Jurnal Psikologi Udayana 2022, Vol.9, No.2, 184-193


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2022.v09.i02.p08

Konseling kelompok untuk menurunkan kecemasan pada orang tua anak berkebutuhan khusus

Baiq Ade Septa Iswarindi dan Rahma Widyana

Program Studi Magister Psikologi Profesi Universitas Mercu Buana Yogyakarta [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konseling kelompok untuk menurunkan kecemasan pada orang tua anak berkebutuhan khusus. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretest-posttest control group design yang melibatkan 2 kelompok subjek yang ditempatkan secara random dan diukur sebanyak tiga kali pretest, posttest, follow up dalam 14 hari setelah perlakuan). Subjek penelitian ini sebanyak 10 orang tua anak berkebutuhan khusus yang berada dalam kategori kecemasan ringan hingga berat. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Metode pengambilan data yang digunakan wawancara, observasi dan skala HARS Hamilton Rating Scale for Anxiety). Teknik analisis yang digunakan menggunakan Wilcoxon dan Mann Whitney. Hasil analisis Mann Whitney diperoleh nilai koefisien U=9.000 p<0.050), untuk posttest sebesar U= 9.500 p<0.050) sedangkan untuk follow up U= .500 p<0.050) hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kelompok eskperimen dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan perlakuan konseling kelompok. Hasil Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasaan sebelum dan sesudah pemberian konseling kelompok pada kelompok eksperimen Z= 2.060 p<0.050) menunjukkan adanya penurunan kecemasan sebelum dan sesudah konseling kelompok, begitu juga setelah 14 hari pemberian konseling kelompok didapatkan hasil Z = 2.121 p<0.050) menunjukkan penurunan kembali tingkat kecemasan setelah 14 hari. Penelitian ini menunjukkan bahwa konseling kelompok sebagai salah satu cara untuk menurunkan kecemasan orang tua pada anak berkebutuhan khusus.

Kata kunci: Konseling kelompok, kecemasan, berkebutuhan khusus.

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of group counseling to reduce anxiety in parents of children with special needs. A pretest-posttest control group design was applied, 2 groups of subjects with random assignment and measured for 14 days. The subjects of this study were 10 parents of children with special needs who were in the category of mild to severe anxiety. Subjects were randomly assigned into 2 either an experimental groups or control groups. The data collection methods utilised interviews, observation and the HARS Hamilton Rating Scale for Anxiety) scale. The analysis result of Mann Whitney obtained a coefficient value of U= 9.000 p<0.050), for posttest U= 9.500 p< 0.050) whereas for followup U=500 p<0.050), showing that there was a significant difference between the experimental group and control group before and after administering counseling sessions. Wilcoxon's test was applied to determine the difference in anxiety levels before and after counseling sessions, whereby the experimental group generated Z = 2.060 p< 0.050), indicating decreases in anxiety before and after group counseling, as well as after 14 days of group counseling the result obtained was Z = 2.121 p< 0.050) indicating a decrease in the level of anxiety again after 14 days. This study showed and supports existing evidence that group counseling is one way to reduce parental anxiety in children with special needs.

Keywords: Group counseling, anxiety, parents of children with special needs.

LATAR BELAKANG

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami keterbatasan fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan anak-anak lain seusia dengannya Winarsih, dkk., 2013). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2015 menunjukkan jumlah penyandang disabilitas Indonesia sebanyak 21,5 juta jiwa. Angka ini terus bertambah setiap tahunnya. Data tersebut jauh menggambarkan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia dibandingkan survei tiga tahun sebelumnya yakni pada tahun 2012. Pada tahun 2012 tercatat 6 juta jiwa kemudian pada tahun 2014 naik menjadi 10 juta difabel Kustiani, 2019). Sehingga pada tahun sejak tahun 2012 sampai dengan 2015 kenaikan terus terjadi dengan jumlah penyandang disabilitas sebanyak 15,5 juta.

Menurut Gargiulo dalam Amelasasih, 2016), orang tua menunjukkan reaksi seperti menolak kenyataan, marah, sedih, dan merasa bersalah sebagai reaksi umum saat mengetahui anaknya berbeda dengan anak seusianya lainnya. Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus memiliki tantangan yang besar dalam proses pengasuhan anak serta untuk dapat membesarkannya. Keluarga akan merasakan kecemasan yang menyebabkan efek yang besar dari peristiwa tersebut. Hardman, dkk dalam Hidayati, dkk., 2011) mengatakan bahwa memiliki anak yang berkebutuhan khusus sangat mempengaruhi keadaan ibu, ayah serta anggota keluarga dengan cara bervariasi. Seperti berbagai dinamika emosi yang di rasakan bermacam-macam.

Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran bagi keluarga khususnya orang tua, tidak jarang mereka akan mengalami kecemasan yang berelebihan, ditambah lagi dengan kondisi anak yang sakit ataupun akan menambah beban pikiran orang tua. Kecemasan adalah suatu dorongan yang kuat terhadap perilaku, baik perilaku yang kurang sesuai ataupun perilaku yang menganggu. Hal ini merupakan bentuk dari pertahanan terhadap kecemasan tersebut Gunarsa, 2008). Menurut Nevid, dkk. 2018) kecemasan merupakan kondisi umum dari ketakutan atau perasaan tidak nyaman yang dapat mempengaruhi keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Cemas bisa terjadi pada siapa saja, termasuk juga pada orang tua dalam menjalankan perannya. Hal itu bisa terjadi terutama saat ada anggota keluarga yang sakit, khususnya anak. Ansietas atau kecemasan dapat meningkatkan atau menurunkan kemampuan seseorang untuk memberikan perhatian.

