PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI KEKINIAN CATUSPATHA DENPASAR
on
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI
RUANG
SPACE
KEKINIAN CATUSPATHA DENPASAR
Oleh: Eka Diana Mahira 1
Abstract
The current catuspatha of Denpasar is a legacy of the Badung Kingdom. It is composed both of built areas and an open space. These are transformed as the city changes, and the process affects the functions performed in the space. Catuspatha is a substantial traditional element of towns and should be conserved. In order to determine current transformations, a preliminary study of public perception was made using qualitative research methods. Findings demonstrate that socioeconomic functions dominate catuspatha in Denpasar. This however contradicts the Spatial Plan for Denpasar which designates the area for urban governance related functions. The expectation is that the government will recognize the results of this study and consolidate a land use plan for the Catuspatha as an important legacy of the Badung Kingdom.
Keywords: catuspatha, perception, sosio-economic function
Abstrak
Catuspatha Denpasar yang ada saat ini merupakan sebuah peninggalan dari Kerajaan Badung. Catuspatha ini dibentuk oleh ruang terbangun dan ruang terbuka. Seiring pertumbuhan kota, kedua elemen ini telah mengalami perubahan, dan prosesnya telah berpengaruh terhadap fungsi-fungsi yang ada di dalamnya. Catuspatha secara tradisional merupakan salah satu elemen kota yang substansial, yang harus dilestarikan dan diberlanjutkan keberadaannya. Dalam rangka mendalami beragam tansformasi yang telah terjadi sampai saat ini, diperlukan sebuah studi awal tentang persepsi masyarakat terhadap fungsi-fungsi yang diwadahi di dalamnya dengan menerapkan metode penelitian kualitatif. Hasil studi menunjukan bahwa fungsi sosial-ekonomi telah mendominasi pemanfaatan Catuspatha Denpasar. Temuan ini bertentangan dengan ketentuan yang ada di Tata Ruang Kota Denpasar yang mengatur Catuspatha ini sebagai zona utama yang mewadahi fungsi-fungsi berkenaan pemerintahan kota. Diharapkan, pemerintah akan memperhatikan hasil studi yang diperoleh disini dan mengkonsolidasikan sebuah tata guna keruangan untuk Catuspatha Denpasar sebagai legasi penting dari Kerajaan Badung.
Keywords: catuspatha, persepsi, fungsi sosio-ekonomi
Pendahuluan
Kota Denpasar sebagai ibukota Propinsi Bali memiliki perjalanan panjang dan bersejarah terkait dengan keberadaan ruang kota, khususnya pada Pusat Kota Denpasar yang memberikan pengaruh pada perkembangan Kota Denpasar. Perkembangan menyebabkan terjadinya perubahan baik pada bangunan fisik, fungsi maupun makna yang terkandung pada setiap ruang di Kota Denpasar yang tentunya ikut member andil terhadap keberadaan tata kota dan wajah kota sebagai akibat dari interaksi satu sama lain dalam proses perubahan tersebut (Setiada dkk 2009).
Kota Denpasar sendiri merupakan warisan kota Kerajaan Badung dengan pusat kota terletak pada catuspatha Denpasar yang merupakan catuspatha utama, sebagaimana kota-kota warisan kerajaan (Tabanan, Kelungkung, Bangli, Gianyar, Mengwi, dan lainnya) di Bali pada umumnya dengan pusat kota terletak pada catuspatha agung/utama (Putra, 2005). Keberadaan catuspatha Denpasar sebagai Pusat Kota Denpasar dipengaruhi oleh faktor kekuasaan pada masa kerajaan, yang ditunjukkan dengan penempatan Puri Agung Denpasar yang merupakan tempat penguasa tertinggi Kerajaan Badung di sebelah timur laut (kaja-kangin) catuspatha (Palguna 2009, Putra 2009).
Secasa filosofi, catuspatha merupakan pertemuan empat ruas jalan yang menjadi implementasi arah horizontal (kangin-kauh/timur-barat dan kaja-kelod/utara-selatan/gunung-laut), serta pertemuan antara arah horizontal tersebut dengan arah vertikal (atas-bawah/akhasa-pertiwi/langit-bumi/purusha-pradhana) dengan titik pertemuan merupakan ruang kosong sebagai simbol dari proses penciptaan dan sumbu magis alam semesta/kosmos (Astra dkk 1986, Atmaja 2003).
Pada masa kerajaan di Bali, catuspatha bukan sekedar sebagai simpang empat yang memiliki nilai sakral namun terkait pula dengan statusnya sebagai pusat ibukota kerajaan. Hal tersebut terkait dengan konsep negara dalam ajaran agama Hindu yang mana kerajaan/negara merupakan simbol alam semesta/kosmos, sehingga catuspatha yang dimaknai secara filosofi sebagai pusat magis kosmos merupakan simbol dari pusat kota/negara/kerajaan (Heine-Geldern 1982).
