PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

VOL. XXI NO. 2 • AGUSTUS 2021

“Ludruk Jember: Ruang Kebudayaan Masyarakat Jember dalam Mengekspresikan

Kembali Kultur Kemaduraan di Wilayah Perantauan”

Mohammad Rizaldy Ramadhan, Egy Fernando, Muhammad Sulton Ridho, Vivia Suaidin  97

Silakramaning “Aguron-Guron” Dalam Teks Cerita Bhagawan Dhomya-Adiparwa

Drs. I Nyoman Duana Sutika, M.Si 103

Dinamika Pemajemukan Dengan Morfem Unik Dalam Bahasa Bali

Ni Made Sri Ramayanti  110

Penggunaan Bahasa Inggris dalam Percakapan Bahasa Indonesia Generasi Muda

Anak Agung Sagung Shanti Sari Dewi  116

Kehidupan Sosial Migran Madura di Desa Kintamani Tahun 1982-2018 Risa Yuliandri  122

Upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan Desa Adat Kesiman

Ni Made Odi Tresna Oktavianti  128

Pengelolaan Yayasan Albanna sebagai Lembaga Pendidikan Islam

di Denpasar Selatan 2007-2019

Deanita Salsabila 142

Psychological Analysis of Emily Grierson in Short Story A Rose for Emily

by William Faulkner

Gaby Kumala Dewi Santoso, Ida Bagus Putra Yadnya, Ni Ketut Alit Ida Setianingsih ....149

Code switching Used by Naila on Her YouTube Channel: Naila Farhana

Kadek Yuda Wardana, Luh Putu Laksminy, Made Detriasmita Saientisna  154

The Used of Online Learning Method in Acquiring Children's English Vocabulary

at English Buzz Bali

Ni Putu Manik Masuci  162

Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka

PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516

VOL. XXI NO. 2 • AGUSTUS 2021

Susunan Redaktur PUSTAKA :

Penanggung Jawab Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.

Pemimpin Redaksi

Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.

Wakil Ketua

I Gusti Ngurah Parthama, S.S., M.Hum.

Sekretaris

Dr. Bambang Dharwiyanto Putro, S.S., M.Hum.

Staf Redaksi

I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.

Dr. Dra. Ni Made Suryati, M.Hum.

Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum. Zuraidah, S.S., M.Si.

Drs. I Wayan Teguh, M.Hum Fransiska Dewi Setiowati Sunarya, S.S., M.Hum

Mitra Bestari

Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A (Unud)

Prof Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt (Unud) Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A (Unud)

Prof. Thomas Reuter (Melbourne University) Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. (Undiksha) Prof. Dr. Susantu Zuhdi (UI)

Prof. Dr. Irwan Abdulah (UGM)

Pelaksana Tata Usaha :

I Gede Nyoman Konsumajaya

Naskah dikirim ke alamat : [email protected]

Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan

Upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan Desa Adat Kesiman

Ni Made Odi Tresna Oktavianti

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Kota Denpasar, Provinsi Bali, Indonesia @[email protected]

Abstract

Ngerebong ceremony is an oral tradition which is interpreted as a sacred ritual for the people in the Kesiman Traditional Village, Denpasar City. The Ngerebong ceremony is held every six months, to be precise every eight days after Kuningan Day. Until now, the Ngerebong ceremony which involves many parties and cultural components is still carried out by the Kesiman Traditional Village community. This is a challenge for the people of the Kesiman Traditional Village who do not shut themselves off from the influence of modernization.

The purpose of this research was carried out to find out and understand the problems associated with the implementation of the Ngerebong ceremony for the people of the Kesiman Traditional Village. The research, which is located in the Kesiman traditional village, was conducted using qualitative methods and analyzed using the habitus theory. The problems studied include (1) what factors cause changes in the implementation of the Ngerebong ceremony?; (2) what is the function of the Ngerebong ceremony for the people of the Kesiman Traditional Village?; (3) what are the implications of the Ngerebong ceremony for the people of Denpasar City?

The results showed that (1) the people of the Kesiman Traditional Village saw that they had to continue to carry out the Ngerebong ceremony because in their life it was motivated by religious ideology, conservation ideology, power ideology, and cultural ideology that made them obey the traditions they already had; (2) along with the times, the people of the Kesiman Traditional Village carry out the Ngerebong ceremony lively but still in accordance with the stages, traditions and customs they already have; (3) the implications of the implementation of the Ngerebong ceremony in the current global era for the people of the Kesiman Traditional Village appear to directly touch the characteristics of their life, strengthening the quality of cultural values and togetherness for all people in facing the challenges of cultural change in the global era.

Keywords: Ngerebong ceremony, Kesiman traditional village community, sacred rituals, religious ideology, modernization.

Pendahuluan

Sejarah Pura Agung Petilan

Pura Agung Petilan lumrah disebut Pura Pengrebongan adalah tempat pelaksanaan upacara Ngerebong. Pura Agung Petilan merupakan pura sekaligus kahyangan yang menjadi panyungsungan seluruh masyarakat Desa Adat Kesiman. Pura Agung Petilan merupakan centre upacara besar keagamaan bagi masyarakat Desa Adat Kesiman. Perihal prasasti-prasasti yang memuat keberadaan Pura Agung Petilan belum ditemukan hingga saat ini, akan tetapi informasi yang didapatkan dari beberapa informan menyebutkan, bahwa Pura Agung Petilan sangat erat kaitannya dengan keberadaan Pura Dalem Muter yang bertempat di Jalan Soka dipinggir timur Sungai Ayung dan puri yang berada di wilayah Banjar Kedaton Kesiman yang keduanya

mempunyai peran dan andil besar dengan keberadaan Pura Agung Petilan.

Ida Nararya Oka Pemayun, selaku Panglingsir Puri Pemayun Kedaton Kesiman memberikan serangkaian informasi tersebut dan menambahkan bahwa kata “petilan” dalam nama Desa Kesiman Petilan berasal dari kata awalan “pa” dengan kata dasar “tila” dan diberi akhiran “an”, setelah melalui berbagai proses pembentukan kata lahirlah kata “patilan”, kemudian untuk memudahkan pelafalan dirubah menjadi “petilan”. Akar kata “tila” berarti menanam biji atau benih seperti tahi lalat, pangkalan di laut dan “patilan berarti tempat menanam biji atau benih. Istilah “agung” diartikan besar dan juga mempunyai arti harfiah seorang raja. Pura Agung Petilan adalah tempat suci yang besar sebagai tempat seorang raja menanam biji atau benih berupa konsep-konsep dan ide-ide.

Anak Agung Ngurah Gede Kusuma Wardhana, selaku Penglingsir Puri Kesiman mempertajam arti dari Pura Agung Petilan. Menurutnya, Pura Agung Petilan adalah tempat yang dirancang oleh pemimpin pada masa itu, sebagai sebuah bentuk usaha dalam penyelamatan sistem pemerintahan kerajaan, apabila sistem pemerintahan kerajaan tidak lagi dipakai direpublik ini.

