 2012

Kondisi jaringan jalan pada permukiman kumuh di Banjar Jematang terbilang kurang baik. Jaringan jalan pada permukiman ini berkembang seiring dengan perkembangan jumlah hunian pada wilayah tersebut. Pada awalnya jalan yang terdapat pada permukiman kumuh di lokasi ini adalah jalan yang berada di timur permukiman saat ini. Seiring dengan banyaknya kaum pendatang yang menyewa lahan di lokasi ini, jaringan jalan juga semakin berkembang. Terdapat 3 jenis jalan pada permukiman kumuh di Banjar Jematang ini, antara lain:

  • (i)    Jalan lingkungan (makro)

Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang ada pada barat permukiman dekat dengan sungai. Jalan ini memiliki lebar ±4meter dengan material berupa aspal yang langsung menuju jalan pulau biak dan jalan nusa kambangan.

(gang)


Ga mbar 2. Peta jaringan jalan pada permukiman      Gambar 3. Jalan lingkungan

kumuh di jematang

Sumber: Penulis

Sumber: Penulis

  • (ii)    Jalan permukiman (gang)

Menurut salah satu pemilik lahan dari permukiman ini, jalan permukiman di bagian timur permukiman pada awalnya berupa jalan tanah dengan lebar ±2meter hanya cukup dilalui oleh kendaraan roda dua. Pada tahun 1998 pemerintah mulai melirik kondisi di permukiman ini dengan memperbaiki serta memperlebar jalan sehingga, kondisi jalan menjadi lebih baik yang berupa jalan aspal dengan lebar ±4 meter.



Gambar 4. Peta jalan lingkungan pada permukiman kumuh kasus 1

Sumber: Penulis

  • (iii)    Jalan kecil/gang (mikro)

Jalan kecil/gang merupakan jalan yang menghubungkan antara rumah satu dengan lainnya dalam satu wilayah permukiman. Selain merupakan jalan umum yang bisa dilalui oleh warga, jalan ini juga dimanfaatkan sebagai ruang yang mendukung aktivitas penghuni permukiman, misalnya sebagai dapur, tempat mencuci peralatan dapur, tempat meletakkan barang-barang yang tidak digunakan, tempat parkir

kendaraan pribadi, bahkan ada yang digunakan sebagai tempat melaksanakan usaha-usaha rumah tangga.




Gambar 5. Kondisi jalan kecil pada permukiman kumuh kasus 1

Sumber: Penulis

Air bersih pada kasus 1

Gambar 6. Jaringan air bersih pada permukiman kumuh kasus 1

Sumber: Penulis


Sumber air bersih pada permukiman kumuh di Banjar Jematang berasal dari pompa air, sumur bor, serta sumur gali. Terdapat beberapa tipe pemanfaatan sumber air bersih pada permukiman kumuh di lokasi ini, antara lain:

  • a)    Tipe 1, yaitu sumber air bersih yang berupa pompa air yang dapat digunakan oleh seluruh warga permukiman (komunal).

  • b)    Tipe 2, yaitu sumber air bersih berupa sumur bor dan sumur gali yang juga digunakan bersama, namun hanya dalam lingkup penghuni kost pada satu lahan kontrakan.

  • c)    Tipe 3, sumber air bersih yang digunakan secara pribadi oleh satu keluarga pada satu hunian (kontrakan).

Limbah pada kasus 1

Limbah pada umumnya dibagi menjadi 2 jenis yaitu limbah padat dan limbah cair. Pada permukiman kumuh kasus 1, sistem pembuangan limbah padat dan cair yang berasal dari kamar mandi dialirkan menuju septictank yang terdapat pada masing-masing kamar mandi umum. Pada hunian yang disewakan (kost), hanya terdapat 1 ruang servis yang digunakan secara komunal. Air limbah yang berasal dari kamar mandi dan dapur dialirkan menuju saluran yang terdapat di depan kamar mandi berupa got kecil. Dalam hal ini kamar mandi yang tersedia tidak memiliki septictank. Air limbah ini nantinya akan dialirkan kembali menuju saluran drainase pada jalan utama, dan kemudian bermuara ke sungai. Untuk hunian yang memiliki fasilitas kamar mandi ataupun dapur pribadi, limbah dialirkan melalui pipa saluran menuju saluran pembuangan pada ruas jalan yang terdapat got pada ruas jalan tersebut, kemudian dialirkan menuju saluran pada jalan utama yang nantinya bermuara ke sungai.

SEPTICTANK



Gambar 7. Kondisi pembuangan limbah di permukiman kumuh kasus 1

Sumber: Penulis

Sarana mandi cuci kakus (MCK) pada kasus 1

Pada permukiman kumuh kasus 1, terdapat tiga tipe sarana MCK yaitu kamar mandi umum/komunal, kamar mandi khusus untuk penghuni kost, serta kamar mandi pribadi. Kamar mandi umum dibangun oleh pemerintah yang lokasinya tersebar di empat titik di permukiman ini. Pada masing-masing titik terdapat 2 buah kamar mandi. Kamar mandi ini juga sudah dilengkapi dengan tangki septik, sehingga dapat berfungsi secara maksimal. Kamar mandi tipe kedua merupakan kamar mandi yang disediakan oleh pemilik kost hanya untuk penghuni kost miliknya. Kamar mandi ini tidak dilengkapi tangki septik, sehingga hanya dapat digunakan untuk mandi, buang air kecil, dan mencuci. Begitu pula dengan kamar mandi tipe ketiga yang merupakan kamar mandi pribadi tidak dilengkapi dengan tangki septik, sehingga warga menggunakan kamar mandi umum terdekat untuk buang air besar. Warga hanya perlu membayar Rp. 10.000,-/bulan untuk masing-masing orang untuk operasional kamar mandi umum tersebut.

