PUSTAKA VOL. XIX, NO. 2 • 94 – 100

P-ISSN : 2528-7508

E-ISSN : 2528-7516

RIAK GELOMBANG RESILIENSI KELUARGA ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DALAM BALUTAN ASPEK BUDAYA BALI

Bambang Dharwiyanto Putro Program Studi Antropologi FIB Unud bdharwiyantoputro@yahoo.com

ABSTRAK

Keluarga yang memiliki anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mengalami beban berat dan berbagai macam bentuk stres yang mengakibatkan kondisi ini sulit untuk dihadapi. Hal ini dipengaruhi oleh isolasi sosial, stigmatisasi dan beban psikologis serta beban ekonomi yang makin meningkat. Namun disisi lain keluarga tetap berharap penderita dapat sembuh total. Pribadi yang mampu bertahan dalam kondisi sulit tersebut disebut dengan pribadi yang memiliki resiliensi. Resiliensi dilihat sebagai kualitas pribadi yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan, baik internal maupun eksternal, tetapi juga pada akhirnya mereka dapat menjadi lebih kuat dari pada sebelumnya.

Di Bali menurut kepercayaan orang Bali yang beragama Hindu terdapat suatu konsep bahwa sehat sakit terjadi bila tidak ada keseimbangan ketiga unsur yaitu Buana Alit, Buana Agung dan Sang Hyang Widhi Wasa sebagai faktor sekala atau niskala yang dapat menimbulkan gengguan pada manusia. Kepercayaan ini yang menyebabkan penderita atau keluarga akan mengunjungi dukun atau balian untuk mendapatkan petunjuk atau pengobatan. Begitu pun setelah penderita keluar dari rumah sakit, sebagian besar penderita berobat ke dokter dan balian dan ada yang lebih sering ke balian saja atau dokter saja. Jika mereka kambuh maka sebagian besar datang ke balian. Balian mampu mempengaruhi pasien dan keluarganya dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan balian. Terlihat bahwa peranan budaya Bali khususnya yang ada kaitannya dengan terjadinya gangguan jiwa perlu mendapat perhatian khusus.

Penulisan artikel ini ingin menunjukkan rekomendasi untuk perawatan potensial yang dapat menolong dalam tahap penyembuhan atau pemulihan paling tidak sebagai tambahan pengalaman.

Kata Kunci: resiliensi, sehat-sakit, balian, aspek budaya

  • 1.    PENDAHULUAN

Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberi dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan tersebut. Akibatnya, gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global. Lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa. Secara global angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92% yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun karena kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan dengan meningkatan stress (Sheewangisaw, 2012: 1-10). Penderita gangguan jiwa di Indonesia berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 melaporkan angka gangguan jiwa berat (skizofrenia) 4-6 per 1000 penduduk. Sebelumnya angka kelainan jiwa (psikosis) di Indonesia diperkirakan sebesar 1-3 per 1000 penduduk. Gangguan mental emosional hasil Riskedas 11,6%. Sebelumnya gangguan jiwa

(neurosis) termasuk neurosis cemas, obsesif, hysteria, serta gangguan kesehatan jiwa psikosomatik/psikofisiologik sebagai akibat tekanan hidup berkisar antara 20-60 per 1000 penduduk. Demikian pula halnya dengan ketergantungan obat, kenakalan remaja, dan penggunaan atau ketergantungan alkohol serta penyimpangan perilaku manusia (Depkes RI. KMK. No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010: 2).

Banyak peraturan perundangan di bidang kesehatan yang telah disusun oleh pemerintah mulai dari UU. No. 3 Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa, UU. No. 36 Tahun 2009, hingga peraturan dan keputusan menteri dengan tujuan untuk mengatur upaya-upaya kesehatan jiwa. Namun dalam pelaksanaannya, sistem perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Penderita gangguan jiwa, selanjutnya disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) seringkali menjadi korban ketidakadilan dan perlakuan yang semena-mena oleh masyarakat.

Dari data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI (2013), diketahui bahwa Provinsi Bali masuk dalam daftar lima besar gangguan jiwa berat terbanyak di Indonesia, yaitu masing-masing DI Yogyakarta (2,7%), DI Aceh (2,7%), Provinsi Sulawesi Selatan (2,6%), Provinsi Bali (2,3%), dan Provinsi Jawa Tengah (2,3%) (Riskedas, 2013: 126). Di daerah Bali jumlah angka gangguan jiwa yang dipasung di masyarakat menunjukkan masih terjadi peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016 lalu di Bali tercacat 32 kasus pemasungan penderita gangguan jiwa yang berhasil ditangani. Jumlah itu justru meningkat tiap tahunnya.