I Wayan Turun, seorang sastrawan babad, menyatakan bahwa Arya Wang Bang Pinatih di Kerajaan Kerthalangu yang membuat Pura Dalem Muter, dikalahkan oleh Dukuh Pahang pada tahun Caka 1527. Rakyat dan para kerabat Arya Wang Bang banyak yang menetap disisi barat Sungai Ayung seperti Banjar Batanbuah dan Kedaton. Pindahnya Arya Wang Bang Pinatih dari Kerthalangu ke Sanur membuat rakyat beliau yang ditinggalkan kebingungan adalah inisiatif dari Ki Bendesa Sugriwa yang melaporkan situasi tersebut ke Puri Pemecutan untuk memohon kepada pimpinan yang akan melanjutkan kepemimpinan Arya Wang Bang Pinatih. Permohonan Ki Bendesa Sugriwa dikabulkan, yang melanjutkan kepemimpinan Arya Wang Bang Pinatih adalah Kiayi Pemayun. Kiayi Pemayun mendirikan kerajaan yang berada dipinggir timur Sungai Ayung yang bernama Tegal Kuwum. Beliau juga melanjutkan ritual yang biasanya dilaksanakan di Pura Dalem Muter yang dibuat oleh Arya Wang Bang Pinatih yang didukung oleh rakyat Arya Wang Bang Pinatih, yang masih menetap ditepi barat Sungai Ayung, seperti Banjar Batanbuah, Banjar Kehen dan Banjar Kedaton.

Sungai Ayung ketika musim penghujan sering terjadi banjir yang amat besar, yang mempersulit para bhakti yang ada disisi barat Sungai Ayung untuk melaksanakan ritual di Pura Dalem Muter. Berselang beberapa lama, Kiayi Pemayun berkeinginan pindah dari Tegal Kuwung untuk membuat puri ditepi barat Sungai Ayung. Beliau kemudian mendirikan Puri Kedaton yang didukung oleh rakyat Arya Wang Bang Pinatih. Beliau juga membuat payawangan ke Pura Dalem Muter ketika air Sungai Ayung meluap. Tempat pemujaan itu disebut pailehan, karena prosesi upacara piodalan di Pura Dalem Muter dilaksanakan ditempat payawangan tersebut. Tempat pemujaan itu kemudian dinamakan Petilan. Demikian pula puri yang ditempati oleh Kiayi Pemayun dinamakan Pajogan Patilan.

I Gusti Ngurah Made Kesiman Punggawa Distrik Kesiman Tahun 1927 s/d 1 Mei 1954 Dokumentasi I Gede Anom Ranuara (2015)

Struktur pemerintahan dibawah jenjang patih adalah punggawa. Seorang punggawa berkewajiban membantu raja dalam bidang pemerintahan, terkadang dapat pula membantu dalam urusan adat dan agama didaerah kekuasaannya. Dilihat dari sudut hierarki atau garis komando, seorang raja dapat langsung memberikan perintah kepada seorang punggawa, demikian pula sebaliknya seorang punggawa bertanggungjawab langsung kepada raja. Hal ini menyebabkan kedudukan punggawa dalam masyarakat tradisional cukup tinggi. Jabatan punggawa pada umumnya diduduki oleh keluarga bangsawan dari kasta ksatrya dan ada kalanya juga dari golongan brahmana. Wewenang seorang punggawa dalam menjalankan pemerintahan dan mengatur wilayahnya mendapat kekuasaan penuh dari raja, terutama dalam hal memutuskan perkara yang berhubungan dengan adat istiadat dan agama. Pengangkatan dan pemberhentian seorang punggawa terletak ditangan raja. Kebiasaan yang berlaku dalam sistem pemerintahan tradisional adalah bahwa pengangkatan seorang punggawa tidak semata-mata berdasarkan atas kecakapan, melainkan faktor keturunan yang menjadi salah satu aspek penting dalam pemilihannya. Oleh sebab itu sering pula menimbulkan pemberontakan-pemberontakan dan perang saudara yang terkadang meluas dalam masyarakat.

Pada masa kepemimpinan Kiayi Pemayun, banyak parhyangan yang dibangun dan dipugar sebagai sarana untuk membangkitkan dan memotivasi rasa bhakti masyarakat, tak terkecuali

rakyat Arya Wang Bang Pinatih. Beliau membangun merajan sebagai tempat memuja para leluhur beliau yang bernama merajan suci. Pura Agung Petilan sebagai tempat Penyawangan Dalem Muter yang ditata dan disempurnakan atau dipermanenkan dilengkapi dengan tajuk.

Upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan Dokumentasi Ni Made Odi Tresna Oktavianti (2 Mei 2021)

Pangilen atau Ilen-Ilen sebagai rangkaian upacara Ngerebong yang dahulunya hanya dilaksanakan ketika musim penghujan yang membuat Sungai Ayung banjir, setelah Pura Agung Petilan rampung pada tahun 1937 Masehi ditetapkan, dipublikasikan secara akbar atau dipatenkan pelaksanaan upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan oleh I Gusti Ngurah Made Kesiman, atau yang akrab disebut Ida Bhatara Punggawa Kesiman. Beliau pada tahun 1927 sampai dengan tanggal 1 Mei 1954 menjadi Kepala Distrik Kesiman. Pelaksanaan upacaranya berjalan seperti pelaksanaan piodalan di Pura Agung Petilan yang memakai konsep tata dewa atau dewa-dewa ditata bagaikan raja, walaupun wantilan yang terletak di madya mandala masih sementara atau yang masih beratapkan klangsah dan bertiangkan pohon waru. Wantilan baru rampung dibangun setelah satu tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1938.

Tak berselang lama, tempat penyawangan ke Dalem Muter tersebut kemudian dipermanenkan oleh beberapa undagi dari Kesiman, diantaranya Kak Rieh dari Banjar

Kedaton, Kak Bir dari Banjar Abiantubuh dan Kak Sakur dari Banjar Ceramcam dibantu oleh masing-masing banjar yang bertanggungjawab atas batu bata dan menyelesaikan temboknya.

Pura Agung Petilan terbagi menjadi tiga mandala yaitu utama mandala, madya mandala dan nista mandala. Di areal utama mandala terdapat tiga bangunan pokok yaitu Gedong Mandara Giri atau Gedong Agung, Gedong Dalem, kemudian Gedong Manca Desa dan Gedong Pangerok. Di Utama Mandala juga dilengkapi dengan dua buah Bale Tajuk, Bale Murdha, Bale Gaduh yang difungsikan sebagai linggih Ratu Ayu atau Barong, dua buah Pelinggih Penglurah, Linggih Ratu Ayu atau Barong, Bale Gong dan Bale Pemaksan yang difungsikan sebagai tempat mebat dan pesantian. Di Madya Mandala terdapat Pelinggih Panggungan dari batu bata, Wantilan, Bale Agung, Bale Kulkul dan Kantor Bendesa Adat Kesiman. Di Nista Mandala adalah Jalan WR. Supratman disisi selatan dan Jalan Noja disisi barat.

Denah Pelinggih di Pura Agung Petilan Sumber Niyasa Lingga Desa Adat Kesiman Tahun 1990

Dokumentasi I Gede Anom Ranuara (2015)

Keterangan Tempat Pelinggih dan Bangunan Pura Agung Petilan:

  • 1.    Gedong Mandara Giri atau Gedong Agung atau Gedong Dalem

  • 2.    Tajuk Pengaruman

  • 3.    Tajuk Pengaruman

  • 4.    Gedong Manca Desa

  • 5.    Gedong Pangerob

  • 6.    Bale Gaduh Pelinggih Ratu Ayu atau Barong

  • 7.    Bale Bebaturan Linggih Ratu Ayu

  • 8.    Bale Murdha Linggih Pemangku Ngilen

  • 9.    Pelinggih Pangeran Agung

  • 10.    Pelinggih Penyarikan Agung

  • 11.    Kuri Agung Pamedalan

  • 12.    Panggungan Pangilen-Ngilen

  • 13.    Wantilan

  • 14.    Bale Agung

  • 15.    Pelinggih Balang Tamak

  • 16.    Pelinggih Melanting

  • 17.    Kantor Bendesa Adat Kesiman dan Bale Agung Penyimpenan

  • 18.    Bale Kulkul

  • 19.    Candi Bentar

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dan teknik pengumpulan serta analisis secara kualitatif. Data yang dikumpulkan berupa komentar dan realitas historis dengan teknik wawancara, hasil observasi, dan studi pustaka, kemudian hasil data dianalisis secara deskriptif kritis. Penelitian ini dilakukan di Desa Adat Kesiman, dimana merupakan daerah yang secara historis memiliki hubungan erat dengan keberadaan upacara Ngerebong. Meskipun demikian, upacara Ngerebong yang kini telah menjadi sebuah tradisi turun-temurun di Desa Adat Kesiman dalam perannya sebagai salah satu warisan budaya Kota Denpasar akan dibahas secara kritis berdasarkan dinamika realitasnya, tanpa terbatas pada apa yang ada di penelitian sebelumnya saja. Alasannya karena kenyataan bahwa upacara Ngerebong hingga kini masih memiliki banyak kesimpangsiuran persepsi dari berbagai pihak.

