Strategi Pengembangan Kawasan Pariwisata Terintegrasi Berorientasi Pejalan Kaki, Kasus: Kawasan Wisata Candidasa dan Desa Tenganan
on
RUANG
SPACE
STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PARIWISATA TERINTEGRASI BERORIENTASI PEJALAN KAKI
KASUS: KAWASAN WISATA CANDIDASA DAN DESA TENGANAN
Strategies for an Integrated Tourist Development, Oriented Towards A Pedestrians-Friendly Destination, the Case of Candidasa Tourism Area and Tenganan Village
Oleh: Gede Windu Laskara1, Ni Made Mitha Mahastuti2, Anak Agung Ngurah Aritama3
Abstract
The Candidasa Tourism Area and Tenganan Village are well-known tourist objects in Karangasem Regency, Bali, and are adjacent. Both have the potential to be integrated into pedestrian-friendly tourism areas. However, there are several problems regarding pedestrians and their paths that need to be addressed, such as safety, connectivity, and integrated transportation modes. Therefore, a study is required in order to formulate a strategy for developing a pedestrian-friendly tourism area in the Candidasa tourist area and Bali Aga Tenganan Village. This study uses a qualitative descriptive method by collecting data through surveys, field observations, interviews, and questionnaire distribution. The analysis was carried out in both areas, which were divided into 13 segments, discussing issues of land use, safe traffic, protection from possible crimes, pedestrian facilities, accessibility, aesthetics, and social support. Within, it is concluded that the development of a pedestrianfriendly tourist destination needs to pay attention to the development of tourist attractions, pedestrianised environment, and the overall management of the area. The proposed development strategy is based on the relationship between pedestrians and walkable-tourist neighbourhoods. The strategy focuses on increasing connectivity between the two areas and creating facilities to encourage tourists to walk. It is further recommended to develop a walkable tourist neighbourhood based on local genius and enhance the cultural characteristics of the area.
Keywords: Candidasa; development; pedestrians-oriented; strategy; Tenganan; tourism
Abstrak
Kawasan Wisata Candidasa dan Desa Tenganan merupakan daerah tujuan wisata (DTW) yang terkenal di Kabupaten Karangasem, dengan lokasi yang saling berdekatan. DTW tersebut memiliki potensi untuk diintegrasikan menjadi kawasan pariwisata yang ramah pejalan kaki. Namun, terdapat beberapa permasalahan yang perlu diatasi, seperti faktor keselamatan pejalan, konektivitas jalur pedestrian, dan integrasi moda transportasi. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian yang bertujuan untuk merumuskan strategi pengembangan kawasan pariwisata berbasis pejalan kaki di kawasan wisata tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pengumpulan data melalui survei, observasi lapangan, wawancara, dan pengisian kuesioner. Penelitian dilakukan pada 13 segmen dalam kawasan dengan analisa aspek antara lain guna lahan, keselamatan, keamanan, fasilitas pejalan, aksesibilitas, estetika lingkungan, dan dukungan sosial. Pengembangan kawasan pariwisata berbasis pejalan kaki perlu memperhatikan pengembangan daya tarik wisata, lingkungan pejalan kaki, dan pengelolaan. Strategi pengembangan diusulkan berdasarkan hubungan pejalan kaki dan lingkungannya, dengan fokus pada peningkatan konektivitas antara kedua kawasan. Strategi yang direkomendasikan adalah mengembangkan lingkungan wisata pejalan kaki berdasarkan kearifan lokal dan meningkatkan karakteristik budaya daerah tersebut.
Kata kunci: Candidasa; pengembangan; pejalan kaki; strategi; Tenganan; pariwisata
Pendahuluan
Daerah tujuan wisata (DTW) merupakan kawasan khusus yang menjadi salah satu prioritas pengembangan dan komoditi unggulan di Indonesia. Pengembangan DTW mendapat perlakuan khusus sebagai upaya meningkatkan kualitas pariwisata. Tujuan wisata ramah pejalan kaki merupakan salah satu konsep penunjang kawasan pariwisata yang ramah wisatawan dalam mendukung integrasi kawasan pariwisata (Angelevska-Najdeska & Rakicevik, 2012). Kawasan dengan jumlah wisatawan yang tinggi merupakan potensi yang besar untuk dapat dikembangkan menjadi kawasan yang walkable (Ashworth & Page, 2011).
