PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

VOL. XXI NO. 2 • AGUSTUS 2021

“Ludruk Jember: Ruang Kebudayaan Masyarakat Jember dalam Mengekspresikan

Kembali Kultur Kemaduraan di Wilayah Perantauan”

Mohammad Rizaldy Ramadhan, Egy Fernando, Muhammad Sulton Ridho, Vivia Suaidin  97

Silakramaning “Aguron-Guron” Dalam Teks Cerita Bhagawan Dhomya-Adiparwa

Drs. I Nyoman Duana Sutika, M.Si 103

Dinamika Pemajemukan Dengan Morfem Unik Dalam Bahasa Bali

Ni Made Sri Ramayanti  110

Penggunaan Bahasa Inggris dalam Percakapan Bahasa Indonesia Generasi Muda

Anak Agung Sagung Shanti Sari Dewi  116

Kehidupan Sosial Migran Madura di Desa Kintamani Tahun 1982-2018 Risa Yuliandri  122

Upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan Desa Adat Kesiman

Ni Made Odi Tresna Oktavianti  128

Pengelolaan Yayasan Albanna sebagai Lembaga Pendidikan Islam

di Denpasar Selatan 2007-2019

Deanita Salsabila 142

Psychological Analysis of Emily Grierson in Short Story A Rose for Emily

by William Faulkner

Gaby Kumala Dewi Santoso, Ida Bagus Putra Yadnya, Ni Ketut Alit Ida Setianingsih ....149

Code switching Used by Naila on Her YouTube Channel: Naila Farhana

Kadek Yuda Wardana, Luh Putu Laksminy, Made Detriasmita Saientisna  154

The Used of Online Learning Method in Acquiring Children's English Vocabulary

at English Buzz Bali

Ni Putu Manik Masuci  162

Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka

PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516

VOL. XXI NO. 2 • AGUSTUS 2021

Susunan Redaktur PUSTAKA :

Penanggung Jawab Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.

Pemimpin Redaksi

Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.

Wakil Ketua

I Gusti Ngurah Parthama, S.S., M.Hum.

Sekretaris

Dr. Bambang Dharwiyanto Putro, S.S., M.Hum.

Staf Redaksi

I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.

Dr. Dra. Ni Made Suryati, M.Hum.

Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum. Zuraidah, S.S., M.Si.

Drs. I Wayan Teguh, M.Hum Fransiska Dewi Setiowati Sunarya, S.S., M.Hum

Mitra Bestari

Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A (Unud)

Prof Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt (Unud) Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A (Unud)

Prof. Thomas Reuter (Melbourne University) Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. (Undiksha) Prof. Dr. Susantu Zuhdi (UI)

Prof. Dr. Irwan Abdulah (UGM)

Pelaksana Tata Usaha :

I Gede Nyoman Konsumajaya

Naskah dikirim ke alamat : [email protected]

Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan

Dinamika Pemajemukan Dengan Morfem Unik Dalam Bahasa Bali

Ni Made Sri Ramayanti

Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Pembentukan kata terdiri atas afiksasi, perulangan, dan pemajemukan. Pemajemukan merupakan proses pembentukan kata melalui proses morfologis yang melibatkan morfem-morfem sebagai unsur penyusunnya. Jenis-jenis morfem yang terlibat dapat berupa morfem bebas, morfem pangkal, dan morfem unik. Dalam penelitian ini, yang menjadi titik fokus kajian adalah pemajemukan dengan morfem unik yang mengalami dinamika (mengalami perubahan dari segi unsur–unsur penyusunnya).

Teori yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teori morfologi generatif yang dimodifikasi oleh Dardjowidjojo dari teori yang diungkapkan oleh Scalise. Data penelitian adalah gabungan kata yang mengalami proses pemajemukan. Data dikumpulkan dari karya sastra modern dan hasil penelitian terdahulu mengenai pemajemukan. Data dikumpulkan dengan metode simak bebas libat cakap, yang diikuti dengan teknik catat sebagai teknik lanjutan. Analisis data dilakukan dengan metode agih yang dikembangkan dengan teknik bagi unsur langsung sebagai teknik dasar. Teknik lesap, teknik ganti, dan teknik ulang merupakan teknik lanjutan. Hasil analisis data disajikan dengan menggunakan metode informal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemajemukan dengan morfem unik dalam bahasa Bali dewasa ini senantiasa mengalami dinamika. Kecenderungannya mengarah pada berubahnya morfem unik menjadi morfem bebas. Seperti misalnya morfem unik dedet, kini telah menjadi morfem bebas. Karena telah bisa berdiri sendiri dalam satuan kalimat.

