Standardisasi Pengajaran Bipa: Revaluasi Metode Menuju Kompetensi Komunikatif
on
PUSTAKA
JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA
VOL. XX NO. 2 • AGUSTUS 2020
Peningkatan Kualitas SDM Melalui Pelatihan Bahasa Inggris Sebagai Penggiat Literasi Bagi Anak-Anak Jalanan di Yayasan Lentera Anak Bali (YLAB)
Sri Widiastutik, Komang Trisnadewi, I Ketut Setiawan 73
Beda Bahasa dan Berbahasa : Kajian Kepustakaan
Made Henra Dwikarmawan Sudipa 80
Bentuk Tabu Bahasa Korea
Anak Agung Gede Suhita Wirakusuma 84
Desa dan Banjar Sebagai Kesatuan Struktural dan Fungsional Ketut Kaler 93
Standardisasi Pengajaran BIPA: Revaluasi Metode Menuju Kompetensi Komunikatif
Gianyar Dalam Perspektif Arkeologi
Pengembangan Industri Kreatif di Desa Wisata Bona, Belega dan Keramas Perspektif Gender
Perkembangan Seni Patung Garuda di Dusun Pakudui Gianyar
Anak Agung Inten Asmariati 120
Alih Bahasa Figuratif Pada Terjemahan Karya Sastra Puisi
Sang Ayu Isnu Maharani, I Nyoman Tri Ediwan 124
Makna Sapaan Pada Penggunaan Negirai Kotoba: Cerminan Ragam Bahasa Jepang
Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti 130
Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka
PUSTAKA
JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA
P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516
VOL. XX NO. 2 • AGUSTUS 2020
Susunan Redaktur PUSTAKA :
Penanggung Jawab Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.
Pemimpin Redaksi
Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.
Wakil Ketua
I Gusti Ngurah Parthama, S.S., M.Hum.
Sekretaris
Dr. Bambang Dharwiyanto Putro, S.S., M.Hum.
Staf Redaksi
I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.
Dr. Dra. Ni Made Suryati, M.Hum.
Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum. Zuraidah, S.S., M.Si.
Drs. I Wayan Teguh, M.Hum Fransiska Dewi Setiowati Sunarya, S.S., M.Hum
Mitra Bestari
Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A (Unud)
Prof Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt (Unud)
Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A (Unud)
Prof. Thomas Reuter (Melbourne University) Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. (Undiksha) Prof. Dr. Susantu Zuhdi (UI)
Prof. Dr. Irwan Abdulah (UGM)
Pelaksana Tata Usaha :
I Gede Nyoman Konsumajaya
Naskah dikirim ke alamat : jurnalpustaka@unud.ac.id
Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan
Standardisasi Pengajaran BIPA: Revaluasi Metode Menuju Kompetensi Komunikatif
I Ketut Darma Laksana
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana darma_laksana@unud.ac.id
Abstract
The method of language teaching to achieve communicative competencies to be a choice in second language learning has not developed widely at this time. This paper aims to present the workings of the Linguistic Method as a form of revaluation of traditional methods of language teaching which are considered to have not met the requirements of BIPA Teaching Standardization. The traditional teaching methods applied so far still revolve around the Direct Method and Translation Method. Both of these methods are suspected of not being able to bring learners to communicative competence. The application of the Direct Method has not shown maximum results because it only relies on teaching methods by prioritizing the use of the target language (second language), but the issue of teaching material does not receive an adequate portion to achieve the expected communicative competence. Similarly the Translation Method which basically attempts to convey material by translating it into learner language (generally in English to deal with heterogeneous classes), nor touching teaching material. In connection with that, Cognitive Linguistics which gave birth to Cognitivism Theory and is known as the Linguistic Method in second language teaching is important to be applied to achieve communicative competence. By the standardization it means that method of language teaching must be measured by the linguistic methods itself as a guidance: teaching each aspect of language, such as grammatical patterns, vocabulary groups, and sound devices is carried out in five stages, namely recognition, imitation, repetition, variation, and selection.
Keywords: standardization of teaching, communicative competence, linguistic methods.