Keberadaan catuspatha sebagai pusat ibukota kerajaan ditunjukkan dengan adaya unsur puri, pasar, wantilan, taman/alun-alun, serta jumlah lawa (pempatan) yang terletak di empat penjuru mata angin mengelilingi catuspatha utama/agung (Putra 1998, Putra, 2009). Unsur-unsur tersebut merupakan pewadahan segala aktivitas manusia yang menjadi simbol kehidupan material dan spiritual yang diimplementasikan dalam catuspatha dengan aktivitas ritual, politik/pemerintahan, perekonomian, kebudayaan. Dengan kata lain catuspatha sebagai pusat ibukota kerajaan tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan tetapi juga berfungsi sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan serta pusat magis kerajaan (Heine-Geldern 1982).
Pola catuspatha dengan unsur-unsur pembentuknya seperti tersebut di atas tercermin pula pada catuspatha Denpasar pada masa kerajaan. Namun seiring dengan perubahan kekuasaan serta sistem pemerintahan Kota Denpasar dari sebuah kota kerajaan menjadi kota seperti saat ini, berpengaruh pada keberadaan unsur-unsur catuspatha Denpasar yang berdampak pada fungsi yang terwadahi catuspatha Denpasar. Unsur-unsur catuspatha Denpasar pada masa kerajaan, saat ini telah tergantikan dengan bangunan rumah jabatan Gubernur Bali (Kantor Jayasabha), kantor walikota, kantor perbankkan, pertokoan, hotel, kantor militer (Kodim/Komando Distrik Militer), Museum, Pura Jagatnatha dan alun-alun dengan monumen Patung Puputan Badung. Selain perubahan pada unsur-unsur sekitar catuspatha Denpasar, hal prinsip yang mengalami perubahan adalah ruang kosong pada pusat catuspatha di masa kerajaan, saat ini ditambah dengan Patung Catur Muka sebagai ikon dari Kota Denpasar (Palguna, wawancara April 2013; Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pamecutan, wawancara April 2013).
Jika dilihat dari keberadaan kantor walikota di sebelah barat daya catuspatha dapat dikatakan bahwa fungsi catuspatha Denpasar sebagai pusat pemerintahan masih dilestarikan sebagai kerangka tata ruang pusat pemerintahan saat ini. Kantor Walikota Denpasar dapat dianalogikan sebagai “puri” untuk pelaksanaan pemerintahan oleh
pemegang kekuasaan terhadap Kota Denpasar (Putra 2005). Begitupula dengan fungsi perekonomian dan kebudayaan yang terwadahi pada bangunan perbankkan, perkantoran, hotel, museum serta alun-alun/lapangan Puputan Badung. Namun fungsi ritual dan juga fungsi magis kota mengalami degradasi/pergeseran karena perubahan tempat pelaksanaan aktivitas ritual dari pusat catuspatha menjadi di alun-alun sebagai pusat orientasi kota dan “natah” kota (Putra 2009).
Beberapa tulisan maupun penelitian terkait dengan catuspatha masih sangat terbatas. Beberapa informasi mengenai unsur-unsur catuspatha ditemukan dalam Lontar Eka Pratamaning Brahmana Sakti Bujangga, Putra (2009), Dumarcay (1991), Munandar (2005), sedangkan terkait tentang fungsi catuspatha baik pada masa lalu maupun saat ini dijumpai antara lain dalam Putra (2009), Putra (2005), dan Atmaja (2003). Dari beberapa tulisan maupun penelitian tersebut di atas, kajian mengenai persepsi masyarakat terhadap fungsi kekinian catuspatha Denpasar belumlah tergali, sehingga dipandang perlu untuk melakukan penelitian yang lebih komprehensif dalam satu kegiatan.
Penggalian persepsi masyarakat dipandang perlu sebagai salah satu wujud partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota, sehingga perumusan kebijakan sesuai dengan visi pembangunan yaitu “Kota Denpasar sebagai Kota Budaya yang berlandaskan Tri Hita Karana” sebagaimana tertuang dalam peraturan Daerah No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kota Denpasar dapat terealisasikan dengan baik. Persepsi merupakan proses penilaian masyarakat terhadap lingkungannya berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya dari kegiatan sehari-hari sebagai pengetahuan lokal/informasi yang berharga, sehingga informasi tersebut bermanfaat dalam proses pembuatan keputusan (Santoso dan Heroepoetri dalam Suciati, 2006). Adanya penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap fungsi kekinian catuspatha Denpasar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penataan ruang kota khususnya catuspatha Denpasar sebagai pusat kota, sehingga lebih memperhatikan daya tahan (resistensi) serta representasi budaya Bali.
Untuk memperoleh jawaban atas rumusan masalah tentang persepsi masyarakat terhadap fungsi kekinian catuspatha Denpasar dipergunakan metode kualitatif dengan analisa secara deskripsi. Data diperoleh berdasarkan hasil wawancara ke beberapa responden yang ditentukan secara purposive dalam artian bahwa penentuan responden didasarkan pada pertimbangan bahwa responden tersebut memiliki pemahaman terkait dengan obyek penelitian, dan memiliki keterlibatan dalam fungsi-fungsi yang terwadahi pada catuspatha Denpasar, sehingga responden yang dipilih adalah tokoh puri, tokoh adat, budayawan, agamawan, pemerintah dan akademisi.