Berbagai cara dan upaya strategi keluarga ODGJ untuk mengobati anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa seakan tak pernah berhenti. Mencoba dari satu pengobatan ke pengobatan lainnya baik pengobatan tradisional (rumah tangga, kedukunan) ataupun pengobatan modern (rumah sakit jiwa) secara tumpang tindih. Pelayanan kesehatan tradisional yang sudah mengakar di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya sejak dahulu tetap dikunjungi oleh masyarakat. Sesuai dengan Alma Alta Declaration 1978 disepakati bahwa semua kemampuan yang ada dimanfaatkan untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh anggota masyarakat. dengan demikian disamping usaha kesehatan formal perlu dipikirkan potensi-potensi lain dalam masyarakat anatara lain pengobat tradisional dalam upaya pelayanan kesehatan dalam batas-batas tertentu (Nala, 1997). Pengobat tradisional merupakan cara penatalaksanaan menurut azas kebudayaan yang berlaku untuk tempat tertentu (bukan neotradisional yang menggunakan listrik, akupunktur dllnya).

Dukungan dan penyertaan keluarga dari pasien-pasien dengan spektrum dari gangguan jiwa yang dialami dalam program manajemen penyakit menunjukkan hasil yang bagus dalam aspek psikopatologi, relaps, rehospitalisasi dan fungsi sosialnya (Sumantra, 2005). Walaupun adanya penemuan farmakoterapi terbaru, kehidupan beberapa orang dengan skizofrenia seringkali mengalami kekambuhan, perawatan berulang-ulang dirumah sakit, penyesuaian kehidupan sosial yang buruk dan kualitas hidup yang tidak memuaskan. Efek yang kurang optimal dari pengobatan yang terbaru walaupun sudah dikombinasikan dengan terapi psikososial menyebabkan perlunya pengembangan dari intervensi bio-psiko-sosial-spiritual terbaru.

  • 2.    METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang lebih menekankan pada deskripsi yang bersifat emik, etik, holistik dan mendalam (thick description). Menurut Moleong (2014), penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh informan penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi secara holistik. Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi berfokus pada pengalaman fenomenologikal dan suatu studi tentang kesadaran dan perspektif pokok dari seseorang (Moleong, 2014).

  • 3.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem-sistem medik tradisional dalam kenyataannya masih tetap hidup, tidak terhapuskan oleh praktik-praktik biomedik kedokteran yang makin mengalami perkembangan. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa pelayanan dan perawatan kesehatan merupakan fenomena sosial budaya yang kompleks. Usaha penyembuhan penyakit oleh keluarga penderita tidak hanya dilakukan di puskesmas, rumah sakit, dokter praktik umum dan spesialis, tetapi dapat pula dilakukan secara tradisional (Kasniyah, 1985:71).

Ditambahkan oleh Connor bahwa untuk sebagian besar orang atau masyarakat Bali mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan sistem pelayanan kesehatan modern apabila sakit. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri pula secara relatif masih banyak masyarakat juga mendatangi praktisi medis tradisional (prametra) dalam suatu kasus penyakit tertentu atau masalah-masalah kesehatan yang tidak dapat diatasi melalui sistem pelayanan kesehatan modern (Connor, 1982:3). Sependapat dengan Connor, Nala menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat Bali umumnya untuk mencari pemecahan masalah kesehatan dan usaha-usaha dalam sistem pelayanan kesehatan (health care system), sistem pengobatan tradisional masih merupakan pilihan yang sangat penting di samping pengobatan modern (Nala, 1997:6--10). Pengambilan keputusan dalam memilih sumber pengobatan ini dijadikan pedoman dalam perilaku kesehatan oleh masyarakat.

