Jurnal Psikologi Udayana 2023, Vol.10, No.1, 286-296


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2023.v10.i01.p08

Peran self efficacy terhadap burnout yang dimoderatori jenis kelamin pada mahasiswa bekerja paruh waktu

Jessica Pramesti Pranoto1, Doddy Hendro Wibowo2

1,2Program Studi S1 Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

[email protected]

Abstrak

Kuliah sambil bekerja banyak terjadi di kalangan mahasiswa. Namun, bila mahasiswa tidak mampu menyeimbangkan waktu kuliah dan bekerja maka akan terjadi burnout. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran self efficacy terhadap burnout pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu dimoderatori jenis kelamin. Alat ukur dalam penelitian ini adalah skala self efficacy dan skala burnout. Sampel yang digunakan berjumlah 110 responden dengan teknik pengambilan sampel purposive. Responden merupakan mahasiswa strata satu yang bekerja paruh waktu dan belum berkeluarga. Analisis kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan metode Moderated Regression Analysis (MRA) sebagai alat penguji hipotesis. Hasil menyatakan bahwa hipotesis diterima (p<0,05) yaitu ada peran negatif self efficacy terhadap burnout. Peranan tersebut berkontribusi lebih kuat pada laki-laki daripada perempuan. Kontribusi self efficacy terhadap burnout pada mahasiswa laki-laki sebesar 2,87%, sedangkan pada mahasiswa perempuan sebesar 1,52%. Semakin tinggi self efficacy seseorang, maka burnout semakin rendah dan kontribusinya lebih kuat pada laki-laki dibandingkan pada perempuan.

Kata kunci: Burnout; Efikasi Diri;Jenis Kelamin; Mahasiswa Bekerja Paruh Waktu

Abstract

Studying while working is a phenomenon that often occurs among students. This phenomenon occurs because students have life needs that must be met. If students are not able to balance study and work time, burnout will occur. This study aims to determine the role of self-efficacy on burnout in students who work part-time moderated by gender. The measuring instrument in this study is the self-efficacy scale and the burnout scale. The sample used is 110 respondents with a purposive sampling technique. Respondents are undergraduate students who work part time and are not married. Quantitative analysis in this study uses the Moderated Regression Analysis (MRA) method as a hypothesis testing tool. The results stated that the hypothesis was accepted (p<0, 05) namely there is a negative role of self efficacy on burnout. This role contributes more strongly to men than women. The contribution of self efficacy to burnout in male students is 2.87%, while for female students it is 1.52%. The higher a person's self-efficacy, the lower the burnout and the stronger contribution in men than in women.

Keywords: Burnout; Self-Efficacy; Student Working Part Time; Gender

LATAR BELAKANG

Fenomena peran ganda yaitu kuliah sambil bekerja, banyak ditemukan di kalangan mahasiswa (Orpina dan Prahara, 2019). Kuliah sambil bekerja paruh waktu, dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi mahasiswa yang menjalaninya. Menurut Luh, Nadia, dan Rustika (2019), dampak positif dari kuliah sambil bekerja adalah mahasiswa dapat membantu orangtua dalam menanggung biaya kuliah, dan biaya sehari-hari, selain itu mahasiswa dapat lebih mandiri secara ekonomis, dan juga mendapatkan pengalaman kerja. Menurut Luh et al. (2019), dampak negatif yang didapat mahasiswa yang bekerja adalah mahasiswa menjadi kekurangan waktu dalam belajar dan dapat menyebabkan penurunan nilai. Mahasiswa akan mengalami penurunan Indeks Penilaian Kumulatif (IPK) di tiap semester.

Menurut Statistik (2020) terdapat sebanyak 6,98% pelajar yang berusia 10 hingga 24 tahun yang bersekolah sambil bekerja. Terdapat sebanyak 6,74% mahasiswa di pedesaan dan sebanyak 7,15% mahasiswa yang bekerja di daerah perkotaan. Selain itu, pada pedesaan, terdapat 44,06% mahasiswa yang bekerja di sektor pertanian. Sedangkan pada daerah perkotaan, rata-rata mahasiswa bekerja pada sektor jasa 72,61%. Penelitian Luh et al. (2019) membuktikan bahwa mahasiswa yang bekerja mengalami kesulitan dalam mengatur diri ketika belajar secara mandiri dikarenakan faktor internal seperti kurang gigih, malas dan juga terlalu mengandalkan orang lain. Selain itu juga terdapat faktor eksternal seperti sulit mengimbangi tugas yang banyak serta perannya sebagai mahasiswa bekerja. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya burnout.

Menurut Bai et al. (2019) ; Tang et al. (2011); M. Wang et al. (2019), mahasiswa yang mengalami burnout biasanya tidak mengerjakan tugas dengan baik, sering tidak hadir di kelas, mengalami penurunan hasil ujian, dan dapat dikeluarkan dari perguruan tinggi. Menurut Lee & Ashforth (2019), faktor utama dari burnout adalah kurangnya penghargaan, kurangnya kontrol, beban kerja yang terlampau berlebihan, kurangnya dukungan dari masyarakat, kurangnya keadilan, adanya konflik nilai serta terdapat indikasi bahwa orang tersebut tidak cocok berada di posisi peran bekerja dan kuliah. Burnout dapat menyebabkan tekanan mental yang berupa perasaan cemas, frustasi, depresi, ketakutan ataupun permusuhan (Y.-L. Wang & Tsai, 2016).

