PEMANFAATAN HUNIAN UNTUK FUNGSI KOMERSIAL DI LINGKUNGAN PADANGTEGAL TENGAH, UBUD
on

PEMANFAATAN HUNIAN UNTUK FUNGSI KOMERSIAL DI LINGKUNGAN PADANGTEGAL TENGAH, UBUD
Oleh: I Dewa Gede Putra,1 Ida Ayu Armeli,2 Ngakan Putu Sueca 3
Abstract
The Ubud community residential units, especially in the Padangtegal Tengah environment have an important role as a place for shelter, socializing and performing religious rituals. Due to the modernization and development of tourism in the study area, residential units also developed into commercial functions resulting in changes in residential land use. The purpose of this study was to establish a study area, and (1) understand commercial typologies and management functions, (2) establish the occupancy use for commercial functions as well as its impact. Of the cases studied, an average of 19 percent of the floor area building capacity is used for commercial functions out of the residential land area. Consequently, spaces become functionally modified or adjusted to suit the present conditions, but some are retained. Commercial functions are able to support incomes, which increased well-being and housing consolidation. The function of traditional space in the residential core is retained, but the adaptations and modifications were carried out on land that has not been used previously, such as the area of the front and the back of the residential units. Due to modernization, the mindset of the people has changed, affecting residential land use. Hence economic rationality is changing both traditional attitudes and spatial functions in the area.
Keywords: land use, traditional house, commercial function
Abstrak
Unit hunian masyarakat Ubud khususnya di Lingkungan Padangtegal Tengah memiliki peran penting sebagai tempat untuk bernaung, bersosialisasi dan melakukan ritual agama. Dengan adanya modernisasi dan perkembangan pariwisata pada wilayah studi, unit hunian turut berkembang menjadi fungsi komersial sehingga terjadi kecenderungan pergeseran dan perubahan pemanfataan lahan hunian. Tujuan dari penelitian ini untuk (1) mengetahui dan memahami jenis dan pengelolaan fungsi komersial, (2) memahami pemanfaatan hunian untuk fungsi komersial serta dampaknya di wilayah studi. Rata-rata, 19 persen kapasitas luas lantai bangunan digunakan untuk fungsi komersial berbanding luas lahan hunian. Konsekuensinya, telah terjadi modifikasi keruangan berdasarkan fungsi untuk mengakomodasi kondisi kekinian. Fungsi komersial dapat menunjang pendapatan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan konsolidasi hunian. Fungsi ruang tradisional pada bagian inti hunian masih dipertahankan, namun adaptasi dan modifikasi dilakukan pada lahan yang belum dimanfataankan sebelumnya, seperti area depan dan belakang unit hunian. Modernisasi telah mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam memanfaatkan lahan huniannya. Cara pikir secara ekonomis telah merubah tingkah lalu tradisional dan fungsi spasial pada area ini.
Kata kunci: tata guna lahan, hunian tradisional, fungsi komersial
Pendahuluan
Fungsi komersial pada hunian merupakan sebuah fenomena yang banyak ditemui dalam perkembangan rumah dan permukiman di Bali kini. Permukiman masyarakat Bali difungsikan sebagai tempat untuk bernaung, bersosialisasi dengan keluarga, menjalankan aktivitas budaya dan ritual. Namun, seiring dengan perkembangan modern dan implikasi industri pariwisata menyebabkan fungsi tersebut bertambah, yaitu sebagai tempat untuk bekerja atau menjalankan aktivitas komersial/usaha. Demikian pula Randall (dalam Taufikurrahman 2010) menyatakan bahkan fungsi komersial pada hunian sudah menjadi suatu kebutuhan masyarakat modern dewasa ini.
Budihardjo (1997) memperjelas bahwa rumah tinggal sebagai sebuah tempat berlindung, mempunyai fungsi lain yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses sosialisasi. Proses seorang individu yang diperkenalkan kepada nilai, adat kebiasaanya dalam masyarakatnya, juga tempat manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup ini sesuai dengan peradaban manusia yang semakin tinggi, tidak saja terbatas pada kebutuhan untuk mempertahankan diri tetapi juga meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi nilainya, misalnya kebutuhan untuk bergaul dengan manusia lain, kebutuhan akan harga diri, kebutuhan akan rasa aman dan juga kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Kebutuhan hidup masyarakat kini tentu dipengaruhi juga oleh modernisasi, yang mengantarkan masyarakat menjadi semakin konsumtif sehingga peluang untuk membuka fungsi komersial pada hunian semakin luas.
Dalam sejarahnya, pembagian secara tegas antara rumah tinggal sebagai tempat hunian dan tempat untuk bekerja atau menjalankan usaha memuncak di Congres Internationaux d’Architecture Moderne (CIAM) tahun 1920-an. Louw & Vries (2002) mengungkapkan, bahwa urban desainer memberikan pemahaman yang sangat jelas berbeda antara tempat untuk hunian, tempat untuk bekerja, tempat untuk berwisata, dan tempat perdagangan. Namun, di era tahun 2000, pembagian secara tegas antara fungsi-fungsi ruang tersebut tidak digunakan lagi dalam doktrin sebuah perencanaan. Nampaknya hal tersebut berlaku juga untuk Bali, dan kawasan wisata Ubud khususnya, yang secara langsung berhadapan dengan industri pariwisata. Hal itu, menyebabkan semakin cepatnya proses internalisasi fungsi komersial pada hunian.
Ubud merupakan sebuah desa yang memiliki keunikan tersendiri, khususnya dalam hal budaya. Potensi-potensi yang dimiliki Ubud seperti kehidupan yang serasi antara seni budaya, adat istiadat dan agama, menjadikan Ubud mempunyai suatu daya tarik dan ciri khas yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Bali. Potensi-potensi tersebut menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara untuk datang ke Ubud. Menurut Picard (2006), berbeda dengan resort-resort pinggir pantai, Ubud berfungsi rangkap sebagai kawasan permukiman dan tujuan wisata. Daerah Ubud menarik wisatawan yang lebih melihat Bali dalam citra seni dan upacaranya.
Perkembangan pariwisata Ubud tentu tak lepas dari peran orang asing sekaligus seniman yang memberi warna baru pada perkembangan seni budaya di Ubud. Nama-nama seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, memang tak akan terlupa dari ingatan masyarakat setempat karena kiprahnya dalam masyarakat pada masa lalu terutama dalam hal seni lukis. Pariwisata sesungguhnya mulai berkembang di Ubud pada tahun 1976, ketika listrik mulai masuk desa. Perkembangan pesat terjadi pada awal tahun 1980-an ketika penginapan restoran, galeri dan biro perjalanan bermunculan di sepanjang jalan-jalan
desa. Sejak itu losmen, homestay, bungalow, telah meluas ke daerah lain seperti, Peliatan, Andong, Pengosekan, Campuan, Penestanan, Sanggingan, Sayan dan Kedewatan. Pada tahun 1994 Ubud telah berkembang, dalam hal ketersediaan akomodasi pariwisata menjadi 2.200 kamar dari 450 kamar tahun 1981, atau sekitar 7 persen kapasitas perhotelan di Pulau Bali (Picard 2006).