Diketahui bahwa perilaku perawatan tradisional (yang dijadikan pilihan pengobatan oleh keluarga penderita) terbagi dalam dua pilihan

perawatan kesehatan, yaitu pilihan perawatan rumah tangga (home remedies) dan pilihan perawatan kedukunan (folk sector). Kedua sistem perawatan ini dalam pelaksanaan pengobatan ataupun perawatan terhadap si sakit memenuhi indikator pelaksanaan perawatan/pengobatan tradisional. Adapun indikator yang dimaksud, antara lain penyembuhan dengan jalan mengurut atau memijat anggota tubuh, meracik berbagai ramuan khusus, obat-obatan yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan, penggunaan mantra dan jimat, serta berbagai halangan/pantangan (tabu). Bentuk pelaksanaan pengobatan ataupun perawatan pada sistem perilaku perawatan tradisional tersebut sudah pasti tidak ditemukan dalam sistem perilaku perawatan kesehatan modern/profesional (kedokteran).

Pada masyarakat Bali yang beragama Hindu, berobat ke Battra (pengobatan tradisional yang terkenal dengan sebutan Balian, Tapakan atau Jero Dasaran, masih merupakan pilihan yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Penyakit tidak hanya merupakan gejala biologis saja, tetapi memiliki dimensi yang lain yakni sosial dan budaya. Itulah sebabnya untuk menyembuhkan suatu penyakit tidaklah cukup hanya ditinjau masalah biologisnya saja, tetapi harus digarap pula masalah sosial budayanya. Sering kali berobat ke Dokter atau Puskesmas, pada kenyataannya lebih banyak pengobatan ditujukan kepada masalah biologisnya saja, dan melupakan atau tidak sempat menangani masalah sosial budayanya. Apalagi bila menjalani rawat inap di rumah sakit, mereka akan enggan karena masalah sosial budaya ini. Dokter dan perawat, walaupun orang Bali, dianggap orang asing, disebabkan cara berpikir, bertindak, kerja sudah berbeda dengan kebiasaan masyarakat Bali pada umumnya. Dokter dan perawat berpikir, berbicara serta bertindak mempergunakan budaya asing, yang lebih menitik beratkan pada masalah rasional dan ilmiah, sulit diajak berbicara masalah yang irrasional dan tradisional. Itulah sebabnya ada sebagian masyarakat yang kurang mendapat kepuasan akan pelayanan pengobatan modern, mereka akan merasa lebih puas berobat ke Battra, pengobat tradisional. Di pengobat tradisional ditangani masalah sosial budayanya secara baik dan memuaskan.

Di Bali menurut kepercayaan agama Hindu, sakit terjadi bila tidak ada keseimbangan 3 unsur yaitu buana alit, buana agung dan Sanghyang Widhi Wasa sebagai faktor sekala atau niskala yang dapat menimbulkan gangguan pada

manusia (Suryani, 2000). Jadi menurut kepercayaan dan keyakinan tersebut bahwa penyakit dapat disebabkan oleh dua penyebab/kausa yaitu kausa sekala (natural, alami) maupun kausa niskala (supranatural, personalistik). Kausa sekala adalah penyebab natural sakit yang tampak, nyata, berwujud, misalnya suhu yang berubah/pilek, benturan fisik/luka karena pisau, patah tulang karena jatuh. Sedangkan kausa niskala merupakan wujud halus, seperti roh, hantu dan kekuatan magis hitam adalah penyebab sakit yang tidak tampak, tidak nyata dan tanpa wujud yang pasti. Kedua unsur ini masuk ke dalam tubuh atau tetap di luar tubuh dan menyebabkan ketidakseimbangan buana alit tempat keberadaan Tri-dosha yang terdiri dari Vayu, Pita, Kapha atau berupa udara, panas, cairan. Di dunia barat dikenal istilah untuk penyakit ini dengan disease dan illness. Penyakit sebagai disease mencakup satu konsep tentang patologi ilmu penyakit merupakan gangguan yang terbatas pada kelainan medis dan organobiologis sedangkan illness merupakan suatu konsep kebudayaan yang merupakan masalah atau gangguan yang dialami yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Kepercayaan ini yang menyebabkan penderita atau keluarga akan mengunjungi dukun atau balian untuk mendapatkan petunjuk atau pengobatan. Begitu pun setelah penderita keluar dari rumah sakit, sebagian besar penderita berobat ke dokter dan balian dan ada yang pergi ke balian saja atau ke dokter saja. Dan kalau mereka kambuh maka sebagian besar datang ke balian. Balian mampu mempengaruhi pasien dan keluargannya dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan balian (Putro, 2004).