Pengalaman mengajarkan bahasa Indonesia selama puluhan tahun menunjukkan bahwa metode tradisional yang diterapkan, dalam hal ini metode langsung atau metode terjemahan, belum menjamin keberhasilan dalam pengajaran BIPA untuk menuju ke kompetensi komunikatif. Sumber materi ajar berikut metode pengajarannya wajib dicari terus, dan pada akhirnya ditemukan sumber yang relevan untuk pengajaran BIPA.
Metode Linguistik yang dikemukakan oleh DeCamp (1978) dapat digunakan sebagai pegangan dalam membuat Standardisasi pengajaran BIPA. Menurut DeCamp, metode penubian (drilling) sebagiannya masih bisa diterapkan, karena bagaimanapun, pengajar tidak bisa lepas dari kebiasaan itu, dan akan berpengaruh pada pemahaman materi ajar. Sementara itu, konsep pengajaran bahasa yang dapat meningkatkan kompetensi komunikatif dikemukakan oleh Broughton et al. (1978). Menurut Broughton et al. (1978:26), belajar menggunakan bahasa mencakup hal yang lebih
besar daripada hanya pada pemerolehan tata bahasa dan kosakata dan lafal yang berterima. Kompetensi komunikatif yang dimaksud harus menempatkan penggunaan bahasa sesuai dengan situasi, partisipan, dan tujuan yang mendasar.
Hal itulah yang melatarbelakangi penulisan makalah ini. Metode tradisional yang masih diterapkan dalam pengajaran bahasa kedua perlu direvaluasi untuk mencapai apa yang dinamakan “kompetensi komunikatif”. Kenyataan menunjukkan bahwa selama ini pengajar masih menerapkan metode yang bersifat statis sehingga penguasaan pembelajar khususnya tentang materi tata-bahasa bahasa Indonesia belum memadai. Pengajar masih berpegang pada metode AudioLingual yang ditandai sepenuhnya oleh “penubian” (drilling) mengenai satuan-satuan pembentuk sebuah kalimat dan proses gramatikal lainnya tanpa memperhatikan pentingnya penguasaan “sistem kaidah dasar” dan “konteks” penggunaan bahasa.
Pada level 1, penerapan metode AudioLingual masih bisa diandalkan karena umumnya pembelajar baru berkenalan dengan bahasa
Indonesia. Namun, memasuki level 2, apalagi level 3, pembelajaran harus bergerak lebih maju. Seperti diketahui, sistem tata-bahasa bahasa Indonesia yang ditandai oleh kekhasannya pada aspek afiksasi (bahasa Indonesia tergolong bahasa aglutinatif) paling sulit dipahami oleh pembelajar. Sekali lagi, hal penting yang perlu diketahui ialah bahwa kompetensi komunikatif itu dicirikan oleh penguasaan tata bahasa yang baik serta aspek pragmatiknya.
Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas, pertanyaan yang harus dijawab oleh pengajar adalah sebagai berikut:
-
(1) Model standardisasi pengajaran BIPA seperti apa yang tepat diterapkan?
-
(2) Bagaimakah proses pembelajarannya?
-
(3) Bagaimanakah sistem evaluasinya?
Untuk menjawab pertanyaan (1) dikemukakan teori tentang pengajaran bahasa dan metode yang digunakan. Sementara itu, untuk pertanyaan (2) dijawab dengan mengungkap metode/tahapan-tahapan yang terdapat pada model standar pengajaran bahasa kedua. Terakhir, untuk pertanyaan (3) dijawab dengan pemberian pelatihan menjawab soal-soal, dalam hal ini mata ajar yang diampu.
Standardisasi dalam pengajaran bahasa mengandung konsep penyesuaian bentuk, baik ukuran maupun kualitas, dengan pedoman (standar) yang diterapkan. Berikut adalah ulasan singkat tentang teori dan metode yang salah satu di antaranya menjadi pilihan para pengajar BIPA.
Pada umumnya dibedakan dua macam teori dalam pengajaran bahasa, yaitu Teori Behaviorisme dan Teori Kognitivisme. Cara kerja kedua teori ini melahirkan metodenya masing-masing yang menandai zamannya. Teori Behaviorisme berkembang lebih dahulu, sedangkan Teori Kognitivisme berkembang belakangan (lihat Field, 2005:17-20).
