PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

VOL. XXI NO. 2 • AGUSTUS 2021

“Ludruk Jember: Ruang Kebudayaan Masyarakat Jember dalam Mengekspresikan

Kembali Kultur Kemaduraan di Wilayah Perantauan”

Mohammad Rizaldy Ramadhan, Egy Fernando, Muhammad Sulton Ridho, Vivia Suaidin  97

Silakramaning “Aguron-Guron” Dalam Teks Cerita Bhagawan Dhomya-Adiparwa

Drs. I Nyoman Duana Sutika, M.Si 103

Dinamika Pemajemukan Dengan Morfem Unik Dalam Bahasa Bali

Ni Made Sri Ramayanti  110

Penggunaan Bahasa Inggris dalam Percakapan Bahasa Indonesia Generasi Muda

Anak Agung Sagung Shanti Sari Dewi  116

Kehidupan Sosial Migran Madura di Desa Kintamani Tahun 1982-2018 Risa Yuliandri  122

Upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan Desa Adat Kesiman

Ni Made Odi Tresna Oktavianti  128

Pengelolaan Yayasan Albanna sebagai Lembaga Pendidikan Islam

di Denpasar Selatan 2007-2019

Deanita Salsabila 142

Psychological Analysis of Emily Grierson in Short Story A Rose for Emily

by William Faulkner

Gaby Kumala Dewi Santoso, Ida Bagus Putra Yadnya, Ni Ketut Alit Ida Setianingsih ....149

Code switching Used by Naila on Her YouTube Channel: Naila Farhana

Kadek Yuda Wardana, Luh Putu Laksminy, Made Detriasmita Saientisna  154

The Used of Online Learning Method in Acquiring Children's English Vocabulary

at English Buzz Bali

Ni Putu Manik Masuci  162

Pedoman Penulisan Naskah dalam Jurnal Pustaka

PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

P-ISSN: 2528-7508 E-ISSN: 2528-7516

VOL. XXI NO. 2 • AGUSTUS 2021

Susunan Redaktur PUSTAKA :

Penanggung Jawab Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.

Pemimpin Redaksi

Ngurah Indra Pradhana, S.S., M.Hum.

Wakil Ketua

I Gusti Ngurah Parthama, S.S., M.Hum.

Sekretaris

Dr. Bambang Dharwiyanto Putro, S.S., M.Hum.

Staf Redaksi

I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D.

Dr. Dra. Ni Made Suryati, M.Hum.

Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum. Zuraidah, S.S., M.Si.

Drs. I Wayan Teguh, M.Hum Fransiska Dewi Setiowati Sunarya, S.S., M.Hum

Mitra Bestari

Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A (Unud)

Prof Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt (Unud) Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A (Unud)

Prof. Thomas Reuter (Melbourne University) Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. (Undiksha) Prof. Dr. Susantu Zuhdi (UI)

Prof. Dr. Irwan Abdulah (UGM)

Pelaksana Tata Usaha :

I Gede Nyoman Konsumajaya

Naskah dikirim ke alamat : [email protected]

Foto sampul oleh I Gede Gita Purnama & I Putu Widhi Kurniawan

“Ludruk Jember: Ruang Kebudayaan Masyarakat Jember dalam Mengekspresikan Kembali Kultur Kemaduraan di Wilayah Perantauan”

Mohammad Rizaldy Ramadhan1, Egy Fernando2, Muhammad Sulton Ridho3, Vivia Suaidin4

Universitas Jember

[email protected]