ODGJ sesungguhnya menimbulkan beban berat pada keluarga dan orang yang dekat dengan pasien. Penatalaksanaan yang melibatkan keluarga secara dini dalam proses pengobatan dapat mengurangi kambuh dan menurunkan stres serta kekacauan dalam keluarga (Power, 2015). Penderita yang dalam perawatannya hampir selalu memerlukan obat biasanya tidak berhasil optimal kalau tidak mendapatkan pelayanab dan dukungan untuk mengatasi penyakitnya dalam menghadapi ketakutan, pengasingan dan hinaan yang sering menyertainya. Pendekatan bio-psiko-sosio-budaya adalah anggapan bahwa gangguan jiwa skizofrenia disebabkan oleh ketiga faktor diatas yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Dari segi biologis Skizofrenia adalah penyakit otak, dari segi psikologis dipengaruhi oleh psikodidinamika

kepribadian dan dari segi sosiobudaya dipengaruhi budaya, lingkungan dan keluarga penderita (Schulze & Rosler, 2005).

Karakteristik Pasien ODGJ Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali

Karakteristik pasien ODGJ diolah dari Bagian Data & Rekam Medis RSJ Provinsi Bali 2018 diperoleh hasil sebagai berikut. Distribusi kelompok umur pasien ODGJ rawat inap yang paling banyak adalah kelompok umur 30--39 tahun, kemudian disusul kelompok umur pasien rawat inap 40--49 tahun. Angka kesakitan yang paling jarang adalah berturut-turut kelompok umur pasien 0--9 tahun dan 10--19 tahun. Distribusi pasien rawat inap menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian besar pasien berjenis kelamin laki-laki dibandingkan pasien perempuan. Terkait status perkawinan pasien sebagian besar berstatus belum kawin. Didapatkan pula bahwa jenis kelamin laki-laki yang belum kawin lebih banyak daripada jenis kelamin perempuan.

Untuk status pendidikan pasien ODGJ terbanyak adalah tidak bersekolah, disusul berturut-turut pasien yang berpendidikan SMA, SD, SMP, PT dan SLB. Distribusi pasien rawat inap menurut pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar pasien rawat inap tidak memiliki pekerjaan. Tidak bekerja (pengangguran) biasanya menimbulkan perasaan-perasaan inferior (minder, rendah diri), rasa tidak berguna, tidak dipakai lagi, tak dibutuhkan, dan menimbulkan banyak frustasi. Berdasarkan jaminan, pasien rawat inap terbanyak menerima JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara) juga disusul oleh Jamkesmas dan Askes. Dari data asal daerah pasien rawat inap menunjukkan bahwa yang terbanyak adalah dari daerah Gianyar disusul berasal dari Kota Denpasar, kemudian berturut-turut berasal dari Karangasem, dari Bangli dan dari Buleleng.

Bila dilihat dari sepuluh besar penyakit rawat inap pasien ODGJ diketahui bahwa sebagian besar pasien rawat inap mengidap penyakit gangguan jiwa diagnosis skizofrenia.

Pengobat Tradisional (Battra)

Di Bali, dukun sebagai pengobat tradisional dikenal dengan istilah balian, tapakan atau jero dosaran. Kemampuan untuk mengobati ini diperoleh dengan berbagai cara. Tidak seperti di dunia pengobatan modern atau paramedic memperoleh pengetahuan dan kemampuan untuk

mengobati orang sakit dari bangku sekolah, pengobat tradisional memperoleh keahliannya berdasarkan atas tradisi, keturunan, taksu, pica atau dapat pula akibat belajar pada orang yang sudah jadi balian dan berbagai cara lainnya. Ada beberapa balian yang tidak mau disebut balian atau jero dasaran, mereka hanya mengaku sebagai orang yang menolong atau mengobati.

Kebanyakan balian melakukan tugas pengobatannya tanpa mengharapkan sasantun, mereka dengan rela mengobati siapapun orang yang memerlukan pertolongannya tanpa melihat sesari atau jumlah sasantun yang ditaruh didalam sesajinya.. Semua pengobatan berlangsung dengan tulus iklas tanpa pamrih. Sebab semua balian yang benar-benar balian di Bali, tahu akibat dari kelobaan akan sasantun dan materi lainnya. Kesaktian atau kesidiannya dalam hal mengobati orang sakit akan menurun dan luntur. Kalau mereka tahu tidak akan mampu mengobati pasiennya, dengan terus terang akan mengatakan dan menyarankan agar mencari balian yang lebih pintar dari dirinya. Bila tahu prognosisnya jelek (mati) mereka tidak akan mau mengobati.

