PUSTAKA VOL. 23, NO. 2 • 135 – 140

Terakreditasi Sinta-5, SK No: 105/E/KPT/2022

p-ISSN: 2528-7508

e-ISSN: 2528-7516

Makna Perang Jagaraga dalam Kerangka Sejarah Nasional Sebagai Bentuk Kepribadian Bangsa Indonesia

Ida Ayu Putu Mahyuni

Program Studi Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Denpasar, 2023 [email protected]

Abstrak

Pada abad ke -19 dan abad ke-20 terjadi sejumlah pertempuran rakyat Bali melawan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan baik yang berupa perang maupun puputan terjadi secara silih berganti di wilayah kerajaan di Bali, mulai perang Buleleng, Perang Jagaraga, perang Banjar, perang Kusamba, puputan Badung, puputan Klungkung hingga puputan Margarana. Tulisan ini memfokuskan pada perang Jagaraga dalam kerangka sejarah nasional yang dilakukan rakyat Bali dibawah komando atau pemimpin laskar dari kalangan raja, patih, para kerabat raja, bahkan ada dari kalangan rakyat biasa, seperti Jero Jempiring pada Pertempuran di Jagaraga. Dari latar belakang tersebut permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah: (1) Apa makna tautan antara pemimpin laskar dengan pengikutnya?

(2) Apa makna filosofi ajaran Hindu dalam perang Jagaraga ? Nasional ?.

Kata Kunci: Makna Perang, Kerangka Sejarah Nasional dan

PENDAHULUAN

Dibawah komando patih kerajaan Buleleng, I Gusti Ketut Jelantik serangan pertama laskar kerajaan Buleleng berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang bersenjatakan serba lengkap dan membuatnya kacau-balau, sehingga menyebabkan pihak Belanda menarik mundur pasukannya untuk menghindari lebih banyak korban jatuh karena serangan pasukan perang kerajaan Buleleng. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pemimpin laskar Bali untuk akhirnya melakukan perang atau puputan, antara lain adalah jiwa patriotisme serta para pengikutnya yang selalu patuh dan mentaati perintah pemimpin mereka baik terhadap pemimpim laki-laki maupun perempuan. Faktor lainnya adalah strategi dari sistem yang di gagas oleh pemimpin perang atau puputan. Misalnya pada saat Perang Jagaraga dikenal dengan nama “Supit Surang” atau ‘Supit Urang”, dilengkapi dengan senjata tradisional yang ditempatkan di benteng utama di Jagaraga, pihak Belanda tidak mengenal medan di Jagaraga, Belanda menganggap remeh prajurit Jagaraga dan sekutu-sekutunya. Faktor lainnya juga tidak terlepas dari tautan antara pemimpin laskar dengan laskar yang dipimpinnya dengan pola kepemimpinan patron-client.

dan (3) Apa makna perang Jagaraga dalam kerangka sejarah

Kepribadian Bangsa Indonesia

Dengan kejadian yang dialami oleh pihak tentara Belanda tersebut, menyebabkan pihak Belanda mempersiapkannya dengan lebih matang. Akhirnya dibawah komando Mayor Jenderal Michiels benteng jagaraga dapat dikuasai sehingga tidak dapat dipertahankan lagi. Dalam peperangan di Jagaraga terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama terjadi perang Jagaraga yang dipimpin oleh patih I Gusti Ketut Jelantik. Tahap ke dua, kepemimpinan laskar Buleleng dipimpin oleh Jero Jempiring yang tiada lain adalah istri dari Patih Kerajaan Buleleng I Gusti Ketut Jelantik. Dalam perjalanan I Gusti Ketut Jelantik untuk meminta bantuan laskar dan mengatur siasat peperangan, dengan tidak diduga-duga Jero Jempiring maju ke medan perang menggantikan suaminya mengambil alih menggerakkan dan memimpin laskar laki-laki maupun laskar perempuan yang masih ada. Dan dalam perang itu Jero Jempiring beserta seluruh laskar pengikutnya gugur di medan pertempuran di Jagaraga dalam membela kebenaran dan tanah tumpah darahnya melawan tentara Pemerintah Kolonial Belanda.