Abstrak

Ludruk merupakan drama pertunjukan tradisional khas jawa timur, persebaran kesenian ludruk ini tidak lepas dari adanya mobilisasi yang dilakukan oleh para perantau yang kemudian menjadi identias budaya dari masing-masing wilayah. Misalnya, ludruk Surabaya, Ludruk Sumenep, Termasuk Jember juga tidak luput dari penyebarluasan kesenian tersebut. Metode penelitian ini didasarkan pada penelitian wawancara secara langsung dan kajian literatur. Setting penelitian berada di Kecamatan Ledokombo, Desa Lembengan, Kabupaten Jember. Tulisan ini berupaya untuk melihat "Ludruk Jember" sebagai sebuah wacana dari perspektif foucault. Terutama bagaimana Jember dimunculkan dalam kesenian ludruk, untuk menegaskan posisi geografis, atau sebagai sebuah kesenian lokal, fenomena tersebut memuat nilai-nilai baru yang dimodifikasi sebagai sebuah ekspresi kecintaan terhadap kultur kemaduraaan. Semisal dialog dalam pertunjukan ludruk dihadirkan dalam dua bahasa, Jawa dan Madura. Adapun dalam babadnya juga terdapat nama-nama tempat yang ada di Jember yang menghasilkan corak baru dalam kesenian ludruk.

Kata kunci : Ludruk, Jember, Foucault, Kesenian Lokal.

Pendahuluan

Ludruk merupakan salah satu kesenian drama tradisional yang berasal dari Jawa Timur. Drama tradisional ludruk ini diperagakan dalam sebuah grup kesenian yang digelar disebuah panggung yang sebelumnya sudah dihias dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita mitos daerah setempat, cerita perjuangan, bahkan tak jarang juga mengambil babat dari daerah setempat. Selama cerita dimainkan ludruk berciri khaskan dengan alunan musik gamelan yang mengiringi alur cerita yang dibawa dalam pementasan ludruk. Dalam setiap monolog ataupun dialognya dibuat dengan tujuan menghibur dengan sentuhan humor yang khas jawa timuran dan ditujukan untuk membawa penonton masuk pada cerita yang dibawakan, hal ini berperan dalam memainkan emosi penonton sepanjang pementasan ludruk, bahasa yang digunakan tidak terlepas dari bahasa jawa yang memiliki logat berbeda- beda disetiap daerah misalnya saja Surabaya, Kediri, Jombang, Madura, Madiun.

Bahasa nya yang mudah dimengerti menjadikan ludruk dapat dinikmati oleh berbagai kalangan baik yang non intelek hingga yang berintelektual. Ludruk tidak hanya dijadikan sebagai seni pertunjukan untuk menghibur tetapi

terkadang dapat dijadikan sebagai sarana dalam menyuarakan kritik sosial.

Setiap daerah tentu memiliki ludruk khas daerahnya masing masing hal tersebut tidak luput dari kesenian yang dimobilisasikan oleh para perantau yang kemudian menjadikannya sebagai identitas dari masing masing wilayah. Salah satunya adalah Ludruk Jember yang juga tidak luput dari penyebarluasan nilai budaya melalui para pendatang dari daerah asalnya. Karena dalam konteksnya Jember merupakan Kota yang dimana banyak masyarakatnya merupakan migrasi dari daerah lain, tentu alasan mereka datang ke Jember tidak lepas dari kata ingin mencari pekerjaan atau bahkan ingin mngubah nasibnya menjadi lebih baik.

Dari proses migran masyarakat ini lah terjadi pembentukan sebuah budaya baru yang tak terlepas dari budaya masing masing daerah para pendatang. Orang- orang migran akan berusha memahami realitas kehidupan dilingkungan barunya dan turut membawa pada bagaimana ia akan membangun lingkuan tersebut agar dapat menjadi sebuah “rumah baru” secara kebudayaan. Dengan kondisi dan karakter seperti ini lah orang orang akan berusaha menciptakan tradisi. Dari sini lah Ludruk Jember tumbuh dan cukup lama eksis di Jember khususnya dikalangan masyarakat desa.

