Budaya Onsen Sebagai Potensi Pengembangan SPA di Bali
on
PUSTAKA VOL. 23, NO. 2 • 141 – 146
p-ISSN: 2528-7508
e-ISSN: 2528-7516
Terakreditasi Sinta-5, SK No: 105/E/KPT/2022
Budaya Onsen Sebagai Potensi Pengembangan SPA di Bali
Novita Restiati Ina Wea1, Ardan Maulana2
Universitas Udayana1, Universitas Udayana2 [email protected]1* [email protected]2
Abstrak
Jepang dikenal memiliki beragam tradisi dan budaya yang menarik bagi para wisatawan lokal maupun internasional, salah satu yang cukup terkenal adalah budaya berendam menggunakan air panas. Beberapa aktivitas berendam di air panas antara lain masuk ke ofuro (bak mandi milik pribadi), sento (pemandian air panas umum), dan onsen (pemandian air panas dari sumber mata air alami). Seiring perkembangan zaman dan kebutuhan terhadap onsen, maka onsen juga dapat ditemui di mayoritas ryokan (penginapan dengan fasilitas dan arsitektur Jepang) ataupun SPA yang ada di seluruh wilayah di Jepang. SPA adalah salah satu produk wisata yang menawarkan pengalam rileksasi dalam harmonisasi efek yaitu “wellbeing for body, mind, and spirit”. Kata SPA merupakan singkatan bahasa Latin yaitu Solum per Aqua yang berarti kesehatan yang dapat disalurkan dengan tenaga air. Namun demikian, SPA di Bali tampil berbeda dengan menampilkan massage (pijitan), aromaterapi, dan keindahan alam daerah tropis sebagai branding-nya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali potensi budaya onsen yang bermanfaat untuk pengembangan SPA di Bali, khususnya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan Jepang ke Bali. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif dan studi kepustakaan. Sedangkan proses analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya onsen dapat menjadi potensi pengembangan SPA di Bali, yaitu dengan menjadikan air sebagai daya tarik, baik berupa ketersediaan pemandian air panas buatan, sauna, pasir panas, kolam lumpur panas, atau treatment pijat menggunakan air.
Kata Kunci: Budaya Onsen; Potensi Wisata; Pengembangan SPA.
Abstract
Japan is known for having a variety of traditions and cultures that appeal to both local and international travelers, one of the most famous of which is the culture of hot spring bathing. Some of the hot spring activities include entering ofuro (privately owned baths), sento (public hot springs), and onsen (hot springs from natural springs). With the times and the need for onsen, onsen can also be found in most ryokans (inns with Japanese facilities and architecture) or SPAs throughout Japan. SPA is one of the tourism products that offers a relaxing experience in harmonization of the effect of "wellbeing for body, mind, and spirit". The word SPA is a Latin abbreviation of Solum per Aqua which means health that can be channeled by water power. However, SPAs in Bali are different by featuring massage, aromatherapy, and the natural beauty of the tropics as their branding. Therefore, this research aims to explore the potential of onsen culture that is useful for the development of SPA in Bali, especially to increase Japanese tourist visits to Bali. The method used in this research is qualitative description and literature study. While the data analysis process used is data reduction, data presentation, and conclusion drawing. The results of this study show that onsen culture can be a potential SPA development in Bali, by making water as an attraction, either in the form of the availability of artificial hot springs, saunas, hot sand, hot mud pools, or massage treatments using water.
Keywords: Onsen Culture; Tourism Potential; SPA Development.
PENDAHULUAN
Budaya mandi di Jepang terbilang unik karena memiliki perbedaan dari kebanyakan tradisi mandi di dunia, yaitu konsep menanggalkan pakaian dan mandi di pemandian air panas atau disebut “Hadaka no Tsukiai” atau “Komunikasi Telanjang” yang menjadikan onsen sebagai sarana untuk menjalin komunikasi dan hubungan sosial (Harisal, 2019). Serbulea & Payyappallimana (2012) menambahkan konvensi budaya mandi ini
diterima dan dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Jepang, melampaui batasan generasi, sosial, ekonomi, dan geografis. Hal ini dimaknai sebagai rasa senasib dan sederajat antar manusia sehingga tidak ada hambatan komunikasi seperti usia, kebangsaan, serta latar belakang budaya di dalam onsen yang sama; sehingga onsen juga dipandang sebagai tempat bersosial antar masyarakat Jepang.
