PUSTAKA VOL. XXII, NO. 1 • 37 – 43

P-ISSN : 2528-7508

E-ISSN : 2528-7516

Harmonisasi Hubungan Etnis Tionghoa Dan Etnis Bali Di Kintamani: Kajian Kritris Terhadap Multikultur Dalam Masyarakat Bali

I Ketut Setiawan

Universitas Udayana Email: [email protected]

Abstract

One of the ethnic groups in Bali, apart from the Balinese ethnicity, is the Chinese. From arhaeological evidende, it can be seen that since the seventh century, Chinese ethnicity has existed in Bali. The ethnic Chinese who live in harmony with the Balinese are interesting to be studied, because outside Bali, this ethnic relationship shows a tendency to be disharmonious and conflicts often lead to violence. The exixtence of Chinese ethnic in Kintamani is interesting to be studied because the two ethnic group in.

Kintamani knit a harmonious relationship, so as to create a harmonious life. The purpose of this study is to deconstruct social phenomena so that they can understand the various reasons that cause the two ethnic groups to live side by side in harmony. This study uses a qualitative descripte method with a critical ethnographic approach in the perspective of cultural science. Data were collected by observation, interviews, and document studies. The data were analyzed qualitatively by using critical social theory.

The results of the study indicate that the harmonious relationship between ethnicities occurs because there is power and capital played by both ethnicities, in addition to historical and cultural factors.

Keywords: harmony, ethnic Chinese and Balinese, multiculturalism, Kintamani

Abstrak

Salah satu etnis yang ada di Bali, selain etnis Bali, adalah etnis Tionghoa. Dari bukti-bukti arkeologi dapat diketahui bahwa sejak abad VII etnis Tionghoa sudah ada di Bali. Etnis Tionghoa yang hidup harmonis dengan etnis Bali, menarik untuk dikaji, sebab di luar Bali justru hubungan etnis ini menunjukkan kecenderungan tidak harmonis dan sering terjadi konflik yang berujung pada tindak kekerasan. Keberadaan etnis Tionghoa di Kintamani menarik untuk dikaji, karena kedua etnis di Kintamani merajut hubungan yang serasi, selaras, sehingga tercipta suatu kehidupan yang harmonis.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendekonstruksi fenomena sosial sehingga dapat memahami berbagai alasan yang menyebabkan kedua etnis dapat hidup berdampingan secara harmonis. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi kritis dalam perspektif ilmu budaya. Data dikumpulkan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumen. Data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan teori sosial kritis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan harmonis antaretnis terjadi karena ada kuasa dan modal yang dimainkan oleh kedua etnis, di samping faktor sejarah dan budaya.

Kata kunci: harmonis, etnis Tionghoa dan etnis Bali, multikulturalisme, Kintamani

Pendahuluan

Fenomena sosial yang cukup menarik terjadi di wilayah Kintamani, yakni terjadinya hubungan harmonis antaretnis Tionghoa dan etnis Bali yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan. Perilaku etnis Tionghoa kurang lazim, sebab di luar Bali hal tersebut jarang ditemukan. Bahkan faktanya etnis Tionghoa mendapat perlakuan deskriminatif dan berujung terjadi kekerasan fisik. Fenomena sosial tersebut menarik didekonstruksi dari perspektif budaya. Demikian juga kajian ini dianggap penting dan menarik didalami di tengah-tengah munculnya

gejala disintegrasi bangsa dan kerapuhan rasa persatuan bangsa belakangan ini.

Kintamani kaya dengan tinggalan-tinggalan budaya masa lampau, baik tinggalan budaya Hindu, Budha, dan Tionghoa. Sering ditemukan dalam suatu tempat suci umat Hindu (pura) terdapat pelinggih khusus untuk pemujaan etnis Tionghoa, seperti di Pura Balingkang, Pura Batur, Pura Bukit Indrakila yang berada di lingkungan kawasan Kintamani. Hal itu dipandang sebagai suatu fenomena tentang relasi antarwarga masyarakat dengan suatu kelompok sosial tertentu dalam masyarakat. Suatu kelompok sosial

terbentuk disebabkan oleh suatu harapan bersifat psikologis untuk berlindung dan merasa aman.