Kabupaten Karangasem sebagai destinasi pariwisata di Bali Timur, statistik kunjungan wisatawan pada tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 16,65% yaitu 559.232 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem, 2018). Kawasan Candidasa dan Desa Tenganan adalah DTW dengan jumlah tingkat kunjungan wisatawan yang tinggi. Candidasa dengan potensi wisata tirta, sedangkan Desa Tenganan dengan potensi wisata budaya. Kedua destinasi tersebut letaknya terpisah sekitar tiga kilometer, namun memiliki potensi untuk dihubungkan dan diintegrasikan menjadi kawasan pariwisata ramah pejalan kaki (walkable).
Sayangnya, saat ini potensi tersebut belum diimbangi dengan model pengembangan yang dapat mendorong keinginan berjalan kaki (walkability). Hal ini terlihat dari kurangnya pengalaman berjalan kaki yang berkualitas bagi wisatawan. Isu utama adalah tingkat konektivitas dan integrasi kedua DTW ini bagi pejalan kaki. Perlu juga diperhatikannya faktor daya tarik visual (bangunan dan elemen lansekap) yang telah dimiliki. Sistem aksesibilitas yang terpusat belum mampu menunjang pergerakan pejalan kaki antar DTW.
Pada umumnya, penataan kawasan pejalan kaki hanya dipersiapkan pada areal bisnis dan komersial. Pada objek studi, terdapat ketertauan potensi dan aktivitas, namun belum terintegrasi sebagai sebuah kawasan terpadu. Oleh karena itu, menciptakan DTW yang ramah pejalan dapat menjadi pemicu ketertautan dua objek pariwisata ini, terlebih kedua objek memiliki jarak relatif dekat. Ketertautan dua objek wisata dapat menciptakan kawasan wisata pejalan yang aktif, berkelanjutan, dan penuh vibrasi. Penelitian ini akan menguraikan analisa SWOT sebagai dasar pemikiran dalam merumuskan strategi pengembangan terintegrasi kawasan pariwisata yang berorientasi pejalan kaki di Candidasa dan Desa Tenganan. Keluaran atau produk akhir dari penelitian ini berupa strategi pengembangan kawasan pariwisata guna meningkatkan walkability kedua DTW ini.
Review Literatur: Pengembangan Kawasan Wisata Berorientasi Pejalan Kaki
Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud tujuan bukan usaha atau mencari nafkah ditempat yang dikunjungi (Yoety, 1997) (Ismayanti, 2010). Berdasarkan Rencana Program Investasi Jangka Menengah Daerah (RPI-JMD) Karangasem 2015-2019, objek studi Candidasa dan Desa Tenganan diklasifikasikan menjadi dua klasifikasi pariwisata yang berbeda, di mana kawasan wisata Candidasa diklasifikasikan sebagai pariwisata resort dengan potensi alam (tirta) dan Desa Tenganan diklasifikasikan sebagai pariwisata budaya (cultural tourism).
Pariwisata budaya (cultural tourism) wisata untuk menikmati, merasakan, dan mengalami gaya hidup dari sekelompok masyarakat atau kebiasaan yang telah hilang atau telah
ditinggalkan akibat perkembangan zaman. Desa Tenganan mengandalkan nuansa dan kebudayaan Bali Aga sebagai komoditi wisata. Sedangkan, Candidasa sebagai pariwisata resort, tumpuan pada persediaan sarana atau prasarana wisata dengan keindahan alam (tirta) sebagai komoditi.
