Gianyar dalam Perspektif Arkeologi
on
PUSTAKA
JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA
VOL. XX NO. 2 • AGUSTUS 2020
Peningkatan Kualitas SDM Melalui Pelatihan Bahasa Inggris Sebagai Penggiat Literasi Bagi Anak-Anak Jalanan di Yayasan Lentera Anak Bali (YLAB)
Sri Widiastutik, Komang Trisnadewi, I Ketut Setiawan 73
Beda Bahasa dan Berbahasa : Kajian Kepustakaan
Made Henra Dwikarmawan Sudipa 80
Bentuk Tabu Bahasa Korea
Anak Agung Gede Suhita Wirakusuma 84
Desa dan Banjar Sebagai Kesatuan Struktural dan Fungsional Ketut Kaler 93
Standardisasi Pengajaran BIPA: Revaluasi Metode Menuju Kompetensi Komunikatif
Gianyar Dalam Perspektif Arkeologi
Pengembangan Industri Kreatif di Desa Wisata Bona, Belega dan Keramas Perspektif Gender
Perkembangan Seni Patung Garuda di Dusun Pakudui Gianyar
Anak Agung Inten Asmariati 120
Alih Bahasa Figuratif Pada Terjemahan Karya Sastra Puisi
Sang Ayu Isnu Maharani, I Nyoman Tri Ediwan 124
Makna Sapaan Pada Penggunaan Negirai Kotoba: Cerminan Ragam Bahasa Jepang
Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti 130
Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka
PUSTAKA
JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA
P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516
VOL. XX NO. 2 • AGUSTUS 2020
Susunan Redaktur PUSTAKA :
Penanggung Jawab Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.
Pemimpin Redaksi
Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.
Wakil Ketua
I Gusti Ngurah Parthama, S.S., M.Hum.
Sekretaris
Dr. Bambang Dharwiyanto Putro, S.S., M.Hum.
Staf Redaksi
I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.
Dr. Dra. Ni Made Suryati, M.Hum.
Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum. Zuraidah, S.S., M.Si.
Drs. I Wayan Teguh, M.Hum Fransiska Dewi Setiowati Sunarya, S.S., M.Hum
Mitra Bestari
Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A (Unud)
Prof Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt (Unud)
Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A (Unud)
Prof. Thomas Reuter (Melbourne University) Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. (Undiksha) Prof. Dr. Susantu Zuhdi (UI)
Prof. Dr. Irwan Abdulah (UGM)
Pelaksana Tata Usaha :
I Gede Nyoman Konsumajaya
Naskah dikirim ke alamat : jurnalpustaka@unud.ac.id
Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan
Gianyar Dalam Perspektif Arkeologi
I Ketut Setiawan
Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Email: ketutsetiawan28@yahoo.co.id
Abstrak
Gianyar mempunyai potensi yang besar dalam bidang kepurbakalaan, yang ditemukan tersebar di seluruh pelosok desa. Di antara kepurbakalaan itu, ada yang terdapat di kaki perbukitan, di tepi pantai, di tengah persawahan atau ladang, di tengah pemukiman, bahkan ada yang terletak di tengah hutan atau tempat yang sangat terpencil. Semuanya masih berada di tempat aslinya, ketika dahulu dibangun secara gotong-royong. Di daerah ini terdapat ratusan situs arkeologi yang merupakan tinggalan purbakala yang masih berfungsi dalam kehidupan keagamaan penduduk setempat. Tinggalan purbakala menggambarkan hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya. Hal tersebut mencerminkan adanya suatu kesanggupan dan kemampuan, bahkan mungkin suatu keunggulan leluhur dalam kontak-kontak sosial budaya dengan pihak luar.
Kata kunci: Gianyar, arkeologi, identitas, warisan budaya.