Berdasarkan hal itu, maka perlu dikaji lebih jauh apakah fenomena sosial tersebut terjadi karena didorong oleh berbagai alasan di antara kelompok yang berinteraksi. Kajian ini menarik dan penting dilakukan karena masyarakat Indonesia yang majemuk (pluralis), yaitu di satu sisi kemajemukan itu menjadi sebuah kebanggaan, tetapi di lain sisi sangat memprihatinkan. Membanggakan karena kemajemukan memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi aset bangsa dalam pembangunan. Sebaliknya, memprihatinkan, karena kondisi yang pluralis sering menimbulkan berbagai persoalan, seperti konflik sosial di berbagai daerah.

Kajian ini penting dilakukan didasarkan pada asumsi bahwa ada seperangkat nilai dan norma yang dijadikan pedoman dalam bertindak. Oleh kedua etnis di Kintamani dalam menjaga kehidupan yang harmonis, yaitu berupa nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini terlupakan dari studi-studi yang dilakukan oleh para peneliti. Nilai-nilai kearifan lokal yang masih bertahan dan berkembang pada komunitas yang berbeda etnis (di Kintamani) nantinya dapat dijadikan rujukan untuk disebarluaskan ke wilayah-wilayah rawan konflik yang dipicu oleh perbedaan etnis. Melalui kajian ini diharapkan ditemukan suatu formula atau resep yang dapat disosialisasikan untuk mencegah terjadinya konflik antaretnis dalam rangka mengelola pluralitas dengan berpedoman pada moto “Bhineka Tunggal Ika” dan doktrin multikulturalisme.

Kerangka Teori dan Metode Penelitian

Teori multikulturalisme dan identitas digunakan untuk mengalaisis data penelitian ini. Pemilihan kedua teori disebabkan penelitian ini membahas harmonisasi dua etnis Cina dan Bali, dimana kedua etnis memiliki identitas sendiri-sendiri. Multikulturalisme berkaitan dengan penyadaran atas keberagaman budaya, yang pada gilirannya akan mendorong lahirnya sikap toleransi, kerjasama, dan saling menghargai. Sedangkan teori identitas adalah kemampuan untuk membangun cerita tentang diri sendiri. Identitas merupakan sesuatu yang dipahami secara reflektif.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi kritis dalam perspektif ilmu budyaa (arkeologi). Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara,

dan studi dokumen. Setelah data terkumpul lalu dianalisis dengan model analisis kualitatif dengan bantuan teori sosial kritis sehingga menghasilkan sebuah uraian etnografi kritis. Selanjutnya hasil analisis data disajikan dalam bentuk deskriptif kualitatif dengan model induktif sebagaimana ciri khas dari studi ilmu budaya.

Sejarah Kintamani dan Keberadaan Etnis Tionghoa

Berdasarkan temuan di lapangan dan pelacakan sumber berupa artepak dan data tertulis, maka dapat diketahui bahwa kawasan Kintamani telah lama dihuni oleh manusia. Di kawasan ini banyak ditemukan tinggakan budaya dari masa lalu, baik dari masa prasejarah maupun sejarah. Artefak arkeologis yang ditemukan di kawasan ini mengindikasikan bahwa Kintamani telah dihuni puluhan ribu tahun yang lalu. Bukti-bukti arkeologis berupa alat batu yang lazim dikenal dengan kapak genggam dan kapak perimbas telah ditemukan di tepi bagian timur dan tenggara Danau Batur (Soejono, 1977:96).

Sisa-sisa manusia ditemukan pada beberapa situs prasejarah yang umurnya sekitar 2000 tahun tahun yang lalu. Rangka manusia ditemukan di Desa Manikliu dalam keadaan dikubur, baik dengan wadah maupun tanpa wadah. Wadah kubur yang ditemukan misalnya dalam bentuk sarkofagus, tempayan, dan nekara. Wadah kubur nekara ini sangat menarik dan hanya ditemukan di Desa Manikliu Kintamani, Bangli (Sutaba, 1992:23; Ardika, dkk., 2013:31).

