PUSTAKA VOL. XIX, NO. 2 • 89 – 93

P-ISSN : 2528-7508

E-ISSN : 2528-7516

KESANTUNAN BERBAHASA YANG TERCERMIN DALAM AIMAI

HYOGEN

Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana andry_anita@unud.ac.id, luhur_wedayanti@unud.ac.id

Abstrak

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu topik kebahasaan yang cukup banyak dikaji dalam penelitian. Kesantunan berbahasa dalam beberapa tahun belakangan ini tidak hanya berfokus pada masalah linguistik, akan tetapi juga dapat dikaitkan dengan budaya masyarakat penutur bahasa yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah aimai hyogen (ungkapan ambiguitas).

Aimai hyogen merupakan salah satu konsep berkomunikasi yang masih digunakan oleh penutur masyarakat Jepang. Konsep aimai hyogen ini berfokus pada gaya bahasa yang digunakan melalui makna-makna yang tidak jelas atau tidak pasti oleh karena terlalu banyaknya makna yang dimiliki oleh ungkapan tersebut. Hal ini bertujuan untuk menghindari penggunaan ungkapan yang lugas, tegas, dan jelas. Berdasarkan fenomena tersebut, maka beberapa aimai hyogen yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan Leech dibahas dalam makalah ini.

Kata kunci: aimai hyogen, kesantunan berbahasa, maksim kesantunan

PENDAHULUAN

Aimai hyogen (ungkapan ambiguitas) merupakan salah satu konsep strategi berkomunikasi yang masih digunakan dalam masyarakat Jepang yang dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditafsirkan memiliki lebih dari satu makna yang dimaksudkan sehingga mengakibatkan ketidakjelasan, ketidaktentuan, dan ketidakpastian. Masyarakat non Jepang menganggap bahwa masyarakat Jepang pada umumnya memiliki rasa toleransi yang cukup tinggi terhadap ambiguitas. Rasa toleransi terhadap ambiguitas ini dianggap sebagai salah satu karakteristik budaya Jepang. Masyarakat Jepang dianggap cenderung menghindari mengutarakan sesuatu secara terbuka dalam interaksi sosialnya. Mereka pada umumnya masih berpegang pada prinsip bahwa hal yang disampaikan secara lugas dan terbuka kepada mitra tutur dianggap tidak sopan karena seolah-olah menganggap mitra tutur tidak mengetahui topik yang dibicarakan (Davies & Ikeno, 2002).

Varisi aimai hyogen dapat ditemukan dalam bentuk tuturan lisan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan pekerjaan. Salah satunya adalah bentuk tuturan lisan yang digunakan oleh staf hotel terhadap mitra tuturnya yaitu tamu hotel. Pada situasi pekerjaan di perhotelan, aimai hyogen cukup banyak digunakan oleh staf hotel untuk melayani atau memenuhi kebutuhan tamu.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada makalah ini dibahas mengenai ungkapan ambiguitas pada beberapa ungkapan aimai hyogen yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan yang diklasifikasikan oleh Leech.

Data yang digunakan dalam makalah ini diambil dari drama berbahasa Jepang yang berjudul Hotel Concierge(ホテルコンシェルジ ュ) yang ditayangkan oleh stasiun televisi TBS Jepang dari tanggal 07 Juli sampai 22 September 2015.

PEMBAHASAN

Berikut merupakan Aimai hyogen (ungkapan ambiguitas) yang digunakan oleh staf hotel pada saat merespon permintaan tamu hotel yang terdapat dalam drama Hotel Concierge (ホ テルコンシェルジュ)(2015).

  • 1.    Penggunaan aimai  hyogen   (ungkapan

ambiguitas) pada ungkapan o-kimochi dake de kekko desu node

Data (1)

Sutaffu 1 : Shitsurei itashimasu.

Sugano : Arigato.

Tadaima.

SutCjfu 2 : Moshiwake gozaimasen, Sugano-sama.

O-kaeri ni maniawanakute.

Sugano : Ii no. Ii no. Watashi ga hayaku kaette kichattakara.

Sutaffu 3 : Sugu sumasemasu node.

Sugano : Heiki heiki. Awatenai de ne.

Sou da, anatatachi, anmitsu to o-dango to dochira ga ii kashira.

Sutaffu 2 : O-kimochi dake de kekko desu node. Sugano : Ii kara. Ii kara. Ja, hora. O-dango. Sutajfu 2&3 : Arigato gozaimasu.

