PUSTAKA VOL. XIX, NO. 2 • 101 – 106

P-ISSN : 2528-7508

E-ISSN : 2528-7516

WACANA ANTI IMPERIALISME

DALAM CERPEN KYUUCHOU NO NEGAI KARYA KOBAYASHI TAKIJI

Ni Luh Putu Ari Sulatri, Silvia Damayanti

Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana ari_sulatri@unud.ac.id, silvia_damayanti@unud.ac.id

Abstrak

Wacana anti imperialisme menjadi salah satu tema yang diangkat dalam karya sastra oleh sastrawan yang berafiliasi dengan kesusastraan proletar di Jepang, termasuk Kobayashi Takiji. Di dalam cerpen Kyuuchou no Negai, disajikan narasi sebagai bentuk pandangan dunia pengarang dari Kobayashi Takiji terkait dengan wacana anti imperialisme. Guna mengkaji wacana anti imperialisme dalam cerpen Kyuuchou no Negai pada tahap pengumpulan data diterapkan metode kajian pustaka, pada tahap analisis data diterapkan metode analisis isi, dan pada tahap penyajian hasil analisis data diterapkan metode informal. Hasil analisis menunjukan bahwa ideologi anti imperialisme disajikan dalam wacana 1) biaya perang yang tinggi menciptakan kemelaratan bagi masyarakat Jepang; 2) masyarakat dituntut mendukung imperialisme sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat; 3) imperialisme bertentangan dengan nilai kemanusian; dan 4) imperialisme Jepang dapat memicu revolusi di dalam negeri.

Kata Kunci : Kobayashi Takiji, kesusastraan proletar, anti imperialisme

PENDAHULUAN

Kobayashi Takiji (1903 – 1933) merupakan sastrawan yang terlibat aktif dalam pergerakan kesusastraan proletar di Jepang. Selama “red decade1” (1925 – 1935), kesusastraan proletar banyak diproduksi di Jepang. Tema yang banyak diangkat oleh sastrawan yang berafiliasi dengan Perserikatan Kesenian Proletar Jepang, termasuk Kobayashi Takiji, adalah eksploitasi yang dialami kaum buruh serta penindasan terhadap anggota Partai Komunis Jepang yang merupakan partai terlarang di Jepang hingga tahun 1945. Sebagai partai terlarang di bawah Peace Preservation Law, anggota dari Partai Komunis Jepang menjadi sasaran penangkapan oleh militer dan polisi kekaisaran Jepang.

Tema lainnya yang juga menjadi perhatian dari sastrawan dalam kesusastraan proletar adalah kritik terhadap imperialisme Jepang. Imperialisme Jepang dibangun berlandaskan ideologi tennousei, nasionalisme yang berpusat kepada kaisar, dengan propaganda Pan Asianism yang bertujuan “mencerahkan” negara-negara Asia lainnya (Prager, 2016:4-6). Imperialisme dan ekspansionisme

Jepang juga menjadi ancaman bagi negara Soviet karena Jepang berupaya memperluas kontrol formal dan informal terhadap wilayah yang sebelumnya di bawah pengaruh Tsar, kekaisaran, Rusia. Oleh karena itu, kelompok Bolshevik Rusia memandang perjuangan melawan imperialisme Jepang merupakan salah satu tujuan dari gerakan komunis di Asia Timur. Komintern (Komunis Internasional) sebagai organisasi partai komunis dari berbagai negara mendorong Partai Komunis Jepang memperkuat masyarakat dan kelas pekerja di Jepang dalam melakukan perjuangan anti imperialisme (Linkhoeva, 2017:83-87).

Upaya Partai Komunis Jepang dalam melakukan propaganda anti imperialisme salah satunya dilakukan dengan mendukung dan menfasilitasi asosiasi anti perang yang beranggotakan pelajar, mahasiswa, kelas pekerja, dan masyarakat umum, seperti Hantei Doumei (Anti Imperialist League), Nihonjin Hansen Doumei (Japanese Anti War League), dan Senso Hantai Doumei (Anti War Leauge). Selain itu, propaganda anti imperialisme juga dilakukan dengan menggunakan media sastra. Kobayashi Takiji sebagai sastrawan yang juga anggota dari Partai Komunis Jepang melalui cerpen yang berjudul Kyuuchou no Negai (1932) menyuarakan kritik terhadap imperialisme Jepang. Cerpen ini menceritakan surat yang dikirimkan seorang ketua kelas kepada gurunya mengenai jalan perang yang diambil Jepang telah menimbulkan beban ekonomi

yang berat bagi ketua kelas tersebut dan keluarganya.