Menurut Rahmati (2015), burnout adalah kondisi dimana mahasiswa yang sedang berada dalam proses belajar merasa stres karena beban kursus, belajar, pekerjaan ataupun faktor psikologis lainnya. Hal ini menunjukan bahwa mahasiswa berada dalam kelelahan emosional, perasaan bersalah akan prestasi yang rendah dan juga kecenderungan depersonalisasi. Karena itu, menurut Rahmati (2015) mahasiswa yang mengalami burnout, maka akan memanifestasikan dirinya dengan perasaan lelah apabila menghadapi tuntutan belajar. Selain itu mahasiswa akan menunjukan sikap tidak peduli dan juga sikap sinis apabila sedang belajar. Mahasiswa juga akan merasa bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan dalam hal belajar.

Burnout yang dialami mahasiswa juga memiliki tingkat yang beragam. Menurut data yang dipaparkan J. Lee et al. (2012); Rad et al. (2017), Negara China memiliki 86,6% mahasiswa yang memiliki stres akademik yang parah sehingga menyebabkan burnout sedangkan di negara Iran terdapat 76,8% mahasiswa kedokteran yang mengalami burnout. Di Eropa terdapat 1.702 mahasiswa keperawatan yang mengalami burnout. Mahasiswa tersebut merasa bahwa dirinya tidak akan mampu mengerjakan tugas mahasiswa dan memiliki kecenderungan ingin berhenti bekerja. Sedangkan di Serbia terdapat 54,5% Mahasiswa Ilmu Manajerial yang mengalami burnout. Pada tahun 2009 hasil survey di Finlandia terdapat 45% mahasiswa yang beresiko mengalami peningkatan burnout, 19% mahasiswa memiliki gejala peningkatan burnout (J. Lee et al., 2012) ; (Rad et al., 2017).

Peneliti juga melakukan wawancara pra penelitian dalam rangka memperkuat fenomena burnout pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu. Wawancara dilakukan dari tanggal 24 Maret 2022 hingga 27 Maret 2022 menggunakan empat mahasiswa yang bekerja paruh waktu. Kesimpulan dari wawancara adalah, empat mahasiswa mengalami burnout. Mereka merasa bahwa pekerjaan mereka terlalu berat sehingga sulit untuk meluangkan waktu untuk belajar ataupun mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen. Mereka selalu merasa kelelahan karena mengerjakan dua peran sekaligus dan seringkali merasa ingin meninggalkan peran. Mereka merasa tidak percaya diri dalam akademis karena seringkali hanya mengumpulkan tugas asal-asalan ataupun terlambat karena terlalu sibuk bekerja. Satu di antaranya mengatakan bahwa ingin meninggalkan kuliah saja dan ingin lebih berfokus pada pekerjaannya. Sementara tiga lainnya memilih untuk bertahan dalam menjalani peran ganda kuliah sambil bekerja.

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghindari burnout adalah self efficacy (Rahmati, 2015). Menurut Rahmati (2015), self efficacy merupakan keyakinan mahasiswa terhadap kemampuan yang dimiliki dalam menjalankan tugas akademik seperti mengerjakan tugas atau mempersiapkan ujian. Mahasiswa yang memiliki tingkat self efficacy yang tinggi akan meningkatkan kegigihan dan motivasi dalam menguasai tugas akademik yang sulit dan mendorong dirinya agar lebih berusaha dalam memperoleh kemampuan dan pengetahuan.

Menurut Rahmati (2015), self efficacy membantu mahasiswa agar tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan ataupun permasalahan dan selalu memiliki solusi dan rencana di setiap permasalahan yang ada. Mahasiswa yang memiliki self efficacy akan cenderung lebih tenang dalam menghadapi aktivitas ataupun tugas yang sulit karena memiliki ketekunan, motivasi, dan kemampuan menghadapi kesulitan sehingga tidak rentan terkena stres dan kejenuhan akademik. Menurut Rahmati (2015), mahasiswa yang memiliki self efficacy yang tinggi akan menunjukan motivasi yang tinggi dalam berprestasi, belajar, dan keinginan untuk maju. Namun apabila mahasiswa memiliki self efficacy yang rendah maka mahasiswa tersebut akan kesulitan menghadapi tugas dan

kegiatan yang sulit dan cenderung mengalami stres, kecemasan, tekanan dan memiliki wawasan yang rendah dalam menghadapi masalah (Rahmati, 2015).