Seperti umumnya desa-desa di Bali, pada awalnya Ubud merupakan kawasan permukiman agraris. Dengan tumbuh berkembangnya industri pariwisata membuka peluang bagi masyarakat lokal untuk turut terlibat dalam aktivitas komersial untuk meningkatkan pendapatan dari sektor ini. Indutri pariwisata jelas membawa dampak terhadap sektor agraris, terutama masalah tanah/lahan sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan prasarana dan sarana pariwisata (Couteau dalam Sukawati 2004). Keterlibatan masyarakat dalam pariwisata tersebut bisa dilihat dari jenis penginapan yang ditawarkan oleh masyarakat setempat yang berupa homestay. Jumlahnya mencapai 206 buah yang tersebar pada permukiman warga di seputar Ubud. Penginapan ini umumnya berupa bisnis keluarga yang dikelola secara swadaya di lingkungan rumah tinggal.
Kellet dan Tipple (2000), mengungkapkan Renting of Rooms (penginapan atau sejenisnya) merupakan salah satu bagian dari homebased enterprises yang dapat meningkatkan pendapatan ekonomi rumah tangga. Akibat terjadinya peningkatan kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun, tentu menyebabkan prospek homebased enterprises khususnya homestay semakin menjanjikan sekaligus juga kompetitif. Menjanjikan karena dari segi pangsa pasar wisatawan dengan tipe backpacker cenderung menggemari penginapan dengan tipe seperti ini, terutama bagi kaum wisatawan muda. Kompetitif karena antara satu pemilik dengan pemilik lainnya akan selalu berusaha memberikan harga termurah dengan pelayanan terbaik. Baik dari segi tata atur ruang, suasana ruang hingga kualitas material yang digunakan dalam pembangunan.
Pemanfaatan lahan hunian yang merupakan tempat tinggal turun temurun masyarakat, berkembang menjadi rumah sewa dan ruang-ruang komersial lainnya merupakan fenomena yang menarik untuk digali. Banyak masyarakat yang memanfaatkan unit hunian pada bagian belakang rumah tinggalnya khusus untuk tempat menginap wisatawan namun ada juga yang berbaur pada unit hunian inti masyarakat yang merupakan tempat tinggal utama. Ada pula, yang memanfaatkan area depan unit hunian sebagai toko, galeri kesenian, café dan tempat yang menghasilkan keuntungan dari segi ekonomi.
Kompleksitas kepentingan akan ruang dalam satu area tapak tentu menyebabkan terjadinya pergeseran, pembauran nilai-nilai ruang yang dimiliki oleh masyarakat. Jika hal ini dibiarkan tanpa dilakukan upaya sinkronisasi dengan nilai budaya dan arsitektur lokal tentu dapat mengaburkan identitas budaya pada pola dan nilai ruang hunian tradisional. Hal yang menarik juga perlu ditelusuri bagaimana hubungan antara fungsi utama yaitu, rumah tinggal dan fungsi komersial. Dituntut adanya efisiensi lahan, namun memberikan kenyaman untuk tinggal dan pertimbangan pendapatan ekonomi. Nilai-nilai budaya lokal juga tak terpisahkan dari upaya masyarakat untuk menyeimbangkan kepentingan diri, keluarga akan tempat tinggal yang telah diwarisi turun temurun dengan perkembangan fungsi rumah sebagai fungsi komersial.
Perkembangan pada sebagian besar area tapak unit hunian masing-masing keluarga, hingga ke telajakan tentu memberikan pengaruh pada adaptasi prilaku, pola ruang hunian dan lingkungan permukimaan secara makro. Permukiman yang awalnya menyediakan
ruang-ruang yang cukup untuk fungsi sosial dan lingkungan, kini beranjak menjadi kioskios dan tempat penunjang aktivitas pariwisata. Permasalahannya kemudian adalah ketersediaan sarana sirkulasi dan parkir ketika lahan pada depan unit hunian sudah penuh dengan bangunan/ fasilitas komersial. Kepadatan dan kesesakan dalam lingkungan permukiman menjadi bagian yang yang tak bisa dipisahkan dalam keseharian masyarakat.
Dipilihnya kasus di Lingkungan Banjar Padangtegal Tengah karena konfigurasi unit hunian/hunian masing-masing keluarga tidak hanya terdapat dekat dengan pusat aktivitas pariwisata, juga terdapat di wilayah yang berada pada pinggiran aktivitas pariwisata Ubud. Bagaimana jenis dan pengelolaan fungsi komersial di Ubud, khususnya lingkungan permukiman Padangtegal Tengah menarik untuk digali, terkait beragam tipe fungsi komersial yang terdapat di dalamnya. Penelitian yang menekankan fungsi komersial pada hunian belum banyak dibahas, sehingga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk digali secara lebih mendalam dalam sebuah penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan paradigma yang digunakan adalah naturalistik. Lokasi penelitian terletak di Lingkungan Banjar Padangtegal Tengah, Ubud. Jenis data yang digunakan terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif. Sumber data yaitu data primer yang diperoleh secara langsung di lapangan dan data-data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, studi pustaka dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif yang terdiri dari tahapan reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan. Penentuan kasus menggunakan teknik purposive. Jenis dan pengelolaan diperoleh dari penelusuran semua unit hunian pada wilayah studi (44 unit), kemudian 9 kasus dianalisis untuk mendalami fenomena, ditinjau dari kapasitas dan komposisi pemanfataan lahan untuk fungsi komersial. Selanjutnya, tema dalam penelitian didialogkan dengan tema terkait dan dianalisis untuk memperoleh gambaran kecenderungan pemanfataan hunian.
Perkembangan Pariwisata Ubud
Ubud merupakan sebuah destinasi pariwisata yang terletak di tepi barat Kabupaten Gianyar, Bali. Kawasan desa ini pada awalnya merupakan desa agraris yang kehidupan masyarakatnya sangat lekat dengan pertanian. Selain itu, berkesenian merupakan keseharian bagi masyarakat Ubud. Beragam kesenian seperti seni lukis, tabuh, tari dan seni pahat tumbuh mengalami masa surut dan berkembang yang dinamis.
