TANGGUNG JAWAB TERBATAS ORGAN PERSEROAN PERORANGAN YANG TIDAK MENGUBAH STATUS BADAN HUKUMNYA MENJADI PERSEROAN TERBATAS BIASA

I Dewa Gede Agung Dyas Praditya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2022.v11.i02.p6

ABSTRAK

Tujuan penulisan pada artikel ini yaitu untuk memahami dan mengetahui pengaturan tanggung jawab terbatas organ perseroan perorangan berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja; dan (2) untuk mengetahui dan menganalisa implikasi hukum bagi organ perseroan perorangan yang tidak mengubah status badan hukumnya menjadi perseroan terbatas biasa. Jenis penelitian hukum normative yang digunakan pada penelitian ini dengan mengelaborasikannya dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisa konsep hukum untuk kemudian hasil studi dokumen disusun dengan teknik analisa deskripsi kualitatif. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pengaturan tanggung jawab terbatas organ perseroan perorangan berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja diatur di dalam Pasal 153 J ayat (1) Undang-Undang Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perjanjian yang dibuat atas nama perseroan dan kerugian melebihi sahamnya. Tanggung jawab tersebut menjadi tidak terbatas atau pemegang saham bertanggung jawab sampai harta pribadinya sebagaimana yang diatur Pasal 153 J ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja. Terkait implikasi hukum bagi organ perseroan perorangan yang tidak mengubah status badan hukumnya menjadi perseroan terbatas biasa berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, PP Nomor 8 Tahun 2021, dan Permenkumham Nomor 21 Tahun 2021 belum mengatur konsekuensi hukum atau akibat hukum apabila pelaku UMK yang sudah seharusnya mengubah status badan hukum Perseroan Perorangan menjadi Perseroan Terbatas biasa tidak segera dilakukan. Ketiadaan aturan ini akan berdampak pada permasalahan hukum bagi interal usahanya termasuk namun tidak terbatas pada aspek pertanggungjawaban organ Perseroan Perorangan. Hal ini penting untuk segera diatur agar tercipta kepastian hukum mengenai penerapan tanggung jawab.

.

Kata Kunci: Tanggung Jawab Terbatas, Organ Perseroan, Perseroan Perorangan, Perseroan Terbatas

ABSTRACT

This article aims toto understand and know the arrangement of the limited liability of individual company organs based on the Job Creation Act; and (2) to find out and analyze the legal implications for the organs of an individual company that does not change its legal entity status to an ordinary limited liability company. Normative legal research used in this study and elaboration with the statute approach and legal concept analysis approach for later studies document prepared by qualitative description analysis techniques. In result shown that the regulation of limited liability of individual company organs based on the Job Creation Act is regulated in Article 153 J paragraph (1) of the Job Creation Act which states that the shareholders of the company are not personally responsible for agreements made on behalf of the company and the loss exceeds their shares. The liability becomes unlimited or the shareholders are responsible for their personal assets as regulated in Article 153 J paragraph (2) of the Job Creation Law. Regarding the legal implications for individual company organs that do not change their legal entity status

to an ordinary limited liability company based on the Job Creation Law, PP Number 8 of 2021, and Permenkumham Number 21 of 2021 have not regulated legal consequences or legal consequences if the MSE actors who are supposed to change the legal entity status of an Individual Company to become a Limited Liability Company is not immediately carried out. The absence of this rule will have an impact on legal issues for internal business including but not limited to the aspect of accountability for the organs of individual companies. This is important to be regulated immediately in order to create legal certainty regarding the implementation of responsibilities.

Keywords: Limited Liability, Company Organ, Sole Proprietorship, Limited Liability Company

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Poin penting pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Cipta Kerja) bagi iklim berusaha di Indonesia yaitu lahirnya bentuk usaha baru yakni Perseroan Perorangan. Perseroan Perorangan merupakan gagasan baru pemerintah yang secara yuridis tertuang di dalam perubahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut UU PT) di dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Perseroan Peorangan hanya diperuntukan bagi pelaku usaha yang memenuhi kualifikasi sebagai Usaha Mikro Kecil (UMK) berdasarkan aturan yang berlaku.