Menurut Matsuura (2005), onsen (温泉) memiliki dua arti yaitu “pemandian air panas” dan “sumber air panas”. Lebih lanjut, menurut peraturan pemerintah Jepang, tidak semua sumber air panas dapat dikatakan sebagai onsen. Sumber air panas dapat dikategorikan sebagai onsen jika memenuhi "Hot Spring Law" seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Hot Spring Law
No |
Name of the Substance |
Quantity/kg (over) |
1 |
Dissolved substances (excluding gases) |
1000 mg |
2 |
Carbon dioxide (CO2) |
250 mg |
3 |
Lithium ions (Li+) |
1 mg |
4 |
Strontium ions (Sr++) |
10 mg |
5 |
Barium ions (Ba++) |
5 mg |
6 |
Iron ions (Fe++, Fe+++) |
10 mg |
7 |
Manganese ions (Mn++) |
10 mg |
8 |
Hydrogen ions (H+) |
1 mg |
9 |
Brome ions (Br-) |
5 mg |
10 |
Iodine ions (I-) |
1 mg |
11 |
Fluor ions (F-) |
2 mg |
12 |
Hydro-Arsenicum oxide (HAsO4) |
1,3 mg |
13 |
Arsenious acid (HAsO2) |
1 mg |
14 |
Sulfur ions (S) |
1 mg |
15 |
Meta-(HBO2) Boron |
5 mg |
16 |
Meta-(H2SiO3) Silicic acid |
50 mg |
17 |
Sodium bicarbonate (NaHCO3) |
340 mg |
18 |
Radon (Rn) |
20 μCu |
19 |
Radium salts (as Ra) |
100 mg |
Sumber: Government of Japan dalam Serbulea & Payyappallimana, Konstruksi Penulis (2023)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa tidak semua sumber air panas dapat dikatakan sebagai onsen, melainkan yang sudah memenuhi 19 elemen yang teruji memiliki manfaat bagi tubuh manusia, lebih dari sekedar menghangatkan dan membersihkan tubuh. Wiyatasari (2021) menjelaskan onsen memiliki tingkatan suhu air yang berbeda yang dapat mempengaruhi manfaatnya. Onsen dengan suhu air panas berkisar 25 derajat hingga 40 derajat celsius dipercaya dapat memberikan efek rileksasi tubuh dan pikiran, melancarkan peredaran darah, membantu mengangkat sel-sel kulit mati, menghilangkan pegal, menurunkan tekanan darah,
serta menyembuhkan penyakit kulit. Selain itu, onsen dengan kandungan belerang yang tinggi dipercaya mampu mengeluarkan racun dari dalam tubuh, khususnya yang terkait penyakit kulit.
Sebagai sarana budaya Jepang, onsen mampu menciptakan daya tarik wisata bagi para pengunjung. Berdasarkan survei dari Japan National Tourism Organization (JNTO) dan Tourist Information Center (TIC) dalam Harisal (2019) pada 919 responden dengan memilih 5 pilihan yang menghasilkan 4320 jawaban, terhitung rasio daftar tujuan kunjungan wisatawan berdasarkan keinginan di Jepang adalah 68,2% memilih arsitektur tradisional Jepang; 61% memilih wisata kuliner; 55,1 % memilih taman tradisional Jepang; 34,9% memilih menginap di ryokan; 32,1% memilih onsen; 26,6% memilih shopping; 24,9% memilih petualangan alam; 24,5% memilih pop culture; 23,5% memilih museum; dan 21,2% memilih mengunjungi pasar ikan. Jika rasio ini dijadikan persentase dalam grafik, maka akan tergambar seperti grafik berikut:
7%
9%
15%
9%
Shopping Petualangan Alam
Pop Culture Museum
Pasar Ikan
Arsitektur Tradisional
Kuliner
Taman Tradisional
Ryokan Onsen
Gambar 1. Grafik Presentase Tujuan Kunjungan Wisatawan Berdasarkan Keinginan di Jepang Sumber: Konstruksi Penulis (2023)
Berdasarkan hasil survei ini, onsen menduduki peringkat kelima sebagai tempat tujuan wisata yang ingin dikunjungi oleh wisatawan nasional maupun internasional ketika berwisata ke Jepang. Hal ini membuktikan bahwa onsen adalah tempat wisata yang menjanjikan untuk dikelola oleh banyak pelaku usaha dan bisnis di Jepang, sehingga banyak dari mereka yang menjadikan onsen sebagai salah satu atraksi yang terintegrasi dalam paket wisata yang ditawarkan, misalnya di penginapan bergaya Jepang (ryoukan) maupun SPA. Berikut adalah gambar contoh onsen yang ada di ryoukan serta SPA.