Kamar mandi umum


Kamar mandi khusus penghuni kost


Kamar mandi pribadi


Gambar 8. Kondisi sarana MCK pada permukiman kumuh kasus 1

Sumber: Penulis

  • b.    Kondisi Eksisting Infrastruktur Permukiman Kumuh Kasus 2

Permukiman kumuh yang kedua berlokasi di Jalan Resimuka Barat Gang VII, Banjar Buana Asri, Desa Tegal Kertha. Pada awalnya lahan pada permukiman kumuh ini merupakan lahan sawah dan tegalan milik dari 2 orang bersaudara yang merupakan penduduk asli Desa Tegal Kertha. Lahan ini kemudian disewakan kepada warga pendatang dan mulai berkembang pada tahun 1995. Permukiman kumuh ini terletak berkembang pada satu ruas gang yang dibatasi oleh jalur sirkulasi di tengah-tengah permukiman. Hingga saat ini sudah terdapat ±130 rumah pada permukiman ini yang terdiri dari rumah kontrakan yang digunakan secara pribadi, maupun rumah kontrakan yang kemudian disewakan kembali berupa kamar kost.

Gambar 9. Peta lokasi permukiman kumuh di Banjar Buana Asri (kasus 2) Sumber: BAPPEDA Kota Denpasar, 2012

Jaringan jalan pada kasus 2

Kondisi jaringan jalan pada permukiman kumuh di Banjar Buana Asri, Desa Tegal Kertha terlihat cukup tertata, dengan material jalan berupa paving. Pada awalnya hanya terdapat jalan utama permukiman yaitu jalan resimuka barat yang merupakan jalan lingkungan,

kemudian seiring berkembangnya permukiman di lingkungan tersebut, maka muncullah jalan-jalan kecil/gang menuju permukiman-permukiman baru tersebut. Jalan lingkungan merupakan jalan umum (jalan resimuka barat) dengan lebar ±3 meter yang dapat diakses oleh seluruh warga permukiman kumuh maupun permukiman disekitarnya. Jalan permukiman/gang pada permukiman kumuh ini awalnya disediakan oleh pemilik lahan dengan kondisi seadanya yang berupa jalan tanah, kemudian jalan tersebut diperbaiki (dipaving) secara swadaya oleh penyewa lahan pada permukiman tersebut. Jalan permukiman (gang) memiliki lebar 3 meter dari arah timur dan mengecil ke arah barat dengan lebar 2 meter. Secara mikro, terdapat jalan kecil dengan lebar ±1 meter dan menggunakan perkerasan berupa semen yang merupakan akses bagi penghuni kost. Jalan ini dilengkapi dengan saluran drainase dengan lebar 10-15cm dan kedalaman 5-10cm yang ada pada 1 sisi jalan.

Jalan kecil pada hunian            Jalan permukiman/gang                    Jalan lingkungan

Gambar 10. Kondisi jaringan jalan pada permukiman kumuh kasus 2 Sumber: Penulis

Air bersih pada kasus 2

Sumber air bersih pada permukiman kumuh di lokasi ini menggunakan sumur bor dan sumur gali. Pada rumah kost sumber air bersih berasal dari sumur bor yang digunakan secara bersama-sama oleh pemilik kontrakan dan penghuni kost. Sumur bor ini dibuat oleh pemilik kontrakan yang dalam hal ini adalah pemilik lahan, untuk kemudian dimanfaatkan oleh penghuni kost. Pada 2 hunian (kost) yang digunakan sebagai sampel, sumur bor terletak di bagian barat hunian dengan tangki air yang berada di atas kamar mandi umum pada kost tersebut.

Gambar 11. Kondisi jaringan air bersih pada permukiman kumuh kasus 2

Sumber: Penulis

Pada hunian dalam bentuk kontrakan, sumber air bersih yang digunakan adalah sumur gali. Sumur ini dibuat oleh warga yang menyewa lahan bersangkutan. Air bersih diangkut secara manual menuju kamar mandi dan dapur untuk kemudian dimanfaatkan untuk mencuci piring dan pakaian maupun untuk mandi. Air bersih yang berasal dari sumur bor maupun sumur gali tidak dimanfaatkan untuk konsumsi oleh warga permukiman, melainkan hanya untuk aktivitas mencuci dan mandi.

Limbah pada kasus 2

Pada permukiman kumuh kasus kedua ini, tidak terdapat saluran pembuangan limbah yang khusus. Secara umum limbah dialirkan pada saluran drainase (got) yang merupakan saluran pembuangan air hujan. Limbah rumah tangga yang berasal dari dapur pada masing-masing hunian terlebih dahulu dialirkan pada saluran drainase (got) kecil di depan hunian, kemudian dari saluran kecil tersebut akan dialirkan menuju saluran drainase (got) utama di pinggir jalan, dan bermuara ke sungai. Setiap kamar mandi memiliki septictank masing-masing yang berfungsi untuk menampung limbah padat yang berasal dari kamar mandi tersebut.