Sebenarnya ludruk Jember dengan Ludruk yang ada di daerah Jawa lainya tidak berbeda jauh, namun ada beberapa yang membedakan dan menjadikan ludruk jember menjadi kesenian lokal yang khas. Mulai dari bahasa yang digunakan sampai cerita yang digunakan-pun memiliki daya tarik tersendiri. Ludruk Jember pun menawarkan karakteristik nya tersendiri yakni menggunakan bahasa Madura-Jawa baik dialog antar pemain maupun antar pemeran. Selain itu karakteristik khas Ludruk Jember terlihat dari lakon atau cerita yang lahir dari sumber sumber lokal Jember antara lain nama tempat, tokoh legenda maupun nyata, serta cerita mitos yang ada di Jember. Adapun yang menjadi menarik adalah berkaitan dengan ludruk memiliki keterkaitan dengan tindakan masyarakat yang kemudian disisipkan lewat nilai-nilai simbolik, yang asumsinya adalah kesenian ludruk digunakan sebagai sarana untuk mempertemukan masyarakat dengan identitas di wilayahnya dengan pendekatan kultural yang didapat dari local knowledge atau pengetahuan lokal setempat. Perbedaan inilah yang mungkin menjadikan Ludruk Jemberan ini berbeda, kesamaan dari esensi ludruk itu kemungkinan merupakan proses untuk menterjemahkan ulang eksistensi suatu komunitas/kelompok yang dilakukan dengan menanamkan dan mengulang nilai- nilai yang diambil yang ada di masa lalu, seperti yang kita tahu keberadaan ludruk jember sendiri tidak lepas dari adanya warisan kultural yang diturunkan dari leluhur sebelumnya yang sudah lebih lama mendiami Jember sebagai basis perantauan mereka dari Madura. Untuk Jember sendiri ludruk dapat diasumsikan sebagai cara atau medium baru bagi masyarakat Madura untuk memahami dan mengenali posisi perantau dalam konteks wilayah yang baru.

Tulisan ini mencoba untuk melihat ludruk jember dalam perspektif wacana Foucault, terutama menelaah hubungan yang muncul dengan penamaan Ludruk Jember itu sendiri, ketertarikan kami untuk membedah bagaimana wacana "Ludruk Jember" dalam konteks ini dimaksudkan sebagai pengetahuan baru, penyematan kata Jember ini bukan semata-mata menegaskan posisi geografis, akan tetapi memuat unsur-unsur kebudayaan yang sudah dimodifikasi untuk kemudian diinternalisasikan dalam pementasan ludruk untuk melegitimasinya menjadi sebuah pengetahuan. semisal penggunaan babad Jember yang diadopsi dari cerita- cerita lokal. Lebih lanjut tulisan ini menyorot perihal hubungan antara

masyarakat Jember dengan kesenian ludruk itu sendiri.

Metodologi

Teori tentang wacana dalam perspektif Foucaultdian digunakan untuk memahami hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Foucault menyebut bahwa kekuasaan yang dipahami sangat berbeda dengan kekuasaan yang dimaksud oleh Marx, bahwa ini bukan tentang kepemilikan materi, melainkan kekuasaan yang dilihat adalah situasi strategis kompleks di masyarakat. dan dalam konteks ini kekuasaan tersebut adalah pengetahuan, pengetahuan tersebut berlangsung pada level wacana, dimana Foucault berbicara mengenai struktur pengetahuan yang dilegitimasi dapat mengubah praktik-praktik sosial. Karena pada dasarnya wujud kekuasaan itu tidak terlihat tapi mampu mengendalikan tubuh individu. Sepemahaman kami itulah pengetahuan yang dimaksud adalah Ludruk Jemberan. Perspektif ini memungkinkan kita untuk dapat menelaah terkait wacana "Ludruk Jember" yang dibentuk untuk mengkampanyekan identitas jemberan. Karena unsur-unsur madura yang dimasukkan dalam pementasan, termasuk penggunaan bahasa itu merupakan bentuk pengekspresian karena kecintaannya terhadap kultur kemaduraan para migran. Jadi poin penting yang ingin kami lihat adalah pada wacana ludruk Jember tadi digunakan untuk membangkitkan kembali ekspresi dan memori para migran akan kultur mereka.