Cerpen Kyuuchou no Negai merupakan narasi yang mewakili visiun du monde, pandangan dunia pengarang, dari Kobayashi Takiji terkait dengan wacana anti imperialisme. Karya sastra merupakan strukturasi dari subjek penciptanya atau subjek kolektif yang terbentuk melalui interaksi antara subjek tersebut dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu (Goldman dalam Faruk, 2005:1215). Oleh karena itu, latar belakang sosial budaya dari Kobayashi Takiji sebagai sastrawan proletar dan anggota dari Partai Komunis Jepang mempengaruhi wacana anti imperialisme yang diproduksi dalam cerpen Kyuuchou no Negai. Untuk dapat mengetahui pandangan dunia Kobayashi Takiji terkait dengan wacana anti imperialisme dalam cerpen Kyuuchou no Negai maka hal tersebut akan dikaji pada artikel ini.

METODE PENELITIAN

Guna membahas wacana anti imperialisme dalam cerpen Kyuuchou no Negai karya Kobayashi Takiji pada tahap pengumpulan data diterapkan metode kajian pustaka. Metode kajian pustaka diterapkan dengan teknik melakukan pembacaan terhadap sumber data, yaitu cerpen Kyuuchou no Negai yang dilanjutkan dengan pencatatan data yang dibutuhkan. Pada tahap analisis data diterapkan metode analisis isi yang diawali dengan analisis terhadap isi laten dari data untuk menemukan arti dan dilanjutkan dengan analisis terhadap isi komunikasi untuk mencari makna yang terkandung dalam wacana anti imperialisme yang diproduksi Kobayashi Takiji. Data yang telah dianalisi disajikan dalam bentuk narasi deskriptif dengan menerapkan metode informal (Ratna, 2004:48-50).

PEMBAHASAN

Restorasi Meiji (1868) merupakan tonggak bagi negara Jepang melakukan perubahan internal dalam upaya mengejar ketertinggalan dari bangsa barat setelah melaksanakan politik menutup negara selama hampir dua ratus tahun. Dengan slogan fokoku kyouhei ‘negara kaya, militer kuat’, Jepang muncul sebagai kekuatan baru di Asia Timur. Hal ini menumbuhkan kepercayaan diri Jepang untuk terlibat perang dengan berbagai negara, dimulai dengan Nisshin Sensou ‘Perang Jepang - Cina I’ (1894-1895) dan Nichiro Sensou ‘Perang Jepang

– Rusia’ (1904 – 1905). Keberhasilan Jepang memenangkan Nisshin Sensou menyebabkan Cina harus membayar uang ganti rugi yang cukup besar yang digunakan oleh Jepang untuk membiayai program persenjataannya. Selain itu, keberhasilan Jepang mengalahkan Rusia dalam Nichiro Sensou memberikan Jepang keuntungan secara psikologis karena menjadi negara Asia yang berhasil mengalahkan negara Eropa. Kemenangan-kemenangan ini menjadi pematik yang semakin menumbuhkan kepercayaan diri Jepang untuk terlibat perang dan melakukan pendudukan di berbagai negara (Beasley, 2003:273-305).

Pendudukan Jepang di wilayah-wilayah yang sebelumnya di bawah pengaruh kekaisaran Rusia, dipandang sebagai ancaman oleh kelompok Bolshevik Rusia. Imperialisme Jepang di wilayah Cina, Siberia, Manchuria, dan Korea menjadi ancaman bagi negara Soviet dan revolusi proletar dunia. Guna melawan imperialisme Jepang, dukungan ideologis dan finansial ditawarkan oleh Soviet kepada Cina dan Korea. Selain itu, melalui Komintern dibentuk Partai Komunis Jepang (1922) untuk menfasilitasi penyebaran ideologi dan menekan imperialisme Jepang (Linkhoeva, 2017:83-87).

Imperialisme Jepang semakin meluas dan lebih agresif dengan didasari atas ideologi tennousei yang disertai propaganda akan kemakmuran dan kesempatan kerja di wilayah yang diduduki mampu menggalang dukungan dari masyarakat Jepang. Oleh karena itu, melalui Konggres Keenam Komintern (Juli – September 1928), Partai Komunis Jepang mendapatkan mandat untuk melaksanakan tiga tugas utama, yaitu 1) melakukan perjuangan melawan imperialisme baru Jepang; 2) mendukung Revolusi Tiongkok; dan 3) mendukung Uni Soviet. Partai Komunis Jepang melaksanakan mandat ini dengan menerbitkan selebaran dan pamflet serta mensponsori pertemuan-pertemuan anti imperialisme. Selain itu, Partai Komunis Jepang juga mendukung pembentukan Kokusai Hantei Doumei ‘Liga Anti Perang’ (Linkhoeva, 2017:9599).