Pemerintah menyatakan tujuan dibentuknya Perseroan Perorangan yaitu untuk memudahkan pengembangan usaha bagi pelaku UMK dengan dapat membentuk badan usaha berbadan hukum. Mengingat peran UMK sebagai pelaku usaha di Indonesia sangat penting dikarenakan hampir seluruh pelaku usaha UMK merupakan usaha di bidang yang dekat dengan kebutuhan dasar masyarakat, sehingga pelaku UMK menjadi pelaku ekonomi terbesar di tanah air.1

Bahwa selama ini pelaku UMK memilih usaha perseorangan Usaha Dagang atau Persekutuan Komanditer (CV) dalam menjalankan usahanya. Kendala pelaku UMK untuk mendirikan usaha berbadan hukum karena faktor modal dan faktor mitra usaha sebagaimana persyaratan yang diatur dalam UU PT dan peraturan pelaksanannya.2 Perubahan ketentuan dalam UU PT inilah yang menjadi solusi atas kendala tersebut sekaligus mendukung pelaku UMK agar berusaha dengan bentuk usaha berbadan hukum.

Perseroan Perorangan bagi UMK secara legal formal diatur pada Pasal 109 angka 1 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 1 angka 1 UU PT tentang Pengertian Perseroan Terbatas menjadi “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau Badan Hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.”

Lebih lanjut, ketentuan pendirian perseroan perorangan diatur di dalam Pasal 109 angka 2 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 7 ayat (7) UU PT sehingga menjadi “Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi e. Perseroan yang memenuhi kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.”

Perubahan ini merupakan bentuk penguatan terhadap kemudahan bagi pelaku UMK untuk mendirikan badan usaha yang berbadan hukum sebagai pilar penting dalam pembangunan perekonomian nasional melalui kemudahan untuk membentuk Perseroan hanya dengan 1 (satu) orang sebagai pemegang saham sekaligus merangkap organ perseroan lainnya sebagaimana organ Perseroan Terbatas biasa.3

Menurut Abdul Rokhim, “pada mulanya dalam UU PT menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) yang artinya kewenangan organ perseroan terbatas itu didistribusikan baik kepada Direksi, Komisaris dan RUPS, sehingga apabila suatu kewenangan telah dialokasikan kepada Direksi atau Komisaris, maka pada prinsipnya RUPS menjadi tidak berwenang terhadap kewenangan itu.”4 Lebih lanjut dijelaskan oleh Abdul Rokhim, bahwa “sulit untuk membedakan yang mana perbuatan hukum organ perseroan yang bersifat kelalaian ringan dan yang mana perbuatan organ perseroan yang bersifat kelalaian berat, dikarenakan penilaian tersebut merupakan sesuatu yang bersifat subjektivitas.”5

Terdapat permasalahan yang sampai saat ini masih perlu dikaji kembali aspek kepastian hukumnya yaitu ketentuan dalam Pasal 109 angka 5 UU Cipta Kerja yang menambahkan ketentuan Pasal 153 H UU PT yang mengatur sebagaimana berikut di bawah ini.

  • (1)  “Dalam hal Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sudah tidak memenuhi

kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A, Perseroan harus mengubah statusnya menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

  • (2)  “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengubahan status Perseroan untuk Usaha

Mikro dan Kecil menjadi Perseroan diatur dalam Peraturan Pemerintah.”

Perlu dicermati, ketentuan tersebut tidak disertai dengan pengaturan konsekuensi apabila tidak lakukan oleh pemegang saham perseroan perorangan, implikasi yang akan terjadi terhadap organ perseroan dalam hal tanggung jawab terbatasnya masih berlaku atau tidak. Selain itu, apakah doktrin tanggung jawab tidak terbatas atau tanggung jawab sampai harta pribadi berlaku apabila status badan hukum perseroan perorangan harus berubah namun tidak dilakukan dapat diterapkan dalam keadaan tersebut. Hal ini penting dikaji agar tidak terjadi kekaburan norma yang menyebabkan kerugian bagi pihak-pihak yang terkait atau masih memiliki hubungan hukum dengan perseroan perorangan tersebut. Hal ini penting untuk menjamin perlindungan bagi pihak ketiga ataupun organ perseroan perorangan itu sendiri yang merangkap semua organ perseroan pada umumnya.