Penelitian ini disusun dalam bentuk penelitian yang bersifat deskriptif-kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menempatkan peneliti sebagai kunci pokok dan teknik pengumpulan data dilakukan secara penggabungan serta analisis data bersifat induktif (Sugiono, 2010 : 9). Penelitian kualitatif dapat menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif, seperti transkripsi wawancara dan observasi (Poerwandari, 2005). Wawancara kami lakukan dengan informan kami yang bernama Pak Sutik dan merupakan seniman ludruk Jember yang masih aktif hingga kini sebagai pegiat kesenian ludruk dan juga pimpinan grup ludruk Rukun Trisno di Kecamatan Ledokombo, Desa Lembengan, Kabupaten Jember. Metode penelitian analisis deskriptif-kualitatif merupakan suatu cara menganalisis, menggambarkan, dan meringkas berbagai kondisi, situasi dari berbagai data yang dikumpulkan berupa hasil wawancara

atau pengamatan mengenai masalah yang diteliti dan terjadi di lapangan (I Made Winartha, 2006: 155). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Wawancara tidak terstruktur, yaitu metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara langsung kepada responden dimana peneliti tidak menggunakan panduan wawancara yang telah tersusun untuk memperoleh datanya (Sugiono, 2008: 194). Dalam penelitian ini data yang didapatkan berupa sejarah singkat, gambaran umum, perkembangan, proses dan tata cara pagelaran kesenian ludruk Jember. Data-data yang telah diperoleh nantinya akan digunakan untuk menganalisa dan mengevaluasi proses perkembangan ludruk Jember saat ini dalam proses penelitian.

Pembahasan

Ludruk Rukun Trisno

Kelompok ludruk yang ada di wilayah Jember sendiri baik itu yang besar maupun yang kecil terhitung kira-kira ada 70 pimpinan. Tapi untuk itu kami memilih melakukan penelitian dengan kelompok ludruk yang dipimpin oleh Pak Sutik, mengingat bahwasannya ludruk ini kerupakan kelompok ludruk paling tua yang ada di Jember. Sebelum nama Rukun Trisno, grup ludruk ini dinamakan Saronin, penamaan ini mengacu pada alat musik yang biasa dimainkan untuk mengiringi pementasan yaitu saron. Awal mula terbentuknya kelompok ludruk ini berawal dari Desa Kalibaru, Kabupaten

Banyuwangi oleh ibu Armuna pada tahun 1945. Setelah itu kesenian ini dibawa ke Desa Sumber Anget oleh pak Ardian, dan mengalami pergantian pemimpin dari tahun ke tahun. setelah terus berganti tampuk kepemimpinan hingga berjalan pada tahun 1990 barulah kelompok ludruk ini dipimpin oleh pak Sutik.

Ludruk Jember dalam Perspektif Wacana Kekuasaan Foucault

Kesenian Ludruk Jember merupakan sebuah medium yang menyediakan ruang bagi para pendatang dalam mengkonstruksi budaya di wilayah Jember. Hal tersebut tidak lepas dari dinamika perkembangan konsep budaya jemberan yang kental dengan nilai kultural Jawa-Madura yang turut serta dihadirkan para pendatang. Yang menjadikan ludruk jember menarik adalah

bagaimana kesenian ludruk jember diartikulasikan sebagai kekuatan hegemonik dalam melegitimasi lapangan kebudayaan di kawasan Jember. Seperti data yang penulis dapat dari pak lipyanto selaku penggiat kesenian ludruk jember, bahwa cerita-cerita yang dibawakan dalam pementasan ludruk dihadirkan melalui Local Knowledge (pengetahuan lokal) yang diyakini oleh penggiat ludruk jember sebagai jejak historis wilayah jember. Pementasan ludruk Jember yang diadopsi melalui cerita babad jember memiliki

peran tersendiri dalam mewarnai khasanah kebudayaan jemberan yang dibangun oleh pendatang. Ludruk jember dapat kita artikan sebagai sebuah instrument dominan dalam wacana memproyeksi identitas jemberan di wilayah jember, khususnya dalam tataran desa.