Teori Behaviorisme berpandangan bahwa pengajaran bahasa merupakan sebuah bentuk perilaku yang bersifat otomatis (Field, 2005:5). Teori Behaviorisme banyak kesamaannya dengan
“teori” dalam percobaan Pavlov tentang seekor anjing (Pavlov’s dog) yang ditempatkan dalam kurungan. Anjing akan memperlihatkan perilaku tertentu ketika bel dibunyikan. Karena dikondisikan demikian rupa, setiap bel dibunyikan, anjing itu menunjukkan perilaku yang sama: lapar dan ingin makan. Demikianlah sinyal dengan suara bel merupakan stimulus, anjing bergerak dan mengendus-endus menandai respons, dan makanan yang diberikan menjadi penguatan (reward).
Dalam pengajaran bahasa, Teori Behaviorisme melahirkan metode Audio-Lingual. Metode pembelajaran ini menciptakan konsep “penubian” (drilling), yang diterapkan secara konstan pada pembelajar yang diikuiti oleh penguatan positif ataupun negatif, kemudian menjadi fokus dari aktivitas kelas. Kebiasaan (habits) dalam bahasa dibentuk melalui repetisi yang bersifat tetap dan penguatan dari pengajar. Kesalahan secara langsung diperbaiki dan pembetulan ujaran segera muncul. Metode pembelajaran Audio-Lingual mencapai keberhasilan yang tinggi khususnya dalam pelatihan bahasa asing untuk personel militer.
Berbeda dengan Teori Behaviorisme, Teori Kognitivisme memandang pangajaran bahasa bukan sebagai bentuk perilaku, melainkan sebagai sebuah seluk-beluk pemahaman atas konsep “sistem kaidah dasar”. Sebagian besar pemerolehan bahasa merupakan aktivitas pembelajaran sistem itu. Pada awalnya, teori pengajaran yang bersifat kognitif itu mencoba menerapkan metode “mim-mem” (mimicry and memorization) ‘menirukan dan menghafalkan’, yang hakikatnya lebih modern dibandingkan dengan metode Audio-Lingual. Akan tetapi, penerapan metode “mim-mem” tersebut tampaknya tidak memberikan hasil pembelajaran yang memuaskan karena belum banyak menyentuh materi ajar. Oleh karena itu, Teori Kognitivisme dalam pengajaran bahasa kedua yang bernaung di bawah Linguistik Kognitif itu bergerak lebih maju dengan metodenya yang dikenal sebagai Metode Linguistik (DeCamp, 1978).
Konsep dasar Metode Linguistik yang berupa “sistem kaidah dasar” tersebut memuat cara pembelajaran yang berkaitan dengan aspek-aspek bahasa, seperti pola-pola gramatika, kelompok kosakata, dan perangkat bunyi. Semua
unsur ini diajarkan melalui lima tahapan sebagai berikut: (1) Rekognisi, (2) Imitasi, (3) Repetisi, (4) Variasi, dan (5) Seleksi (DeCamp, 197:157168). Kelima tahapan ini akan diulas lebih jauh pada Bagian 3 di bawah ini.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang memiliki kompetensi komunikatif diperlukan apa yang dinamakan “produktivitas” dan “kompleksitas struktural” (Broughton et al., 1978:35) dan kesesuaian konteks penggunaan bahasa. Sehubungan dengan itu, perlu dibedakan antara kompetensi bahasa dan kompetensi komunikatif dan antara pembelajaran bahasa dan pemerolehan bahasa.
“Kompetensi Bahasa” (linguistic
competence) ialah kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat yang tidak terbatas jumlahnya secara gramatikal. Sementara itu, “Kompetensi Komunikatif” (communicative competence) ialah kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat yang berterima, baik secara gramatikal maupun secara budaya. Dalam kenyataan sehari-hari, para penutur bahasa tidak hanya harus memiliki kompetensi bahasa, tetapi juga kompetensi lainnya, yakni kompetensi komunikatif. Jadi, seseorang dikatakan memiliki kompetensi komunikatif apabila ia mampu menggunakan bahasa (kalimat-kalimat) yang mengandung cirri-ciri gramatikal dan ciri-ciri budaya sekaligus (Suhardi, 1996:3).