Sistem penguburan dan benda bekal kubur yang disertakan bersama orang yang mati mencerminkan status sosial seseorang. Temuan di Manikliu, Kintamani, sangat menarik. Dua individu masing-masing dikubur dengan menggunakan sarkofah dan seorang individu dikubur dengan menggunakan nekara perunggu. Mereka dikubur dalam sarkofah atau nekara menunjukkan status sosial yang berbeda dengan yang dikubur tanpa wadah. Budaya materi seperti nekara perunggu yang merupakan barang langka merepresentasikan status sosial yang tinggi (Earle, 1994: 22; Ardika, dkk., 2013:17).

Selain sarkofagus dan nekara, di kawasan Kintamani terutama Desa Selulung, Batukahang, Dausa, Serai, dan lain-lain juga ditemukan tinggalan budaya megalitik berupa tahta batu, menhir bangunan teras berundak, arca-arca sederhana, arca-arca nenek moyang, dan lain-lain.

Tradisi megalitik adalah budaya prasejarah yang amat penting dalam perkembangan kebudayaan Bali. Kehidupan masyarakat prasejarah Bali didominasi oleh kepercayaan kepada arwah nenek moyang.

Demikian juga di kawasan Kintamani banyak menyimpan sumber-sumber tertulis berupa prasasti-prasasti yang bercerita tentang kehidupan manusia di masa lalu. Prasasti tertua yang berangka tahun 804 saka/882 Masehi tersimpan di Desa Sukawana. Demikian juga di desa-desa yang lain seperti Trunyan, Bwahan, Abang (di tepi Danau Batur), Serai, Pengotan, Manikliu, Cempaga, Pura Kehen, Dausa, Pura Batur, dan lain-lain, ternyata menyimpan prasasti-prasasti Bali Kuna yang sangat penting artinya dalam upaya menyingkap sejarah kehidupan manusia di Kintamani, termasuk keberadaan etnis Tionghoa.

Sementara itu, kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia termasuk Bali memiliki perjalanan yang sangat panjang. Secara khusus, kapan etnis Tionghoa datang ke nusantara memang sampai saat ini tidak ada kepastian dan kesepakatan dari para ahli. Namun, berdasarkan pendapat sejarawan Irfan (1983) bahwa kelompok agamawan Tiongkok yang pertama kali melakukan kunjungan ke nusantara. Setidak-tidaknya sejak abad V pendeta Fa-Hsien melaporkan bahwa di ye-po-ti (Jawa) terdapat kerajaan To-lo-mo (Tarumanagara). Sementara I-Tsing yang melakukan perjalanan di nusantara pada tahun 671 melaporkan bahwa di Jawa Tengah sudah berdiri kerajaan Holing yang diidentikkan dengan kerajaan Kalingga (Kartodirjo, 1984:120).

Pada sekitar abad VII-VIII, hubungan etnis Tionghoa dengan etnis di nusantara lebih banyak berkaitan dengan perdagangan. Adanya hubungan dagang di antara kedua etnis tersebut diperkuat oleh adanya berbagai jenis uang kepeng logam yang berasal dari Cina, terutama dari dinasti Tang (abad VII-VIII) dan dinasti Sung (abad XII-XIII). Keberadaan uang logam Cina seperti tersurat dalam prasasti-prasasti Bali Kuno abad IX-XIV harus dikaitkan dengan masuknya pengaruh ekonomi Cina dalam tatanan ekonomi masyarakat Bali, terutama dalam tata perdagangan.

Periodisasi kedatangan dan menetapnya etnis Tionghoa/Cina di nusantara, termasuk Bali, berdasarkan sumber-sumber prasasti Bali Kuno diduga pada sekitar abad VIII. Keterangan prasasti-prasasti tersebut diperkuat oleh pendapat Miksic yang mengatakan bahwa pada masa klasik pertengahan para migran Cina mulai membangun perkampungan di nusantara. Banyak pelabuhan

yang mulai diperluas dan perdagangan antar pelabuhan mulai berkembang pesat (Miksic, 1996:10-11).