Kata Kunci: dinamika, pemajemukan, morfem unik, bahasa Bali, morfologi generatif

Abstract

There are three kinds of word-formation. They are affixation, reduplication, and composition or compounding. Compounding is word formation through the morphological process which uses morpheme as the element of its process. There are bound morphemes and unique morphemes that are taking part in this process. This research only focuses on the dynamic side of the composition. There is a tendency of the unique morpheme to turn into free morpheme.

In this research is applied generative morphology theory. This theory is modified by Dardjowidjojo which is adopted from Scalice. The data is all the kinds of word formation in compounding which was taken from modern Balinese literature and also from the previous research about compounding. All of the methods which are applied in this research was the method which is delivered by Sudaryanto. The data was collected through observation methods (simak bebas libat cakap) and note taking techniques. The method of analyzing data is the distributional method, and then the segmenting immediate constituents technique used as the basic technique. The extension techniques are deletion, substitution, and repetition. The presenting data is used in an informal method.

The research result shows the composition which has a unique morpheme in Balinese, recently faces dynamic conditions. The dynamic tendency is the changing of bound morphemes unique into free morphemes. For example, the bound morpheme ‘dedet’, recently became free morpheme. As a result, it can be independent in the sentence.

Keywords: dynamics, composition, unique morpheme, Balinese, generative morphology

Pendahuluan

Pembentukan kata dapat terjadi melalui pemajemukan, afiksasi, reduplikasi, dan konversi (Haspelmath, 2010: 33). Menurut Ramlan (2009: 51-54) pembentukan kata terjadi melalui proses morfologis, di antaranya perulangan, afiksasi,

pemajemukan, serta perubahan zero. Menurut Kridalaksana pembentukan kata terjadi melalui pemajemukan (komposisi/perpaduan), derivasi zero, afiksasi, reduplikasi, abreviasi (pemendekan), dan derivasi balik (1992: 12). Menurut Soedjito dan Saryono (2014: 30) pembentukan kata dapat terjadi

melalui tiga proses morfologis, di antaranya pengimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan.

Pemajemukan merupakan proses penggabungan dua leksem atau lebih yang membentuk kata (Kridalaksana, 1992: 104). Penggunaan istilah leksem agaknya bisa disepadankan dengan morfem. Pemajemukan tersusun atas morfem pangkal, morfem dasar dan morfem unik (Ramlan: 2009: 81). Pemajemukan merupakan pembentukan kata dengan menggabungkan dua bentuk dasar atau lebih menjadi satu kata baru. Bentuk dasar yang digabungkan dapat berupa (1) pradasar dan (2) kata dasar (Soedjito dan Saryono, 2014:43).

Penelitian pembentukan kata bahasa Indonesia (BI) dan bahasa Bali (BB) telah sangat banyak dilakukan. Dari sekian penelitian yang ada, kecenderungan yang terjadi adalah pembentukan kata melalui proses morfemis (afiksasi), kemudian perulangan. Sangat sedikit penelitian yang bisa ditemukan yang mengulas tentang pemajemukan.

Dalam bahasa Indonesia, pemajemukan sendiri pernah menjadi perbincangan antara para ahli bahasa semenjak tiga dekade lalu melalui simposium tata bahasa yang diselenggarakan oleh lembaga linguistik Fakultas Sastra Universitas Indonesia dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1979. Berbagai pendapat pro dan kontra terjadi. Para ahli bahasa yang menyajikan mengenai kata majemuk mengakui keberadaan kata majemuk akan tetapi ada pula yang meragukan keberadaan kata majemuk. Penelitian kali ini mendukung keberadaan kata majemuk dengan ciri-ciri yang dimilikinya.

Ditinjau dari segi teori yang diterapkan, penelitian pembentukan kata melalui morfologi generatif telah banyak juga dilakukan. Namun, kecenderungan penelitian yang ada, lebih banyak tentang proses afiksasi, kemudian perulangan. Hanya sedikit yang bisa ditemukan tentang pemajemukan. Sementara, dari sudut tipologi bahasa, BB dan BI bersifat aglutinatif. Dengan sifat tipologi tersebut memungkinkan banyaknya pembentukan kata terjadi melalui afiksasi, sedangkan cukup sedikit yang bisa ditemukan (kajian terdahulu) mengenai pemajemukan. Jika pun ada itu hanya umum, sangat jarang yang membahas hingga di kedalaman teori tentang pemajemukan menggunakan morfologi generatif.