Pada jurnal penelitian Orpina dan Prahara (2019), menghasilkan bahwa self efficacy memiliki korelasi negatif dengan burnout. Semakin tinggi tingkat self efficacy mahasiswa maka akan semakin rendah burnout yang dialami. Arlinkasari dan Akmal (2017) menyatakan bahwa self efficacy dan burnout pada mahasiswa menunjukan korelasi negatif. Semakin besar tingkat self efficacy mahasiswa maka akan semakin kecil kemungkinan mahasiswa tersebut mengalami burnout dan begitu juga sebaliknya. Pada jurnal penelitian Rahmati (2015), hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif antara self efficacy dan burnout. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Chermiss; Hallsten; Hobfoll dan Freedy (2015) mengenai hubungan self efficacy dan burnout. Mereka menjelaskan bahwa mahasiswa yang tidak memiliki self efficacy akan lebih mudah mengalami burnout dan tidak mudah beradaptasi. Self efficacy dapat mempengaruhi mahasiswa dalam mencapai tujuan, reaksi emosional, usaha, seleksi individu, penyesuaian, dan juga perlawanan. Oleh karena itu, mahasiswa lebih mudah dalam mengadapi tugas yang dirasa sulit.

Hasil-hasil penelitian tersebut berkebalikan dengan hasil penelitian Aderanti et al., (2013). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa self efficacy memiliki korelasi positif dengan burnout. Hal ini disebabkan karena self efficacy cenderung mengacu pada kemampuan mahasiswa dalam mengatur dan juga melaksanakan kegiatan yang dibutuhkan dalam mencapai keterlibatan akademik yang dituju. Mahasiswa yang memiliki self efficacy, cenderung mencoba tindakan alternatif yang dirasa mudah ketika mereka gagal dalam mencapai kesuksesan. Karena itu, mahasiswa akan cenderung mencari jalan pintas dalam mengatasi burnout daripada berusaha lebih keras.

Menurut Maslach, Schaufeli, dan Leiter (2001), burnout bisa terjadi karena beberapa faktor. Faktor tersebut dibagi menjadi dua, yaitu faktor individu dan juga faktor situasional. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil faktor individu. Pada faktor individu, Maslach et al. (2001) menjelaskan mengenai karakteristik demografis. Karakteristik tersebut meliputi jenis kelamin, pendidikan formal, karakteristik kepribadian, dan juga sikap yang berkaitan dengan pekerjaan (Maslach et al., 2001). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin juga salah satu faktor penyebab burnout.

Menurut Ogbueghu et al. (2019), terdapat perbedaan burnout antara laki-laki dan perempuan. Perempuan biasanya memiliki tingkat burnout lebih tinggi daripada laki-laki (Ogbueghu et al., 2019). Hal itu didukung oleh Yang et al. (2017) yang berpendapat bahwa laki-laki cenderung memiliki burnout lebih rendah daripada perempuan. Adekola (2010) menemukan bahwa individu memiliki cara berbeda dalam mengatasi burnout menurut jenis kelamin mereka. Perempuan sering mengambil cuti sakit daripada laki-laki dan lebih memilih untuk mencari bantuan dalam mengatasi masalah yang dihadapi, sedangkan laki-laki lebih memilih memikirkan sendiri masalah mereka ataupun pasrah.

Akan tetapi pendapat tersebut bertentangan dengan penelitian (Indiawati, 2022). Berdasarkan hasil penelitian Indiawati (2022), didapat bahwa laki-laki lebih mudah terkena burnout daripada perempuan. Hal itu didukung oleh Farber (2000) yang menyatakan bahwa laki-laki lebih rentan mengalami burnout daripada perempuan. Perempuan cenderung memiliki emosional lebih lentur daripada laki-laki dikarenakan perempuan memiliki persiapan lebih baik secara emosional sehingga mampu menghadapi tekanan yang besar. (Maslach et al. 2001) menemukan bahwa laki-laki cenderung mengalami depersonalisasi, sedangkan perempuan mengalami kelelahan emosional.

Penulis mengangkat variabel jenis kelamin sebagai variabel moderator dengan pertimbangan perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi individu dalam menyikapi masalah (Fatmawati, 2017). Hal tersebut dapat terjadi karena perempuan dan laki-laki dibesarkan dengan cara yang berbeda. Laki-laki dituntut agar bisa bersikap tegar, tegas, dan tidak menunjukan emosional yang berlebihan, sedangkan perempuan diajarkan untuk bersifat membimbing dan berperilaku lemah lembut. Tuntutan laki-laki agar bersifat lebih maskulin dan perempuan lebih feminin dapat menyebabkan mahasiswa mengalami tekanan. Individu yang tidak dapat mengatasi tekanan akan rentan terkena burnout (Caputo, 1991).

Berdasarkan dari penjelasan yang sudah diuraikan penulis, maka peneliti akan mengkaji kembali tentang fenomena burnout. Peneliti ingin melihat pada keunikan responden yaitu mahasiswa yang bekerja paruh waktu. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang fenomena burnout ditinjau dari peranan self efficacy dengan dimoderatori jenis kelamin pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu.

METODE PENELITIAN

Variabel atau Konsep yang diteliti

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas adalah self efficacy dan variabel terikat adalah burnout

Definisi Konseptual

Burnout

Menurut Maslach et al. (2001), burnout merupakan kelelahan emosional karena banyaknya tuntutan tugas dan membuat mahasiswa merasa tidak kompeten sebagai pelajar. Terdapat 3 aspek burnout menurut Maslach et al. (2001) yang meliputi exhaustion, depersonalization, dan reduced personal compliment. Exhaustion merupakan reaksi individu saat pertama kali merasa stres karena tuntutan tugas. Individu yang merasa lelah akan merasa tidak nyaman secara mental, fisik maupun emosional. Depersonalization merupakan keadaan individu ketika sudah mulai bersikap sinis dan kecenderungan dalam menarik diri dari lingkungan (tugas-tugas dan teman kuliah) sehingga individu kurang terlibat dengan tugas kuliah yang seharusnya dilaksanakan. Reduced personal compliment merupakan penurunan pencapaian mahasiswa yang berkaitan dengan motivasi, kompetensi diri, dan juga produktivitas.