Malukat

Malukat dan mohon restu adalah proses untuk menyucikan diri. Malukat suatu kata yang sangat akrab bagi krama Bali untuk dilakukan dalam kehidupan ritual. Tujuan dan harapan upacara ini untuk mampu meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik. Tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai adalah meliputi menyembuhkan penyakit medis maupun non medis. Malukat dilakukan di mata air, air pancuran, sungai, dilaut bahkan menggunakan air suci dari Sang Sulinggih. Kumbara (2017) menyatakan bahwa orang Bali umumnya akan meminta pertolongan kepada seorang dukun atau balian untuk memperoleh penjelasan mengenai sebab-sebab sakit dan sekaligus cara-cara mengatasinya. Selain meminta bantuan kepada seorang dukuh atau balian, keluarga akan mengajak yang bersangkutan untuk melakukan ritual melukat yang memiliki fungsi dan makna simbolik yang mengarah pada upaya pembersihan jiwa-raga ODGJ dalam rangka mencapai atau mengembalikan keseimbangan jiwa yang terganggu.

Persepsi dan Perilaku Perawatan ODGJ Orang Bali

Konsep sakit menurut kepercayaan orang Bali yang beragama Hindu terjadi akibat

ketidakseimbangan 3 unsur Buana Alit, Buana Agung dan Sang Hyang Widhi Wasa sehingga faktor sekala atau niskala dapat menimbulkan gangguan pada manusia. Maka kepercayaan ini yang menyebabkan penderita atau keluarganya mengunjungi pengobat tradisional, dukun (balian) untuk mendapat pengobatan. Di pengobat tradisional di Bali, proses pengobatan biasanya disertai upacara sembahyang dan persembahan sajen di Pura (Merajan), tempat suci, laut dan sebagainya sesuai dengan pandangan atau kepercayaan pengobat tradisional tersebut. Dilihat dari materi pengobatan tradisional antara lain dengan loloh, simbuh, boreh, metirta, melukat.

Keluarga pasien datang ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali dengan alasan atas permintaan keluarga setelah mendapat petunjuk/pertimbangan Balian. Disamping itu juga atas saran tenaga kesehatan serta anjuran tokoh agama. Ditemukan juga bahwa hampir sebagian besar kunjungan ke pengobat tradisional (balian) lebih dari sekali dengan hasil yang sangat bervariasi. Ada yang merasakan sembuh cukup lama, hanya sembuh sebentar, selalu kumat atau kambuh, tidak ada perubahan sama sekali, dan semakin parah. Jika dilihat dari siapa yang menyarankan mereka mencari pengobatan medis antara lain keluarga, tetangga, balian, teman, dan juga karena keyakinan sendiri. Ditemukan juga alasan konsep keluarga mencari pembersihan setelah ke rumah sakit dikarenakan merasa leteh/kotor, mala/cacat, supaya roh pasien tidak ngambang.

Setelah keluar dari Rumah Sakit, pengobatan yang dicari adalah pengobat tradisional, medis, dan kombinasi/tumpang tindih (antara medis dan tradisional). Keluarga pasien akan memanfaatkan kedua pengobatan tersebut secara tumpang tindih (Foster dan Anderson, 1986). Kalau mereka kambuh maka sebagian besar datang ke balian. Konsep penderita dan keluarganya dikatakan sakitnya karena sakit Bali karena merasa leteh/kotor sehingga merasa perlu dilakukan pembersihan atau malukat. Balian mampu memengaruhi pasien dan keluarganya dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan balian. Setelah dilakukan upacara pembersihan perasaan penderita lebih tenang, lebih semangat, merasa bersih. Pasien ODGJ selama mendapatkan perawatan medis di RSJ terkait penjelasan terhadap keluarga oleh para tenaga medis mengenai sakit, sistem perawatan medis, kondisi pasien, kepatuhan minum obat, bagi keluarga pasien dirasakan masih sangat kurang.