“Pembelajaran” (learning) merupakan pengetahuan yang disadari mengenai kaidah-kaidah bahasa tidak secara khusus mengarah pada kelancaran percakapan. Sebaliknya, “Pemerolehan” (acquisition) terjadi secara tak disadari dan secara spontan, bekerja mengarah pada kelancaran percakapan, dan muncul dari penggunaan secara alami (Oxford, 1990:4). Pembelajaran hanya menghasilkan “tahu tentang bahasa”, sedangkan Pemerolehan merupakan proses bawah sadar yang menghasilkan “pengetahuan tentang bahasa”. Pemerolehan
bahasa lebih berhasil dan berakhir lama daripada Pembelajaran (Harmer, 1991:33).
Siapa pun yang berkeinginan mengajarkan suatu bahasa secara sistematis wajib melakukan beberapa kajian tentang bahasa yang akan diajarkan. Kemampuan berbicara suatu bahasa secara aktif, meskipun hal yang hakiki bagi pengajar bahasa, tidaklah cukup. Pengajar (guru) harus mampu juga menjelaskan bagaimana bahasa bekerja, menjelaskan kaidah-kaidah yang mengatur tentang tata bahasanya,
mengklasifikasikan berbagai bentuknya, dan memberikan beberapa deskripsi tentang pengucapannya.
Dalam melakukan kajian tentang suatu bahasa, pengajar akan mengambil banyak karya ahli tata bahasa, ahli fonetik, dan yang lain, orangorang yang mengkaji dan mendeskripsikan berbagai aspek dari bahasa atau bahasa-bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, pengajar tersebut belajar linguistik, meskipun mungkin tidak mempelajari sejumlah karya terbaru dalam bidang itu (Harding, 1970:37).
Dalam praktik pembelajaran materi ajar BIPA dikenal pelevelan, yaitu level 1, level 2, dan level 3. Oleh karena itu, materi ajar disusun demikian rupa, secara berjenjang mulai dari pengenalan bunyi-bunyi bahasa (fonologi). Kemudian, pembelajaran dilanjutkan pada sistem pembentukan kata (morfologi), sistem pembentukan kalimat (sintaksis), dan terakhir, segi kontekstual (pragmatik) mengenai tuturan bahasa Indonesia. Pelaksanaan kelima tahapan dalam metode linguistik yang telah disebutkan di atas tidak mengalami pertumpangtindihan, akan terlihat secara jelas batas-batasnya, meskipun materi pembelajaran antara tahap yang satu dan tahap lainnya berjalan berbarengan.
Tahap Rekognisi tidak menyangkut pembelajaran makna dari suatu kata atau pola baru. Makna merupakan masalah konteks dan mungkin diajarkan secara simultan pada semua tahap. Rekognisi tidak sepenuhnya dikuasai sampai pada tahap Seleksi. Rekognisi adalah kemampuan untuk membedakan di antara dua ujaran yang berbeda dengan menggunakan sedikit informasi.
Vokal:
merah dan marah
Konsonan:
pantai dan lantai
Pada merah dan marah, yang satu berhubungan dengan “warna” dan lainnya dengan “perasaan”. Sementara itu, pada pantai dan lantai, yang satu berhubungan dengan “laut” dan lainnya dengan “rumah”. Tahap Rekognisi diajarkan dengan cara penubian rekognitif, yang bertujuan agar pembelajar dapat menentukan apakah suatu pasangan ujaran sama atau berbeda. Kemudian, barulah tunjukkan pada pembelajar bahwa perbedaan fonem menyebabkan perbedaan makna: vokal e dengan a dan konsonan p dengan l. Contoh lainnya dapat dicari dengan memanfaatkan kosakata dalam kamus bahasa Indonesia atau katakata bahasa Indonesia yang sudah dikenal atau dipelajari.
Sebelumnya telah disinggung bahwa sistem afiksasi (pengimbuhan) dalam bahasa Indonesia umumny sulit dikuasai oleh pembelajar. Sehubungan dengan itu, pertama-tama materi ajar yang berkaitan dengan pembelajaran pembentukan kata adalah tentang prefiks ber- dan meng-. Prefiks (awalan) lainnya, termasuk sufiks (akhiran), diajarkan secara berjenjang dari level ke level.