Self efficacy

Menurut Bandura (1997), self efficacy merupakan suatu keyakinan yang dimiliki oleh individu akan kemampuan yang dimiliki dalam mengatur serta melaksanakan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam suatu tugas tertentu. Terdapat 3 aspek menurut Bandura (1997) yang meliputi level, generality, dan strength. Level merupakan tingkat kesulitan tugas individu. Apabila menghadapi tugas, individu mampu mengurutkan dari tugas yang mudah ke yang sulit. Individu dapat menentukan tindakan apa yang dirasa tepat dalam menyelesaikan tingkatan tugas tersebut. Generality merupakan luas bidang yang dihadapi individu. Sejauh mana keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi tugas yang bervariasi. Strength merupakan keyakinan yang kuat individu mengenai kemampuan yang dimiliki. Individu yang memiliki kepercayaan yang kuat mengenai kemampuan yang mereka miliki akan tekun berusaha meskipun terdapat banyak kesulitan ataupun halangan.

Subyek Penelitian dan Metode Sampling

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil subyek berupa mahasiswa yang sedang bekerja paruh waktu. Peneliti menggunakan teknik pengambilan data berupa purposive sampling. Purposive sampling merupakan pengambilan sampel dengan menggunakan beberapa kriteria yang telah dipertimbangkan oleh peneliti untuk mencapai jumlah sampel yang dibutuhkan (Sugiyono, 2015). Pengambilan data dilakukan dengan menyebar kuisioner melalui google form. Data yang diambil akan dibagi berdasarkan demografik yang hendak diteliti yaitu jenis kelamin. Hal itu bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat burnout pada mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan. Berikut, beberapa kriteria peneliti dalam memilih partisipan yang digunakan sebagai subyek penelitian; memiliki pekerjaan paruh waktu, masih terdaftar sebagai mahasiswa strata satu dan aktif mengikuti kegiatan perkuliahan, belum berkeluarga.

Instrumen Penelitian

Alat ukur Burnout

Dalam mengukur burnout, peneliti menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh (Maslach et al., 2001). Berdasarkan teori Maslach et al. (2001) yang bernama Burnout Inventory-Student Survey (MBI-SS). Terdapat tiga aspek yang meliputi Exhaustion, Depersonalization (cynism), dan Reduced Personal Compliment. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang telah diuji oleh (Nityaswati, 2021). Alat ukur yang digunakan memiliki 9 butir pernyataan yang berupa 9 aitem favourable. Selain itu, terdapat 4 skala yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).

Alat Ukur Self efficacy

Dalam mengukur self efficacy, peneliti menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh (Bandura, 1997). Alat ukur ini terdiri dari tiga aspek yaitu Magnitude, Generality, dan Strength. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang telah diuji oleh (Adelina, 2018). Alat ukur yang digunakan memiliki 20 butir pernyataan yang terbagi menjadi 8 aitem favourable dan 12 aitem unfavourable. Selain itu, terdapat 4 skala yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).

Uji Daya Diskriminasi Aitem dan Analisis Aitem

Pengujian diskriminasi aitem menggunakan Corrected Item-Total Correlation. Pada skala burnout terdapat 9 aitem yang memenuhi kualifikasi dan dinyatakan valid. Pada skala self efficacy, terdapat 3 aitem yang tidak memenuhi kualifikasi yakni aitem 1, 2, dan 22 dari keseluruhan aitem yang berjumlah 23. Sehingga hanya terdapat 20 aitem yang dianggap valid. Pengujian reabilitas menggunakan koefisien alpha cronbach dimana angka yang mendekati 1.00 maka memiliki tingkat reabilitas yang tinggi. Pengujian dilakukan menggunakan program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 22.0 for Windows. Pada skala burnout, hasil reabilitas yang didapat adalah .792 yang menunjukan bahwa reabilitas tinggi. Sedangkan pada skala self efficacy, hasil reabilitas yang didapat adalah .937 yang menunjukan bahwa reabilitas juga tinggi.

Teknik Analisis Data

Peneliti menggunakan metode MRA (Moderated Regression Analysis) untuk menguji hipotesis. Peneliti juga menggunakan progam Software Statistical Package for Sosial Science (SPSS) untuk menganalisis data. Peneliti juga melakukan Uji Normalitas, Uji Multikolinieritas, Uji Autokorelasi, dan juga Uji Heterokedastisitas.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Statistik

Dalam penelitian ini, terdapat 3 variabel yaitu burnout, self efficacy, dan jenis kelamin. Banyak responden sejumlah N=110. Besar mean pada burnout yaitu 21,34 dan standar deviasi 5,636. Sedangkan pada self efficacy, mean yang diperoleh adalah 57,99 dan standar deviasi 8,096.