Bahwa kajian ini merupakan kajian yang orisinil dan merupakan gagasan baru untuk mengkaji penerapan doktrin tanggung jawab terbatas pada perseroan perorangan yang sudah seharusnya mengubah status badan hukumnya menjadi perseroan terbatas biasa. Meskipun terdapat kajian sebelumnya yang membahas mengenai tanggung jawab terbatas perseroan terbatas biasa maupun perseroan perorangan yaitu pada beberapa jurnal nasional salah satunya yang berjudul “Pertanggungjawaban Pemegang

Saham Perseroan Perorangan Dalam Hal Perseroan Perorangan Mengalami Kerugian Berdasarkan UU. No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.” Artikel terbit pada Rechtsregel: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 4 No. 1 tahun 2021. Serta pada penelitian dengan judul “Kepailitan Perseroan Perorangan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.” Artikel terbit pada Jurnal Panorama Hukum Vol.6 No. 1 tahun 2021. Tentu tujuan kajian artikel tersebut berbeda dengan kajian dalam artikel ini yang lebih memfokuskan pada implikasi hukum bagi organ perseroan perorangan yang tidak mengubah status badan hukumnya menjadi perseroan terbatas biasa terkhusus pada penerapan doktrin tanggung jawab terbatas organ perseroan perorangan.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan tanggung jawab terbatas organ perseroan perorangan berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja?

  • 2.    Bagaimana implikasi hukum bagi organ perseroan perorangan yang tidak mengubah status badan hukumnya menjadi perseroan terbatas biasa?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

1     Untuk memahami dan mengetahui pengaturan tanggung jawab terbatas organ

perseroan perorangan berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja; dan

2 untuk mengetahui dan menganalisa implikasi hukum bagi organ perseroan perorangan yang tidak mengubah status badan hukumnya menjadi perseroan terbatas biasa.

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yakni peneltiian hukum untuk meneliti suatu norma, asas dan/atau doktrin hukum.6 Jenis penelitian hukum normatif digunakan dikarenakan penelitian akan meneliti ketentuan tanggung jawab terbatas perseroan perorangan berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja serta menganalisa implikasi hukum bagi organ perseroan dalam hal status badan hukum perseroan perorangan harus diubah menjadi perseroan terbatas biasa namun tidak dilakukan terkhusus pada aspek tanggung jawab terbatas. Jenis penelitian hukum normatif pada penelitian ini ditunjang dengan pendekatan analisa konsep hukum dan pendekatan perundang-undangan untuk menganalisa isu yang dikaji. Digunakan juga teknik analisis kualitatif melalui penerapan beberapa langkah yaitu sistematisasi, deskripsi, dan eksplanasi.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Pengaturan Tanggung Jawab Terbatas Organ Perseroan Perorangan Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja

Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, “Perseroan Perorangan ini akan memberikan kemudahan dan perlindungan yaitu: dapat mendirikan perseroan perorangan dengan pemisahan kekayaan pribadi dan perusahaan; dapat mengakses pembiayaan dalam bentuk pinjaman dari perbankan; bersifat one-tier; dan pajak yang harus dibayarkan juga lebih murah dan mudah waktu pembayannya.”7 Konsep ini memang baru di Indonesia, namun istilah dan bentuk Perseroan Perorangan telah cukup dikenal di beberapa negara dengan sistem common law. Bahwa perseroan perorangan merupakan salah satu tipe bentuk bisnis dagang yang menggunakan subjek

tunggal atau sering disebut sole trader.8 Umumnya modal yang digunakan dalam kegiatan bisnisnya murni dari milik sole trader tersebut yang disebut sebagai personal savings, namun tidak jarang juga bersumber dari pinjaman bank berupa kredit.9 Model perseroan perorangan yang menganut sistem common law dapat dijumpai di United Kingdom (UK) dan beberapa negara-negara ASEAN.10 Atas dasar tersebut, pemodal atau pemegang saham tunggal perseroan perorangan memiliki tanggung jawab sebatas modal yang disetorkannya saat perseroan perorangan didirikan sebagaimana konsep dasar perseroan terbatas biasa.

Karakteristik perseroan terbatas sebagai badan hukum salah satunya terdapat doktrin pertanggungjawaban terbatas sebagai konsekuensi hukum dari adanya doktrin pemisahan harta kekayaan perseroan dengan harta pribadi shareholders.11 Menurut H. Zainal Aikin, “adanya pemisahan kekayaan tersebut, maka segala kekayaan yang dimiliki PT bukan milik pemegang saham lagi, tetapi menjadi kekayaan perseroan.”12 Konsep ini masih dipertahankan pada perseroan perorangan sekaligus menjadi pembeda dengan bentuk usaha perorangan lainnya seperti Usaha Dagang.13

