Jurnal Psikologi Udayana 2023, Vol.10, No.1, 296-306


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2023.v10.i01.p09

Penerapan intervensi cognitive behavioral therapy daring pada remaja yang mengalami major depressive disorder

Ranti Maradhita Putri Lestari1, Efriyani Djuwita2

1,2Program Studi Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Gejala depresi mengalami peningkatan selama masa remaja. Gejala depresi pada remaja menyebabkan gangguan pada berbagai fungsi kehidupan hingga dapat menjadi penyebab perilaku bunuh diri. Dengan demikian, perlu untuk dilakukan penanganan yang tepat dan komprehensif pada remaja yang mengalami depresi salah satunya menggunakan pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas intervensi cognitive behavioral therapy secara daring pada remaja yang mengalami major depressive disorder (MDD). Partisipan dalam penelitian ini adalah seorang remaja perempuan berusia 17 tahun 10 bulan yang menurut hasil pemeriksaan psikologis memenuhi kriteria diagnosa MDD. Desain dalam penelitian ini adalah single-case experimental design. Intervensi terdiri dari 1 sesi pra-intervensi, 7 sesi inti, 2 sesi pasca, serta sesi follow up. Data hasil intervensi dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, dilakukan perbandingan skor dari alat ukur Beck Depression Inventory (BDI) – II yang diberikan pada saat sebelum dan sesudah intervensi. Secara kualitatif, keefektivitasan intervensi dilihat melalui hasil wawancara. Hasil menunjukkan bahwa secara kuantitatif terdapat penurunan tingkat depresi dari moderate depression menjadi ups and downs normal setelah intervensi dilakukan. Secara kualitatif, partisipan merasakan banyak manfaat dari intervensi yang dilakukan, salah satunya memahami kekeliruan berpikirnya dan lebih mampu melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, program intervensi CBT secara daring efektif untuk mengurangi gejala depresi pada remaja yang mengalami MDD.

Kata kunci: Cognitive behavioral therapy; major depressive disorder; remaja

Abstract

Depressive symptoms increase during adolescence. Depressive symptoms in adolescents cause disturbances in various life functions and can lead to suicidal behavior. Therefore, it is necessary to carry out appropriate and comprehensive treatment for depressed adolescents, one of which is using the Cognitive Behavioral Therapy (CBT). This study aims to determine the effectiveness of cognitive behavioral therapy interventions in adolescents with major depressive disorder (MDD). The participant in this study is a adolescent, who met the MDD diagnostic criteria. The design in this study is a single case experimental design. The intervention consisted of 1 pre-intervention session, 7 core sessions, 2 post-sessions and a follow-up session. Intervention results data were analyzed quantitatively and qualitatively. Quantitatively, a comparison of the scores from the Beck Depression Inventory (BDI) – II was carried out before and after the intervention. Qualitatively, the effectiveness of the intervention was seen through the results of the interviews. The results showed that quantitatively there was a decrease in the level of depression from moderate depression to normal ups and downs after the intervention. Qualitatively, participant experience many benefits from the interventions, for example, understanding the fallacy of her thinking and being able to see things from different points of view. Thus, the CBT program intervention is effective in reducing depressive symptoms in depressed adolescents.

Keywords: Adolescent; cognitive behavioral therapy; major depressive disorder

LATAR BELAKANG

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami banyak perubahan dan tantangan dalam berbagai aspek, seperti aspek fisik, kognitif, emosi, dan sosial (Papalia & Martorell, 2021). Hall (1904, dalam Santrock, 2019) juga menyebutkan masa remaja merupakan masa “storm-and-stress” karena dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati. Remaja harus mempelajari strategi baru untuk menghadapi masalah dan konflik, serta memahami dunia dengan cara yang lebih kompleks (Zamorano & Rojas, 2017). Sejalan dengan hal tersebut, terdapat pula peningkatan resiko untuk mengalami berbagai gangguan psikologis, seperti depresi, stres, dan kecemasan (Cohen et al. 2017; Petersen et al. 1993, dalam Chen et al., 2021).

Para remaja, terutama yang berjenis kelamin perempuan, mengalami peningkatan gejala depresi selama masa pubertas dan akhir masa remaja dengan prevalensi lebih dari 4% (Thapar et al., 2012). Dalam sebuah penelitian yang tertulis di Santrock (2019), pada usia 12 tahun, remaja perempuan lebih banyak mengalami onset pertama depresi yaitu sebanyak 5,2% dibandingkan dengan remaja laki-laki yang hanya 2% (Breslau & others, 2017). Alasan perbedaan gender menjadi sebuah faktor risiko ialah karena perempuan lebih cenderung merenungkan dan memikirkan suatu masalah secara berulang kali, citra diri terutama body image yang lebih negatif daripada laki-laki, lebih banyak mengalami diskriminasi serta pubertas yang terjadi lebih awal (Bunge & others, 2017, dalam Santrock, 2019).

Selain gender, resiko munculnya gejala depresi pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya yang saling berinteraksi, diantaranya faktor neurobiological, genetik, stres psikososial, dan keluarga (Thapar et al., 2012). Selain itu, dalam Milne & Lancaster (2001) dijelaskan bahwa depresi pada remaja juga berkaitan dengan faktor-faktor lain seperti kegagalan dalam melakukan tugas perkembangan individuasi (Bloss, 1986), insecure attachment (Armsden, McCauley, Greenberg, Burke, & Mitchell, 1990), pola asuh negatif serta kurangnya kepercayaan diri (Blatt, Wein, Chevro & Quinlan, 1979). Faktor keluarga tertentu juga menempatkan remaja pada risiko depresi (Dardas, van de Water, & Simmons, 2018; Oppenheimer, Hankin, & Young, 2018; Possel & others, 2018, dalam Santrock, 2019). Faktor tersebut meliputi memiliki orang tua yang depresi, orang tua yang tidak siap secara emosional, orang tua yang memiliki konflik perkawinan yang tinggi, kurangnya kasih sayang dan dukungan emosional, kontrol yang tinggi, dan orang tua dengan masalah keuangan (Santrock, 2019). Sebaliknya, pola pengasuhan yang positif seperti adanya dukungan emosional dari orang tua akan membuat risiko yang lebih rendah pada remaja untuk mengalami depresi (Smokowski et al., 2015, dalam Santrock, 2019).

Selain faktor keluarga, faktor hubungan dengan teman sebaya yang buruk juga dikaitkan dengan gejala depresi remaja (Rose & Smith, 2018; Siennick & others, 2017, dalam Santrock, 2019). Remaja yang terisolasi dari teman sebayanya, kurangnya kontak atau adanya penolakan oleh teman sebaya juga berada pada risiko yang signifikan untuk mengembangkan depresi (Christ, Kwak, & Lu, 2017, Platt, Kadosh, & Lau, 2013, dalam Santrock, 2019).

Depresi perlu dibedakan dengan kesedihan sebagai reaksi normal terhadap peristiwa yang tidak menguntungkan dalam hidup karena depresi lebih parah daripada kesedihan atau perubahan suasana hati yang kadang dialami setiap orang dari waktu ke waktu (Mash & Wolfe, 2016). Depresi pada remaja tidak hanya muncul sebagai kesedihan, namun juga dapat bermanifestasi sebagai perilaku cepat marah atau ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan (Papalia & Martorell, 2021). Remaja yang mengalami depresi sering menunjukkan perilaku menyalahkan diri sendiri, memiliki harga diri yang rendah, dan perasaan kesepian serta terasing dari keluarga (Mash & Wolfe, 2016). Remaja juga mungkin mengalami ketidakmampuan untuk tidur atau mungkin tidur berlebihan, gangguan makan, hilangnya perasaan senang atau tertarik, dan kinerja sekolah yang memburuk (Mash & Wolfe, 2016). Isi pikiran yang dimiliki remaja depresi juga cenderung terdistorsi. Mereka memperhatikan hal negatif dari suatu peristiwa dan mengabaikan atau mengabaikan aspek positif (Kendall et al. 1990, dalam Stallard, 2005). Gejala lain yang terjadi pada remaja yang depresi ialah citra tubuh yang negatif, perubahan pada fisik seperti kelelahan yang berlebihan, kehilangan energi, serta adanya pikiran, rencana, dan upaya untuk bunuh diri (Mash & Wolfe, 2016).