Data yang berasal dari latar belakang masalah, wawancara, catatan lapangan, dokumen dan sebagainya dideskripsikan dan dipaparkan secara kritis sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas sesungguhnya keberadaan suatu kebudayaan yang menjadi tradisi turun-temurun. Dalam penelitian kualitatif ini, juga menggunakan pendekatan filosofis berdasarkan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengungkap realitas sesungguhnya dari upacara Ngerebong di Desa Kesiman. Tidak dapat dipungkiri, Upacara Ngerebong sarat akan makna filosofis. Terlebih ketika dilaksanakan wawancara tentang keberadaan upacara Ngerebong dengan beberapa tokoh masyarakatnya, terkesan masih kurang dalam hal pemahaman filosofisnya.

Tampaknya beberapa masyarakat lebih melihat keberadaan upacara Ngerebong dari aspek eksistensinya, yang selalu rutin dilaksanakan dari generasi ke generasi.

Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Pura Agung Petilan Pengerebongan Desa Adat Kesiman Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar. Dipilihnya lokasi ini karena Pura Agung Petilan adalah pura yang dipergunakan sebagai pusat upacara di Desa Adat Kesiman, bukan pura fungsional struktural seperti pura-pura pada umumnya yang ada di Bali. Upacara Ngerebong hanya dilaksanakan di Pura Agung Petilan, sedangkan di tempat lain belum ada. Upacara Ngerebong yang dilaksanakan di lokasi ini sangatlah unik, sehingga menarik untuk diteliti dan dikaji. Dengan demikian di lokasi inilah penelitian dan pengkajian secara ilmiah upacara Ngerebong tersebut dilakukan. Disamping itu lokasi ini sangat mudah dijangkau sehingga memudahkan untuk mengadakan penelitian, baik dalam pertimbangan waktu, biaya dan tenaga.

Sumber Data

Penelitian ini menggunakan baik jenis data kualitatif dan didukung oleh data kuantitatif sebagai sumber data yang dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data kualitatif merupakan hasil data berbentuk narasi yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi berupa kata-kata dan perbuatan- perbuatan manusia. Penelitian bersifat deskriptif dimana mencatat secara teliti fenomena yang dilihat, didengar, ataupun dibacanya (wawancara, catatan lapangan, foto, memo, ataupun dokumen pribadi). Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mengenai latar belakang, asal usul, dan makna dari adanya Ngerebong serta implikasinya terhadap masyarakat Desa Kesiman dan sekitarnya. Sedangkan data kuantitatif merupakan hasil pengumpulan dan pengolahan data yang berupa angka-angka.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data kuantitatif seperti data jumlah penduduk Desa Kesiman baik masyarakat asli Desa Kesiman maupun masyarakat pendatang sehingga mampu memberi gambaran seberapa besar masyarakat Desa Kesiman yang terdaftar sebagai warga desa pakraman. Data yang didapatkan tidak melalui uji statistik atau pengukuran-pengukuran.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sekunder. Data primer adalah sumber data yang diperoleh peneliti secara langsung. Data primer didapat melalui teknik wawancara ataupun observasi dengan masyarakat Desa Kesiman, tokoh adat, budayawan Desa Kesiman, maupun perangkat desa yang turut andil dalam prosesi ritual sakral Ngerebong. Data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, seperti melalui pihak ketiga ataupun lewat suatu dokumen. Sumber data sekunder digunakan untuk mendukung informasi yang didapat dari sumber data primer seperti bahan pustaka, literatur, penelitian terdahulu, buku, maupun laporan kegiatan yang membahas mengenai upacara Ngerebong di Desa Adat Kesiman.

Pengumpulan Data

Observasi

Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan panca indra, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indra mata serta dibantu dengan panca indra lainnya. Dalam penelitian ini menggunakan observasi partisipatif, peneliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau digunakan sebagai sumber data. Artinya peneliti terlibat langsung dalam kegiatan mencari data yang diperlukan melalui pengamatan. Melalui observasi partisipatif, data yang diperoleh lebih lengkap, tajam dan sampai mengetahui sampai tingkat makna perilaku atau gejala yang muncul. Peneliti dalam melakukan observasi akan ikut berbaur dan bersosialisasi dengan narasumber (masyarakat Desa Kesiman) untuk dapat memperdalam pengamatan terkait Ngerebong. Observasi dilakukan untuk dapat lebih memperdalam informasi mengenai realitas upacara Ngerebong di Desa Adat Kesiman yang menjadi bahan untuk wawancara terhadap narasumber.

Wawancara

Teknik pengumpulan data yang kedua adalah teknik wawancara. Wawancara adalah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya

jawab antara peneliti dengan narasumber. Dalam pelaksanaan pengumpulan data di lapangan, peneliti sosial dapat menggunakan metode wawancara mendalam. Wawancara yaitu peneliti sendiri menggali narasumber secara mendalam dengan cara terlibat langsung dengan kehidupan narasumber, bertanya jawab secara bebas, sampai dapat membuat suasana menjadi hidup. Pelaksanaan wawancara tidak hanya sekali atau dua kali melainkan berulang-ulang dengan intensitas yang tinggi untuk mendapatkan informasi yang sinkron dan selaras. Peneliti harus mengamati dengan pasti secara silih berganti dari narasumber satu ke narasumber lain.

Dalam penelitian ini tentunya peneliti ingin mengetahui lebih lanjut terkait dengan realitas dan peranan upacara Ngerebong di Desa Adat Kesiman, maka dari itu untuk lebih jauh mengetahui dan memahami fenomena ini, maka perlu dilakukan wawancara dari berbagai narasumber baik kunci, utama, ataupun pendukung demi mendapatkan fakta yang lebih lengkap.

Dokumentasi

Selain melalui observasi dan wawancara informasi juga dapat diperoleh melalui arsip foto, jadwal kegiatan, maupun catatan harian. Dalam penelitian ini dokumentasi menggunakan foto, rekaman suara, dan video sebagai pendukung informasi di lapangan. Dokumentasi diperlukan untuk mengecek kebenaran atau ketepatan informasi yang diperoleh. Dokumentasi berupa foto, arsip, maupun rekaman suara dalam penelitian ini didapatkan dari terjun langsung ke lapangan yaitu Desa Adat Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, Bali.