Menurut Muhammad Zulhidayat, “usaha dagang ini hanya didirikan dan dimiliki oleh satu orang, umumnya dijalankan oleh usaha-usaha yang masih sederhana dari segi permodalan, usaha dagang juga bukan merupakan badan hukum, sehingga tidak ada keterpisahan harta kekayaan dengan pemilik usaha dagang, dan tanggung jawab pemilik usaha dagang adalah tanggung jawab yang tidak terbatas, berbeda halnya dengan Perseroan Perorangan yang merupakan badan hukum, sehingga tanggung jawabnya terbatas.”14

Apabila dilakukan komparasi dengan China yang telah mengenal pemegang saham tunggal yang disebut “One Person Limited Liability Companies” sebagaimana diatur di dalam “Section 3 Company Law of the People’s Republic of China 2018 yaitu Special Provisions on One-Perseon Limited Liability Companies” dengan ketentuan pertanggungjawaban yaitu15

  • Article 62

“A one-person limited liability company shall prepare financial and accounting reports at the end of each fiscal year, and such reports shall be audited by an accounting firm.”

  • Article 63

“Where the shareholder of a oneperson limited liability company is unable to prove that the property of the company is independent of his/her own property, the shareholder shallbear joint and several liabilities for the debts of the company.”

Hal ini berbeda dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Cipta Kerja, pada Pasal 109 angka 6 UU Cipta Kerja yang menambahkan ketentuan Pasal 153 J UU PT,

bahwa ketentuan pertanggungjawaban terbatas pemegang saham Perseroan Perorangan di dalam Pasal 153 J ayat (1) Undang-Undang Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa “Pemegang saham Perseroan untuk usaha Mikro dan Kecil tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.” Berdasarkan ketentuan tersebut, bilamana terdapat tindakan perseroan yang merugikan perseroan perorangan itu sendiri, maka pemegang saham hanya akan bertanggung jawab sebatas nominal saham yang dimilikinya pada perseroan yang telah disertakan saat pendirian perseroan perorangan. Bahwa tanggung jawab terbatas tersebut berlaku sepanjang tidak ditentukan lain di dalam undang-undang yang mewajibkan untuk dibebankan tanggung jawab tidak terbatas sebagaimana dalam hukum korporasi sering disebut doktrin piercing the corporate veil.16

Menurut Yeti Sumiyati, “doktrin piercing the corporate veil ini muncul sebagai respon terhadap rigiditas prinsip ini yang tidak memperkenankan pemegang saham dimintai pertanggungjawaban atas utang perseroan melebihi jumlah investasinya, akan tetapi di sisi lain, doktrin piercing the corporate veil yang menghapuskan pertanggungjawaban terbatas berpotensi membawa guncangan terhadap insentif untuk berusaha.”17 Menurut Susilowati, “ide dasar tanggungjawab pemegang saham dibatasi adalah untuk mendorong investasi dan akumulasi modal.”18

Doktrin ini menjadi dasar sekaligus perlindungan bagi perseroan agar organorgan perseroan tidak dengan mudah berlindung dibalik doktrin tanggung jawab terbatas atas tindakan-tindakan hukum yang berkaitan dengan usaha perseroan yang dilakukannya tanpa adanya persiapan dan perhitungan yang matang. Selain itu, doktrin ini pun menjadi “aturan penekan” agar organ perseroan mematuhi anggaran dasar dan ketentuan undang-undang dengan penuh iktikad baik.

Doktrin piercing the corporate veil juga berlaku bagi perseroan perorangan pasca berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja yang diatur dalam Pasal 153 J ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:19

  • a.    persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

  • b.    pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;

  • c.    pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau

  • d.    pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, pada prinsipnya perseroan perorangan juga mengenal unlimited liability bagi pemegang saham yang memenuhi ketentuan di

atas. Artinya, seluruh organ perseroan perorangan baik itu RUPS, Direksi dan Komisaris yang pada dasarnya dijabat oleh satu orang yang sama juga dapat dikenakan tanggung jawab sampai harta pribadinya dalam hal memenuhi ketentuan Pasal 153 J ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja.