-
(a) Prefiks ber-
Prefiks ber- memilki varian bentuk, seperti be-, ber-, dan bel-.
-
(i) ber- dengan varian be- apabila suku kata pertama bentuk dasar dimulai dengan r atau mengandung er:
ber- + rambut menjadi berambut ber- + kerja menjadi bekerja
-
(ii) ber- dengan varian ber- apabila bentuk dasar dimulai, baik dengan vokal maupun konsonan:
ber- + anak tetap menjadi beranak (vokal)
ber- + sama tetap menjadi bersama (konsonan)
-
(ii) ber- dengan varian bel- hanya apabila berkombinasi dengan kata ajar: ber- + ajar menjadi belajar (Catatan: ber- menjadi bel- karena pengaruh ajar)
Karena frekuensi distribusi yang paling tinggi, prefiks meng- ditetapkan sebagai dasar dengan variannya, seperti me-, mem-, men-, meny-, meng-, dan menge-:
-
(i) meng- dengan varian me- terjadi apabila bentuk dasar dimulai dengan l, m, n, w, r, y, ny,dan ng:
meng- + laut menjadi melaut
meng- + mulai menjadi memulai meng- + nanti menjadi menanti meng- + warna menjadi mewarna(i) meng- + rawat menjadi merawat meng- + yakin menjadi meyakin(i) meng- + nyanyi menjadi menyanyi meng- + nganga menjadi menganga (ii) meng- dengan varian mem- terjadi apabila bentuk dasar dimulai dengan b, f, v, p, dan gugus konsonan pr:
meng- + bawa menjadi membawa meng- + foto menjadi memfoto meng- + vonis menjadi memvonis meng- + pukul menjadi memukul meng- + program menjadi memprogram(kan)
(Catatan: p luluh seperti pada pukul menjadi memukul, tetapi peluluhan tidak terjadi pada pr
seperti pada program dengan bentukannya memprogram(kan) (iii) meng- dengan varian men- terjadi apabila bentuk dasar dimulai dengan c, d, j, z, sp, st, sy, tr, dan t:
meng-+ cuci menjadi mencuci meng- + dorong menjadi mendorong meng- + jalin menjadi menjalin meng- + ziarah menjadi menziarah(i) meng- + spekulasi menjadi menspekulasi meng- + stabil menjadi menstabil(kan) meng- + syukur menjadi mensyukur(i) meng- + transfer menjadi mentransfer meng- + tolong menjadi menolong (Catatan: t luluh seperti pada kata tolong menjadi menolong)
-
(iv) meng- dengan varian meny- terjadi apabila bentuk dasar dimulai dengan s.
meng- + sapu menjadi menyapu
meng- + sakit menjadi menyakit(i)
-
(v) meng- dengan varian meng- terjadi apabila bentuk dasar dimulai dengan vokal a, i, u, e, o atau konsonan g, h, k, kh, kr:
Vokal
meng- + angkat bentuknya tetap mengangkat
meng- + ikat bentuknya tetap mengikat meng- + ulas bentuknya tetap mengulas meng- + elak bentuknya tetap mengelak meng- + endus bentuknya tetap mengendus
Konsonan
meng- + garuk bentuknya tetap menggaruk
meng- + hukum bentuknya tetap menghukum
meng- + khayal bentuknya tetap mengkhayal
meng- + kremasi bentuknya tetap mengkremasi
meng- + kunci bentuknya tetap mengunci (Catatan: k luluh seperti pada kata kunci menjadi mengunci)
-
(vi) meng- dengan varian menge- terjadi apabila bentuk dasar berupa satu suku kata, seperti bom,
cat, pel:
meng- + bom menjadi mengebom
meng- + cat menjadi mengecat meng- + pel menjadi mengepel
Jenis afiks (imbuhan) lainnya dalam bidang morfologi mengenai tahap Rekognisi berlanjut terus dengan proses pemahaman yang sama. Sementara itu, tahap Rekognisi untuk sintaksis (materi kalimat) lebih intens diterapkan pada tahap-tahap lainnya di bawah ini.