Penyajian Hasil Data

Penyajian data dilakukan secara deskriptif dan kronologis. Penyajian data dalam penelitian ini merupakan proses penyajian sekumpulan informasi yang kompleks ke dalam kesatuan bentuk yang sederhana dan selektif sehingga mudah dipahami maknanya. Data yang diperoleh selama penelitian dipaparkan, kemudian dicari tema-tema yang terkandung di dalamnya sehingga jelas maknanya. Dalam hal ini data yang diperoleh dari wawancara dan observasi diseleksi dan di kode untuk memperoleh konsep yang lebih sederhana sehingga relatif lebih mudah dipahami.

Hasil Dan Pembahasan

Upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan

Upacara Ngerebong adalah ritual sakral di Desa Adat Kesiman yang dilaksanakan pada hari Redite Pon Wuku Medangsia tepatnya delapan hari setelah Hari Suci Kuningan. Upacara Ngerebong sering dirumorkan oleh masyarakat sebagai “galungan” masyarakat Kesiman karena kemeriahannya. Upacara Ngerebong adalah pelaksanaan ngereh lemah di Desa Adat Kesiman.

Prosesi Nyanjan Ngerauhang atau Ngereh Dokumentasi oleh Ni Made Odi Tresna Oktavianti

(2 Mei 2021)

Kata Ngerebong merupakan onomatope, yakni kata tiruan bunyi. Kata Ngerebong terbentuk dari kata “ngereh” dan “bong”. Meminjam teorinya Prof. Dr. I Nyoman Suarka dalam Disertasinya tentang Kidung Tantri Pisacaharana, yang menyebutkan istilah kidung terbentuk dari kata “ding” dan “dung”, “i” atau ulu dalam Bahasa Bali. Simbol kepala dan “u” suku atau dalam Bahasa Bali berarti simbol kaki. Kata “bong” pada Ngerebong terbentuk dari “ba” dan “ung”, “a” atau ang sebagai simbol akasa dan “u” atau ung sebagai simbol pratiwi, sebagai suatu penyatuan vokal “a” dan “u” menjadi “o” atau “ong” yang berarti sandhi suara dalam Bahasa Bali. Ngereh adalah suatu prosesi magis dengan mengucapkan mantra-mantra memohon roh suci untuk tetap bersemayam pada Tapakan Rangda atau Barong. Karehen mempunyai arti menjadi yang pertama atau yang utama. Ngerebong adalah prosesi magis penyatuan akasa dengan pratiwi.

Ida Pedanda Gede Ngurah, yang juga mantan seorang dalang menyebutkan dalam seni pedalangan Ngerebong adalah lagu iringan gender untuk tokoh wayang ketika roman dan tokoh wayang wanita keluar masolah atau menari. Upacara Ngerebong adalah sebuah sasolahan dalam artian tingkah laku, gerak dan aktivitas dalam sebuah ritual keagamaan. Upacara Ngerebong berasal dari kata “ngarebuang” yaitu suatu upacara untuk menetralisir dan membersihkan alam semesta atau penyudhamalan. Panyudhamalan ini diperkuat dengan adanya barong berbulu putih dan barong berbula goak atau hitam serta kain poleng sudhamala atau poleng papetet atau hitam dan putih. Upacara Ngerebong juga berarti melakukan kegiatan berputar.

Upacara Ngerebong adalah proses penyatuan akasa dan pratiwi, kemudian dilanjutkan dengan menari berputar atau beraktivitas yang diakhiri dengan panyudhamalan atau menetralisir alam semesta. Upacara Ngerebong dilaksanakan dengan sembilan tahapan kegiatan yaitu:

  • 1.    Nyanjan Kaluwur.

  • 2.    Nyanjan Marerauhan Rangda dan Barong atau Ngereh.

  • 3.    Ngerebong atau mengelilingi panggungan sambil menari Rangda, Barong dan Pepatih Daratan.

  • 4.    Nyanjan Marerauhan Prakulit.

  • 5.    Ngerebong atau mengelilingi Panggungan dengan kain Poleng Papetet atau Sudhamala sambil menari.

  • 6.    Malejar atau Mawayang-Wayang Istri dan Lanang.

  • 7.    Ngurek atau Ngunying.

  • 8.    Mabyasa.

  • 9.    Tabuh Agung atau Ngincung.

Upacara Ngerebong melibatkan seluruh pacanangan beserta Tapakan Barong dan Rangda yang ada di Desa Adat Kesiman di tambah Tapakan Barong dan Rangda yang ada di Distrik Kesiman. Wilayah Distrik Kesiman yang dimaksud adalah mulai dari bagian timur yaitu Desa Pakraman Bekul, bagian selatan yaitu Singgi Sanur yaitu Desa Pakraman Sawangan Nusa Dua Badung, Desa Pakraman Pemogan, bagian barat yaitu Suci, Jero Gede Gerenceng Desa Pakraman Denpasar dan bagian utara yaitu Desa Pakraman Ubung. Terlibatnya banyak tapakan yang merupakan unen-unen Ratu Dalem dalam

pelaksanaan Upacara Ngerebong membuat upacara Ngerebong sebagai suatu bentuk upacara Ngusabha Dalem. Pelaksanaannya pada sore hari dari jam 16.00 WITA sampai selesai. Mencari waktu sandikala atau yang disebut dengan Cepuk Poleng Sudhamala Ngilen Ngerebong.

Upacara Ngerebong merupakan pangilen terakhir yang dilaksanakan di Pura Agung Petilan Kesiman. Ngerebong dilaksanakan setiap enam bulan sekali atau 210 hari, tepatnya pada hari Redite Pon Medangsia atau delapan dari setelah Hari Suci Kuningan. Pengilen Ngerebong melibatkan seluruh tapakan di seluruh Distrik Kesiman, selain sesuhunan atau tapakan yang ada di Desa Adat Kesiman. Upacara Ngerebong dilaksanakan pada sore hari sekitar pukul 16.00 WITA, namun persiapannya sudah dimulai dari pagi hari. Ngerebong identik dengan galungan untuk masyarakat Kesiman, karena saat Ngerebong suasananya sangat meriah. Kemeriahan itu terjadi karena keterlibatan berbagai komponen masyarakat dari pedagang, turis mancanegara, domestik dan babotoh.

Upacara Ngerebong juga disebut ngereh lemah di Desa Adat Kesiman karena prosesinya dilaksanakan sebelum matahari terbenam. Ngerebong terdiri dari tiga tahapan, antara lain sebagai berikut:

  • 1.    Ngilen Ngereh merupakan prosesi memohon roh suci untuk turun dan bersemayam di tapakan Rangda dan Barong dan Ngereh Ba (Ang atau Akasa), Ung (Ung atau Pratiwi) yaitu prosesi penyatuan akasa dan pratiwi. Pada pukul 16.00 WITA setelah mendapatkan izin dari Jero Mangku Gede Dalem Muter, Juru Pundut Rangda dan Barong mulai mempersiapkan perlengkapannya dan memakai busana sesuai dengan tugasnya masing-masing. Setelah semuanya siap, Ratu Ayu dan Barong, Juru Pundut, Pepatih dan Pengiring semuanya mengambil posisi di depan Gedong Agung, dengan posisi dan sikap duduk yaitu Juru Pundut Rangda di depan matimpuh, Ratu Ayu ngadeg, Pepatih dan Pangiring bersila, sedangkan Penyarikan Batur mempersiapkan penyanjan panuwuran atau ngerauhang, kemudian dilanjutkan dengan menghaturkan sembah serta ngelungsur wangsuhpada. Prosesi selanjutnya adalah Nuwur Juru Pundut Rangda yang dipimpin oleh Penyarikan Batur, setelah Juru Pundut kerauhan atau

katapak yang diikuti oleh para patih masing-masing tapakan, dilanjutkan dengan nedunang tapakan Rangda dan disatukan pada Juru Pundut. Prosesi penyatuan tapakan dengan Juru Pundut inilah yang disebut Ngereh Ba Ung (Ngerebong). Tapakan sebagai simbol Ba (Akara atau Akasa), sedangkan Juru Pundut yang kerauhan adalah simbol Ung (Ukara atau Pratiwi), sedangkan Nuwur atau Ngerauhang itu adalah Ngerehang.