Dalam tulisan Djelantik (2006) disebutkan bahwa akhir tahun 1920-an di Bali telah mulai berkembang pariwisata dari kegiatan perusahaan pelayaran Belanda K.P.M yang mendirikan hotel mewah pertama di Denpasar, Bali Hotel dan menyelenggarakan secara rutin seminggu sekali perjalanan rombongan wisata dari Jawa ke Bali. Wisatawan yang datang tentu tidak hanya datang untuk melihat-lihat saja keindahan Bali namun juga membeli kerajinan khas Bali, dari sana fungsi komersial dengan penjualan barang kesenian mulai dikenal.Pada awal tahun 1970-an di Ubud baru terdapat empat hotel, satu penginapan dan belasan galeri seni. Picard (2006). Pada saat itu hotel terdapat pada bangunan di lingkungan keluarga puri dan tanah bekas rumah Walter Spies. Sejak saat itu Ubud berkembang menjadi destinasi wajib bagi wisatawan yang datang ke Bali. Semakin banyak wisatawan yang datang menyebabkan semakin seringnya interaksi antara masyarakat lokal dengan wisatawan. Pertimbangan dan pandangan ekonomi tumbuh dalam usaha untuk menyangga kebutuhan wisatawan. Hal tersebut memacu
terlibatnya masyarakat lokal dalam usaha-usaha, aktivitas komersial yang berkaitan dengan pariwisata.
Peningkatan kunjungan wisatawan tersebut membutuhkan akomodasi seperti penginapan, restoran, galeri, toko kesenian, dan lainnya. Titik perkembangan pariwisata yang pada awalnya di Puri Ubud dan sekitarnya, turut berkembang ke kawasan lain di sekitar Ubud. Secara perlahan pemanfaatan ruang dan tampilan bangunan pun berkembang sesuai fungsi yang diwadahinya. Hunian masyarakat lokal yang masih menggunakan arsitektur tradisional Bali mulai mengalami modifikasi fungsi. Pada awalnya homestay, art shop, berkembang di kawasan Puri Ubud dan lingkungan pemukiman sekitarnya, kemudian menjamur ke kawasan Jalan Wenara Wana, Padangtegal, hingga ke Peliatan. Wajah hunian yang bernuansa Bali berubah secara perlahan menjadi fungsi komersial pula. Nilai ruang tradisional di-adaptasi dengan kebutuhan wisatawan akan tempat yang layak namun tetap efisien dan saling menguntungkan antara pemilik hunian serta wisatawan yang ingin merasakan nuansa rumah Bali. Begitu pula dengan area telajakan pada bagian depan unit hunian potensial untuk dikembangkan sebagai ruang yang menghasilkan pendapatan finansial. Bagi daerah lain yang tak tersentuh secara langsung dengan industri pariwisata pun, sangat banyak dapat dijumpai perubahan dan pemanfaatan lahan hunian sekaligus sebagai tempat aktivitas komersial. Apalagi daerah Ubud yang secara langsung berhadapan dan berkembang dalam industri tersebut.
Keuntungan dengan mengelola hunian sendiri sebagai fungsi komersial memberikan peluang lebih banyak dibandingkan dengan mencari pekerjaan diluar. Tuntutan modernisasi dan efisiensi waktu serta aktivitas, menjadikan fungsi komersial pada unit hunian banyak dicontoh sehingga sebagian besar masyarakat mempunyai fungsi komersial pada unit huniannya dalam skala yang lebih besar ataupun kecil. Ruang-ruang yang pada awalnya tidak banyak bernilai ekonomis, kini sejengkal lahan pun bermanfaat dan bisa menghasilkan secara finansial. Perkembangan tersebut memberikan tantangan kepada masyarakat lokal untuk mengadaptasi fenomena dan perubahan nilai dalam ruang hunian.
Lingkungan Padangtegal Tengah merupakan salah satu dari tiga belas lingkungan administratif yang terdapat di wilayah Kelurahan Ubud. Dengan jumlah song (unit hunian) mencapai 44 unit dengan 144 KK (wawancara kepala lingkungan Padangtegal Tengah, 2013). Dengan demikian rata-rata unit hunian terdiri dari 3-4 kepala keluarga. Pola sebaran hunian pada lingkungan banjar ini adalah menyebar, tidak berkelompok. Secara historis, krama Banjar Padangtegal Tengah merupakan bagian dari Desa Adat Peliatan yang terkait dengan proses ritual agama, adat dan budaya, namun secara administratif kedinasan merupakan bagian dari Kelurahan Ubud.
Perkembangan pemanfaatan lahan hunian pada wilayah studi ini tentu memiliki beberapa varian dari segi jenis dan karakter, komposisi lahan yang digunakan sebagai fungsi komersial, serta besaran ruang yang dimanfaatkan untuk fungsi komersial pada masing-masing unit hunian. Berikut lokasi wilayah studi pada penelitian ini:

Balai Banjar Padangtegal Tengah, Ubud

Gambar 1. Wilayah studi di Lingkungan Padangtegal Tengah, Ubud
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2013
Jenis dan Pengelolaan Fungsi Komersial di Lingkungan Padangtegal Tengah, Ubud
Untuk mengidentifikasi jenis fungsi komersial pada hunian di wilayah studi dilakukan survai secara berurutan (satu persatu) pada masing-masing unit hunian yaitu 44 unit hunian. Dari tahapan tersebut diketahui ada tidaknya fungsi komersial pada masing-masing hunian. Dengan mengetahui ada tidaknya fungsi komersial pada unit hunian kemudian ditelusuri bagaimana kecenderungan pengelolaan fungsi komersial tersebut oleh masyarakat. Selain itu, dilakukan juga pengumpulan data kapasitas fungsi komersial dari luasan lantai bangunan yang digunakan serta berbagai variasi komposisi pemanfaatan lahan untuk fungsi komersial dan fungsi domestik pada unit hunian.
Informasi mengenai sebaran unit hunian di wilayah studi bisa diperhatikan lebih jelas pada Gambar 2, berikut ini.

Keterangan :
Unit hunian dengan aktivitas komersial

Unit hunian tanpa aktivitas komersial
Unit hunian lingkungan banjar lain
Gambar 2. Sebaran unit hunian di Lingkungan Padangtegal Tengah, Ubud
Pada gambar di atas, unit hunian yang ditandai dengan arsiran hitam merupakan unit hunian yang memiliki fungsi komersial di dalamnya, sedangkan arsiran abu menunjukkan unit yang tidak memiliki fungsi komersial di dalam huniannya. Unit hunian yang merupakan unit hunian pada lingkungan banjar yang berbeda ditandai dengan petak berwarna putih. Sebagai bagian dari kawasan pariwisata Ubud, lingkungan permukiman Padangtegal Tengah turut dipengaruhi oleh dampak pariwisata Ubud. Hal tersebut dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam mata pencaharian di sektor ini, perkembangan jenis profesi, serta perkembangan pemanfaatan lahan pada masing unit hunian masyarakatnya.