Meminjam pemikiran wacana kekuasaan milik Michel Foucault, penulis tertarik untuk membedah bagaimana ludruk jember dihadirkan guna melegitimasi kebudayaan jember dengan unsur-unsur nilai budaya wilayah asal para imigran, yaitu Jawa-Madura. Diskursus mengenai asal-muasal kota jember turut diperlihatkan dalam pementasan ludruk jember. Seperti yang telah penulis paparkan, bahwasanya pengetahuan terkait hal tersebut dihimpun dalam pementasan ludruk jember yang diadopsi dari cerita babad jember. Penanaman nilai tentang jejak historis kota Jember disisipkan melalui sebuah pendekatan kultural yang dimaksudkan para pendatang untuk mengkontruksi sebuah pengetahuan lokal yang baru. Hal yang demikian berkontribusi pada berkembangnya pemahaman kolektif terkait asal muasal kota Jember itu sendiri sampai sekarang. Disini konsepsi Foucaut dirasa begitu relevan untuk menjabarkan kesenian ludruk jember sebagai jembatan yang mempertemukan para pendatang dengan identitas jemberan-nya. Pengetahuan menurut Foucault merupakan bentuk lain dari kekuasaan. Pengetahuan dalam konsepsi Foucault memiliki peran sentral dalam membentuk suatu pengaruh hegemonik. Disini pengetahuan ada dalam membentuk suatu konsensus untuk mengembangkan dominasi suatu kelompok terhadap kelompok yang lain. Perlu dicatat disini kekuasaan yang diargumentasikan oleh Foucault sangat berbeda dengan kekuasaan yang diargumentasikan oleh Marx, yang ditekankan oleh Foucault bukan pada ranah kepemilikan materi, melainkan bagaimana pengetahuan membentuk kekuasaan pada level wacana. Dalam konteks babad jember yang

diadopsi kesenian ludruk jember menghadirkan suatu hegemoni yang dimaksudkan untuk melegitimasi wilayah jember secara kebudayaan, yang mana disini adalah kebudayaan jemberan yang dikonstruksi para pendatang. Struktur-struktur pengetahuan lokal yang dikembangkan para pendatang juga melegitimasi bagaimana masyarakat jember bertindak dalam praktik-praktik interaksional di ruang sosialnya. Bentuk hakiki dari kekuasaan menurut Foucault ada dalam pikiran yang bertransformasi menjadi sebuah pengetahuan, bukan tampak pada faktor-faktor yang sifatnya lahiriah.

Eksistensi para pendatang mulai ditegaskan melalui pengetahuan-pengetahuan lokal, dimana hal tersebut melengkapi tujuan pendatang dalam mereposisi identitasnya di wilayah baru sebagai penduduk asli kota Jember.

Pementasan kesenian ludruk jember memiliki artikulasi sebagai senjata kebudayaan dalam menghegemoni kebudayaan di wilayah jember. Fenomena ini merupakan sebuah ekspresi pendatang yang timbul dari keinginannya dalam menafsirkan ulang eksistensi mereka. Dijelaskan oleh pak lipyanto, bahwa ada beberapa aspek yang membedakan ludruk jember dengan ludruk lainnya di kawasan Jawa Timur, kekhasan tersebut tampak pada alat-alat yang kental dengan nuansa mistis, unsur tambahan lawak madura, dan penggunaan bahasa campuran jawa- madura. Hal ini tak lepas dari faktor pengkampanyean identitas jemberan dalam muatan-muatan tradisi yang dibawa kesenian ludruk jember. Strategi pengkampanyean yang demikian dirasa efektif dalam membawa emosi penonton dalam memahami alur cerita babad jember yang dibawakan oleh lakon-lakon ludruk jember. Kedekatan yang coba dibangun ini memiliki fungsi dalam menstimulus kesadaran masyarakat jember terhadap identitas jemberan-nya. Fakta menarik dalam pementasan ludruk jember adalah bagaimana kultur madura memainkan peran yang dominan dalam praktiknya. Hal ini tak lepas dari kentalnya corak kemaduraan dalam pementasan ludruk jember. Mengutip dari tulisan Supriyanto, “Transformasi Seni Pesisir Using ke Ludruk Madura di Jember”, ia memaparkan bahwa kesenian ludruk lebih berkembang di Jember kawasan utara, dimana masyarakatnya lebih dominan berkultur madura. Hal tersebut dapat dikaitkan pada kentalnya corak kemaduraan dalam ludruk jember. Kebetulan kelompok riset kami memfokuskan riset di kawasan Jember Utara,