Kabupaten Gianyar memiliki potensi dan modal yang cukup memberi harapan dalam pengembangan di masa depan. Berbagai potensi yang dimiliki dan sumber kekayaan budaya menjadi salah satu daya tarik mengapa orang tertarik ke Gianyar. Dalam perspektif ilmu-ilmu humaniora, kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian, heritage, cagar budaya, adalah khasanah manusia kreatif yang mampu mempresentasikan filosofi, tata nilai, karakter, dan kemajuan peradaban. Dari kajian arkeologis secara holistik dan insentif mengangkat temuan, informasi, dan jelajah makna tentang heritage, cagar budaya, perhatian para akademisi dan lembaga-lembaga kebudayaan sangat besar mengapresiasi budaya berskala lokal, nasional, dan internasional.
Bagi masyarakat Gianyar, kebudayaan yang terkait erat dengan religi, ekonomis, ekologi, merupakan asset dan modal yang andal. Bagi Gianyar, kebudayaan sebagai pemberi identitas, basis inspirasi, dan harmoni, adalah sumber kreatifitas yang tidak pernah kering. Kebudayaan yang dijiwai agama Hindu membangun karakter, mengokohkan identitas dan taksu. Keunikan, keragaman, dan keunggulan budaya heritage dalam konteks, lokal, nasional, dan universal, telah mendorong UNESCO memberikan apresiasi dan penghargaan berkelas dunia kawasan heritage Sungai Pakerisan.
Di lain pihak kabupaten Gianyar mempunyai bentang alam dan lingkungan yang menghijau. Keadaan yang demikian menggambarkan kesuburan, dengan hamparan tanah pertanian yang produktif, karena mempunyai sumberdaya alam yang potensial. Di daerah ini terdapat dua belas buah sungai yang merupakan sumberdaya alam yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat, yang menyangkut kepentingan ritual dan keperluan hidup sehari-hari (Sutaba, 2007:4). Sungai-sungai tersebut mendapat air dari sumbernya di kaki pegunungan Kintamani yang subur, sehingga hampir tidak pernah kekurangan cadangan air.
Bentang alam dan lingkungan hidup Kabupaten Gianyar seperti tersebut, memperlihatkan wajah yang sarat dengan tinggalan sejarah kebudayaan masa lalu yang sudah lama menarik perhatian para ahli sejarah, arkeologi, dan kebudayaan. Dua di antara sungai-sungai yang ada di Kabupaten Gianyar yaitu Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu menjadi terkenal dalam sejarah Bali Kuno, karena sepanjang kedua sungai ini telah dibangun kawasan budaya (cultural arcal) yang sampai sekarang masih menjadi kawasan budaya yang sakral. Pada kawasan ini ditemukan sejumlah tinggalan arkeologi yang sampai sekarang masih berfungsi sakral.
Sementara itu, padatnya populasi tinggalan arkeologi (warisan budaya) di kawasan
ini dapat dipandang sebagai suatu indikasi mengenai permukiman masyarakat atau tingginya mobilitas sosial yang terjadi di masa lalu. Konsentrasi tinggalan arkeologi di kawasan budaya tersebut, dapat dianggap sebagai indikasi arkeologi yang cukup beralasan, bahwa peradaban Bali Kuno lahir di kawasan budaya ini. Di kawasan ini, seperti Desa Panempahan, Manukaya, Tampaksiring, Basangambu, Pejeng, Bedulu, dan sekitarnya terjadi persentuhan dengan budaya India yang membawa aksara dan agama Hindu Budha.
Penelitian arkeologi telah menemukan bukti-bukti tertulis (prasasti) yang digoreskan pada stupika tanah liat. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan huruf Pranagari dan bahasa Sanskerta, dan isinya berupa mantra-mantar agama Budha (Stutterheim, 1929) . Secara paleografis dapat diduga bahwa prasasti-prasasti ini dibuat pada sekitar abad VIII-IX Masehi. Kemudian menyusul ditemukan prasasti Panempahan di Desa Manukaya, Tampaksiring, yang menyebut nama raja Sri Kesari Warmadewa memerintah di Pulau Bali pada tahun 913 Masehi. Raja ini merupakan cikal bakal dinasti Warmadewa yang berkuasa di Bali sampai abad XIV Masehi.
Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
Tahap awal mengadakan pengamatan komprehensif untuk memperoleh gambaran holistik kondisi kepurbakalaan di Kabupaten Gianyar. Pada tahap ini dilakukan pula wawancara dan studi pustaka yang terkait dengan keberadaan situs arkeologi. Wawancara tidak terstruktur dengan nara sumber dan para informan untuk mendapat informasi dan penjelasan yang dianggap perlu. Sedangkan studi pustaka, yaitu untuk memperoleh data sekunder dan pandangan para peneliti sebelumnya.
Analisis menggunakan analisis kualitatif ditopang oleh analisis kuantitatif, untuk memperoleh gambaran persebaran situs atau mobilitas sosial berdasarkan jumlah situs. Analisis kontekstual dan studi komperatif juga dilakukan untuk mencermati kehidupan masyarakat Gianyar dalam konteksnya yang luas serta mencari
kemungkinan adanya suatu perkembangan hidup yang parallel dengan masyarakat lainnya pada masa yang hampir bersamaan.
Budaya Bali, khususnya Gianyar, yang mulai berkembang sejak zaman prasejarah, dibuktikan dengan berbagai temuan tinggalan prasejarah bernilai seni, seperti gerabah, artefak logam, sarkofagus, dan arca-arca. Salah satu artefak logam yang sangat unik adalah sebuah nekara perunggu yang tersimpan di Pura Penataran Sasih, di Desa Pejeng. Benda ini oleh masyarakat setempat disebut “bulan pejeng, yang merupakan sebuah nekara terbesar di Asia Tenggara (Kempers, 1960:64). Selanjutnya semua bentuk-bentuk karya seni budaya tersebut menjadi dasar penyangga dalam menerima masuknya pengaruh budaya India yang membawa kebudayaan Hindu Budha.
Dalam perkembangan selanjutnya, budaya Hindu Budha berkembang pesat di Kabupaten Gianyar. Hasil penelitian (Geriya, 2013) melalui invetarisasi menunjukkan bahwa situs-situs arkeologi tersebar di seluruh Kabupaten Gianyar seperti di bawah ini.
Jumlah Situs Arkeologi di Kabupaten Gianyar
No |
Kecamatan |
Nama Situs |
1 |
Blahbatuh |
Relief Yeh Putu, Goa Gajah, Petirtaan Goa Gajah, Relief Stupa Goa Gajah, Candi Tebing Tegalingah, Pura Santrian, Museum Gedong Arca, Pura Samuan Tiga, Pura Subak Kedangan, Pura Pengubengan, Penyimpenan Bhatara Danu, Pura Padarman Kutri, Pura Kejaksan, Pura Dalem Celuk, Pura Musen, Pura Tampak Sidi, Pura Suka Luwih, Pura Pangastulan, Pura Puseh Saba, Pura Dalem Saba, Pura Dalem Adegan Saba, Pura Kenuruhan, Pura Gunung Sari, Pura Batan Keladi, Pura Puseh Banda, Puru Btituan, Pura Puseh Desa Blangsinga, Pura Puseh Amping, Pura Besakih, Pura Penataran Perangsada, Pura Batan Pakel |
2 |
Tampaksiring |
Pura Kebo Edan, Pura Pusering Jagat, Candi Kelebutan Tatiapi, Candi Tebing Kerobokan, Pura Penataran Sasih, Pura Taman Sari, Pura Kembang Rijasa, Pura Batan Klecung, Pura Sakenan Manukaya, Pura Pentaran Panglan, Pura Pegulingan, Pura Melanting, Pura Desa Dapdapan, Pura Penataran Tampaksiring, Pura Yeh Mengening, Pura Mengening, Pura Penataran Belusung, Pura Puseh Sanding, Pura Desa Gumang, Pura Puseh Penampihan, Pura Bedugul Kana, Pura Agung Batan Bingin, Pura Alas Arum, Pura Kanaruhan, Pura Galang Sanja, Pura Nguntur, Pura Penataran Nyembulan, Pura Batan Camplung, Pura Yeh Ayu, Pura Kepatihan, Palinggih Arca Masurat, Pura Ratu Mas Megening, Pura Mas Meketel, Pura Raja Suta, Pura Puseh Masceti, Pura Ulun Suwi, Pura Saren, Pura Pegending, Pura Pasar Melanting, Pura Gunung Kawi, Pura Pangukur-ukuran, Pura Tirta Empul, Pura Masceti Sangging, Pura Panti Tarukan, Pura Sarasidi, Pura Bintang Kuning, Bale Agung Pasalakan |
