Desa dan Banjar Sebagai Kesatuan Struktural dan Fungsional
on
PUSTAKA
JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA
VOL. XX NO. 2 • AGUSTUS 2020
Peningkatan Kualitas SDM Melalui Pelatihan Bahasa Inggris Sebagai Penggiat Literasi Bagi Anak-Anak Jalanan di Yayasan Lentera Anak Bali (YLAB)
Sri Widiastutik, Komang Trisnadewi, I Ketut Setiawan 73
Beda Bahasa dan Berbahasa : Kajian Kepustakaan
Made Henra Dwikarmawan Sudipa 80
Bentuk Tabu Bahasa Korea
Anak Agung Gede Suhita Wirakusuma 84
Desa dan Banjar Sebagai Kesatuan Struktural dan Fungsional Ketut Kaler 93
Standardisasi Pengajaran BIPA: Revaluasi Metode Menuju Kompetensi Komunikatif
Gianyar Dalam Perspektif Arkeologi
Pengembangan Industri Kreatif di Desa Wisata Bona, Belega dan Keramas Perspektif Gender
Perkembangan Seni Patung Garuda di Dusun Pakudui Gianyar
Anak Agung Inten Asmariati 120
Alih Bahasa Figuratif Pada Terjemahan Karya Sastra Puisi
Sang Ayu Isnu Maharani, I Nyoman Tri Ediwan 124
Makna Sapaan Pada Penggunaan Negirai Kotoba: Cerminan Ragam Bahasa Jepang
Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti 130
Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka
PUSTAKA
JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA
P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516
VOL. XX NO. 2 • AGUSTUS 2020
Susunan Redaktur PUSTAKA :
Penanggung Jawab Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.
Pemimpin Redaksi
Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.
Wakil Ketua
I Gusti Ngurah Parthama, S.S., M.Hum.
Sekretaris
Dr. Bambang Dharwiyanto Putro, S.S., M.Hum.
Staf Redaksi
I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.
Dr. Dra. Ni Made Suryati, M.Hum.
Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum. Zuraidah, S.S., M.Si.
Drs. I Wayan Teguh, M.Hum Fransiska Dewi Setiowati Sunarya, S.S., M.Hum
Mitra Bestari
Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A (Unud)
Prof Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt (Unud)
Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A (Unud)
Prof. Thomas Reuter (Melbourne University) Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. (Undiksha) Prof. Dr. Susantu Zuhdi (UI)
Prof. Dr. Irwan Abdulah (UGM)
Pelaksana Tata Usaha :
I Gede Nyoman Konsumajaya
Naskah dikirim ke alamat : jurnalpustaka@unud.ac.id
Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan
Desa dan Banjar
Sebagai Kesatuan Struktural dan Fungsional
Ketut Kaler
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana iketutkaler@gmail.com
Abstrak
Organisasi sosial adat berupa Banjar dan Desa bagi masyarakat Bali sudah tidak asing lagi. Keberadaannya selalu berurusan dengan Adat dan Agama khususnya Agama Hindu. Adapun ciri yang eksklusif daripadanya adalah keterikatan dengan tempat pemujaan yaitu Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem).
Jalinan hubungan structural-fungsional akan tampak di dalam berbagai aktivitas pada ketiga Kuil tersebut. Baik sebagai pendukung tenaga maupun dana. Oleh karena itu kedua organisasi ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kata kunci: Desa, Banjar, Struktural, Fungsional.
Untuk memenuhi berbagai keperluan dan kebutuhannya, manusia selalu mengadakan relasi-relasi, baik secara individual maupun secara berkelompok. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari tuntutan hidup bermasyarakat. Di dalam skema organisasi pun, para individu selalu mengadakan relasi-relasi dan saling berinteraksi untuk menjaga kelangsungan hidup suatu organisasi yang dimasukinya. Oleh karena itu, segmen-segmen yang ada dalam organisasi itu, yang dianggap sebagai suatu entitas selalu berhubungan, dalam arti melakukan aktivitas-aktivitas yang terintegrasi secara fungsional-struktural.