Gambar 12. Kondisi pembuangan limbah pada permukiman kumuh kasus 2

Sumber: Penulis

Pada hunian yang langsung menghadap ke jalan utama, limbah rumah tangga yang dihasilkan langsung dialirkan menuju saluran drainase (got) utama. Posisi dapur dan kamar mandi juga berdekatan dengan jalan utama dan saluran pembuangan yang ada di sepanjang jalan tersebut. Hal ini dapat mempermudah warga permukiman membuat saluran dari dapur ataupun kamar mandi yang langsung menuju saluran pembuangan utama. Dari saluran pembuangan utama ini nantinya akan bermuara ke sungai yang ada di ujung barat permukiman. Kondisi ini menyebabkan air sungai menjadi tercemar oleh limbah-limbah tersebut.

Sarana mandi cuci kakus (MCK) pada kasus 2

Terdapat 2 jenis sarana Mandi Cuci Kakus (MCK) pada permukiman kumuh di Banjar Buana Asri ini. Jenis yang pertama adalah kamar mandi komunal yang ada pada 1 blok hunian berupa kontrakan/kost. Kamar mandi ini disediakan oleh pemilik lahan khusus untuk penghuni kost pada 1 blok hunian tersebut. Kamar mandi ini biasanya memfasilitasi 5 hingga 6 kamar kost (5-6 KK). Berdasarkan observasi di lapangan, dengan bentuk blok hunian yang memanjang ke samping, kamar mandi biasanya diletakkan pada ujung belakang hunian. Sumber air bersih yang digunakan untuk kegiatan MCK berasal dari sumur bor. Sarana MCK jenis kedua adalah sarana MCK pribadi yaitu, sarana MCK pada 1 blok hunian yang berupa rumah kontrakan yang dihuni oleh 1 keluarga. Sarana MCK dalam hal ini hanya memfasilitasi 1 hunian. Sumber air bersih yang digunakan untuk kegiatan MCK bersasal dari sumur gali pada hunian tersebut.

Gambar 13. Kondisi sarana MCK pada permukiman kumuh kasus 2

Sumber: Penulis

  • c.    Kondisi eksisting infrastruktur permukiman kumuh kasus 3

Gambar 14. Peta lokasi permukiman kumuh di Banjar Pekandelan (kasus 3)

Sumber: BAPPEDA Kota Denpasar, 2012

Permukiman kumuh di Banjar Pekandelan, Desa Pemecutan Klod terletak di Jalan kertapura Gang Segina VI. Pada awalnya lahan permukiman ini merupakan lahan milik

banjar yang disewakan kepada pendatang. Lahan ini disewakan dengan tujuan memperoleh keuntungan, sehingga uang hasil dari sewaan tersebut dapat dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial yang diadakan oleh banjar. Jumlah KK pada lingkungan permukiman ini adalah 196 KK dengan total jumlah warga sebanyak 448 jiwa.

Jaringan jalan pada kasus 3

Terdapat 3 tipe jalan pada permukiman ini, yaitu jalan lingkungan dan jalan permukiman/gang, serta jalan kecil pada 1 blok hunian (kost). Jalan lingkungan yaitu jalan Kertapura adalah jalan umum yang menjadi akses utama menuju gang segina VI, dimana gang ini merupakan jalan pada permukiman kumuh. Jalan lingkungan memiliki lebar ±4 meter dengan material berupa aspal. Tipe jalan yang kedua adalah jalan permukiman (gang segina VI), dengan kondisi jaringan jalan permukiman/gang ini awalnya masih berupa jalan tanah, namun sejak tahun 1996 permukiman ini memperoleh bantuan berupa perbaikan jalan dari pemerintah. Saat ini kondisi jalan lingkungan berupa perkerasan semen dengan lebar ±4 meter, sementara ke arah timur lebar jalan ±3 meter.

Tipe jalan ketiga adalah jalan kecil yang ada pada 1 blok hunian dalam bentuk kost. Jalan ini dibangun oleh pemilik kontrakan (penyewa lahan pihak pertama) yang merupakan akses bagi penghuni kost dengan lebar ±1,5 meter. Kondisi jalan sudah berupa perkerasan yang menggunakan material semen. Selain digunakan sebagai akses keluar masuk, jalan ini juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk melakukan aktifitas lainnya seperti mencuci, menjemur pakaian, serta meletakkan peralatan rumah tangga.

Gam bar 15. Kondisi jaringan jalan pada permukiman kumuh kasus 3

Sumber: Penulis

Air bersih pada kasus 3

Sumber air bersih di lokasi permukiman ini menggunakan sumur bor, sumur gali, serta ada bebrapa yang sudah menggunakan PAM. Berbeda dengan kasus permukiman kumuh sebelumnya, sumber air bersih yang digunakan pada masing-masing hunian tidak berdasarkan pada tipe hunian namun tergantung pada kemampuan dari masing-masing keluarga. Berdasarkan fungsinya, sumber air bersih yang digunakan dapat dibagi menjadi

2 jenis yaitu, sumber air bersih yang digunakan secara komunal serta sumber air bersih yang digunakan secara pribadi.

Gambar 16. Kondisi jaringan air bersih pada permukiman kumuh kasus 3

Sumber: Penulis

Berdasarkan pada sampel hunian yang diteliti, sumber air bersih yang digunakan secara komunal berasal dari sumur gali. Sumur ini dibangun oleh pemilik kontrakan (penyewa lahan pihak pertama) yang disediakan khusus untuk penghuni kost dalam 1 blok hunian tersebut. Air ini didistribusikan melalui saluran berupa pipa yang dibuat secara manual oleh pemilik kontrakan. Selain menggunakan sumur gali sebagai air bersih secara komunal, pada beberapa hunian juga menggunakan sumur bor, terutama pada 1 blok hunian yang berupa kost. Berbeda dengan permukiman kumuh pada kasus sebelumnya, pada permukiman kumuh di lokasi ini sudah terdapat beberapa hunian yang menggunakan PAM sebagai sumber air bersih. Hunian yang digunakan sampel merupakan rumah dari Kepala permukiman.

