PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

VOL. XX NO. 2 • AGUSTUS 2020

Peningkatan Kualitas SDM Melalui Pelatihan Bahasa Inggris Sebagai Penggiat Literasi Bagi Anak-Anak Jalanan di Yayasan Lentera Anak Bali (YLAB)

Sri Widiastutik, Komang Trisnadewi, I Ketut Setiawan  73

Beda Bahasa dan Berbahasa : Kajian Kepustakaan

Made Henra Dwikarmawan Sudipa  80

Bentuk Tabu Bahasa Korea

Anak Agung Gede Suhita Wirakusuma  84

Desa dan Banjar Sebagai Kesatuan Struktural dan Fungsional Ketut Kaler  93

Standardisasi Pengajaran BIPA: Revaluasi Metode Menuju Kompetensi Komunikatif

I Ketut Darma Laksana  99

Gianyar Dalam Perspektif Arkeologi

I Ketut Setiawan  107

Pengembangan Industri Kreatif di Desa Wisata Bona, Belega dan Keramas Perspektif Gender

Ida Ayu Putu Mahyuni  114

Perkembangan Seni Patung Garuda di Dusun Pakudui Gianyar

Anak Agung Inten Asmariati  120

Alih Bahasa Figuratif Pada Terjemahan Karya Sastra Puisi

Sang Ayu Isnu Maharani, I Nyoman Tri Ediwan  124

Makna Sapaan Pada Penggunaan Negirai Kotoba: Cerminan Ragam Bahasa Jepang

Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti  130

Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka

PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516

VOL. XX NO. 2 • AGUSTUS 2020

Susunan Redaktur PUSTAKA :

Penanggung Jawab Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.

Pemimpin Redaksi

Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.

Wakil Ketua

I Gusti Ngurah Parthama, S.S., M.Hum.

Sekretaris

Dr. Bambang Dharwiyanto Putro, S.S., M.Hum.

Staf Redaksi

I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.

Dr. Dra. Ni Made Suryati, M.Hum.

Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum. Zuraidah, S.S., M.Si.

Drs. I Wayan Teguh, M.Hum Fransiska Dewi Setiowati Sunarya, S.S., M.Hum

Mitra Bestari

Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A (Unud)

Prof Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt (Unud)

Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A (Unud)

Prof. Thomas Reuter (Melbourne University) Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. (Undiksha) Prof. Dr. Susantu Zuhdi (UI)

Prof. Dr. Irwan Abdulah (UGM)

Pelaksana Tata Usaha :

I Gede Nyoman Konsumajaya

Naskah dikirim ke alamat : jurnalpustaka@unud.ac.id

Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan

Bentuk Tabu Bahasa Korea

Anak Agung Gede Suhita Wirakusuma

Udayana University, Indonesia Email: bodohh@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk kata-kata tabu dalam bahasa Korea. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode observasi dan wawancara dalam mengumpulkan data terhadap warga Korea yang tinggal dan menetap di Bali. Penelitian ini berfokus kepada tabu verbal. Klasifikasi bentuk tabu dalam bahasa Korea menggunakan teori tabu dari Frazer (1955). Temuan dan hasil analisis menunjukkan bahwa bentuk tabu dalam bahasa Korea bervariatif tergantung konteks situasi dan lawan bicara.

Kata kunci : tabu, bentuk, bahasa korea

Abstract

This research was condutcet with the aim of knowing kind of taboo in Korean language. This research is a qualitative research using observation and interview methods in data collection against Koreans who are living and settling in Bali. This research focused on verbal taboo. Classification of Taboo in Korean using theory of taboo from Frazer (1955). Research findings and analysis result show that taboo in Korean has variety depending on the context of the situation and the interlocutor.

Keywords : taboo, kind, Korean language

  • 1.    Latar Belakang

Bahasa memiliki fungsi utama yaitu sebagai alat untuk berkomunikasi dan merupakan media yang dipakai untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan antar sesama manusia. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari manusia karena setiap aktivitas manusia memerlukan bahasa untuk saling berhubungan satu sama lain. Karena besarnya peranan bahasa bagi manusia, tidak mengherankan banyak ahli yang menjadikan bahasa sebagai objek kajian ilmiah.

Samsuri (1987:3) menyatakan bahwa bahasa erat hubungannya dengan pemakai bahasa karena bahasa merupakan alat yang paling vital bagi kehidupan manusia. Badudu (1989) mengatakan bahwa bahasa adalah alat penghubung, alat komunikasi anggota masyarakat, yaitu sebagai manusia yang berpikir, berasa, dan berkeinginan. Bahasa merupakan alat yang paling vital bagi kehidupan manusia karena bahasa adalah alat penghubung atau sarana komunikasi sesama manusia.

Selain itu, Saussure (1966) berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda yang mengekspresikan ide-ide. Oleh karenanya dapat

dibandingkan dengan sistem tulisan, alfabet orangorang tuli-bisu, upacara simbolis, formula yang bersifat sopan, isyarat, dan sebagainya. Bahasa dalam sistem gramatika dan bunyi serta tata tulisnya dipahami sebagai sumber daya dan kekayaan mental yang setelah dipelajari, ada dalam diri manusia. Bukan hanya sebagai sarana berpikir, melainkan berperan juga dalam pengembangan budaya. Oleh karenanya bahasa merupakan bagian dari budaya.