  • 3.2.    Implikasi Hukum Bagi Organ Perseroan Perorangan Yang Tidak Mengubah Status Badan Hukumnya Menjadi Perseroan Terbatas Biasa

Sebagaiman diatur dalam UU PT, dalam hal perseroan belum mendapatkan staus badan hukumnya memiliki implikasi hukum berupa penyatuan harta perseroan dengan harta milik pribadi para pendirinya (pemegang saham).20 Menurut Permana, “ kekayaaan yang ada dalam perusahaan dan harta pemilik pribadi yang dipunyai tidak ada pemisahaan secara tegas, bilamana ada tuntutan kerugian yang menimpah dalam usaha yang dilakukan, perusahaan bertanggung jawab atas kekayaan yang ada dalam usaha dan kekayaan yang ada dalam pribadi yang dimiliki.”21 Lebih lanjut, oleh Supasti Dharmawan menyatakan bahwa “untuk tanggung jawab perseroaan atau kewajiban kepada pihak lain menjadi tanggung jawab pemilik saham dan pengurus perseroan.22Dalam hal apabila terjadi kerugian, maka tangggung jawab ini melekat pada pengurus, tetapi juga melekat pada tanggung jawab pemilik, ini yang membedakan secara tegas dalam perusahaan yang tidak berbadan hukum.”23 Konsekuensinya adalah perseroan tidak dapat memiliki aset atas namanya sampai memperoleh status badan hukum yang sah dari Menteri.

Hal ini menjadi dasar untuk meneliti apakah ketentuan tersebut juga berlaku terhadap perseroan perorangan ketika terdapat kondisi bahwa status perseroan perorangan bagi pelaku UMK sudah tidak memenuhi syarat dan wajib untuk diubah status badan hukumnya dari perseroan perorangan menjadi perseroan terbatas biasa. Hal ini diatur pada Pasal 109 angka 5 UU Cipta Kerja yang menambahkan ketentuan Pasal 153 H UU PT yang mengatur sebagaimana berikut di bawah ini.

  • (1)    “Dalam hal Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sudah tidak memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A, Perseroan harus mengubah statusnya menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

  • (2)    “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengubahan status Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil menjadi Perseroan diatur dalam Peraturan Pemerintah.”

Lebih lanjut, diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran, Pendirian, Perubahan dan Pembubaran Perseroan (untuk selanjutnya disebut PP Nomor 8 Tahun 2021) yang yang mengatur sebagaimana berikut di bawah ini.

  • (2)    “Perseroan perorangan harus mengubah status badan hukumnya menjadi Perseroan jika:

  • a.    pemegang saham menjadi lebih dari 1 (satu) orang; dan/atau

  • b.    tidak memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro dan kecil.”

  • (3)    “Perseroan perorangan sebelum menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perubahan status melalui akta notaris dan didaftarkan secara elektronik kepada Menteri.”

  • (4)    “Perubahan status sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai Perseroan.”

Kewajiban yang tegas tersebut tidak disertai dengan ketentuan yang mengatur akibat hukum bilamana Perseroan Perorangan UMK tidak mengubah status badan hukumnya meskipun telah memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 2021. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum tidak hanya bagi legalitas badan usahanya, tanggung jawab terbatas pemegang saham dan organ perseroan lainnya serta pertanggungjawaban perseroan kepada pihak ketiga yang memiliki kepentingan dengan Perseroan Perorangan UMK tesebut, misalnya saja adanya perjanjian kerja sama yang masih berlangsung.

Bahwa pada Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 8 Tahun 2021 mengatur bahwa “perubahan status tersebut mengikuti ketentuan UU PT, yaitu Perseroan Perorangan UMK harus membuat akta pendirian dihadapan notaris agar sah memiliki status badan hukum Perseroan Terbatas harus mendirikan dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia dan Perseroan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada Menteri dan mendapatkan bukti pendaftaran.” Berdasarkan ketentuan tersebut, perubahan status badan hukum Perseroan Perorangan UMK memerlukan tindakan hukum terlebih dahulu yang artinya tidak serta merta akan berubah status badan hukumnya. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah tidak adanya konsekuensi hukum atau akibat hukum apabila pelaku UMK yang sudah seharusnya mengubah status badan hukum Perseroan Perorangan menjadi Perseroan Terbatas biasa tidak segera dilakukan. Ketentuan seharusnya ada di dalam peraturan pelaksana lainnya juga tidak diatur di dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pendaftaran Pendirian, Perubahan, Dan Pembubaran Badan Hukum Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut Permenkumham Nomor 21 Tahun 2021), sehingga masih terjadi kekosongan norma sampai saat ini.