Fungsi komersial pada studi ini dapat dibagi menjadi beberapa kategori yaitu: a) homestay, b) restoran, c) toko/warung, d) artshop, e) laundry, f) tour agent, g) parkir, h) studio lukis, i) tukang banten, j) lain-lain (internet, apotek, sanggar, penjahit, catering). Unit hunian pada studi ini sebagian besar ditempati oleh lebih dari satu keluarga, rata-rata 3-4 kepala keluarga. Berdasarkan data lapangan diperoleh jumlah unit hunian yang terdapat di Lingkungan Permukiman Padangtegal Tengah Ubud adalah 44 unit hunian. Dari jumlah tersebut sebanyak 35 unit hunian memanfaatkan lahan hunian sebagai tempat untuk fungsi komersial, dan 9 sisanya tidak memiliki atau tidak menggunakan
lahan hunian sebagai wadah akitivitas komersial. Identifikasi unit hunian berdasarkan hasil survai lapangan bisa dilihat pada Gambar 3 berikut ini:
Gambar 3. Presentase hunian dengan dan tanpa fungsi komersial dan jumlah fungsi komersial di wilayah studi
Gambar di atas menunjukkan bahwa sebagian besar unit hunian masyarakat di lingkungan permukiman wilayah studi, memiliki fungsi komersial. Sekitar 80 persen unit hunian memiliki fungsi komersial pada unit huniaannya, hanya 20 persen yang tidak menggunakan lahan huniannya untuk fungsi komersial. Unit hunian yang tidak memiliki fungsi komersial, cenderung disebabkan oleh kepemilikan fungsi komersial pada tempat lain diluar huniannya. Bahkan memililki memiliki fungsi komersial dalam skala yang lebih besar, sehingga unit hunian tersebut tetap digunakan sebagai tempat tinggal sedangkan sumber pendapatannya berasal dari fungsi komersial di tempat lain.
Secara keseluruhan jumlah fungsi komersial pada wilayah studi terdapat 97 unit fungsi komersia l. Adapun dalam jumlah masing-masing jenis fungsi komersial terdiri dari : Fungsi komersial berupa homestay: 11 unit, restoran: 5 unit, toko/warung: 24 unit, Artshop: 28 unit, Laundry: 2 unit, Tour agent: 4 unit, tempat parkir/garase: 4 unit, studio lukis: 8 unit, tukang banten: 4 unit, lain-lain: 7 unit. Aktivitas lain-lain yang dimaksud adalah fungsi komersial berupa apotek, internet, sanggar tari, penjahit, catering, ternak, tempat kursus. Dari segi jumlah unit fungsi komersial jumlah artshop paling banyak dipilih oleh masyarakat untuk dikelola, kemudian disusul toko/warung, serta homestay. Berikut presentase jenis fungsi komersial yang terdapat pada wilayah studi.
Gambar 4. Presentase fungsi komersial di wilayah studi
Jenis fungsi komersial berupa artshop memiliki konsumen khusus yaitu wisatawan, sedangkan toko, warung cenderung lebh banyak melayani kebutuhan sehari-hari untuk masyarakat lokal. Walaupun tidak jarang, wisatawan juga berbelanja di toko/warung tersebut. Artshop yang menyediakan produk kerajinan bagi wisatawan dari segi perbandingan jumlah dengan fungsi komersial lainnya menunjukkan presentase 28.87 persen, dan toko/warung 24.74 persen. Jika kedua fungsi komersial tersebut digabungkan, presentasenya diatas 50 persen dibandingkan 8 jenis fungsi komersial lainya.
Dominasi tersebut menunjukkan indikasi bahwa fungsi komersial berupa artshop, toko/warung lebih mudah untuk dikembangkan baik dengan cara dikelola sendiri ataupun disewakan. Fungsi komersial tersebut memerlukan area yang dekat dengan jalan untuk memudahkan akses dengan konsumen. Keberadaan area depan hunian (telajakan) merupakan area yang paling potensial dan cenderung lebih mudah mengalami perubahan untuk aktivtas komersial tersebut. Dalam konteks ruang, telajakan berfungsi memperlebar jarak pandangan, sebagai keamanan bangunan, menciptakan keakraban, serta penghijauan dan identitas suatu lingkungan, sehingga telajakan juga dikategorikan sebagai salah satu elemen ruang terbuka hijau tradisional di Bali (Dwijendra, 2008). Dengan perubahan fungsi pemanfaatan lahan telajakan ini, fungsi-fungsi tersebut tergantikan dengan pertimbangan pendapatan finansial yang diperoleh dari area tersebut.
Keberadaan artshop, toko/warung yang ditemui pada wilayah studi mempengaruhi eksistensi telajakan sebagai ruang terbuka yang merupakan salah satu ciri hunian masyarakat tradisional Bali. Perubahan fungsi tersebut memberi dampak positif sebagai sumber pendapatan bagi pemilik, namun disisi lain dengan digunakannya semua lahan pada area depan unit hunian mengurangi keasrian lingkungan. Selain itu juga berdampak pada kepadatan arus lalu lintas dan permasalahan parkir. Komposisi fungsi komersial berupa homestay dari keseluruhan fungsi komersial mencapai 12 persen. Homestay merupakan alternatif lain fungsi komersial yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah studi. Berbeda dengan artshop ataupun warung, fungsi komersial berupa homestay memerlukan lahan yang lebih luas dan memerlukan biaya yang lebih besar untuk mengembangkannya. Lahan yang dimanfaatkan untuk aktivtas komersial ini pada umunya terletak pada bagian belakang lahan hunian.
Gambar 5 merupakan salah satu contoh bentuk fungsi komersial pada unit hunian masyarakat di wilayah studi. Unit hunian yang memiliki akomodasi wisata berupa homestay, cenderung memiliki kapasitas lahan yang belum termanfaatkan pada unit huniannya. Biasanya, kebutuhan fungsi domestik penghuninya sudah cukup dari segi luasan dan jumlah ruang yang dibutuhkan untuk fungsi keseharian. Warnata (1998) mengungkapkan ada beberapa hal yang menyebabkan wisatawan lebih memilih untuk tinggal dalam hunian masyarakat lokal di Ubud, seperti: ketertarikan wisatawan dengan sifat home family (kekeluargaan yang diperlihatkan oleh tuan rumah, orientasi bisnis tidak kaku seperti di hotel atau di negara yang bersifat bussiness oriented. Keingintahuan adat istiadat budaya dalam lingkungan rumah tinggal terutama wisatawan Eropa seperti Jerman Spanyol, Belanda. Selain itu letaknya yang tidak ekslusif dan dekat dengan objek pemandangan dan objek wisata lainnya di Ubud juga menjadi penyebab wisatawan memilih homestay sebagai tempat menginap.