Layaknya bahasa, budaya juga dipelajari, ditransmisikan, dan diwariskan ke generasi selanjutnya terus menerus melalui perbuatan dan ucapan. Bahasa dan budaya sangat erat hubungannya karena keduanya saling mengisi dan memengaruhi. Banyak hal yang dapat diteliti mengenai hubungan bahasa dan budaya. Salah satunya adalah tabu atau pantang. Tabu merupakan larangan terhadap sesuatu baik itu menurut adat, agama, maupun kebiasaan setempat (Usman, 2002:434).

Kata-kata tabu adalah suatu hal yang sudah lumrah dalam kehidupan manusia, dalam hal ini adalah perbincangan keseharian sesama manusia. Meskipun demikian, kata tabu tidak boleh diujarkan dalam situasi formal dan hampir semua

budaya di belahan dunia ini memiliki kata-kata tabu. Pada hakikatnya, tabu adalah “larangan” atau “yang dilarang”. Dalam Dictionary of Anthropology, Winick (1958:502) menyatakan bahwa “A prohibition, which, if violated, leads to an automatic penalty inflicted by magic and religion”. Jadi, kata tabu didefinisikan sebagai larangan yang jika dilanggar mendatangkan hukuman secara otomatis yang diakibatkan oleh pengaruh magi dan religi.

Laksana (2009:17) membedakan istilah tabu dan pantang (pantangan) yang sama-sama berarti ‘larangan’. Perbedaan tersebut terlihat dalam hal berikut. Pelanggaran tabu menyebabkan pelanggar terkena tulah, sedangkan pada pantangan, pelanggar hanya terkena sanksi fisik atau sanksi sosial. Untuk menghindari pelanggaran pengucapan kata tabu, maka dilakukan penyulihan atau penggantian kata yang dianggap tabu yang jika diucapkan pada situasi tertentu untuk mengubah konotasi dari kata akibat dari pengucapan kata tersebut.

Fromkin (1988: 286) menyatakan bahwa, "The taboo words are the words that often considered offensive, shocking, or rude because they refer to sex, the body or race". Jadi, menurutnya, kata tabu adalah kata-kata yang sering dianggap ofensif, mengejutkan, atau kasar karena mereka mengacu pada seks, tubuh atau ras. Dia juga menambahkan bahwa tabu adalah kata-kata tertentu yang tidak digunakan atau setidaknya tidak dalam pergaulan sopan. Terkadang kata tabu dalam bahasa tidak dapat dijelaskan, tetapi dapat ditelusuri dari sikap sosial tertentu.

Tabu merupakan hubungan erat antara bahsa dan kebudayaan. Istilah yang digunakan oleh para ahli untuk bidang yang membicarakan kedua hubungan itu adalah antropolinguistik. Bahkan, kata-kata tabu sebetulnya merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dan digunakan dalam banyak bahasa dan budaya di berbagai belahan dunia. Tabu adalah fenomena yang unik karena kata tabu tidak baik untuk digunakan dalam percakapan formal. Hal ini, dikarenakan dapat menghasilkan rasa malu, jijik, dan pelanggaran norma sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Namun, kita perlu menggunakan tabu ketika kita marah atau hal lain yang mengespresikan diri. Dengan demikian, kata-kata tabu secara khusus diucapkan dalam kondisi tidak resmi atau dalam situasi tertentu yang mungkin memenuhi syarat dengan cara dan tujuan yang sesuai. Allan dan Burridge (2006:27) menyatakan

bahwa, “A taboo is a proscription of behavior for a specifiable community of people, for a specified context, at a given place and time”. Itu berarti kita dapat berbicara atau menggunakan kata-kata tabu dalam konteks yang spesifik dengan penuh pertimbangan tempat dan waktu.

Bahasa Korea (-hanguk ó atau -hanguk mal) merupakan sarana komunikasi masyarakat Korea dan merupakan bahasa resmi Korea Selatan dan Korea Utara. Tulisan Korea dikenal dengan sebutan Hangeul. Sistem penulisan bahasa Korea asli atau Hangeul diciptakan oleh Kim Sejong atau lebih sering disebut dengan dengan sebutan Raja Agung Sejong atau Raja Sejong yang Agung (Panjireza dan Rakhmawati, 2012 : 1). Bahasa Korea memiliki jumlah penutur yang relatif besar, yaitu 46,4 juta di Korea Selatan dan 21,4 juta di Korea Utara. Jika dihitung dengan besar jumlah penuturnya, bahasa Korea menempati urutan ke-12 di dunia. Bahasa Korea juga digunakan oleh komunitas Korea di luar negeri, khususnya Cina, Amerika Utara, Jepang, dan bekas Uni Sovyet. Dalam komunitas ini bahasa Korea mampu bertahan dan seiring dengan perkembangan ekonomi dan politik Korea maka dewasa ini bahasa Korea semakin luas diajarkan sebagai bahasa asing (Lee and Ramsey, 2000).

Bali sebagai daerah tujuan wisata utama dunia telah menarik minat banyak wisatawan mancanegara, salah satunya wisatawan korea. Dewasa ini, sudah ada perkumpulan orang Korea di Bali yang disebut dengan Korean Society. Perkumpulan ini berfungsi sebagai organisasi orang Korea yang tinggal atau bekerja di Bali. Di dalam berkomunikasi, masyarakat korea cenderung mengutamakan kesantunan dalam berbahasa. Misalnya dalam penyebutan nama seseorang. Seorang pegawai suatu perusahaan di Korea tabu jika memanggil direktur perusahaan (bos) dengan hanya memanggil namanya saja.