Sebagaimana diketahui bahwa banjar merupakan rangkaian kontinyu dari sebuah desa (adat) dalam kehidupan masyarakat Bali. Oleh karena itu, membicarakan banjar tidak bisa lepas dari membicaarakan desa. Dialektika hubungan antara banjar dan desa tampak menonjol dalam bidang adat dan agama (Hindu), walaupun aktivitas lainnya tidak dapat diabaikan begitu saja.
Suatu ciri yang eksklusif dan struktural sosial masyarakat Bali ditandai dengan adanya Pura (tempat suci) dengan fungsi yang berbeda-beda, dan sangat tergantung kepada siapa atau kelompok mana pendukung dari pura yang bersangkutan.
Sebagai suatu bentuk komunitas kecil, maka banjar mempunyai peran yang cukup signifikan di dalam membentuk masyarakatnya. Di
samping itu, juga banjar berfungsi sebagai pusat orientasi para anggotanya (krama) dalam suatu kegiatan atau aktivitas tertentu serta menjadi pemilihan untuk pengadaan dan pengerahan tenaga dalam upacara keagamaan.
Banjar sebagai bagian yang utuh dari desa, maka pengertian desa dapat diajukan sebagai: …” the close relationship between the cult of the ancestors and the administration of the community…” (Covarrubias, 1972:58) menyatakan sebagai suatu kesatuan yang tertutup atau terbatas pada pemujaan leluhur dan pengaturan administrasi masyarakat. Hal itu ditegaskan lagi oleh Swellengrebel yang menyatakan selain sebagai kesatuan wilayah dengan batas-batas yang jelas, desa selalu ditandai oleh batas-batas pemujaan. Anggota desa yang satu dengan yang lainnya membatasi diri mereka pada pemujaan Kahyangan Tiga (tiga tempat suci) dalam lingkungan desa mereka masing-masing (1960: 12).
Adalah suatu organisasi sosial tradisional di Bali yang disebut dengan banjar. Konsep banjar tidak dapat dipisahkan dengan konsep desa karena banjar merupakan kepanjangan tangan dari desa. Konsep desa mengandung dua pengerian, yaitu: pertama, desa sebagai komunitas sosial, tradisional dan religius adalah merupakan suatu kesatuan wilayah di mana para warganya secara bersama-sama atas tanggungan bersama mengonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara keagamaan, aktivitas-aktivitas sosial yang ditata oleh suatu sistem budaya (adat-istiadat) (geriya, 1983: 16).
Terkait pengertian desa di atas, maka desa seperti itu disebut dengan desa adat yang dikepalai oleh seorang Bendesa. Rasa kesatuan sebgai desa adat diikat oleh konsep Tri Hita Karana (tiga keseimbangan hidup), yaitu: Pahyangan (Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem); Pelemahan Desa (wilayah desa); dan Pawongan Desa (warga desa). Kedua, desa sebagai komunitas yang lebih bersifat administrative atau kedinasan, yaitu suatu kesatuan wilayah di bawah kecamatan dan dikepalai oleh seorang Perbekel atau Kepala Desa. Desa dalam pengertian ini disebut dengan Desa Dinas (Raka, 1955;19).
Melekat dengan konsep desa di atas, selanjutnya konsep banjar yang merupakan organisasi social di bawah desa juga dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu: Banjar Adat dan Banjar Dinas. Kedua, pengertian konsep banjar ini merupakan ciri-ciri yang sama dengan kedua pengertian konsep desa di atas.
Sesuai dengan topik di atas, dan untuk terfokusnya uraian berikut ini, maka akan dibatsi sekupnya sekitar banjar adat dan desa adat sebagai satu kesatuan sosial khususnya dalam subsistem adat dan agama. Hal itu tampak di dalam masyarakat mengonsepsikan kehidupan sosialnya ke dalam apa yang disebut Tri Hita Karana (Tiga Penyebab Kebahagiaan). Analisis berikut ini akan menguraikan tiga penyebab kebahagiaan tersebut. Dengan demikian antara Banjar adat dan desa adat akan tampak hubungan keterkaitan secara struktural di mana banjar adat merupakan subistem dari desa adat. Di samping itu, juga tampak hubungan fungsional di antara keduanya berkaitan dengan aktivitas adat dan agama.