Sebelum melakukan wawancara untuk mendapatkan persepsi masyarakat terhadap fungsi catuspatha Denpasar saat ini, terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap fungsi catuspatha Denpasar saat ini yang dilihat dari unsur-unsur/bangunan/fasilitas/ruang di sekitar catuspatha. Selanjutnya responden dimintai pendapat mengenai fungsi tersebut, sehingga diketahui tanggapan/penilaian maupun harapan masyarakat terkait dengan fungsi dan keberadaan catuspatha Denpasar saat ini serta kedepannya.
Fungsi Catuspatha Denpasar Saat Ini
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa catuspatha Denpasar saat ini memiliki fungsi utama sebagai pusat pemerintahan yang ditunjukkan dengan keberadaan kantor Walikota Denpasar yang menjadi simbol dari tempat untuk pelaksanaan pemerintahan.
Unsur-unsur lain di sekitar catuspatha Denpasar juga dapat dijadikan sebuah tanda yang dapat diinterpretasikan sebagai wujud fungsi catuspatha. Gambar 1 berikut merupakan unsur-unsur catuspatha Denpasar pada masa kerajaan yang selanjutnya mengalami perubahan saat ini yang dapat dilihat pada Gambar 2. Unsur-unsur catuspatha pada masa kerajaan dapat dijadikan bahan perbandingan antara bentuk fisik, aktivitas dan pewadahan fungsi yang ada di masa kerajaan dengan saat ini.


Keterangan:
-
A. Puri Agung Denpasar
-
B. Taman
-
C. Pasar
-
D. Wantilan
-
E. Puri/jero bangsawan/manca agung/patih
Pusat catuspatha merupakan ruang kosong.
Gambar 1. Unsur-unsur catuspatha Denpasar sebagai pusat ibukota Kerajaan Badung Sumber : Mahira, 2013 disarikan dari informasi Palguna, 2009
Keberadaan unsur-unsur catuspatha saat ini yang ditunjukkan pada gambar di atas dapat diinterpretasikan sebagai pewadahan fungsi catupatha Denpasar. Mengenai fungsi catuspatha Denpasar saat ini berdasarkan interpretasi beberapa ahli (Palguna, wawancara April 2013, Suardana, wawancara April 2013, Diartha Nida, wawancara April 2013, Ida Wayan Oka Granoka Gong, wawancara April 2013) dapat diuraikan sebagai berikut:
-
1. Fungsi sebagai ikon pusat kota Denpasar yang ditunjukkan dengan adanya patung Catur Muka pada pusat catuspatha.
-
2. Fungsi sebagai pusat pemerintahan Kota Denpasar ditunjukkan dengan adanya kantor Walikota Denpasar yang dapat dianalogikan sebagai “puri” untuk pelaksanaan pemerintahan.
-
3. Fungsi sosial ekonomi yang ditunjukkan dengan adanya bangunan perbankkan, Hotel Bali, Museum Bali, kegiatan pedagang kaki lima (PKL) di sekitar alun-alun.
-
4. Fungsi sosial budaya yang ditunjukkan dengan adanya Museum Bali, Pura Jagatnatha serta pementasan seni budaya, festival Denpasar dan festival ogoh-ogoh di alun-alun.
-
5. Fungsi ritual yang ditunjukkan dengan adanya pura Jagatnatha serta pelaksanaan tawur kesanga, mesangih dan ngaben massal di alun-alun. Namun fungsi ritual tersebut mengalami pergeseran makna, khususnya pada kegiatan tawur yang seharusnya dilaksanakan di pusat catuspatha.
-
6. Fungsi rekreasi dan olahraga yang ditunjukkan dengan adanya fasilitas playground, aktivitas olahraga catur dan olahraga skate board di alun-alun.
-
7. Fungsi orientasi kota dan “natah” kota pada alun-alun karena keberagaman aktivitas yang ada pada alun-alun.
-
8. Fungsi permukiman campuran yang ditunjukkan dengan keberadaan rumah tinggal, perkantoran dan perdagangan di sekitar catuspatha.
Keterangan:
-
A. Rumah jabatan Gubernur Bali
-
B. Perbankkan
-
C. Kantor walikota
-
D. Alun-alun
-
E. Hotel Bali
-
F. Kantor militer
-
G. Kantor PU
-
H. Rumah
-
I. Museum Bali
-
J. Pura Jagatnatha
Pusat catuspatha berisi Patung Catur Muka.