Bagi keluarga pasien bahwa kekambuhan penderita disamping karena faktor niskala yang dipercaya, juga terjadi karena merasa bersalah, perasaan tertekan, merasa dijauhi/tidak diperhatikan, ketidaksabaran sikap keluarga, tidak dipercaya dan selalu dicurigai. Rasa bersalah ini bisa dalam bentuk keyakinan bahwa penyebab gangguan yang dialami karena lemahnya diri dalam cobaan/ujian hidup, hukuman dari Tuhan, ataupun kesalahan masa lalu (Putro, 2016). Mengenai bentuk komunikasi serta pola interaksi pada pengobat tradisional berlangsung terbuka dan tanpa rahasia. Keluarga dapat menemani dan mengemukakan pendapat atau komentar tentang masalah yang dihadapi pasien secara terbuka kepada pengobat tradisional maupun penderita.

Berkaitan dengan kualitas hubungan di pengobat tradisional pada umumnya bersifat nonformal, terbuka, santai, ramah dan tidak diperlukan tata cara yang ketat. Kontak emosional biasa saja. Kalaupun ada yang bersifat formal terbatas ketika dalam keadaan trance saja, setelah itu biasa lagi, tidak formal. Sehubungan dengan sikap, untuk masyarakat di Bali yang masih memiliki adat budaya tradisional yang kuat, tidak tedapat sikap ambivalen terhadap pengobat tradisionalnya (Glynn, 2016). Mengenai sifat sakral dan tidak sakral di Bali, sifat sakral menonjol sekali di bandingkan dengan daerah lain, dan sifat sakral ini juga berbeda-beda pada masing-masing pengobat tradisional, misalnya sifat sakral lebih menonjol pada pengobat tradisional yang menggunakan keadaan trance pada praktek pengobatannya. Dalam hubungan dengan pandangan penyakit di Bali bagi seorang balian, keluhan dan gangguan yang dikemukakan pasiennya sebagian besar diperlakukan sebagai penyakit (disease). Kaitan dengan realitas klinik adalah salah satu aspek dari realitas sosial yang berkaitan dengan kesehatan terutama sikap dan norma-norma tentang penyakit, etiologi penyakit, proses dan mekanisme pengabilan keputusan, hubungan klinik dan aktivitas penyembuhan. Hal ini sangat ditentukan oleh keadaan sosial budaya setempat.

  • 4.    SIMPULAN

Pengkajian dan penatalaksanaan gangguan jiwa melalui pendekatan bio-psiko-sosio-budaya-spiritual sangat penting dalam penangganan gangguan iwa berbasis komunitas. Pengobat tradisional dapat dilibatkan dan bekerjasama dalam

menangani gangguan jiwa sehingga penderita merasa sembuh sempurna dari kedua aspek illness dan disease. Pengobat tradisional mempunyai kemampuan khusus yang tidak dimiliki oleh dokter yang berpendidikan barat dan tidak menutup kemungkinan adanya kerjasama yang baik di antara kedua disiplin yang berbeda ini dalam rangka memberi pertolongan yang optimal kepada penderita. Para ahli medis dan praktisi ahli lainnya (psikiater, psikolog) akan merasakan banyak manfaatnya melakukan kerjasama dengan pengobat tradisional, terutama dalam hal memahami psikopatologi dan psikodinamika dari penyakit mental yang erat kaitannya dengan kondisi sosial dan budaya. Kegelisahan dan ketakutan yang dialami orang-orang sakit yang takkunjung sembuh baik yang berpendidikan tinggi atau buta huruf, kaya maupun miskin, sangat membutuhkan penyaluran atau kompensasi dan mendapatkan jalan pemecahannya pada balian pada hal yang rasional maaupun irrasional, logis ataupun tidak logis sehingga tercapailah suatu ketenangan diri pada si sakit/keluarganya.

Para pengobat tradisional mengobati keseluruhan kliennya sebagai seorang manusia dalam arti pendekatan yang bersifat holistik. Dalam hal pemahaman terhadap penyakit (illness), persepsi penyembuhan yang dialami oleh klien adalah sesuatu yang nyata tanpa memandang apakah kelainan organik atau psikopatologi masih tetap ada. Para petugas kesehatan formal seyogyanya mempersiapkan diri untuk menghadapi kasus seperti ini.