Gejala depresi pada remaja menyebabkan gangguan pada fungsi pendidikan yang signifikan dan membuat penurunan performa akademik (Thapar et al., 2012). Berikutnya, gejala depresi pada remaja juga meningkatkan risiko untuk munculnya berbagai masalah penyesuaian di masa dewasa, seperti gangguan depresi dan kecemasan, penyalahgunaan zat, kesulitan dalam fungsi sosial dan lain-lain (Thapar et al., 2012). Depresi pada masa remaja juga dapat memprediksi perilaku bunuh diri, masalah dalam pekerjaan (Kim-Cohen, et al., 2003) dan masalah kesehatan fisik di kemudian hari (Bardone et al., 1998). Dengan demikian, perlu untuk dilakukan penanganan yang tepat dan komprehensif pada remaja yang mengalami depresi.

Beberapa terapi atau intervensi telah terbukti dapat mengurangi depresi remaja (Bunge & others, 2017, dalam Santrock, 2019) diantaranya terapi obat menggunakan inhibitor reuptake serotonin, terapi perilaku kognitif atau cognitive behavioral therapy, dan terapi interpersonal (Maalouf & Brent, 2012 dalam Santrock, 2019). Namun demikian, cognitive behavioral therapy (CBT) merupakan intervensi yang terbukti paling efektif untuk menangani remaja berusia 12-18 tahun dengan gejala depresi sedang hingga berat (Watanabe, Hunot, Omori, Churchill, & Furukawa, 2007). Lebih lanjut, dalam penelitian (Stallard et al., 2011) yang dilakukan di Inggris, CBT yang dilakukan secara daring (computerized) juga terbukti efektif dan dapat diterima oleh partisipan anak dan

remaja dengan gejala depresi dan kecemasan. CBT yang diberikan pada anak dan remaja yang mengalami depresi dapat meningkatkan self-esteem mereka (Taylor & Montgomery, 2007). Meski demikian, penerapan serupa belum banyak dilakukan di Indonesia sehingga membutuhkan pembuktian lebih lanjut. Dengan penjelasan yang telah dipaparkan, pelaksana intervensi merasa perlu untuk melakukan intervensi cognitive behavioral therapy secara daring pada remaja yang mengalami major depressive disorder.

Melalui intervensi ini, partisipan akan dibantu untuk mengubah keyakinannya yang keliru sehingga dapat mengurangi efek negatif atas apa yang dipikirkannya, apa yang dirasakannya, dan apa yang dilakukannya. Diharapkan dengan berubahnya core belief yang dimiliki partisipan, perilaku destruktif seperti self-harm yang sesekali dilakukan partisipan juga dapat berhenti dilakukan.

METODE PENELITIAN

Subjek Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini adalah seorang remaja perempuan yang pada saat mulai intervensi berusia 17 tahun 10 bulan. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa partisipan memenuhi kriteria diagnosa Major Depressive Disorder (MDD). Sementara itu, daya tangkap partisipan tergolong baik dan memiliki kesadaran terhadap emosi yang dirasakannya sehingga dapat aktif dan bekerjasama dengan baik dalam program intervensi CBT. Partisipan dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik purposive sampling, yaitu berdasarkan karakteristik dan kriteria yang dibutuhkan dalam penelitian. Kriteria yang ditetapkan ialah remaja yang didiagnosa mengalami major depressive disorder.

Instrumen Penelitian

Alat ukur yang digunakan dalam intervensi ini ialah Beck Depression Inventory – II (BDI-II) yang akan diisi oleh partisipan langsung. Alat ukur ini dikembangkan Aaron T. Beck untuk mengukur tingkat depresi seseorang. Penelitian Ginting, dkk (2013) menunjukkan bahwa BDI-II dalam versi bahasa Indonesia mampu membedakan antara individu yang depresi dengan tidak depresi dan mempunyai konsistensi internal 0,90 serta reabilitas tes sebesar 0.55 (p<0.01). BDI-II terdiri dari 21 item. Setiap item dinilai berdasarkan skala 0 (tidak mengalami) hingga 3 (berat). Partisipan diminta untuk memilih satu dari pernyataan di dalam setiap kelompok yang paling menggambarkan perasaannya selama 2 minggu terakhir, termasuk hari pengisian. Contoh item pada alat ukur ini ialah: saya merasa sangat sedih sampai tidak tertahankan, saya merasa sedih sepanjang waktu, saya sering kali merasa sedih, saya tidak merasa sedih. Hasil skor dari alat ukur ini terbagi dalam 6 kategori tingkatan depresi yaitu normal (1-10), mild mood disturbance (11-16), borderline clinical depression (17-20), moderate depression (21-30), severe depression (31-40), dan extreme depression (lebih dari 40).

Selain BDI-II, pelaksana intervensi juga mempersiapkan panduan wawancara semi terstruktur yang akan ditanyakan pada awal dan akhir intervensi guna memperoleh data kualitatif. Panduan wawancara semi struktur bersifat fleksibel dan tidak memiliki aturan yang kaku mengenai isi dan urutan pertanyaan. Garis besarnya, panduan wawancara dibuat berdasarkan kriteria diagnosis Major Depressive Disorder yang tertera dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-V. Selain itu pertanyaan pada panduan wawancara juga akan meliputi hambatan dan perasaan yang dialami partisipan sebelum dan sesudah intervensi, usaha yang dilakukan guna mengatasi permasalahan, perubahan atau perkembangan yang terjadi, dan manfaat yang didapatkan selama intervensi.

Desain Penelitian

Penelitian ini berawal dari penanganan kasus yang dilakukan oleh peneliti dalam masa Praktik Kerja Psikologi Profesi (PKPP). Partisipan penelitian merupakan klien yang telah melakukan rangkaian pemeriksaan psikologis dengan peneliti di bawah supervisi psikolog sekaligus dosen pembimbing dalam penelitian ini. Dari hasil pemeriksaan, partisipan disarankan untuk melakukan intervensi lebih lanjut. Oleh karena itu, desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah single-case experimental design (N=1), yaitu penelitian dengan menggunakan satu orang partisipan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam perilaku individu setelah mendapatkan intervensi tertentu (Barker, Pistrang, & Elliot, 2002).