Gambar 5.Fungsi komersial berupa homestay
Akses jalan cenderung tidak memberikan pengaruh yang begitu besar terhadap peluang masyarakat pada wilayah studi untuk memiliki fungsi komersial pada unit huniannya. Namun, jenis fungsi komersial yang dimiliki, berbeda. Pada jalan dengan aktivitas tinggi cenderung jenis fungsi komersial yang berkembang seperti artshop, toko/warung, yang memang memerlukan akses dan pencapaian yang mudah. Fungsi komersial tersebut biasanya digunakan pada area depan unit hunian yang berbetasan langsung dengan jalan. Namun, hal tersebut berbeda dengan unit hunian yang terletak pada jalan kecil/gang dengan pencapaian yang tidak terlalu mudah. Seperti pada unit hunian milik Arka Adiputra yang justru tidak menggunakan bagian depan unit huniannya sebagai fungsi komersial, dan hanya menggunakan bagian belakang unit hunian sebagai fungsi komersial berupa homestay.
Fungsi komersial yang sama juga dimiliki oleh Arya Wirawan (Mei 2013) yang letak huniannya di jalan yang sama dengan Arka Adiputra (Mei 2013). Pada awalnya menurut narasumber pada hunian terdapat kandang ternak seperti babi dan ayam. Semenjak pada unit huniannya akan dibangun penginapan untuk wisatawan, aktivitas beternak sebagai aktivitas sampingan mulai ditinggalkan. Hal tersebut sejalan dengan apa yang ditelusuri oleh Rasmen Adi pada studi kasus di Banjar Legian Kaja Daerah Wisata Kuta, (Sukawati 2004) kandang ternak banyak ditinggalkan karena adanya pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor agraris ke sektor pariwisata. Pengelolaan fungsi komersial pada wilayah studi, dapat dilihat dari cara penghuni, pemilik unit hunian merespons keberadaan fungsi komersial dalam unit huniannya. Dari 35 unit hunian yang memiliki fungsi komersial masyarakat memilih untuk mengelola dengan sistem sewa (disewakan), yaitu sebanyak 55 persen sedangkan, pengelolaan sendiri sebanyak 45 persen dari 97 unit fungsi komersial yang ditelusuri pada wilayah studi. Berikut komposisi pengelolaan fungsi komersial, yang diperoleh dari penjabaran seperti yang disajikan dalam gambar 6.
Gambar 6. Presentase pengelolaan aktivitas komersial pada wilayah studi
Fungsi komersial dengan sistem sewa/kontrak paling banyak pada artshop dengan komposisi 28 unit yang terdapat pada wilayah studi. Dari 28 unit artshop tersebut hanya satu (1) unit yang dikelola sendiri. Hal tersebut menjadi menarik, karena kecenderungan yang terdapat pada wilayah studi, kenyataannya masyarakat lebih memilih untuk menyediakan tempatnya saja, dan kemudian disewakan dengan periode tahunan. Hal tersebut dirasa lebih efesien daripada mengelola sendiri. Dengan menyediakan tempat dan kemudian disewakan kepada orang lain, pemilik bisa memperoleh penghasilan bersih tanpa ada resiko kerugian dalam bisnis yang dijalankan daripada jika dikelola sendiri. Salah satu narasumber menyebutkan:
“ …Saya lebih memilih untuk mengontrakkan artshop di depan karena, saya dan istri berprofresi sebagai guru, jadi tidak punya waktu banyak untuk mengelola usaha sendiri dan juga belum berpikir untuk mau berbisnis apa, mungkin kalau sudah pensiun, bisa dipikirkan kembali. Lihat perkembangannya nanti…”
Berdasarkan pada pernyataan di atas ketidaktersediaan waktu untuk mengelola usaha sendiri, juga menjadi pertimbangan masyarakat karena sebagian besar pemilik unit hunian pada wilayah studi bekerja di luar rumah. Fungsi komersial yang dimiliki tersebut bukan merupakan pendapatan utama dalam keluarga, sehingga pilihan untuk tidak mengelola secara langsung dirasakan lebih efektif. Dalam penelitian-penelitian terkait yang dilakukan oleh Gough & Kellet (2001), pendapatan finansial dengan menyewakan ruang/ tempat sangat umum dilakukan masyarakat dengan pendapatan rendah pada daerah urban. Pada wilayah studi yang tumbuh menjadi daerah pertumbuhan pariwisata, justru banyak dilakukan oleh masyarakat dengan pendapatan menengah dan memiliki profesi tetap. Tipple, A. G. (2000) juga mengungkapkan penyewaan blok ruang sebagai passive activities, dengan tidak turut langsung mengelola fungsi komersial merupakan cara yang banyak dilakukan pada masyarakat di negara berkembang. Pertimbangan nilai investasi yang tidak terlalu besar dibandingkan nilai sewa yang didapat cukup tinggi. Fenomena tersebut menjadi peluang bagi masyarakat untuk mengubah area depan huniannya (telajakan) menjadi blok-blok ruang yang bisa disewakan. Wisatawan sebagai konsumen pada daerah studi yang merupakan daerah pariwisata, menjadi pemicu meningkatnya permintaan dan kebutuhan pasar akan ruang komersial. Cara masyarakat mengelola dan berbagai jenis fungsi komersial pada hunian di wilayah studi disajikan pada Gambar 7.
Jika dibandingkan dengan penelitian sejenis tentang fungsi komersial pada unit hunian di negara-negara berkembang, terdapat perbedaan jenis fungsi komersial yang dimiliki. Perbedaan tersebut juga terdapat pada sistem pengelolaannya. Latar belakang wilayah studi yang merupakan daerah pariwisata memberikan pengaruh besar terhadap jenis fungsi komersial yang dimiliki oleh masyarakat.
Pemanfataan Hunian untuk Fungsi Komersial Serta Dampaknya di Lingkungan Padangtegal Tengah, Ubud
Sebaran unit hunian pada lingkungan permukiman ini tergolong unik karena letaknya yang tersebar, antara satu unit hunian dengan unit hunian lainnya. Untuk penentuan kasus diambil dari sebaran unit hunian yang berada di Jalan Hanoman, Jalan Sugriwa, Jalan Gootama Selatan, Gang Menda yang mewakili karakterisitik jalan dengan kepadatan dan aktivitas yang berbeda sehingga bisa ditelusuri kecenderungan variasi pemanfaatan lahan yang dimanfaatakan untuk fungsi komersial.