Arti “perang” atau “puputan” adalah perlawanan atau perjuangan “pantang mundur dan pantang menyerah” demi membela kebenaran dan kedaulatan serta mempertahankan keutuhan

wilayahnya. Perlawanan tersebut akan dilakukan sampai titik darah terakhir, dengan semboyan: “lebih baik mati dari pada di bawah telapak kaki penjajah”. Hal itu dapat disamakan dengan semboyan bangsa Indonesia pada waktu perjuangan kemerdekaan, dimana seluruh pejuang pada waktu melakukan perlawanan terhadap musuh, dengan semboyan: “merdeka atau mati”, “sekali merdeka tetap merdeka”. Dengan demikian perlawanan-perlawanan yang dilakukan melalui “perang dan puputan” dengan semboyannya, “pantang mundur dan pantang menyerah”, pada hakekatnya adalah sama dengan perang perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan semboyan,” merdeka atau mati” (lihat Mirsha, tanpa tahun:15).

METODE

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggambarkan melalui sumber primer yaitu data yang diperoleh dari para informan pangkal, informan kunci maupun pendukung dilengkapi data sekunder yang berasal dari sumber kepustakaan terkait.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Makna Tautan antara Pemimpin dan Pengikut dalam Perang Jagaraga

Dalam mengungkap dan memahami mengenai tautan pemimpin, baik raja, patih atau bahkan pemimpin dari kalangan rakyat biasa dengan pengikutnya, dalam perang melawan pihak kolonial Belanda, tidak dapat dilepaskan dari prinsip dasar yang melandasi tautan antara pemimpin dengan pengikutnya. Pemimpin sering diartikan sebagai orang yang memiliki kekuasaan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak pengikut menurut kehendak pemegang kekuasaan, dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu (Soekanto,1983: 262; lihat Bawa Atmadja, 1984: 2).

Kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi atau menggerakkan orang lain. Mufakat mencapai suatu tujuan sesuai dengan kehendak pemimpin (Sutedja, 1978: 6; Kartodirdjo, 1974: tanpa tahun; Soerono, 1982: 7). Misalnya saja dalam pertempuran menentang kekuasaan Belanda di wilayah kekuasaan Raja di Bali, seperti muncul beberapa tokoh pemimpin, seperti I Gusti Made Karangasem dalam perang Buleleng (1846), dan I Gusti Ketut Jelantik dalam perang Jagaraga (1849), Jero

jempiring dalam puputan Jagaraga, Ida Made Rai dalam Perang Banjar (1868), Anak Agung Made dalam Puputan Badung (1906), Dewa Agung Jambe dalam puputan Klungkung (1908) (Rama,1984: 39).

Dalam mengungkap pemimpin perang di Jagaraga, selain I Gusti Ketut Jelantik, tidak dapat diabaikan pula seorang perempuan Bali yang berasal dari kalangan rakyat biasa, Jero Jempiring. Beliau adalah perempuan Bali yang telah memimpin laskar Buleleng dalam perang Jagaraga (1849). Perlu disadari dan dipahami, bahwa jiwa dan semangat kepemimpinan dalam pertempuran yang bersifat heroik itu telah memberikan suatu inspirasi semangat perjuangan rakyat Bali berikutnya. Misalnya kepemimpinan dan pertempuran Jero Jempiring yang dapat menginspirasi generasi berikutnya, seperti berupa semangat, berjiwa ksatria,keberanian, keiklasan. Secara tidak langsung Jero Jempiring telah dapat menunjukkan dan menepis asumsi atau pandangan stereotif masyarakat tradisional terhadap perempuan, bahwa perempuan secara fisik maupun kecerdasan lemah dibandingkan kaum laki-laki, perempuan tidak cocok menjadi pemimpin. Dari catatan Drs. I Made Sukada yang dikutif dari buku Van Eck, berjudul Scetsen Van Het Heiland Bali, sebagai berikut: Ketika musuh tiba-tiba menyusup ke Benteng Jagaraga,hampir semua laki-laki terkejut, dan berniat mengundurkan diri…..Dalam keadaan yang genting itu, Jero Jempiring menggertak:

“Diam,tenang! Lihat teman-teman kita masih sengit bertempur di garis depan! Tidakkah kalian malu disebut laki-laki,tidak berani mencucurkan barang setetes sudah mau lari”,…..percuma kalian menjadi laki-laki tidak berani membela nusa dan bangsa di medan laga”.