-
2. Pelemahan Desa (Wilayah Desa)
Umumnya di Bali setiap desa mempunyai wilayah dan tanah bukti desa. Tanah bukti desa itu luasnya bervariasi dan biasanya pengelolaannya digunakan untuk mendukung kesejahteraan warga desa, utamanya untuk membiayai upacara keagamaan (odalan di Pura Kahyangan Tiga).
Suatu desa adat biasanya didukung oleh beberapa banjar adat. Keadaan ini tidaklah berlaku seragam di seluruh Bali, karena ada banyak variasi-variasi lain yang lebih kompleks yang terkait juga dengan keberadaan desa dinas seperti: satu desa dinas dapat mencakup beberapa desa adat; satu desa dinas terdiri dari satu desa adat; satu desa adat mencakup beberapa desa dinas dan; satu desa adat terbagi ke dalam beberapa desa dinas. Situasi
seperti itu dimungkinan kerena Bali dikenal memiliki konsep Desa Kala Patra, yaitu penyesuaian terhadap tempat, waktu dan keadaan wilayah yang bersangkutan.
Di dalam penjelasan selanjutnya berkaitan dengan perwilayahan dengan nama pelemahan desa meliputi keseluruhan wilayah sebuah desa adat yang dapat berupa: tempat tinggal, sawah, tegalan, dan seringkali juga sungai yang melintasi wilayah suatu desa. Hal itu pula umumnya dipakai patokan batas yang tegas dengan desa adat tetangganya. Tanah dan tegalan yang menjadi milik desa adat biasanya pengelolaannya didistribusikan kepada masing-masing banjar pendukung desa adat yang bersangkutan. Oleh karena itu masing-masing banjar harus mempertanggungjawabkannya secara struktural kepada desa adat.
Pada masa lalu, tanah sawah maupun tegalan yang dikelola oleh masing-masing banjar adat diusahakan sendiri dengan jalan menanami padi maupun tanaman keras seperti kelapa. Akan tetapi, beberapa dasawarsa terakhir ini (walaupun tidak semuanya) pengelolaan tanah-tanah tersebut mulai diberikan kepada para penyakap (penandu) baik dari warga banjar (karma banjar) sendiri maupun kepada orang lain di luar banjar yang bersangkutan. Orang lain dimaksud adalah warga di luar banjar tetapi masih dalam satu wilayah desa ada.
Demikianlah apa yang dihasilkan dari pengelolaan tanah sawah maupun tegalan tersebut masuk sebagai kas banjar yang sewaktu-waktu apabila dibutuhkan terutama untuk mendukung dana upacara keagamaan akan diserahkan kembali kepada desa adat. Aktivitas upacara (odalan) dimaksud adalah meliputi upacara di Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh,Pura Desa, Pura Dalem). Di Samping itu juga digunakan untuk dana insidentil seperti: perbaikan sarana umum desa adat antara lain; balai pertemuan desa (bale wantilan desa), perbaikan sarana dan prasarana tempat suci (pretima, tembok pura, pelinggih dll), serta aktivitas upacara yang bersifat berkala artinya jangka waktu upacara tersebut agak lama (5-10 tahun sekali) seperti antara lain upacara mecaru, ngusaba dan sebagainya.