Beban yang dirasakan oleh orang tua anak berkebutuhan khusus bukan hanya secara fisik psikis, hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Gupta dan Singhal 2004) bahwa orangtua dengan anak disabilitas secara alami

mengalami kecemasan di berbagai aspek dalam keluarga seperti tuntutan untuk mengasuh dalam keseharian, tekanan emosional, kesulitan interpersonal, masalah finansial dan konsekuensi sosial yang merugikan seperti dikucilkan oleh masyarakat. Kekhawatiran ataupun kecemasan ini juga dapat menyebabkan masalah dalam kehidupan pernikahan yang berhubungan dengan pengasuhan anak disabilitas, beban finansial yang besar untuk memenuhi kebutuhan, serta kelelahan dan kehilangan waktu luang karena bertanggung jawab dalam mengasuh anak disabilitas. Ketika dihadapkan pada kondisi perasaan yang tidak menentu dan tidak jelas sumbernya yang berasal dari antisipasi terhadap adanya bahaya atau suatu ancaman, reaksi yang akan diperlihatkan oleh seseorang adalah cemas

Potter, dalam Indrayani & Santoso, 2012).

Cemas bisa terjadi pada siapa saja, termasuk juga pada orang tua dalam menjalankan perannya. Hal itu bisa terjadi terutama saat ada anggota keluarga yang sakit, khususnya anak. Ansietas atau kecemasan dapat meningkatkan atau menurunkan kemampuan seseorang untuk memberikan perhatian. Pada saat individu dihadapkan pada situasi atau sumber yang berasal dari hal yang tidak jelas ataupun pasti, seorang individu akan cenderung untuk mengalami kecemasan ataupun individu tersebut akan melakukan tindakan yang berbeda untuk menjaga pertahanan dirinya

Potter, dalam Indrayani & Santoso, 2012).

Berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua anak berkebutuhan khusus pada klien LO bukan nama sebenarnya) yang memiliki anak dengan tunarungu yang menjelaskan bahwa sangat terkejut dan tidak menyangka akan memiliki anak yang tidak normal. Orang tua melakukan berbagai cara dan hal dilakukan agar anaknya dapat berkembang seperti anak seusianya, akan tetapi LO merasa sangat putus asa karena sulit untuk menemukan obat yang dapat membuat anaknya normal. Rasa khawatir akan masa depan anaknya semakin hari membuat orang tua tidak pernah nyaman dalam menjalani hari-hari. Ketika memikirkan masalah masa depan anaknya dirinya akan mengalami tekanan secara psikologis yang sangat tidak menyenangkan seperti gangguan tidur di malam hari, terkadang akan membuat LO tidak dapat makan tidak teratur. Bukan hanya itu saja jika sudah memikirkan anak dirinya sering mengalami keringat dan asam lambung akan naik sehingga dalam mengganggu aktivitasnya dalam bekerja.

Subjek KI merupakan orang tua anak dengan anak autis juga merasakan hal yang sama seperti subjek LO. Hal yang dirasakan KI seperti menarik diri dari lingkungan keluarga karena merasa takut apabila anaknya akan dibicarakan. Merasa gelisah, takut, tidak dapat tidur, badan terasa tidak memiliki rasa daan kadang bergerak secara sendiri ketika membicarakan tentang anaknya. Konsentrasinya mulai berkurang dan tidak dapat bekerja dengan baik, perasaannya selalu dipenuhi dengan perasaan wasapada dan selalu berhati-hati dalam membicarakan anaknya. Selain

konsentrasinya yang terganggu KI merasa terkadang sangat susah untuk berbicara karena bibirnya terasa berat dan bergemetaran. KI juga mengkhawatirkan banyak hal tentang anaknya, seperti bagaimana biaya sekolah karena anaknya yang memiliki kebutuhan berbeda dengan anak-anak lainnya. Bagaimana keluarga besarnya nanti akan melihat anaknya. Ketakutan lain yang dirasakan juga adalah apabila dirinya meninggal dan tidak ada yang akan merawat anaknya dan memperhatikan anaknya semakin membuat KI tidak dapat tenang dalam beraktivitas. Pikiran negatifnya selalu mendominasi dan membuatnya tidak produktif dalam bekerja dan selalu fokus pada anaknya

Wawancara yang juga dilakukan pada orang tua JK yang memiliki anak berkebutuhan khusus ADHD didapatkan hasil bahwa ketakutan ataupun kecemasan dirasakan saat dirinya terlalu banyak memikirkan kondisi fisik dan masa depan anak. Reaksi yang terjadi adalah sangat susah tidur, susah untuk tenang bahkan untuk duduk dan berbicara. Bahkan nafsu makan juga terganggu dan sering menghindari kontak sosial karena merasa tidak nyaman untuk membicarakan anaknya dengan orang lain. JK juga mengungkapkan bahwa dirinya bahkan sampai harus menerima suntikan di UGD ketika terlalu memikirkan anaknya, rasa khawatir yang berlebihan ini muncul karena keterbatasan yang dimiliki anaknya yang masih harus bergantung dengan orang lain membuat JK merasa kasihan dan cemas untuk membiarkan anaknya melakukan hal-hal mandiri secara sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang membuat orang tua anak berkebutuhan merasa cemas adalah adanya pikiran negatif tentang berbagai hal seperti keadaan ekonomi, sosial serta keadaan dan kondisi anak. Pikiran-pikiran tersebut membuat para orang tua mengalami beberapa gejala fisik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti sakit kepala, badan pegal, jantung berdenyut lebih cepat serta berbagai gejala fisik lainnya.