  • 5.    SARAN

Dalam perencanaan penempatan fasilitas pelayanan kesehatan perlu memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa perilaku mencari pengobatan dipengaruhi juga oleh rujukan-rujukan informal yang menentukan pemilihan dalam fasilitas pengobatan.

Diupayakannya secara terus menerus pengintegrasian kuliah-kuliah dan praktek-praktek ilmu social budaya (antropologi medis, sosiologi medis) dalam kurikulum pendidikan dokter dengan harapan agar para dokter di kemudian hari sudah terlatih untuk menjadi sensitif terhadap aspek-aspek sosial-budaya (non-biomedi)k dan masalah pasiennya.

Agar diperoleh informasi yang lebih ilmiah dan sistematik tentang sikap profesional dari staf kesehatan, maka penelitian antropologi

psikiatri tentang interaksi staf kesehatan dan keluarga maupun pasien perlu dilakukan.

Pendekatan terhadap pengobat tradisional oleh pemerintah dan pengobat modern hendaknya terus dilaksanakan. Penelitian terhadap konsep sehat sakit, efektifitas obat tradisional dan hal-hal lainnya hendaknya terus ditingkatkan.

Rumah sakit jiwa diharapkan dapat lebih meningkatkan dan mengembangkan lagi sosialisasi program-program pascaperawatan yang lebih bersifat terbuka dalam hubungan relasi yang bersifat intersubjektivitas, baik antara pihak rumah sakit dan pasien beserta keluarga pasien maupun masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Connor, L.H. 1982. In Darkness and Light: A Study of Peasant Intelectuals in Bali. Department of Anthropology of Sydney.

Departemen Kesehatan RI KMK. No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010 tentang Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Foster, G. M. dan Anderson, B. G. 1986. Antropologi Kesehatan. Alih Bahasa Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI Press.

Glynn S. M. 2016. The Potential Impact of Recovery Movement on Family Interventions for Schizophrenia: Opportunities and Obstacles, Schizophrenia Buletin Vol 32 No 3 x—pp.451-463, Oxford University Press.

Kasniyah, Naniek. 1985. “Etiologi Penyakit secara Tradisional dalam Alam Pikiran Orang Jawa: Celaka, Sakit, Obat, dan Sehat Menurut Konsepsi Orang Jawa”. Soedarsono, Djoko Soekiman, dan Retno Astuti (ed.). Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud.

Kumbara, A. N. 2017. Fungsi dan makna ritual melukat dalam penyembuhan gangguan jiwa di Bali. Diambil dari www.phdi.or.idhttp://phdi.or.id/artikel/fung si-dan-makna-ritual-melukat-dalam pemnyembuhan-gangguan-jiwa-di-bali.

Moleong,L. J. (2014). Metodologi penelitian kualitatif.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nala, Ngurah. 1997. Usada Bali. Denpasar: PT Upada Sastra.

Putro, Bambang Dharwiyanto. 2004. “Gangguan Jiwa (Buduh) di Bali Sebagai Fenomena Budaya, Studi tentang Persepsi dan Perilaku Pilihan Perawatan Gangguan Jiwa Orang Bali”. Tesis, Program Studi Antropologi Pascasarjana.Yogyakarta:       Universitas

Gadjah Mada.

Putro, Bambang Dharwiyanto. 2016. “Bayang-Bayang Stigma Terhadap Penderita Gangguan Jiwa: Studi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali”. Disertasi, Program Doktor Kajian Budaya. Denpasar: Universitas Udayana.

Power, J. et al. 2015. Family resilience in families where a parent has a mental illness. Juornal of Social Work. 16 (1). 1-17.

Riskedas. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI

Schulze,B. And Rosler, W. 2005. “Caregiver burdenvin mental illness:vreview of measurement, findings and interventions in 2004-2005”. CurrOpin Psychiatry 2005. 18(6). 684-691.

Sheewangisaw. 2012. “Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patent with Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital". Congress on Public Health, 1(1).

Sumantra, I Nengah. 2005. Pembinaan Mental Spiritual dalam Upaya Pengobatan Pasien di Rumah Sakit Jiwa Bangli Ditinjau dari Psikologi Agama Hindu. Program Pasca Sarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Suryani, L.K., 2000. Peranan Psikiatri dalam mewujudkan Masyarakat Sehat, Pendekatan Bio- Psiko-Spirit-Sosiobudaya, Orasi Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.

100