Pada pengujian burnout dan self efficacy pada jenis kelamin, laki-laki dan perempuan memiliki persamaan N yaitu N=55. Mean pada burnout laki-laki adalah 22,31 dengan standar deviasi 5,953. Sedangkan mean pada self efficacy laki-laki adalah 57,04 dengan standar deviasi 8,402. Pada burnout perempuan, mean yang didapat adalah 20,36 dengan standar deviasi 5,172. Sedangkan pada self efficacy perempuan, mean yang didapat 58,95 dengan standar deviasi 7,737.

Tabel 1. Deskripsi Statistik

Descriptive Statistics

N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

Statistic

Statistic

Statistic

Statistic

Std. Error

Statistic

Burnout

110

13

33

21.34

.537

5.636

Self Efficacy

110

41

80

57.99

.772

8.096

Valid N (listwise)

110

Burnout (Laki-Laki)

Self Efficacy (Laki-Laki)

Burnout (Perempu an)

Self Efficacy (Perempu an)

N               Valid

55

55

55

55

Missing

1045

1045

1045

1045

Mean

22.31

57.04

20.36

58.95

Std. Deviation

5.953

8.402

5.172

7.737

Uji Asumsi Klasik

Uji Normalitas

Pada hasil uji normalitas, ditemukan bahwa self efficacy memiliki P=0,200 dan burnout memiliki P= 0,57. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan merupakan data yang normal karena P>0,05.

Tabel 2. Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Self Efficacy

Burnout

N

110

110

Normal Parametersa,b

Mean

57.99

.0000000

Std. Deviation

8.096

.23233942

Most Extreme Differences

Absolute

.068

.083

Positive

.067

.083

Negative

-.068

-.043

Test Statistic

.068

.083

Asymp. Sig. (2-tailed)

.200c,d

.057c

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

c. Lilliefors Significance Correction.

d. This is a lower bound of the true significance.

Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas akan menunjukan adanya interkorelasi dan kolinieritas pada model regresi berganda. Uji multikolinieritas ini akan menunjukan ada atau tidak ada hubungan dari atau lebih variabel bebas. Variabel self efficacy memiliki nilai 1.000 < 10 dan nilai tolerance adalah 1.000 > 0,1 maka pada data tersebut tidak terjadi multikolinieritas.

Tabel 3. Uji Multikolinieritas

Coefficientsa

Model

Collinearity Statistics

Tolerance

VIF

1

Self Efficacy

1.000

1.000

a. Dependent Variable: Burnout

Uji Autokorelasi

Pengujian autokorelasi menggunakan Durbin Watson. Hasil yang didapat adalah diketahui nilai Durbin Watson adalah 1,834. Nilai yang didapat, dibandingkan dengan tabel signifikan 5% dengan jumlah sample n=110 dan k=2 maka didapat DU=1,726. Hal itu membuktikan bahwa Durbin Watson lebih besar daripada DU. Besarnya Durbin Watson kurang dari 4-DU=2,32. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi.

Tabel 4. Uji Autokorelasi

Model Summaryb

Model

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate

Durbin-Watson

1

.481a

.232

.224

4.963

1.834

a. Predictors: (Constant), Self Efficacy b. Dependent Variable: Burnout

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

T

Sig.

B

Std. Error

Beta

1          (Constant)

.080

2.374

.034

.973

Burnout

.036

.044

.091

.826

.411

Self Efficacy

.021

.030

.077

.704

.483

a. Dependent Variable: LN_RES

Uji Heterokedastisitas

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji park. Dalam pengujian ini, burnout menunjukan nilai significant sebesar 0,411. Sedangkan self efficacy menunjukan nilai significant sebesar 0,483. Hal itu menunjukan bahwa tidak ada heterokedastisitas karena p>0,05.

Tabel 5. Uji Heterokedasitas Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

T

Sig.

B

Std. Error

Beta

1          (Constant)

.080

2.374

.034

.973

Burnout

.036

.044

.091

.826

.411

Self Efficacy

.021

.030

.077

.704

.483

a. Dependent Variable: LN_RES

Uji Hipotesis

Hasil pengujian hipotesis menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki nilai R2 sebesar 0, 012 (0,12%). Perempuan memiliki nilai R2 sebesar 0,152 (1,52%). Sedangkan laki-laki memiliki R2 sebesar 0,287 (2,87%). Nilai signifikansi perempuan sebesar 0,003 sedangkan nilai signifikansi perempuan dan juga laki-laki sebesar 0,000. Semua nilai signifikansi menunjukan kontribusi negatif karena (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa hipotesis dapat diterima. Self efficacy memiliki peranan negatif terharap burnout, peranan tersebut berkontribusi lebih kuat pada laki-laki daripada perempuan.

Tabel 6. Uji Hipotesis

Model

R

R Square

Adjusted R Square

F

Perempuan dan Laki-Laki

.108a

.012

-.026

.309

Perempuan

.390a

,152

,136

9.536

Laki-Laki

.536a

,287

.274

21.361

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T

Sig.