Prosedur Pengambilan Data

Sebelum memulai intervensi, partisipan telah melakukan pemeriksaan psikologis kepada partisipan sebanyak 10 kali sesi yang meliputi autoanamnesa, alloanamnesa orang tua, tes kepribadian, serta pengisian inventory. Dari hasil pemeriksaan didapatkan diagnosa Major Depressive Disorder. Pelaksana intervensi kemudian meminta persetujuan dari partisipan dan orang tua untuk memberikan intervensi lanjutan. Setelah didapatkan informed consent baik dari partisipan maupun orang tua, pelaksana intervensi melakukan tahap persiapan yang meliputi berdiskusi dengan psikolog pembimbing, dan membuat modul yang akan digunakan dalam intervensi. Modul yang digunakan merupakan modifikasi dari modul Treatment Manual for Cognitive Behavioral Therapy for Depression yang dibuat oleh Rosselló, Bernal, & Piedras (2007). Modul tersebut dipilih karena memiliki target partisipan yang sama yaitu remaja dan tujuan yang sesuai dengan yang akan dilakukan yaitu mengurangi gejala depresi, mempelajari cara-cara baru untuk mencegah depresi, dan merasa lebih terkendali. Meski demikian, terdapat beberapa modifikasi yang dilakukan oleh pelaksana intervensi yaitu mencakup pemadatan jumlah sesi yang sebelumnya berjumlah 12 sesi inti menjadi 7 sesi inti. Hal ini dikarenakan

pelaksana intervensi melihat materi-materi yang disajikan dalam beberapa sesi membahas topik sejenis dan berkaitan sehingga dapat diberikan secara berbarengan. Pelaksana intervensi juga kemudian melakukan modifikasi untuk menyesuaikan lembar kerja menjadi lebih sesuai konteks dan berbahasa Indonesia. Selain itu, pelaksana intervensi juga melakukan pengajuan kaji etik kepada Komite Etik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Komite Etika Penelitian Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyatakan bahwa penelitian ini telah memenuhi standar etis disiplin ilmu psikologi, Kode Etik Riset Universitas Indonesia, dan Kode Etik Himpunan Psikologi Indonesia dengan nomor surat 118/FPsi.Komite Etik/PDP.04.00/2022. Pelaksanaan intervensi dilakukan pada bulan Agustus 2022 sampai bulan September 2022. Intervensi terdiri dari 1 sesi pra-intervensi, 7 sesi inti intervensi, 2 sesi pasca intervensi, serta sesi follow up yang seluruhnya dilakukan secara daring menggunakan aplikasi zoom meeting. Rata-rata durasi setiap sesi ialah 90 menit.

Teknik Analisis Data

Data hasil intervensi akan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, peneliti akan membandingkan skor dari alat ukur Beck Depression Inventory (BDI) – II yang diberikan pada saat sebelum dan sesudah intervensi. Kriteria efektivitas intervensi ini secara kuantitatif dilakukan dengan melihat penurunan skor pada alat ukur tersebut. Jika skor pada BDI-II mengalami penurunan, maka intervensi dapat dikatakan berhasil. Secara kualitatif, keefektivitasan intervensi ini akan dilihat melalui hasil wawancara pada partisipan. Jika partisipan mendapatkan perubahan dan dampak positif dari intervensi yang telah dilakukan, dapat dikatakan intervensi berhasil.

HASIL PENELITIAN

Gambaran Partisipan Sebelum Intervensi

Sebelum intervensi, pelaksana intervensi melakukan pengambilan data baseline untuk mengukur tingkat depresi menggunakan alat ukur BDI-II yang dilakukan secara daring melalui aplikasi google form dan diisi langsung oleh partisipan. Hasil pengambilan data baseline menunjukkan bahwa partisipan memiliki tingkat depresi sedang atau moderate depression. Partisipan sering kali merasa sedih, ingin sekali menangis tetapi tidak bisa, merasa lebih meragukan masa depan dibanding biasanya, merasa telah gagal lebih dari yang seharusnya, tidak menikmati sesuatu seperti biasanya, merasa bersalah atas banyak hal yang telah atau seharusnya ia lakukan, merasa lebih mudah gelisah atau tertekan dibanding biasanya, merasa lebih tidak layak dibanding orang lain, merasa bahwa mungkin ia akan dihukum, kehilangan kepercayaan pada diri sendiri, mengkritik diri sendiri atas semua kesalahan yang ia lakukan, kurang berminat untuk berelasi dengan orang lain atau terhadap sesuatu dibandingkan biasanya, memiliki tenaga lebih sedikit dibanding yang seharusnya ia miliki, lebih mudah capek atau lelah dibanding biasanya, tidur kurang dari biasanya, selera makan kurang dari biasanya, dan berpikir untuk bunuh diri karena merasa frustasi.

Melalui wawancara, partisipan juga tampak memiliki pikiran yang selalu negatif dan tidak mampu melihat alternatif dari suatu hal, sehingga ketika mengalami hal buruk ia cenderung menyalahkan diri sendiri terus menerus. Partisipan juga tidak mampu melihat dan menghargai potensi yang ada di dirinya sehingga konsep diri yang dimiliki tampak negatif. Ia juga tidak mampu menyampaikan perasaan atau keinginannya dan selalu memendamnya sendiri serta selalu menuruti keinginan dan perkataan orang lain karena sangat takut mengecewakan. Sebelum intervensi, partisipan juga cukup sering melakukan self-harm sebagai pelampiasan ketika sedang tertekan dan sedih. Bahkan pada saat sebelum pemeriksaan dilakukan, partisipan melakukan self-harm dengan frekuensi sangat sering yaitu setiap hari. Pada saat pemeriksaan, partisipan juga bercerita sambil menangis terutama ketika membicarakan mengenai hubungannya dengan orang tua.

Berdasarkan hasil pengukuran baseline dan wawancara sebelum intervensi, pelaksana intervensi menyimpulkan bahwa partisipan masih memiliki gejala depresi yang cukup tinggi dan mengganggu keberfungsiannya sehingga masih membutuhkan intervensi untuk mengatasi permasalahannya tersebut.

Deskripsi Hasil Intervensi

Hasil deskripsi intervensi secara kuantitatif dapat dilihat pada tabel 1 (terlampir).

Hasil deskripsi intervensi secara kualitatif dijabarkan per-sesi sebagai berikut:

Sesi 1: Partisipan dapat memahami konsep CBT dan prinsip yang mendasarinya. Partisipan juga mengatakan saat depresi, ia memiliki perasaan tidak berguna dan pikiran yang muncul dalam dirinya adalah pikiran tentang kematian. Semua pikiran dan perasaan tersebut muncul karena dipicu partisipan yang merasa tidak pernah diperhatikan atau disayangi oleh orang tuanya sejak kecil. Pikiran tersebut juga mempengaruhi skema berpikir partisipan ketika bersama teman-temannya. Ia menjadi merasa kehadirannya tidak berarti dan tidak berguna. Partisipan juga menyadari kecenderungan berpikir kontraproduktif atau cognitive distortion yang ia miliki yaitu berpikir all or nothing “Waktu aku kelas 10, misalkan nilai aku jelek dikit aku langsung merasa kayak aduh bego banget gue, padahal ga semuanya jelek.” Partisipan juga memiliki pikiran kontraproduktif discounting the positive “Pernah ada orang ngasih tau ke aku kalo gambarku bagus tapi aku kayak ah engga ah. Aku merasa ga bisa percaya aja ke orang, ah boong nih.” Selain itu, partisipan juga memiliki pikiran perfeksionis yang semuanya serba penuh keharusan “Kayak standard

aku tuh terlalu tinggi.. kayak misalkan gambar, harus begini, harus kayak itu. Aku masih mikir itu jelek padahal orang lain udah bilang itu bagus.” Partisipan mengaku ia sering terpaku pada suatu keharusan yang menginginkan dirinya maupun orang lain berperilaku sebagaimana yang ia inginkan tersebut. Bila ia atau orang lain tidak dapat memenuhi keinginannya itu, ia akan sedih dan memikirkan terus menerus.