Memperhatikan demikian kompleksnya program kerja desa adat sudah barang tentu membutuhkan dukungan dana tyang tidak sedikit. Kalau hanya mengandalkan hasil pengelolaan tanah semata-mata tentu sangat jauh dari harapan yang diinginkan. Oleh karena itu dukungan dana
diusahakan melalui cara-cara lain seperti yang paling umum dilakukan di Bali, yaitu dengan cara urunan berupa uang dari masing-masing anggota desa adat (peson-peson). Hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa heterogenitas okupasi warga desa adat demikian beragamnya. Demikianlah hampir sebagian besar warga desa usia kerja mulali beralih dari sektor pertanian ke sektor lain seperti jasa maupun sektor industri kerajinan. Inilah salah satu implikasi perkembangan di sektor kepariwisataan di Bali yang ujung-ujungnya memberikan dampak terhadap menyempitnya lahan pertanian dan sekaligus menjadi problema yang sangat serius di masa-masa mendatang.
-
3. Pawongan Desa (Warga Desa)
Idealnya setiap orang yang tinggal di wilayah suatu desa adat dan telah resmi menjadi anggota banjar adat (tedun mekrama banjar adat) adalah waga desa adat yang bersangkutan (karma desa adat). Oleh karena itu desa adat secara struktural membawahi banjar adat sebagai subkomunitasnya. Orientasi kepada desa adat sebagai induknya tampak terutama berkaitan dengan konsepsi Tri Hita Karana seperti telah disinggung di atas.
Di dalam sistem pemerintahan formal sekarang ini, desa adat tidak terjalin secara structural dengan desa dinas. Oleh karena itu, desa adat hanya merupakan suatu elemen dalam jalinan fungsional. Jalinan itu terfokus pada fungsi pokok suatu desa adat, yaitu hanya terkait dengan adat (adat istiadat) dan agama.
Ke dalam jalinan fungsional inilah peran warga banjar adat sebagai pendukung suatu desa adat akan tampak jelas. Suatu misal, ketika desa adat akan menyelenggarakan upacara ritual keagamaan pada salah satu Pura Kahyangan Tiga. Seluruh warga yang ada di bawah lingkungan suatu desa adat tersebut akan turut serta ambil bagian, baik sebagai pendukung dana maupun sebagai pendukung tenaga. Dari keseluruhan rangkaian proses tersebut (persiapan sampai pelaksanaan puncak upacara) akan selalu melibatkan seluruh warga desa adat. Khusus di dalam mempersiapkan kelengkapan upakara dikerjakan oleh warga desa adat secara gotong-royong, baik laki-laki maupun perempuan dan diatur secara bergiliran. Di dalam mempersiapkan upakara tersebut peran perempuan sangatlah dominan. Di sinilah sesungguhnya peran perempuan Bali menunjukkan keunggulan komparatif, sehingga skeptisisme terhadap
kesetaraan gender tidak perlu dipertajam karena telah diatur sesuai dengan kedudukan dan peranan serta hak dan kewajibannya terhadap gender itu sendiri.
Selain itu tentu banyak lagi kegiatan-kegiatan lain di luar aktivitas keagamaan yang melibatkan seluruh warga banjar adat yang ada di wilayah suatu desa adat bersangkutan seperti: memperbaiki atau membersihkan lingkungan Pura (Kahyangan tiga), membersihkan tanah di lingkungan kuburan (sema=baca seme), dan lain-lain. Oleh karena itu, warga banjar adat di samping terikat kepada banjar adat-nya juga terikat kepada desa adat-nya baik secara structural maupun secara fungsional.
Sebagai suatu komunitas kecil, maka banjar adat mendukung sepenuhnya desa adat. Menurut konsepsi warga komunitas banjar adat yang bersangkutan, mereka merasa dipersatukan oleh suatu rasa solidaritas yang tinggi, rasa gotong-royong (tolong-menolong) yang tinggi pula dengan prinsip resiprokal, dan yang paling penting adalah para warga merasa dipersaukan oleh suatu tempat pemujaan atau Pura yang disebut Merajan Banjar. Secara struktural di tingkat desa adat mereka merasa di persatukan oleh suatu kompleks tempat pemujaan, yaitu Pura Kahyangan Tiga. Kesemuanya itu merupakan ciri yang mengaktifkan aktivitas para warga banjar adat dan sekaligus pula sebagai warga desa adat.