B

Std. Error

Beta

1        Perempuan dan Laki-Laki

Perempuan

Laki-Laki

-.335

-.261

-.380

.059

.085

.082

-.481

-.390

-.536

-5.705

-3.088

-4.622

.000

.003

.000

PEMBAHASAN

Hasil dari penelitian menyebutkan bahwa variabel self efficacy memiliki korelasi negatif dengan variabel burnout. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis dapat diterima. Hal itu dibuktikan dari hasil uji regresi yang menunjukan bahwa nilai signifikansi perempuan 0,003 dan sisanya 0,000 (p<0,05). Penelitian ini sejalan dengan dengan penelitian Orpina dan Prahara (2019) yang menghasilkan data bahwa self efficacy memiliki korelasi negatif dengan burnout. Selain itu, mahasiswa laki-laki (2,87%) memiliki tingkat burnout lebih tinggi daripada mahasiswa perempuan (1,52%). Hal itu sejalan dengan penelitian Indiawati (2022) yang menyatakan bahwa laki-laki lebih mudah terkena burnout daripada perempuan. Hal itu dikarenakan karena laki-laki cenderung mengalami depersonalisasi, sedangkan perempuan lebih sering mengalami kelelahan emosional (Maslach et al., 2001).

Mahasiswa yang bekerja harus mampu membagi waktu dan tanggung jawab dalam melakukan aktivitas belajar dan juga bekerja (Permatasari et al., 2021). Mahasiswa menghabiskan sebagian waktu, pikiran, energi serta tenaga untuk bekerja (Arlinkasari dan Akmal, 2017). Kondisi tersebut dapat membuat mahasiswa kesulitan dalam membagi dan mengatur waktu antara kuliah dan bekerja, sehingga cenderung mengabaikan tugasnya sebagai seorang mahasiswa yaitu belajar serta mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Oleh karena itu, mahasiswa harus mampu membagi waktu dan juga konsentrasi serta memiliki tanggung jawab terhadap komitmen dari aktivitas yang dijalani (Permatasari et al., 2021).

Menurut Zajacova et al. (2005), mahasiswa yang memiliki self efficacy akan dapat melaksanakan tugas akademik seperti mempersiapkan diri untuk ujian ataupun mengerjakan tugas. Arlinkasari dan Akmal (2017) menyebutkan bahwa mahasiswa yang memiliki self efficacy yang rendah menjadi mudah mengalami burnout dan memiliki kemampuan beradaptasi yang kurang baik. Mahasiswa dengan tingkat self efficacy tinggi tidak akan mudah menyerah dalam menghadapi masalah dan selalu mencoba menemukan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah (Permatasari et al., 2021). Sedangkan mahasiswa dengan self efficacy rendah cenderung menilai masalah lebih sulit daripada sebenarnya, lebih rentan stress dan depresi, serta memiliki kemampuan memecahkan masalah yang kurang baik. Hal itu menunjukan self efficacy berperan penting dalam menurunkan burnout pada mahasiswa (Arlinkasari dan Akmal, 2017)

Jenis kelamin juga dapat mempengaruhi tingkat burnout mahasiswa. Menurut Gibson dan Donnely (2004), secara umum laki-laki lebih mudah mengalami burnout daripada perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan tidak mengalami peningkatan tekanan seperti

yang dihadapi laki-laki. Menurut Fatmawati (2017) laki-laki tumbuh dan dibesarkan dengan nilai kemandirian khas pria sehingga mereka diharapkan mempunyai sikap yang lugas, tegas, tegar, serta tidak emosional. Sedangkan perempuan diharapkan memiliki sikap empati, membimbing, kasih sayang, empati, dan lembut hati. Perbedaan ini yang membuat perempuan dan laki-laki memiliki cara yang berbeda dalam mengatasi burnout. Perempuan yang lebih sering terlibat secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentang mengalami kelelahan emosional (Fatmawati, 2017). Wanita memiliki perasaan yang lebih lentur daripada laki-laki karena mempersiapkan cara mengatasi burnout dengan baik secara emosional sehingga mampu menghadapi tekanan yang besar (Indiawati, 2022).

Implikasi hasil penelitian ini, mahasiswa bekerja paruh waktu yang mengalami burnout dapat diatasi dengan cara meningkatkan self efficacy. Individu tidak akan mudah terkena burnout apabila individu tersebut merasa mampu dan percaya dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Gemely, 2020). Menurut Bandura (1997) terdapat 4 cara untuk membangun self efficacy yaitu pengalaman yang telah dilalui, pengalaman orang lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis dan emosional. Cara tersebut dapat diterapkan dengan memiliki komitmen yang kuat, mampu bangkit dengan cepat dari kegagalan, mencoba pengalaman baru, dan juga berpikir positif dan mencari pengalaman baru.