Prosesi Ngereh Ba Ung atau Ngerebong di Pura Agung Petilan

Dokumentasi oleh Ni Made Odi Tresna

Oktavianti (2 Mei 2021)

  • 2.    Pukul 17.15 WITA, upacara selanjutnya adalah menari yang disertai Para Pepatih setiap saat Ngurek atau Ngunying mengelilingi Gulung Panyugjug yang ada di Panggungan di Madya Mandala, tepatnya di depan Kori Agung atau di timur wantilan sebanyak tiga kali, bergerak Prasawia atau berlawanan dengan arah jarum jam, ketika berakhir bergerak lewat di belakang Panggungan menuju Utama Mandala atau Jeroan. Prosesi Ngilen Ngerebong ini diawali oleh Ratu Rangka dari Tohpati, Ratu Rangda Desa Bekul, Ratu Ayu atau Barong Tohpati atau berbulu putih, dan Ratu Ayu Barong Bekul berbulu hitam atau Goak berdampingan, Ratu Rangka Dajan Tangluk, Ratu Rangda Dauh Tangluk, Ratu Rangda Dangin Tangluk, Ratu Ayu Barong Dangin Tangluk tanpa badan atau Prarai,

Ratu Rangda Suci Desa Pakraman Denpasar, Ratu Rangda Desa Pakraman Pamogan Denpasar Selatan, Ratu Ayu Barong Desa Pakraman Pamogan Denpasar Selatan, Ratu Rangda Desa Adat Sawangan Bukit Kuta Selatan Badung, Ratu Ayu Barong Desa Adat Sawangan Bukit Kuta Selatan Badung, Ratu Rangda Singgi Sanur Denpasar Selatan, Ratu Rangda Kebonkuri Kesiman, dan terakhi Ratu Ayu Barong Kebonkuri Kesiman berbulu putih berdampingan dengan Ratu Ayu Barong Singgi Sanur Denpasar Selatan berbulu hitam atau Goak. Pada saat berlangsungnya Ngilen Ngerebong atau Pangider Bhuwana ini di dalam wantilan digelar Tabuh Rah atau sabung ayam sebagai wujud penetralisir para bhuta. Prosesi upacara Ngerebong juga dapat disebut Ngarebuang yaitu sebuah simbolisasi pembersihan dunia, dilihat dari adanya unsur warna putih atau Sudha dan warna hitam atau Mala pada Ratu Ayu Barong yang diawal dan yang terakhir. Ngilen Ngerebong tahapan ini diiringi dengan Baleganjur Kebonkuri Kesiman.

Prosesi Ngilen Ngerebong Menari atau Ngider Bhuwana

Dokumentasi oleh Ni Made Odi Tresna

Oktavianti (2 Mei 2021)

  • 3.    Pukul 17.20 WITA, Nuur atau Marerauhan Prakulit adalah prosesi upacara Ngerebong

selanjutnya. Nuur di Utama Mandala dilaksanakan ketika prosesi upacara Ngerebong Rangda dan Ratu Ayu di Madya Mandala sedang berlangsung. Prosesi Nuur atau Marerauhan ini sama pada prosesi Ngilen Pangebekan dan Pemagpagan, akan tetapi pada Nuur Ngerebong ada penambahan yaitu Nuur Ratu Sedan Mas Mataram yang didampingi Ratu Mangku Bumi sebagai Ulu Cepuk Poleng Papetet Kesiman, serta Pangruran dan Penyarikan yang bertugas untuk membawa keris, aruk, gada dan tamiang saat Ngider Bhuwana. Nuur atau Marerauhan ini juga mempunyai fungsi yang sama yaitu sebuah prosesi mempersonalkan sifat Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dari Nirguna Brahman atau Impersonal God menjadi Saguna Brahman atau Personal God. Setelah semuanya berbusana atau Mapangrangsuk, Ratu Agung Dalem Muter Manca Desa dan Penampa, semuanya melinggih di Balai Murdha, di Pelataran Utama Mandala mempersiapkan Cepuk Poleng Papetet Kesiman yang dipergunakan sebagai sarana untuk Marerebu Bumi atau Ngarebuang atau Ngerebong. Ujung Cepuk Poleng Papetet Kesiman diikatkan pada leher Ratu Mangku Bumi yang diikuti oleh Ratu Sedan Mas Mataram, menyusul Sedan Salak Dalem dan Pangerob, sampai Cepuk Poleng Papetet Kesiman terbentang semuanya. Cepuk Poleng Papetet Kesiman ini masuk ke dalam kategori Wastra Wali, yaitu Wastra Wali Poleng atau Poleng Sudhamala, yang memiliki multifungsi. Kadangkala Wastra Poleng itu dikenakan orang dalam hubungan dengan upacara Dewa Yadnya terutama oleh orang yang terkemuka dalam suatu pura tertentu di bawah koordinasi Pemangku atau petugas utama lainnya. Hal ini menandakan bahwa pura bersangkutan memiliki suatu keangkeran, yang bersifat memberikan perlindungan terhadap umatnya. Demikian juga halnya dengan Cepuk Poleng Papetet Kesiman sebagai sarana untuk menetralisir alam semesta guna mendapatkan keharmonisan dan kesejahteraan. Istilah Nyelem Utihang di Bali bermakna yang berkuasa, terbentuk dari kata Selem dan Putih yang penyatuannya menjadi Poleng.

Ratu Mangku Bumi, Ratu Sedan Mataram Dengan Cepuk Poleng Dokumentasi oleh I Gede Anom Ranuara

(2015)

Bentuk Upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan

Sesuai bentuk yang terdapat dalam konsep, upacara Ngerebong termasuk dalam bentuk dinamik, karena dalam upacara Ngerebong terdapat bentuk-bentuk berupa tindakan atau gerak sehingga terlaksananya upacara Ngerebong. Dalam hal ini juga ditekankan adanya bentuk fisik yang berupa bentuk upakara atau bebantenan yang digunakan dalam prosesi upacara Ngerebong. Dalam teori simbol, disebutkan bahwa terdapat empat peringkat simbol yaitu sebagai berikut:

  • 1.    Simbol Konstruksi

Simbol konstruksi merupakan suatu bentuk kepercayaan dan biasanya inti dari suatu agama, hal ini Nampak pada keyakinan masyarakat Desa Adat Kesiman dalam melaksanakan upacara Ngerebong, dimana upacara Ngerebong ini merupakan suatu tradisi keagamaan yang diwarisi secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Adat Kesiman dan merupakan suatu bentuk upacara keagamaan yang harus dilaksanakan.

  • 2.    Simbol Evaluasi

Simbol evaluasi merupakan suatu penilaian moral yang sarat dengan nilai, norma dan aturan. Nilai-nilai dan aturan ini sebagai pedoman dasar bagi masyarakat Desa Adat Kesiman dalam melaksanakan upacara Ngerebong.

  • 3.    Simbol Kognitif

Simbol kognitif merupakan suatu pengetahuan, dimana pengetahuan yang terkandung di dalam upacara Ngerebong dapat dipahami dan dimanfaatkan untuk menjalankan kehidupan bermasyarakat.