Beberapa indikator dalam perencanaan kawasan pariwisata antara lain adalah sebagai berikut (Hadiwijoyo, 2012) : 1) aksesibilitas tinggi, objek wisata memiliki beragam alternatif pencapaian menuju lokasi; 2) ragam aktivitas, terdapat beragam pilihan aktivitas dalam satu kawasan wisata; 3) infrastruktur dan akomodasi pariwisata telah tesedia untuk memberi kemudahan dan kenyamanan saat berwisata; 4) dukungan dan kolaborasi dengan masyarakat setempat, sebagai bentuk implementasi pariwisata berkelanjutan yang saling menguntungkan; dan 5) konektivitas dan integrasi dengan destinasi pariwisata disekitar dengan tujuan meningkatkan keterhubungan destinasi dalam kawasan. Secara lebih terperinci disajika dalam kerangka penelitian pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Penelitian
Sumber: Analisa Penulis (Cooper et.al, 1995); (Cubukcu, 2013 (Hadiwijoyo, 2012);
Dirangkum dari beberapa sumber, komponen yang harus dimiliki oleh sebuah objek wisata (Cooper, 1995) (Cubukcu, 2013) (Formica & Kothari, 2008), yaitu: 1) attraction, daya tarik merupakan komponen utama dalam menarik wisatawan berupa yaitu alam, atraksi budaya, dan atraksi buatan (event); 2) accessibility, pencapaian dengan transferabilitas atau kemudahan untuk bergerak dari daerah yang satu ke daerah yang lain sehingga mudah dikunjungi; dan 3) amenity, segala macam sarana dan prasarana yang diperlukan oleh wisatawan selama didaerah tujuan wisata dan 4) pengelolaan dan jejaring.
Pejalan kaki dalam konteks perencanaan merupakan istilah dalam transportasi yang digunakan untuk menjelaskan orang bergerak dengan kaki pada lintasan pejalan kaki, baik di pinggir jalan, trotoar, lintasan khusus ataupun jalur penyeberangan jalan. Pejalan kaki adalah pergerakan atau sirkulasi atau perpindahan orang dari satu tempat titik asal (origin) ke tempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan kaki. Beberapa prinsip perencanaan jalur pedestrian antara lain konektivitas, keselamatan dan keamanan, kenyamanan, serta kehandalan (Rubenstein, 1992).
Faktor pemicu pejalan direncanakan untuk mendorong keinginan berjalan kaki (walkability). Walkability menurut Land Transport New, Pedestrian Planning and Design Guide dalam (Hafnizar et al., 2017) adalah kondisi yang menggambarkan sejauh mana suatu lingkungan dapat bersifat ramah dan dapat mendukung terciptanya lingkungan pejalan kaki yang nyaman. Pengembangan terpadu (compact) bagi pejalan kaki juga dapat memberi manfaat berkelanjutan bagi kawasan dari segi transportasi dan livalibity kawasan (Laskara, 2016).
Terdapat beberapa elemen walkability pada suatu kawasan (Ujang & Muslim, 2015) (Hermawan & Laskara, 2022) yaitu: 1) pilihan pencapaian, dekat dengan jalur kendaraan umum/ titik transit; 2) keamanan dan keselamatan pejalan dalam berlalu lintas; 3) keterhubungan jalur trotoar yang jelas dan terarah; 4) keragaman fungsi dan aktivitas; 5) kualitas estetika sepanjang koridor jalan; 6) ketersediaan fasilitas dan rambu pejalan kaki; 7) kondisi fisik trotoar; 8) ketersediaan ruang hijau dan ruang publik; 9) kebersihan dan daya tarik visual; 10) kenyamanan berjalan; 11) keamanan dan pengawasan dari kejahatan; dan 12) ramah bagi semua umur dan penyandang cacat.
Perencanaan pengembangan kepariwisataan selayaknya terpadu dengan pembangunan regional dan nasional, dalam rencana strategis pembangunan perekonomian negara. Perencanaan fisik suatu daerah untuk tujuan wisata juga harus didasarkan pada kondisi sosial budaya serta geografisnya, sehingga pengembangan akan bersifat berkelanjutan dilihat dari aspek manusia, alam, dan ekonomi.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif merupakan satu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau peristiwa masa sekarang (Nazir, 2011) dalam (Barambae, Yuliet Elviseni; Egam, Pingkan P.; Siregar, 2019). Cara mengumpulkan data adalah dengan observasi lapangan pada areal kawasan objek penelitian (13 segmen kawasan). Observasi dilakukan dengan mengamati kondisi fisik dan non fisik pada kedua kawasan tersebut berdasarkan aspek perencanaan kawasan pejalan kaki. Wawancara dengan wisatawan setempat untuk mengetahui persepsi mereka terhadap kedua kawasan wisata tersebut, serta studi kepustakaan dari literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Peneliti melakukan analisa umum kondisi umum pariwisata pada objek studi dengan metode SWOT. Analisa SWOT digunakan sebagai cakupan analisa yang akan ditinjau lebih mendalam dengan menggunakan aspek perencanaan kawasan pejalan kaki bagi wisatawan. Dengan demikian akan dihasilkan strategi yang tepat guna berdasarkan kondisi objek studi.