Minimnya penelitian terdahulu mengenai pemajemukan yang barangkali disebabkan oleh keluputan peneliti sebelumnya atau mungkin

disebabkan oleh sifat BB sendiri secara tipologis yang menyebabkan kuantitas penelitian mengenai pemajemukan jarang dilakukan. Namun, bukan berarti penelitian tentang pemajemukan layak diurungkan. Justru karena jumlahnya yang minim penelitian ini layak untuk diadakan.

Penelitian pembentukan kata BB telah banyak dimulai oleh para peneliti terdahulu. Seperti misalnya Sutjiati, Simpen, dll. Termasuk juga penelitian mengenai pembentukan kata majemuk sudah pernah diteliti oleh I Gede Nala Antara (1993). Secara garis besar, penelitian itu dikaji dengan pendekatan struktural. Penelitian ini menawarkan perspektif yang berbeda dengan memaparkan fenomena yang terjadi dalam pemajemukan dengan morfem unik menarik untuk diamati. Morfem unik merupakan morfem terikat yang keberadaannya selalu bergantung dengan morfem dasar. Morfem dasar yang dilekati pun hanyalah morfem dasar tertentu saja. Sifatnya yang hanya mampu terikat pada morfem dasar tertentu saja yang menyebabkannya disebut sebagai morfem unik. Kecenderungan dewasa ini morfem unik tidak memiliki sifat unik lagi, karena telah berubah menjadi morfem bebas.

Misalnya fenomena yang terjadi dalam BI tercermin dalam gelap gulita, simpang siur, dan sunyi senyap (Ramlan, 2009: 82). Dalam kajian-kajian terdahulu diyakini gulita hanya bisa berdampingan dengan kata gelap, kini bisa dijumpai dalam pekat gulita. Morfem unik siur bisa bergabung dengan morfem bebas silang, sehingga menjadi silang siur serta mengalami afiksasi berkesiuran. Demikian pula halnya dengan morfem unik senyap bisa terisolasi secara mandiri: menjadi senyap. Contoh morfem unik lainnya jelita pada cantik jelita, kini bisa ditemukan kejelitaan dan dara jelita.

Gejala telah terjadinya dinamika dalam pemajemukan tampaknya terwakilkan dengan cuplikan tersebut. Beranalogi dari fenomena yang terjadi dalam BI, hal yang serupa juga terjadi dalam BB seperti dalam peteng dedet ‘gelap gulita’ dan sepi mangmung ‘sepi sekali’. Morfem dedet dan mangmung merupakan morfem unik. Morfem unik tersebut kini telah mengalami dinamika. Dinamika yang dimaksud adalah bergantinya status morfem unik menjadi morfem bebas. Ulasan umum tersebut dipaparkan secara mendetail dalam permasalahan.

Metode Penelitian

Data dalam penelitian ini berasal dari sumber data berupa karya sastra. Pemilihan sumber berasal dari karya sastra didasarkan atas asumsi bahwa dalam karya sastra dapat ditemukan data yang bersifat dinamis. Selain itu data juga diperoleh dari hasil penelitian terdahulu mengenai pemajemukan oleh I Gede Nala Antara. Berikut daftar karya sastra yang dimaksud.

  • 1)    Suara Saking Bali merupakan blog berbahasa Bali yang memuat berbagai cerita pendek dari sejumlah sastrawan Bali.

  • 2)    Angripta Rum merupakan buku kumpulan puisi Bali Modern. Kumpulan puisi tersebut dikumpulkan oleh I Gede Gita Purnama.

  • 3)    Merta Matemahan Wisia merupakan kumpulan cerita pendek yang disusun oleh I Made Suarsa.

  • 4)    Gede Ombak Gede Angin merupakan cerita pendek yang ditulis oleh I Made Suarsa.

  • 5)    Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang merupakan karya sastra yang disusun oleh Djelantik Santha.

  • 6)    Smara Reka yang disusun oleh I Gede Gita Purnama dan Dewa Ayu Carma Citrawati.

  • 7)    Carita Tantri disusun oleh I Made Pasek merupakan fabel dalam bahasa Bali.