Menurut Hwang (1991), yang meneliti tentang perbedaan orientasi dan urutan konstituen dalam sistem sapaan dalam budaya Korea dan Amerika berdasarkan teori power ‘kuasa’ dan solidarity ‘solidaritas’, yang dikemukakan oleh Brown dan Gilman. Dalam penelitiannya ia menyebutkan bahwa pada budaya Korea menekankan faktor kuasa di atas solidaritas sehingga tidak memungkinkan untuk saling menggunakan bentuk nama pertama. Kata-kata yang tidak tabu jika digunakan secara tidak tepat akan menjadi tabu. Ketidak-tepatan penggunaan itu tergantung pada konsep 5w + 1h , yaitu apa

yang diujarkan, kapan, dimana , kenapa, bagaimana, kepada siapa kata itu diujarkan. Dari fenomena di atas, muncul keinginan penulis untuk mengkaji bentuk tabu bahasa dalam bahasa Korea.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fenomena kebahasaan berupa penggunaan bahasa tabu yang ada pada kebudayaan masyarakat Korea di Bali. Disamping itu, penelitian ini juga diharapkan untuk menambahkan kajian atau bahan penelitian atau studi dalam dunia linguistik terutama dalam membahas bahasa tabu. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk tabu dalam bahasa Korea dalam penggunaannya di kehidupan bermasyarakat antar masyarakat Korea.

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai informasi dan acuan dasar dalam upaya memeroleh pengetahuan dan pemahaman dalam bidang linguistik. Dari segi bentuk bahasa, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan mengenai bentuk lingual tabu dalam bahasa Korea. Manfaat lainnya adalah penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya. Selain itu juga diharapkan menjadi salah satu penyumbang pengetahuan di bidang Linguistik sehingga menjadi inspirasi pengkajian masalah linguistik lainnya. Secara praktis penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi masyarakat untuk lebih memahami bahasa tabu serta mampu menggunakan kata tabu sesuai dengan konteks dan situasi tertentu. Analisa tabu bahasa dalam bahasa Korea ini akan memberikan konfigurasi pantangan yang jelas sehingga dapat terpola kapan diperbolehkan menggunakannya dan kapan tidak diperbolehkan sehingga diharapkan tidak terjadi kesalahan oleh masyarakat yang ingin belajar bahasa Korea di kemudian hari.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini berfokus pada tabu bahasa dalam bahasa Korea, khususnya jenis-jenis kata tabu. Penelitian ini berawal dari fenomena masyarakat korea yang memiliki aturan unik dalam berkomunikasi. Penelitian ini menggunakan teori jenis kata tabu sebagai pijakan yang telah dikemukakan oleh Frazer. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Metode ini digunakan untuk membedah permasalahan mengenai bentuk tabu dalam bahasa Korea. Dengan teori-teori yang dikemukakan di atas, data dikumpulkan dengan teknik pengamatan/

observasi dan wawancara. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan metode padan dan kuantitatif. Selanjutnya, hasil penelitian disajikan dengan teknik formal dan informal.

  • 2.1    Observasi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi. Pengamatan yang dimaksud ialah peneliti mengamati situasi yang memungkinkan adanya “penggunaan” bahasa tabu. Karena tidak diucapkan, yang diamati adalah bentuk kata atau ungkapan penyulihannya. Dalam pengamatan tersebut juga dilakukan pencatatan. Pengamatan itu sendiri tidak hanya masalah mengamati atau mencatat, tetapi juga soal membuat pertimbangan dan penilaian dari suatu peristiwa.

Observasi yang dilakukan yaitu observasi berstruktur dan tak berstruktur. Observasi berstruktur yaitu cara mengumpulkan data dengan mengamati dan mendengarkan disertai dengan merekam semua tuturan para penutur asli bahasa Korea melalui pemberian topik tertentu dan observasi tak berstruktur yaitu dengan teknik merekam pembicaraan atau tuturan bahasa di tempat tertentu.

Dalam pengamatan tersebut juga dilakukan pencatatan. Pengamatan itu sendiri tidak hanya masalah mengamati atau mencatat, tetapi juga soal membuat pertimbangan dan penilaian dari suatu peristiwa. Arikunto (1989:177) menyatakan bahwa, "Pengumpulan data dilakukan dengan merekam peristiwa, menghitung mereka, mengukur mereka, dan membuat catatan". Dia juga mengusulkan beberapa cara pengumpulan data, seperti menggunakan tes, menggunakan Kuesioner, Wawancara, Observasi, dan Dokumentasi.