Karakteristik Pariwisata di Candidasa dan Desa Tenganan
Lokasi objek wisata Candidasa berada persis di tepi Jalan Raya Denpasar-Karangasem atau disebut juga Jalan Raya Candidasa. Jarak dari kota Denpasar dengan Pantai Candidasa sejauh 60 kilometer. Daya tarik utama Candidasa adalah wisata tirta dan resort. Daya tarik utama pantai ini adalah sebagai olahraga pantai (watersport) dan salah satu tempat
menikmati matahari terbenam di wilayah timur Pulau Bali. Desa Tenganan Pegringsingan masih bisa menjaga warisan tradisi leluhurnya. Walaupun terdapat perkembangan teknologi dan infrastruktur, namun kebudayaan dan tradisi masih dipertahankan. Hal tersebut menjadi ciri khas dan daya tarik yang eksotis bagi wisatawan. Hal-hal yang menjadi daya tarik dari desa wisata yang ada di Tenganan Pegringsingan ini mulai dari bahasa, bentuk bangunan, motif kain gringsing, even dan ritual kebudayaan.
Tabel 1. Analisa SWOT Pariwisata Kawasan Candidasa dan Desa Tenganan
-
■ Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Kabupaten Karangasem mengembangkan Objek Wisata Budaya sebagai kawasan konservasi
-
■ Peluang dimanfaatkan sebagai paket kegiatan wisata ekologi berbasis pejalan kaki (ecologytourism).
-
■ Dukungan Lembaga Desa Adat di Kabupaten
-
■ Memanfaatkan system digital sebagai strategi
-
■ Dengan menciptakan dan pengembangan produk perencanaan pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan berbasis budaya, alam, dan subyek pejalan kaki.
-
■ Melestarikan kekuatan endogen yang dimiliki, misalnya budaya, alam, dan tradisi dalam komunitas.
-
■ Melakukan pendidikan dan pelatihan formal-informal kepada seluruh stakeholder pariwisata, termasuk masyarakat lokal.
-
■ Memberdayakan sistem komunitas/ Desa dalam mengelola dan mengawasi fasilitas pariwisata.
-
■ Program peningkatan kualitas SDM pariwisata di Kab. Karangasem secara bertahap, terstruktur dan berkelanjutan. Proses ini dilakukan dengan pelatihan sistem dan digitalisasi pariwisata untuk memperluas cakupan promosi.
-
■ Program pengembangan dan/atau modifikasi muatan budaya dan hiburan, seni, dan pertunjukan dengan tujuan pertunjukan budaya rutin non-sakral.
Ancaman (Threat)
Strategi S-T
Strategi W-T
-
■ Pengaruh modernisasi berdampak pada nilai-nilai kearifan lokal. Internasionalisasi mengancam ciri khas budaya Bali Aga.
-
■ Pengembangan fisik apabila tak terarah menurunkan kualitas alami lingkungan
-
■ Internalisasi visi pengembangan kedalam aturan Desa (awig-awig) untuk mengendalikan dampak internasionalisasi.
-
■ Wisata ‘cutture-experience’ menawarkan wisata yang dikelola oleh penududuk penduduk.
-
■ Destinasi wisata terintegrasi, pedoman pengembangan fisik dengan berorientasi pejalan kaki.
-
■ Merencanakan dan membangun sistem dan fasilitas fisik berdasarkan kesepakatan yang memuat nilai kearifan lokal.
-
■ Pengawasan swadaya (seif-surveilence) dengan penguatan komunitas
Internal |
Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness) |
Eksternal |
destinasi pariwisata yang memiliki disekitar belum terpadu secara beragam daya tarik tersendiri fisik dan pengelolaan. diantaranya wisata heritage, alam, ■ Pengembangan fisik kawasan pesisir/ bahari dan agrowisata. penunjang untuk aksesibilitas
Aga, termasuk pertunjukan dan kurang layak. event budaya lokal. ■ Tidak ada prioritas bagi
masyarakat lokal penghubung kedua destinasi |
Peluang (Opportiunity)
Strategi S-O
Strategi W-O
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Anom et al., 2015) berikut ini akan dipaparkan beberapa karakteristik wisatawan yang mengunjungi objek studi, antara lain sebagai berikut: 1) wisatawan didominasi oleh wisatawan yang berasal dari Eropa (42%) dan Australia dan Selandia Baru (37%); 2) rata-rata lama tinggal wisatawan di Kawasan Candidasa berkisar eempat hari yang menginap pada hotel non-bintang; 3) komposisi pembelanjaan tiga terbesar
digunakan untuk akomodasi, makanan dan minuman, serta atraksi; 4) magnet wisata adalah wisata pesisir, budaya masyarakat lokal, keindahan dan ketenangan.