  • 4.    Simbol Ekspresi

Simbol ekspresi merupakan pengungkapan perasaan. Untuk mengungkapkan rasa bakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka dalam pelaksanaan upacara Ngerebong menggunakan banten sebagai sarananya.

Bentuk banten merupakan simbol dari perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi-Nya. Banten juga diperuntukkan sebagai media atau sarana pengungkapan wujud bhakti umat Hindu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk memohon keselamatan, kesejahteraan dan keharmonisan dalam hidup. Berdasarkan simbol dari perwujudan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam upacara Ngerebong, banten merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa sebagai Dewa Giriputri, Dewa Girinatha, Dewa Wisnu, Dewa Brahma dan Ista Dewata. Dari beberapa perwujudan Tuhan Yang Maha Esa dalam upacara Ngerebong, persembahan yang paling ditekankan adalah ditujukan kehadapan Dewa Giriputri dan Dewa Girinatha atau Ratu Agung Dalem Muter, karena istilah Dalem Muter dalam budaya masyarakat Desa Adat Kesiman adalah raja yang menentukan kehidupan, kesejahteraan dan keharmonisan di masyarakat.

Di Pura Agung Petilan inilah peristiwa sejarah kejayaan Raja Kesiman pada masa itu dipadukan dengan teologi Pemutaran Mandara Giri yang perwujudannya sarat dengan nilai-nilai sosio religius dalam bentuk upacara Ngerebong di Desa Adat Kesiman. Dilaksanakannya upacara Ngerebong bagi masyarakat Desa Adat Kesiman adalah untuk memohon anugerah-Nya untuk mendapatkan kebahagiaan yang abadi bagi leluhur dan kesejahteraan, keselamatan serta keharmonisan bagi seluruh masyarakat Desa Adat Kesiman.

Disamping banten sebagai sarana bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk lebih sempurnanya persembahan atau yajna dalam upacara Ngerebong, disertai dengan puja saa atau sasontengan yang dilafalkan oleh Panglurahan atau Panyarikan dalam menghantarkan setiap persembahannya. Japa, mantra dan puja

merupakan unsur utama dalam upacara keagamaan umat Hindu, dimana ada upacara atau yajna pasti akan terdengar mantra dan puja. Mantra dan puja diucapkan dengan suara yang berirama atau beritme yang juga bisa di dengar oleh orang lain di sekitarnya, sedangkan japa merupakan ucapan yang bergema di dalam hati, sehingga hanya bisa di dengar oleh diri sendiri.

I Made Murda selaku Penyarikan Batur Dalem Muter Kesiman menuturkan, bahwa dalam pelaksanaan upacara Ngerebong di Desa Adat Kesiman pada umumnya dipimpin atau dipuput oleh Panglurah atau Penyarikan atau disebut juga dengan Prakulit atau Pemangku yang memakai kampuh poleng dan tidak dipimpin oleh Mangku Gede atau Pandita sebagai lazimnya pada upacara atau yajna Hindu di Bali lainnya. Sesuai bisama para leluhur terdahulu bahwa hanya Prakulit atau Pemangku secara langsung memimpin atau muput upacara Ngerebong tersebut.

Adapun sasontengan yang diucapkan oleh Parakulit atau Pemangku dalam upacara Ngerebong antara lain sebagai berikut:

Singgih Ratu Agung Luwuring Dalem Muter kairing antuk para Manca, Pangerob, taler sanak putu sedaya, ledang paduka Bhatara macecingak, puniki permas padukan Bhatara ngaturang canang apetik sari, peras pejati maka sarining panyanjan katur ring paduka Bhatara. Kirang langkung aturan baktin manusan paduka Bhatara, agung rena sinampura lungsur titian barak paduka Bhatara. Sasampune katur sarining canang apetik sari mangda ledang paduka Bhatara makenak-kenak tedun ngilen pangebekan.

Artinya:

Ya Yang Maha Agung Ratu yang tertinggi beliau Dalem Muter, yang disertai Para Manca, Pangerob, demikian juga anak dan cucu beliau semuanya, sudi kiranya Engkau melihat, hamba ini pengabdi-Mu mempersembahkan canang sepetik bunga, peras pejati, sebagai inti sari panyanjan dipersembahkan untuk-Mu. Kurang lebih persembahan sesajen ciptaan-Mu ini, hamba pengabdi-Mu ini mohon maaf yang sedalam-dalamnya. Setelah persembahan ini hamba haturkan dengan penuh kebahagiaan agar berkenan paduka Bhatara turun

bersenang-senang melaksanakan tahapan-tahapan prosesi Pengebekan.

Dengan sasontengan yang diucapkan oleh panguran atau pemangku dalam memimpin atau mengantarkan upacara Ngerebong itu menambah kesempurnaan upacara tersebut, sehingga mempertebal rasa keyakinan atau sradha masyarakat Desa Adat Kesiman kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Girinatha dan Giri Putri yang mengatur pergerakan alam semesta berserta isinya (Mutering Jagat).

Demikian pula bentuk yang dimaksud dalam upacara Ngerebong adalah eedan atau dudo nan atau proses yang dilakukan dalam pelaksanaan upacara Ngerebong. Proses yang dimaksud dalam hal ini adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upacara Ngerebong dari awal persiapan yaitu menghias Pratima dan Pecanangan, upacara Ngerebong, instrumen pengiring dalam upacara Ngerebong, bentuk busana Prakulit saat upacara Ngerebong, sampai terakhir Metabuh Agung atau Ngincung.

Bentuk Instrumen Pengiring Upacara Ngerebong

Upacara Ngerebong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan religi atau religius performance art. Seni pertunjukan merupakan bagian dari kehidupan suatu masyarakat, ia hadir di tengah-tengah masyarakat tertentu karena diperlukan oleh masyarakat bersangkutan. Diantara sarana yang diperlukan untuk memenuhi upacara dapat berupa seni pertunjukan. Tidak jarang seni pertunjukan berada dalam lingkungan suatu masyarakat untuk kebutuhan upacara tertentu. Upacara sebagai suatu tindakan yang dilakukan menurut adat kebiasaan atau keagamaan untuk menandai kehikmatan suatu peristiwa memiliki bermacam-macam aturan serta sarana dalam menjalankannya. Pertunjukan berwujud di dalam ruang, waktu, konteks sosial, dan budaya masyarakat pendukungnya. Pertunjukan tidak hanya terjadi di atas pentas dan di keraton sebagai tontonan teatrikal, tetapi juga di halaman pura, surau, dan gereja sebagai ritual. Upacara Ngerebong sebagai sebuah seni pertunjukan sudah barang tentu didukung dengan adanya pakaian atau costum, perlengkapan atau property, musik pengiring atau instrument, dan tempat atau setting yang jelas.

Upacara Ngerebong dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk drama religi, yang memiliki tahapan-tahapan tertentu yaitu awal,

tengah, dan akhir. Pada awalnya, setiap kegiatan kreatif manusia yang berhubungan dengan kepercayaan adalah dengan sendirinya sakral. Sakral yang dimaksud bisa bersifat ritual, maksudnya yaitu sifat kebaktiannya bertalian dengan agama animisme, bisa juga religius, maksudnya yaitu sifat keseniannya bersandar pada aturan-aturan agama atau etika ketuhanan. Dengan demikian perlengkapan dan instrumen atau musik dalam upacara Ngerebong sangat dibutuhkan dalam menjalankan sebuah pertunjukkan seni drama yang bersifat religi. Instrumen gamelan pengiring saat upacara Ngerebong disebut gamelan Ancag-Ancagan atau Leluangan. Gamelan Ancag-Ancagan atau. Leluangan ini memiliki pola dan teknik memainkan dan pola lagu atau gending yang menyerupai teknik pada gamelan Luang pada upacara Dewa Yadnya atau Gamelan Saron yang difungsikan sebagai gamelan pengiring dalam upacara Pitra Yadnya, akan tetapi dari bentuk instrumennya, estetika tabuh, reportoar tabuhnya tidak sama dengan gamelan luang itu sendiri, apalagi kalau di lihat fungsinya pada masyarakat Desa Adat Kesiman sebagai gamelan pengiring dalam upacara Ngerebong di pura-pura yang ada di Desa Adat Kesiman tidak terkecuali di Pura Agung Petilan.