  • 2.2    Wawancara

Selanjutnya, pengumpulan data dilakukan dengan metode pengamatan dan wawancara. Pengumpulan data dengan pengamatan dilakukan dengan cara merekam pembicaraan para informan dengan maksud agar data yang didapat benar-benar akurat. Wawancara penting dilakukan karena bertujuan untuk memeriksa kembali data yang diperoleh. Adapun pengumpulan data melalui telaah pustaka untuk memperoleh informasi tambahan dan data khusus yang berkaitan dengan penelitian.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Data yang didapat melalui wawancara dengan informan lalu diklasifikasi menurut teori tabu dari Frazer (1955). Pengklasifikasian tersebut mencakup 1) Tabu Nama Orang Tua; 2) Tabu Nama Kerabat; 3) Tabu Nama Orang Yang Meninggal; 4) Tabu Nama Orang Tertentu Dan Binatang Yang Disakralkan; 5) Tabu Nama Tuhan; 6) Tabu Kata-Kata Tertentu.

  • 3.1    Tabu Nama Orang Tua

Orang tua merupakan ayah dan/atau ibu serta kakek dan nenek seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Panggilan tersebut dapat diberikan kepada pria atau wanita yang bukan orang tua kandung dari seseorang namun dapat mengisi peranan seorang orang tua. Misalnya orang tua angkat (karena adopsi) atau ibu tiri (istri ayah biologis) dan ayah tiri (suami ibu biologis).

  • 1.    Ayah

Ayah dalam bahasa Korea disebut dengan abeoji. Penyebutan ayah dalam bahasa Korea memiliki 3 penyulihan yaitu abeonim, appah, dan samchun tergantung dari siapa yang memanggilnya. Abeoji merupakan panggilan ayah secara umum. Abeonim adalah bentuk hormat untuk ayah (biasanya digunakan pada situasi resmi). Appah adalah panggilan untuk ayah ketika dalam situasi tidak formal (umumnya digunakan untuk anak-anak yang belum beranjak dewasa atau kaum wanita), dan samchun merupakan panggilan untuk ayah teman dekat. Penggunaan samchun tergolong langka karena penyebutannya harus berdasarkan kedekatan penutur dengan lawan bicara. Apabila seseorang yang sudah menikah dan memiliki ayah mertua, ayah mertua akan dipanggil dengan si-abeoji (아보님) oleh menantunya. Namun pada dasarnya, untuk memanggil ayah mertuanya tetap menggunakan abeonim.

  • 2.    Ibu

Ibu dalam bahasa korea disebut omoni. Sama dengan penyebutan ayah, ibu dalam bahasa korea memiliki 3 penyulihan yaitu omonim, omma, dan imo. Penggunaannya juga sama dengan penyebutan ayah yaitu omonim adalah bentuk hormat untuk ibu (biasanya digunakan pada situasi resmi). Omma adalah panggilan untuk ibu ketika dalam situasi tidak formal (umumnya digunakan untuk anak-anak yang belum beranjak dewasa atau kaum wanita), dan Imo merupakan panggilan untuk ibu teman dekat. Penggunaan imo tergolong langka

karena penyebutannya harus berdasarkan kedekatan penutur dengan lawan bicara. Apabila seseorang yang sudah menikah dan memiliki ibu mertua, ibu mertua akan dipanggil dengan si-omoni (어머니) oleh menantunya. Namun pada dasarnya, untuk memanggil ibu mertuanya tetap menggunakan omonim.

  • 3.    Kakek

Kakek dalam bahasa korea disebut haraboji. Untuk situasi formal disebut dengan harabonim. Penggunaan haraboji juga digunakan untuk laki-laki yang perawakannya sudah tua atau lanjut usia walaupun tidak memiliki hubungan darah.

  • 4.    Nenek

Nenek dalam bahasa Korea disebut halmoni. Untuk situasi formal disebut dengan halmonim. Penggunaan halmoni juga digunakan untuk perempuan yang perawakannya sudah tua atau lanjut usia walaupun tidak memiliki hubungan darah.

  • 3.2    Tabu Nama Kerabat

Kerabat merupakan seseorang yang masih mempunyai pertalian darah dalam suatu keluarga.Kerabat meliputi kakak, adik, paman, bibi, sepupu, dan keponakan.

  • 1.    Kakak

Penyebutan kakak dalam budaya korea dapat dikatakan memiliki keunikan tersendiri. Kakak dalam penyebutannya mempunyai perbedaan tergantung dari sudut pandang pembicara atau lawan bicara. Kakak laki-laki disebut hyung jika pemanggilnya adik laki-laki dan oppa jika pemanggilnya adik perempuan. Kakak perempuan disebut noona jika pemanggilya adik laki-laki dan unni jika pemanggilnya adik perempuan. Selain itu juga ditemukan pemanggilan kakak yaitu sunbae (panggilan untuk kakak yang tidak sedarah atau kakak senior).

Selain itu juga, pemanggilan kakak juga memiliki versi yang lebih formal. Variasi tersebut adalah penambahan akhiran –nim dibelakang kata.untuk kakak laki-laki yaitu hyungnim dan untuk kakak perempuan yaitu noonim. Hyungnim dan Noonim biasanya digunakan oleh para gangster untuk memanggil atasan atau bosnya dan juga digunakan pada jaman kerajaan dalam memanggil kakak dalam suatu keluarga kerajaan.

  • 2.    Adik

Dalam bahasa korea adik disebut dengan yeodongsaeng (perempuan) dan namdongsaeng (laki-laki). Penyebutan adik dalam keseharian masyarakat Korea cenderung jarang digunakan. Hal ini disebabkan oleh penyebutan adik atau yang lebih muda dari pembicara cukup menggunakan nama saja atau hanya memanggil dengan dongsaeng saja. Namun jika konteks pembicaraan memakai adik sebagai pihak ketiga dalam pembicaraan, maka digunakanlah namdongsaeng dan yeodongsaeng. Seperti halnya penyebutan kakak, adik juga ada penyebutan untuk yang tidak sedarah yaitu hoobae (adik kelas atau junior).