Sutaffu 3 : Kono mae itadaita umeboshi mo sugoku oishikatta desu.

(Hoteru konsheruju, eps 02, 2015:06.27-07.00)

Terjemahan:

Staf 1      : Permisi.

Bu Sugano : Terima kasih.

Saya pulang.

Staf 2    : Mohon maaf, Bu Sugano.

Kami belum selesai membersihkan kamarnya.

Bu Sugano : Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Saya yang pulang terlalu cepat.

Staf 3     : Kami akan segera menyelesaikannya.

Bu Sugano : Pelan-pelan…pelan-pelan saja. Tidak usah terburu-buru ya.

Oya, kalian mau yang mana ya. Anmatsu atau dango?

Staf 2    : Terima kasih banyak sebelumnya

(tidak usah repot-repot).

Bu Sugano : Tidak apa-apa…tidak apa-apa. Kalau begitu, ayo ini dango.

Staf 2&3 : Terima kasih banyak.

Staf 3     : Umeboshi yang Ibu berikan kepada

saya waktu ini juga sangat enak.

Situasi pada data (1) di atas dilakukan antara staf hotel dengan Bu Sugano (tamu hotel). Bu Sugano yang sedang keluar dari kamarnya, tiba-tiba kembali dalam waktu yang tidak lama. Saat Bu Sugano tidak berada di dalam kamar hotel, dua orang staf sedang membersihkan kamarnya.

Bu Sugano merupakan salah satu tamu yang tinggal di hotel Vollmond dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, hubungan antara para staf hotel dan Bu Sugano sangat baik. Begitu juga yang terlihat pada percakapan di atas, Bu Sugano digambarkan membawa buah tangan yang ingin diberikan kepada dua orang staf hotel yang sedang membersihkan kamarnya. Ini terlihat dalam tuturan so da, anatatachi, anmitsu to o-dango to dochira ga ii kashira ‘oya, kalian mau yang mana ya. Anmatsu atau dango?’. Penawaran bu Sugano direspon oleh staf hotel dengan tuturan berikut o-kimochi dake de kekko desu node ‘Terima kasih banyak sebelumnya (tidak usah repot-repot)’.

Aimai hyogen tersebut di atas memiliki makna bahwa si penutur mengutarakan perasaan terima kasih atas kebaikan dari mitra tutur. Akan tetapi, aimai hyogen ini cenderung bermakna menolak sesuatu yang ditawarkan oleh mitra tutur. Begitu pula yang tergambar pada percakapan diatas. Bu Sugano menawari penganan anmatsu dan o-dango kepada dua orang staf yang sedang membersihkan kamarnya. Namun, tawaran Bu Sugano ditolak secara halus salah seorang staf tersebut dengan ungkapan o-kimochi dake de kekkou desu node. Dalam bahasa Indonesia mungkin tidak memiliki padanan yang tepat untuk ungkapan tersebut. Akan tetapi secara sederhana ungkapan tersebut memiliki makna ‘Saya menghargai perasaan/niat baik (kebaikan) Anda (menawarkan saya hal tersebut). Jadi, Anda tidak perlu (repot-repot) sampai menyiapkan sesuatu (untuk saya)’.

Dalam konteks diatas, penolakan staf hotel yang ditujukan kepada Bu Sugano sebenarnya salah satu etika yang biasa dilakukan oleh penutur bahasa Jepang dalam berinteraksi dalam komunitasnya. Jika dilihat dari posisi staf hotel, maka menerima sesuatu yang berupa buah tangan merupakan hal yang tidak lazim dilakukan. Oleh karena alasan itulah, staf tersebut berupaya menolak tawaran Bu Sugano. Selain itu, etika berinteraksi dalam masyarakat Jepang dilandasi dengan konsep honne tatemae. Menurut Honna & Hoffer (1986) dalam an English dictionary of Japanese culture, honne didefinisikan sebagai motif atau niat dalam seseorang yang sebenarnya. Sebaliknya, tatemae didefinisikan sebagai motif atau niat yang disesuaikan secara sosial dan norma yang berlaku dan disepakati masyarakat Jepang. Secara sederhana dapat dikatakan bahawa motif atau niat tersebut yang dibentuk, didorong, atau ditekan oleh norma-norma mayoritas yang berlaku (Davies & Ikeno, 2002:115). Mengacu pada definisi tersebut, maka latar belakang sikap penolakan yang dilakukan staf hotel didasari konsep tatemae tersebut. Etika dalam masyarakat Jepang pada saat ditawari sesuatu adalah dengan menolak sebagai salah satu bentuk basa basi. Apabila menerima tawaran dari seseorang, diharapkan tidak langsung menerimanya. Namun menunggu tawaran berikutnya dari mitra tutur.