tepatnya di komunitas ludruk rukun trisno yang dipimpin oleh Pak Lipyanto di Desa Lembengan, Kecamatan Ledokombo. struktur pementasan dalam ludruk Madura adalah Kejhung (nyanyi), tari, lawak, felem, dan lakon. Bagian lawak sendiri dianggap sebagai primadona dari pementasan kultur Madura karena diangaap memiliki sense humor yang gampang ditangkap dan dinikmati masyarakat jember. Yang menjadikan ludruk madura menarik adalah adanya karakteristik yang khas pada bagian lakon, yaitu pembawaan cerita babad sempolan. Dominannya kultur madura pada pementasan ludruk jember selaras dengan nuansa kemaduraan yang dhadirkan pada ludruk jember, seperti nilai kultur masyarakat madura yang dicirikan dengan tempo musik yang keras dan cepat, nilai spiritual serta selera humor khas madura, fakta tersebut berkaitan dengan hadirnya sebuah rumah eksistensial yang ditujukan sebagai akses para keturunan madura di jember untuk menemukan memori kemaduraan di wilayah barunya, yaitu Jember.

Kesenian Ludruk Jember Sebagai Ekspresi Para Pendatang terhadap Migransi Budaya

Untuk mengawali penulis ingin memaparkan teori migransi budaya yang dikembangkan oleh Edwin Juriens dalam bukunya “Ekspresi Lokal dalam Fenomena Global” Edwin memberikan batas yang jelas antara migrasi dengan migransi dalam tulisannya. Migrasi adalah sebuah proses perpindahan seorang individu dari suatu daerah ke daerah lainnya. Sedangkan menurut Edwin, migransi yaitu suatu kesadaran yang hadir karena perbedaan budaya dari wilayah asal migran dengan wilayah baru yang ia huni. Kesadaran itu yang menurut Edwin memiliki peran dalam membentuk usaha para migran yang ditujukan untuk mengatasi permasalahan yang dihadirkan perubahan dan perbedaan budaya. Upaya-upaya yang dilakukan kaum migram dalam menjawab permasalahan yang dihadirkan budaya wilayah baru yang bertolak-belakang dengan wilayah asalnya direpresentasikan dalam penciptaan suatu budaya baru yang dimaksudkan untuk memperkondisikan imigran menjadi suatu komunitas yang lebih adaptif pada lingkungannya yang baru. Konsekuensi dari penciptaan budaya baru ini adalah individu tidak akan dapat kembali pada budaya asalnya. Hal tersebut dikarenakan akan selalu terciptanya “rumah baru” yang mengiringi konstruksi kebudayaan baru sebagai rangka lebih mengenal serta memahami realitas

lingkungan baru yang dihuni oleh para migran.

Salah satu perangkat penting dalam menunjang penciptaan budaya baru adalah dengan mengembangkan sebuah produk kebudayaan. Produk kebudayaan yang kami fokuskan dalam tulisan ini adalah kesenian ludruk jember. Kesenian ludruk jember merupakan ekspresi dari para perantau yang diidentifikasi dari keinginan mereka untuk menerjemahkan ulang posisi serta identitasnya secara kebudayaan, hal ini dapat dikontekskan sebagai langkah adaptif para perantau di wilayah baru. Dalam fakta historisnya, para imigran masuk ke daerah Jember dengan alasan yang bervariatif, seperti kurang dan wirang yang berarti ada individu yang membawa motivasi merantau untuk memperbaiki keadaan ekonominya, disisi lain juga ada yang bermigrasi sebagai konklusi dari permasalahan yang tidak memungkinkan para perantau untuk

bertahan di wilayah asalnya. Proses migransi para pendatang yang tercermin dari bagaimana kesenian ludruk menciptakan suatu “rumah baru” bagi para perantau untuk lebih mengenal dan memahami realitas di wilayah barunya dianggap sebagai perkara kausal yang harus dijabarkan lebih rinci. Untuk lebih konkritnya penulis akan mengargumentasikan temuan-temuan riset yang terkait dengan bagaimana kesenian ludruk berperan dalam memperbarui identitas para perantau melalui ruang lingkup kebudayaan pada sub-pembahasan berikutnya.