Menurut Nevid dkk., 2018) kecemasan ditandai dengan berbagai simtom, yang mencakup simtom fisik, perilaku, dan kognitif adapun ciri fisik, yang meliputi kegelisahan, kecemasan, gemetar,sesak di bagian perut atau dada, berkeringat hebat, telapak tangan berkeringat, kepala pusing atau rasa ingin pingsan, mulut atau tenggorokan terasa kering, napas tersengal-sengal, jantung berdegub kencang, jari atau anggota tubuh terasa dingin, dan mual adalah beberapa dari banyaknya simtom-simtom fisik lainnya. Ciri perilaku, yang meliputi perilaku menghindar, perilaku bergantung, dan perilaku gelisah. Ciri kognitif, yang meliputi kekhawatiran, merasa takut atau cemas akan masa depan, terlalu memikirkan atau sangat waspada dengan sensasi yang muncul di tubuh, takut kehilangan kendali, memikirkan pikiran yang mengganggu secara terus menerus, memiliki pemikiran yang membingungkan, sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pemikirannya, dan dapat berpikir bahwa segala sesuatunya menjadi tidak terkendali.

Banyak intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan, diantaranya relaksasi otot Tsitsi, dkk. 2017), terapi mindfulness Rayan & Ahmad, 2016), intervensi kelompok psikososial Douma dkk., 2020). Menurut Shechtman 2007) salah satu cara yang digunakan untuk menurunkan kecemasan ataupun permasalahan orang tua anak berkebutuhan khusus yaitu modalitas ekspresif yang mana berfokus pada ekspresi emosional dari masing-masing peserta, setiap sesi konselor memperkenalkan para peserta tentang pengalaman-pengalaman yang dirasakan secara mandiri untuk dapat dibagikan pada peserta lainnya, hal ini diharapkan menjadi kekuatan dan motivasi bagi peserta lainnya, hal ini diharapkan menjadi kekuatan dan motivasi bagi peserta lainnya..

Langkah-langkah intervensi untuk mengurangi kecemasan dengan relaksasi otot dan terapi mindfulness diperkuat kembali oleh hasil penelitian Danino dan Shechtman 2012) yang berjudul Superiority of group counseling to individual coaching for parents of children with learning disabilities yang menjelaskan tentang keunggulan konseling kelompok dapat menurunkan kecemasan pada orang tua anak berkebutuhan khusus didapatkan hasil bahwa konseling kelompok dapat menurunkan tingkat kecemasan pada orang tua anak berkebutuhan jika dibandingkan dengan orang tua yang tidak mendapatkan terapi konseling kelompok

Kecemasan yang dirasakan oleh orang tua anak berkebutuhan khusus ini dapat berkurang apabila para orang tua sama-sama memiliki permasalahan yang sama untuk saling menguatkan satu dengan yang lain seperti yang dijelaskan dalam tujuan dari konseling kelompok adalah mengarahkan individu untuk mengatasi segala bentuk persoalan yang dialami serta mencegah persoalan individu itu muncul kembali dikemudian hari dan dapat ditangani secara mandiri Rasimin & Hamdi, 2018).

Terapi konseling kelompok lebih dipilih sebagai intervensi untuk mengoptimalkan kemampuan pemberian dukungan dari dan antar anggota kelompok dibandingkan terapi individu. Berdasarkan pada beberapa pertimbangan bahwa terapi ini juga memberikan kesempatan bagi klien untuk mendapatkan umpan balik dari anggota kelompok, dan kesempatan bagi peserta kelompok untuk mengobservasi respon psikologis, emosional, dan perilaku individu terhadap anggota kelompok lainnya Saddock & Saddock, 2007). Model terapi ini memberikan kesempatan pada anggota kelompok untuk memperoleh kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, baik itu dimulai dari hubungannya antar pribadi di dalam kelompok dan dilanjutkan dalam kehidupannya sehari-hari di luar kelompok Latipun, 2008)

Alasan lain yang memperkuat bahwa penggunaan konseling kelompok sebagai bentuk terapi yang dapat mengurangi beban psikis dan fisik yang dirasakan oleh orang tua adalah bahwa bagi sebagian besar orang, kelompok dapat menjadi

saran untuk mendapatkan masukan dari anggota lain terkait dengan permasalahan yang sama dirasakan, selain itu para anggota dapat belajar lebih mendengarkan dari pada berbicara Rasimin & Hamdi, 2018).