Analisis Kondisi Kawasan Pejalan Kaki di Candidasa dan Desa Tenganan
Kajian akan dilakukan dengan membagi kawasan penelitian menjadi 13 segmen kawasan (SG1 – SG13), lihat Gambar 2. Pembagian segmen ini dilakukan berdasarkan radius nyaman berjalan kaki yaitu radius 350 meter, sekaligus pengelompokan sub-kawasan dan penamaanya
Semakin banyak ragam aktivitas penunjang kegiatan pejalan maka potensi suksesnya kawasan tersebut adalah semakin tinggi. Ragam fungsi dalam kawasan memberi banyak pilihan kepada pejalan kaki untuk melakukan aktivitas yang mereka sukai. Ragam aktivitas paling tinggi terdapat pada pusat aktivitas wisata budaya (SG-1 dan SG-2) dan pusat aktivitas wisata pesisir (SG-11 sd. SG-13). Pada segmen penghubung (transisi) yaitu SG-3 sampai SG-6 minim aktivitas wisata, hanya didominasi fungsi semak/kebun.
Gambar 2. Area Objek Studi – Ragam Fungsi Lah an Sumber: Analisa dan Modifikasi Google Earth, 2023
Keselamatan pejalan kaki juga menjadi kunci bagaimana kawasan pariwisata memberi ketenangan bagi wisatawan dalam menikmati koridor pariwisata, tidak hanya bagi pejalan, pesepeda, dan juga pengendara. Analisa kawasan dengan aspek keselamatan lalu lintas (Gambar 3) menggunakan indikator beberapa fitur didalam kawasan antara lain: jenis jalan, kecepatan kendaraan, ketersediaan fasilitas penyeberangan jalan, trotoar, petanda / rambu lalu lintas, peredam kecepatan (traffic calming), pelindung pejalan misalnya bollard. Persoalan yang dihadapi kawasan adalah tidak adanya fasilitas pelindung keselamatan pejalan kaki pada area transisi (SG-3 sd. SG-6), termasuk tidak ada trotoar. Fasilitas keselamatan lalu lintas hanya tersedia pada pusat kegiatan, pada SG-1, SG-2 (Desa
Tenganan) dan SG-9 sd. SG-13, misalnya pemisahan jalur pejalan, traffic signage, traffic calming (stripped vibrator), dan bollard. Jalur khusus pejalan kaki (full-pedestrian) hanya terpusat di kawasan wisata Desa Tenganan.
Gambar 3. Analisa Fasilitas Keselamatan Lalu Lintas dalam Kawasan Penelitian
Terdapat kecenderungan semakin ramai atau ragam aktivitas maka potensi terjadi tindakan kriminal akan semakin tinggi. Keamanan dalam menikmati seluruh atraksi pariwisata adalah kunci daya tarik kawasan pariwisata. Beberapa indikator keamanan antara lain tersedianya pusat keamanan lingkungan (siskamling), lampu penerangan jalan, pos/kantor polisi atau pusat pengaduan. Sistem keamanan juga akan didukung oleh kolaborasi dan peran serta masyarakat / adat yaitu pecalang. Semua kawasan sudah terdapat lampu penerangan jalan dan titik pengawasan petugas keamanan/pecalang, kecuali pada SG-5 dan SG-6, sebagai segmen transisi tidak terdapat pos keamanan, pusat pengaduan, dan lampu penerangan jalan.