Proses perkembangan perdagangan ini menyebabkan uang logam Cina menjadi sangat berperan sebagai alat pembayaran dalam berbagai bidang kegiatan. Selain perdagangan, uang logam Cina juga berperan sebagai alat pembayaran pajak. Mata uang logam Cina semakin memegang peranan sebagai alat pembayaran utama dalam tukar-menukar mata uang asing (Sidemen, 2002:43).

Berita tentang kedatangan Cina pertamakali ke Bali kebanyakan masih bersifat praduga/asumsi. Asumsi ini diperoleh dari hasil studi komparatif antara temuan-temuan numismatik arkeologi dengan legenda atau cerita yang berkembang secara tradisi dari mulut ke mulut. Temuan numismatik berupa uang logam Cina dari dinasti Tang (abad VII-IX) telah dijadikan asar perkiraan bahwa abad VII telah terjadi kontak perdagangan antara Cina dan Bali. Dengan asumsi menggunakan uang logam Cina sebagai alat pembayaran, lalu diduga bahwa uang kepeng sudah beredar di Bali pada abad VII (Goris, 1954:76).

Di Bali ada satu seni pertunjukkan yang sering dikaitkan dengan adanya kontak antara Cina dengan Bali. Seni pertunjukkan itu adalah “barong landung”, yaitu sepasang boneka ukuran besar laki-laki dan perempuan. Barong landung laki-laki ditampilkan berkulit hitam, gigi menonjol keluar, rambut gondrong, wajah menyeramkan, dan mengenakan kain poleng warna hitam putih. Barong landung perempuan ditampilkan berkulit kuning langsat, muka lonjong dengan mata sipit, bibir tersenyum, rambut pirang tersanggul rapi, menggunakan kain putih berkotak-kotak dengan garis geometris seperti seorang gadis Cina.

Keberadaan barong landung ini sering dikaitkan dengan legenda permaisuri raja Jayapangus dengan seorang putri Cina. Raja Jayapangus adalah tokoh historis yang memegang tampuk pemerintahan di Bali tahun 1177-1181 (Goris, 1954:63). Asumsi antara legenda dengan kebenaran historis itu telah melahirkan analogi bahwa pada abad XII telah terjadi kontak politik antara Cina dengan Bali. Keberadaan raja Jayapangus dan permaisuri putri Cina ini, juga berkaitan erat dengan Pura Balingkang di Kintamani, Bangli, yang diduga sebagai keraton raja Jayapangus. Beberapa tinggalan arkeologi yang terdapat di sekitar kawasan Kintamani dapat memperkuat cerita rakyat tersebut. Di Pura Pucak

Penulisan ditemukan arca yang memperlihatkan wajah seperti putri Cina. Oleh orang-orang Cina di sekitar Kintamani, arca perwujudan ini disebut “ratu Cung Kang” yang dipuja oleh orang-orang Cina.

Sebelum dinasti Warmadewa muncul sebagai pemegang kekuasaan, rupanya di Bali telah terbentuk suatu lembaga pemerintahan atau kerajaan yang berpusat di Singhamandawa pada abad IX-X. Singhamandawa oleh para ahli sejarah dan budaya diduga berada di Kintamani. Selama rentangan waktu sekitar 40 tahun, yakni antara tahun 882-914 masehi, hampir semua prasasti Bali Kuno menyebut kerajaan Singhamandawa atau titah di keluarkan di Singhamandawa, seperti prasasti Sukawana AI, Trunyan AI, Trunyan B, Bangli Pura Kehen A, dan lain-lain. Keberadaan prasasti-prasasti tersebut kiranya dapat memperkuat dugaan bahwa pada abad IX pusat pemerintahan berada di daerah Kintamani atau mungkin di sekitar Pura Pucak Penulisan dan Pura Balingkang (Ardana, 1983:3).

Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali di Kintamani

Multikulturalisme difahami sebagai penghargaan, penghormatan, atas budaya seseorang serta keingintahuan tentang budaya etnis lain. Dengan kata lain, multikulturalisme adalah faham atau keyakinan yang mendorong diterimanya pluralisme atau keberagaman budaya sebagai model budaya yang hadir dalam kehidupan sosial budaya kontemporer. Multikulturalisme merupakan penghargaan dan perayaan atas keberagaman budaya. Keberagaman itu bukan sebagai ancaman, bukan sebagai kerugian, melainkan sebagai kekayaan, sebagai mosaik, yang memperindah kehidupan (Lubis, 2006:172). Masing-masing ras, etnis, budaya, agama, pandangan hidup, meskipun berbeda-beda namun dalam atap multikulturalisme. Mereka semua ditempatkan pada posisi setara, sekaligus memiliki kesamaan hak dalam mengekspresikan pandangan dan nilai-nilai hidup mereka.

Demikian juga etnis Tiongkoa dan etnis Bali di Kintamani Bangli. Berbagai alasan yang menyebabkan kedua etnis tersebut dapat hidup berdampingan secara harmonis karena adanya permainan kuasa dan modal sosial. Etnis Bali memiliki ideologi Tri Hita Karana yang di dalamnya mengandung nilai kearifan lokal dan dijadikan pedoman hidup dalam menjaga

keseimbangan dan keharmonisan, antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), antara manusia dengan alam (palemahan), dan antara sesama manusia (pawongan). Tri Hita Karana mengandung ajaran bahwa kesejahteraan hidup manusia dapat diimplementasikan dengan cara memelihara keharmonisan dan kerukunan dalam berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat yang berbeda dalam keyakinan, budaya, agama, dan sebagainya.

Etnis Bali juga berpegang pada ajaran Tat Twam Asi yang mengajarkan bahwa umat Hindu hendaknya mengembangkan perilaku yang rukun, damai, dan tenggang rasa dalam memperlakukan orang lain tanpa membedakan agama atau etnis. Nilai kerukunan antara kedua etnis di Kintamani sudah biasa dalam sebuah pranata sosial di Desa Pakraman berdasarkan pada kearifan lokal tersebut.

Etnis Tionghoa, seperti halnya etnis Bali, juga memiliki kearifan lokal dalam konsep hidup, yakni anti kekerasan atau cinta damai. Masyarakat keturunan etnis Tionghoa di Kintamani juga memiliki ajaran yang mengandung nilai sosial dan dapat dijadikan pijakan berperilaku. Filsafat yang dijadikan pijakan oleh etnis Tionghoa adalah Budhisme, teoisme, dan Khonghucu (Yudohusodo, 1996:70). Budhisme mengajarkan suatu kedamaian hidup, teoisme mengajarkan agar setiap orang lebih mengutamakan kepentingan keluarga yang harmonis, dan Khonghucu mengajarkan bahwa setiap manusia wajib menghormati orang tua dan para leluhur sehingga menjadi manusia yang bermoral (Taher, 1997:19-20).

Tumbuhnya masa senasib dan seperjuangan akibat pengalaman sejarah oleh kedua etnis di Kintamani mendorong adanya kesepakatan untuk hidup berdampingan yang harmonis. Mereka berkomitmen membangun desa bersama-sama, karena Kintamani dianggap olehnya sebagai tanah kelahirannya. Dalam perkembangannya, rasa persaudaraan semakin tumbuh dan terpelihara dengan baik melalui perkawinan lintas etnis yang kemudian melahirkan ikatan kekerabatan yang semakin erat. Dinamika yang terjadi di Kintamani terjadi akibat adanya permainan kuasa dan pengetahuan, sehingga dapat dilihat dalam berbagai aspek, yaitu aspek agama dan keyakinan oleh kedua etnis.

Harmonisasi dalam bidang aspek keagamaan dan keyakinan kedua etnis di Kintamani dapat dilihat dari kenyataan bahwa tempat suci etnis Tionghoa dan etnis Bali banyak dijumpai dalam satu areal pura (tempat suci agama Hindu). Di Pura

Dalem Balingkang dijumpai tempat suci etnis Tionghoa untuk pemujaan “Ratu Ayu Subandar”.

Tempat pemujaan ini ramai dikunjungi tidak saja oleh etnis Tionghoa, tapi juga etnis Bali. Mereka bersembahyang membaur menjadi satu, seolah-olah tidak ada perbedaan keyakinan.

Pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar Di Komplek Pura Balingkang

Hal yang sama juga tampak di Pura Batur, Kintamani, Bangli. Di dalam areal Pura Batur juga dijumpai satu pelinggih untuk pemujaan Subandar lengkap dengan bangunan Klenteng sebagai ciri khas bangunan suci etnis Tionghoa. Sebagaimana halnya kepercayaan etnis Tionghoa, mereka memanfaatkan bangunan suci ini untuk pemujaan bersama-sama dengan etnis Bali yang berada di Kintamani.

Etnis Bali dan Etnis Tionghoa Berbaur Bersembahyang di Pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar


Pura Batur, Kintamani Bangli

Pelinggih Ratu Subandar Di Komplek Pura Batur

Klenteng di Pura Batur

Pada bagian lain, di Pura Pucak Penulisan, pada satu pelinggih tampak tersimpan beberapa buah arca yang memperlihatkan karakter etnis Tionghoa, terutama dari pakaian yang dikenakan dan wajah terutama matanya yang sipit. Hal yang sama juga dijumpai di Pura Bukit Indrakila, Desa Dausa, Kintamani. Dalam satu pelinggih dijumpai beberapa arca yang memperlihatkan wajah etnis Tionghoa dan beberapa buah arca Budha yang masih sangat dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Tidak jarang pada hari-hari tertentu etnis Tionghoa datang ke pura tersebut dan melakukan ritual keagamaan sesuai dengan keyakinannya. Permainan modal oleh kedua etnis menyebabkan adanya dinamika kuasa dan saling menghegemoni. Kedua etnis dapat saling mengimbangi, yaitu etnis Tionghoa dengan modal ekonomi yang lebih unggul dapat mengimbangi dominasi etnis Bali yang memiliki modal kuasa spiritual. Adanya kondisi saling menghegemoni menyebabkan terjadinya dinamika kuasa dalam aspek keagamaan yang dapat membuat kondisi harmonis di antara kedua etnis.

Pada aspek sosial budaya, khususnya dalam pemakaian bahasa lokal (bahasa Bali), juga terjadi hegemoni etnis Bali terhadap etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa dalam interaksi sosial selalu menggunakan bahasa Bali dan menyebabkan etnis Tionghoa belajar bahasa lokal untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Demikian pula kedua etnis di Kintamani

memainkan modal sosial dengan cara menumbuhkembangkan serta memelihara nilai-nilai kearifan sosial tentang persaudaraan yang dijadikan pilar terwujudnya rasa saling menghormati, toleransi, yang mengarah keterciptanya hubungan yang harmonis.

Hubungan perkawinan lintas etnis juga merupakan salah satu relasi yang terjadi antar etnis di Kintamani sebagai penyebab terciptanya sebuah harmoni. Perkawinan ini menjadikan hubungan di antara etnis itu semakin terikat dalam ikatan kekerabatan, meskipun berbeda latar belakang budaya dan keyakinan. Dalam keseharian, perkawinan lintas etnis dapat dijadikan media komunikasi untuk merekatkan hubungan antar warga yang berbeda etnis, sehingga membaur menjadi satu bagian kelompok yang memiliki kepentingan yang sama. Hubungan perkawinan menjadi media untuk membangun kebersamaan antar etnis di Kintamani.

Dalam perkawinan lintas etnis terjadi juga proses negosiasi budaya untuk menjaga dan sekaligus menyangga terwujudnya sebuah harmonisasi dalam suatu masyarakat. Hubungan perkawinan model ini terjadi di Kintamani bahkan sudah berlangsung sejak lama yang melahirkan generasi Tionghoa peranakan. Generasi peranakan ini lebih banyak menunjukkan perilaku kebaliannya sebagai akibat beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka berinteraksi dengan warga etnis Bali.

Perkawinan lintas etnis berakibat pada munculnya suatu jalinan dalam suatu komunitas, yaitu hubungan persaudaraan di antara keluarga suami dan keluarga istri. Dengan demikian, maka keluarga bukan saja sebagai suatu wadah hubungan antara suami-istri, anak-anak, dan orangtua, tetapi dapat pula dipandang sebagai jaringan sosial antar keluarga. Oleh karena itu, perkawinan lintas etnis dapat pula dipandang sebagai salah satu alasan yang menyebabkan terwujudnya sebuah harmoni (Aryana, 2017:72).