Limbah pada kasus 3

Sistem pembuangan limbah di permukiman kumuh ini sudah menggunakan SANIMAS (Sanitasi Berbasis Masyarakat). Sanimas adalah program untuk menyediakan prasarana air limbah bagi masyarakat di daerah kumuh padat perkotaan. Sanimas merupakan bantuan dari pemerintah pada tahun 1996. Sanimas merupakan kerjasama antara Dinas PU (Pekerjaan Umum), BORDA (BUMN), Badan Lingkungan Hidup, serta Kelompok Swadaya Masyarakat. Dengan adanya sanimas ini kondisi pembuangan air limbah menjadi tertata sehingga tidak dapat mengurangi polusi di sekitar lingkungan permukiman kumuh ini.

Pada contoh hunian yang digunakan sebagai sampel, terdapat 7 buah bak kontrol yang letaknya tersebar pada area servis di rumah ini. Area servis tersebut misalnya, tempat cuci, dapur, kamar mandi, serta tempat selip. Limbah rumah tangga yang dialirkan melalui saluran pembuangan pada masing-masing hunian ini, kemudian akan dialirkan menuju saluran pembuangan komunal yang ada di sepanjang jalan utama dan bermuara pada septictank komunal di ujung jalan permukiman untuk selanjutnya diolah kembali dan kemudian air tersebut akan dialirkan menuju got.



G ambar 17. Kondisi bak kontrol pada hunian (kiri) dan bak kontrol komunal (kanan) pada permukiman kumuh kasus 3

Sumber: Penulis

Sarana mandi cuci kakus (MCK) pada Kasus 3

Berdasarkan penggunaannya, sarana MCK dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu, kamar mandi komunal serta kamar mandi pribadi. Seperti pada kasus permukiman kumuh lainnya, kamar mandi komunal terdapat pada 1 blok hunian yang disewakan kembali oleh penyewa lahan dalam bentuk kamar kost. Pada sampel hunian yang diteliti, dalam 1 blok hunian terdapat 3 kamar mandi yang disediakan oleh penyewa lahan (pemilik kontrakan) untuk penghuni kost pada hunian tersebut. Air bersih yang digunakan berasal dari sumur gali yang ada pada hunian tersebut. Pada sampel hunian yang kedua, sarana MCK digunakan secara pribadi oleh 1 keluarga pada hunian tersebut. Dalam hal ini penghuni merupakan penyewa lahan pihak pertama. Sumber air bersih yang digunakan yang dimanfaatkan untuk aktivitas MCK berasal dari PAM.

Tabel 1. Kondisi infrastruktur permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar Barat

No .

Jenis Infrastruktur

Kasus

Kasus 1

Kasus 2

Kasus 3

1

Jalan

  • -    Jalan lingkungan (aspal)

  • -    Jalan permukiman/gang (aspal)

  • -    Jalan kecil (paving, semen, tanah)

  • -    Jalan lingkungan (aspal)

  • -    Jalan permukiman/gang (paving)

  • -    Jalan kecil (semen, tanah)

  • -    Jalan lingkungan (aspal)

  • -    Jalan permukiman/gang (semen, tanah)

  • -    Jalan kecil (semen, tanah)

2

Air bersih

  • -    Pompa (komunal)

  • -    Sumur bor (komunal

& pribadi)

  • -    Sumur Gali (komunal

& pribadi)

  • -    Sumur bor

  • -    Sumur Gali

  • -    Sumur bor

  • -    Sumur gali

  • -    Terdapat beberapa rumah yang sudah menggunakan PAM

3

Pengelolaan limbah

  • -    Septictank (off site system)

  • -    Dialirkan ke saluran drainase

  • -    Septictank (off site system)

  • -    Dialirkan ke saluran drainase

  • -    Septictank (off site system)

  • -    Sanimas (on site system)

4

MCK

- Kamar mandi bersama - Kamar mandi pribadi

  • -    Kamar mandi bersama

  • -    Kamar mandi pribadi

  • -    Kamar mandi bersama

  • -    Kamar mandi pribadi

Sumber: Penulis

Proses Pengadaan Infrastruktur Permukiman Kumuh

Proses pengadaan infrastruktur pada permukiman kumuh dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu, tahap pada awal perkembangan, tahap perencanaan, tahap pembiayaan, tahap pelaksanaan, tahap pengelolaan, serta tahap perbaikan. Pada masing-masing tahap terdapat pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan infrastruktur permukiman kumuh ini meliputi, pemilik lahan, warga permukiman, pihak pemerintah, pihak banjar, pihak desa, serta pihak swasta. Berikut merupakan tabel proses pengadaan infrastruktur permukiman kumuh yang menunjukkan keterkaitan dan perbandingan antara permukiman kumuh kasus 1, kasus 2 dan kasus 3.