Peneliti ini bertujuan bertujuan untuk mengetahui pengaruh konseling kelompok untuk menurunkan kecemasan pada orang tua anak berkebutuhan khusus. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Ada perbedaan tingkat kecemasan antara kelompok eksperimen setelah diberikan perlakuan dengan kelompok kontrol. Tingkat kecemasan kelompok eksperimen setelah diberikan konseling kelompok lebih rendah daripada tingkat kecemasan kelompok kontrol tanpa diberi konseling kelompok. 2. Ada perbedaan tingkat kecemasan kelompok eksperimen antara sebelum diberikan perlakuan dan setelah diberikan perlakuan. Tingkat kecemasan kelompok eksperimen setelah diberikan konseling kelompok lebih rendah daripada tingkat kecemasan kelompok eksperimen sebelum diberikan konseling kelompok

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kecemasan serta variable bebas adalah konseling kelompok. Definisi operasional dai masing-masing variable dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut:

Konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pemikiran, serta perilaku yang sadar dan melibatkan fungsi-fungsi terapi seperti sifat permisif, orientasi pada kenyataan, katarsis, saling mempercayai, saling memperlakukan dengan mesra, saling pengertian, saling menerima, dan saling mendukung.

Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian adalah 10 orang tua yang tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat dengan karakteristik spesifik sebagai berikut, memiliki anak berkebutuhan khusus usia anak sekolah dasar, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah orang tua ABK dengan tingkat kecemasan mulai dari ringan sampai dengan tingkat kecemasan berat. Anak berkebutuhan khusus bersekolah di Lenterahati Boarding School Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, memiliki ketertarikan dengan konseling kelompok subjek dalam penelitian ini ditempatkan secara random 5 orang pada kelompok kontrol dan 5 orang pada kelompok eksperimen. Pada kelompok eksperimen 1 orang berjenis kelamin laki-laki dan 4 orang perempuan. Usia rata-rata dari masing-masing sujek adalah 30 tahun.

Alar Ukur

Kecemasan diukur dengan HARS Hamilton Anxiety Rating Scale) pertama kali dikembangkan oleh Max Hamilton untuk mengukur semua tanda kecemasan baik psikis maupun somatik. HARS sendiri terdiri dari 14 item

pertanyaan untuk mengukur tanda adanya kecemasan pada anak dan orang dewasa. Pengukuran penelitian ini menggunakan Skala HARS yang dikutip dari Hawari 2001). Skala ini disusun berdasarkan 14 aitem pertanyaan yang dirangkum sebagai berikut perasaan ansietas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik otot), gejala somatik sensorik), gejala kardiovaskuler, gejala respirator, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala otonom, tingkah laku pada wawancara. Skala ini berjumlah 14 aitem yang diisi oleh peneliti atau orang yang telah dilatih untuk menggunakannya melalui tehnik wawancara langsung Hawari 2001). Diskriminasi aitem HARS ditunjukkan pada Corrected Item- Total Correlation seluruh soal memiliki nilai positif dan lebih besar dari syarat 0.05, sedangkan reliabilitasnya menunjukkan dengan nilai Cronbach’s Alpha adalah 0.793 dengan jumlah aitem 14 butir.

Desain Penelitian

Adapun desain penelitian pretest-posttest control group design ini dapat dilihat pada Tabel 1 terlampir:

Manipulasi Variabel Bebas

Kelompok ekperimen merupakan kelompok yang mendapat perlakuan, dalam hal ini berupa konseling kelompok, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak diberikan perlakuan.

Manipulasi terhadap variabel bebas ini berupa konseling kelompok pada kelompok ekperimen, sedangkan pada kelompok control manipulasi variabel bebas tidak diberikan perlakuan apapun. Konseling kelompok disusun mengacu pada modul yang disusun oleh Utama 2019) berdasarkan tahapan konseling kelompok dari Corey 2013).

Adapun tahapan konseling kelompok secara garis besar sebagai berikut:

Tahap satu: Tahap pembentukan. Tahap ini merupakan tahap persiapan konseling. Pada tahap ini dilakukan penyeleksian anggota kelompok, pada tahap diminta kesedian dari para peserta untuk ikut terlibat secara penuh dalam proses konseling. Serta menjelaskan bagaimana proses konseling berlangsung.

Tahap dua: tahap orientasi dan eksplorasi. Pada tahap ini anggota mulai menjalin hubungan sesame anggota kelompok untuk membangun kepercayaan. Hal ini bertujuan agar hubungan terbangun dan terpusat pada kelompok itu sendiri.

Tahap transisi. Pada tahap ini para peserta akan muncul pertanyaan apakah dirinya dapat memeprcayai orang di sekitarnya sehingga kecemasan masing-masing peserta akan semakin meningkat. Oleh karena itu peran konselor adalah berusaha untuk meyakinkan peserta dan mengajarkan para peserta untuk mengenali perasaan cemas yang dimiliki sehingga para peserta tahu kapan harus bersikap defensif dan terbuka pada kelompok.

Tahap empat: kerja kohesi dan produktivitas). Tahap ini setelah para peserta mulai menceritakan permasalahan masing-masing maka diketahui penyebab sehingga konselor dapat melakukan langkah-langkah yaitu menyusun langkah tindakan. Pada proses ini para peserta akan belajar tingkah laku baru, menghilangkan sifat depensif sehingga mereka dapat terbuka menerima saran ataupun masukan dari masing-masing peserta yang mungkin dapat dijadikan modeling bagi para peserta lain yang memiliki permasalahan yang sama. Sehingga kegiatan konseling terpusat pada anggota kelompok untuk saling memberi kekuatan satu dengan yang lainnya.