Gambar 2. Onsen di Ichijoh Ryoukan Sumber: Website Ichijoh Ryoukan (2021)
Gambar 3. Grand Hyatt Tokyo's Nagomi Spa Sumber: Shoji (2016)
Menurut Tubergen & Linden (2002), kata SPA berasal dari kata “espa” yang merujuk pada nama kota Spa di Belgia yang memiliki banyak sumber air panas yang ditemukan pada abad ke-14. SPA juga dapat merujuk pada akronim dari frasa Latin “Sanitas per Aquas” atau “kesehatan melalui air”. Pendapat lain diberikan oleh Duryatmo dalam Trubus (2009), yang menjelaskan bahwa istilah SPA merujuk pada kata latin “Sanus per Aquam” yang berarti “sehat dengan air”, ataupun “Solus per Aqua” yang memiliki arti yang sama. Tradisi SPA dipercaya sudah berkembang sebelum masehi, khususnya bagi masyarakat Jepang yang percaya dengan tradisi “Mizu no Kokoro” yang dilakukan dengan berendam di air panas dan dikaitkan dengan “Mizubunka” yang bermakna segala sesuatu yang dilakukan masyarakat Jepang berkaitan dengan pemanfaatan air untuk keberlangsungan hidup manusia (Trahutami, 2021). Selain di Jepang, aktivitas SPA atau berendam di air panas juga sering dilakukan oleh masyarakat Romawi kuno, khususnya oleh tentara setelah pulang dari perang
untuk mengobati luka ataupun untuk melakukan rileksasi (Tubergen & Linder, 2002). Sedikit berbeda dari negara lainnya, penggunaan wewangian berupa bunga, rempah-rempah, hingga minyak aromaterapi menjadi kekhasan dalam perkembangan SPA di Indonesia. Anastasia (2009) menjelaskan bahwa SPA di Indonesia menampilkan nuansa alam tropis dan konsep interior tradisional Indonesia, dengan menggunakan massage (pijitan) sebagai daya tarik utamanya. Tradisi pijat tradisional sudah sangat erat dalam masyarakat Indonesia dan dipercaya memiliki beragam manfaat antara lain untuk kesehatan, kebugaran, dan rileksasi. Karena manfaat inilah, pengembangan SPA yang bertujuan untuk kebugaran dan rileksasi menggunakan branding pijatan atau massage sebagai daya utama.
Bali sebagai destinasi pariwisata utama Indonesia memiliki keunggulan sebagai penerima wisawatan nusantara dan wisatawan mancanegara terbanyak dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Berdasarkan data BPS Provinsi Bali tentang Statistik Wisatawan Mancanegara ke Provinsi Bali Tahun 2022, diketahui wisatawan Jepang menduduki posisi ke-empat kunjungan wisatawan terbanyak dari kawasan Asia setelah India, Korea Selatan, dan Tiongkok. Pada tahun 2020 ketika awal pandemi Covid-19 di Indonesia, Jepang menduduki posisi ke-lima dari keseluruhan kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali. Penurunan kunjungan wisatawan Jepang dari periode 2020 sampai 2022 disebabkan oleh beberapa hal, termasuk kebijakan melakukan aktivitas pariwisata di luar negara oleh pemerintah Jepang. Namun jika ditelusuri kembali, wisatawan Jepang pernah menjadi wisatawan dengan tingkat kunjungan terbanyak dari tahun 2000 hingga tahun 2008 (BPS Provinsi Bali, 2010). Setelah tahun 2008, kunjungan wisatawan Jepang mengalami penurunan jumlah kunjungan karena disebabkan oleh beberapa keadaan, diantara adalah terjadinya krisis ekonomi dan dampak tsunami di Fukushima yang menyebabkan masyarakat Jepang merasa tidak nyaman untuk melakukan perjalanan wisata di luar negaranya (Ruslan, 2012). Budhiana (2012) menambahkan alasan lain yang menyebabkan penurunan kunjungan wisatawan Jepang ke Bali adalah karena diberhentikannya penerbangan langsung Japan Airline dari Jepang ke Denpasar.