Pembelajar harus memproduksi ujaran yang sama yang telah didengarnya. Kadang-kadang pengajar dapat menyuruh pembelajar untuk menirukan sebuah kata tunggal, tetapi biasanya lebih baik memilih kata dalam konteks kalimat. Sebenarnya, sebuah kalimat sederhana, seperti: Ibu membeli buku lebih baik daripada buku dalam isolasi.
Pertama, karena hal itu mudah bagi pembelajar untuk mempelajari sebuah kata baru dalam sebuah konteks yang familiar daripada dalam isolasi. Kedua, karena informasi esensi gramatika akan dipelajari pada saat yang sama. Pembelajar yang memulai menirukan:
Ibu membeli buku dan Ibu membeli air
lebih baik daripada buku dan air dalam isolasi, kemudian tidak akan menemukan kesulitan dalam mengingat bahwa buku adalah nomina yang bisa dihitung, sedangkan air nomina atau benda yang tak dapat dihitung tanpa menempatkannya dalam satuan hitungan, seperti dalam satu gelas air atau dua ember air.
Konteks kalimat akan memberikan pemahaman pada pembelajar ketika akan memperluas pengetahuan gramatikanya.
Pengulangan kaidah yang serupa akan berlanjut pada tahap Repetisi.
Proses menirukan dan menghafalkan harus berlanjut hingga respons pembelajar lancar dan akurat. Repetisi berfungsi untuk membantu pembelajar dari pengontrolan secara sadar seluruh detail, seperti penguasan bentuk sebuah kalimat, seperti aktif dan pasif. Selama pembelajar berpikir tentang bagaimana urutan kata, dalam hal ini bentuk aktif-pasif tersebut, ia tidak akan fasih dan tidak akan siap menuju ke tahap yang keempat, tahap Variasi. Sebagai perbandingan, jika kita harus berpikir secara sadar tentang semua gerakan otot yang terlihat pada saat berjalan, kita tidak dapat berjalan dengan baik. Untunglah, suatu kerja keras mengenai apa yang kita lakukan ketika kita berjalan atau berbicara menjadi dikontrol oleh kebiasaan setelah satu periode latihan. Hal itulah yang membedakan kita untuk masalah lainnya. Misalnya:
Ibu menggoreng ikan (aktif) S P O
Ikan digoreng oleh ibu (pasif)
O P S
Saya membaca buku (aktif)
S P O
Buku saya baca (pasif) O S P
(Catatan: *Buku dibaca oleh saya tidak berterima. Pasif di- hanya dipakai untuk orang ketiga)
Ketiga tahapan di atas biasanya diterapkan dalam pengajaran bahasa asing, seperti BIPA untuk Indonesia. Kebutuhan pengajaran bahasa asing yang modern, yakni Variasi, menjadi perhatian para perancang pengajaran bahasa asing. Jika pembelajar bergerak lebih jauh dari kemampuan burung beo, yang haya dapat
menirukan apa yang diucapkan tuannya, ia harus belajar memvariasikan pola-pola yang telah dipelajari. Dialog yang dihafalkan oleh pembelajar haruslah praktis dan berguna. Ia mungkin telah menghafalkan kalimat-kalimat yang diperlukan untuk membeli sepasang sepatu, umpamanya, tetapi bagaimana jika ia ingin membeli topi sebagai pengganti sepatu? Ia kemudian harus mengadaptasikan dialog untuk membuatnya dapat diterapkan pada situasi yang lain.
Ada tiga macam penubian Variasi, yaitu (1) penubian penyulihan, (2) penubian transformatif, dan (3) penubian kombinatoris. Pada penubian penyulihan, pembelajar diharapkan tetap memegang struktur dasar kalimat dan menyulih kata yang ada dengan kata yang baru, satu kata satu kali. Apabila pembelajar telah mempelajari kalimat Ayah makan nasi, pengajar mungkin memberikan kata rotI sebagai penyulih. Pembelajar kemudian dapat merespons dengan kalimat Ayah makan roti, meskipun ia tidak pernah mendengar kalimat itu sebelumnya.
Penubian transformatif merupakan kebalikan dari penubian penyulihan. Penubian transformatif secara konstan mempertahankan kosakata—sekurang-kurangnya prinsip atau dasar makna kosakata—mengganti untuk suatu perbedaan, tetapi pola berhubungan. Sebagai contoh, pembelajar dapat diberikan kalimat:
Ayah makan nasi
dan kemudian disuruh membuat kalimat:
Apakah ayah makan nasi? atau Apa yang ayah makan? atau Ayah tidak makan nasi, bukan?