Sesi 2: Partisipan mempelajari teknik relaksasi pernafasan. Selanjutnya, ketika didorong untuk menyebutkan hal positif yang ia alami hari itu, partisipan mengatakan “Bangun tidur masih bisa dikasih nafas, makan, minum, terus main game.” Ketika didorong untuk memberi penghargaan pada diri sendiri, partisipan sempat diam sejenak namun kemudian mampu mengatakan “Selamat udah ngelewatin masa-masa sulit walaupun sendirian, selamat udah bertahan, selamat dulu sempat membaik walau abis itu ngedown lagi, selamat ga jadi bunuh diri, selamat bisa nahan untuk ga cutting, selamat sampe sekarang masih bertahan.” Saat diajak untuk memproyeksikan diri ke masa depan, partisipan mengatakan setahun kedepan ia melihat dirinya sedang kuliah, mencoba organisasi, mau magang atau kerja part time. Lima tahun kedepan ia melihat dirinya sudah lulus kuliah, sedang mencari kerja atau sudah bekerja di perusahaan. Ia masih belum berminat untuk menjalin hubungan romantis di lima tahun mendatang karena ingin berkarir. Sedangkan sepuluh tahun mendatang, partisipan melihat dirinya sudah tinggal sendiri terpisah dari orang tua dan mandiri secara finansial. Terkait hubungan romantis, partisipan juga tetap tidak menetapkan target apapun. Pelaksana intervensi lalu melanjutkan sesi dengan melakukan roleplay metode ABCD untuk mendebat pikiran negatif. Pelaksana memberikan stimulus peristiwa yaitu ibu yang mendiamkannya. Partisipan lalu menjawab belief yang ia miliki saat didiamkan itu adalah ibu marah dengannya atau ia adalah penyebab ibu diam dan marah. Perasaan yang muncul saat didiamkan adalah sedih, bingung, frustasi, dan putus asa. Partisipan lalu mencoba membantah belief yang ia miliki dengan pikiran “Mungkin mama capek, Kenapa aku gak tanya aja mama kenapa.” Namun demikian, meski ia bisa membantah belief yang dimilikinya, saat ditanya apakah akan mempraktekan ketika berada dalam kejadian nyata, partisipan masih ragu. Stimulus kedua yaitu ketika partisipan menceritakan masalahnya namun dianggap remeh oleh orang tua. Belief yang ia miliki atas peristiwa itu adalah tidak ada satu pun orang yang dapat memahaminya dan perasaan yang muncul ialah sedih, putus asa, dan marah. Saat didorong untuk mendebat beliefnya, partisipan merasa kesulitan dan mengatakan “Ga tau, kak.” Pelaksana lalu memfasilitasi partisipan untuk mengingat orang-orang yang selama ini mampu menjadi pendengarnya dan partisipan menyebutkan adik-adiknya.

Sesi 3: Partisipan mempelajari bahwa perilaku memiliki kaitan dengan perasaan. Sebelum dilakukan pemeriksaan, perilakunya cenderung tidak produktif karena ia tidak berminat dalam melakukan apapun, termasuk makan. Namun saat ini ia sudah lebih produktif dan memiliki semangat untuk melakukan sesuatu. Ketika diminta menyebutkan kegiatan yang menurutnya menyenangkan, partisipan banyak menyebut kegiatan yang dilakukan bersama teman sebagai kegiatan menyenangkan seperti bermain game, mengobrol, pergi ke mall, membuat karya atau DIY, video call, dan sleepover. Selain itu, partisipan juga menilai masak, mencoba make up, dan berfoto, serta bermain bersama adik juga merupakan kegiatan menyenangkan. Dari sesi ini, partisipan menyadari bahwa pikiran negatifnya bisa teralihkan ketika ada orang lain atau teman yang bisa diajak beraktivitas. Namun kadang ia juga merasa terhambat untuk mengajak teman beraktivitas karena sudah berpikir negatif di awal. Dari materi yang dipelajari, partisipan mengaku menemui hal baru untuk mengatasi hal tersebut. Ia juga termotivasi untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan agar bisa membuat perasaannya lebih baik lagi.

Sesi 4: Pada sesi ini, materi intervensi ialah mengenai tujuan. Ketika ditanya apa kaitan tujuan dengan depresi, partisipan menjawab “Kan orang depresi itu biasanya ga punya tujuan ya, ga bisa liat kedepannya tuh gimana..” Saat diberi materi mengenai tipe tujuan, partisipan dapat dengan cepat memahami dan merelevansikan dengan dirinya. Partisipan lalu juga menjelaskan arti tujuan menurutnya adalah hal yang bisa dicapai. Ia juga mengatakan dulu ia tidak memiliki tujuan karena pesimis dengan masa depannya,“Dulu aku tuh mau masuk jurusan DKV di ITB, tapi kayaknya aku ga mampu..”

Sesi 5: Materi pada sesi ini ialah mengenai fakta atau realita dan kaitannya dengan depresi. Pelaksana intervensi memfasilitasi partisipan untuk menemukan insight mengenai hal-hal yang dapat dikontrol (dunia subjektif) dan yang tidak dapat dikontrol (dunia objektif) dalam mempengaruhi gejala depresinya. Partisipan kemudian menuliskan hal yang tidak dapat dikontrol ialah sikap orang tua yang sering mendiamkan atau mengabaikannya dan kondisi rumah. Sedangkan hal yang bisa dikontrol ialah dirinya sendiri. Pada sesi ini, partisipan sempat menangis ketika membicarakan mengenai sikap orang tua yang seringkali bersikap tidak hangat dan mengabaikannya. Partisipan merasa kesulitan untuk menemukan hal yang dapat dikontrolnya ketika berhadapan dengan situasi tersebut, “Apa ya? Jadi nangis. Ga tau kak..” Pelaksana intervensi memberikan jeda waktu sesaat untuk relaksasi pernafasan dan memvalidasi perasaan partisipan sebelum sesi dilanjutkan kembali.

Sesi 6: Materi yang dibahas pada sesi ini yaitu mengenai kaitan antara dukungan sosial dengan suasana hati atau perasaan. Menurut partisipan, dukungan sosial dan depresi sama-sama dapat saling menjadi penyebab dan terkait satu sama lain. Artinya, saat seseorang depresi orang tersebut bisa menarik diri dan tidak berusaha mendapatkan dukungan sosial dan sebaliknya ketika orang tidak mendapat dukungan sosial, orang tersebut juga bisa menjadi depresi. Pelaksana intervensi kemudian melanjutkan materi mengenai social support network. Ketika diminta menyebutkan orang-orang terdekatnya yang dapat menjadi social support network-nya, partisipan mengatakan orang tersebut adalah kedua adiknya dan keempat temannya. Ketika bersama dengan orang-orang tersebut, partisipan merasa lebih senang dibanding ketika sendiri dimana ia sering merasa bosan dan sedih. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai cara menjaga dukungan sosial, salah satunya dengan berkomunikasi dengan cara yang asertif. Saat ditanya apa yang ia ketahui tentang asertif, partisipan menjawab “Asertif tuh kayak ikut interaksi.. Kita ga diem aja. Kalo pasif kan kita cuma dengerin,

kalo agresif kita terlalu menyerang.” Partisipan kemudian menceritakan pengalamannya bersikap asertif yaitu saat sedang kerja kelompok secara daring. Saat itu, ada salah seorang teman kelompoknya yang bergabung dalam aplikasi discord dari luar rumah yang cukup bising dan tidak membisukan suaranya sehingga mengganggu jalannya diskusi kelompok. Teman-teman kelompoknya yang lain tidak ada yang menegur orang tersebut dan akhirnya partisipan yang mencoba menegur dengan mengatakan “Eh lu boleh ga di-mute bentar yang lain mau ngomong soalnya?” Setelah partisipan mengatakan hal tersebut, temannya lalu mau membisukan suaranya.