Karena malu dituduh pengecut oleh perempuan, sekalian pejuang laki-laki itu bangkit serentak memanggul senjata dirangsang oleh kecaman Jero Jempiring yang sangat pedas itu. Lebih lanjut disebutkan, bahwa Belanda mengagumi Jero Jempiring bersama anak buahnya laki-laki maupun perempuan, bahkan dikatakan sebagai pahlawan yang agung, berani, dan unggul dalam strategi perang dan politik (Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I Bali Paradah Indonesia, 2000: ttt).

Dalam setiap peperangan tampaknya memang dituntut hubungan yang erat antara pemimpin dengan pengikut. Dalam hal ini tautan antara I Gusti Ketut Jelantik sebagai pemimpin

laskar dalam perang Jagaraga dengan para pengikutnya dalam perang melawan Belanda, atau tautan antara Jero Jempiring sebagai pemimpin laskar dengan pengikutnya dalam puputan Jagaraga melawan Belanda. Sebab pemimpin yang ditinggalkan oleh pengikutnya ternyata dengan mudah dapat dipatahkan oleh pihak Belanda. Bertitik tolak dari kenyataan ini, maka tautan antara pemimpin dengan pengikut dapatlah dikatakan ibarat uang logam, dimana kedua sisinya walaupan terletak pada posisi yang berlawanan, namun merupakan satu kesatuan yang bermakna tak terpisahkan (Bawa Atmadja, 1984: 20).

Golongan yang terpimpin ternyata memberi umpan balik berupa kepatuhan atas segala tugas yang dibebankan oleh pemimpin. Dalam peperangan golongan yang dipimpin selalu taat menjaga pemimpin dari serangan musuh. Bahkan mereka rela mati demi menyelamatkan pemimpin yang akan mengobarkan semangat perjuangan. Dalam masyarakat Bali dikenal adanya pertautan antara siwa-guru dengan sisya (antara pemimpin dengan yang dipimpin) yang didasari perasaan utun, tresna, dan bakti. Utun disini artinya si siwa (pemimpin) selalu memperhatikan keadaan sisyanya (rakyatnya). Adanya perhatian dari pemimpinnya menimbulkan rasa aman, nyaman, merasa dikasihi dihati rakyatnya, sehingga perpaduan ini menimbulkan perasaan bakti. Oleh Keith R.Legg perpaduan ini dianggap sebagai syarat utama terjalinnya pertautan tuan-hamba (patron-client) (Putra Agung, 1984: 2-3; sebagai referensi lihat Legg, 1983: 19-20).

Makna Filosofi Ajaran Hindu dalam Perang Jagaraga

Pedoman-pedoman maupun aturan-aturan yang patut dilaksanakan oleh seorang pemimpin sering juga berpedoman pada Bhagawad Gita yang berisi antara lain: Ketika Maha Resi Abiyasa memberi nasehat kepada Arjuna dalam melaksanakan kepemimpinan negara. Disini ditekankan seorang pemimpin harus selalu berusaha mencapai ketenangan, selalu berpijak pada dharma, menyatukan diri kepada Tuhan, dan selalu bersikap waspada dan percaya diri (Sutedja, !984: 13).

Ajaran-ajaran diatas telah memberi watak seseorang menjadi pemimpin-pemimpin yang tangguh dalam pertempuran. Hal ini terbukti ketika kolonialisme Belanda yang bertujuan memperluas daerah jajahannya banyak mengalami hambatan maupun tantangan dari beberapa tokoh

pejuang di Bali. Seorang pemimpin haruslah dapat menindak yang salah tanpa pandang bulu, mempunyai semangat besar dan dapat membangkitkan anak buahnya (Pudja. 1983: 214). Semangat yang tangguh menjadi salah satu landasan kepemimpinan I Gusti Ketut Jelantik dalam memimpin perang Buleleng dan Jero Jempiring dalam memimpin perang Jagaraga pada abad ke-19 dalam menghadapi tentara Belanda dengan kekuatan yang serba modern.

Kepercayaan dan keyakinan sangat besar pengaruhnya pada golongan pengikut dalam menentukan sikap pada saat terjadi perlawanan atau peperangan seperti perang dan puputan yang dikenal di Bali. Sehingga ada anggapan dari pengikut, bahwa seorang pemimpin perang adalah pembela agama, ikut serta dalam perlawanan dipandang sebagai suatu perbuatan yang benar. Persepsi tersebut membentuk suatu tekad kuat dan keberanian yang tangguh dikalangan pengikut. Sedangkan pemimpin yang dipimpin harus mempunyai loyalitas yang merupakan unsur pokok dalam pembentukan pasukan guna mengadakan suatu perlawanan (Frederick. Dan Soeri Soeroto, 1982: 218).