Berdasarkan penjelasan kunjungan wisatawan Jepang ke Bali di atas, diketahui bahwa kunjungan wisatawan Jepang mengalami penurunan yang besar di periode setelah tahun
2008. Meskipun demikian, masih terdapat kunjungan tetap oleh wisatawan Jepang meskipun di periode sulit seperti saat pandemi Covid-19 terjadi. Hal ini membuktikan bahwa Bali adalah salah satu tempat wisata yang selalu ingin dikunjungi wisatawan Jepang. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan Jepang ke Bali, salah satunya dengan menggali potensi SPA yang dikaitkan dengan budaya onsen.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan metode deskriptid kualitatif. Metode deskriptif diartikan sebagai cara pemaparan atau mendeskripsikan penelitian terhadap suatu keadaan yang diteliti secara apa adanya, serta pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menganalisis fenomena peristiwa, aktivitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, serta pemikiran secara individual maupun kelompok (Sukmadinata, 2009). Alasan penulis menggunakan metode ini dikarenakan penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan suatu keadaan dan aktivitas yang terjadi di layanan SPA yang dikaitkan dengan budaya onsen.
Proses penelitian ini melewati tiga tahap teknik analisis data yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyimpulan data. Penulis mengumpulkan data dari jurnal dan artikel yang terkait menggunakan metode studi pustaka, yaitu metode pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaah terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 2013). Analisis data dilakukan dengan cara membaca keseluruhan dari jurnal dan artikel yang sudah terkumpul lalu memprosesnya dengan tahap reduksi, kemudian diakhiri penarikan kesimpulan.
HASIL
Dalam mengidentifikasi potensi wisata yang dapat dijadikan atraksi wisata, maka diperlukan analisis yang sesuai. Pada penelitian ini, penulis memilih analisis SWOT untuk mengidentifasi apakah onsen dapat dikolaborasikan dengan SPA yang ada di Bali. Menurut Rangkuti (2004), analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang
diharapkan dapat memecahkan suatu masalah. Analisis ini didasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersama dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Sebelum menganalisis data menggunakan SWOT, maka dijabarkan beberapa fakta internal dan eksternal sebagai berikut:
-
1) Faktor Internal:
Terdapat beberapa sumber mata air panas di Bali yang paling banyak ditemui di daerah pegunungan, atau cukup jauh dari pusat kota. Meskipun sudah ada SPA sudah menjadikan pemandian air panas sebagai salah satu atraksinya, misalnya seperti di Toya Devasya – Kintamani dan Banjar Hot Springs – Buleleng, namun mayoritas SPA di Bali belum memanfaatkan potensi sumber daya air yang dimiliki, dan lebih memiliki branding layanan massage dengan minyak aromaterapi atau wewangian lainnya. Selain teknik massage yang memiiki keunikan dan manfaat untuk rileksasi dan kebugaran, SPA di Bali juga menawarkan treatment kecantikan lainnya seperti body scrub, body mask, skin treatmeant, ratus dan lain sebagainya. Spa di Bali juga menawarkan konsep arsitektur Bali sesuai filosofi budaya masyarakat setempat yaitu Tri Hita Karana, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung.