Aspek ini meninjau fasilitas penunjang pejalan kaki dan pesepeda antara lain jalur khusus pejalan dan/atau sepeda, pohon peneduh, perabot jalan (street furniture & artwork), tempat sampah, transparansi tepi jalan, jalur pejalan yang nyaman untuk semua umur dan penyandang cacat (ramp dan fasilitas disabilitas). Infrastruktur penunjang jalur pejalan kaki belum terhubung antara Desa Tenganan dan Candidasa, terputus pada SG-5 dan SG-6. Sistem penunjuk arah dan tujuan belum tersedia pada seluruh kawasan. Jalur khusus pesepeda dan titik penyewaan sepeda tidak tersedia. Halte transportasi umum tidak tersedia. Fasilitas penyandang cacat dan/atau manula belum tersedia, misalnya ramp, jalur pemandu,
toilet disabilitas dan parkir khusus. Analisis fasilitas penunjang kenyamanan pejalan kaki
tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4. Analisa Fasilitas Penunjang Kenyamanan Pejalan Kaki
Keterjangkauan dan keterhubungan yang baik memudahkan wisatawan karena memberi ragam pilihan untuk mencapai kawasan tersebut. Analisa dengan meninjau ketersediaan akses untuk semua moda transportasi, misalnya kendaraan pribadi, transportasi umum, roda dua, roda empat, bus, paratransit dan lainnya. Ketersediaan fasilitas pusat parkir yang memadai sehingga seluruh moda transportasi memiliki fasilitas pemberhentian atau parkir yang nyaman selama berwisata. Tingkat aksesibilitas juga dapat meningkatkan keterhubungan antara kawasan wisata yang terdekat.
Fasilitas halte transportasi publik tidak tersedia pada segmen penunjang, publik berupa halte atau titik pergantian moda (stasiun transit). Tidak terdapat jalur dan titik penyewaan sepeda. Infrastruktur penunjang aksesibilitas kedua kawasan baik, bisa dicapai dengan seluruh moda transportasi. Fasilitas parkir sudah baik (analisa fasilitas parkir tersaji pada Gambar 5), sebaiknya ada moda untuk berpindah dari pusat parkir menuju pusat wisata, misalnya berupa shuttle bus dan terdapat halte transportasi publik, atau rental sepeda atau elektrik sepeda. Setiap segmen harus tersedia halte transportasi publik atau titik rental sepeda. Konektivitas dua kawasan belum terbentuk dengan baik, karena pada SG-5 dan SG-6 sebagai jalur penghubung belum diperhatikan penuh fasilitas dan infrastrukturnya.
Gambar 5. Analisa Fasilitas Parkir
Karakteristik khas kawasan yang tidak bisa diduplikasi pada kawasan lain adalah estetika lingkungannya, khususnya lingkungan alami. Lingkungan alami dapat ditunjang oleh desain lingkungan terbangun yang berbasiskan budaya lokal atau kearifan lokalnya. Pada kawasan ini terdapat dua karakter besar yang berpotensi menjadi penciri, yaitu karakter pesisir dan karakter budaya Bali Aga (Gambar 6).
Gambar 6. Analisa Estetika Lingkungan
Kawasan hijau berupa pesawahan dan lingkungan pegunungan/perbukitan menjadi pembentuk keragaman suasana estetika lingkungan yang mampu menambah ragam aktifitas dan vibrasi natural kawasan. Kekuatan utama kawasan ini adalah kuatnya karakter budaya dan arsitektur dari Desa Adat Tengangan Pegringsingan. Kualitas lingkungan alami dan terbangun yang sudah turun temurun dipertahankan pada desa tersebut memberi identitas dari kawasan tersebut, tidak hanya lokal, tapi juga regional hingga internasional. Sehingga, sangat potensial untuk mengembangkan ciri dan identitas tersebut tidak hanya didalam desa namun pada seluruh areal kawasan pariwisata ini.
Tabel 2. Strategi Integrasi Kawasan Pariwisata Berorientasi Pejalan Kaki di Kawasan Candidasa dan Desa Tenganan
Faktor Strategi Integrasi Kawasan Pariwisata Berbasis Pejalan Kaki
Daya Tarik • Klasifikasi ragam daya tarik wisata, daya tarik utama, penunjang, dan pelengkap yang
(Attraction) membaur (mixed attraction). Setiap ragam klasifikasi tersebut disebar merata secara
proporsional pada seluruh segmen kawasan, namun prioritas utama pada inti DTW.
-
• Konektivitas data tarik (connected attraction) sepanjang segmen (cluster). Segmen dengan skala radius nyaman berjalan kaki (radius 350 meter). Ragam fungsi dan kualitas daya tarik sepanjang muka jalan pada segmen penghubung pusat. Atraksi wisata tersedia pada setiap segmen (cluster), dengan konsep tematik.