Beberapa kasus tersebut dideskripsikan berdasarkan data yang diperoleh pada saat melakukan survai lapangan, wawancara, dokumentasi, dan sketsa komposisi massa bangunan untuk fungsi komersial dan fungsi domestik. Kasus yang diambil pada penelitian ini merupakan representasi unit hunian dengan berbagai jenis fungsi komersial yang dibangun, dikelola oleh masyarakat pada unit hunian tradisionalnya. Gambar 9 menunjukan komposisi pemanfaatan lahan untuk fungsi komersial pada kasus-kasus unit hunian.
Dari kasus yang ditelusuri rata-rata presentase fungsi komersial dibandingkan dengan fungsi domestik ditinjau dari besaran luas lantai bangunan yang digunakan, sebanyak 19 persen-nya merupakan area untuk fungsi komersial sedangkan sisanya merupakan wadah fungsi domestik. Hal tersebut menunjukkan bahwa fungsi komersial pada unit hunian sudah menjadi fenomena perkembangan fungsi baru yang diterima oleh masyarakat pada wilayah studi.
Keseimbangan unit hunian sebagai tempat tinggal keluarga dan sebagai tempat bekerja juga diungkapkan dalam penelitian Kellet dan Tipple (2000),
...”is likely to vary depending on the income and aspiration of their household and their neighbours, the profitability and nature of the economic activity, alternative opportunities for making a living and many others variables.”

Layout kasus 1




Layout kasus 4
Layout kasus 5
Layout kasus 6

Layout kasus 7
Layout kasus 8
Layout kasus 9
Gambar 9. Layout kasus-kasus hunian dengan fungsi komersial
Peranan fungsi komersial sebagai sumber pendapatan utama atau pendapatan tambahan bagi masyarakat juga memberikan efek yang positif bagi peningkatan ekonomi keluarga, bisa juga dilihat dari kualitas hunian yang dimiliki. Kapasitas fungsi komersial yang hampir berimbang dengan fungsi domestik tersebut, memberikan gambaran bahwa fungsi komersial selain sebagai sumber pendapatan juga merupakan sebuah dinamika baru dalam perkembangan hunian masyarakat Bali, khususnya di Lingkungan Padangtegal Tengah, Ubud. Fungsi komersial tersebut di-adaptasi oleh masyarakat dengan melakukan modifikasi fungsi-fungsi ruang.
Perubahan banyak terdapat pada tembok pembatas (panyengker) hunian dengan jalan tidak lagi nampak dominan karena fungsinya tergantikan oleh keberadaan artshop, toko/warung atau fungsi komersial lainnya. Lahan belakang unit hunian(teba) juga sangat potensial untuk digunakan sebagai fungsi komersial. Keberadaan tembok penyengker yang berfungsi secara sekala dan niskala sebagai batas fisik dan juga wujud proteksi dari hal-hal negatif tergantikan dengan keberadaan fungsi komersial, sehingga nilai lokal tersebut makin hari kian memudar.
Pada hunian inti yang meliputi merajan, bale dangin, bale daja, tidak terdapat perubahan signifikan terkait dengan aktivitas ritual budaya yang berlangsung di dalamnya. Dari
semua kasus yang didokumentasikan dalam bentuk layout terlihat ada upaya masyarakat pada wilayah studi untuk tidak mengesampingkan nilai-nilai ruang yang sudah ada. Misalkan pada kasus 2 maupun kasus 8, yang letak fungsi komersialnya berada pada daerah hulu dari merajan. Namun hal tersebut disiasati dengan memberikan jarak yang cukup tanpa menghilangkan tembok panyengker (pembatas) merajan/tempat suci.
Dalam penelitian Warnata (1998) disebutkan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan perubahan rumah tinggal di Desa Adat Ubud adalah perubahan pola pikir masyarakat dan kompleksitas kebutuhan fungsi ruang yang semakin besar dalam rangka memenuhi keinginan untuk meningkatkan prestise melalui peluang usaha yang mengarah ke bidang non agraris yang heterogen.Hal tersebut juga nampak dari kasus-kasus yang ditelusuri di Lingkungan Padangtegal Tengah Ubud. Sejalan dengan faktor yang ditelusuri oleh Warnata, kebutuhan fungsi ruang untuk aktvitas domestik yang semakin kompleks karena perkembangan teknologi juga diikuti dengan upaya peningkatan kapasitas fungsi komersial.
Kapasitas fungsi komersial paling dominan terlihat pada kasus 3 yang mencapai 37 persen. Jumlah keluarga yang menempati unit hunian yang 5 KK dan potensi lahan belakang hunian yang cukup luas menyebabkan kapasitas fungsi pada unit hunian ini menjadi lebih besar. Hal yang sama juga ditemui pada kasus 3 yang kapasitas fungsi komersialnya mencapai 30 persen, namun unit hunian ini ditempati oleh 4 KK dengan fungsi komersial dominan berupa homestay.
Dari kasus-kasus pemanfataan lahan tersebut, kasus 1 memiliki kapasitas yang paling kecil yaitu 8 persen. Komposisi lahan yang dimanfaatkan hanya pada bagian depan. Menurut narasumber, bagian inti hunian dan belakang lahan hunian sudah semua digunakan sebagai rumah tinggal, mengingat jumlah kepala keluarga yang berada di unit hunian ini adalah 4 KK. Karena keterbatasan luasan lahan tersebut makanya hanya bagian depan yang dioptimalkan fungsi artshop. Berikut petikan wawancara dengan Gusti Sujana (narasumber pada kasus1).
”...Sekarang teba (lahan belakang) semua sudah terisi bangunan untuk rumah tinggal karena saya bersaudara laki-laki 4 orang, dan semua sudah berkeluarga. Pendapatan dari menyewakan artshop saya gunakan untuk biaya sekolah anak, juga memperbaiki rumah...”
Sejalan dengan penelitian Gough dan Kellet (2001) tentang housing consolidation bahwa dengan adanya fungsi komersial menunjukkan adanya simbyotic relationship antara unit hunian sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat menghasilkan pendapatan. Hal tersebut berdampak pada peningkatan kualitas hunian . Nampaknya kasus-kasus yang dikaji dalam penelitian ini juga terdapat kecenderungan peningkatan kualitas rumah dengan adanya fungsi komersial pada unit huniannya. Pendapatan yang diperoleh dari fungsi komersial disamping digunakan untuk kebutuhan konsumtif juga dimanfaatkan untuk memperbaiki bangunan pada unit hunian.