Dalam pengumpulan data digunakan metode simak bebas libat cakap serta teknik catat sebagai teknik lanjutan (Sudaryanto, 2015: 203205). Setelah data dikumpulkan, data diseleksi, kemudian data diklasifikasikan sesuai dengan jenis morfem. Setelah semua unsur dalam pemajemukan berhasil diuraikan ke dalam satuan morfem pangkal, dasar, dan unik, analisis dilanjutkan dengan tahap berikutnya yaitu diterapkannya teknik lesap, teknik ganti, dan teknik ulang. Dalam penyajian analisis ini digunakan metode informal berupa kata-kata dan kalimat-kalimat sebagai sarananya (Sudaryanto, 1992;64). Metode ini digunakan untuk menyajikan hasil interpretasi dan analisis dari kata majemuk yang ditemukan.

Untuk penyajian data yang dianalisis menggunakan teknik deskripsi morfologis. Menurut Verhaar (2008:114), teknik deskripsi terdiri atas tiga baris. Baris pertama merupakan data dalam bahasa yang sedang diteliti, baris kedua merupakan glos, dan baris terakhir merupakan arti. Dalam hal ini arti ditulis dalam bahasa Indonesia, dimaksudkan untuk penutur bahasa Indonesia yang bukan orang Bali agar mengerti data tersebut. Misalnya:

Meme Ade luas ke peken. ibu Ade pergi prep. pasar. ‘Ibu Ade pergi ke pasar.’

Pembahasan

Dalam kehidupan masyarakat Bali kini telah terjadi berbagai perubahan baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang baru, arus globalisasi, maupun sebagai dampak perkembangan teknologi informasi yang amat pesat dewasa ini. Kondisi tersebut telah memengaruhi perilaku masyarakat Bali. Lebih-lebih akhir-akhir ini dunia telah memasuki tatanan dunia era normal baru ketika pandemi covid-19 melanda seluruh penjuru negeri. Semua penduduk dunia dipaksa untuk cepat mengadaptasi gaya hidup dan kebiasaan baru yang melanda seluruh aspek kehidupan manusia.

Peningkatan daya ungkap BB terkait dengan perannya dalam kehidupan bermasyarakat kini serta sebagai bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, BB dihadapkan pada kekurangan kosakata termasuk peristilahannya. Berbagai konsep ilmu dan teknologi dari luar yang menggunakan bahasa asing belum seluruhnya dapat dengan cepat dialihkan dalam BB. Selain faktor intern tersebut, arus globalisasi yang melanda bangsa-bangsa di dunia ini ikut memacu perkembangan bahasa terutama dalam memasuki perdagangan bebas. Maka, perkembangan kosakata sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dielakkan.

Dengan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat, berbagai konsep yang terus menerus bermunculan memerlukan wadah berupa ungkapan-ungkapan baru untuk mewadahinya. Pengungkapan konsep baru tersebut dengan prinsip perpaduan menjadi jauh lebih umum daripada menciptakan istilah yang baru sama sekali (Kridalaksana, 1988:19). Dalam hal ini perpaduan yang dimaksud adalah pemajemukan. Perpaduan ini menuntut kreativitas bahasawan.

Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan manusia. Oleh karena itu perkembangan bahasa senantiasa selaras dengan perkembangan kebudayaan manusia. Bahasa yang digunakan dalam kelompok masyarakat yang satu senantiasa saling berinteraksi dengan bahasa yang dipergunakan oleh kelompok masyarakat yang lainnya dalam suatu proses alkuturasi (Kaelan, 2002: 292-293). Pembahasan mengenai dinamika

berupa morfem unik menjadi unsur bebas dijelaskan lebih terperinci di bawah ini.

Pembahasan kali ini bertolak dengan adanya anggapan bahwa morfem unik tidak bisa berdiri sendiri, karena selalu bergabung dengan morfem tertentu untuk membentuk satu kesatuan makna. Kini ditemukan kecenderungan berupa fenomena yang membuat morfem unik tidak menjadi unik lagi. Dahulu dianggap unik karena kemampuannya untuk melekat hanya pada morfem-morfem tertentu saja, kini sudah bisa berdiri sendiri. Berikut akan diberikan penjabaran lebih lanjut.

  • 1)    Anak truna apa né kali jani nu daki cuil tondén mandus?" Makesiab Gedé Sura bangun uli lamunané ningeh munyi buka keto. Tepukina di arepané ada anak bajang jegég majujuk, mabaju kedas, majaler ciut, makenip, malengis miik, bokné lantang magambahan, sing ada lén tuah Luh Sari ané lamunanga uli tuni.