Maksim Penghargaan

Melalui tuturan antara staf hotel dengan Bu Sugano terwujud salah satu maksim kesantunan yaitu maksim penghargaan. Maksim penghargaan

tersirat dalam aimai hyogen yaitu o-kimochi dake de kekko desu node. Staf hotel menghargai perbuatan baik Bu Sugano yang menawari dirinya buah tangan berupa anmatsu atau o-dango. Melalui ungkapan tersebut, staf hotel menyampaikan rasa terima kasih atas perbuatan baik yang dilakukan Bu Sugano. Maksim penghargaan merupakan salah satu bentuk prinsip kesantunan dengan memaksimalkan pujian atau penghargaan kepada mitra tutur (Rahadi, 2005: 59).

Maksim Kebijaksanaan

Terdapat maksim lain yang terwujud dalam percakapan diatas yaitu maksim kebijaksanaan. Hal ini terlihat pada percakapan staf hotel dan Bu Sugano. Staf hotel yang mengetahui Bu Sugano kembali ke kamar lebih awal berusaha untuk membersihkan kamar lebih cepat. Tuturan staf hotel yang menyatakan maksim kebijaksanaan yaitu: sugu sumasemasu node ‘kami akan segera menyelesaikannya’.

Maksim kebijaksanaan menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat memaksimalkan keuntungan orang lain dan mengurangi kerugian orang lain (Rahadi, 2005:59). Maksim tersebut tersirat dalam tindakan yang diambil staf hotel untuk sesegera mungkin membersihkan kamar Bu Sugano. Meskipun, sebenarnya staf hotel tidak melakukan kesalahan apapun dalam hal ini. Justru, Bu Sugano yang terlalu cepat kembali ke kamar, yang menyebabkan pekerjaan staf hotel tidak selesai sesuai jadwal. Akan tetapi, staf hotel menyikapi kejadian ini dengan bijaksana. Mereka berprinsip bahwa kenyamanan adalah hak tamu. Oleh karena itu, apapun dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan tamu dan meminimalisir kerugian tamu.

  • 2.    Penggunaan aimai hyogen (ungkapan ambiguitas) pada ungkapan tondemo gozaimasen.

Data (2)

Sutaffu 1    : Taihen shitsurei itashimasu.

Sutaffu 2&3 : Shitsurei itashimashita.

Isaka : Iie, chekku auto jikan kanchigai shite ita watashi ga waruin desu.

Sutaffu 1   : Tondemo gozaimasen.

Isaka : Sore ni, watashi, depojitto no koto, sukkari wasuretete. A, ima ATM de.

Sutaffu 1   : Osore irimasu.

Sugano : Gokai saseru na koto nashite, moshiwake nai desu.

Sutaffu 1   : Tondemo gozaimasen.

Shitsurei itashimashita.

Isaka       : Mou, yoshite kudasai.

A, tokoro de, hitotsu onegai ga arimashite.

Sutaffu : Nan deshou.

Isaka : Jitsu wa,      shuccho     ga

nobichaimashite, oheya ga aitereba, ato ni haku sasete itadakereba to.

Sutajfu     : Mochiron go-yoi sasete itadakimasu.

Isaka       : Yokattaa.

Sutaffu     : Isaka sama, yoroshikereba, o-heya

wo appuguredo sasete itadakitai no desu ga. Ryokin wa mochiron suji no mama kekko desu node.

Isaka : Hee, iin desu ka. Arigato gozaimasu. (Hoteru konsheruju, eps 02, 2015:19.40-20.33: 2015)

Terjemahan:

Staf 1     : Mohon maaf.

Staf 2&3 : Kami minta maaf.

Pak Isaka : Tidak, saya yang salah. Saya yang salah mengerti tentang waktu check out.

Staf 1     : Tidak apa-apa.

Pak Isaka : Lalu, saya juga benar-benar lupa mengenai uang deposit.

Oya, ini uangnya dari ATM.

Staf 1     : Terima kasih. Maaf merepotkan.

Pak Isaka : Saya minta maaf karena telah membuat Anda semua salah paham.

Staf 1     : Tidak apa-apa. Kami juga minta

maaf.

Pak Isaka : Sudahlah. Silakan diterima (uangnya). Oya, ngomong-ngomong, saya ingin minta tolong tentang satu hal.