Gerakan menentang imperialisme Jepang ini juga diwacanakan oleh Kobayashi Takiji di dalam cerpen Kyuuchou no Negai. Kobayashi Takiji meyajikan wacana sebagai representasi dari ideologi pengarang yang tidak terlepas dari peran Kobayashi sebagai sastrawan proletar dan anggota Partai Komunis Jepang. Wacana anti imperialisme

yang dikontruksi Kobayashi Takiji dalam cerpen Kyuuchou no Negai adalah sebagai berikut.

  • 1.    Biaya Perang yang Tinggi Menciptakan Kemelaratan Bagi Masyarakat Jepang

Guna mendukung imperialisme Jepang maka investasi yang besar dilakukan pemerintah pada industri berat dan industri yang mendukung kebutuhan militer. Peningkatan produksi pada industri berat dan industri yang terkait dengan militer mengakibatkan lonjakan impor karena kebutuhan bahan mentah pendukung industri banyak yang tidak dihasilkan di Jepang maupun di daerah koloni. Meskipun neraca pembayaran Jepang pada awal tahun 1930-an ditandai dengan meningkatnya ekspor tahunan sebesar 18% tetapi nilai impor yang lebih besar menyebabkan defisit perdagangan tidak dapat dihindari. Ditambah dengan pengaruh politik angkatan darat yang semakin meningkat sehingga kebutuhan militer menjadi prioritas nasional. Untuk mengatasi kondisi ini maka dilakukan pembatasan impor terhadap barang yang dianggap tidak mendesak dan mengurangi jumlah uang yang beredar secara drastis untuk menekan inflasi yang tidak terkendali (Nakamura, 1999:11-12)

Defisit perdagangan disertai kebijakan nasional Jepang untuk mendukung militer menimbulkan beban ekonomi yang besar bagi Jepang. Kobayashi Takiji mengkonstruksi wacana yang menggambarkan bahwa kelas proletar, masyarakat kelas bawah dan kaum buruh, secara ekonomi semakin termarjinalkan karena harus ikut terlibat menanggung biaya perang yang tinggi, seperti data berikut

  • (1)    先生。私はどんなに戦争のお金を出した いと思ってるか分りません。しかし、私 のうちにはお金は一銭も無いんです。お 父さんはモウ六ヵ月も仕事がなくて、姉 も妹もロクロクごはんがたべられなくて、 だんだん首がほそくなって、泣いてばか りいます。

Sensei. Watashi wa donna ni sensou no okane o dashitai to omotteru ka wakarimasen. Shikashi watashi no uchi ni wa okane wa issen mo nain desu. Otousan wa mou rokka getsu shigoto ga nakute, ane mo imouto mo rokuroku gohan ga taberarenakute, dandan kubi ga hosoku natte, naite bakari imasu.

Guru, Apakah anda mengetahui betapa saya sangat ingin membayar uang perang. Namun sekarang saya tidak punya uang bahkan satu sen pun. Ayah saya sudah enam bulan tidak bekerja, kakak perempuan dan adik perempuan saya tidak bisa makan dengan lahap, lehernya menjadi kurus dan terus menangis.

Data (1) menggambarkan kondisi masyarakat kelas bawah di Jepang pada masa perang yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup karena fokus ekonomi dan prioritas diberikan untuk mendukung kebutuhan militer. Selain itu, Depresi Showa (1930-1932) menyebabkan penurunan tajam pada perekonomian Jepang yang berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran. Kondisi ini menyebabkan kemiskinan dan kelaparan melanda wilayah-wilayah di Jepang. Pada data (1) digambarkan bahwa ayah tokoh aku sudah tidak memiliki pekerjaan selama enam bulan dan saudara-saudaranya mengalami kelaparan. Keterbatasan ketersediaan bahan makanan pokok menyebabkan pemerintah Jepang menerapkan sistem penjatahan makanan. Selain itu, kebutuhan Jepang akan biaya perang yang tinggi memaksa masyarakat kelas bawah turut serta berkontribusi melalui penggalangan dana perang. Pada data (1) digambarkan tokoh aku yang harus membayar uang perang meskipun keluarganya sendiri saat itu tidak memiliki uang.