  • 3.    Paman

Dalam budaya korea, penyebutan paman ada 3 yaitu samchun (hubungan sedarah), ajushi (tidak sedarah atau belum kenal/belum akrab), dan hwesamchun (paman ipar/sepupu).

  • 4.    Bibi

Seperti halnya paman, bibi juga memiliki 3 cara penyebutan dalam bahasa Korea yaitu imo (hubungan sedarah), ajumha (tidak sedarah atau belum kenal/belum akrab), dan sukmo (bibi ipar/sepupu).

  • 5.    Sepupu

Sepupu atau misan (kakak atau adik) dalam bahasa Korea disebut sachon. Penyebutan sachon jarang digunakan karena kembali ke aturan penyebutan adik dan kakak untuk memanggilnya. Bisanya hanya digunakan untuk menyebutkan atau pada sudut pandang orang ke tiga.

  • 6.    Keponakan

Keponakan dalam bahasa Korea disebut johka. Berdasarkan jenis kelamin dibagi 2 cara yaitu jokha-adel (laki-laki) dan jokha-ttal atau jilnyeo (perempuan). Penggunaan jokha atau keponakan ini juga cenderung jarang karena cukup menyebut dengan nama saja.

  • 3.3    Tabu Nama Orang Yang Meninggal

Dalam budaya Korea, tidak ada penyebutan khusus untuk orang yang sudah meninggal. ini dikarenakan oleh sistem demokrasi bebas tersebut. Misalnya, dalam sebuah keluarga yang terdiri dari Kakek, Nenek, Ayah, Ibu, dan Anak. Dari kelima anggota keluarga tersebut dibebaskan untuk memeluk agama apapun maupun tidak. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan dalam satu garis keturunan memiliki varietas kepercayaan. Namun bagi masyarakat

Korea untuk menyebutkan orang yang meninggal secara umum menggunakan chugun (almarhum) atau chukta (wafat/meninggal).

  • 3.4    Tabu Nama Orang Tertentu Dan Binatang

    Yang Disakralkan

Di setiap negara di berbagai belahan dunia ini memiliki budaya pelarangan atau aturan dalam menyebutkan sesuatu. Larangan tersebut bisa bersifat magis maupun tidak. Larangan penyebutan ini meliputi larangan penyebutan nama orang tertentu dan binatang yang disakralkan di tempat/daerah tersebut. Larangan penyebutan nama orang misalnya pada penyebutan orang suci/pendeta atau bisa saja orang dengan jabatan tinggi atau berkuasa dan sangat berpengaruh di daerah tersebut.

  • 3.4.1    Tabu Nama Orang Tertentu

Dalam suatu daerah di sebuah negara di dunia pasti memiliki budaya. Salah satunya adalah budaya pelarangan untuk menyebutkan nama seseorang. Misalnya nama raja, pendeta, atau orang-orang yang berpengaruh di dalam kehidupan bermasyarakat.

Untuk menyebutkan atau memanggil seseorang dengan profesi tertentu masyarakat Korea menggunakan rumus yaitu :

nama depan + jabatan atau nama + akhiran – ssi

Rumus tersebut ditujukan untuk yang seumuran atau di bawah, dan penambahan kata sandang untuk paman atau bibi jika lawan bicara lebih tua atau terlihat lebih tua. Perlu ditinjau juga bagaimana perawakan orang yang dituju atau dipanggil sebagai lawan bicara. Misalnya untuk memanggil sopir akan lebih sopan jika menggunakan paman sopir, daripada sopir saja. Atau dalam menyebutkan seorang pedagang baik itu laki-laki atau perempuan akan lebih sopan jika memanggil dengan menyebutkan profesinya ditambah dengan sebutan paman atau bibi.

  • 3.4.2    Binatang Yang Disakralkan

Dalam suatu daerah di sebuah negara, pasti memiliki suatu kepercayaan bahwa ada binatang yang membawa keberuntungan maupun kesialan. Kepercayaan bahwa binatang yang disakralkan tersebut memiliki sejarah dibaliknya dan hingga kini masih menjadi suatu hal yang dipercaya. Seperti misalnya kepercayaan di tiongkok menyakralkan kucing. Kucing dalam budaya

tiongkok dipercaya sebagai hewan pembawa berkah.