Dalam konteks tersebut daki cuil merupakan kata majemuk, yang terdapat dalam kalimat pertama berupa ujaran langsung, yaitu:

1a) "Anak truna apa né kali jani nu daki cuil tondén mandus?"

“anak muda apa ini saat ini masih kotor sekali belum mandi?”

“Anak muda apa ini jam segini masih kotor sekali belum mandi?”

Pemajemukan daki cuil ‘sangat kotor’, terdiri atas morfem dasar berkategori adjektiva, sementara cuil merupakan morfem unik. Selain daki cuil, juga ada padanan menyi cuil yang samasama berarti ‘kotor sekali’. Hanya saja ada sedikit perbedaan dalam penggunaan kata daki dan menyi. Perbedaan tersebut berkaitan dengan entitas yang dijelaskan oleh masing-masing kata tersebut berbeda. Ketika menjelaskan tentang keadaan badan yang kurang bersih, digunakan kata daki. Sedangkan untuk menjelaskan entitas selain tubuh, misalnya pakaian, lantai, dll digunakan kata menyi.

Berdasarkan kamus Bali-Indonesia Edisi III yang disusun oleh Ni Luh Partami, dkk., yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Bali Denpasar tahun 2016, cuil digolongkan sebagai adjektiva. Dengan demikian, cuil tidak lagi menjadi morfem unik karena sudah mampu berdiri sendiri serta mendapatkan kelas kata dalam kamus. Seperti dalam kalimat berikut.

  • 2)    Bajune cuil pesan baju kotor sekali. Bajunya sangat kotor.

Dalam konteks (2) cuil berdiri sendiri karena tidak lagi mendampingi kata daki, karena cuil menjelaskan keadaan pakaian.

  • 3)    Aiiih... Memangné Nyai mémén Bliné? Hari ibuné ento katuju tekén i mémé. Nah... Nyai kan kurenan, boya mémé. Buin pidan ja ada hari kurenan, kayangé ento mara Bli nyelametin Nyai,” béh beber nyansan munju I Luh mireng raos tiangé buka kéto. Masem kecut buka limoné nguda sebengné.

Pemajemukan lainnya terdapat dalam kalimat terakhir dalam konteks ujaran yang diberikan pada no (3) tersebut. Berikut penggalan kalimat terakhir beserta gloss kalimat.

3a) Masem kecut buka limoné nguda sebengné.

asam sekali seperti jeruk limau muda raut wajah DET.

‘Asam sekali seperti jeruk limau muda raut wajahnya. ‘

  • 4)    Belimbing wuluh masem kecut. Belimbing wuluh asam sekali. ‘Belimbing wuluh asam sekali.’

Pemajemukan masem kecut ‘asam sekali’ merupakan perpaduan antara morfem dasar masem berkategori adjektiva dan kecut merupakan morfem unik. Kini kecut tidak lagi digolongkan sebagai morfem unik, berdasarkan kamus Bali-Indonesia Edisi, kecut diberikan kelas kata berkategori adjektiva.

  • 5)    Poh ne nguda kecut pisan. Mangga yang muda asam sekali. ‘Mangga yang masih muda asam sekali. ‘

  • 6)    Makejang ngaba sebeng kecut. Semuanya membawa raut wajah masam. ‘Semuanya memperlihatkan raut wajah masam.’

Dalam data (5) dan (6) kecut bisa berdiri sendiri tidak lagi berdampingan dengan kata masem dalam kalimat no (5) kecut menjelaskan entitas yang bisa dimakan, sedangkan dalam kalimat no (6) kecut juga bisa digunakan untuk menjelaskan sebentuk raut wajah yang terlihat

kurang nyaman untuk dipandang. Kedua kalimat tersebut membuktikan kecut tidak lagi menjadi morfem unik, karena dalam tataran sintaksis sudah berdiri sendiri.

  • 7)    Sawatara molas menit, sagét ia suba nengok. Miik ngalub, bokné kelimis, tumbén bagus. Kebaang kenyeman ané lével 3, né paling manisa ba to. Muané makelieb, masemu barak.

Dalam konteks tersebut, kalimat kedua mengandung pemajemukan. Berikut diberikan cuplikan kalimat beserta gloss.