Kekosongan norma ini dikhawatirkan akan menjadi celah hukum bagi pihak tertentu yang tidak ingin mengubah status badan hukumnya memanfaatkan status badan hukum Perseroan Peorangan untuk menghindari kewajiban-kewajibannya yang seharusnya dipenuhi sebagai Perseroan Terbatas biasa. Tidak hanya itu, tidak adanya aturan tersebut menyebabkan potensi tidak adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak ketiga yang terkait dan memiliki kepentingan dengan Perseroan Peorangan UMK tersebut. Tidak hanya itu, dengan tidak diaturnya akibat hukum bagi Perseroan Peorangan UMK yang tidak mengubah status badan hukumnya juga berpotensi menimbulkan permasalahan hukum bagi interal usahanya termasuk namun tidak terbatas pada aspek pertanggungjawaban organ Perseroan Perorangan.

Apabila dicermati pada hal-hal yang diatur pada Pasal 153 J ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja, pertama syarat agar pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban sampai harta pribadi persyaratan bahwa “perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi,”apakah ketentuan ini bermakna dalam hal perseroan perorangan belum mengubah status badan hukumnya menjadi perseroan terbatas biasa sebagaimana amanat 153 H akan berimplikasi pada pemegang saham yang dapat dimintakan pertanggungjawaban sampai harta pribadinya? Hal ini belum

dapat dipastikan mengingat perseroan perorangan yang belum mengubah status badan hukumnya masih berstatus badan hukum perseroan perorangan secara de yure, namun secara tidak secara de facto.

Kedua bahwa persyaratan berikutnya yaitu “pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi,” hal ini sangat sulit untuk dibuktikan bahwa pemegang saham tunggal dikatakan memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi karena tidak ada pendapat lain yang mampu membuktikannya. Terlebih perseroan perorangan pada prinsipnya didirikan oleh satu orang karena untuk mendapatka profit untuk dirinya sendiri.

Ketiga bahwa “pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan,” ketentuan ini sulit untuk dibuktikan karena tidak ada organ lainnya yang mengawasi pemegang saham layaknya organ perseroan terbatas biasa.

Atas hal tersebut, sangat sulit membuktikan dan menuntut pertanggungjawaban tidak terbatas pemegang saham tunggal pada perseroan perorangan karean masih kaburnya batasan-batasan ketentuan tersebut dan masih kosongnya norma yang mengatur konsekuensi hukum atau akibat hukum apabila pelaku UMK yang sudah seharusnya mengubah status badan hukum Perseroan Perorangan menjadi Perseroan Terbatas biasa tidak segera dilakukan. Hal ini penting untuk segera diatur agar tercipta kepastian hukum mengenai penerapan tanggung jawab tidak terbatas organ perseroan perorangan ketika terjadi kerugian pada pihak ketiga.

Menurut Indah Siti Aprilia, “perlu kiranya konsep single shareholder ini diimplementasikan tanpa merusak prinsip tanggung jawab terbatas sebagai fundamental dari perseroan dan yang membedakannya dengan badan usaha lain, serta perlu memperhatikan keterpisahan individu dan perusahaan (separate legal personality) yang juga merupakan karakter khusus dari perseroan terbatas yang esensinnya adalah bahwa suatu perusahaan dalam hal ini adalah perseroan terbatas, mempunyai personalitas atau kepribadian yang berbeda dari orang yang menciptakannya.”24 Bahwa perlu untuk dipahami kembali pada dasarnya konsep perseroan dengan minimal 2 pemegang saham semata-mata untuk menjaga keseimbangan, konsistensi dan tanggung jawab perseroan dalam menjalankan usahanya baik untuk kepentingan perseroan, pemegang saham ataupun pihak ketiga yang memiliki hubungan hukum dengannya.

  • 4.    Kesimpulan

Pengaturan tanggung jawab terbatas organ perseroan perorangan berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja diatur di dalam Pasal 153 J ayat (1) Undang-Undang Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perjanjian yang dibuat atas nama perseroan dan kerugian melebihi sahamnya. Tanggung jawab tersebut menjadi tidak terbatas atau pemegang saham bertanggung jawab sampai harta pribadinya sebagaimana yang diatur Pasal 153 J ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja. Terkait implikasi hukum bagi organ perseroan perorangan yang tidak mengubah status badan hukumnya menjadi perseroan terbatas biasa berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, PP Nomor 8 Tahun 2021, dan Permenkumham Nomor 21 Tahun 2021 belum mengatur konsekuensi hukum atau