Tabel 2. Proses pengadaan infrastruktur permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar Barat

Awal perkembangan

Perencanaan

Pembiayaan

Pelaksanaan

Pengelolaan

Perbaikan

1998

1990

Pihak Terkait

KASUS 1 (Br. Jematang)


§

S


§

S


Air Jalan Limbah MCK

KASUS 2

(Br. Buana Asri)

Air

Jalan

Limbah

MCK

KASUS 3

(Br. Pekandelan)

Air

Jalan

Limbah

=S

S

=S

S

8

'g ≡

permukiman


MCK


Sumber: Penulis

RUANG - VOLUME 2, NO. 1, APRIL 2015

35


  • a.    Proses pengadaan infrastruktur pada kasus 1

Jaringan infrastruktur yang pertama kali diadakan adalah jalan umum yang ada di bagian timur lahan yang disewakan. Jalan ini masih berupa jalan tanah yang disediakan oleh pemilik lahan untuk pengontrak selebar ±2meter. Infrastruktur lainnya seperti jaringan air bersih (sumur bor, sumur gali) serta fasilitas MCK (Kamar mandi) dibuat oleh warga permukiman yang merupakan penyewa lahan. Jumlah hunian yang semakin bertambah dari waktu ke waktu ini secara tidak langsung membentuk jalan-jalan kecil yang menghubungkan kelompok hunian satu dengan yang lainnya. Kondisi jalan ini berupa jalan tanah dengan lebar ±0,8 meter hingga ±1,5 meter. Untuk infrastruktur lainnya seperti listrik, sumur, saluran drainase, pembuangan limbah serta sarana MCK, diadakan secara swadaya oleh penyewa lahan (pihak 1), yang kemudian dapat digunakan bersama oleh penyewa kamar kost (pihak 2).

Pada tahap berikutnya yaitu perencanaan, pihak yang terkait didalamnya adalah pemerintah dengan dibantu oleh pihak desa setempat. Menurut Kepala Dusun/Kelian Banjar Jematang, dahulu pernah terjadi wabah penyakit muntaber di lingkungan permukiman kumuh ini yang disebabkan oleh kondisi lingkungan permukiman yang buruk dan air tanah yang tercemar. Melihat kondisi ini, pemerintah merasa perlu untuk turun langsung mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Pemerintah mulai merencanakan pengadaan infrastruktur yang masih diperlukan dan memperbaiki infrastruktur yang sudah ada pada permukiman tersebut. Pembiayaan pada perencanaan ini sepenuhnya dibantu oleh pemerintah setempat yaitu Dinas PU (Pekerjaan Umum) Kota Denpasar.

Pada tahap pelaksanaan, dikerjakan oleh petugas dari pemerintah dengan dibantu oleh pihak Banjar serta warga permukiman. Tahap ini mulai dilaksanakan pada tahun 1998. Infrastruktur yang dibantu oleh pemerintah adalah, pelebaran dan pengaspalan jalan lingkungan, serta pemavingan jalan permukiman; pengadaan pompa air sebanyak 4 buah yang dapat digunakan secara komunal atau bersama pada permukiman kumuh; pembangunan sarana MCK umum sebanyak 3-4 buah; pengadaan saluran drainase sepanjang 15 meter yang dikerjakan pada tahun 2009 hingga 2010.

Tahap berikutnya adalah pengelolaan, yang dilakukan oleh pihak pemilik lahan, warga permukiman, pihak banjar, serta pihak swasta. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap ini misalnya, pemakaian infrastruktur yang tersedia dengan baik, gotong royong di lingkungan permukiman setiap 2 minggu sekali yang diadakan oleh pihak banjar, serta pemungutan sampah oleh pihak swasta dengan biaya operasional sebesar Rp. 5000,-/bulan. Selain itu, untuk pengelolaan kamar mandi/WC umum dikenakan biaya operasional sebesar Rp. 5000,-/bulan untuk setiap orangnya.

  • b.    Proses pengadaan infrastruktur pada kasus 2

Pada tahap awal perkembangan pada permukiman ini, infrastruktur yang yang sudah tersedia adalah jalan pada utara permukiman yaitu jalan resimuka barat. Pada saat lahan permukiman mulai disewakan, disediakan jalan lingkungan atau gang oleh pemilik lahan yang berupa jalan tanah. Jalan ini membatasi antara lahan 1 (utara) dan lahan 2 (selatan) dengan pemilik yang berbeda. Semakin bertambah padatnya penghuni pada permukiman ini, secara tidak angsung terbentuklah jalan-jalan kecil yang menghubungkan antara jalan utama pada permukiman dengan hunian warga. Infrastruktur lainnya seperti sumber air bersih, kamar mandi, saluran pembuangan diusahakan oleh penghuni atau penyewa lahan

itu sendiri. Pada proses awal, pihak yang berperan adalah pemilik lahan dan penyewa lahan/warga permukiman.

Berbeda dengan proses pengadaan infrastruktur permukiman kumuh yang pertama, tahap berikutnya pada permukiman kumuh ini adalah tahap pengelolaan. Hal ini dikarenakan pihak pemerintah belum ada turun langsung dalam proses pengadaan infrastruktur dalam bentuk apapun. Berdasarkan penuturan dari salah seorang pihak Desa, tidak adanya bantuan langsung dari pemerintah maupun desa, disebabkan oleh status lahan yang merupakan lahan pribadi sehingga pada wilayah permukiman kumuh ini bukan prioritas utama untuk diberikan bantuan dalam hal sarana dan prasarana umum. Tindakan ini dimaksudkan agar nantinya tidak muncul kecemburuan sosial dari warga setempat yang juga tidak memperoleh bantuan.