Terwujudnya kerjasama antar etnis di Kintamani disebabkan pula oleh adanya kedekatan budaya, seperti nilai kerukunan, sikap saling menghormati, dan etika yang dimiliki oleh kedua etnis. Perilaku yang demikian menjadi salah satu alasan yang menyebabkan etnis Tionghoa diterima oleh etnis Bali menjadi anggota (krama) desa pakraman sehingga memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan etnis Bali. Hal ini tentu berdampak positif bagi masyarakat Kintamani

menuju masyarakat harmonis yang multikulturalisme.

Simpulan

Berdasarkan kajian yang dilakukan didapat simpulan sebagai berikut. Pertama, alasan yang menyebabkan etnis Tionghoa dan etnis Bali di Kintamani dapat hidup berdampingan secara harmonis karena kedua etnis sama-sama mengindahkan aturan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kearifan lokal tentang persaudaraan. Nilai-nilai persaudaraan semakin tumbuh dan terpelihara disebabkan oleh adanya perkawinan lintas etnis, sehingga tercipta ikatan kekerabatan semakin intensif.

Kedua, dalam konteks relasi antaretnis di Kintamani, kehidupan harmonis terjadi karena adanya permainan kuasa dan modal sosial. Aspek agama dan keyakinan terjadi sebagai akibat dari permainan modal kuasa oleh etnis Bali dan etnis Tionghoa dengan modal ekonomi dan sosialnya. Aspek sosial budaya, khususnya dalam pemakaian bahasa lokal (Bali), tampak adanya hegemoni etnis Bali terhadap etnis Tionghoa dalam interaksi sosial, sehingga etnis Tionghoa belajar bahasa Bali untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Sementara itu dalam aspek sosial ekonomi tampak etnis Tionghoa lebih unggul.

Ketiga, kearifan lokal yang dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari juga mendorong terwujudnya integrasi sosial di masyarakat, sehingga harmonisasi terjaga antara etnis Tionghoa dan etnis Bali. Kearifan lokal menyangkut nilai dan norma dalam Tri Hita Karana, Tat Twam Asi, atau dalam bentuk jaringan sosial seperti tampak dalam budaya menyama braya, nguwopin, majenukan, ngejot, dan praktik budaya lainnya, mendorong kehidupan harmonisasi antar kedua etnis di Kintamani.

Daftar Pustaka

Ardana, I Gusti Gde. 1983. “Pengaruh Kehidupan

Cina pada Kebudayaan Bali”. Majalah

Widya Pustaka Tahun I No. 3. hal. 1-9. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.

Ardika, I Wayan dkk. 2013. Sejarah Bali: Dari Masa Prasejarah hingga Modern. Denpasar: Udayana Press.

Aryana, I Gusti Made. 2017. Kuasa Dibalik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali di Desa Pupuan, Tabanan, Bali (Disertasi). Denpasar: Fakultas Ilmu Budaya Unud.

Goris, R. 1954. Prasasti Bali I. Bandung: Masa Baru.

Irfan, Nia Kurnia. 1983. Kerajaan Sriwijaya. Jakarta: Girimurti Pusaka.

Kartodirdjo, Sartono. 1984. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Lubis, AkhyarYusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern:       Dari

Postmodernisme, Teori Kritis, Poskolonial Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia.

Miksic, John. 1996. “Chronologi Timelisme” dalam Indonesian Heritage, vol. 1: Jakarta: Buku Antar Bangsa for Grlier Internasional Inc.

Sidemen, Ida bagus. 2002. Nilai Historis Uang Kepeng: Denpasar: Penerbit Larasan-Sejarah.

Soejono, R.P. 1977. Sistem-sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di Bali (Disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia.

Taher, Tarmizi. 1997. Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM).

Yudohusodo, Siswono. 1996. Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia. Jakarta: Padamu Negeri.

43