Sesi 7: Materi yang dibahas yaitu melanjutkan pembahasan mengenai komunikasi asertif dan latihan melakukan komunikasi secara asertif. Saat membahas mengenai kriteria keterampilan komunikasi asertif, partisipan merasa selama ini ia sudah memiliki beberapa kriterianya seperti dapat berbicara dengan jelas dalam durasi yang lama, dapat memberi saran, dan mengemukakan opininya. Namun ia merasa kadang belum mampu mengelola emosi ketika berbicara dan belum mampu merespon secara tepat. Saat ada sesuatu yang kurang sesuai dengan keinginannya, partisipan dapat menolak atau mengatakan tidak namun setelah itu ada perasaan kurang nyaman terhadap lawan bicaranya. Meski merasa sudah dapat berkomunikasi asertif dengan teman sebaya atau orang lain, namun partisipan masih merasa kesulitan untuk menerapkannya dengan orang tua. Partisipan merasa pasif ketika berkomunikasi dengan orang tua, “Aku terlalu overthinking jadi mending aku pendem sendiri. Aku males debat sama mama papa.” Namun setelah sesi berakhir, partisipan mendapat insight untuk mau mencoba berkomunikasi asertif dengan orang tua dan belajar lebih mengelola respon ketika berbicara. Sebelum sesi berakhir, pelaksana intervensi mengajak partisipan untuk roleplay atau berlatih berkomunikasi asertif. Pelaksana intervensi meminta partisipan memikirkan suatu kondisi yang dapat menjadi contoh. Partisipan memilih peristiwa yaitu ketika ia didiamkan oleh orang tua tanpa sebab. Awalnya ia akan mengatakan “Ma atau Pa, aku kenapa? Aku ada salah apa?” namun kemudian partisipan mengubah jawabannya menjadi “Ma atau Pa, aku ga suka didiemin. Aku kenapa?” agar sesuai dengan salah satu cara komunikasi asertif yaitu “i message”.

Gambaran Partisipan Setelah Intervensi

Partisipan menyebutkan bahwa dirinya terbantu setelah mengikuti sesi yang diberikan. Partisipan menjadi paham bahwa gejala depresinya bisa muncul karena kekeliruannya dalam berpikir. Begitupun dengan pemberian lembar kerja yang diberikan selama intervensi. Partisipan mengatakan lembar kerja sangat membantunya dalam menemukan cara lain untuk memiliki pikiran yang positif dan membantu lebih mengenal serta memahami diri sendiri.

Selama rangkaian intervensi, partisipan juga merasa sesi berjalan menyenangkan dan membuatnya lega. Partisipan merasa perasaannya selama ini tervalidasi dan merasa didengarkan keluh kesahnya. Meski ia sempat menangis saat membicarakan mengenai orang tua, namun partisipan memahami bahwa itu adalah bagian dari proses. Pada awal sesi, partisipan juga mengatakan sempat ingin menghentikan partisipasinya dalam intervensi karena merasa suasana hatinya yang kurang baik dan kurang nyaman saat kembali membahas hal-hal yang berkaitan dengan penyebab depresinya. Namun ia mencoba bertahan dan meneruskan program intervensi sampai selesai dan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Adapun perubahan sesudah mengikuti intervensi ialah ia menjadi lebih optimis dan semangat dalam menghadapi masa depan. Perubahan yang terjadi lainnya ialah dalam hal pola makan, ia kembali ke selera makan sebelumnya, pada pola tidur juga ia merasakan tidurnya jauh lebih berkualitas dan bisa bangun dengan kondisi yang fresh. Selain itu, sebelum intervensi pikiran tentang kematian cukup sering muncul, namun setelah intervensi partisipan merasa pikiran tersebut sudah sangat jarang muncul dan ia bisa mengabaikan ketika pikiran tersebut muncul. Mengenai self-harm, partisipan juga mengatakan sebelum intervensi ketika sedang tertekan dan sedih, ia pasti melakukan self-harm sebagai pelampiasan, namun sejak intervensi ia bisa menahan keinginannya dan hanya pernah melakukan satu kali setelah sesi pertama. Selebihnya partisipan mengaku tidak pernah lagi melakukannya ataupun ada keinginan untuk melakukannya.

Deskripsi Hasil Follow-up

Sesi follow-up dilakukan 3 minggu setelah sesi terakhir intervensi. Pada sesi ini, pelaksana intervensi menggali kondisi partisipan sejak terakhir bertemu pada sesi pasca intervensi hingga sesi follow up. Secara keseluruhan, tampak partisipan mengalami peningkatan mood sejak awal intervensi sampai pasca intervensi berlangsung.

Selanjutnya, pelaksana intervensi juga kembali memberikan alat ukur BDI-II yang dilakukan secara daring melalui aplikasi google form dan diisi langsung oleh partisipan sesuai dengan kondisinya sejak sesi pasca intervensi sampai dengan sesi follow up berlangsung. Hasil BDI-II menunjukkan bahwa partisipan sudah tidak lagi merasa sedih, tidak menangis seperti biasanya, tidak meragukan masa depan, tidak merasa gagal, tidak lagi merasa gelisah atau tertekan dibandingkan biasanya, merasa layak, memiliki tenaga (semangat) seperti biasanya, mendapatkan kesenangan dari hal-hal yang ia lakukan, tidak kehilangan minat untuk berelasi dengan orang lain atau melakukan aktivitas, mampu berkonsentrasi seperti biasanya, tidak merasa bersalah sama sekali, tidak merasa sedang dihukum, tidak merasa kecewa pada diri sendiri, tidak mengkritik atau menyalahkan diri sendiri lebih dari biasanya, dapat mengambil keputusan sebagaimana yang biasanya ia lakukan, tidak lebih capek atau lelah dibanding biasanya, tidak mengalami perubahan apapun dalam pola tidur, selera makan tidak berubah (tidak lebih buruk) dari biasanya, dan tidak lagi berpikir untuk bunuh diri.

Dari hasil wawancara, partisipan juga menyebutkan bahwa dirinya masih ingat dengan apa yang dipelajari saat sesi intervensi, yaitu mengenai simtom depresi, konsep CBT, skema berpikir, thinking error, serta dukungan sosial. Ia juga masih mempraktekkan teknik relaksasi pernafasan dan komunikasi asertif khususnya ketika bicara dengan orang tua.

Setelah intervensi, partisipan mengatakan hubungannya dengan orang tua berubah menjadi lebih hangat dan santai. Ia juga memiliki kemauan untuk mengajak orang tua bersenda gurau. Begitupun dengan sikap orang tua yang juga berubah menjadi lebih perhatian dengan sering menanyakan kondisinya. Ia juga mengatakan dapat merasakan berbagai macam perasaan yang setelah intervensi, tidak lagi hanya merasa sedih terus menerus dan hampa. Frekuensi menangis pun jauh berkurang dibanding sebelum melakukan intervensi dimana ia sering sekali menangis.

Partisipan juga mengatakan dulu ia memiliki konsep diri yang negatif. Ia tidak mampu melihat dan menghargai potensi yang ada di dirinya sendiri. Setelah intervensi, ia menjadi lebih mampu melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang, lebih logis dalam berpikir, lebih percaya diri, dan optimis. Ia juga lebih bisa menerima diri sendiri saat melakukan kesalahan, tidak menyalahkan diri terus menerus seperti sebelum intervensi dilakukan. Ia juga mengaku sudah tidak lagi menjadi people pleaser karena sudah mempelajari cara berkomunikasi asertif dimana sebelumnya ia selalu menuruti keinginan dan perkataan orang lain karena takut mengecewakan.