Dalam budaya Korea juga mengenal beberapa binatang yang disakralkan oleh masyarakat. Binatang tersebut adalah naga (아가), harimau (허라이), kucing (고양이), ular (). Naga merupakan salah satu makhluk legenda. Naga dalam bahasa Korea disebut aga아가). Disakralkan karena naga merupakan sosok binatang yang identik dengan dewa atau dewa naga. Harimau dalam bahasa Korea disebut Horangi허랑이). Binatang yang masih satu bangsa dengan kucing dan merupakan spesies kucing besar ini disakralkan karena menurut cerita rakyat yang beredar di salah satu daerah di Korea. Menurut penduduk setempat dahulu kala ada harimau besar menyerang sebuah desa membabi buta. Kucing merupakan hewan dengan banyak mitos di seluruh dunia. Di Korea, kucing merupakan hewan yang disakralkan. Menurut kepercayaan masyarakat, kucing merupakan sosok pembawa berkah atau sumber rejeki. Perwujudan kucing sering ditemukan di kios-kios dagang dalam wujud patung kucing emas dengan kaki kanan depan yang melambai ke depan dan ke belakang. Dalam bahsa Korea kucing disebut goyangi (고양이). Ular adalah hewan melata. Dalam bahasa Korea ular disebut dengan baem). Ular merupakan salah satu hewan yang disakralkan. Dikarenakan wujud ular tersebut mirip dengan sosok seekor naga. Oleh karena naga tersebut identik dengan dewa, maka ular juga disakralkan oleh masyarakat Korea.

  • 3.5    Tabu Nama Tuhan

Di Korea, masyarakat mengenal beberapa nama tuhan tergantung budaya dan kebiasaan masyarakat daerah tertentu. Penyulihan nama Tuhan di Korea secara umum ada 3 yaitu 예수그리스도 (Yesu Grisdo), 여수님 (Yesu-nim), dan 여수 (Yesu). Yesu Grisdo artinya Jesus Christ dan Yesu-nim artinya Jesus. Yesu Grisdo dan Yesu-nim adalah sebutan nama Tuhan bagi umat Kristiani di Korea. Bagi mereka yang non-kristiani biasanya menggunakan Yesu saja.

Apabila sedang terkejut akan sesuatu dan mengatakan nama tuhan sebagai ekspresi kejut yang sangat, seperti “Jesus!” atau “Oh My God!” dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa Indonesia “Ya Tuhan!”, kata yesu-nim tabu untuk digunakan. Untuk ekspresi kaget seperti ini kata yesu disulih

menjadi sesange (세상에 yang artinya juga sama yaitu “ya Tuhan/ya ampun Tuhan”.

  • 3.6    Tabu Kata-Kata Tertentu

Dalam budaya korea ada beberapa kata yang tabu diujarkan. Kata tabu dalam bahasa Korea disebut banmal반말). Banmal ini merupakan kata yang kasar atau bisa juga berarti kata informal yang tidak patut diujarkan dalam situasi tertentu. Namun jika seseorang sedang emosi atau sedang mengekspresikan amarah, kata-kata ini dapat saja keluar atau terucap dari seseorang yang sedang emosi. Kata-kata tertentu dalam bahasa Korea dibagi atas 3 macam, yaitu kata, kalimat, dan pemilihan bahasa.

  • 3.6.1    Kata

Dalam budaya bermasyarakat di Korea, ada 8 kata yang tabu untuk diujarkan dalam bahasa Korea. . Kata-kata tersebut adalah cegiral, babo, nappun, siphal, jasik, jenjang, sekkiya dan michinseoyo. Dari 8 kata tersebut dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu kata tabu yang biasa digunakan maupun hanya digunakan dalam situasi tertentu.

  • a) Kata Tabu Yang Biasa Digunakan

Kata tabu yang biasa digunakan ini maksudnya adalah kata-kata celaan atau ejekan kepada teman dalam percakapan sehari-hari atau biasa disebut bahasa pergaulan. Kata-kata tersebut adalah babo, nappeun, jenjang, michinseoyo.

  • 1)    Babo (바보

Babo dalam bahasa Korea berarti bodoh. Kata babo mempunyai makna dengan konotasi yang berbeda dalam penggunaannya pada kalimat. Biasanya dicirikan dengan intonasi dalam berbicara.

  • 2)    Nappeun (나쁜

Nappeun dalam bahasa Korea berarti jahat atau buruk. Seperti pada penggunaan babo, penggunaan kata nappeun juga merupakan banmal yang bisa digunakan dalam kalimat, baik itu kalimat yang mengandung makna tabu maupun tidak.

Namun jika dalam konteks yang berbeda, kata nappeun juga memiliki makna yang berbeda juga. Secara harfiah kata nappeun berarti bodoh, namun jika konteks situasi berbeda, kata nappeun akan berarti lain dan maknanya juga berubah. Jadi kata nappeun berubah tergantung kapan dan kepada siapa di ujarkan.

  • 3)    Jenjang (젠장)

Jenjang dapat berarti sial atau sialan (kamu) tergantung konteks pengguna kata tersebut.

  • 4)    Michin (미친)

Michin (미친) dalam bahasa Korea artinya gila (kamu). Kata ini merupakan kata yang paling sering digunakan masyarakat Korea. Tentu saja dalam situasi yang tidak formal. Namun sesekali digunakan juga dalam situasi formal dengan catatan bahwa menggunakan banmal adalah pilihan terakhir.

Dari keempat kata tersebut, yang merupakan kata tabu dalam bahasa Korea, menurut budaya Korea adalah kata yang bisa digunakan dalam konteks dan situasi tertentu. Artinya, kata-kata seperti babo, nappeun, jenjang, dan michinseoyo merupakan kata tabu yang bisa digunakan kepada siapa saja guna mengekspresikan sesuatu. Ekspresi disini meliputi ekspresi bahagia, euphoria, sayang, kaget, protes atas sesuatu dan lain lain. Akan tetapi, tidak lupa juga untuk melihat konteks dan situasi, apabila sedang berada dalam situasi formal, berbicara dengan bahasa informalpun juga tetap menjadi tabu meskipun tidak mengandung unsur kata tabu di dalam kalimat yang di ujarkan.