Dalam memahami makna dan hakekat dilakukannya perang dan puputan, baik yang dilakukan oleh pemimpinnya maupun pengikutnya, selain karena alasan ingin membela tumpah darah, membela sanak saudara, membela raja dan kerajaan, juga membela kebenaran (matindih kedarman). Semua alasan tersebut serta kaitannya dengan Agama Hindu yang banyak memberikan ajaran-ajaran sifat kesatria. Baik perang ataupun puputan yang pernah terjadi di Bali termasuk perang dan puputan Jagaraga umumnya dilandasi juga oleh ajaran karma phala, bahwa mati atau gugur di medan perang membela kebenaran bangsa dan negara, adalah perbuatan kesatria sejati yang memperoleh sorga sebagai pahala. Gugur sebagai kesatria sejati dalam medan perang adalah jalan mulia menuju sorga ( Mantra, 1981: 21-39; lihat Sidemen, 1983: 78).

Walaupun pada saat perang dan puputan di Bali, kesadaran Nasional Indonesia belum terwujud, akan tetapi dimana musuh menginjakkan kakinya untuk melakukan penaklukan di wilayah Indonesia ini pasti dilawan oleh rakyat setempat. Hal yang demikian itu membuktikan, bahwa rakyat setempat telah mempertahankan kebenaran, kedaulatan dan kemerdekaan wilayahnya secara mati-matian. Dimana saja, perlawanan-perlawanan terhadap penjajah di seluruh tanah air dilakukan

dengan penuh keperwiraan “pantang mundur”, dan “pantang menyerah”. “merdeka atau mati” perlawanan seperti itu di Bali dikenal dengan nama “puputan” atau “Perang puputan”. Sebagai referensi baca “Rai Mirsha, tanpa tahun, dalam “Puputan Sebagai Ungkapan Kepahlawanan”. Tanpa penerbit: 15”.

Perang atau puputan Jagaraga dalam menghadapi ekspedisi militer Belanda yang sudah menggunakan peralatan perangnya yang serba modern dan canggih itu, maka selain menggunakan kekuatan fisik, pihak laskar Bali juga dilandasi oleh yang non fisik, seperti ideologi, kepercayaan dan kepemimpinan yang berlandaskan ajaran Agama Hindu dan budaya. Untuk memperkuat kedudukannya sebagai seorang pemimpin, golongan ksatria selalu berorientasi pada dasar-dasar lontar dan mempelajari filsafat Agama Hindu, seperti ajaran Asta Brata (delapan dasar kepemimpinan), yang termuat dalam salah satu lontar wiracarita Ramayana ketika Sri Rama memberi nasehat kepada Wibisana (lihat Ardika (Dkk), 2015: 135). Salah satu bait dalam Asta Brata itu:

“Saha nikang rat kita yan wenang manut, manupedesa prihatah rumaksaya, ksayanikang papa nahan prayojana, jana nuraga dhi twi kapangguha”, Artinya, Sebagai masyarakat yang perlu dinda pahami adalah ajaran-ajaran dan adat istiadat dari pada leluhur kita. Karena tujuan utama seorang pemimpin masyarakat adalah berusaha melenyapkan kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat. Kalau sudah terlaksana olehmu maka disitulah dinda akan mendapatkan kewibawaan dan kebahagiaan yakni kecintaan dari masyarakat (Sutedja, 1978: 28; lihat Astina, 1985).

Di dalam Agama Hindu masih banyak dimuat pedoman-pedoman maupun aturan-aturan yang patut dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Ajaran-ajaran tersebut telah memberi watak seseorang menjadi pemimpin yang tangguh dalam pertempuran. Mereka bangkit berjuang ke medan perang dibekali harga diri sebagai mana yang mereka peroleh dari ajaran dan filsafat Agama Hindu. Masyarakat Bali yang beragama Hindu sangat percaya terhadap hukum karma pala, yaitu hasil perbuatan. Seseorang yang berbuat baik pasti kebaikan yang akan diterima baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang. Pandangan yang menyatakan bagi seorang yang maju ke medan perang mempertahankan negara dan bangsa kelak akan memperoleh kebahagiaan abadi atau mencapai sorga. Pandangan ini memacu jiwa setiap

pemimpin maupun yang dipimpin untuk maju bertempur secara ikhlas tanpa pamrih dengan satu tekad dan keyakinan memperoleh kebahagiaan di Sorga (Sujana, 1978: 60).