Dari segi penataan lingkungan unit hunian dengan fungsi komersial cenderung berkembang menjadi lebih baik, dapat dilihat dari wujud bangunan dan pemanfaatan material. Contohnya, pada kasus 3 dan kasus 5, setiap harinya unit hunian ini dikunjungi oleh wisatawan sehingga kondisi lingkungan diupayakan lebih tertata. Hal tersebut juga dijumpai pada kasus lain terutama unit hunian dengan fungsi komersial berupa homestay. Produktivitas fungsi komersial berupa homestay sangat dipengaruhi oleh tourist season, seperti juga yang ditemui oleh Gough dan Kellet pada penelitiannya
di negara berkembang Kolombia. Pada saat high season (Juli-Agustus) pemilik hunian sampai tidak bisa memenuhi kebutuhan akan kamar untuk wisatawan. Hal tersebut menunjukkan pada saat puncak kunjungan tersebut pendapatan yang diperoleh juga lebih maksimal dari bulan lainnya. Kualitas lingkungan dan bangunan yang baik tentu merupakan salah satu syarat untuk meningkatkan dari tarik wisatawan untuk mengunjungi atau menempati homestay pada unit hunian tersebut. Pendapatan dari fungsi komersial yang dimiliki sebaliknya juga digunakan untuk memperbaiki kualitas hunian.
Ditinjau dari beberapa komponen mengenai permukiman dari Doxiadis (dalam Soetomo, 2009). Shells diartikan ruang bangunan dari bangunan gedung hingga kelompok yang mencapai skala permukiman, kampung, kota dan aglomerasi fisik wilayah, tempat tinggal manusia. Dalam hal ini, ruang bangunan sebagai objek studi meliputi unit-unit hunian. Dampak dalam ruang hunian masyarakat tersebut terlihat dari adanya perkembangan fungsi pemanfataan. Lahan yang sebelumnya tidak digunakan untuk bangunan kini digunakan untuk fungsi komersial ataupun pergesaran fungsi dari bangunan yang sebelumnya digunakan hanya untuk tempat tinggal dimodifikasi untuk tempat tinggal dan fungsi komersial. Tumbuhnya fungsi komersial pada unit-unit hunian masyarakat pada wilayah studi tersebut tentu berdampak pada network atau jaringan yang meliputi akses jalan sebagai prasarana transportasi. Pemanfataan lahan hunian pada bagian depan hunian sebagai fungsi komersial berupa artshop, toko warung memerlukan tempat parkir. Namun karena perkembangan fungsi komersial muncul secara sporadis, akhirnya sebagaian akses jalan digunakan sebagai tempat parkir, sehingga tidak jarang terjadi kemacetan yang berdampak pada kelancaran transportasi pada kawasan parwisata Ubud. Selain karena pertambahan volume kendaraan di jalan, tumbuhnya aktivtas komersial pada bagian depan lahan hunian memicu kepadatan lalulintas.
Terkait dengan dampak terhadap alam dan lingkungan, adanya pemanfataan lahan pada bagian depan dan belakang untuk aktivitas komersial berpengaruh pada berkurangnya area hijau yang memang tidak menghasilkan dari segi finansial namun memiliki fungsi sebagai ruang terbuka hijau mikro yang terdapat pada unit-unit hunian. Manusia/penghuni unit hunian dan masyarakat sebagai komunitas dari kacamata Doxiadis disebut sebagai content juga turut dipengaruhi dengan adanya fungsi komersial pada unit hunian. Penghuni sebagai subjek dalam lingkup unit huniannya, cenderung merespons fenomena perkembangan pariwisata dari sudut pandang finansial sebagai tolak ukur. Dengan pandangan bahwa dengan adanya fungsi komersial dapat menunjang pendapatan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hunian dan lingkungan. Privasi penghuni kaitannya dengan adanya fungsi komersial pada unit hunian di beberapa kasus, ada upaya untuk mengisolasi dampak perubahan (berkurangnya privasi) bagi penghuni dengan membagi jalur sirkulasi penghuni dengan wisatawan yang menginap pada unit hunian yang memiliki fungsi komersial berupa homestay.
Selain dampak tersebut, nilai-nilai lokal yang terkait nilai hierarki ruang seperti (utama-nista), (hulu-teben), menjadi agak rancu disebabkan setiap ruang semakin dipandang bernilai secara finansial. Unsur budaya inti memang masih dipertahankan, namun adaptasi dan modifikasi dilakukan pada setiap ruang/lahan yang belum dimanfataankan sebelumnya. Perkembangan pariwisata, modernisasi dan perkembangan teknologi
nampaknya mempengaruhi cara pandang masyarakat yang cenderung lebih melihat dari segi ekonomis dalam memanfaatkan lahan huniannya.
Kesimpulan
Secara keseluruhan jumlah fungsi komersial pada wilayah studi terdapat 97 unit fungsi komersial pada hunian. Jumlah tersebut terbagi dalam beberapa jenis fungsi komersial yang sebagian besar terkait dengan aktivitas pariwisata dan non pariwisata. Diketahui bahwa 80 persen dari 44 unit hunian yang ditelusuri memiliki fungsi komersial pada unit huniannya. Dari segi jumlah fungsi komersial jumlah artshop paling banyak dipilih oleh masyarakat untuk dikelola, kemudian disusul toko/warung, serta homestay. Beberapa jenis fungsi tersebut dipilih oleh masyarakat dari disebabkan oleh beberapa hal yaitu, potensi lahan strategis yang belum dimanfaatkan, peluang peningkatan ekonomi keluarga dengan cara pasif (passive income). Pemilik bisa melaksanakan profesinya namun tetap mendapat penghasilan tambahan dari fungsi komersial yang disewakan.
Pengelolaan fungsi komersial pada wilayah studi, dapat dilihat dari cara penghuni, pemilik unit hunian merespons keberadaan fungsi komersial dalam unit huniannya. Dari 35 unit hunian yang memiliki fungsi komersial, masyarakat memilih untuk mengelola dengan sistem sewa (disewakan), yaitu sebanyak 55 persen sedangkan, pengelolaan sendiri sebanyak 45 persen. Adapun beberapa hal yang menyebabkan pemilik cenderung mengelola tempat komersial dengan sistem sewa karena: a) profesi pemilik yang sebagian besar bekerja diluar rumah, b) tidak adanya ketersediaan waktu untuk mengelola tempat yang dimiliki.