Tahap IV: tahap akhir konsolidasi dan terminasi). Para peserta kelompok mulai mencoba untuk melakukan perubahan dalam kelompok. para peserta sudah mulai aktif untuk memberikan saran dan pendapat terkait dengan permasalahan yang dimiliki. Pada tahap ini sudah mulai terjadi transferensii pengalaman antara sesame anggota. Pada fase ini para peserta sudah mulai untuk menyelesaikan permasalahan yang dimiliki dengan bantuan sesame peserta. Apabila para peserta sudah mulai merasa puas maka sesi konseling dapat diakhiri.

Analisis Data

Data skor pengukuran kecemasan skala HARS dianalisis secara kuantitatif menggunakan uji statistik Mann Whitney untuk membandingkan tingkat kecemasan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, kemudian pada kelompok eksperimen dilanjutkan dengan uji Wilcoxon untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan skor tingkat kecemasan antara pretest, posttest dan follow up subjek penelitian kelompok eksperimen.

HASIL PENELITIAN

Pada Tabel 2. terlampir), deskriptif kelompok eksperimen sebelum diberikan konseling kelompok Pretest) terlihat 2 orang subjek berada pada kategori kecemasan tingkat ringan, 2 orang subjek berada dalam kategori sedang dan 1 orang berada dalam kategori berat. Pada pengukuran posttest setelah diberikan perlakuan terdapat penurunan skor pada masing-masing peserta. Terdapat 4 orang subjek dengan kategori ringan dan 1 orang subjek berada dalam kategori sedang. Pada pemberian follow up 4 subjek berada dalam kategori tidak ada kecemasan dan 1 orang subjek berada dalam kategori kecemasan ringan. Pada Tabel 3 hasil analisis deskripsi kelompok kontrol menunjukkan hasil 2 orang subjek berada dalam kategori ringan, dan 3 orang subjek berada dalam kategori sedang. Pada pemberian posttest 2 subjek ada dalam kategori ringan, 2 subjek kategori sedang dan 1 subjek berat. Sedangkan hasil follow up 1 orang kategori ringan 2 subjek kategori sedang dan 2 orang dalam ketegori berat.

Pada hasil wawancara juga ditemukan bahwa subjek mengalami berbagai gejala kecemasan seperti jantung berdegub kencang, sulit mengatur nafas, sulit

berkonsentrasi serta mengalami mimpi buruk. Selain itu terlihat bahwa pada saat berbicara subjek terlihat banyak menggerakkan tangan dan kaki dan mengusap keringat ditangan. Keluhan-keluhan ini membuat subjek merasa sangat tidak nyaman sehingga sangat sulit bagi subjek untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Berdasarkan hasil analisis deskripsi tersebut didapatkan hasil data statistic kecemasan antara kelompok control dan kelompok eksperimen sebagai berikut yang terlampir dalam table 4 terlampir) menunjukkan hasil perhitungan rata-rata sebagai berikut:

Kelompok eksperimen memiliki rerata skor pada pretest 6,20 sedangkan kelompok kontrol pretest 4,80. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pretest kelompok eksperimen memiliki skor yang tinggi dibandingkan kelompok kontrol dengan selisih angka sebesar 1,4. Pada posttest, kelompok eksperimen memperoleh penurunan skor menjadi 4,90 sementara kelompok kontrol tetap dengan skor 6,10. Selisih angka 1,2 menunjukkan jika skor kelompok eksperimen lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Pada fase follow up, kelompok eksperimen memperoleh penurunan skor rerata lagi menjadi 3,10. Sementara itu kelompok kontrol memperoleh kenaikan skor rerata lagi 7,90. Selisih yang didapatkan sebanyak 4,8 yang menunjukkan bahwa kelompok eksperimen memiliki menurunan tingkat kecemasa dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Bredasarkan hasil uji ststistik yang telah dilakukan menggunakan mann whitney dapat dilihat pada tabel 5 terlampir) didapatkan hasil:

Perbandingan tingkat kecemasan antara orang tua yang diberikan konseling kelompok dan orang tua yang tidak diberi konseling kelompok diperoleh nilai koefisien U untuk pretest U= 9.000 p<0.050), untuk posttest sebesar U= 9.500 p<0.050) sedangkan untuk follow up nilai U= .500 p<0.050) hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kelompok eskperimen dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan perlakuan konseling kelompok. .