Ludruk Jember sebagai Penegas Identitas para Migran

Kesenian Ludruk Jember adalah salah-satu dari beragamnya produk kebudayaan yang terbentuk melalui perspektif para migran (Jawa-Madura) terhadap wialyah baru mereka, yaitu Jember. Ludruk Jember merupakan representasi dari upaya para pendatang di Jember untuk memahami serta mengenali wilayah baru yang mereka huni. Jika kita telisik jejak historisnya, proses migrasi di wilayah Jember dimulai ketika adanya pembukaan kawasan untuk usaha di sektor perkebunan, hal ini yang menjadi faktor meledaknya pendatang untuk bekerja di wilayah Jember. Persoalan yang dibawa oleh para migran waktu itu ialah bagaimana cara menentukan posisi mereka secara kebudayaan di wilayah mereka yang baru ?. Menjawab tantangan- tantangan yang hadir tersebut tidak bisa kita lepaskan dari aspek kebudayaan, karena kebudayaan di daerah asal

masih melekat pada tiap individu-individu pendatang di Jember. Mengingat apa yang menjadi persoalan para migran terciptalah suatu langkah adaptif yang terproyeksi melalui sebuah strategi kebudayaan yang diterapkan oleh para pendatang untuk memahami dan mengenali realitas yang baru di wilayah Jember.

Proses adaptasi oleh para pendatang tak lepas dari keinginan para pendatang untuk membangun sebuah “rumah baru” yang dihadirkan melalui proyeksi kebudayaan jemberan, yang kemudian menciptakan sebuah tradisi yang dimaksudkan sebagai metode penyesuaian para pendatang dengan kondisi yang baru. Meminjam konsep Invited traditon dari Eric Hobswan, Invited tradition yaitu suatu tradisi yang bersifat simbolik yang ada pada suatu komunitas untuk diartikulasikan sebagai ikatan sosial mereka. Tradisi tersebut dimaknai dengan memuat hal-hal yang bersifat simbolik yang dimaksudkan untuk menginternalisasikan nilai-nilai dengan pengulangan secara otomatis dari masa lalu, simbol-simbol yang terhimpun dalam tradisi tersebut mengandung makna ideologis pada suatu komunitas/masayarakat.

Dalam konteks komunitas migran di Jember, konsep tersebut sangat relevan dalam melihat pembangunan budaya masyarakat migran yang ditujukan sebagai penafsiran ulang posisi perantau pada wilayah Jember, dimana dalam tulisan ini difokuskan pada kesenian ludruk jember. Ludruk Jember memiliki karakteristik yang khas dalam perkembangannya, seperti penggunaan bahasa Jawa-Madura dalam pementasan ludruk jember yang digunakan untuk dialog antar pemeran serta antara lakon ludruk dengan penonton. Penggunaan simbol-simbol seperti bahasa yang diaplikasikan dalam pementasan ludruk jember merupakan suatu konsekuensi tersendiri dari langkah adaptif para pendatang dalam membingkai budaya di jember. Budaya baru tersebut memiliki peran sentral dalam menggiring para pendatang pada suatu gerak peralihan, dimana yang awalnya mereka memaknai diri sebagai pendatang bertransisi menjadi penduduk asli daerah Jember.

Kebudayaan memang secara implisit memberi akses pada tiap individu untuk mengintegrasikan dirinya dengan lingkungannya, hal tersebut yang dilakukan para migran dalam menegaskan eksistensinya sebagai penduduk asli Jember. Percampuran bahasa yang ditampilkan oleh kesenian ludruk jember memberikan suatu