Staf : Iya, bagaimana ya?

Pak Isaka : Sebenarnya dinas saya diperpanjang…

Jika ada kamar kosong, bisakah saya menginap 2 hari lagi?

Staf : Tentu saja. Kami akan siapkan.

Pak Isaka : Syukurlah.

Staf : Bapak Isaka, apabila berkenan, kami bisa upgrade kamar Bapak.

Biaya kamar tentu saja sama seperti biaya sebelumnya.

Pak Isaka : Oya? Benarkah? Terima kasih banyak.

Pada situasi data (2) diatas digambarkan percakapan antara seorang tamu hotel dengan tiga orang staf hotel. Tamu hotel bernama Pak Isaka, yang dicurigai berencana melakukan kejahatan

yang dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah “スキッパー“. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris yaitu skipper. Dalam istilah perhotelan Jepang, “スキッパー“yaitu jenis kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang dengan metode membuat reservasi di hotel pada hari bersamaan dengan waktu menginap, lalu memperpanjang masa menginap, menggunakan segala fasilitas hotel. Namun menjelang pembayaran, yang bersangkutan akan pergi meninggalkan hotel secara diam-diam untuk menghindari tagihan hotel.

Begitu juga dugaan staf hotel Vollmond terhadap Pak Isaka. Oleh karena prilaku Pak Isaka yang terkesan mencurigakan, maka pihak hotel mencurigainya sebagai seorang skipper. Hal ini dikarenakan, kamar yang ditempati Pak Isaka telah kosong pada saat waktu check out telah tiba. Para staf hotel dibuat panik oleh Pak Isaka karena hal tersebut. Namun, ternyata ada kesalahpaham yang terjadi. Pak Isaka ternyata bermaksud mengambil uang tunai di ATM dengan membawa seluruh barangnya. Pihak hotel menduga Pak Isaka pergi meninggalkan hotel tanpa membayar tagihan. Sekembalinya ke hotel, Pak Isaka menjelaskan semuanya, bahwa dirinya salah paham mengenai waktu check out, sehingga keluar hotel sebelum membayar tagihan menginap. Pak Isaka meminta maaf kepada para staf hotel yang terlihat melalui tuturan “iie, chekku auto jikan kanchigai shite ita watashi ga waruin desu”, ‘Tidak, saya yang salah. Saya yang salah mengerti tentang waktu check out’. Tuturan tersebut direspon oleh staf hotel dalam aimai hyogen, yaitu tondemo gozaimasen.

Pada tuturan berikutnya, Pak Isaka kembali meminta maaf atas kesalahan yang dirinya perbuat secara tidak sengaja yaitu terlupa menyerahkan uang deposit kepada pihak hotel. Pernyataan maaf tersebut terdapat dalam tuturan Gokai saseru na koto nashite, moshiwake nai desu ‘Saya minta maaf karena telah membuat Anda semua salah paham. Permintaan maaf Pak Isaka direspon kembali oleh staf hotel dengan ungkapan tondemo gozaimasen ‘Tidak apa-apa. Kami (juga) minta maaf’.

Ungkapan tondemo gozaimasen merupakan salah satu ungkapan ambiguitas yang terdapat dalam bahasa Jepang dan cukup sering digunakan oleh staf hotel dalam berkomunikasi dengan tamu hotel. Aimai hyogen tondemo gozaimasen berasal dari bentuk tondemo nai. Pada dasarnya kedua ungkapan tersebut memiliki makna yang sama. Hanya saja bentuk tondemo

gozaimasen merupakan bentuk ragam bahasa hormat (keigo), sedangkan tondemo nai merupakan bentuk sopan.

Dalam kamus pemakaian bahasa Jepang dasar (1988:1225), dinyatakan terdapat tiga makna penggunaan ungkapan tondemo gozaimasen. Yang pertama adalah bahwa ungkapan tersebut merujuk pada sesuatu hal yang tidak masuk akal (diluar dugaan) yang cenderung mengarah ke penilaian yang negatif. Yang kedua adalah ungkapan tersebut dapat bermakna bahwa sesuatu hal tidak mungkin terjadi (mustahil) atau sama sekali tidak bisa diampuni. Yang ketiga adalah ungkapan tondemo gozaimasen yang digunakan untuk menolak pernyataan mitra tutur. Pernyataan yang pada umumnya ditolak yaitu berupa pujian.