  • b) Kata Tabu Yang Hanya Digunakan

Dalam Situasi Tertentu.

Kata tabu berikutnya adalah kata yang hanya digunakan dalam situasi tertentu. Katakata ini biasanya digunakan untuk menghujat seseorang atau umpatan terhadap seseorang. Biasanya kata-kata ini hanya terucap apabila seseorang sudah terlampau emosi dan marah akan sesuatu. Kata tersebut adalah cegiral, siphal, jasik, sekkiya.

  • 1)    Cegiral (재기랄)

Cegiral dalam bahasa Korea yang artinya jalang atau bitch. Sesuai artinya, kata tabu ini cenderung di ujarkan kepada wanita. Meskipun memiliki kecenderungan terhadap wanita, kata cegiral juga bisa di gunakan kepada kaum laki-laki.

  • 2)    Siphal (시팔)

Siphal dalam bahasa Korea yang artinya bangsat/ fuck you.

  • 3)    Jasik (자식)

Jasik dalam bahasa Korea yang artinya asshole.

  • 4)    Sekkiya (새끼야)

Sekkiya dalam bahasa Korea yang artinya anjing.

Dari keempat kata tersebut, yang juga merupakan kata tabu dalam bahasa Korea, menurut budaya Korea adalah kata yang hanya digunakan dalam konteks dan situasi tertentu. Artinya, kata-kata tersebut hanya digunakan ketika seseorang sedang emosi atau mengekspresikan amarah.

  • 3.6.2    Kalimat

Dalam bahasa Korea juga ada kumpulan kata atau frasa yang tidak tabu namun mempunyai makna yang tabu. Artinya, kalimat-kalimat tersebut jika di artikan secara harfiah tidak mengandung unsur tabu sedikitpun, namun jika diucapkan dengan intonasi yang tinggi, maka kalimat tersebut memiliki makna yang tabu. Misalnya:

  • 1.    Dwaetgoneun! – tolong jangan bicara lagi

  • 2.    Dangguniji! – benar sekali!

  • 3.    Niga nahante eotteohke geureol suijji?! – bagaimana bisa kau lakukan ini padaku?!

  • 4.    Mianhae hal gotkkajineun obso! – tidak ada yang perlu dimaafkan!

  • 5.    Neo jeongmal chisahada! – kau murahan!

Kalimat-kalimat di atas sebenarnya tidak mengandung unsur tabu. Namun dalam penggunaannya memiliki makna yang tabu, tujuan dari pengungkapan kalimat tersebut adalah mengumpat seseorang. Oleh karena itulah, kalimat yang biasa saja bisa menjadi kasar apabila digunakan dengan nada emosi berlebih.

  • 3.6.3    Pemilihan Bahasa

Setiap bahasa memiliki tingkatan bahasa. Tingkatan bahasa disini adalah bahasa formal (polite) dan informal (impolite). Begitu pula dalam bahasa Korea. Bahasa Korea memiliki beberapa tingkatan bahasa yang digunakan baik dalam keseharian maupun dalam situasi tertentu. Tentu saja hal ini sangat menentukan adanya perubahan-perubahan kata yang digunakan dengan ungkapan-ungkapan yang sesuai berdasarkan sifat atau jenis bahasa tersebut.

  • 1.    Bahasa formal

Bahasa formal adalah bahasa yang biasa dipergunakan pada situasi-situasi yang bersifat resmi atau formal yaitu misalnya pada situasi rapat, lingkungan kerja, bahasa dari bawahan terhadap atasan, bahasa pendidikan, media

massa, dan lain sebagainya yang bersifat resmi. Bahasa formal dalam bahasa Korea memiliki beberapa ciri-ciri yang mutlak yaitu:

  • 1.    Penekanan intonasi yang sangat tegas pada pengucapan.

  • 2.    Selalu diakhiri dengan bunyi akhiran – seumnida  (입니다)  dan  -imnida

입니다)   untuk mengungkapkan

pernyataan, -seumnika (입니다) dan – imnika (임니까) untuk menyatakan pertanyaan, dan –sipsio (임니까) untuk menyatakan perintah.

Pada kalimat, penggunaan akhiran -seumnida (습니다) -imnida (입니다) dalam menyatakan pernyataan dan -seumnika (습니까) -imnika (임니까) dalam menyatakan pertanyaan memiliki tingkat tersendiri. Akhiran -seumnida dan -seumnika merupakan akhiran formal honorifik dan akhiran -imnida dan -imnika merupakan bunyi akhiran formal biasa.

Pada kasus tertentu juga didapati berbicara formal secara tidak tepat atau kepada seseorang yang tidak layak merupakan hal yang tabu juga. Tentu saja berbicara formal dengan intonasi menyindir maupun sinis kepada seseorang dapat menjadi hal yang tabu. Seharusnya berbicara formal merupakan bentuk hormat dan sopan santun seseorang terhadap orang lain, namun justru sebaliknya. Berbicara formal dengan nada sinis kepada orang yang tidak layak justru menginjak-injak harga diri seseorang. Misalnya antara direktur dengan karyawan. Seorang direktur mendapati karyawannya “bermain” saat sedang bekerja, direktur tersebut memarahi karyawan tersebut dengan cara berbicara formal dengan nada yang sinis. Disamping harga dirinya terinjak di hadapan rekan kerja yang lain, dirasa juga memarahi karyawan dengan cara demikian juga menekan mental karyawan tersebut.