Setiap desa adat selalu dilengkapi dengan sarana tempat suci yang disebut Pura Kahyangan Tiga. Pura ini terdiri dari kompleks bangunan suci, yaitu Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem dengan fungsinya masing-masing. Pura Desa adalah tempat suci untuk memuja Tuhan (Ida Sanghyang Widhi Wasa) dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma yang maha pencipta; Pura Puseh adalah tempat suci untuk memuja Tuhan (Ida Sanghyang Widhi Wasa) dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu yang maha pengasih dan pemelihara; dan Pura Dalem adalah tempat suci untuk memuja Tuhan (Ida Sanghyang Widhi Wasa) dalam manifestasinya sebagai Dewa Syiwa yang maha pelebur dan pemusnah. Secara struktural ketiga Pura tersebut merupakan elemen pengikat para warga banjar adat dalam lingkungan desa adat sesuai dengan keyakinannyayang bersifat transenden (niskala).
Demikian pula ketiga pura tersebut dapat mempertemukan para warga komunitas dari berbagai banjar adat dalam lingkungan desa adat yang bersangkutan. Misalnya pertemuan-pertemuan itu hampir merupakan pertemuan yang rutin setiap enam bulan sekali (1 bulan = 35 hari menurut perhitungan kalender Bali), yaitu pada upacara (piodalan) di masing-masing Pura Kahyangan Tiga tersebut. Selain itu lazimnya diadakan pertemuan rutin setiap bulan sekali (35 hari), yaitu rapat desa (sangkepan desa) yang biasanya mengambil tempat di balai desa (bale wantilan desa).
Parahyangan desa pada hakikatnya diperuntukkan kepada seluruh warga desa (karma desa) yang bersangkutan tanpa memperhatikan stratifikasi social secara hirarkis. Namun demikian, oleh karena masyarakat Bali mengenal sistem pelapisan social yang disebut sistem kasta atau wangsa, maka suatu ketika pernah terjadi kesalahpahaman yang datangnya dari golongan tri wangsa, terutama mereka yang masih berpikiran konservatif. Hal itu dapat dimaklumi oleh karena pemahaman yang benar terhadap ajaran agama (Hindu) belumlah begitu mantap. Di dalam kaitan ini dapatlah diajukan suatu kasus yang terjadi di desa adat penulis sendiri, yaitu Desa Adat Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur. Dikatakan sebagai suatu kasus oleh karena banyak juga desa-desa lain di Bali yang lebih bercorak egalitarian dan tidak mengenal sistem pelapisan social seperti kasta atau wangsa itu. Beberapa desa itu dapat dikemukakan di antaranya: Desa Wongaya Gede, Tabanan, dan Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem. Adapun kaus tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Pada suatu ketika saat diadakan upacara (piodalan) di Pura Desa, semestinyaseluruh warga desa melakukan persembahyangan bersama di pura tersebut. Tanpa latar belakang yang jelas beberapa kelompok dari golongan tri wangsa menolak untuk sembahyang bersama dengan alasan mereka merasa tidak pantas disejajarkan dengan golongan kebanyakan (sudra wangsa). Oleh karena warga desa adat itu mayoritas dari golongan sudra wangsa, tentu saja mereka merasa dilecehkan dan direndahkan martabatnya. Situasi seperti itu sempat membangkitkan ketegangan emosional yang mengarah kepada konflik antargolongan. Akan tetapi, kasus itu tidaklah berlangsung lama, karena perangkat supra struktur desa adat dan banjar adat, yaitu Bendesa Adat dan Kelian Banjar Adat, dengan sigap dapat segera
mengantisipasinya. Dengan demikian, kasus tersebut belum sempat merebak dan mengarah kepada konflik yang lebih luas. Solusi yang ditempuh adalah dengan mempertemukan kedua golongan tersebut dan memberikan pengarahan serta pengertian di antara para pihak yang dilakukan oleh Bendesa adat, para Kelian Banjar Adat, tokoh-tokoh agama, dan pemuka-pemuka masyarakat. Isi dan inti pengarahan itu difokuskan kepada ajaran kitab suci agama Hindu yang menekankan bahwa manusia pada hakikatnya sama dihadapan Tuhan (Ida Sanghyang Widhi Wasa). Oleh karena itu Pura Kahyangan Tiga merupakan stana Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Syiwa yang disebut dengan Tri Murthi. Karenanya setiap warga suatu lingkungan desa adat mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap ketiga pura tersebut termasuk melakukan persembahyangan bersama tanpa terikat oleh stratifikasi sosial. Akhirnya dengan pengarah seperti itu situasinya dapat terkendali sampai saat ini dan aktivitas ritual warga desa adat dapat normal kembali seperti sedia kala. Bagaimanapun juga, sesungguhnya perbedaan persepsi itu masih ada di kalangan warga, namun tidak sampai menampakkan diri ke permukaan oleh karena pembinaan-pembinaan terus dilakukan secara berkelanjutan dan berkala terutama pada pertemuan-pertemuan desa adat.