3 |
Gianyar |
Pura Sibi Alit, Relief Bebitra, Pura Sibi Agung, Candi Tebing Gunung Kawi, Pura Pucak Buron Alit, Pura Blanjong, Pura Bukit Jati, Pura Dalem Koripan, Pura Puseh Sidan, Pura Ulun Suwi, Pura Candi, Pura Puseh Desa Taulan, Pura Jeron Dewa Keloncing, Pura Ratu Bajang, Pura Gaduh, Pura Bukit, Pura Puseh, Pura Pucak Rinjani, Pura Bet, Pura Bukit |
4 |
Tegallalang |
Pura Telaga Wijaya, Pura Dalem Manuaba, Pura Bolo, Pura Pucak Sabang, Pura Dalem Manuaba, Pura Puseh Manuaba, Pura Puseh Uakan Taro |
5 |
Ubud |
Candi Tebing Jukut Paku, Ceruk Campuhan, Pura Penataran Laplapan, Pura Penataran Kacang Bubuan, Pura Puseh Mawang, Pura Sakenan Ubud, Pura Pucak Sari Peliatan, Pura Penataran, Pande, Pura Desa Peliatan |
6 |
Sukawati |
Pura Hyang Tiba, Pura Canggi, Pura Gapura Canggi, Pura Puseh Wasan, Pura Dalem Manyelangu, Pura Lumbung, Pura Hyang Aga, Pura Puseh Desa Kemeruh, Pura Gandalangu Tengkulak, Pura Dalem Sakembang |
7 |
Payangan |
Pura Penataran Air Jeruk, Pura Puseh Penganjingan, Pura Puseh Bukian, Pura Eer Bas, Pura Masceti Bukian, Pura Hyang Isung Bukian, Pura Dalem Bukian, Pura Bedugul, Pura Puseh Subilang |
Fakta realitas di lapangan dapat memberi persaksian bahwa Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten/kota di Bali yang paling banyak memiliki tinggalan-tinggalan arkeologi masa lalu. Tinggalan-tinggalan terpenting dari jaman yang diwakili dengan kualitas unggulannya kebanyakan berada di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan dan Petanu. Desa yang berada di antara ke dua DAS tersebut adalah Desa Pejeng dan Desa Bedulu. Ke dua desa tersebut tercatat sebagai wilayah basisnya tinggalan-tinggalan arkeologi terutama berupa seni arca yang ratusan jumlahnya dan hampir semuanya tersimpan di dalam puluhan tempat suci (pura). Di DAS Pakerisan sendiri, mulai dari hulu yaitu Pura Tirta Empul dengan keunikan sumber airnya disebutkan dalam prasasti yang berangka tahun 960 Masehi (Goris, 1954a: 75-76; Damais, 1955: 224-225, dalam Wayan Ardika, dkk., 2013: 113); ke selatan Candi Mengening, Tampaksiring; Candi Tebing Gunung Kawi, Tampaksiring; Candi Tebing
Kerobokan, Pejeng; Candi Pengukur-ukuran, Pejeng; Candi Tebing Tegallingah, Bedulu; Relief Bitra, Gianyar; dan hilirnya di pantai Masceti Medahan-Keramas, Blahbatuh. Di DAS Petanu juga terdapat sebuah tinggalan penting yang mewakili dua keyakinan (agama) yaitu Hindu-Buda yang lebih populer disebut situs Goa Gajah. Bila dikaitkan dengan pengendali kekuasaan di Bali, bahwa semua tinggalan yang dimaksud berasal dari pemerintahan raja-raja dinasti Warmadewa, Sri Kesari sebagai cikal-bakal rajaraja dinasti Warmadewa, meninggalkan tiga buah prasasti, yaitu dua buah berada di daerah pegunungan (Malat Gede dan Panempahan, Tampaksiring), dan sebuah lagi di Blanjong, Sanur sebagai wilayah lautnya. Ke tiga buah prasasti berangka tahun sama yaitu 835 Caka (913 Masehi) (Goris, 1948).