-
2) Faktor Eksternal:
Yamashita (2003) menjelaskan bahwa pandangan wisatawan Jepang terhadap Bali cukup unik, yaitu selain eksotis juga terdapat perasaan nostalgia. Image Bali dianggap menyerupai Kyoto dan Nara yang masih mempertahankan branding budaya yang kuat, baik berupa tempat peninggalan sejarah, kuil-kuil, serta lanskap pedesaan. Selanjutnya terkait waktu kunjungan ke Bali, pada umumnya wisatawan Jepang memiliki waktu menginap yang lebih sedikit dibandingkan dengan wisatawan dari negara lain, karena mereka memiliki jadwal aktivitas yang padat sehingga biasanya melakukan penjadwalan untuk berwisata. Hal ini menyebakan wisatawan Jepang lebih memilih melakukan reservasi terlebih dahulu melalui internet, menggunakan majalah sebagai arahan berwisata, serta menggunakan jasa guide untuk mempermudah aktivitas berwisatanya.
Selanjutnya dalam penelitian Adyani (2008), diketahui dari hasil survei pada 50 orang
wisatawan Jepang yang berkunjung ke Bali periode liburan musim panas 2008 ditemukan mayoritas wisatawan Jepang berjenis kelamin wanita. Dari hasil analisis angket ditemukan bahwa 14 wisatawan Jepang menjadikan wisata belanja sebagai motivasi utama, kemudian diikuti kunjungan ke SPA berjumlah 12 orang. Widayati (2012) menambahkan bahwa alasan wisatawan Jepang, baik pria maupun wanita, gemar melakuka wisata belanja karena terpengaruh dengan budaya membeli cinderamata (omiyage) ketika berwisata baik untuk keluarga, rekan kerja, teman, atau orang yang dianggap penting.
PEMBAHASAN
Berdasarkan faktor internal dan eksternal yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dibuatlah matriks SWOT yang bertujuan sebagai alat analisis untuk menggali potensi pariwisata dari budaya onsen yang dikaitkan dengan pengembangan SPA di Bali. Matriks SWOT yang dimaksud, dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2. Matrik SWOT Potensi Budaya Onsen terhadap Pengembangan SPA di Bali
Matrik SWOT |
Peluang - Opportunity (O)
pasar yang sesuai |
Ancaman-Threat (T) 1. Menurun jumlah kunjung 2. Length of Stay wisatawan yang relatif cepat. |
Kekuatan-Strength (S) 1. Keunikan pengalaman SPA yang ditawarkan;
|
sebagai daya tarik SPA;
|
|
pengalaman maksimal. | ||
Kelemahan-Weakness (W) 1. Lokasi pemandian air panas yang tidak strategis;
|
tanpa mengurangi esensi manfaatnya;
|
tempat souvenir. |
Sumber: Konstruksi Penulis (2023)
Berdasarkan hasil analisis matrik SWOT di atas maka diketahui beberapa upaya pengembangan yang perlu dilakukan pengelola SPA di Bali, khususnya yang memiliki target pasar wisatawan Jepang, adalah sebagai berikut:
-
1) Melakukan rebranding dengan menjadikan pemandian air panas sebagai daya tarik baru yang menambah pengalaman wisata berkunjung ke SPA, yaitu dengan menambahkan konsep wellness tourism hingga spiritual tourism; serta dibuat dalam satu kesatuan paket wisata yang mampu meminimalkan waktu menginap wisatawan;
-
2) Melakukan kerjasama lintas sektor untuk mempermudah masuknya wisatawan Jepang ke Bali, yaitu misalnya melalui pemerintah daerah setempat, Kementerian Pariwisata, Imigrasi, ataupun Kedutaan Besar Jepang;
-
3) Melakukan promosi yang lebih memudahkan wisatawan Jepang untuk mengakses informasi serta berbahasa Jepang, baik melalui media online ataupun offline yang mudah ditemui wisatawan Jepang, misalnya melakukan kerjasama dengan TIC di Jepang;
-
4) Membuat cinderamata yang menampilkan keunikan SPA Bali, baik di display yang ada di tempat SPA ataupun bekerjasama dengan toko souvenir. Selain display produk cinderamata, bisa juga membuat gallery kecil berisi
informasi terkait produk yang digunakan ditempat SPA ataupun hal-hal unik lainnya yang dapat menambah pengalaman wisata pengunjung;
-
5) Membuat alternatif pemandian air panas tanpa mengurangi esensi manfaatnya, misalnya dengan membuat kolam air panas buatan, sauna, pasir panas, kolam lumpur panas, atau treatment pijat menggunakan air untuk rileksasi, kebugaran, ataupun kesehatan.