Dalam penubian kombinatoris, pembelajar diberikan dua kalimat tunggal dan disuruh untuk mengombinasikan keduanya ke dalam sebuah pola yang lebih kompleks. Yang paling mudah mengenai penubian ini ialah menyangkut konjungsi yang sederhana. Pembelajar diberikan kalimat:
Kami duduk di kursi
Kami minum kopi
Kemudian, pembelajar disuruh membuat kalimat:
Kami duduk di kursi sambil minum kopi
Lebih maju lagi, penubian kombinatoris mengharuskan pembelajar untuk mengambil dua kalimat yang sama dan mengombinasikan
keduanya ke dalam kombinasi yang canggih, misalnya dalam kalimat majemuk, seperti:
Kami duduk di ruang tamu untuk minum kopi
Kami duduk di ruang tamu sedang minum kopi
Bandingkan:
Ia datang terlambat karena hujan (Induk kalimat) (Anak kalimat)
Karena hujan, ia datang terlambat (Anak kalimat) (Induk kalimat)
(Catatan: Apabila anak kalimat mendahului induk kalimat, tanda koma (,) harus dibubuhkan setelah anak kalimat jika dalam tulisan dan jeda jika dalam bahasa lisan)
Pada intinya, dalam menyampaian suatu informasi seseorang dapat menggunakan sebuah kata. Namun, sebuah kata belum cukup untuk hal itu. Sebagai contoh, untuk menyampaikan informasi tentang suatu “ajakan atau perintah”, seseorang dapat menggunakan kata Mari! atau Pergi! Namun, ajakan atau perintah itu belum cukup meskipun dalam konteks tertentu: untuk apa atau ke mana?
Sehubungan dengan itu, aspek gramatikal yang setingkat lebih tinggi adalah kalimat. Kalimatlah yang dapat meyampaikan informasi atau makna yang lebih lengkap daripada kata. Tentu saja ada aspek bahasa yang lebih tinggi dalam penggunaannya secara pragmatis, yakni wacana. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan aspek gramatikal, penguasaan tentang kalimat yang berterima sudah cukup.
Pembelajar telah bekerja untuk mengingat dan menirukan sebuah konstruksi dalam bahasa. Ia telah berlatih hingga menghasilkannya secara cepat, benar, dan otomatis. Ia telah bekerja untuk membuat variasi konstruksi untuk menghasilkan kalimat-kalimat baru. Sekarang, ia harus mengetahui kapan ia harus menggunakannya. Hal itu termasuk pemahaman makna dan juga implikasi sosial suatu pernyataan. Hal ini berkaitan dengan aspek pragmatik. Apakah ujaran itu kasual atau slang, hanya pantas untuk penggunaan di antara teman sejawat dan status yang sama. Atau, apakah ujaran itu takzim dan formal, cocok untuk penggunaan dalam situasi yang mengharuskan kesantunan. Bandingkan:
Hai, akan ke mana?
Bapak/Ibu akan ke mana?
Kalimat yang pertama ditujukan kepada teman sejawat, sedangkan kalimat yang kedua ditujukan kepada orang yang lebih tua atau yang dihormati.
Sistem evaluasi yang diterapkan sesuai dengan silabus dengan materi ajar yang digunakan dalam pengajaran. Bidang fonologi, dalam hal pelafalan bunyi-bunyi, dilatih seperlunya, tidak banyak menghabiskan waktu (waktu yang tersedia dalam satu kali pelajaran sebanyak 100 menit). Mata pelajaran yang banyak menghabiskan waktu adalah mata pelajaran tata bahasa, yaitu pembentukan kata (morfologi) dan kalimat. Materi kedua mata pelajaran ini, seperti yang telah disajikan di atas, digunakan sebagai contoh pelatihan soal-soal. Di bawah ini disajikan contoh soal untuk Level 2, mata pelajaran tata bahasa yang diampu, khususnya “kalimat”, yang diberikan pada pembelajar dalam ujian akhir semester.