Berdasarkan atas posisi (letak) dari tinggalan-tinggalan budaya masa lalu yang sampai kepada kita saat ini, dengan basisnya berada di DAS Pakerisan dan Petanu, serta dua buah desa yang ada di antaranya yaitu Desa Pejeng dan Bedulu, tidak berlebihan bilamana para peneliti asing seperti: Goris, Kempers, Stutterheim menyebutkan bahwa pusat kekuasaan di jaman Bali Kuna berada di Desa Pejeng dan Bedulu. Ketiga peneliti asing ini memiliki cara masing-masing dalam penelitiannya. Goris misalnya, lebih konsentrasi meneliti di bidang prasasti; Kempers dan Stutterheim lebih konsentrasi pada tinggalan-tinggalan budayanya, seperti candid an seni arca. Sinergis dari pendekatan yang dilakukan melalui cara yang berbeda-beda, bermuara dalam sebuah integrasi yang melahirkan temuan yang dapat mengambarkan siapa tokoh yang mengendalikan kekuasaan serta hasil karya budaya yang dibangun di era pemerintahannya. Berdasarkan periodisasi tinggalan-tinggalan budaya yang ditawarkan oleh Stutterheim, tinggalan-tinggalan yang ada di DAS Pakerisan dan Petanu serta di Desa Pejeng dan Bedulu termasuk ke dalam periode Bali Kuna (10-14 Masehi). Ketika itu yang mengendalikan pemerintahan adalah raja-raja dari dinasti Warmadewa.
Bila di urut dari utara yaitu hulu Sungai Pakerisan, berturut-turut mulai Pura Tirta Empul; Candi di Pura Mengening; Candi Tebing Gunung Kawi; Candi Pura Pengukur-ukuran; Pura Bukit Dharma Kutri; dan situs Goa Gajah yang berada di DAS Petanu, semuanya memiliki keterkaitan dengan pemerintahan raja-raja di jaman Bali
Kuna. Dari sumber yang ada, dapat diketahui bahwa pada masa pemerintahan Raja Udayana, Bali mengalami masa keemasan. Secara tradisi diyakini bahwa ketika Udayana mengendalikan pemerintahan di Bali, beliau didampingi oleh seorang pendeta yang bijaksana yaitu Mpu Kuturan. Beliau adalah seorang tokoh agama dan spiritual yang berhasil menyatukan sekte-sekte yang ada di Bali, yang kerap benturan sebagai akibat adanya perebutan kepentingan. Tempat di mana pertemuan tersebut digelar saat ini terkenal dengan sebutan Pura Samuan Tiga. Samuan Tiga berarti pertemuan yang membahas tentang pabam tiga atau tri murti. Di Pura Samuan Tiga lah tempat lahirnya konsep tri murti, sebagai manifestasi dari kekuatan tiga Hyang Maha Kuasa, yaitu sebagai pencipta (Brahma), pemelihara (Wisnu) dan pelebur (Siwa). Semua sekte mengakui keberadaan dewa tri murti yang diejawantahkan (ditransformasi) dalam bentuk bangunan suci berupa pura yang kini lebih popular disebut kahyangan tiga (pura puseh, pura desa, dan pura dalem) yang masing-masing sebagai tempat bersthananya Batara Brahma, Batara Wisnu, Batara Siwa.