Gamelan Ancag-Ancagan atau Leluangan yang dipakai sebagai instrumen pengiring dalam upacara Ngerebong di Desa Adat Kesiman lebih menitik beratkan pada pola gegedik tiga yang dipadukan dari satu instrumen dengan instrumen yang lain dalam satu barung gamelan untuk memenuhi kebutuhan filosofi dan spirit dalam upacara Ngerebong. Gamelan Leluangan yang dipakai mengiringi upacara Ngerebong dipergunakan untuk memenuhi sebuah konsep keharmonisan di lihat dari kata “luang” yang artinya ruang atau kosong, dalam Agama Hindu disebut windu. Gending-Gending Leluangan yang dipakai dalam upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan disesuaikan dengan tahapan-tahapan Pangilen yang berlangsung baik pada saat Pangebekan, Magpag atau Mendak Agung dan Ngerebong. Gending-Gending tersebut adalah Gending Pategak, Gending Pangaksama atau Panyanjan, Gending Mamendak, Gending Panuwu, Gending Pangider Bhuwana atau Ngerenteng, Gending Wayang-Wayang Istri, Gending Wayang-Wayang Lanang juga untuk Pangelong Jiwa, Gending Kala atau Panangkilan Ratu Ayu, dan Ngurek atau Ngunying, Gending

Mabiasa atau Ngeruak Bajra dan Gending Ngincung atau Tabuh Agung.

Khusus untuk instrumen pengiring saat Ngarebek di wantilan pada Pangilen Pangebekan Umanis Galungan, dahulu memakai Gamelan Gambang dari Banjar Bekul Desa Penatih Dangin Puri, karena disebabkan oleh berbagai faktor Gamelan Gambang diganti dengan Gamelan Ancag-Ancagan atau Leluangan. Perangkat Gamelan Ancag-Ancagan atau Leluangan yang dipakai untuk mengiringi upacara Ngerebong biasanya yaitu Gong Sibakan atau setengah dari satu barung gamelan gong kebyar.

Gamelan Ancag-Ancagan atau Leluangan Dokumentasi oleh I Gede Anom Ranuara (2015)

Perwujudan Tuhan Dalam Upacara Ngerebong Membicarakan perwujudan Tuhan dalam upacara Ngerebong perlu kiranya kita mengetahui siapakah sesungguhnya Tuhan itu?

  • 1.    Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, sehingga Tuhan dalam definisi ini berada pada wilayah tanpa batas atau transcendent. Oleh sebab itu tidak mungkin bagi manusia yang memiliki pengetahuan yang sangat terbatas untuk membatasi yang tak terbatas. Tidak ada satu agama apapun atau disiplin spiritual apapun yang mampu masuk dalam wilayah pengetahuan teologi Nirguna Brahman ini. Tuhan dalam konsep Nirguna Brahman, tidak memiliki bentuk tertentu, tidak memiliki nama tertentu, tidak dapat dibayangkan sebagai sesuatu apapun. Tuhan dalam konsep teologi Nirguna Brahman tidak dapat dikenali sebagai apapun, sebab Brahman bukanlah ini atau

itu yang mirip dengan istilah barat yaitu Impersonal God. Kitab suci hindu dengan luas menggambarkan wilayah Tuhan yang Nirguna Brahman ini, sebagai Sloka Bhagawadgita X. 2 dan XII. 5 sebagai berikut:

Na me viduh sura-ganah prabhavan na maharsayah

Aham adir hi devana maharsinam ca sarvasah

Artinya:

Baik para dewa maupun maharsi

tidak mengenal asal mula-Ku sebab dalam segala hal

Aku adalah sumber para dewa dan maharsi

Kleso dhikataras tesam avyaktasakta-cetasam

Avyakta hi gatir dhukam dhvatbhir avapyate

Artinya:

Bagi mereka yang pikirannya dipusatkan kepada Yang Tak Terwujud

Kesulitannya lebih besar, karena sesungguhnya dari Yang Tak Termanifestasikan sukar dicapai oleh orang yang mempunyai badan jasmani

Lebih besar kesulitan yang dialami oleh orang yang pikirannya terpusat pada Tuhan Tak Termanifestasikan, sebab Tuhan Yang Tak Termanifestasikan sukar dicapai oleh orang yang dikuasai oleh kesadaran jasmani.

  • 2.    Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bersifat immanent atau individual, sesungguhnya adalah apa yang disebut oleh teologi barat sebagai teologi monoteisme berada pada wilayah teologi Saguna Brahman, sebab dalam teologi monoteisme barat ini, Tuhan dibayangkan sebagai laki-laki yang berada jauh atau transcendent di suatu tempat yang disebut surga. Dari tempat yang jauh itu, Tuhan mengurusi alam semesta ciptaannya-Nya. Jadi dalam ranah pengetahuan teologi Saguna Brahman yang menggambarkan bahwa Tuhan jauh dan berpribadi atau Personal God, selanjutnya digambarkan sebagai pelaksana berbagai fungsi, misalnya Tuhan dengan fungsi sebagai pencipta dalam agama hindu disebut sebagai Dewa Brahma, Tuhan

dengan fungsi sebagai pemelihara dalam agama hindu disebut sebagai Dewa Wisnu, dan Tuhan sebagai pelebur alam semesta disebut dengan Dewa Siwa. Karena Tuhan adalah maha kuasa, Tuhan dapat dibayangkan seperti seorang maharaja di raja, misalnya dalam agama hindu digambarkan sebagai Dewa Indra, sebagai yang menguasai cinta kasih dalam agama hindu disebut Dewa Kama Jaya dan Dewi Kama Ratih. Semua itu dapat kita lihat pada Pustaka Suci

Bhagawadgita Sloka X. 22 yaitu sebagai berikut:

Vedanam sama-vedo smidevanam asmi vasavah

Indriyanam manas casmi bhutanam asmi cetana

Artinya:

Aku adalah Sama Veda pada Veda-Veda Aku adalah Indra diantara para dewa Aku adalah Manah diantara Indra-Indra Aku adalah kesadaran diantara mahkluk hidup

  • 3.    Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa bersifat empiris atau sawitarka, maksudnya kemahakuasaan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam memberikan kekuatan terhadap    simbol-simbol    keagamaan.

Simbol-simbol keagamaan tersebut sebagai jembatan emas untuk mengekspresikan perasaan dan mengembangkan rasa bakti umat terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena, Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak dapat dibayangkan melalui sembah bakti. Menurut pandangan Advaita Vedanta atau Sangkara, Brahman bukanlah objek, karena ia bersifat Adyasta yang mengatasi pencapaian mata, oleh karena itu Upanisad menyatakan Neti-Neti atau bukan ini bukan itu. Brahman tertinggi dari ajaran Sri Sangkara adalah Tuhan Tak Berpribadi atau Nirguna atau tanpa guna atau tanpa atribut, Nirwikara atau tanpa wujud, dan Niwesasa.