Gambar 2. Unsur-unsur Catuspatha Denpasar sebagai pusat kota Denpasar saat ini Sumber: Survey 2013
Berdasarkan fungsi-fungsi yang telah disebutkan diatas menunjukkan terjadinya pergeseran dari catuspatha pada masa kerajaan merupakan pusat kota kerajaan sebagai zona utama yang strategis dan sakral (Munandar 2005), saat ini bergeser menjadi pusat kota sebagai zona utama dengan fungsi sakral dan propan. Hal tersebut juga ditegaskan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar tahun 2011-2031 yang menunjukkan bahwa catuspatha Denpasar merupakan wilayah pusat kota, pusat aktivitas kota dan pelayanan kota (Peraturan Daerah No. 27 tahun 2011 tentang RTRWK Denpasar).
Persepsi Masyarakat terhadap Fungsi Catuspatha Denpasar Saat Ini
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, upaya penggalian persepsi masyarakat dilakukan dengan mengetahui pandangan dan penilaian beberapa responden terhadap fungsi-fungsi catuspatha Denpasar yang telah teridentifikasi berdasarkan interpretasi unsur-unsur di sekitar catuspatha. Ada 10 (sepuluh) orang pakar dalam penelitian ini ditunjuk sebagai responden, antara lain dapat dilihat pada Tabel 1.
Penggalian persepsi masyarakat terhadap fungsi kekinian catuspatha Denpasar dilakukan dalam beberapa tahap. Langkah pertama dilakukan adalah menggali penilaian responden terhadap fungsi-fungsi catuspatha Denpasar yang telah teridentifikasi dari unsur-unsur yang ada di sekitarnya, apakah responden setuju atau tiadak setuju, mengurangi atau menambahkan fungsi lain yang belum teridentifikasi. Selanjutnya hasil dari tahap pertama tersebut dikembalikan lagi kepada responden untuk menemukan pandangan responden terhadap keberadaan fungsi-fungsi tersebut didasarkan pada tata ruang kota berlandaskan tata nilai tradisional Bali, seperti konsep rwa bhinneda, konsep mandala dan tri hita karana.
Tabel 1. Nama responden
No |
Nama Responden |
Keterangan |
1 |
Ir. A.A. Bgs Palguna, MS |
Dosen, penglingsir Puri Satria, penulis |
2 |
Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pamecutan |
Abhiseka Raja Badung XI, penglingsir Puri Satria |
3 |
Ir. I Nyoman Suardana, MT |
Dosen, penulis, pengamat budaya |
4 |
Ir. Ketut Adhimastra, MT |
Dosen |
5 |
A.A Putu Oka Suwetja, SH, MSi |
Dosen, Bendesa Adat Denpasar |
6 |
JM. I.B Mangku Widianegara |
Pemangku Pura Jagatnatha |
7 |
Drs Ida Wayan Oka Granoka Gong |
Dosen, penulis, pengamat budaya |
8 |
Diartha Nida |
Wartawan, penulis, pemerhati budaya |
9 |
Ida Rsi Agung Bhagawan Oka Dwija |
Agamawan |
10 |
Ida Pedanda Gede Wayahan Bun |
Agamawan |
Dari hasil wawancara pada tahap pertama, diperoleh bahwa para responden sependapat dengan keberadaan fungsi catuspatha Denpasar saat ini yang telah teridentifikasi dari unsur-unsur di sekitar catuspatha, seperti rumah jabatan Gubernur Bali, kantor walikota Denpasar, alun-alun, kantor perbankkan, hotel, kantor militer (Kodim), kantor PU, Museum Bali, Pura Jagatnatha, perkantoran, pertokoan dan juga beberapa rumah penduduk. Fungsi-fungsi tersebut dan unsur sekitar catuspatha yang mewadahinya dapat dilihat dalam Tabel 2.
Dengan melakukan wawancara kembali mengenai fungsi-fungsi tersebut di dalam Tabel 2 diperoleh hasil bahwa responden berpandangan fungsi sosial ekonomi pada catuspatha Denpasar lebih menonjol dibandingkan dengan fungsi sebagai pusat pemerintahan Kota Denpasar. Hal tersebut dilihat dari keberadaan pertokoan, bangunan perbankkan dan aktivitas pedagang kaki lima baik pada alun-alun maupun di sekitar catusptha Denpasar yang keberadaannya lebih mendominasi lahan di sekitar catuspatha dibandingkan dengan fasilitas kantor pemerintahan sebagai pendukung fungsi pusat pemerintahan.