Pada proses pengelolaan infrastruktur pada permukiman ini dilakukan oleh pemilik serta penyewa lahan, pihak banjar, serta pihak swasta. Secara keseluruhan proses pengelolaan infrastruktur dilakukan oleh warga permukiman yang menyewa lahan ini. Terdapat 1 warga yang ditunjuk oleh warga lainnya untuk menjadi koordinator atau kepala di lingkungan ini. Kepala inilah yang nantinya akan mengkoordinir pengelolaan jaringan infrastruktur yang ada serta fasilitas bersama pada permukiman. Kegiatan yang dilakukan secara rutin adalah gotong royong setiap 1 bulan 1 kali yang melibatkan seluruh warga permukiman. Untuk pengelolaan sampah, pihak banjar bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengangkut sampah, dan warga cukup membayar biaya operasional Rp. 10.000/bulan.

Proses berikutnya adalah perbaikan jaringan infrastruktur yang ada. Pada tahun 1998 pemilik lahan bekerja sama dengan warga permukiman memperbaiki jalan lingkungan yang ada pada permukiman tersebut. Kegiatan yang dilakukan adalah pemavingan jalan lingkungan dari timur permukiman hingga ke barat permukiman yang berbatasan dengan sungai. Untuk pembiayaan pada kegiatan ini ditanggung oleh pemilik lahan serta warga permukiman yang juga ikut berpartisipasi.

  • c.    Proses pengadaan infrastruktur pada kasus 3

Pada awal perkembangan permukiman tahun 1995, infrastruktur awal yang disediakan oleh pemilik lahan, dalam hal ini pihak banjar, adalah jaringan jalan. Jalan awal masih berupa jalan tanah yang berada di tengah-tengah sepanjang permukiman. Infrastruktur lain seperti air bersih, sarana MCK, serta saluran-saluran pembuangan pada masing-masing hunian, dibuat oleh warga permukiman itu sendiri. Sumber air bersih menggunakan sumur gali dan sumur bor yang digunakan secara pribadi maupun secara komunal.

Proses berikutnya yaitu perencanaan, dalam hal ini adalah perencanaan program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) dari pemerintah Kota Denpasar. Pada awalnya pemerintah menawarkan program ini ke desa-desa, salah satunya adalah Desa Pemecutan Klod, dengan sasaran dari program ini adalah kawasan permukiman padat penduduk di perkotaan. Pihak Banjar Pekandelan kemudian megajukan ke Desa agar permukiman yang ada di wilayahnya lah yang diberikan bantuan program Sanimas ini. Berdasarkan atas beberapa pertimbangan, program Sanimas ini akan diadakan pada permukiman padat penduduk di Gang Segina VI, Banjar Pekandelan, Desa Pemecutan Klod.

Pelaksanaan Sanimas di lingkungan Segina VI dimulai pada tahun 2005. Dana pembangunan sebesar Rp 260 juta merupakan bantuan dari Pemerintah Kota Denpasar, Bremen Overseas Research and Development Agency (BORDA) melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) Bali Fokus, dan swadaya masyarakat. Pada saat itu warga setempat melakukan urunan sebesar Rp. 45.000/KK. Pada januari 2006 fasilitas sanimas sudah dapat beroperasi dan digunakan oleh masyarakat setempat. Hingga kini fasilitas sanimas melayani 196 KK dengan total jumlah warga sebanyak 448 jiwa.

Tahapan berikutnya adalah proses pengelolaan yang melibatkan pihak pemerintah dan lembaga-lembaga terkait yaitu BORDA sebagai pihak yang memonitoring dan mengevaluasi kondisi dari fasilitas sanimas ini. Penerapan Sanimas mengharuskan adanya peran serta warga pada program itu. Selain urunan saat pembangunan, masyarakat juga diwajibkan membayar iuran sebesar Rp 5.000/KK setiap bulannya untuk biaya perbaikan dan pemeliharaannya. Pengelolaan Sanimas ini juga dilaksanakan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Segina Asri, kelompok yang dibentuk untuk pengelolaan Sanimas di Segina VI.

Berdasarkan pemaparan diatas, proses pengadaan infrastruktur permukiman kumuh di Denpasar Barat dapat digolongkan menjadi 2 tipe yaitu, tipe 1 yang terdiri dari tahap awal perkembangan, tahap perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengelolaan. Proses pengadaan tipe 2 yang terdiri dari tahap awal perkembangan, pengelolaan, serta perbaikan.

Faktor-Faktor Pengaruh Kondisi serta Pengadaan Infrastruktur Permukiman Kumuh

Infrastruktur maupun fasilitas umum suatu permukiman pada umumnya tidak serta merta dibangun begitu saja, namun terdapat beberapa dasar pertimbangan ataupun faktor-faktor yang mempengaruhi infrastruktur tersebut diadakan oleh pihak-pihak tertentu. Pada 3 kasus permukiman kumuh yang diteliti yaitu permukiman kumuh di Banjar Jematang (kasus 1), permukiman kumuh di Banjar Buana Asri (kasus 2), dan permukiman kumuh di Banjar Pekandelan, juga terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pengadaan infrastruktur di permukiman tersebut. Berdasarkan pemaparan pada bagian sebelumnya yaitu mengenai kondisi infrastruktur pada masing-masing kasus permukiman kumuh, proses pengadaan infrastruktur, serta pihak-pihak yang terlibat didalamnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan berupa faktor-faktor yang mempengaruhi pengadaan infrastruktur pada ketiga kasus yang diteliti. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

  • a.    Faktor status lahan

Faktor pertama yang mempengaruhi pengadaan infrastruktur permukiman kumuh pada ketiga kasus yang diteliti adalah status lahan. Status lahan permukiman kumuh pada ketiga kasus yang diteliti merupakan lahan sewa. Status lahan sewa sangat berperan dalam proses pengadaan infrastruktur terutama bagi pemerintah. Pada kasus 2 (Br. Buana Asri) terlihat faktor status lahan berada pada peringkat pertama yang mempengaruhi pengadaan infrastruktur. Pada permukiman ini, pemerintah belum pernah terlibat dalam pengadaan maupun perbaikan jaringan infrastruktur. Hal ini dikarenakan oleh status lahan seluruh permukiman yang merupakan lahan sewa, sehingga permukiman ini tidak menjadi prioritas bagi pemerintah untuk diberikan bantuan.