Berdasarkan hasil uji wilxocon dapat dilihat pada tabel 6 terlampir). Data yang diperoleh pada pengukuran pretest Z = 2.060 dengan p= 0.039 < 0.050, untuk mean rank diperoleh untuk pretest sebesar 6,20 dan posttest 4,90 hal ini menunjukkan adanya penurunan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah diberikan konseling kelompok yang berarti ada perbedaan tingkat kecemasan pada subjek sebelum dan sesudah dilakukan intervensi konseling kelompok. Hasil posttest ke follow up menunjukkan Z =2.121 dengan p= 0.34 < 0.050 dengan nilai mean rank pada posttest 4,90 dan mean rank pada follow up sebesar 3,10 menunjukkan bahwa adanya penurunan tingkat kecemasan setelah diberikan konseling kelompok dan penurunan selama 14 hari setelah konseling kelompok

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan perubahan kecemasan antara kelompok yang diberi konseling kelompok dengan kelompok yang tidak diberikan konseling kelompok. Kelompok yang diberi konseling kelompok memiliki skor kecemasan post test lebih rendah dibandingkan kelompok yang tidak mendapatkan konseling kelompok. Pada kelompok yang diberi konseling kelompok mengalami penurunan skor kecemasan. Beberapa gejala fisik yang dirasakan oleh para peserta konseling kelompok seperti nafas pendek, denyut jantung lebih cepat, nafas tidak beraturan mudah merasa gelisah dan tidak tenang merupakan gejala kecemasan. Berdasarkan gejal-gejala seperti jantung berdegub kencang, nafas tidak teratur, tangan gemetar dan rasa takut yang berlebihan yang dirasakan oleh para peserta semakin berkurang dan tidak menunjukkan kembali gejala-gejal tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Menurut Pradipta 2014) gejala-gejala yang sudah dirasakan oleh para peserta konseling kelompok tersebut adalah bentuk dari kecemasan yang memiliki efek negatif dan ketegangan jasmaniah.

Adanya pikiran irasional dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi anak yang belum tentu terjadi ini menyababkan beberapa dampak negatif pada orang tua, seperti kurang produktif dalam menjalankan aktivitas serta sangat mudah terserang beberapa penyakit. Hal-hal yang dirasakan oleh orang tua adalah sangat sulit untuk konsentrasi dalam bekerja, pusing sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Sesak nafas yang dirasakan semakin membuat para orang tua khawatir dengan kondisi anggota tubuhnya sehingga sangat mudah untuk bersikap panik. Menurut Ramaiah 2003) gejala-gejala yang dirasakan oleh para orang tua tersebut adalah gejala-gejala yang lazim terjadi pada orang-orang yang mengalami kecemasan yaitu kejengkelan umum, gugup jengkel panik, sakit kepala, ketegangan otot, gemetaran sekujur tubuh dan aktivitas system otonomik yang meningkat.

Rasa khawatir ataupun perasaan cemas yang dimiliki oleh orang tua anak berkebutuhan khusus ini akan dapat diatasi dengan memberikan berbagai dukungan untuk saling menguatkan individu yang satu dengan yang lain melalui konseling kelompok, hal ini sesuai dengan pendapat Gazda dalam Latipun, 2008) yang menjelaskan pengertian konseling kelompok adalah suatu proses interpersonal yang dinamis berpusat pada usaha untuk berpikir, mengubah tingkah laku yang berorientasi pada kenyataan untuk membersihkan jiwa untuk saling percaya, pengertian, penerimaan serta bantuan. Saling menerima bantuan dengan cara saling memberikan semangat pada saat konseling kelompok dan memberikan berbagai latrenatif solusi ketika mengalami berbagai tantangan dalam merawat dan mendidik anak berkebutuhan khusus juga memiliki pengaruh yang baik terhadap para peserta kelompok.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Rahmanawati dan Wibowo 2017) yang berjudul resiliensi keluarga dengan anak gangguan disintegrative melalui konseling kelompok menunjukkan hasil partisipasi subyek dalam konseling kelompok memberikan dampak perubahan cara pandang terhadap anak. Orangtua sudah lebih realistis dalam membuat harapan pada anak dan mampu menerapkan pengasuhan yang positif serta keluarga menemukan kekuatan dan sumber daya melalui konseling kelompok untuk beradaptasi menjalani kehidupan ketika anak mendapat diagnose gangguan disintegrasi.

Adanya pikiran irasional yang menjadi penyebab para orang tua sangat mudah merasa khawatir dan cemas dengan kondisi anak sehingga melalui konseling kelompok para orang tua akan dibantu untuk mengubah berbagai pikiran-pikiran ataupun rasa khawatir yang selama ini dirasakan dengan bantuan anggota kelompok untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dirasakan hal ini sesuai dengan tujuan dari konseling kelompok yang dikemukanan oleh Kumboltz dalam Mashudi, 2012) bahwa tujuan konseling adalah membantu klien membuat keputusan-keputusan. Selain itu, membantu klien memecahkan problem-problemnya, memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan, serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis

Subjek penelitian memperlihatkan penurunan tingkat kecemasan setelah melaksanakankonseling kelompok. Adapun beberapa gejala kecemasan yang dirasakan oleh para peserta berdasarkan hasil observasi dan wawancara adalah jantung berdegub kencang, nafas yang pendek dan tidak beraturan dalam beberapa moment sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Selain itu kualitas tidur memburuk dan sering bermimpi dan terbangun pada malam hari, pada pagi hari tidak bersemangat karena badan yang terasa sakit dan pegal-pegal di beberapa persendian semakin memperburuk kondisi fisik dari subjek penelitian.