Setelah intervensi, partisipan juga tidak pernah melakukan self-harm lagi. Ia mengatakan berhasil menahan diri ketika muncul keinginan untuk self-harm. Begitupun dengan pikiran tentang kematian yang sudah tidak muncul lagi karena mengaku sudah memiliki tujuan hidup. Partisipan menyadari bahwa pikirannya yang lebih positif dan gejala depresinya bisa jauh berkurang seperti sekarang ini bukan karena perubahan yang dilakukan oleh orang lain, melainkan karena dirinya sendiri yang mengupayakan melalui cara-cara yang telah dipelajari.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan, program intervensi CBT secara daring mampu mengurangi gejala depresi pada remaja yang mengalami MDD. Hasil pelaksanaan intervensi ini sejalan dengan penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan (Stallard, 2005; Stallard et al., 2011; Watanabe, Hunot, Omori, Churchill, & Furukawa, 2007; Wright et al., 2017), dimana CBT terbukti efektif dan dapat diterima oleh partisipan anak dan remaja dengan gejala depresi. Selain itu, CBT yang diberikan pada partisipan juga dapat membuat ia lebih percaya diri dan meningkatkan penerimaan serta keberhargaan diri sendiri, sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Taylor & Montgomery (2007) bahwa CBT dapat meningkatkan keberhargaan diri pada anak dan remaja yang mengalami depresi.

Sebelum intervensi dilakukan, partisipan memiliki tingkat depresi sedang atau moderate depression. Dengan kondisi tersebut, partisipan sering kali merasa sedih, sering menangis, meragukan masa depannya, merasa telah gagal lebih dari yang seharusnya, tidak menikmati sesuatu seperti biasanya, merasa bersalah atas banyak hal, mudah gelisah atau tertekan dibanding biasanya, merasa lebih tidak layak dibanding orang lain, merasa ia akan dihukum, kehilangan kepercayaan diri, mengkritik diri sendiri, kurang berminat untuk berelasi dengan orang lain atau terhadap sesuatu dibandingkan biasanya, memiliki tenaga lebih sedikit dibanding yang seharusnya ia miliki, mudah capek atau lelah dibanding biasanya, kurang tidur, selera makan kurang dari biasanya, dan berpikir untuk bunuh diri.

Selain itu, partisipan juga tampak memiliki pikiran yang selalu negatif dan tidak mampu melihat alternatif dari suatu hal, sehingga ketika mengalami hal buruk ia cenderung menyalahkan diri sendiri terus menerus. Partisipan juga tidak mampu melihat dan menghargai potensi yang ada di dirinya sehingga konsep diri yang dimiliki tampak negatif. Ia juga tidak mampu menyampaikan perasaan atau keinginannya dan selalu memendamnya sendiri serta selalu menuruti keinginan dan perkataan orang lain karena sangat takut mengecewakan. Pada saat pemeriksaan, partisipan juga bercerita sambil menangis terutama ketika membicarakan mengenai hubungannya dengan orang tua.

Mengenai perilaku self-harm, sebelum intervensi partisipan cukup sering melakukan self-harm. Bahkan pada saat sebelum pemeriksaan dilakukan, partisipan melakukan self-harm setiap hari. Zamorano & Rojas (2017) menjelaskan bahwa self-harm biasanya dilakukan remaja yang mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosi negatifnya. Hubungan yang bermasalah dengan anggota keluarga juga diasumsikan sering menjadi penyebab remaja melakukan self-harm (Zamorano & Rojas, 2017). Ketika remaja memiliki rasa sakit batin yang tidak dapat diatasi, ia akan cenderung menggunakan rasa sakit fisik untuk mengurangi rasa sakit batin, dan hal itulah yang menyebabkan peningkatan angka self-harm (Harrington et al., 2006). Hal ini sejalan dengan kondisi partisipan dimana ia melakukan self-harm sebagai bentuk pelampiasan ketika merasa stres dan sedih, terutama setelah bertengkar dengan orang tua. Partisipan menjelaskan alasan ia melakukan self-harm juga dikarenakan ia kebingungan dalam menemukan coping stress yang positif ketika sedang merasakan berbagai emosi negatif. Setelah intervensi, partisipan sudah tidak pernah melakukan self-harm lagi karena telah memiliki alternatif coping stress. Begitupun dengan pikiran tentang kematian yang sudah tidak muncul lagi karena selama sesi partisipan dibantu untuk mengidentifikasi tujuan hidupnya secara konkret, spesifik dan realistis. Ia merasa cukup optimis menggapai tujuan tersebut.

Perubahan yang terjadi pada partisipan setelah program intervensi selesai diberikan lainnya yaitu ia sudah tidak lagi merasa sedih atau sering menangis seperti biasanya, tidak lagi merasa gelisah, atau tertekan dibandingkan biasanya. Dalam berkegiatan sehari-hari, ia juga memiliki tenaga atau semangat seperti biasanya dan dapat kembali mendapatkan kesenangan dari hal-hal yang ia lakukan. Ia juga tidak lagi meragukan masa depan dan dapat mengambil keputusan sebagaimana yang biasanya ia lakukan. Minatnya dalam berelasi dengan orang lain atau melakukan aktivitas sudah kembali. Ia juga mampu berkonsentrasi seperti biasanya, tidak merasa bersalah, tidak merasa sedang dihukum, tidak merasa kecewa pada diri sendiri, tidak mengkritik atau menyalahkan diri sendiri. Ia tidak mengalami perubahan apapun dalam pola tidur dan selera makan tidak lebih buruk dari biasanya.

Perubahan yang terjadi pada partisipan setelah mengikuti sesi intervensi salah satunya difasilitasi lewat proses cognitive restructuring. Pada proses ini, metode yang digunakan yaitu metode ABCD. Spirito et al., (2011) menjelaskan setiap huruf dari metode ABCDE mewakili langkah-langkah yang berbeda dalam proses cognitive restructuring, yaitu A mengacu pada activating event (peristiwa yang terjadi), B mengacu pada belief (pikiran tentang peristiwa yang terjadi), C mengacu pada consequence (perasaan yang dimiliki hasil dari pikiran) dan D merupakan dispute (membantah, menantang pikiran negatif, dan menghasilkan pikiran alternatif). Partisipan diajarkan bahwa ia mungkin tidak dapat mengubah fakta dari terjadinya peristiwa negatif, tetapi ia dapat mengubah keyakinan dan perasaan negatif seputar peristiwa tersebut. Pelaksana intervensi juga mengenalkan pada partisipan mengenai thinking error dan membantunya mengidentifikasi berbagai jenis pikiran kontraproduktif yang selama ini ia miliki. Pelaksana intervensi juga mengajukan pertanyaan socratic untuk membuktikan keyakinan atau pikiran negatif yang dimiliki partisipan. Pada saat role-play metode ABCD, partisipan sempat kesulitan untuk mendebat atau mengubah keyakinan dan pikiran negatifnya mengenai tidak ada satu pun orang yang dapat memahaminya. Ia masih bersikeras bahwa hal tersebut benar. Pelaksana lalu memfasilitasi partisipan untuk mengidentifikasi orang-orang yang selama ini mampu menjadi pendengarnya dan ia menyebutkan adik-adik serta teman-temannya. Dengan demikian partisipan mendapat insight bahwa sebenarnya masih ada orang yang menyayangi dan memahaminya.