Kemiskinan dan kelaparan yang dialami masyarakat Jepang karena turut serta menanggung biaya perang yang tinggi juga diwacanakan Kobayashi Takiji dalam data berikut

  • (2)    お父さんはねるときに、今戦争に使って るだけのお金があれば、日本中のお父さ んみたいな人たちをゆっくりたべさせる ことが出来るんだと云いました。

Otousan wa neru toki ni, ima sensou ni tsukatteru dake no okane ga areba, Nihonchuu no otousan mitai na hitotachi o yukkuri tabesaseru koto ga dekirun da to imashita.

Ketika berbaring ayah saya mengatakan, uang yang dipakai untuk perang ini bisa membuat orang-orang seperti ayah di seluruh Jepang bisa makan dengan layak.

Data (2) mengambarkan kritik Kobayashi Takiji terhadap imperialisme Jepang yang justru menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Jepang sendiri. Biaya besar yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung perang, menurut pandangan Kobayashi Takiji seharusnya dapat dipergunakan untuk mensejahterakan masyarakat Jepang. Selain itu, salah satu slogan perang adalah “makanan merupakan amunisi perang jadi jangan disia-siakan” sehingga persediaan bahan pokok diutamakan untuk kebutuhan militer meskipun banyak masyarakat yang mengalami kelaparan.

  • 2.    Masyarakat Dituntut Mendukung Imperialisme Sebagai Wujud Pengabdian Kepada Negara

Berbagai propaganda dilakukan pemerintah Jepang untuk mendapatkan dukungan dan pengorbanan dari masyarakat atas nama tujuan nasional memenangkan perang. Ideologi tennousei dijadikan landasan untuk memastikan pengabdian dan kesetiaan masyarakat kepada kaisar. Kobayashi Takiji dalam wacana anti imperialisme yang dinarasikan dalam cerpen Kyuuchou no Negai menentang tindakan pemerintah Jepang yang melegitimasi ortodoksi kekaisaran guna menggalang dukungan masyarakat terhadap perang atas nama pengabdian terhadap negara. Hal itu, seperti dalam data berikut ini.

  • (3)    それだのに、お父さんにお金のことなん か云えますか。でも、みんなが、み国の ためだというのでこの前、ほんとうに思 い切って、お父さんに話してみました。 そしたら、お父さんはしばらく考えてい ましたが、とッてもこわい顔をして、み 国のためッてどういう事だか、先生にき いてこいと云うんです。

Soreda no ni, otousan ni okane no koto nanka iemasu ka. Demo, min'na ga, mikuni no tame da to iu node kono mae, honto ni omoikitte, otousan ni hanashite mimashita. Soshitara, otousan wa shibaraku kangaete imashita ga, totte mo kowai kao o shite, mikuni no tame tte dou iu koto da ka, sensei ni kiite koi to iu n desu.

Dalam situasi seperti ini, apakah bisa saya mengatakan masalah uang kepada Ayah? Akan tetapi, karena mereka terus mengatakan bahwa ini adalah demi negeri kita, akhirnya

saya memberanikan diri untuk berbicara kepada ayah. Saat itu, sejenak ayah berpikir, lalu dengan wajah yang sangat seram, ayah mengatakan kepada saya “Coba tanyakan pada gurumu, apa itu demi negara?”

Data (3) menggambarkan wacana anti imperialisme yang dikemukan Kobayashi Takiji terkait dengan tekanan dan tuntutan dari pemerintah Jepang bahwa masyarakat harus mendukung perang, salah satunya melalui pembayaran uang perang meskipun banyak masyarakat Jepang pada masa itu mengalami kemiskinan dan kelaparan. Kobayashi menyajikan wacana ini melalui ungkapan retoris dari tokoh ayah, seperti “apa itu demi negara?”. Hal ini menunjukan bahwa Kobayashi Takiji memandang pemerintah menuntut pengorbanan masyarakat demi ambisi negara dalam mewujudkan keberhasilan imperialisme Jepang tetapi di satu sisi pemerintah lalai dalam memenuhi kewajiban untuk mensejahterakan masyarakat.

