Jurnal Psikologi Udayana

2022, Vol.9, No.2, 148-155


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607 DOI: 10.24843/JPU/2022.v09.i02.p05

Work Family Conflict Dan Psychological Well-Being pada istri yang berkarir di Toraja Utara

Irsah Bunga Lembang dan Arthur Huwae

Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]

Abstrak

Tanggung jawab dalam keluarga merupakan hal yang wajib untuk dipenuhi setiap anggotanya. Salah satu tanggung jawab utama seorang ibu yaitu untuk mengurus suami, anak dan pekerjaan rumah tangga. Namun, saat ini peran ibu tidak lagi hanya sekedar mengurusi rumah tangga saja, melainkan juga mencari nafkah untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari agar mencapai kesejahteraan dalam keluarga. Hal ini juga banyak dilakukan oleh ibu yang berada di Toraja Utara, dimana banyak ibu yang saat ini menjalankan peran ganda sebagai istri dan juga sebagai wanita karir. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan hubungan antara work family conflict dan psychological well-being pada istri yang berkarir di Toraja Utara. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel non probability snowball sampling. Jumlah sampel sebanyak 52 istri yang berkarir di Toraja Utara. Skala yang digunakan terdiri dari skala work family conflict dan skala psychological well-being. Hasil penelitian membuktikan bahwa hipotesis ditolak artinya tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara work family conflict dan psychological well-being.

Kata kunci: psychological well-being, work family conflict, istri yang berkarir di Toraja Utara

Abstract

Responsibilities in the family are mandatory for each member to fulfill. One of the main responsibilities of a mother is to take care of her husband, children and household chores. However, currently the role of the mother is no longer just taking care of the household, but also making a living to help meet daily needs in order to achieve prosperity in the family. This is also widely done by mothers who are in North Toraja, where many mothers are currently carrying out dual roles as wives and also as career women. The study aims to reveal the relationship between work family conflict and psychological well-being in wives who have a career in North Toraja. The study used quantitative methods with non-probability snowball sampling techniques. The sample number of 52 wives who had a career in North Toraja. The scale used consists of the work family conflict scale and the psychological well-being scale. The results proved that the hypothesis was rejected meaning that there was no significant negative relationship between work family conflict and psychological well-being.

Keywords: psychological well-being, work family conflict, wife career in North Toraja.

LATAR BELAKANG

Keluarga merupakan suatu kumpulan orang yang terdiri dari dua atau lebih yang hidup bersama, dimana memiliki keterikatan aturan dan emosional disertai dengan perannya masing-masing (Yasa & Fatmawati, 2020). Umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah berperan sebagai pemimpin keluarga, pencari nafkah, pendidik, pelindung, pemberi rasa aman kepada anggota keluarga, dan sebagai anggota masyarakat. Ibu berperan sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik pelindung keluarga, dan sebagai anggota masyarakat. Sedangkan anak berperan sebagai pelaku psikososial dengan perkembangan fisik, mental, sosial dan spiritual. Sebuah keluarga dapat dikatakan sejahtera apabila mampu mengimbangkan antara tuntutan pekerjaan dan peran utamanya sebagai anggota keluarga (Pamintaningtiyas & Soetjiningsih, 2020).

Di Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan nampaknya perempuan yang telah berkeluarga tidak hanya berfokus untuk mengurus keluarga di rumah, melainkan banyak juga yang memilih untuk menjalankan dua peran sekaligus yaitu sebagai ibu rumah tangga dan menjadi wanita karir dalam kaitan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan lainnya. Perempuan Toraja memegang peranan penting dan kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam keluarga, adat, dan sistem ekonomi (Paembonan & Vida, 2019). Oleh karena itu, tidak berlaku diskriminasi gender bagi perempuan Toraja. Selain itu, perempuan Toraja juga sudah dari kecil dididik menjadi perempuan dengan tipe pekerja keras, salah satunya yaitu karena adanya tuntutan hidup di lingkungan budaya yang tidak hanya memfokuskan mata pencaharian untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan adat yang cukup memerlukan banyak biaya diantaranya yaitu Rambu Solo’ (upacara pemakaman) dan Rambu Tuka’ (upacara pernikahan). Berjalannya waktu, tuntutan-tuntutan tersebut mengakibatkan banyaknya wanita-wanita Toraja memilih untuk berkarir mulai dari menjadi pegawai negeri sipil, pegawai swasta, maupun wirausaha. Bahkan menurut penelitian dari Paembonan dan Vida (2019) yang menyatakan bahwa saat ini terdapat enam perempuan yang menduduki posisi sebagai kepala dinas dan camat di Kabupaten Toraja Utara.