Lingkungan kerabat Raja, dimana I Gusti Ketut Jelantik, dan Jero Jempiring tinggal, setidaknya berpengaruh dalam pembentukan kepribadian Jero Jempring. Pengetahuan, semangat dan keberanian Jero jempiring dapat bercermin dari suaminya, I Gusti Ketut Jelantik. Selain itu, jiwa kepemimpinan dan jiwa kesatria Jero Jempiring besar kemungkinan juga diperoleh dari filosofi ajaran Agama Hindu dan karya sastra yang banyak mengandung ajaran kepemimpinan dan mempertebal kepercayaan dalam membela kebenaran, yang umumnya berkembang di lingkungan para kerabat golongan tri wangsa.

Makna Perang Jagaraga dalam Kerangka Sejarah Indonesia

Untuk dapat memahami, perang dan puputan Jagaraga sebagai salah satu bentuk kepribadian bangsa Indonesia, maka perlu juga dipahami terlebih dahulu adalah kaitannya dengan perang dan puputan Jagaraga sebagai kerangka sejarah Indonesia. Sebagai kerangka sejarah Indonesia, perang dan puputan Jagaraga merupakan sub unit dari sejarah Indonesia sebagai unitnya. Bila ditelusuri secara saksama, bahwa konfigurasi antar daerah-daerah itulah yang menjadi kerangka sejarah Indonesia sebagai kesatuan. Ketika menempatkan peranan bangsa Indonesia sebagai fokus proses sejarah. Apabila melihat bahwa hubungan perdagangan di Nusantara, sejak dulu pelabuhan-pelabuhan di Bali Utara memegang peranan penting dalam bidang perdagangan hingga kedatangan pedagang-pedagang Belanda ke Bali, artinya bahwa Kerajaan Buleleng beserta rangkaian historisnya menjadi sub unit dari sejarah Indonesia pada jamannya. Begitu juga bila dilihat dari reaksi-reaksi yang muncul berupa perlawanan yang dilakukan dalam perang dan puputan Jagaraga pada tahun 1849 dalam rangka perlawanan kolonialisme yang sama juga terjadi di beberapa daerah wilayah Nusantara yang kini dikenal dengan sebutan Indonesia. Sehingga secara fungsional perang atau puputan Jagaraga dapat dikatakan merupakan salah satu sub unit sejarah Indonesia dalam rangka melawan praktek-praktek politik kolonial Belanda.

Sebagai satu kesatuan wilayah dalam masyarakat Bali, kerajaan Buleleng juga memiliki sistem sosio-kulturalnya sendiri yang banyak dipengaruhi oleh Agama Hindu dan tradisi

Majapahit. Ketika intervensi kekuasaan kolonial Belanda semakin intensif, maka perang dan puputan Jagaraga merupakan salah satu bentuk perlawanan dalam mempertahankan wilayah kekuasaannya dari intervensi Belanda. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perang dan puputan Jagaraga yang pernah terjadi abad ke-19 itu merupakan salah satu bentuk perlawanan menentang dominasi pemerintah Belanda. perlawanan menentang segala bentuk penjajahan merupakan gejala umum dalam sejarah Indonesia abad ke-19 dan permulaan abad ke-20.

Dengan segi-segi ideologi dan nilai-nilai moral dari ajaran Agama Hindu yang ditanamkan dalam pertempuran, maka perang Jagaraga sudah dapat mewujudkan struktur pikiran dan segi mental spiritual yang merupakan salah satu bentuk kepribadian bangsa. Mengungkap segi-segi ideologi dan nilai-nilai moral dari perang Jagaraga dapat dianggap sebagai modal pembangunan dan pembentukan kepribadian dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai salah satu bentuk kepribadian bangsa Indonesia.