-
• Area inti pariwisata (SG-1 dan SG-12) menjadi pusat atraksi. Semua segmen penghubung dirancang memiliki daya tarik tematik (thematic attraction) sebagai daya tarik penunjang inti (see, do, buy). Tematik yang dikembangkan adalah pengkayaan dan sejalan dengan karakteristik dan komoditi kawasan sehingga ragam tematik memiliki visi yang sama.
-
• Penataan tata ruang dan atraksi berorientasi kualitas ruang publik (vibrant public space) sehingga menjadi mendorong keinginan berjalan (walkability).
Akomodasi & • Pengelompokan jenis fungsi dan fasilitas untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan
Fasilitas ekosistem kawasan pejalan kaki. Misalnya, fungsi komersial dan retail diutamakan
(Amenity) berada pada koridor jalan sepanjang segmen (street frontage). Hal tersebut
menimbulkan kontinuitas yang mempererat integrasi
-
• Menekankan keragaman jenis fasilitas pariwisata pada setiap segmen (segmen inti dan penunjang), sebagai pemerataan fasilitas dan aktivitas wisata di seluruh kawasan.
-
• Karakter budaya Bali Aga dan wisata alam/tirta sebagai pedoman pengembangan fisik kawasan. Menerapkan konsep tematik dengan karakter tersebut pada segmen terpilih.
Aksesibilitas • Beragam pilihan moda transportasi menuju, disekitar, dan penghubung kawasan (Accessibility) wisata. Moda transportasi publik, privat, dan paratransit harus direncanakan secara
proporsional dengan prioritas bagi pejalan, kendaraan publik dan pesepeda.
-
• Prioritisasi utama pergerakan adalah bagi pejalan kaki. Penyediaan fasilitas pejalan kaki seperti jalur khusus, titik jemput (halte), pohon peneduh, dan perabot jalan.
-
• Perencanaan jalur sirkulasi menerapkan prinsip keterhubungan (connectivity),
keselamatan dan keamanan (safety & security); keindahan dan kenyamanan
(convieniece); dan kehandalan (reliable).
Pengelolaan & • Kolaborasi pengelolaan pariwisata dengan konsep local genius dan berkelanjutan.
Jejaring Kolaborasi pengelolaan antar sektor industri pariwisata, pemerintah, dan terutama
(Management masyarakat setempat (community-based tourism)
& • Pengelolaan dan pengembangan pariwisata harus merujuk dan berbasiskan budaya
Networking) setempat (Bali Aga), agar aktivitas wisata tidak bersinggungan dengan budaya lokal.
-
• Memperkuat branding wisata pejalan kaki dengan menyelenggarakan festifal tidak hanya terpusat pada segmen inti, namun juga sepanjang segmen penghubung.
g. Dukungan Sosial
Kolaborasi dan peran serta masyarakat akan menciptakan suasana spesifik dalam pariwisata. Hal tersebut menciptakan sebuah rasa berbaur dan hidup didalam sebuah komunitas yang sama, sehingga mampu memberi pengalaman budaya dan gaya hidup lokal bagi wisatawan selain pariwisata. Harus ada keseimbangan antara kontribusi masyarakat lokal, wisatawan, dan pengelola industri pariwisatanya. Masyarakat lokal memiliki peran utama dalam giat pariwisata, mejaga kekayaan potensi budaya dan alam sekaligus sebagai atraksi bagi wisatawan. Masyarakat dapat mengelola secara mandiri kegiatan atraksi budaya, diselenggarakan secara rutin, sehingga menjadi komoditi pariwisata. Desa Tenganan memiliki beragam kegiatan budaya yang sudah dikenal dunia, yaitu Perang Pandan.
Kesimpulan
Pariwisata yang berkelanjutan (sustainable-tourism) sangat erat kaitanya dengan menciptakan kawasan objek wisata yang berorientasi pejalan kaki (walkable-tourist neighbourhood) dengan dukungan sistem transit kendaraan umum. Kawasan pariwisata dengan orientasi pejalan kaki menciptakan suasana wisata yang penuh vibrasi dan memberi tautan terhadap tempat (place attachment). Tidak hanya menikmati daya tarik wisata buatan, melalu kawasan pariwisata berbasis pejalan kaki, pengunjung bisa turut serta mengalami tradisi, budaya, dan kebiasaan mayarakat di sekitar objek wisata. Integrasi kawasan pariwisata Candidasa dan Desa Tenganan dapat dilakukan dengan meningkatkan konektivitas kedua kawasan. Konektivitas kawasan dibentuk melalui strategi pengembangan area segmen penghubung. Segmen penghubung direncanakan agar dapat menjadi daya tarik dan memicu wisatawan berjalan dari Candidasa ke Tenganan atau sebaliknya. Oleh karena itu direkomendasikan untuk mengembangkan kawasan wisata ramah pejalan kaki (walkable tourist neighbourhood) dengan merujuk lokal genius untuk dapat sekaligus melestarikan budaya dan karakteristik kawasan.