Tabel 2. Fungsi catuspatha Denpasar saat ini
Fungsi catuspatha Denpasar |
Unsur yang mewadahinya |
Fungsi ikon pusat Kota Denpasar |
Patung Catur Muka di pusat catuspatha |
Fungsi pusat pemerintahan Kota Denpasar |
Kantor Walikota Denpasar, kantor Kodim, kantor PU |
Fungsi sosial ekonomi |
Kantor perbankkan, pertokoan, hotel Bali, alun-alun, Museum Bali |
Fungsi sosial budaya |
Alun-alun, pura Jagatnatha, Museum Bali |
Fungsi ritual upacara |
Alun-alun, pura Jagatnatha |
Fungsi rekreasi dan olahraga |
Alun-alun, Museum Bali |
Fungsi orientasi kota dan “natah” kota |
Alun-alun |
Fungsi permukiman campuran |
Rumah penduduk, pertokoan, perkantoran dan rumah jabatan Gubernur Bali |
Dominasi fungsi sosial ekonomi pada catuspatha Denpasar merupakan penanda perkembangan kehidupan perekonomian masyarakat Denpasar yang heterogen dan tentunya berpengaruh pada perkembangan kota. Pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan sebagai peluang dalam mengekspresikan bentuk bangunan yang beragam, perkembangan fungsi yang serba guna-serba boleh, peletakan ornamen yang tidak sesuai, pemakaian
bahan yang bervariasi, pergeseran tata nilai dan lainnya. Namun kondisi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan beralih bahkan menghilangnya identitas maupun makna yang disebabkan karena tidak menyatunya makna, fungsi dan bentuk dari elemen kota tersebut (Setiada dkk, 2009:65). Pada Gambar 3 dan Gambar 4 berikut menunjukkan fungsi sosial ekonomi catuspatha Denpasar yang dilihat dari unsur-unsur yang ada di sekitarnya serta aktivitas yang ada.
Gambar 3. Bangunan pertokoan di sekitar catuspatha Denpasar
Sumber: survey, 2013
Gambar 4. Aktivitas PKL di sekitar alun-alun catuspatha Denpasar
Sumber: survey, 2013
Fungsi catuspatha sebagai pusat pemerintahan Kota Denpasar ditunjukkan dengan keberadaan kantor Walikota Denpasar di sebelah barat daya pusat catuspatha. Penempatan kantor walikota tersebut sesuai dengan Lontar Eka Pratamaning Brahmana Sakti Bujangga (Putra, 2005:31-34), yang menyebutkan:
“...Patemoning catuspatha ngaran raksa bhuwana maka pangider-idering ikang nagara ika payoganing ikang nagara maka tataning linggih sang amudra bhumi. Ersanya utamaning nagara maka linggih ikang angwawe rat. Genyan pawetuan ikang gni rurub apang lebur ikang rat, tan wenang kangge. Neriti utama apan wredhi ikang rat Negara. Wayabya dahat kadurmanggalan apan gni astra payogyania.”
Yang artinya:
“…Pusat catuspatha disebut raksa bhuwana sebagai kedudukan dasar Negara yang dikelilingi oleh Negara-negara disekitarnya. Kedudukan Negara di timur laut mengakibatkan Negara itu akan menemukan keutamaan. Tenggara kelahiran gni rurub yang berakibat pada hancurnya rakya/negara, tidak boleh dipakai. Di barat daya bernilai utama, karena rakyat sejahtera. Sedangkan di barat laut berakibat buruk karena merupakan tempat panah api.”
Berdasarkan lontar tersebut, maka jelas bahwa penempatan kantor walikota sebagai tempat walikota yang dapat dianalogikan sebagai ‘raja” yang memerintah suatu wilayah dapat ditempatkan pada arah barat daya dari pusat catuspatha, karena posisi barat daya catuspatha Denpasar bernilai utama yang memiliki makna kesejahteraan bagi masyarakat Kota Denpasar. Namun jika dikaitkan dengan konsep mandala, arah barat daya memiliki nilai nistaning nista (paling nista) yang mana dalam tataran ruang zona nista merupakan zona untuk fungsi-fungsi servis, sedangkan kantor walikota sebagai tempat seorang walikota (analogi Raja Denpasar) semestinya menempati posisi zona utama. Dalam hal
penempatan kantor pemerintahan sebagai simbolisasi tempat pelaksanaan pemerintahan oleh pemegang kekuasaan wilayah Denpasar terjadi pergeseran nilai dari yang seharusnya ditempatkan pada nilai utama ke tempat yang bernilai nista dalam catuspatha Denpasar.
Terkait dengan keberadaan rumah jabatan Gubernur Bali di sebelah timur laut catuspatha, responden berpandangan bahwa unsur tersebut hanya sebatas sebagai ikon dari lambang kekuasaan terhadap Propinsi Bali yang tidak dapat disetarakan fungsinya sebagai pusat pemerintahan, karena keberadaan unsur tersebut hanya sebatas sebagai tempat tinggal (peristirahatan) dari gubernur dan bukan berfungsi untuk menjalankan pemerintahan. Hal tersebut senada dengan pengertian dari pemerintah baik dalam arti luas maupun sempit dalam sistem pemerintahan saat ini. Pemerintah dalam arti luas adalah pelaksanaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan negara, yaitu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya kepada rakyat berdasarkan keadilan dalam suatu negara hukum. Sedangkan dalam arti sempit pemerintah adalah perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan undang-undang atau dalam pengertian ini pemerintah hanya berfungsi sebagai badan eksekutif (Marbun dan Mahfud, 2006:8). Dilihat dari pemahaman tersebut maka keberadaan kantor walikota lebih menunjukkan fungsi sebagai pusat pemerintahan kota Denpasar dibandingkan dengan keberadaan rumah jabatan Gubernur Bali. Keberadaan kantor Walikota Denpasar dan rumah jabatan Gubernur Bali sebagai unsur catuspatha Denpasar dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Fungsi kebudayaan dapat dilihat dari aktivitas yang dilaksanakan secara periodik sejak tahun 2005 di catuspatha Denpasar (tepatnya di alun-alun/Lapangan Puputan Badung), seperti kegiatan pentas rakyat, festival Denpasar, kegiatan upacara massal yang diprakarsai pemerintah Kota Denpasar dan festival ogoh-ogoh. Aktivitas tersebut pada akhirnya menyebabkan terjadinya interaksi sosial dan interaksi kebudayaan ditengah perkembangan penduduk saat ini yang heterogen dan perkembangan ekonomi serta ilmu pengetahuan (Geriya 2008). Interaksi sosial dapat kita lihat dari pengguna/civitas yang tidak hanya masyarakat Kota Denpasar tetapi juga dari masyarakat di luar Kota Denpasar, sedangkan interaksi budaya dapat dilihat dari keberagaman seni budaya yang dipertunjukkan yang merupakan hasil dari proses perkembangan kebudayaan itu sendiri.