KESIMPULAN

Hipotesis dalam penelitian dapat diterima yaitu ada peran negatif self efficacy terhadap burnout pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu. Peranan tersebut berkontribusi kuat pada mahasiswa laki-laki yang bekerja paruh waktu. Semakin tinggi self efficacy maka akan semakin rendah burnout yang dialami mahasiswa yang bekerja paruh waktu. Terdapat peran kontribusi negatif yang signifikan (p<0,05) antara self efficacy terhadap burnout pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu. Semakin tinggi self efficacy maka akan semakin rendah burnout yang terjadi pada mahasiswa yang bekerja paruh waktu. Hasil uji moderator juga menyatakan bahwa peranan tersebut lebih kuat pada mahasiswa laki-laki yang bekerja paruh waktu, dengan kontribusi burnout sebesar 2,87% sedangkan pada mahasiswa perempuan yang bekerja paruh waktu memiliki kontribusi 1,52% terhadap burnout.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya terhadap pihak-pihak yang membantu penulisan manuskrip ini:

  • 1.    Kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan manuskrip ini dengan lancar tanpa kendala apapun.

  • 2.    Kepada orang tua saya tercinta yang sudah mendukung saya hingga saat ini.

  • 3.    Kepada partisipan yang mau berpartisipasi dalam pembuatan manuskrip.

Konflik Kepentingan

Tidak adanya konflik kepentingan dalam proses pembuatan manuskrip ini. Pembuatan manuskrip murni sebagai syarat menyelesaikan pendidikan S1 progam studi Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, Rabiatul, and Jacobus Belida Blikololong. (2018). “Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Burnout Pada Karyawan Rumah Sakit.” Jurnal Psikologi 11(2):190–99. doi: 10.35760/psi.2018.v11i2.2264.

Adelina, Deila. (2018). “Hubungan Antara Self efficacy Dengan Kesiapan Kerja Pada Mahasiswa Tingkat Akhir.” Universitas Muhammadiah Malang.

Aderanti, Ruth Adunola, Taiwo Motolani Williams, Comfort Adebola Oyinloye, and Ngozi Caroline Uwanna. (2013). “The African Symposium : An Online Journal of the African Educational Research Network The African Symposium: An Online Journal of the African Educational Research Network.” The African Educational Research Network 13(1):12–18.

Arlinkasari, Fitri, and Sari Zakiah Akmal. (2017). “Hubungan Antara School Engagement, Academic Self-Efficacy Dan Academic Burnout Pada Mahasiswa.” Humanitas (Jurnal Psikologi) 1(2):81. doi: 10.28932/humanitas.v1i2.418.

Asrowi, Asrowi, Agus Tri Susilo, and Agit Purwo Hartanto. (2020). “Academic Burnout Pada Peserta Didik Terdampak Pandemi Covid-19.” G-Couns: Jurnal Bimbingan Dan Konseling 5(1):123–30. doi: 10.31316/g.couns.v5i1.1195.

Bai, Q., Bai, S., Dan, Q., Lei, L., & Wang, P. (2019). Mother phubbing and adolescent academic burnout: The mediating role of mental health and the  moderating  role of agreeableness and neuroticism. Personality and  Individual Differences, 109622.

https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.paid.2019.109622

Bandura, Albert. (1997). Self efficacy The Exercise of Control. First Edit. edited by C. Hastings. United States, Amerika: W. H. Freeman and Company.

Caputo. (1991). Stress and Burnout in Library Service. Canada: Oryx Press.

Farber, Barry A. (2000). “Introduction: Understanding and Treating Burnout in a Changing Culture.” Journal of Clinical Psychology 56(5):589– 94. doi: 10.1002/(SICI)1097-4679(200005)56:5<589::AID-JCLP1>3.0.CO;2-S.

Fatmawati, Riya. (2017). “Burnout Pustakawan : Faktor-Faktor Dan Dampak.” Jurnal Perpustakaan, Arsip Dan Dokumen 9(1):103-14.

Fontes, Flávio Fernandes. (2020). “Herbert J. Freudenberger and the Making of Burnout as a Psychopathological Syndrome.” Memorandum: Memória e História Em Psicologia 37(4). doi: 10.35699/1676-1669.2020.19144.

Fyana, Lie, and Yuli Asmi Rozali. (2018). “Perbedaan Burnout Ditinjau Dari Jenis Kelamin Pada Karyawan Bank Abc.” Jurnal Psikologi 962(9):1–8.

Gibson. Ivancevich, Donnely. (1993). Organisasi, Perilaku, Struktur Dan Proses. Jakarta: Erlangga.

Hanafi, Muhammad, Rahma Widyana, Siti., and Noor Fatmah. (2021). “Pelatihan Efikasi Diri Untuk Menurunkan Burnout Pada Perawat Di RSU X Di Kabupaten Bantul Yogyakarta.” Jurnal Psikologi 17(1):1–11.

Indiawati, Citra. Sya’diyah, Hidayatus. Rachmawati, Dhian Sastra. Suhardiningsih, Sri. (2022). “Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Burnout Syndrome Perawat Di RS Darmo.” Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat Vol 11(1).

Lee, R. T., & Ashforth, B. E. (2019). A meta-analytic examination of the correlates of the three dimensions of job burnout A Meta-Analytic Examination of the Correlates of the Three Dimensions of Job Burnout. October. https://doi.org/10.1037/0021-9010.81.2.123

Lee, S. J., Choi, Y. J., & Chae, H. (2017). The effects of personality traits on academic burnout in Korean medical students. Integrative Medicine Research, 6(2), 207–213. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.imr.2017.03.005

Luh, Ni, Putu Dian, Yunita Sari Program, Studi S1, Keperawatan Stikes, and Bina Usada Bali. (2016). “Hubungan Beban Kerja Terhadap Burnout Syndrome Pada Perawat Pelaksana Ruang Intermediet RSUP Sanglah.” Jurnal Dunia Kesehatan 5(2):87–92.