Gejala dan pikiran yang dirasakan oleh para subjek ini kemudian dilakukan konseling kelompok pada tahap awal dimana pada tahap orientasi dan eksplorasi para peserta diminta untuk menjelaskan dan mengungkapakan berbagai hal yang dirasakan selama ini. Gejala yang cukup berat yang dirasakan oleh salah seorang peserta seperti siklus menstruasi yang tidak beraturan, kambuhnya beberapa penyakit serta tidak memiliki keberanian untuk bertemu dengam banyak orang yang mengakibatkan fungsi sosialnya tidak berjalan dengan baik. Selain itu beberapa gejala fisik yang dirasakan mengakibatkan kualitas fisik dan kesehatan menurun dan berdampak pada keadaan pikiran suasana hati para orang tua dalam menjalankan berbagai aktivitas. Sulitnya untuk menemukan konselor yang profesional dikarenakan tempat penelitian yang masih kurangnya lulusan psikolog.

Menurut Corey 2013) setelah tahap konseling kelompok eksplorasi para subjek akan diarahkan untuk dapat menemukan penyebab yang membuat para subjek mengalami kecemasan kemudian para peserta akan menganalisis penyebab yang dirasakan ini secara bersama-sama untuk menemukan solusi atas permasalahan yang ada di dalam kelompok. Selanjutnya para peserta akan diminta untuk mengeluarkan pendapat masing-masing terkait cara ataupun alternatif yang digunakan untuk menurunkan kecemasan yang dirasakan, sehingga tujuannya para anggota lainnya dapat mengambil contoh dari pendapat yang telah disampaikan untuk digunakan memecahkan persoalan dalam kelompok.

Keterbatasan Penelitian

Selain keberhasilan dan akurasi temuan data dalam penelitian bergantung pada berbagai faktor dan aspek. Maka penelitian ini tentunya memiliki keterbatasan yaitu a) penggunaan aitem skala yang relative banyak sehingga membutuhkan proses lama dalam penggalian data. b) sulitnya mengatur jadwal yang tepat karena kesibukan orang tua dan kegiatan sekolah.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dari penelitian dapat disimpulkan bahwa perbandingan tingkat kecemasan antara orang tua yang diberikan konseling kelompok dan orang tua yang tidak diberi konseling kelompok dimana tingkat kecemasan kelompok eksperimen setelah diberi konseling kelompok lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi konseling kelompok. Konseling kelompok dapat menurunkan kecemasan pada orang tua anak berkebutuhan khusus dengan adanya perbedaan tingkat kecemasan pada orang tua sebelum dan sesudah diberikan konseling menunjukkan bahwa adanya penurunan tingkat kecemasan setelah diberikan konseling kelompok dan penurunan selama 14 hari setelah konseling kelompok. Subjek yang mengalami penurunan skor kecemasan mengalami perubahan psikologis yaitu: menjadi lebih tenang, istirahat yang berkualitas serta menjadi lebih rileks dan termotivasi dengan baik. Selain itu, subjek penelitian menemukan kekuatan dari kekuatan kelompok selama proses konseling.

Berdasarkan hasil dari penelitian, peneliti memberikan beberapa saran yang didasarkan dari evaluasi penelitian. Saran yang diberikan dapat digunakan sebagai acuan dan bahan pertimbangan bagi beberapa pihak seperti peneliti selanjutnya, responden penelitian, serta instansi terkait. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk mempertimbangkan skala pengukuran yang akan digunakan sehingga dapat mengurangi waktu dalam proses pengambilan data. Bagi peneliti juga dapat mempertimbangkan waktu yang tepat pada saat mengatur jadwal pertemuan dengan orang tua agar mendapatkan waktu yang tepat pada saat proses konseling kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Amelasasih , P. 2016). Resiliensi orangtua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus. Psikosains, 11 2),                                        72–81.

https://doi.org/10.30587/psikosains.v11i2.638

Chrisnawati, G., & Aldino, T. 2019). Aplikasi pengukuran tingkat kecemasan berdasarkan skala HARS berbasis android. Jurnal Teknik Komputer, V 2), 277–282. https://doi.org/10.31294/jtk.v4i2

Corey, G. 2013). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. PT Refika Aditama; Bandung.

Danino, M., & Shechtman, Z. 2012). Superiority of group counseling to individual coaching for parents of children with learning disabilities. Psychotherapy Research,             22 5),             592–603.

https://doi.org/10.1080/10503307.2012.692953

Douma, M., Stam H, M., Gorter, B., Krol, Y., Varkleij, M., Grootenhuis, M, A. 2020). Online psychosocial group intervention for parent: Positive effects on anxiety and depression. Journal of Pediatric Psychology, 46 2), 123–134

Gunarsa, S. D. 2008). Psikologi perawatan. Gunung Mulia.

Gupta, A., & Singhal, N. 2004). Persepsi positif orang tua terhadap anak penyandang disabilitas. Jurnal Rehabilitasi Cacat Asia Pasifik, 15 1), 22–35.

Hawari, D. 2001). Manajemen stres cemas dan depresi. Balai penerbit KKUI.

Hidayati, F., Kaloeti, D. V. S., & Karyono. 2011). Peran ayah dalam pengasuhan anak. Jurnal Psikologi Undip, 9 1), 1–10. https://doi.org/10.14710/jpu.9.1.