Selain proses cognitive restructuring, terdapat pula teknik lain yang membantu partisipan mencapai perubahan yaitu Affect Regulation Techniques atau teknik untuk mengenali rangsangan yang memicu emosi negatif dan mengurangi dorongan fisiologis melalui relaksasi (Spirito et al., 2011). Berkaitan dengan teknik ini, pelaksana intervensi memperkenalkan mood thermometer serta mengajarkan teknik relaksasi pernafasan. Dengan mood thermometer partisipan merasa lebih bisa mengenali perasaannya sehari-hari dan mengaitkan dengan peristiwa yang terjadi. Sedangkan melalui teknik relaksasi pernafasan, partisipan merasa terbantu untuk menenangkan diri dan menstabilkan emosinya. Partisipan merasa cara-cara tersebut mudah dilakukan ketika mengalami peristiwa kurang menyenangkan. Proses lain yang mendukung perubahan pada partisipan ialah melalui proses pemecahan masalah. Sebelum intervensi, partisipan kesulitan menemukan solusi alternatif dari masalahnya sehingga cenderung menyelesaikan masalah dengan cara yang negatif seperti menghindar dan self-harm. Saat proses intervensi, partisipan dibantu untuk membuat pilihan-pilihan yang dapat ia lakukan untuk menyelesaikan masalah dan membuat ia merasa lebih baik, salah satunya melalui gaya komunikasi asertif.

Setelah intervensi, partisipan juga memiliki hubungan yang lebih hangat dan santai dengan orang tua. Ia juga dapat merasakan berbagai macam perasaan. Partisipan juga jauh lebih mampu melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang, lebih logis dalam berpikir, lebih percaya diri, dan optimis. Hal ini sesuai dengan penelitian Stallard et al. (2011) bahwa CBT dianggap sebagai intervensi yang menyenangkan dan dapat membantu remaja depresi juga cemas memahami masalah yang mereka hadapi dan menemukan cara-cara untuk mengatasinya.

Stallard (2005) menyebutkan bahwa selain memproses mengenai proses berpikir yang keliru, CBT juga menyoroti pentingnya membuat partisipan mengenali keterampilan dan kekuatan yang dimiliki. Remaja yang depresi seringkali mengabaikan kekuatan yang dimiliki dan tampak ragu untuk menunjukkan keterampilannya. Dalam intervensi ini, partisipan dibantu untuk mengidentifikasi hal-hal positif yang ia miliki untuk dapat digunakan sebagai cara memecahkan masalah yang lebih adaptif dan fungsional. Dampaknya, partisipan merasa lebih bisa menerima diri sendiri dan merasa layak. Sebelum intervensi, partisipan juga memiliki konsep diri yang negatif. Ia tidak mampu melihat dan menghargai potensi yang ada di dirinya sendiri namun setelah intervensi, ia lebih mampu melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang, lebih logis dalam berpikir, lebih percaya diri, dan optimis. Selain itu, partisipan juga dibantu untuk meningkatkan keterampilan salah satunya mengenai gaya komunikasi asertif. Meski partisipan merasa sudah dapat berkomunikasi asertif dengan teman sebaya atau orang lain, namun ia masih merasa kesulitan untuk menerapkannya dengan orang tua. Ia cenderung pasif ketika berkomunikasi dengan orang tua. Dengan keterampilan yang diajarkan, partisipan mau mencoba berkomunikasi asertif dan belajar lebih mengelola respon ketika berbicara. Ia juga mengatakan tidak lagi menjadi people pleaser karena sudah mampu mengungkapkan perasaan dan mengatakan pendapatnya tanpa ada perasaan kurang nyaman dan cemas berlebih.

Pada program intervensi ini, pelaksana intervensi turut melibatkan orang tua secara terbatas. Hal ini dilandasi karena gejala depresi yang muncul pada partisipan salah satunya disebabkan oleh hubungan yang negatif dan kurang kehangatan dengan orang tua. Orang tua diminta hadir pada pra dan pasca intervensi untuk diinformasikan mengenai program yang akan diberikan pada partisipan dan juga melakukan evaluasi bersama mengenai hal-hal yang dapat dilakukan orang tua demi terciptanya hasil yang positif dari intervensi. Partisipan dan orang tua juga difasilitasi untuk menemukan strategi mengurangi konflik dan pemecahan masalah serta cara meningkatkan komunikasi seperti keterampilan mendengar aktif. Pola komunikasi negatif yang melibatkan kritik, menyalahkan, dan menyela juga disarankan untuk diubah. Orang tua juga didorong untuk sering menyediakan waktu untuk interaksi

dengan anak mereka. Semua hal tersebut sesuai dengan apa yang tertulis oleh Stallard (2005) bahwa dalam CBT penting memberikan orang tua peran yang terbatas seperti menghadiri sesi psikoedukasi untuk memberi pengetahuan mengenai model kognitif, keterampilan yang dipelajari oleh anak mereka, dan mengidentifikasi berbagai solusi potensial untuk membantu anak dan memperbaiki hubungan orang tua-anak.

Keberhasilan intervensi ini tidak luput dari faktor keterlibatan dan kesiapan untuk berubah yang dijelaskan dalam The Stages of Change Model (Prochaska et al. 1992, dalam Stallard, 2005). Sebelum memulai proses intervensi, penting untuk menilai kesiapan partisipan anak untuk berubah dan mengidentifikasi apakah mereka menyadari masalah yang ingin diatasi atau tujuan yang ingin dicapai (Stallard, 2005). Ketika anak belum siap untuk berubah, mereka mungkin tampak reluctant, cemas, tidak termotivasi, atau bosan (Stallard, 2005). Pada intervensi yang telah dilakukan ini, tingkat keberhasilan mudah dicapai salah satunya karena partisipan sendiri yang berinisiatif mendaftarkan diri untuk pemeriksaan psikologis dan mengikuti intervensi. Hal ini membuat ia memiliki motivasi dan kesiapan untuk berubah. Selama sesi berlangsung, partisipan juga bersikap aktif dan kooperatif. Faktor lain yang mendukung keberhasilan pada intervensi ini juga diantaranya tersedianya sarana dan prasarana, serta dukungan orang tua yang membuat sesi intervensi berjalan dengan lancar dari awal hingga sesi follow up. Selain itu, hubungan yang terjalin baik antara pelaksana intervensi dengan partisipan juga menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan intervensi (Hicks, Von Baeyer & McGrath, 2006; Spek et al., 2007, dalam Stallard et al., 2011). Diketahui bahwa sebelum intervensi dilakukan, partisipan sudah melalui proses pemeriksaan psikologis yang cukup panjang dengan pelaksana intervensi dan menciptakan rasa percaya serta keterbukaan pada partisipan. Ketika pelaksana intervensi menunjukkan minat dan ketertarikan dengan partisipan, hal tersebut juga membuat partisipan merasa dipahami dan membuatnya lebih mau terbuka dan berkolaborasi dalam proses terapeutik (Stallard, 2005).

Meski demikian, intervensi ini juga memiliki keterbatasan dalam pelaksanaannya. Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah adanya gangguan pada kualitas perangkat komunikasi dan koneksi internet, baik dari pelaksana intervensi maupun dari partisipan. Selain itu, intervensi yang dilakukan secara daring juga tidak memungkinkan pelaksana intervensi untuk mengontrol suasana di lingkungan partisipan selama intervensi daring. Pada beberapa pertemuan, ruangan yang digunakan oleh partisipan selama sesi tidak memiliki pencahayaan yang memadai sehingga pelaksana intervensi kesulitan mengobservasi ekspresi wajah dari partisipan. Pelaksana intervensi juga tidak bisa mengontrol keberadaan orang lain di sekitar partisipan pada saat sesi berlangsung. Keterbatasan lainnya yaitu berkaitan dengan karakteristik remaja depresi yang sering mengalami ketidakmampuan untuk fokus sehingga beberapa kali tugas tidak dikerjakan atau latihan belum dilakukan dan perlu diingatkan. Untuk mengatasi hal tersebut, pelaksana intervensi selanjutnya diharap dapat menemukan cara untuk menghindari partisipan lupa atau terlewat dalam mengerjakan tugas atau latihan yang diminta.