akibat hukum apabila pelaku UMK yang sudah seharusnya mengubah status badan hukum Perseroan Perorangan menjadi Perseroan Terbatas biasa tidak segera dilakukan. Ketiadaan aturan ini akan berdampak pada permasalahan hukum bagi interal usahanya termasuk namun tidak terbatas pada aspek pertanggungjawaban organ Perseroan Perorangan. Hal ini penting untuk segera diatur agar tercipta kepastian hukum mengenai penerapan tanggung jawab tidak terbatas organ perseroan perorangan ketika terjadi kerugian pada pihak ketiga.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. (Sinar Grafika, Jakarta, 2021).

Aikin, H. Zainal, SU SH, L. Wira Pria Suhartana, and MH SH. Pengantar Hukum Perusahaan. (Kencana, Mataram, 2016).

Jurnal

Aprilia, Indah Siti. "Aspek Hukum Pemegang Saham dalam Perseroan dengan Satu Pemegang Saham (Single Share-holder) (Studi Komparasi Indonesia dengan China)." SUPREMASI: Jurnal Hukum 3, No. 1 (2020).

Devi, N. M. L. S., and I. Made Dedy Priyanto. "Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas Yang Belum Berstatus Badan Hukum." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, No.5 (2019).

Dharmawan, Ni Ketut Supasti. "Keberadaan Pemegang Saham Dalam Rups Dengan Sistem Teleconference Terkait Jaringan Bermasalah Dalam Perspektif Cyber Law." Jurnal Magister Hukum Udayana 4, No. 1 (2015).

Gloria, Monica. "Kepailitan Perseroan Perorangan dalam Undang-Undang Cipta Kerja." Jurnal Panorama Hukum 6, No. 1 (2021).

Herdian, Irma Sylviyani, and Yeti Sumiyati. "Penerapan Piercing the corporate veil Terhadap Direksi Perusahaan Asuransi Dalam Investasi Beresiko Tinggi Yang Mengandung Conflict of Interest." JUSTICIA SAINS: Jurnal Ilmu Hukum 5, No. 2 (2020).

Listyowati, Nunuk. "Tanggung Jawab Hukum Perseroan Terbatas Yang Belum Berstatus Badan Hukum." E-Jurnal Spirit Pro Patria 1, No. 2 (2015).

Pangesti, Shinta. "Penguatan Regulasi Perseroan Terbatas Perorangan Usaha Mikro Dan Kecil Dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Masa Pandemi COVID-19." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 10, No. 1 (2021).

Permana, S. M. S. D., I. Wayan Wiryawan, and I. Ketut Westra. "Kedudukan Hukum Direksi Terhadap Pengelolaan Perseroan Terbatas Yang Belum Berstatus Badan Hukum." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, No. 2 (2017).

Putri, Adinda Afifa, A. Partomuan Pohan, and Arman Nefi. "Analisis Konflik Hukum Dan Simulasi Pernyataan Pendirian Perseroan Terbatas Oleh Pendiri Tunggal." Indonesian Notary 3, No. 1 (2021).

Risnawati, Naniek. "Profil UMK, Permasalahan Dan Upaya Pemberdayaannya." Coopetition: Jurnal Ilmiah Manajemen 9, No. 2 (2018).

Rokhim, Abdul. "Tindakan “Ultra Vires” Direksi Dan Akibat Hukumnya Bagi Perseroan Terbatas." Negara dan Keadilan 9, No. 2 (2020).

Sitorus, Raymon. "Eksistensi Perseroan UMK Dan Implikasi Hukumnya Terhadap Kepailitan Menurut Sistem Hukum Di Indonesia." Majalah Hukum Nasional 51, No. 1 (2021).

Zulhidayat, Muhammad, and Milatul Aslamiyah. "Pertanggungjawaban Pemegang Saham Perseroan Perorangan Dalam Hal Perseroan Perorangan Mengalami Kerugian Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja." Rechtsregel: Jurnal Ilmu Hukum 4, No. 1 (2021).

Internet

Humas AHU, 2021, "Kemenkumham Akhirnya Launching Perseroan Perorangan Badan Hukum Khas Indonesia," AHU Kemenkumham RI, URL: https://portal.ahu.go.id/id/detail/39-berita/2924-kemenkumham-akhirnya-launching-perseroan-perorangan-badan-hukum-khas-indonesia diakses pada tanggal 10 Desember 2021.