Indrayani, A., & Santoso, A. 2012). Hubungan pendidikan kesehatan dengan kecemasan orang tua pada anak hospitalisasi. Jurnal Nursing Studies, 1 1), 163–168. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jnursing/articl e/view/445/444

Kustiani, R. 2019). Survei penyandang disabilitas 2020 pakai metode baru, apa itu? https://difabel.tempo.co/read/1237348/survei-penyandang-disabilitas-2020-pakai-metode-baru-apa-itu

Latipun. 2008). Psikologi konseling. UMM Press.

Mashudi, F. 2012). Psikologi konseling. IRCiSoD.

Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2018). Psikologi abnormal edisi kesembilan jilid 1. Erlangga.

Pradipta, S. 2014). Stop minder dan grogi. Araska.

Rahmanawati, F. Y., & Wibowo, D. S. 2017). Resiliensi keluarga dengan anak gangguan disintegratif melalui konseling kelompok. Jurnal Insight Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember, 13 1), 11–26. https://doi.org/10.32528/ins.v13i1.579

Ramaiah, S. 2003). Kecemasan bagaimana mengatasi penyebabnya. Pustaka Populer Obor.

Rasimin., & Hamdi, M. 2018). Bimbingan dan konseling kelompok. PT. Bumi Aksara.

Rayan, A. & Ahmad, M. 2016). Effectiveness of mindfulness-based interventions on quality of life and

positive reappraisal coping among parents of children with autism spectrum disorder. Research in Developmental Disabilities, 55, Pages 185-196. https://doi.org/10.1016/j.ridd.2016.04.002.

Saddock, B. J., & Saddock, V. A. 2007). Kaplan and saddock’s synopsis of psychiatry: Behavioral science/clinical psychiatry 10th ed). Lippincott Williams & Wilkins.

Shechtman, Z. 2007).   Group   counseling and

psychotherapy with children and adolescents. Mahwah, NJ.

Tsitsi, T., Charalambous, A., Papastavrou, E., Raftopoulos, V. 2017). Effectiveness of a relaxation intervention progressive muscle relaxation and guided imagery techniques) to reduce anxiety and improve mood of parents of hospitalized children with malignancies:

A randomized controlled trial in Republic of Cyprus and Greece. Journal of Oncology Nursing. 26, 9-18

Utama, A, W. 2019). Konseling kelompok untuk meningkatkan resiliensi pada orangtua dengan HIV/AIDS. Tesis. Fakultas Psikologi Universitas Mercua Buana Yogyakarta.

Winarsih, S., Jamals’s, H., Asiah, A., Idris, F. H., Adnan, E., Prasojo, B., Tan, I., Masyhuri, A. A., Syafrizal., Madjid, S., Hasnul, N., Riyanto, A., Bunawan, L., Rukiyah, C., & Sembada, I. K. 2013). Panduan penanganan anak berkebutuhan khusus bagi pendamping orang tua, keluarga, dan masyarakat). Kementerian   Pemberdayaan Perempuan   dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia.

LAMPIRAN

Table 1 Desain Eksperimen Pretest-posttest control group design

Kelompok

Pretest

Perlakuan

Posttest

Follow up

KE

O1

X

O2

O3

KK

O4

O5

O6

Keterangan:

KE    : Kelompok Ekperimen

KK     : Kelompok Kontrol

O1     : Pretest skala kecemasan

X      : Konseling Kelompok

O2      : Posttest skala kecemasan

O3     : Follow up

O4     : Pretest skala kecemasan

O5     : Posttest skala kecemasan

O6      : Follow up

Tabel 2. Hasil Analisis Deskriptif Kelompok Eksperimen

Nama

Pretest

Kategori

Posttest

Kategori

Followup

Kategori

YK

17

Ringan

14

Ringan

8

tidak ada kecemasan

EK

20

Ringan

18

Ringan

12

tidak ada kecemasan

AR

24

Sedang

20

Ringan

14

tidak ada kecemasan

KR

21

Sedang

18

Ringan

13

tidak ada kecemasan

RN

29

Berat

26

Sedang

20

Ringan

Tabel 3. Hasil Analisis Deskriptif Kelompok Kontrol

Nama

Pretest

Kategori

Posttest

Kategori

Followup

Kategori

AA

14

Ringan

14

Ringan

20

Ringan

BB

17

Ringan

18

Ringan

21

Sedang

CC

22

Sedang

21

Sedang

21

Sedang

DD

25

Sedang

25

Sedang

28

Berat

EE

20

Sedang

28

Berat

28

Berat

Tabel 4. Deskripsi Data Statistik Kecemasan

Kelompok Eksperimen       Kelompok Kontrol

min

max

Mean rank

SD

min

max

Mean rank

SD

Pretest

17

29

6,20

4,550

14

28

4,80

4,278

Posttest

14

26

4,90

4,382

14

28

6,10

5,541

Follow up

8

20

3,10

4,336

20

28

7,90

4,037

Grafik 1. Perbandingan Skor Kecemasan

Tabel 5 Mann Whitney Test

Pretest

Posttest

Follow up

Mann-

Whitney U

9.000

9.500

.500

Z

-.736

-.636

-2.530

Exact Sig

.548

.548

.008

Tabel 6. Wilcoxon Signed Range Test

(KE_Pretest) dan (KE_Posttest)

(KE_Posttest) dan (KE_Followup)

Z

-2.060

-2.121

Asymp.

.039

.034

Sig

195