Simpulan

Upacara Ngerebong merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual sakral bagi masyarakat Desa Adat Kesiman, Kota Denpasar. Tradisi tersebut dilaksanakan setiap

enam bulan sekali, tepatnya delapan hari setelah Hari Raya Kuningan. Hingga pada era global saat ini, upacara Ngerebong yang melibatkan banyak pihak dan komponen sosial budaya tersebut tetap dilaksanakan masyarakat di Desa Adat Kesiman. Hal ini merupakan tantangan bagi masyarakat di Desa Adat Kesiman yang tidak menutup diri dari pengaruh modernisasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga kini masyarakat Desa Adat Kesiman memandang bahwa upacara Ngerebong sangat penting bagi kehidupannya karena diyakini dapat menjaga keseimbangan dan kelestarian salah satu budaya turun-temurun di Kota Denpasar. Kebersamaan dalam melaksanakan upacara Ngerebong menunjukkan bahwa masyarakat Desa Adat Kesiman memiliki pandangan hidup, pemaknaan tentang sejarah dan pemahaman tentang keseimbangan alam yang sama kuatnya. Keberlangsungannya yang panjang dan tidak adanya masalah karena selama upacara Ngerebong dilaksanakan, secara sosial dapat dimaknai sebagai konsistensi penghormatan warga masyarakat terhadap ideologi religi di Desa Adat Kesiman sangat tinggi. Sebagai praktik ritual sakral, masyarakat Desa Adat Kesiman tampak lebih percaya dengan apa yang diyakini. Rasa yakinnya terhadap adanya kekuatan gaib di luar kehidupannya telah terefleksi secara sosial struktural. Keyakinan tersebut bisa berkelanjutan terpatri secara baik dalam memori kolektif warga masyarakat Desa Adat Kesiman karena keyakinan tersebut telah terinternalisasi melalui perilaku demonstratif seperti upacara Ngerebong. Agar tidak terjadi disinternalisasi, para tokoh, tetua agama secara intens meneruskan nilai-nilai budaya tersebut dengan mewajibkan warga untuk terlibat langsung dalam rangkaian upacara Ngerebong yang dilaksanakan sesuai dengan tradisi, norma agama, dan adat-istiadat Desa Adat Kesiman.

Sebagai kearifan lokal, hingga seiring perkembangan zaman upacara Ngerebong diyakini dapat menata kehidupan masyarakatnya dalam menjaga kedamaian. Disamping itu, dapat memproteksi kehidupan kolektif peduli lingkungan melalui mekanisme sosial kultural yang damai dalam rangka memperoleh keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan hidup. Masyarakat Desa Adat Kesiman melaksanakan upacara Ngerebong seiring perkembangan zaman secara bertahap sesuai dengan tradisi dan adat-istiadat yang telah dimiliki sejak dahulu. Sebagai sebuah tradisi turun-temurun, upacara Ngerebong

yang diteruskan secara tradisi lisan tersebut dimaknai penting oleh masyarakatnya. Keberlangsungannya yang panjang mengisyaratkan bahwa betapa pentingnya upacara Ngerebong bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Desa Adat Kesiman. Upacara Ngerebong yang dilaksanakan setiap delapan hari setelah Hari Raya Kuningan diartikan memiliki makna khusus bagi masyarakat terkait dengan unsur kepercayaan, politik kekuasaan, sosial, estetis dan ekonomis, baik yang terpusat maupun menyebar. Sebagai sebuah ritual sakral, upacara Ngerebong memiliki proses pelaksanaan yang sarat dengan makna religius.

Sejak awal dipersiapkan, puncak pelaksanaan, hingga akhir pelaksanaan, upacara Ngerebong memiliki makna berbeda-beda sesuai dengan konteks, ruang dan waktu pelaksanaan upacara tersebut. Pelaksanaan upacara Ngerebong yang dipandang sebagai peristiwa religius tersebut banyak melibatkan simbol-simbol sakral, seperti sesaji, upacara penyucian, dan puja mantra. Selain itu, pelaksanaan upacara Ngerebong juga melibatkan para pihak penguasa daerah, baik secara adat maupun Lembaga formal, sebagaimana keterlibatan Pemerintah Kota Denpasar. Oleh sebab itu, dalam berbagai fase kegiatannya menjadikan upacara Ngerebong sebagai sebuah peristiwa budaya selain bermakna religius tolak bala, sosial, ekonomi juga memiliki makna politis.

Implikasi pelaksanaan upacara Ngerebong seiring perkembangan zaman bagi masyarakat di Desa Adat Kesiman tampak langsung menyentuh ciri khas kehidupan mereka, penguatan solidaritas mekanik dan solidaritas organik, beserta kualitas nilai budaya bagi semangat kebersamaan dalam menghadapi tantangan perubahan seiring perkembangan zaman. Ketika upacara Ngerebong dilakukan oleh warga Desa Adat Kesiman tampak mengakibatkan adanya interaksi sosial yang semakin intensif, baik interaksi antarwarga desa maupun lingkungannya. Kebersamaan merupakan penanda bentuk integrasi sosial antara anggota petani dan non-petani. Melalui integrasi sosial itu dapat dilihat penanda bentuk hubungan Tri Hita Karana masyarakat Desa Adat Kesiman kepada Tuhan, sesame manusia, dan lingkungannya. Dalam konteks itu, pelaksanaan upacara Ngerebong tampak berimplikasi terhadap penguatan aspek masyarakat di Desa Adat Kesiman.

Kebersamaan warga dalam melaksanakan upacara Ngerebong merupakan penanda bentuk kebersamaan yang terbangun karena adanya pelaksanaan upacara Ngerebong. Masyarakat Desa Adat Kesiman memaknai bahwa banyaknya warga yang datang ke Desa Adat Kesiman merupakan simbol tingginya animo masyarakat terhadap pelaksanaan upacara Ngerebong. Banyaknya jumlah orang yang ikut dalam persembahyangan bersama di Pura Agung Petilan Pengerebongan selama pelaksanaan upacara Ngerebong merupakan simbol secara faktual dalam rangka memenuhi kepentingan religius warga di Desa Adat Kesiman.

Daftar Pustaka

Buku:

Tantra, I Gusti Ngurah Alit dkk. 1976/1977. Pura Petilan dengan Pengerebongan. Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali.

Titib, I Made. 2000. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Wiana, I Ketut. 2009. Suksmaning Banten. Surabaya: Paramita.

Yudabakti, I Wayan. 2007. Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali. Surabaya: Paramita.

Jurnal:

Moleong, L.J. End Edisi, P.R.R.B., 2004. Jurnal Nasional Metodelogi Penelitian. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.

Raka, Anak Agung Gede. Barong Landung: Inspirasi Daya Tarik Wisata dan Industri Kreatif di Bali, Journal of Bali Studies, Volume 10, Nomor 01, April 2020.

Saputra, I Gede Eka et al., Komunikasi Simbolik Dalam Upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan Desa Pekraman Kesiman Kecamatan Denpasar Timur, Jurnal Penelitian Agama Hindu, Vol. 2 No. 1 Mei 2018.

Saputra, I Made Gede Nesa et al., Eksistensi Upacara Ngerebong di Desa Adat Kesiman Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar, Jurnal Penelitian Agama Hindu, Vol. 2 No. 1 Mei 2018.

Suwena, I Wayan. Dinamika Kebudayaan Bali: Suatu Kajian Kebudayaan Sebagai Proses. Sunari Penjor: Journal of Anthropology. Vol. 2. No. 2. September 2018.

141