Ilustrasi kasus di atas, dapat menggambarkan bahwa struktur social tidaklah selalu dalam keadaan serasi, tenteram, dan seimbang. Seperti Gluckman menjelaskan, “…bahwa keseimbangan sosial bukanlah suatu masalah yang bersifat sederhana yang ditimbulkan oleh derajat integrasi yang tinggi bagi kelompok-kelompok maupun norma-normanya. Sebaliknya, keseimbangan sosial muncul melalui keseimbangan oposisi-oposisi dalam suatu proses dialektik (saling menyesuaikan). Kelompok-kelompok sosial memiliki kecenderungan inheren pada segmen dan kemudian terikat bersama oleh aliansi yang melintasinya… Konflik-konflik pada suatu perangkat hubungan diserap dan diredam dalam hubungan penetralisasian” (Kuper, 1991: 146). Demikian pula desa adat dan banjar adat di Bali tidaklah selalu dalam keadaan terintegrasi. Terbukti seperti ilustrasi di atas, selalu terdapat riak-riak yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan. Namun perubahan-perubahan itu tidaklah mempengaruhi struktur dasar dari suatu Desa Adat yang bersangkutan.
Perubahan-perubahan itu hanya terjadi pada struktur permukaan yang lebih mengarah kepada suatu dinamika sosial. Dengan demikian hal itu membuktikan bahwa masyarakat tidaklah statis, akan tetapi selalu bergerak dalam arti berdinamika sebagaimana halnya Desa Adat dan Banjar Adat di Bali.
Ketiga elemen Tri Hita Karana terurai di atas adalah merupakan suatu kesatuan fungsional-struktural dalam kerangka mengaktifkan kehidupan Desa Adat dan Banjar Adat terutama dalam aktivitas-aktivitas adat dan ritual keagamaan. Secara fungsional Desa Adat dan Banjar Adat bersama-sama mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas warga berkaitan dengan ketiga elemen di atas sesuai dengan fungsinya.
Dipandang dari aspek struktural demi kelangsungan suatu komunitas Desa Adat dan Banjar Adat dibuatlah suatu pedoman berupa aturan-aturan tertulis yang dipakai sebagai pedoman bertingkah laku daripada warganya. Aturan-aturan itu disebut dengan awig-awig baik di tingkat Desa Adat maupun di tingkat Banjar Adat. Awig-awig inilah hubungan-hubungan individu-individu dalam komunitas itu dan mempunyai kekuatan mengikat para warganya yang disebut social structure. Sebagaimana dinyatakan oleh Radcliffe Brown bahwa social structure adalah merupakan perumusan dari susunan hubungan-hubungan antara individu di dalam masyarakat. Oleh karena itu, social structure dapat hidup terus walaupun individu-individunya setiap saat dapat berganti-ganti (Koentjaraningrat: 1964: 66).