7a) Miik ngalub,     bokné         kelimis,

tumbén bagus

Harum semerbak, rambut DET. licin berkilap, tumben rapi.

‘Harum semerbak, rambutnya licin berkilap, tumben rapi.’

Contoh lainnya dalam konteks kalimat berikut juga terdapat pemajemukan yang sama dengan konteks no (7).

  • 8)    Kulitné buka kulit ceroring tasak tur miik ngalub. Baan miikné, sunar bulan miwah anginé ngusirsir ané nempuh milu miik.

8a) Kulitné buka kulit ceroring tasak tur miik ngalub.

Kulit DET seperti kulit langsat matang serta harum semerbak.

‘Kulitnya bagai kulit langsat matang serta harum semerbak.

Pemajemukan yang terdapat dalam data di atas ada miik ngalub ‘harum semerbak’. Pemajemukan tersebut terdiri atas dua unsur. Unsur yang pertama, miik ‘harum’, dan unsur yang kedua ngalub. Dahulu ngalub disebut sebagai morfem unik, kini tidak lagi merupakan morfem unik, karena di kamus sudah diberikan kategori adjektiva, sehingga sudah bisa berdiri sendiri.

Selain pemajemukan di atas, ditemukan pula beberapa pemajemukan dengan morfem unik. Morfem yang dulunya dianggap unik karena selalu berdampingan dengan morfem dasar lainnya, kini telah menjadi morfem bebas. Misalnya:

  • 9)    Peteng dedet ‘gelap sekali’

  • 10)    Daki bengil ‘sangat kotor’

  • 11)    Tua cakluk ‘sangat tua’

  • 12)    Sepi mangmung ‘sunyi senyap’

  • 13)    Bengu mlekag ‘amat busuk’

  • 14)    Benyah latig ‘hancur luluh’

  • 15)    Puun sengeh ‘terbakar habis’

Semua morfem yang kedua yang dahulu dikatakan morfem unik, tidak lagi menjadi unik. Karena sudah berterima atau lumrah digunakan dalam percakapan sehari-hari tanpa harus berpasangan dengan unsur yang pertama. Dengan berubahnya status morfem unik tersebut menjadi morfem bebas, fungsinya dalam tataran sintaksis pun menjadi berubah.

Simpulan

Dari uraian di atas dapat disimak bahwa satuan bahasa senantiasa mengalami perubahan. Dalam kajian kali ini satuan bahasa yang dimaksud adalah satuan yang terbentuk melalui pemajemukan dalam bahasa Bali. Pemajemukan bahasa Bali dengan morfem unik dapat dibuktikan telah mengalami dinamika menjadi morfem bebas. Kemungkinan sebagai akibat dari sistem bahasa itu sendiri.

Daftar Pustaka

Antara, I Gede Nala. 1993. “Pembentukan Kata Majemuk dalam Bahasa Bali” (laporan penelitian). Denpasar:     Universitas

Udayana.

Aronoff, Mark dan Fudeman, Kirsten. 2005. What is   Morphplogy.   USA: Blackwell

Publishing.

Booij, Geert. 2007. The Grammar of Words: An Introduction to Morphology. New York: Oxford.

Dardjowidjojo, Soenjono. 1983. Beberapa Aspek Linguistik Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Dardjowidjojo, Soenjono. 1988. Morfologi Generatif: Teori dan Permasalahannya. Dalam:    Dardjowidjojo, Soenjono,

penyunting. Pelba I: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya: Pertama. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Haspelmath, Martin dan Sims, Andrea D. 2010. Understanding Morphology. London: Hodder Education.

Jendra, I Wayan, dkk. 1978. Tata Bahasa Bali.

“Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra

Indonesia dan Daerah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia” (laporan penelitian). Denpasar.

Katamba, Francis. 1993. Modern Linguistic: Morphology.Great Britain: Mackays of Chartham PLC.

Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisuis.

Ramlan, M. 2009. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono.

Simpen, I Wayan. 1995. “Afiksasi Verbal Bahasa Bali” (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.

---------. 2009a. Pustaka Vol. IX: 72. Denpasar: Yayasan Guna Widya.

---------. 2009b. Morfologi. Denpasar: Udayana University Press.

---------. 2015. Retorika Vol.2: 307. Denpasar: Warmadewa Press.

Suandi, I Nengah. Pembentukan Kata-Kata Baru dalam Bahasa Bali. 2008. Linguistik Indonesia Vol. 26. 197-210.

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Pres

115