penanaman nilai tersendiri di wilayah Jember dalam penggunaan bahasa, jika kita kontekskan pada realitanya pola interaksi masyarakat Jember sangat dominan dengan penggunaan 2 bahasa, yaitu Jawa-Madura dalam aktivitas di ruang-ruang sosialnya. Kesenian merupakan produk dari kebudayaan yang digunakan sebagai instrument oleh masyarakat untuk lebih mengenali dan memahami realita di lingkungannya. Dalam kasus ini kesenian dapat diartikan sebagai cerminan kualitas dari suatu masyarakat, Retsikas dalam penelitiannya mengargumentasikan 2 unsur budaya yang ditampilkan dalam kesenian masyarakat migran (campuran Jawa-Madura), yang terbagi pada kultur jawa yang merupakan kualitas halus yang tercermin pada bahasa, gerak tarian dan tempo pelan, disisi lain kultur madura merupakan kualitas kasar yang tercermin pada tarian serta tempo yang keras dan cepat . Dari pemaparan simbol-simbol yang diperlihatkan dalam seni ludruk Jember, seperti bahasa memberikan karakteristik yang khas dalam kesenian Jemberan itu sendiri. Seperti yang pernah diargumentasikan oleh Heidegger, bahwasanya bahasa merupakan rumah dari manusia. Bahasa berfungsi menghadirkan esensi kemanusian pada diri manusia serta menemukan eksistensinya. Dalam penggunaan bahasa Jawa-madura pada kesenian ludruk jember selaras kaitannya dengan penegasan identitas para migran di Jember, yang mereka dapat dari modifikasi kesenian ludruk itu sendiri yang mereka bangun sebagai kesenian khas jemberan.

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapatlah kita tarik suatu titik simpul yang menegaskan bahwa Ludruk dan Masyarakat Jember tidak dapat dilepaskan satu sama lain, keberadaan ludruk sebagai medium untuk menghantarkan masyarakat Jember pada suatu pengetahuan akan kelokalan di wilayah perantauan, sekaligus sebagai sebuah kesenian tradisional. Ludruk Jemberan adalah ruang untuk mengekspresikan kembali kultur kemaduraan yang dibawa oleh para pendatang, inilah yang kemudian kata migransi budaya mewakili dari dua pernyataan diatas. Dalam dinamikanya kesenian Ludruk Jember memiliki peran penting dalam aspek konstruksi budaya baru, dimana dalam praktiknya turut serta

menghadirkan mobilisasi budaya Jawa- Madura dalam konteks penegasan identitas para migran di wilayah Jember. Penyisipan nilai-nilai secara simbolis yang dilakukan kesenian Ludruk Jember merupakan representasi dari upaya para perantau untuk mereposisi kedudukan mereka secara kebudayaan. Hal ini cukup kontras dari bagaimana kesenian ludruk jember bekerja dalam menghegemonik lapangan kebudayaan di Jember, dengan memproduksi local wisdom yang diadopsi dari cerita Babad Jember. Mengingat argumentasi Foucault mengenai bagaimana kekuasaan terbentuk dari sebuah wacana pengetahuan, dalam hal ini Ludruk Jember ada dan bertransformasi sebagai sebuah “senjata kebudayaan” yang menggiring ruang lingkup kebudayaan pada fase difusi budaya yang terwujud pada paham kolektif tentang bagaimana Jember hadir sebagai “rumah baru” masyarakat migran serta bagaimana kesenian Ludruk Jember membangun sebuah jembatan yang menghantarkan masyarakat migran dalam menemukan eksistensinya di wilayah baru dalam konteks kebudayaan.

Daftar Pustaka

Yongki, G. Prasisko. 2018. Ludruk Jember : Ritual Masyarakat Perantauan. Jurnal Parafrase Vol. 18 No. 1

Abdil, M Mudhoffir. 2013. Teori Kekuasaan Michael Foucault: Tantangan Bagi Sosiologi Politik. Jurnal Sosiologi Masyarakat Vol. 18 No. 1

Setiawan, Ikwan. 2018. Reog Pandhalungan: Politik Wacana Media, Kekuasaan, dan Proyek Identitas Jember.

Transkip Hasil Wawancara dengan Pak Lipyanto, Pemimpin Ludruk Rukun Trisno.

Setiawan, Ikwan. 2016. Hibriditas Budaya Dalam Lintasan Perspektif.

Setiawan, Ikhwan. Kebenaran, Intelektual, dan Kekuasaan. https://matatimoer.or.id/20 20/05/04/kebenaran- intelektual-dan-kekuasaan/.

Agustin, M. Sari. 2009. Foucault dan Komunikasi (Telaah Konstruksi Wacana dan Kuasa Foucault Dalam Lingkup Ilmu Komunikasi). Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 7 No. 3.

102