  • 2.    Bahasa informal

Bahasa informal adalah bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari dengan tanpa adanya situasi resmi atau yang dikatakan dengan bahasa pergaulan atau keakraban. Bahasa informal dalam bahasa Korea memiliki beberapa ciri-ciri yaitu:

  • 1.    Penekanan intonasi yang tidak terlalu tegas dan kaku pada pengucapan.

  • 2.    Selalu diakhiri dengan bunyi –yo () atau tanpa memiliki akhiran dalam

menyatakan pernyataan, pertanyaan, maupun perintah.

Bahasa informal biasanya digunakan antar sahabat, sesama teman di sekolah maupun di perguruan tinggi, atau tempat-tempat yang tidak resmi.

Pada dasarnya, bahasa tabu merupakan hal yang sewaktu-waktu digunakan hanya untuk kebutuhan tertentu. Prinsip dasar bahasa tabu adalah penggunaannya pada konteks dan situasi tertentu. Apabila yang di ucapkan tabu pada situasi informal, maka sah-sah saja selama lawan bicara adalah seseorang yang sudah akrab. Apabila tabu untuk mengucapkan suatu kata pada konteks dan situasi yang tidak memungkinkan untuk mengucapkannya, maka kata tersebut disulih menjadi bentuk yang tidak tabu. Penyulihan tersebut dilakukan dengan maksud agar lawan bicara tidak marah maupun tersinggung. Atau agar pembicara tidak berada dalam masalah. Keunikan bahasa di Korea merupakan identitas budaya Korea. Oleh karena itu, kebudayaan Korea tidak dapat dilepaskan dari kehidupan bahasanya.

  • 4.    Simpulan dan Saran

    4.1    Simpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, kebudayaan setiap masyarakat mempunyai cara pandang tersendiri. Cara pandang ini meripakan ciri khas keunikan bahasa dan perkembangan sejarah kebudayaan yang bersangkutan, dalam hal ini, tabu bahasa. Tabu bahasa sebagai salah satu pendukung kebudayaan harus dijaga. Sanksi-sanksi yang dapat timbul akibat pelanggaran tabu menyebabkan masyarakat Korea patuh terhadap aturan tersebut.

Tabu dalam bahasa Korea dapat dihindari dengan cara menyulih atau menggantinya dengan bentuk-bentuk linguistic. Bentuk-bentuk tersebut dapat berupa majas, paraphrase, alih kode, dan sebagainya. Dengan melakukan penyulihan tersebut penutur dapat terhindar dari sanksi social ataupun sanksi magis.

Penyebutan nama dan kata-kata tertentu yang ditabukan dipercaya dapat mendatangkan bencana atau tulah. Misalnya pelanggar akan mendapatkan sanksi social di masyarakat atau sanksi magis atau dosa. Berbagai macam penyebutan nama orang tua, kerabat, nama tuhan, nama orang yang meninggal, nama orang tertentu dan binatang, serta kata-kata tertentu apabila tidak tepat guna akan mendapatkan sanksi.

  • 4.2    Saran

Seperti pepatah mengatakan tiada gading yang tak retak, yang berarti penelitian ini masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis baik dalam hal penguasaan teori dan penerapannya maupun dalam penganalisisan data.

Dengan demikian diharapkan agar peneliti selanjutnya dapat meneliti secara lebih mendalam dan lebih luas dengan teori yang lebih terkini mengenai tabu bahasa Korea. Sehingga nantinya penelitian yang dihasilkan lebih bermanfaat dan lebih baik daripada yang penulis lakukan.

Daftar Pustaka

Allan, Keith and Kate Burridge. 2006. Forbidden Words: Taboo and the Censoring of Language. Cambridge:    Cambridge

University Press.

Arikunto, S. 1985. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: PT Bina Aksara.

Frazer, S.J.G. 1955. Taboo and the Perils of the Soul. Second Edition. London: McMilan.

Fromkin, Victoria. 2005. An Introduction to Language. United State of America: Thompson Corporation.

Hwang, Shin Ja J. 1991. Terms of Address In Korean and American Cultures. The University of Texas at Arlington Summer Institute of Linguistics.

Laksana, I Ketut Dharma. 2009. Tabu Bahasa: Salah Satu Cara Memahami Kebudayaan Bali. Denpasar: Udayana University Press.

Iksop Lee dan S. Robert Ramsey. 2000. The Korean Language. New York: state University of New York Press.

Panji Reza, Teguh & Dede Rahmawati. 2012. Jurus Kilat Jago Ngomong Bahasa Korea. Jakarta: Laskar Aksara

Samsuri. 1987. Analisa Bahasa. Jakarta: PT Gramedia

Saussure, F. 1966. Course In General Linguistics. New York : McGraw-Hill Book Co

Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Usman, A. K. 2002. Kamus Umum Bahasa Minangkabau-Indonesia. Padang: Anggrek Media.

Winick, C. 1958. Dictionary of Anthropology.

Ames, Iowa: Littlefield, Adams & Co.

92