Berbeda dengan ketiga makna diatas, ungkapan tondemo gozaimasen yang digunakan oleh staf hotel pada data di atas digunakan sebagai negasi (penolakan) terhadap tuturan mitra tutur yang disebutkan sebelumnya. Adapun bentuk tuturan yang diujarkan oleh Pak Isaka adalah berupa permintaan maaf atas masalah yang telah dilakukan sehingga membuat kepanikan pihak hotel. Pada kenyataannya, perbuatan yang dilakukan oleh Pak Isaka memang telah menimbulkan kekacauan di hotel. Akan tetapi, sebagai pihak yang selalu memprioritaskan kenyamanan tamu, staf hotel merespon permintaan maaf tersebut dengan ungkapan ambiguitas tondemo gozaimasen, yang bermakna bahwa tindakan tamu (Pak Isaka) “dianggap” bukan suatu masalah oleh pihak hotel. Sebaliknya staf hotel justru turut menyampaikan permintaan maaf atas kejadian tersebut. Hal ini terlihat pada ungkapan taihen shitsurei itashimashita dan shitsurei itashimashita. Hal ini merupakan salah satu strategi komunikasi yang digunakan oleh staf hotel dengan tujuan menyelamatkan muka (posisi) tamu agar tidak merasa dipermalukan.

Maksim Pemufakatan

Percakapan pada data (2) di atas yang terjadi antara staf dengan tamu hotel mewujudkan salah satu prinsip kesantunan berbahasa yaitu maksim kemufakatan. Hal ini terlihat dari kebijakan yang diberikan diberikan oleh pihak hotel pada saat tamu terlupa memenuhi kewajiban untuk membayar deposit. Hal ini juga diiikuti oleh kesadaran tamu yang memiliki niat baik untuk kembali ke hotel untuk memenuhi kewajiban dan sekaligus meminta maaf kepada pihak hotel. Pihak hotel merespon tindakan tamu dengan menerima

uang deposit yang terlambat dibayarkan. Selain itu, tindakan tamu yang segera meminta maaf kepada staf hotel atas keteledoran yang dilakukan, direspon positif oleh staf hotel, yaitu dengan menerima uang deposit dan dan juga menerima permintaan maaf tamu hotel melalui ungkapan tondemo gozaiamsen “tidak apa-apa”. Melalui situasi tersebut dapat dikatakan terjadi pemufakatan antara pihak hotel dengan tamu.

Maksim Kebijaksanaan

Dalam percakapan antara staf hotel dengan Pak Isaka, dapat dilihat bahwa ada suatu kebijakan yang diberikan pihak hotel melalui pemberian kompensasi atas keteledorannya menduga tamu sebagai seorang skipper. Tuduhan tersebut tentu saja memberikan rasa tidak nyaman kepada Pak Isaka. Sebagai upaya untuk menebus keteledoran tersebut, maka pihak hotel memberikan tawaran kompensasi berupa upgrade kamar kepada Pak Isaka. Hal ini terlihat pada tuturan Isaka sama, yoroshikereba, o-heya wo appuguredo sasete itadakitai no desu ga. Ryokin wa mochiron suji no mama kekko desu node ‘Bapak Isaka, apabila berkenan, kami bisa upgrade kamar Bapak. Biaya kamar tentu saja sama seperti biaya sebelumnya’. Kebijakan pihak hotel ini diterima dengan senang hati oleh Pak Isaka. Dengan demikian maksim kebijaksanaan yang diterapkan pihak hotel diterima dengan senang hati oleh Pak Isaka.

Simpulan

Kesantunan berbahasa dalam bidang perhotelan seperti yang terdapat dalam drama Hotel Concierge ( - V > ^ ^ ^ ^ ) cukup banyak ditemukan dalam bentuk tuturan aimai hyogen. Aimai hyogen ini juga cukup sering digunakan oleh staf hotel terhadap tamu hotel. Bentuk tuturan seperti o-kimochi dake de kekko desu node dan tondemo gozaimasen digunakan untuk menghindari pemakaian ungkapan yang terlalu lugas dan terbuka. Hal ini dikarenakan adanya budaya masyarakat Jepang membatasi tuturan yang diucapkan secara lugas dan terbuka, karena dianggap melanggar kesopanan.

DAFTAR PUSTAKA

Davies, Roger dan Ikeno, Osamu.2002. The Japanese Mind. Tuttle Publishing: Tokyo.

Honna, N., & Hoffer, B. (eds).1986. An English dictionary of Japanese culture. Tokyo: Yuhikaku.

Rahadi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

93