Mengamati karya-karya monumental yang dihasilkan selama periode Bali Kuna, baik di DAS Pakerisan, DAS Petanu, maupun di Desa Pejeng Bedulu dan di sekitarnya, muncul suatu keyakinan bahwa di jaman Bali Kuna pusat peradaban seni budaya berada di Gianyar, serta Desa Pejeng dan Bedulu adalah sebagai pusat kekuasaan. Sesungguhnya banyak elemen pendukungyang memperkuat bahwa Pejeng Bedulu sebagai pusat kerajaan di jaman Bali Kuna. Sebut saja Goris (dalam Srijaya, 2012:62) dengan tegas mengurai bahwa Pura Penataran Sasih berstatus tri kahyangan kerajaan, dan Kempers (1960) menyebut bahwa Pura Penataran sebagai palemahan (penataran) kerajaan, dan Pura Puncak Panulisan, Kintamani sebagai pura gunungnya, dan Stutterheim (1929) mempertegas lagi dengan banyaknya jumlah geria (rumah pendeta), yang setidaknya ada 9 buah geria di Pejeng. Seperti diketahui bahwa kehadiran pendeta di tengah-tengah kerajaan yang secara khusus menangani urusan bidang agama dan spiritual, tentu tidak dapat diabaikan. Semua uraian di atas semakin memperkuat keyakinan bahwa Desa Pejeng dan Bedulu adalah merupakan pusat kekuasan (kerajaan) di masa Bali Kuna, sekaligus sebagai pusat aktivitas agama dan budaya (Munandar, 2005; Ardana dkk, 2012).
Desa Pejeng dan Bedulu dipilih sebagai wilayah pemukiman kerajaan tidak terlepas dari keberadaan lingkungan alamnya yang berada di antara dua buah sungai besar yaitu Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu. Keberadaan ke dua buah sungai tersebut dipandang banyak memberi dampak positif baik dalam pengembangannya sebagai daerah kekuasaan maupun sebagai tempat pemukiman penduduk. Dengan didukung oleh debit air sungai yang cukup besar sangat berpengaruh terhadap tingginya tingkat kesuburan tanah, diyakini dapat memberi peluang yang cukup tinggi untuk pengembangan kehidupan budaya agraris. Pada kenyataannya, bahwa dua buah organisasi subak yaitu Subak Kulub dan Subak Pulagan kini masih menjadikan Sungai Pakerisan sebagai sumber pengairan pertaniannya. Jelas pula bahwa ada dua kepentingan berbeda yang saling bersinergis di wilayah sepanjang Sungai Pakerisan, yakni antara penguasa dengan masyarakat khususnya warga petani. Penguasa (raja) sangat berkepentingan dengan Sungai Pakerisan sebagai tempat dijadikan perhelatan ritual keagamaan, baik untuk tujuan meditasi maupun berkomunikasi dengan roh suci leluhur yang telah dianggap bersatu dengan dewa penitisnya. Warga subak berkepentingan dengan sumber air Pakerisan untuk kebutuhan irigasi. Hubungan intensif di antara kedua belah pihak dengan membawa kepentingan berbeda, terbangun dalam sebuah integrasi yang puncaknya menuju pada kesejahteraan, baik lahir dengan terwujudnya kesejahteraan para petani maupun batin yakni dengan terwujudnya kedamaian rohani kalangan penguasa (raja).
Selanjutnya, ternyata vibrasi roh suci yang bersemayam di pedharmaan sepanjang DAS Pakerisan tanpa disadari dapat menjadi spirit dan menginspirasi lahirnya nama-nama lembaga besar di Bali, yaitu Universitas Udayana dan Kodam Udayana. Ke dua lembaga penting dengan mamakai nama sama (satu) yaitu Udayana, masing-masing memiliki misi pendidikan dan keamanan. Niscaya terinspirasi oleh getaran kedamaian dan kesejahteraan yang diberikan oleh jiwa (roh) Pakerisan terhadap raja-raja besar yang didharmakan di DAS Pakerisan, salah satu di antaranya adalah Candi Mengening “Pedharmaan Udayana”, dengan penuh harapan dapat menginspirasi agar Bali senantiasa dalam keadaan damai dan sejahtera. Pada kenyataannya yang tampak dewasa ini adalah bahwa nama Udayana tidak hanya sekadar simbol mengenang masa lalu
kebesaran sebuah dinasti kerajaan, namun juga memberi kekuatan (spirit) untuk menjadi sebuah lembaga besar dan memiliki karisma, wibawa, dan taksu. Terbukti bahwa dewasa ini Universitas Udayana betul-betul merupakan salah satu universitas terbesar di Bali, dan berada dalam satu barisan bersama universitas-universitas besar lainnya di nusantara, seperti: Unversitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Airlangga. Demikian pula Kodam Udayana, yang kini menguasai tiga wilayah, yaitu: Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Nama besar Udayana memancarkan refleksi kejayaan, kebesaran dan kemuliaan yang menginspirasi seperti karisma, wibawa, taksu dengan keunggulan, dari masa kejayaan Udayana di masa silam (Geriya, 2013).