Manusia/penghuni unit hunian dan masyarakat sebagai komunitas dipengaruhi dengan adanya fungsi komersial pada unit hunian. Penghuni sebagai subjek dalam lingkup unit huniannya cenderung merespons fenomena perkembangan pariwisata dari sudut pandang finansial sebagai tolak ukur. Ada pandangan dan pengalaman bahwa dengan adanya fungsi komersial dapat menunjang pendapatan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hunian. Namun, selain dampak tersebut, nilai-nilai lokal yang terkait nilai nilai hierarki ruang seperti (utama-nista), (hulu-teben), menjadi agak rancu, karena setiap ruang semakin dipandang bernilai secara finansial. Fungsi nilai ruang tradisional pada wilayah inti hunian memang masih dipertahankan, namun adaptasi dan modifikasi dilakukan pada setiap ruang/lahan yang belum dimanfataankan sebelumnya. Pola pikir masyarakat akibat modernisasi dan perkembangan teknologi nampaknya mempengaruhi cara pandang masyarakat yang cenderung melihat lebih dari segi ekonomis dalam memanfaatkan lahan huniannya. Untuk penelitian sejenis, ada baiknya dilakukan dalam lingkup wilayah permukiman yang lebih luas dan kasus yang dipilih lebih banyak. Metode penelitian dengan cara kuantitatif juga bisa dilakukan untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih komprehensif.
Daftar Pustaka
Anonim (1990) Mengenal dan Pembinaan Desa adat di Bali Proyek Pemantapan Lembaga Adat Tersebar di 8 Kabupaten di Bali, Denpasar.
Ardhana, K, dkk (2011) Masyarakat Multikultural Bali Denpasar: Pustaka Larasan.
Arikunto, S (1998) Manajemen Penelitian Jakarta: Rineka Cipta.
Budihardjo, E (1997) Arsitektur & Kota di Indonesia Bandung: Alumni.
Darjosanjoto, E T S (2006) Penelitian Arsitektur di Bidang Perumahan dan Permukiman Surabaya: ITS Press.
Dwijendra. N K A (2008) Rumah Tradisional Bali Denpasar: Udayana Univesity Press.
Gough, K V, Kellet, P (2001) Housing Consolidation and Home-based Income Generation United Kingdom: Pergamon.
Habraken, N J (1988) 'Type of social agreement' The Collection of ACA-3, Conference Paper.
Karyono, T H (2005) Arsitektur Kota Tropis Dunia Ketiga. Jakarta: Tehaka Arkita.
Kellet, P, Tipple, A G (2000) 'The home as work place: a study of income-generating activities within the domestic setting,' Environment & Urbanization Vol 12 No 1 April 2000.
Koentjaraningrat (1994) Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Indonesia.
Kurniasih, S (2007) 'Usaha perbaikan pemukiman kumuh di Petukangan Utara-Jakarta Selatan' Teknik Arsitektur Universitas Budi Luhur.
Louw, E, Vries, P (2002) Working at Home: The Dutch Property Dimension Carfax Publishing.
Mashud, M (2006) Makalah Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Penataan Ruang Kota, yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknis Sipil dan Perencanaan ITS tanggal 24 Agustus 2006 di FTSP-ITS Surabaya.
Mason, C, et al. (2008) Invisible Business: The Characteristics of Home-bases Business in the United Kingdom.
Mehta, M, Mehta, D (1990) Upradation and Income Generating from Housing.
Moleong, L J (1989) Teori Penelitian Kualitatif.
Mulyandari, H (2011) Pengantar Arsitektur Perkotaan Yogyakarta: Andi.
Pawe, S (2007) 'Peranan industri rumah tangga dalam peningkatan pendapatan masyarakat di Desa Roworena, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende” (tesis), Universitas Islam Negeri Malang.
Picard, M (2006) Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata Jakarta: Gramedia.
Pitana, I G (Ed) (1994) Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali Denpasar: Pustaka Bali Post.
Pranajaya, K (2011) 'Preferensi masyarakat Kota Denpasar dalam memilih rumah' (tesis), Program Studi Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Prasetya, J T (1991) Ilmu Budaya Dasar Jakarta: Rineka Cipta.
Prihanto, T (t.t.) 'Pengaruh kehidupan sosio-kultural terhadap spasial permukiman di Kelurahan Sekaran sebagai daerah pinggiran Kota Semarang' (tesis)' Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang (UNNES).
Rapoport, A (1977) Human Aspect of Urban Form Oxford: Pergamon Press
Siahaan, L (2009) 'Pengaruh persebaran lokasi Umkm berbasis rumah (Home Based Enterprises) terhadap pendapatan rumah tangga di Kel. Bugangan dan Jl. Barito Kec. Semarang Timur' (tesis) Jurusan Perencanaan Wilayah Dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Sinai, I (1998) 'Using the home for income generation: the case of Kumasi, Gana' Cities Vol 15 (6).
Soetomo, S (2009) Urbanisasi dan Morfologi Kota Yogyakarta: Graha Ilmu.
Strathern, P (2002) 90 menit Bersama Hegel Jakarta: Erlangga.
Sudata, I N (2002) 'Persepsi masyarakat Bali terhadap sistem nilai ruang terbuka tradisional di Kota Denpasar' (tesis) Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Sugiyono (2008) Buku Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D Bandung: Alfabeta.
Sukadana, I M (2003) The Contribution of Homebase Enterprise to the Improvement in Housing Condition in Rural Bali: The Case of Songan Village.
Sukawati, T O A A (2004) Ubud Bergerak Denpasar: Bali Media Adhikarsa.
Sukawati, T O A A (2008) 'Perubahan spasial Desa Adat Ubud, Gianyar, Bali, dalam era globalisasi: sebuah kajian budaya' (disertasi) Universitas Udayana.
Sukma, A N (2012) Pandora Bali Denpasar: Pustaka Larasan.
Supartha, W (1999) Bali dan Masa Depannya Denpasar: Pustaka Bali Post.
Surpha, I W (2002) Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali Denpasar: Pustaka Bali Post.
Tarigan, R (t.t.) 'Pola pengambilan keputusan pelaku usaha dalam proses penetapan jenis usaha industri kecil dan rumah tangga di Kecamatan Semarang Timur' Thesis Universitas Diponegoro.
Taufikurrahman (2010) 'Perubahan pola tatanan ruang rumah tinggal sebagai akibat kegiatan industri rumah tangga' Thesis Institut Teknologi Surabaya.
Universitas Udayana (2010) Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Disertasi Denpasar: Unud.
Warnata, I N (1998) 'Perubahan rumah tradisional di Desa Adat Ubud' Thesis Program Pascasarjana UGM.
Wiratmaja, I B (2002) 'Aspek budaya masyarakat Bali dalam fenomena suburbanisasi di Kawasan SARBAGITA (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan)' Thesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Manik, I W Y (2007) 'Pengaruh demografi, gaya hidup dan aktifitas terhadap transformasi tipo-morfologi hunian tradisional di Desa Bayung Gede, Bali' Thesis Program Studi Perumahan Permukiman Institut Teknologi Bandung.
Yunus, H S (2010) Struktur Tata Ruang Kota Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
222 SPACE - VOLUME 1, NO. 2, OCTOBER 2014
Discussion and feedback