Berdasarkan pembahasan diatas, maka peneliti memberikan saran kepada partisipan yaitu tetap melakukan teknik-teknik yang telah diajarkan seperti teknik relaksasi pernafasan, metode ABCD untuk mendebat pikiran negatif, gaya komunikasi asertif, dan lain-lain; menyisihkan waktu untuk melakukan aktivitas menyenangkan; mengapresiasi hal-hal kecil yang telah ia lakukan atau capai menggunakan positive self-talk; dan mengikuti kegiatan kelompok atau organisasi sesuai minat untuk tetap terhubung dengan teman atau orang lain di sekitar. Kepada orang tua, disarankan untuk memberi perhatian dan menyediakan waktu lebih banyak untuk berkegiatan bersama anak; memperbanyak interaksi dan rutin menanyakan kondisi anak; serta menggunakan gaya komunikasi agar lebih asertif. Sedangkan kepada pelaksana intervensi daring selanjutnya, disarankan dapat mengantisipasi keterbatasan dari program intervensi ini dengan menyiapkan koneksi internet yang lebih stabil; dapat menyiapkan link atau sarana lainnya yang dapat ditinjau bersama untuk pengumpulan lembar kerja demi menghindari partisipan lupa atau terlewat dalam mengerjakan lembar kerja; membuat jeda waktu yang lebih panjang antar-sesi agar partisipan dapat mempraktikkan hal-hal yang ia dapat di sesi sebelumnya dan berkesempatan untuk mengamati dan melakukan pencatatan terhadap emosi, pikiran, serta perilakunya. Selain itu, pastikan setiap sesi tidak terlalu lama karena dapat membuat partisipan bosan atau kehilangan konsentrasi. Untuk kebanyakan anak, 50-60 menit dirasa terlalu lama. Untuk melakukan intervensi CBT pada anak dengan usia yang lebih muda, disarankan dapat mengadaptasi cara atau media yang lebih variatif dan mudah dicerna anak dalam penyampaian materi seperti berupa games, puppets, story telling, visualisation, diagram, thought bubbles, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan CBT bukanlah intervensi yang disampaikan dengan cara yang terstandardisasi, melainkan dapat menggunakan banyak strategi yang digabungkan dan disampaikan dengan cara yang berbeda sesuai usia, perkembangan kognitif, linguistik, dan sosial masing-masing (Stallard, 2005).

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa program intervensi Cognitive Behavioral Therapy secara daring efektif untuk mengurangi gejala depresi pada remaja yang mengalami Major Depressive Disorder.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada pihak yang telah membantu persiapan pelaksanaan penelitian; Dra. Fenny Hartiani, M.Si., Psikolog. Juga kepada partisipan dalam penelitian ini yang keterlibatannya sangat kami hargai.

Kontribusi Penulis

Semua penulis memiliki akses penuh ke semua data dalam penelitian ini dan bertanggung jawab atas integritas data dan keakuratan analisis data serta menyetuju untuk diterbitkan. Penyusunan naskah manuskrip oleh Ranti Maradhita Putri Lestari. Revisi dan supervisi oleh Efriyani Djuwita.

Konflik Kepentingan

Atas nama semua peneliti yang bersangkutan, menyatakan bahwa tidak ada konflik kepentingan selama proses pelaksanaan penelitian.

Pendanaan

Tidak ada pendanaan yang diterima.

REFERENSI

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders: DSM-5 (5th ed). Washington: American Psychiatric Pub.

Bardone, A. M., Moffitt, T. E., Caspi, A., Dickson, N., Stanton, W. R., Silva, P. A. (1998). Adult physical health outcomes of adolescent girls with conduct disorder, depression, and anxiety. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 37, 594–601.

Chen, X., He, J., Xitao Fan, & Cai, Z. (2021). Attachments, dispositional mindfulness, and psychological distress: A mediation analysis. Current Psychology, 40(4), 1651–1659. https://doi.org/10.1007/s12144-018-0088-0

Harrington R., Pickles A., Aglan A., Harrington V., Burroughs H., Kerfoot M. (2006) Early adult outcomes of adolescents who deliberately poisoned themselves. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 45, 337–345.

Kim-Cohen, J., Caspi, A., Moffitt, T. E., Harrington, H., Milne, B. J., Poulton, R. (2003). Prior juvenile diagnoses in adults with mental disorder: developmental follow-back of a prospective-longitudinal cohort. Arch Gen Psychiatry. 60, 709–717.

Mash, E. J., Wolfe, D. A. (2016). Abnormal Child Psychology (6th Eds.). USA: Cengage Learning.

Milne, L. C., & Lancaster, S. (2001). Predictors of depression in female adolescents. Adolescence, 36(142), 207–223.

Papalia, D. E., & Martorell, G. (2021). Experience human development (Fourteenth edition). McGraw-Hill Education.

Rosselló, J., Bernal, G., & Piedras, R. (2007). Treatment Manual For Cognitive Behavioral Therapy For Depression 1.

Santrock, J. W. (2019). Life-span development (Seventeenth edition). McGraw-Hill Education.

Spirito, A., Esposito-Smythers, C., Wolff, J., & Uhl, K. (2011). Cognitive-Behavioral Therapy for Adolescent Depression and Suicidality. Child and Adolescent Psychiatric Clinics of North America,   20(2),    191–204.

https://doi.org/10.1016/j.chc.2011.01.012

Stallard, P. (2005). A Clinician’s Guide to Think Good - Feel Good: Using CBT with Children and Young People. England: John Wiley & Sons, Ltd.

Stallard, P., Richardson, T., Velleman, S., & Attwood, M. (2011). Computerized CBT (Think, Feel, Do) for Depression and Anxiety in Children and Adolescents: Outcomes and Feedback from a Pilot Randomized Controlled Trial. Behavioural and Cognitive Psychotherapy, 39(3), 273–284. https://doi.org/10.1017/S135246581000086X

Taylor, T. L., & Montgomery P. (2007). Can cognitive-behavioral therapy increase self esteem among depressed adolescents? A systematic review. Children and Youth Services Reviews, 29(7), 823-839.

Thapar, A., Collishaw, S., Pine, D. S., & Thapar, A. K. (2012). Depression in adolescence. The Lancet, 379(9820), 1056–1067. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(11)60871-4

Watanabe, N., Hunot, V., Omori, I. M., Churchill, R., & Furukawa, T. A. (2007). Psychotherapy for depression among children and adolescents: a systematic review. Acta Psychiatrica Scandinavica, 116(2), 84–95. doi:10.1111/j.1600-0447.2007.01018.x

Wright, B., Tindall, L., Littlewood, E., Allgar, V., Abeles, P., Trépel, D., & Ali, S. (2017). Computerised cognitive–behavioural therapy for depression in adolescents: feasibility results and 4-month outcomes of a UK randomised controlled trial. BMJ Open, 7(1), e012834.doi:10.1136/bmjopen-2016-012834

Zamorano, C., & Rojas, C. (2017). Adolescent Self-cutting: An Embodiment of the Unsaid. Australian and New Zealand Journal of Family Therapy, 38(3), 317–328. https://doi.org/10.1002/anzf.1240

LAMPIRAN

Tabel 1

Perbandingan Skor Beck Depression Inventory (BDI) – II

Waktu

Skor

Keterangan

Pre-test

21

Moderate depression

Post-test

6

Ups and downs normal

Follow up

0

Ups and downs normal

306