Daftar Pustaka
Angelevska-Najdeska, K., & Rakicevik, G. (2012). Planning of Sustainable Tourism Development. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 44, 210–220.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.05.022
Anom, I. P., Pujani, L. P. K., & Suryasih, I. A. (2015). Produk Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Pariwisata Candidasa [Universitas Udayana]. In Seminar Nasional Sains dan Teknologi (SENASTEK 2015) (Issue 1).
https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/34207d9199d63bd2 67a8911ac37d8b81.pdf
Ashworth, G., & Page, S. J. (2011). Urban Tourism Research: Recent Progress and Current Paradoxes. Tourism Management, 32(1), 1–15.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. (2018). Karangasem dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem.
Barambae, Yuliet Elviseni; Egam, Pingkan P.; Siregar, F. O. P. . (2019). Perencanaan Kawasan Pariwisata Di Kecamatan Tomohon Selatan. Jurnal Spasial, 6(3), 609–618.
Cooper, C. (1995). Strategic Planning for Sustainable Tourism: the Case of the Offshore Islands of the UK. Journal of Sustainable Tourism, 3(4), 191–209.
Cubukcu, E. (2013). Walking for Sustainable Living. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 85, 33–42. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.08.335
Formica, S., & Kothari, T. H. (2008). Strategic Destination Planning: Analyzing the Future of Tourism. Journal of Travel Research, 46(4), 355–367.
https://doi.org/10.1177/0047287507312410
Hadiwijoyo, S. S. (2012). Perencanaan Pariwisata Perdesaan Berbasis Masyarakat: Sebuah Pendekatan Konsep. Graha Ilmu.
Hafnizar, Y., Izziah, I., & Saleh, S. M. (2017). Pengaruh Kenyamanan terhadap Penerapan Konsep Walkable di Kawasan Pusat Kota Lama. Jurnal Teknik Sipil, 1(1), 271–284.
Hermawan, M. D., & Laskara, G. W. (2022). Assessment of the Influence of Walkability Factors on Corridor via VIII Febbraio and via Roma in Padova, Italy. Astonjadro, 11(3), 680–691. http://dx.doi.org/10.32832/astonjadro.v11i3
Ismayanti. (2010). Pengantar pariwisata. PT Gramedia Widisarana.
Laskara, G. W. (2016). Strategi Implementasi Compact City Menuju Pengembangan Kawasan Perkotaan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Konsepsi #2 -INFRASTRUKTUR-BANGUNAN-KONSTRUKSI: Berbasis Lingkungan
Kepariwisataan Berkearifan Lokal, 2(October 2016), 64–74.
https://www.researchgate.net/publication/332380047_STRATEGI_IMPLEMENTA SI_COMPACT_CITY_MENUJU_PENGEMBANGAN_KAWASAN_PERKOTA AN_BERKELANJUTAN
Rubenstein, H. M. (1992). Pedestrian Malls, Streetscapes, and Urban Spaces. John Wiley & Sons.
Ujang, N., & Muslim, Z. (2015). Walkability and Attachment to Tourism Places in the City of Kuala Lumpur, Malaysia. Athens Journal of Tourism, 2(1), 55–67.
https://doi.org/10.30958/ajt.2-1-4
Yoety, O. A. (1997). Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Pradnya Paramita.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada LPPM Universitas Udayana telah memberi pendanaan penelitian ini dalam skema Penelitian Unggulan Program Studi (PUPS) Tahun Anggaran 2020. Serta kepada stakeholder Desa Tenganan dan Bapak Sadri yang telah membantu penelitian ini hingga dapat terlaksana.
188
SPACE - VOLUME 10, NO. 2, OCTOBER 2023
Discussion and feedback