Luh, Ni, Kade Nadia, and I. Made Rustika. (2019). “Peran Self Regulated Learning Dan Task Commitment Terhadap Prestasi Akademik Remaja Akhir Yang Kuliah Dan Bekerja Paruh Waktu Di Denpasar Dan Badung.” Jurnal Psikologi Udayana 6(1):171–81.

Maharani, Asri. Wardhani, Viera. (2011). “Analisis Pengaruh Kepemilikan Asuransi Kesehatan Terhadap Kemauan Membayar Produk Pelayanan Laboratorium.” Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan 14(01):44–48.

Maslach, Christina, Wilmar B. Schaufeli, and Michael P. Leiter. (2001). “Job Burnout.” Annual Review of Psychology 52(May 2014):397–422. doi: 10.1146/annurev.psych.52.1.397.

Nauvalia, Chozina. (2021). “Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Academic Self-Efficacy: Sebuah Tinjauan Literatur.” Cognicia 9(1):36–39. doi: 10.22219/cognicia.v9i1.14138.

Nityaswati, Silvia. (2021). “Hubungan Antara Self efficacy Dan Burnout Dalam Menghadapi Kuliah Pada Mahasiswa.” Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Orpina, Septriyan, and Sowanya Ardi Prahara. (2019). “Self-Efficacy Dan Burnout Akademik Pada Mahasiswa Yang Bekerja.” Indonesian Journal of Educational Counseling 3(2):119–30. doi: 10.30653/001.201932.93.

Papalia, D. E, Olds, S. W dan Feldman, R. D. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan Edisi Kesepuluh). 9th ed. Jakarta: Erlangga.

Permatasari, Devi, Leny Latifah, and Parid Rilo Pambudi. (2021). “Studi Academic Burnout Dan Self-Efficacy Mahasiswa.” Jurnal Prakarsa Paedagogia 4(2):373–84.

Rad, Mostafa, Nematullah Shomoossi, Mohammad Hassan Rakhshani, and Marzieh Torkmannejad Sabzevari. (2017). “Psychological Capital and Academic Burnout in Students of Clinical Majors in Iran.” Acta Facultatis Medicae Naissensis 34(4):311–19. doi: 10.1515/afmnai-2017-0035.

Rahmati, Zeinab. (2015). “The Study of Academic Burnout in Students with High and Low Level of Self-Efficacy.” Procedia - Social and Behavioral Sciences 171(1996):49–55. doi: 10.1016/j.sbspro.2015.01.087.

Sani, Muhamad, Rosyad Hasbillah, and Diana Rahmasari. (2022). “Burnout Akademik Pada Mahasiswa Yang Sedang Menempuh Tugas Akhir.” Jurnal Penelitian Psikologi 9(6):122–32.

Statistik, Badan Pusat. (2020). Statistik Indonesia 2020. Jakarta: Book Gallery BPS.

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). 2nd ed. Bandung: Alfabeta.

Taluke, Dryon, Ricky S. M. Lakat, Amanda. Sembel. (2019). “Analisis Preferensi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Pesisir Pantai Kecamatan Loloda Kabupaten Halmahera Barat.” Spasial 6(2):531–40.

Wang, Y.-L., & Tsai, C.-C. (2016). Taiwanese students’ science learning self-efficacy and teacher and student science hardiness: A multilevel model approach. European Journal of Psychology of Education, 31(4), 537–555.

Yang, Fan, Xiaodong Li, Yimin Zhu, Yulong Li, and Chunlin Wu. (2017). “Job Burnout of Construction Project Managers in China: A CrossSectional Analysis.” International Journal of Project Management 35(7):1272–87. doi: 10.1016/j.ijproman.2017.06.005.

Yang, Hui Jen. (2004). “Factors Affecting Student Burnout and Academic Achievement in Multiple Enrollment Programs in Taiwan’s Technical-Vocational Colleges.” International Journal of Educational Development 24(3):283–301. doi: 10.1016/j.ijedudev.2003.12.001.

Zajacova, Anna. (2005). “Self-Efficacy , Stress , and Academic Success in College Success in Collage.” Researches in Higher Education 46(6):677–708. doi: 10.1007/s11162-004-4139-z.

Zajacova, Anna, Scott M. Lynch, and Thomas J. Espenshade. (2005). “Self-Efficacy, Stress, and Academic Success in College.” Research in Higher Education 46(6):677–706. doi: 10.1007/s11162-004-4139-z.

Zhang, Lei, Cheng Ta Li, Tung Ping Su, Xian Zhang Hu, Ruth A. Lanius, Maree J. Webster, Ming Yi Chung, Ying Sheue Chen, Ya Mei Bai, Jeffery L. Barker, James E. Barrett, Xiao Xia Li, He Li, David M. Benedek, and Robert Ursano. (2011). “P11 Expression and PET in Bipolar Disorders.” Journal of Psychiatric Research 45(11):1426–31. doi: 10.1016/j.jpsychires.2011.06.006.

295