G ambar 5. Bangunan kantor Walikota Denpasar sebagai unsur catuspatha Denpasar
Sumber: survey, 2013
Gambar 6. Bangunan rumah jabatan Gubernur Bali sebagai unsur catuspatha Denpasar
Sumber: survey, 2013
Secara umum, kebudayaan Bali merupakan segala bentuk dan aktivitas manusia yang terbentuk dari nilai-nilai budaya berlandaskan pada ajaran Agama Hindu (Geriya, 2008: 15-20). Untuk itu kebudayaan Bali begitu juga dengan kebudayaan Kota Denpasar tidak hanya dapat dilihat dari aktivitas seni budaya tetapi juga tampak dari fisik baik berupa ruang, bangunan maupun benda seni lainnya. Dalam kaitannya dengan catuspatha Denpasar, dapat kita lihat dari segi fisik upaya pemerintah khususnya Kota Denpasar dalam melestarikan kebudayaan Bali yang tampak dari unsur-unsur di sekitar catuspatha, seperti penggunanaan material tradisional (paras dan bata merah), penerapan konsep tri angga (kepala, badan, kaki) dalam bangunan-bangunan khususnya pada bangunan kantor pemerintahan serta pintu gerbang dengan bentuk candi bentar dan pagar yang menggunakan bahan serta oranamen tradisional Bali. Namun belum semua bangunan yang ada di sekitar catuspatha Denpasar menunjukkan hal tersebut, bangunan pertokoan dan beberapa bangunan perkantoran terlihat menggunakan langgam arsitektur modern yang ditempeli atribut tradisional Bali (Suardana, wawancara April 2013, Adhimastra, wawancara April 2013).
Terkait dengan fungsi ikon pusat Kota Denpasar, responden berpandangan bahwa fungsi tersebut ditunjukkan dengan keberadaan patung Catur Muka di pusat catuspatha Denpasar. Dalam konteks ini terjadi pergeseran pusat catuspatha sebagai simbol pusat keseimbangan alam semesta menjadi sebuah ikon dari sebuah kota (Ida Wayan Oka Granoka Gong, wawancara April 2013; Ida Rsi Agung Bhagawan Oka Dwija, wawancara April 2013; Ida Pedanda Gede Wayahan Bun, wawancara April 2013).
Keberadaan patung tersebut merupakan upaya pemerintah dalam membentuk identitas/ciri khas Kabupaten Badung yang saat ini menjadi Kota Denpasar. Hal tersebut sesuai dengan ide dari pembuatan patung lebih bersifat fisik sebagai titik fokus perhatian dan elemen estetika kota, bukan menjadi elemen fisik yang disakralkan (Putra, 2009:208209). Adanya patung Catur Muka mengakibatkan pergeseran fungsi ritual yang dilaksanakan pada pusat catuspatha yang mengakibatkan terjadi pergeseran makna filosofi dari ritual tersebut.
Makna filosofi aktivitas ritual Hindu di Bali yang dilaksanakan pada catuspatha Denpasar merupakan simbol dari proses penciptaan dan kehidupan menuju dan berawal dari alam sunya/kosong. Pada titik kosong tersebutlah ada pertemuan antara unsur perusha-pradhana atau langit-bumi sehingga tercipta kehidupan di alam semesta ini yang terproses secara berulang-ulang dengan tujuan kembali pada kosong atau Tuhan sebagai Sang Tunggal (Atmaja 2003). Adanya unsur patung tentunya memiliki makna yang berbeda dengan konsep kosong, selain juga secara fisik perwujudan patung Catur Muka tidaklah sama dengan Tuhan. Secara fisik dapat dilihat bahwa patung Catur Muka menyebabkan terganggunya proses pertemuan langit dan bumi, sedangkan secara fisik patung yang mengambil wujud Dewa Brahma merupakan manifestasi Tuhan sebagai Siwa ke alam bwah loka (bumi) sebagai pencipta untuk menghubungkan manusia dengan Tuhan (Atmaja 2003).