SIMPULAN

Perang Jagaraga yang pernah terjadi pada abad ke-19 serta akibatnya sampai awal abad ke-20 mengandung beberapa makna, seperti makna tautan antara pemimpin dengan yang dipimpin, makna filosofi Agama Hindu dalam perang Jagaraga, makna perang Jagaraga sebagai kerangka sejarah Indonesia dan salah satu bentuk kepribadian bangsa Indonesia. Semua makna dan hakekat yang terkandung di dalamnya, diharapkan dapat dipahami, ditauladani, dihargai, diperkenalkan kepada generasi penerus bangsa ini, melalui suatu upaya yang dilakukan terutama oleh pihak-pihak terkait. Tautan antara pemimpin laskar dengan yang dipimpinnya menunjukkan hubungan patron-client dalam arti hubungan yang saling menguntungkan, saling memberi dan menerima. Sementara filosofi ajaran agama Hindu turut memperkuat keyakinan dalam mencapai tujuan merebut hak-haknya dan mempertahankan tanah tumpah darahnya berlandaskan kebenaran atau dharma. Makna perang Jagaraga dalam kerangka sejarah Indonesia hasus dilihat sebagai rangkaian hubungan-hubungan historis yang bersifat dinamis. Konfigurasi antar daerah-daerah yang menjadi kerangka sejarah Indonesia sebagai kesatuan.

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan, 2015. Sejarah Bali Kuno, dalam I Wayan Ardika, Dkk. Sejarah Bali (Bagian Kedua). Denpasar: Udayana University Press.

Astina, Ida Bagus Ketut. 1985. Sistem Kepemimpinan Dalam Revolusi Fisik di Bali 1945-1950 Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Atmaja, Nengah Bawa. 1984. Pemimpin, Pengikut Dan Perlawanan Terhadap Belanda di Bali Pada Abad Ke-19. Singaraja: Program Studi Sejarah/Antropologi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Udayana.

Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I Bali Paradah Indonesia. 2000. Perjuangan Wanita Bali Dari Jaman Kerajaan Hingga Jaman Jepang (1849-1945) (Sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945), dalam Semiloka Pahlawan Wanita Bali. Denpasar: Kowaveri (Korp Wanita Veteran Republik Indonesia Provinsi Bal

Kartodirdjo, Sartono. 1974. Kepemimpinan Dalam Sejarah Indonesia, dalam Buletin Yaperna No.1 Th.I. Jakarta: Yayasan Perpustakaan Nasional.

Mantra, Ida Bagus. 1981. Bhagawad Gita (terjemahan). Denpasar: Parisada Hindu Dharma.

Mirsa, Rai,.Tanpa tahun terbit. Puputan Sebagai Ungkapan Kepahlawanan. Tanpa tempat dan penerbit.

Panitia Penelitian dan Penyusunan Sejarah Perang Jagaraga. 1980/1981. Sejarah Perang Jagaraga. Denpasar: Proyek A.P.B.D. Prop.Dati I Bali.

Parimartha, I Gde, (Dkk). 2015. Bali Dalam Konteks Kolonial: Kolonial Belanda dan Jepang, dalam I Wayan Ardika, (Dkk). Sejarah Bali (Bagian Keempat). Denpasar: Udayana University Press.

“Perang Jagaraga, Tonggak Perjuangan Halau Penjajah”. 1989 dalam Bali Post. Denpasar: Bali Post.

Pudja, G. 1983. Manawa Dharma Sastra (Weda Smrti). Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu Departemen Agama Republik Indonesia.

Putra Agung, Anak Agung Gde. 1984. Konsep Kekuasaan Pada Orang-Orang Bali Pendekatan Antropologi Politik dalam Studi Sejarah Lokal di Bali, dalam Majalah Widya Dharma No.7 Tahun III. Denpasar: Institut Hindu Dharma.

Rama, Ida Bagus.1984, Puputan Marga 20 Nopember 1946, dalam Majalah Widya Pustaka Th.II,No.2. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Sidemen, Ida Bagus. 1983. Sejarah Klungkung (Dari Smarapura Sampai Puputan. Klungkung: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.

Soekanto, Soerjono.1983. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta.: Cv Rajawali.

Soerono, 1982. Pendidikan dan Upaya Melestarikan Nilai dan Kepemimpinan’45 Pada Dasa Warsa 1980-an, dalam Randlon Naning (ed). Pendidikan Politik dan Regenerasi. Yogyakarta: Liberty).

Sudjana (dkk).1978. Puputan Dalam Konteks Kebudayaan Bali, dalam I Gusti Ngurah Bagus. Cakrawala Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan       Suatu       Acuan

Penggarapannya, Lembaran Pengkajian Budaya Jilid II. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Sutedja, I wayan Merta. 1978. Dasar-Dasar Kepemimpinan Tradisional di Bali. Denpasar: CV Sumber Mas Bali

140