Demikian pentingnya suatu awig-awig sampai-sampai penulisannyapun menggunakan huruf Bali dan dilegalisir dengan suatu upacara ritual lengkap dengan sesajennya (upakara) dan dipimpin oleh seorang pendeta (pedanda). Demikian awig-awig sangat dikultuskan dan para warga sedapat mungkin menghindari perbuatan dan tingkah laku yang menyimpang darinya. Perbuatan atau tingkah laku devian yang paling dihindari adalah berhubungan dengan hal-hal yang bersifat transendental. Dalam konteks ini umumnya warga komunitas di Bali mengenal konsep sacral dan profan atau suci dan tidak suci (sebel=leteh=cuntaka). Hal-hal yang dianggap suci antara lain: pura, sanggah, pemerajan dan tempat-tempat atau suatu benda yang dianggap keramat (tenget). Oleh karena itu, wanita haid atau datang bulan (kotor kain) misalnya, dalam jangka waktu tertentu sama sekali tidak berani memasuki
wilayah yang disucikan karena mereka yakin akan mendapat celaka. Demikian pula orang tidak akan berani membawa benda-benda atau barang-barang yang kotor (leteh) ke halaman pura atau tempat-tempat suci lainnya. Apabila semua pantangan di atas dilanggar, maka konsekuensinya amat luas yang dapat mencakup wilayah maupun warga desa dan banjar adat yang bersangkutan.
Di bali dikenal adanya dua konsep desa, yaitu desa dinas dan desa adat. Desa dinas terkait dengan urusan administrasi kedinasan yang secara structural berada di bawah kecamatan. Sedangkan desa adat erat terkait dengan urusan-urusan adat dan keagamaan yang sama sekali tidak ada ikatan struktural kedinasan. Subsistem dari organisasi desa adat ada di tingkat banjar yang disebut banjar adat.
Secara spesifik desa adat selalu dilengkapi dengan tiga tempat pemujaan yang disebut dengan Pura Kahyangan Tiga. Spesifikasi ini tampak menonjol karena memang segala aktivitas para warganya didominasi oleh ajaran Hindu. Desa Adat dan Banjar Adat tampak menunjukkan satu kesatuan fungsional-struktural justru karena dipersatukan oleh tempat pemujaan seperti tersebut di atas. Segala aktivitas warga desa adat berkaitan dengan upacara keagamaan selalu melibatkan warga Banjar Adat, karena hal itu memang merupakan satu kesatuan fungsional-struktural.
Walaupun Desa Adat dan Banjar Adat menunjukkan satu kesatuan fungsional-struktural yang cukup kental, namun tidak dapat terhindarkan pula dari gejolak-gejolak kecil yang seringkali juga menimbulkan ketegangan-ketegangan. Akan tetapi gejolak-gejolak tersebut tidak sampai menimbulkan disintegrasi, namun lebih merupakan dinamika bagi suatu masyarakat yang terstratifikasi. Bagaimanapun juga dinamika dan perubahan merupakan sesuatu yang asasi di dalam kehidupan masyarakat.
Daftar Pustaka
Astawa, I.B. Tth. Banjar System. Makalah tanpa tahun.
Brown, Radcliffe A.R. 1952. Structure and function in Primitive Society. London, Cohen and west.
Covarrubias, Miguel. 1972. Island of Bali. Singapore, Oxford Univercity Press.
Depdikbud. Proyek IDKD. Kebudayaan Daerah Bali.1980/1981.Sistem kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali.
Depdikbud. Proyek IDKD. Kebudayaan Daerah Bali. 1986. Peranan Banjar Pada Masyarakat Bali.
Koentjaraningrat, 1964. Tokoh-Tokoh Antropologi. Djakarta, PT Penerbitan Universitas.
Kuper, Adam. 1973. Anthropology and Anthpologists. New York: Routledge.
Swellengrebel, J.L. (ed) 1960. Bali Studies and Life, Thought and Ritual. Bandung, The Hague and van Hoeve.
98
Discussion and feedback