Keberadaan alun-alun dengan segala atribut dan fasilitasnya seperti Monumen Puputan Badung, fasilitas playground, panggung/kalangan, serta elemen softscape dan hardscape yang memberikan nilai estetika bagi alun-alun, menurut pandangan responden menunjukkan fungsinya sebagai pusat orientasi dan “natah” atau halaman kota. Alun-alun menjadi tempat tujuan untuk masyarakat berkumpul dengan beragam aktivitas sehingga menjadi pusat orientasi tidak hanya mengikat massa bangunan yang ada di
sekitarnya tetapi juga menjadi titik berkumpulnya masyarakat Kota Denpasar. Keberagaman aktivitas yang ada seperti kegiatan olah raga catur dan skate board, pertunjukan kesenian juga menunjukkan fungsi rekreasi dan fungsi olah raga alun-alun. Dikatakan sebagai “natah” kota karena alun-alun merupakan ruang terbuka hijau di tengah-tengah Kota Denpasar dengan kekosongannya dan terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung yang ada disekitarnya (Handinoto 1992, Suardana 2005). Keberadaan alun-alun sebagai salah satu unsur catuspatha Denpasar secara tidak langsung memberikan makna fungsi pada catuspatha Denpasar secara keseluruhan. Pada Gambar 7 dan Gambar 8 memperlihatkan aktivitas pada alun-alun atau Lapangan Puputan Badung yang menujukkan fungsi catuspatha Denpasar secara menyeluruh.
Gambar 7. Alun-alun sebagai ruang terbuka yang Gambar 8. Fasilitas playground yang ada di alun-menjadi “natah” Kota Denpasar alun catuspatha Denpasar
Sumber: survey, 2013 Sumber: survey, 2013
Keberadaan rumah-rumah penduduk, pertokoan, perkantoran di sekitar catuspatha menujukkan fungsi catuspatha Denpasar sebagai kawasan permukiman campuran (Rencana Tata Ruang Kota Denpasar Tahun 2011-2031). Terkait halnya dengan fungsi permukiman campuran catuspatha Denpasar, responden berpandangan bahwa fungsi tersebut mengaburkan pembagian zona utama dan zona nista dalam pembagian struktur ruang Kota Denpasar. Catuspatha Denpasar secara struktur ruang Kota Denpasar merupakan zona utama sebagai pusat pemerintahan kota, inti kota dan bernilai sakral dan menjadi pusat pelayanan sosial budaya, sehingga seharusnya terpisah dengan kawasan perumahan dan kawasan pelayanan ekonomi.
Mengenai fungsi catuspatha Denpasar yang ada secara keseluruhan, responden berpandangan bahwa konsistensi pemerintah dalam menempatkan catuspatha Denpasar sebagai pusat pemerintahan Kota Denpasar belumlah terealisasi dengan baik di lapangan. Hal ini dapat dilihat dalam pembagian zona peruntukan pada catuspatha Denpasar yang mengaburkan antara zona utama, zona madya dan zona nista. Jika mengatakan bahwa catuspatha Denpasar sebagai zona utama dengan fungsinya sebagai pusat pemerintahan kota, maka unsure-unsur yang ada adalah kantor-kantor pemerintahan dan pelayanan pemerintahan, namun fungsi pusat pemerintahan kota dalam catuspatha Denpasar hanya terwakilkan oleh keberadaan kantor walikota (Suardana, Adhimastra, Ida Wayan Oka Granoka Gong, Diartha Nida, Oka Suwetja, wawancara April 2013).
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas yang diperoleh dari hasil wawancara terhadap responden yang menjadi wakil masyarakat, diketahui bahwa fungsi-fungsi yang ada pada catuspatha Denpasar saat ini berdasarkan identifikasi unsur-unsur catuspatha yang ada disekitarnya adalah fungsi pusat pemerintahan, fungsi sosial ekonomi, fungsi sosial budaya, fungsi ikon pusat kota Denpasar, fungsi ritual, fungsi olah raga dan rekreasi serta fungsi permukiman campuran. Dari fungsi-fungsi yang ada tersebut, masyarakat berpandangan bahwa fungsi sosial ekonomi dan permukiman campuran lebih mendominasi fungsi catuspatha Denpasar karena keberadaan bangunan kantor perbankkan, pertokoan, hotel dan rumah penduduk di sekitar catuspatha, sedangkan fungsi sebagai pusat pemerintahan kota yang seharusnya menjadi fungsi utama catuspatha hanya terwakilkan pada unsur kantor walikota Denpasar yang ada di sudut barat daya catuspatha Denpasar. Dominasi fungsi sosial ekonomi tidak hanya terlihat pada bangunan fisik yang ada, tetapi juga aktivitas-aktivitas pedagang kecil (PKL) baik di alun-alun maupun sepanjang koridor catuspatha Denpasar. Keberadaan rumah jabatan gubernur Bali di sebelah timur laut catuspatha hanya menjadi ikon dari penguasa propinsi Bali karena fungsi yang ada hanya sebatas sebagai tempat tinggal bukan sebagai tempat melaksanakan atau menjalankan pemerintahan.