Desa pakraman yang dibangun oleh Mpu Kuturan di Jaman Udayana, keberadaannya sangat potensial, yaitu memiliki misi vital dalam menata dan memelihara kerukunan hidup masyarakat dan didukung oleh budaya agraris (subak) yang mendapat perhatian secara intensif di Jaman Anak Wungsu. Demikian pula, kegiatan ritual keagamaan di kahyangan tiga yang tidak pernah luput dari kehadiran seni budaya, dapat membuat kehidupan seni budaya menjadi lebih mantap. Keadaan seperti itu berlanjut terus sampai dengan berakhirnya masa kekuasan raja-raja Bali Kuna. Walaupun jaman telah berubah dan pusat kekuasaan berpindah dari Pejeng ke Samprangan (Gianyar) dan selanjutnya ke Gelgel (Klungkung), namun bangunan suci baik yang berada di DAS Pakerisan dan Petanu, maupun di Desa Pejeng dan Bedulu, tetap mendapat perhatian dan pemeliharaan, oleh karena umat di sekitarnya masih membutuhkan sebagai tempat beribadatan. Berkat nilai adab yang dimiliki, beberapa hasil karya budaya monumental yang ada di sepanjang sungai Pakerisan, seperti: Pura Pagulingan dan Pura Tirta Empul di bagian hulu sungai, Pura Mengening, dan Candi Tebing Gunung Kawi; dan didukung oleh budaya agraris (subak) yang memberdayakan aliran sungai Pakerisan sebagai sumber air pertanian dan perkebunan di Subak Pulagan dan Subak Kulub, dengan berbagai kekhususan yang dimiliki, sejak 29 Juni 2012, melalui sidangnya di Saint-Petersburg-Rusia, UNESCO memutuskan semua situs tersebut sebagai warisan budaya dunia (World Heritage Committee, 2012). Dengan predikat yang diberikan UNESCO, jelaslah bahwa warisan budaya yang ada di DAS Pakerisan, berikut
ratusan tinggalan seni arca yang ada di Desa Pejeng dan Bedulu, tidak hanya memiliki nilai agama, sejarah, ilmu pengetahuan, dan seni budaya, namun juga memiiiki nilai adab yang tinggi. Artinya, bahwa semua karya seni arsitektur yang dibangun di jaman raja Udayana dan kemudian dilanjutkan oleh keturunannya, baik Marakata, maupun Anak Wungsu, dan berlanjut terus sampai berakhirnya kekuasaan raja-raja dinasti Warmadewa setelah jatuh ke tangan Majapahit tahun 1343 Masehi (Slametmulyana, 1979:142), mengindikasikan bahwa pusat peradaban di Jaman Bali Kuna berada di Desa Pejeng dan Bedulu.