KESIMPULAN
Dari hasil analisis pembahasan penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya onsen dapat menjadi potensi untuk pengembangan SPA di Bali. Image Bali yang baik dari wisatawan Jepang memungkinkan adanya peningkatan kunjungan jika kelemahan dari internal pengelola SPA serta ancaman dari faktor eksternal diatasi dengan baik. Selanjutnya perlu adanya rebranding yang sesuai dengan ketersediaan sumber daya alam yang ingin ditampilkan, sebagai pengganti onsen tanpa menghilangkan esensi manfaatnya. Beberapa alternatif pengganti onsen yang mampu dikembangkan oleh SPA di Bali adalah pemandian air panas buatan, sauna, pasir panas, kolam lumpur panas, atau treatment pijat menggunakan air.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyani, Kadek. (2008). Karateristik Wisatawan
Jepang yang Berkunjung ke Bali Periode Liburan Musim Panas 2008. Skripsi Sastra Jepang. Yogyakarta: UGM
Anastasia, Henny. (2009). Cantik, Sehat & Sukses Berbisnis Spa. Yogyakarta: Kanisius
Budhiana, Nyoman. (2012). Krisis Eropa Turunkan Jumlah Turis Jepang. [Online] Available: https://bali.antaranews.com/berita/24413/kri sis-eropa-turunkan-jumlah-turis-jepang (July 31, 2023)
Harisal. (2019). Potensi Onsen Sebagai
Representasi Wisata Budaya di Jepang Dalam Menarik Wisatawan. Ejurnal
Binawakya, 13 (11), 1745-1753
Matsuura, Kenji. (2005). Kamus Jepang-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Nazir, Moh. (2013). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia
Rangkuti, Freddy. (2004). Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Ruslan, Heri. (2012). Kunjungan Wisatawan Jepang ke Bali "Terjun Bebas", Kok Bisa?. [Online] Available:
https://news.republika.co.id/berita/m223ri/k unjungan-wisatawan-jepang-ke-bali-terjun-bebas-kok-bisa (July 31, 2023)
Serbulea & Payyappallimana. (2012). Onsen (Hot Springs) in Japan: Transforming Terrain into Healing Landscapes. Health & Place an International Journal, 18 (6), 1366-1373
Shoji, Mai. (2016). An Oasis of Pleasure at Grand Hyatt Tokyo's Nagomi Spa. [Online] Available: https://japantoday.com/category/features/he alth/an-oasis-of-pleasure-at-grand-hyatt-tokyos-nagaomi-spa (August 22, 2023)
Statistik Wisatawan Mancanegara ke Provinsi Bali 2022, BPS Provinsi Bali
Statistik Wisatawan Mancanegara ke Provinsi Bali 2020, BPS Provinsi Bali
Statistik Pariwisata Bali 2010, BPS Provinsi Bali
Sukmadinata, Nana. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Trahutami, Sriwahyu. (2021). Sumber Daya Air Sebagai Salah Satu Faktor Alam Penunjang Harapan Hidup Masyarakat Jepang. Kiryoku: Jurnal Studi Kejepangan, 5 (2), 308-312
Trubus. (2009). Spa, Lahir dari Perang. Depok: PT Trubus Swadaya
Tubergen & Linden. (2002). A Brief History of Spa Therapy. Annals of the Rheumatic Diseases, 61 (3), 273-275
Website Ichijoh Ryoukan. (2021). Onsen Hot Spring. [Online] Available:
https://www.ichijoh.co.jp/english/hotspring _en/ (August 22, 2023)
Widayati, Annisa. (2012). Bali Sebagai Salah Satu Destinasi Pariwisata Favorit Wisatawan Jepang. Skripsi Program Studi Jepang. Depok: UI
Yamashita, Shinji. (2003). Bali and Beyond: Explorations in the Anthropology of Tourism. New York: Berghahn Books
146
Discussion and feedback