Pada kasus lainnya, yaitu permukiman kumuh kasus 1 (Br. Jematang) dan kasus 3 (Br. Pekandelan), faktor status lahan bukan merupakan faktor utama dalam proses pengadaan infrastruktur permukiman tersebut. Status lahan tetap menjadi dasar pertimbangan dalam pengadaan maupun perbaikan infrastruktur sehingga, tidak menimbulkan kecemburuan sosial bagi warga lain di sekitar permukiman ini.

  • b.    Faktor kondisi fisik permukiman

Kondisi fisik permukiman dalam hal ini adalah kondisi lingkungan pada permukiman yang juga terkait dengan kondisi infrastruktur yang sudah ada sebelumnya. Pada permukiman kumuh kasus 1 (Br. Jematang), faktor kondisi fisik permukiman menjadi faktor utama yang mempengaruhi pengadaan jaringan infrastruktur. Kondisi permukiman (hunian) yang sangat buruk, serta jaringan infrastruktur yang seadanya dengan memanfaatkan potensi di sekitar permukiman secara tidak bertanggung jawab, menyebabkan pemerintah turun langsung memberikan bantuan pada permukiman ini dalam bentuk pengadaan infrastruktur seperti jalan beserta saluran drainasenya, pompa air, dan kamar mandi/MCK yang digunakan secara komunal. Pada kasus 3, kondisi fisik permukiman juga berpengaruh pada proses pengadaan infrastruktur, terutama dalam hal pengadaan saluran pembuangan limbah, namun tidak demikian halnya pada kasus 2 (Br. Buana Asri), kondisi fisik permukiman tidak termasuk dalam faktor yang mempengaruhi pengadaan infrastruktur terutama oleh pihak pemerintah.

  • c.    Faktor hak milik lahan

Hak milik lahan dalam hal ini adalah pihak sebagai pemilik lahan yang berperan dalam proses pengadaan infrastruktur. Pengaruh dari faktor hak milik lahan terlihat pada kasus 3 (Br. Pekandelan), dimana lahan permukiman ini merupakan lahan milik banjar yang kemudian disewakan kepada pendatang. Pihak banjar yang merupakan pemilik lahan pada permukiman ini, mempermudah pemilik lahan dan warga permukiman untuk mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur yang sudah ada sebelumnya. Lain halnya dengan kasus 2, hak milik lahan permukiman ada pada pihak perseorangan yang merupakan warga desa tersebut. Salah satu penyebab permukiman ini tidak memperoleh bantuan dari pemerintah adalah pemilik lahan yang berjumlah 2 orang yang hanya merupakan warga biasa.

  • d.    Faktor potensi pada site

Faktor potensi pada site yang dimaksud seperti misalnya sungai, lahan kosong atau tegalan yang dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur. Secara

keseluruhan, potensi site menjadi faktor pengaruh dalam pengadaan infrastruktur khususnya yang berkaitan dengan pembuangan limbah, baik limbah cair, padat, maupun sampah. Pada kasus 1 dan 3, lokasi permukiman berada dekat dengan sungai. Tidak hanya saluran drainase yang bermuara ke sungai dekat permukiman, namun juga saluran pembuangan limbah cair yang berasal dari dapur dan kamar mandi, juga bermuara ke sungai. Untuk limbah sampah, selain terdapat pihak swasta yang mengangkut sampah-sampah tersebut, masih ada sebagian warga yang memanfaatkan potensi site yang ada seperti sungai dan lahan kosong sebagai tempat pembuangan sampah. Hal ini tentunya dapat merusak lingkungan yang ada di sekitar permukiman tersebut.

  • e.    Faktor sumber daya manusia

Faktor sumber daya manusia yang dimaksud adalah peran dari masing-masing pihak yang terkait dalam proses pengadaan infrastruktur hingga tahap pengelolaannya. Faktor ini terlihat pada kasus 3 dalam pengadaan fasilitas pengelolaan limbah berbasis masyarakat (sanimas). Kerjasama antara pihak pemerintah, pihak swasta, pemilik lahan serta warga permukiman itu sendiri sangat baik, sehingga program sanimas yang diadakan oleh pemerintah dapat berjalan dengan baik hingga saat ini. Pihak pemerintah berperan sebagai pihak yang menaungi diadakannya program ini, sedangkan pihak swasta berperan dalam pembangunan fasilitas sanimas, dan warga permukiman melalui suatu organisasi berperan dalam mengelola fasilitas tersebut.