Era pariwisata global yang tengah berkembang dengan pesatnya dewasa ini memberikan warna khusus terhadap dinamika dan perubahan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Gianyar. Budaya pariwisata global membuat tidak adanya sekat (jarak) antara negara satu dengan yang lainnya, sebagai konsekuensinya dapat membuat semakin dekatnya hubungan antara negara-negara di dunia, termasuk hubungan Indonesia dengan negara-negara lainnya. Menurut Salazar (2006: 188), bahwa arus global yang termanifestasi sebagai pariwisata, tidak hanya membangun hubungan antar negara semakin dekat, namun juga membuat kaburnya batas-batas sosial dan budaya wilayah tradisional, serta dapat menciptakan bentuk-bentuk hibrida. Namun Indonesia, khususnya Bali, termasuk Gianyar, sangat diuntungkan dengan keadaan tersebut, oleh karena memiliki kekhasan terutama di bidang adat kebiasaan, tatacara upacara keagamaan, dan seni budayanya, serta didukung oleh indahnya panorama alam pantai, sungai, dan pegunungan, sehingga mudah untuk dikenal, baik oleh masyarakat luar maupun masyarakat dunia internasional. Seiring dengan dinamika dan perubahan yang terjadi saat ini sebagai dampak dari arus budaya global, ternyata hal itu sekaligus memberikan ruang gerak terhadap seni dan budaya lokal untuk lebih dikenal di tataran masyarakat nusantara, bahkan masyarakat dunia.
Dari uraian di atas sudah jelas bahwa tinggalan arkeologi sebagai bukti sejarah dan identitas sangat penting artinya bagi pembangunan kebudayaan. Pemerintah telah menyadari arti penting dan manfaat benda cagar budaya tersebut, dan telah melakukan berbagai
tindakan perlindungan, penyelamatan, dan pelestarian. Pelestarian tinggalan arkeologi merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan kebudayaan bangsa.
Dalam pembangunan berwawasan kebudayaan, tentu kebudayaan menjadi landasan utama bagi pembangunan. Dengan strategi ini, maka kebudayaan mampu membentuk kepribadian masyarakat yang kokoh dan utuh, sehingga mampu meningkatkan kualitasnya. Oleh karena itu, dalam pembangunan berwawasan budaya penghayatan pada nilai-nilai budaya sangat diperlukan dan harus diusahakan secara berkesinambungan. Demikian juga halnya wawasan lingkungan, tentu saja dimaksudkan dalam pengertian yang luas, yaitu lingkungan alam dengan segala isinya perlu dilestarikan bersama-sama.
Dalam usaha pelestarian nilai-nilai budaya, sesungguhnya mengandung makna yang sangat dalam, yaitu menumbuhkan dan memperkuat ketahanan budaya. Ketahanan budaya sangat diperlukan sebagai landasan bagi pembangunan manusia seutuhnya, di atas kepribadian sendiri yang berakar pada sejarah leluhur. Ketahanan budaya akan menjadi sanjata penangkal di masa mendatang, dalam menghadapi segala pengaruh budaya dari luar yang tidak selamanya menguntungkan.
Daftar Pustaka
Geriya, I Wayan, dkk. 2013. Revitalisasi Gianyar Menuju Kabupaten Unggulan dalam Bidang Seni Budaya. Denpasar Deva Communications.
Ki Purba. 1980. “Peninggalan Purbakala dan Mobilitas Sosial Budaya” dalam Analisis Kebudayaan Tahun III No. 1. Dep. P & K.
Kempers, Bernet. 1977. Monumental Bali, Introduction to Balinese Archaeology Guide to Monument. Den Haag.
Koesnadi, Hardisumantri. 1983. “Peranan Arkeologi dalam Pembangunan”, Analisis Kebudayaan Tahun IV No. 3. hal. 139142. Dep. P & K.
Nimpoeno. 1980. “Fungsi Warisan Budaya Sebagai Pembentuk Sikap Terhadap Pembangunan Bangsa” Analisis Kebudayaan Tahun I No. 1 hal. 26-31. Dep. P & K.
Sutaba, I Made. 1991. Pelestarian Peninggalan Purbakala dalam Pembangunan
Berwawasan Budaya. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Warmadewa.
______. 2007. Sejarah Gianyar dari Zaman Prasejarah Sampai Masa Baru Modern: Pemerintah Kabupaten Gianyar.
Stutterheim, WF. 1929. Oudheden Van Bali. Kertya Van der Tuuk.
113
Discussion and feedback