Model Soal:
-
I. Penggunaan konjungsi dalam pembentukan kalimat majemuk!
-
A. Konjungsi kemudian dan lalu
-
(1) Kalimat tunggal
-
a. Ibu membeli sayur
-
b. Ibu pulang untuk memasak Kalimat majemuk:
-
(2) Kalimat tunggal
-
a. Sopir taksi itu berhenti
-
b. Sopir taksi menyuruh penumpang naik
Kalimat majemuk:
Kalimat majemuk:
-
C. Konjungsi walaupun atau meskipun
(hubungan konsesif)
-
(5) Kalimat tunggal
-
a. Dodi tetap belajar
-
b. Dodi kelihatannya sudah mengantuk Kalimat majemuk:
-
(6) a. Kalimat aktif
Engkau belum mengerjakan tugas itu
Pasif:
-
(7) b. Kalimat aktif
Saya belum membayar sewa rumah
Pasif:
-
(8) a. Kalimat aktif
Amir belum mencuci baju
Pasif:
-
(9) a. Kalimat aktif
Mereka sedang menunggu kedatangan tamu
Pasif:
Hasil Evaluasi
Dari jumlah 5 (lima) pembelajar pada Level 2, diperoleh hasil evaluasi sebagai berikut:
-
B. Konjungsi atau (hubungan pilihan)
-
(3) Kalimat tunggal
-
a. Mahasiswa boleh memakai baju lengan panjang
-
b. Mahasiswa boleh memakai baju lengan pendek
Kalimat majemuk:
Bagian I |
Bagian II | ||||
Benar no._____ |
Salah no.___ |
Benar no.____ |
Salah no.__ | ||
1. |
Mahiru |
: 1,2,3,4,5 |
- |
1,2,3 |
4 |
2. |
Kim |
: 1, 2, 3, 4 |
5 |
2,3,4 |
1 |
3. |
Yen |
: 1, 2, 3, 4 |
5 |
2,3,4 |
1 |
4. |
Abe |
: 1, 2, 3, 4 |
5 |
2,3,4 |
1 |
5. |
Mori |
: 3, 4 |
1, 2, 5 |
1,2,3,4,5 |
- |
-
(4) Kalimat tunggal
-
a. Jawaban soal itu benar
-
b. Jawaban soal itu salah
Catatan:
Meskipun sudah dijelaskan berulang bahwa prefix di- (untuk pasif) hanya untuk orang ketiga, pembelajar tetap membuat kesalahan.
5. SIMPULAN
Kenyataan bahwa metode langsung dan terjemahan mempunyai sejarah yang panjang maka tidak mengherankan sampai kini kedua metode tersebut masih diterapkan oleh sebagian pengajar. Karena banyak mengandung kelemahan, sebaiknya metode itu dikurangi penerapannya.
Metode langsung, sebagiannya, memengaruhi penguasaan pembelajar karena setiap saat didengar, ditiru, dan dihafalkan sehingga ada hubungannya dengan metode “mim-mem” yang dikenal juga dalam Metode Linguistik. Sementara itu, metode terjemahan mengalami kesulitan dalam kelas heterogen. Kedua metode tersebut tidak banyak menyentuh materi ajar serta tahapan pembelajarannya. Oleh karena itu, metode linguistik dalam hubungannya dengan standardisasi pengajaran BIPA penting diwujudkan untuk mencapai kompetensi komunikatif.
Daftar Pustaka
Broughton, G., Brumfit, Ch., Flavell, R., Hill, P., Pincas, A. 1978. Teaching English as a Foreign Language. Second Edition. London
dan New York: Routledge Education Books.
DeCamp, D. 1978. “Linguistics and Teaching Foreign Languages”. Dalam: Hill, A.A., ed., LINGUISTICS: Voice of America Forum Series, hlm. 157-168.
Field, J. 2005. Language and The Mind. London dan New York: Routlegde.
Harding, D.H. 1970. The New Pattern of Language Teaching. Revised Edition. London: Longman.
Harmer, J. 1991. The Practice of English Language Teaching. New Edition. London dan New York: Longman.
Oxford, R.L. 1990. Language Learning Strategies: What Every Teacher School Should Know. Boston, Massachusetts: Heinle & Henle Publishers.
Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
106
Discussion and feedback