  • f.    Faktor kondisi site permukiman

Faktor kondisi site secara kesekuruhan terkait dengan proses pengadaan saluran-saluran drainase serta saluran pembuangan limbah. Pada kasus 2 kondisi site berpengaruh dalam pengadaan saluran pembuangan limbah. Kondisi kemiringan site pada permukiman ini lebih rendah pada ujung belakang permukiman, yang juga merupakan letak dari sungai. Saluran-saluran mikro yang berasal dari hunian masing-masing bermuara pada saluran makro yang ada di jalan utama permukiman, kemudian saluran ini mengalir ke bbagian belakang permukiman yaitu ke sungai. Aliran limbah pada saluran ini berjalan lancar, namun akibat kemiringan site yang semakin ke belakang semakin rendah, menyebabkan permukiman ini menjadi daerah aliran air yang berasal dari permukiman yang berada pada daerah yang lebih tinggi.

Berdasarkan pemaparan diatas, faktor-faktor pengaruh kondisi dan pengadaan infrastruktur permukiman kumuh dapat digolongkan menjadi 3 faktor yang dilihat secara makro yaitu, (1) Faktor alam, meliputi kondisi site dan potensi pada site; (2) Faktor buatan, meliputi kondisi fisik permukiman; serta (3) Faktor sosial, meliputi status lahan, hak milik lahan, dan sumber daya manusia. Keseluruhan faktor ini terkait satu sama lainnya dan memiliki perbedaan pada setiap kasus permukiman kumuh yang diteliti.

Kesimpulan

Kondisi jaringan infrastruktur pada permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar Barat pada 3 kasus yang distudi, dapat disimpulkan berdasarkan jenis-jenis infrastruktur yang diteliti yaitu jaringan jalan, air bersih, limbah serta sarana MCK. Terdapat 3 jenis jaringan jalan pada permukiman kumuh ini yaitu, jalan lingkungan, jalan permukiman, serta jalan-jalan kecil pada hunian. Air bersih berasal dari 4 sumber yakni, pompa, sumur bor, sumur gali, dan ada juga yang sudah menggunakan PAM. Sumber air bersih ini dimanfaatkan

secara komunal (bersama), serta ada pula yang dimanfaatkan secara pribadi. Sistem pengelolaan limbah pada permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar Barat menggunakan off site system (septictank), on site system (sanimas) yang digunakan secara komunal, serta pembuangan limbah ke saluran drainase terdekat yang nantinya akan menuju ke sungai. Sarana MCK dapat digolongkan menjadi 2 tipe berdasarkan penggunaannya yaitu, sarana MCK yang digunakan secara komunal, serta MCK yang digunakan secara pribadi pada satu hunian.

Proses pengadaan infrastruktur pada permukiman kumuh dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu, tahap pada awal perkembangan, tahap perencanaan, tahap pembiayaan, tahap pelaksanaan, tahap pengelolaan, serta tahap perbaikan. Pada masing-masing tahap terdapat pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan infrastruktur permukiman kumuh ini meliputi, pemilik lahan, warga permukiman, pihak pemerintah, pihak banjar, pihak desa, serta pihak swasta. Secara keseluruhan terdapat 2 tipe tahapan proses pengadaan infrastruktur pada permukiman kumuh, yaitu, Tipe 1 (awal perkembangan ÷ perencanaan ÷ pembiayaan ÷ pelaksanaan ÷ pengelolaan); dan Tipe 2 (awal perkembangan ÷ pengelolaan ÷ perbaikan).

Pada kondisi serta proses pengadaan infrastruktur terdapat beberapa dasar pertimbangan ataupun faktor-faktor yang mempengaruhi infrastruktur tersebut. Faktor-faktor tersebut yaitu, status lahan, kondisi fisik infrastruktur yang ada, hak milik lahan, potensi pada site, sumber daya manusia, serta kondisi site permukiman. Keseluruhan faktor-faktor tersebut dapat digolongkan kembali menjadi 3 faktor secara makro yakni, faktor alam yang meliputi potensi pada site dan kondisi site permukiman, faktor buatan yang meliputi kondisi fisik permukiman/infrastruktur yang sudah ada, serta faktor sosial yang meliputi status lahan, hak milik lahan, serta sumber daya manusia.

Daftar Pustaka

Adisasmita, R (2010) Pembangunan Kota Optimum Efisien & Mandiri Yogyakarta: Graha Ilmu.

Bappeda Kota Denpasar (2012) Tata Ruang Kota Denpasar Denpasar: Bappeda.

BPS (2012) Denpasar Barat dalam Angka 2012 Denpasar: Badan Pusat Statistik.

Budihadjo, E (1998) Sejumlah Masalah Permukiman Kota Bandung: PT. Alumni.

Kodoatie, R J (2003) Pengantar Manajemen Infrastruktur Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Moleong, L J(2008) Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi) Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Profil Kecamatan Denpasar Barat Tahun 2011.

UN HABITAT, UNESCAP (2008) Perumahan Bagi Kaum Miskin di Kota-Kota Asia, Urbanisasi: Peran Kaum Miskin Di Dalam Perkembangan Kota Nairobi: United Nations Office.

UN HABITAT, UNESCAP (2008) Perumahan Bagi Kaum Miskin di Kota-Kota Asia, Perumahan untuk MBR: Memberi Tempat Yang Layak Bagi Kaum Miskin Kota Nairobi: United Nations Office.

UN HABITAT, UNESCAP (2008) Perumahan Bagi Kaum Miskin di Kota-Kota Asia, Lahan: Komponen Kritis Dalam Pengadaan Perumahan Bagi MBR Nairobi: United Nations Office.

UN HABITAT, UNESCAP (2008) Perumahan Bagi Kaum Miskin di Kota-kota Asia, Lahan: Komponen Kritis Dalam Pengadaan Perumahan Bagi MBR Nairobi: United Nations Office.

42

SPACE - VOLUME 2, NO. 1, APRIL 2015