Menindaklanjuti hasil penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap fungsi catuspatha Denpasar, maka penulis mengusulkan agar perlu adanya peningkatan pemahaman akan konsep catuspatha khususnya pada pemerintah, sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir terkait dengan upaya pengamanan catuspatha Denpasar tidak terlepas dari konsep yang ada, namun tetap sejalan dengan perkembangan kota. Begitu pula halnya dengan keberadaan fungsi-fungsi pada catuspatha Denpasar, khususnya fungsi ritual/upacara Hindu yang dikembalikan pada kesesuaian konsep catuspatha. Halnya dengan fungsi-fungsi modern yang ada harusnya ditekankan pada nilai budaya bukan pada nilai ekonomi, sehingga perlu adanya penataan terkait zonasi pada catuspatha Denpasar. Terkait dengan hal tersebut perlu adanya pemisahan antara zona utama yang dikhususkan pada fungsi ritual/upacara, sosial budaya, ekonomi dan pemerintahan dengan penekanan pada kesesuaian filosofi Hindu dengan zona campuran yang mewadahi fungsi-fungsi modern yang berkembang. Hal ini untuk dapat mempertegas keberadaan dan mencipatakan karakteristik yag berbeda pada catuspatha Denpasar.
Daftar Pustaka
Astra, I G S, dkk (1986) Kamus Sansekerta-Indonesia Denpasar: Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Pemda Tk. I Bali.
Atmaja, J (2003) Perempatan Agung: Menguak Konsepsi Palemahan, Ruang dan Waktu Masyarakat Bali Denpasar: Bali Media Adhikarsa.
Geriya, I W (2008) Transformasi Kebudayaan Bali: Memasuki Abad XXI Surabaya: Paramita.
Handinoto (1992) 'Alun-alun sebagai identitas Kota Jawa, dulu dan sekarang' Dimensi 18/ARS, September, p: 4-6.
Heine-Geldern R (1982) Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara Jakarta: CV. Rajawali.
Marbun S F, Moh. Mahfud M D (2006) Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty.
Munandar, A A (2005) Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad ke 14-19 Depok: Komunitas bambu.
Mussadun (2000) 'Peran serta masyarakat dalam penataan ruang: ditinjau dari Undang-Undang No.24 Tahun 1992' Tata Loka Vol 5.
Palguna, A A B (31 Agustus 2010) Puri Agung Denpasar http://den-pasar.blogspot.com (diakses 10 januari 2012 jam 22.06).
Putra, I G M (1998) 'Kekuasaan dan transformasi arsitektur: suatu kajian budaya terhadap kasus Puri Agung Tabanan' Thesis Universitas Udayana.
Putra, I G M, (Agustus 2005) 'Catuspatha: konsep, transformasi, dan perubahan' Jurnal Permukiman Natah Vol.3 No.2, p: 62-101.
Putra, I G M (2009) 'Perubahan ekspresi Catuspatha dalam tata ruang pusat pemerintahan di Kota Denpasar: perspektif kajian budaya' Desertasi Universitas Udayana.
Riduwan (2010) Metode dan Teknik Menyusun Tesis Bandung: Alfabeta.
Setiada, N K, dkk (2009) Penelusuran Sejarah Kota Denpasar CV. Cipta: Denpasar.
Suardana, I N G (2005) 'Memaknai peristiwa Puputan melauli alun-alun' Balipost edisi Minggu 18 Septemebr 2005.
Situs resmi Pemerintahan Kota Denpasar, 2012. Kondisi kemasyarakatan. www.denpasarkota.go.id/main.php?act=kon_sb (diakses 10 november 2012 pukul 22.30).
Walikota Denpasar (2011) Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kota Denpasar Tahun 2011-2031.
Ucapan Terima Kasih
Dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada: (1) Bapak Ir. A.A. Bagus Palguna, MS; (2) Bapak Ir. I Nyoman Gde Suardana, MT; (3) Bapak A.A. Putu Oka Suwetja S.H, MSi; (4) Bapak Ida Bagus Mangku Widianegara; (5) Bapak Drs Ida Wayan Oka Granoka Gong; (7) Bapak Diarta Nida, (8) Ida Padanda Gede Wayahan Bun; (9) Ida Rsi Agung Bhagawan Oka Dwija; dan (10) Ir. Ketur Adhimastra, MT, yang telah menyediakan waktu serta membantu dalam penelitian ini sebagai responden. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu G.A.M. Suartika, ST, MEngSc, PhD serta Bapak Dr. Ir. I.B. Gde Wirawibawa, MT selaku pembimbing penulis. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga khususnya suami dan anak tercinta yang telah memberikan dukungan bagi penulis.
204 SPACE - VOLUME 1, NO. 2, OCTOBER 2014
Discussion and feedback