Dalam propoganda perangnya di masyarakat, pemerintah menyebutkan jalan perang merupakan kunci ekonomi nasional untuk memperoleh tanah dan sumber daya untuk meningkatkan standar hidup masyarakat Jepang. Oleh karena itu, masyarakat Jepang harus memberikan pengorbanan dan dukungan untuk mewujudkan tujuan nasional ini (Scherer, 1999:106). Masyarakat yang tidak bersedia atau tidak mampu dalam mewujudkan pengorbanan ini dipandang sebagai warga negara yang tidak memiliki loyalitas kepada negara, seperti data berikut.

  • (4)    私は今日から休ませてもらいます。みん ながイジめるし、馬鹿にするし、じゅ業 料もおさめられないし、それに前から出 すことにしてあった戦争のお金も出せな いからです。先生も知っているように、 私は誰よりもウンと勉強して偉くなりた いと思っていましたが、吉本さんや平賀 さんまで、戦争のお金も出さないような ものはモウ友だちにはしてやらないと云 うんです。

Watashi wa kyou kara yasumasete moraimasu. Minna ga ijimeru shi, baka ni suru shi, jugyouryou mo osamerarenai shi, sore ni mae kara dasu koto ni shite atta sensou no okane

mo dasenai kara desu. Sensei mo shitte iru you ni, watashi dare yori mo un yo benkyou shite erakunaritai to omotte imashita ga, Yoshimoto san ya Hiraka san made, sensou no okane mo dasanai you mono wa mou tomodachi niwa shite yaranai to iun desu.

‘Saya mau meminta ijin bahwa mulai hari ini saya tidak akan masuk sekolah. Semua merundung saya, memperlakukan saya seperti orang bodoh, pelajaran pun tidak bisa masuk ke otak saya, selain itu karena uang perang yang sudah tidak bisa saya bayar lagi. Seperti yang guru ketahui saya sangat semangat dalam belajat untuk menjadi pintar melebihi siapapun namun karena saya tidak membayar uang perang, bahkan Yoshimoto dan Hiraka tidak mau berteman dengan saya.’

Data (4) menggambarkan tokoh Aku yang dirundung oleh teman-teman di sekolah karena tidak mampu membayar uang perang. Meskipun Kobayashi Takiji menggambarkan situasi ini melalui adegan perundungan di antara anak-anak sekolah tetapi hal ini menunjukan bahwa tokoh Aku dianggap “berbeda” karena tidak membayar uang perang yang berarti tidak memberikan pengorbanan kepada negara seperti yang dilakukan oleh teman-temannya yang lain.

  • 3.    Imperialisme Bertentangan dengan

Nilai Kemanusiaan

Peperangan mendatangkan penderitaan bagi umat manusia merupakan hal yang sudah dimafhumi tetapi mengapa perang tetap menjadi jalan yang dipilih. Hal ini juga diwacanakan oleh Kobayashi Takiji, seperti dalam data berikut.

(5) 先生はふだんから、貧乏な可哀相な人は 助けてやらなければならないし、人とけ んかしてはいけないと云っていましたね。 それだのに、どうして戦争はしてもいい んですか。

Sensei wa fudan kara, binbouna kawaisouna hito wa tasukete yaranakereba naranaishi, hito to kenka shite wa ikenai to yutte imashita ne. Soreda no ni, doushite senso wa shite mo ii n desu ka.

Guru kan biasanya selalu mengatakan bahwa kita harus mengasihani dan menolong orang

yang miskin, dan tidak boleh bertengkar dengan orang lain. Meskipun begitu, kenapa orang boleh berperang?

Wacana anti imperialisme yang dinarasikan Kobayashi Takiji dalam data (5) terkait dengan perang yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Kobayashi Takiji melalui tokoh Aku menentang perang yang dilakukan pemerintah melalui ungkapan retoris mengapa boleh berperang meskipun perang tersebut akan mendatangkan penderitaan.

  • 4.    Imperialisme Jepang dapat Memicu

Revolusi di Dalam Negeri

Kebijakan nasional pemerintah Jepang yang memberikan fokus kepada militer dalam upaya mewujudkan imperialisme Jepang menyebabkan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat diabaikan. Kobayashi Takiji berpandang bahwa hal ini dapat menjadi pemicu revolusi di dalam negeri, seperti data berikut.

  • (6)    戦争が長くなればなるほどかゝりも多く なるし、みんながモット/\たべられな くなって、日本もきっとロシヤみたいに なる、とお父さんが云っています。

Sensou ga nagaku nareba naruhodo ka ri mo ooku narushi, min'na ga motto/ \ tabe rarenaku natte, Nihon mo kitto roshiya mitai ni naru, to otousan ga yutte imasu.

Semakin lama peperangan akan semankin banyak pengorbanan, orang-orang pun akan semakin tidak bisa makan, Jepang juga pasti akan menjadi seperti Rusia, kata Ayah.

  • (7)    一日も早く戦争をやめさせて下さい。 こゝの長屋ではモウ一月も仕事がなけれ ば、みんなで役場へ出かけて行くと云っ ています。そうすれば、きっと日本もロ シアみたいになります。

Ichinichi mo hayaku sensou o yame sasete kudasai. Ko no nagayade wa mou ichigatsu mo shigoto ga nakereba, min'nade yakuba e dekakete iku to yutte imasu. Sou sureba, kitto Nihon mo Roshia mitai ni narimasu

Tolong buat perang lebih cepat selesai, walaupun hanya sehari. Di Nagaya ini jika

sudah tidak ada lagi pekerjaan selama sebulan, orang-orang bersama-sama akan pergi ke balai desa. Apabila sudah begitu, Jepang pasti akan menjadi seperti Rusia.

Data (6) dan (7) menunjukan bahwa jalan perang atau imperialisme yang dijalankan oleh Jepang dapat memicu revolusi di dalam negeri, seperti yang telah terjadi di Rusia. Salah satu pemicu Revolusi Rusia 1917 adalah mobilisasi warga untuk dikirim ke medan perang sehingga tenaga kerja menjadi berkurang. Hal ini berdampak kepada macetnya industri dan pertanian yang menimbulkan kelaparan karena kurangnya bahan makanan (Ascher, 2014:1-20). Prediksi Kobayashi Takiji ini di dalam perjalanannya tidak terbukti karena di Jepang tidak pernah terjadi revolusi untuk menggulingkan kaisar, seperti penggulingan Tsar di Rusia.

KESIMPULAN

Karya sastra sebagai suatu wacana merupakan representasi dari ideologi pengarang. Kobayashi Takiji sebagai sastrawan sekaligus anggota dari Partai Komunis Jepang mengkonstruksi wacana yang merepresentasikan ideologi partai. Salah satu wacana yang diusung Partai Komunis Jepang sebagai perpanjangan dari Komintern adalah mengamankan kepentingan negara Soviet dari imperialisme sehingga dilakukan propaganda anti militerisme melalui berbagai media, termasuk karya sastra. Kobayashi Takiji menampilkan wacana anti militerisme dalam cerpen Kyuuchou no Negai dengan menyajikan narasi bahwa imperialisme yang dilakukan Jepang menyebabkan kesejahteraan masyarakat Jepang diabaikan dan masyarakat dituntut mendukung imperialisme dengan dasar pengabdian dan pengorbanan kepada negara. Selain itu, kritik Kobayashi Takiji terhadap imperialisme Jepang juga dinarasikan dengan menunjukan bahwa perang bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan imperialisme Jepang dapat memicu revolusi di dalam negeri Jepang sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Ascher, Abraham. 2014. The Russian Revolution: A Beginner’s Guide. London: One World Publication.

Beasley, W.G. 2003. Pengalaman Jepang: Sejarah Singkat Jepang diterjemahkan oleh Masri Maris dari judul asli The Japanese Experience. A Short History of Japan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Linkhoeva, Tatiana. 2017. New Revolutionary Agenda: The Interwar Japanese Left on the “Chinese Revolution” artikel dalam CrossCurrents: East Asian History and Culture Review E-Journal No. 24 (September 2017). Diakses melalui http://cross-currents.berkeley.edu/e-journal/issue-24 pada tanggal 14 Juni 2019 pukul 09.30 WITA.

Nakamura, Takafusa. 1999. The Japanese War Economy as a ‘Planned Economy’ artikel dalam buku Japan’s War Economy yang diedit oleh Erich Pauer. New York: Routledge.

Prager, Lulu. 2016. From the Land of Gods: Modern Japanese Imperial Ideologi (Senior Project Spring 2016). Diakses melalui http://digitalcommons.bard.edu/senproj_s20 16/347 pada tanggal 12 Juni 2019 pukul 14.00 WITA.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori Metode, dan Teknik Penelitian Sastra:     dari

Strukturalisme Hingga Post Strukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Scherer, Anke. 1999. Drawbacks to Controls on Food Distribution: Food Shortages, the Black Market, and Economic Crime artikel dalam buku Japan’s War Economy yang diedit oleh Erich Pauer. New York: Routledge.

106