Hal ini dapat dilihat dari fenomena istri yang berkarir di Toraja Utara, dimana berdasarkan hasil asesmen awal terhadap beberapa istri yang menjalankan peran ganda, menyatakan bahwa alasan memilih untuk menjalankan peran ganda yaitu sebagai seorang istri yang mengurus rumah tangga sekaligus istri yang berkarir, ialah selain menghabiskan waktu dan mengurus keluarga di rumah, juga ingin membantu perekonomian dan kebutuhan keluarga sehingga dapat terpenuhi dengan baik. Informan juga mengungkapkan bahwa hidup sebagai Suku Toraja tidak hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja, melainkan juga memiliki tuntutan untuk memenuhi kebutuhan adat yang diwariskan secara turun-temurun. Dampaknya, sering kali menimbulkan suatu tekanan terhadap diri sendiri karena waktu bersama keluarga menjadi terbatas dan pekerjaan rumah yang sering kali tidak terselesaikan dengan baik, sehingga saat pulang kerja dan melihat pekerjaan rumah yang belum selesai, membuat rasa lelah sepulang kerja menjadi bertambah dan

sesekali lebih mudah emosi dan melampiaskan kepada anggota keluarganya. Walaupun demikian, partisipan menganggap bahwa hal tersebut tetap merupakan tanggung jawab yang telah dipilih dan dijalankan dengan sukacita karena dengan begitu bisa membantu suami untuk memenuhi perekonomian dan kebutuhan keluarga maupun kebutuhan lainnya.

Memilih untuk berkarir bagi wanita yang sudah menikah dapat menimbulkan beberapa dampak, baik bagi karir yang dijalani maupun bagi keluarga. Berdasarkan hasil penelitian dari Anggarwati dan Thamrin (2019) mengungkapkan bahwa istri yang bekerja akan berisiko untuk sulit memenuhi kebutuhan keluarga termasuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, apabila memiliki anak dibawah usia 18 tahun yang masih sangat membutuhkan pengawasan orang tua khususnya ibu. Istri juga akan cenderung bekerja keras dua kali lipat untuk membagi atensi pada pekerjaan dan keluarga. Tentunya bagi istri yang memutuskan untuk berkarir, akan mendapatkan manfaat bagi dirinya sendiri dan anggota keluarga lainnya termasuk suami dan anak. Syntia (2016) menyebutkan bahwa efek tambahan yang berdampak pada perasaan well-being dan tercapainya psychological well-being dari ibu yang bekerja, bersumber dari pengetahuan yang didapatkan dalam pekerjaan, upah yang diterima, mampu tidak ketergantungan secara finansial, perasaan mandiri untuk membantu dalam memenuhi kebutuhan anak dan urusan rumah tangga, serta mampu meningkatkan kesehatan mental dari efek rehabilitatif yang diberikan.

Psychological well-being dapat digambarkan sebagai kemampuan seorang istri pada penerimaan diri secara apa adanya, mandiri saat berada dalam tekanan sosial, menjalin hubungan baik dengan orang lain, mampu mengendalikan lingkungan eksternal, mampu mengaplikasikan potensi yang dimiliki secara terus menerus serta memiliki makna hidup (Ryff, 1989). Untuk mencapai psychological well-being, individu harus mampu membentuk kekuatan diri berdasarkan enam dimensi dari psychological well-being (Ryff, 1989) yaitu pertama, penerimaan diri (self-acceptance) yang menggambarkan bagaimana seorang istri mampu menerima diri sendiri secara apa adanya dan pengalamannya, sehingga toleransi terhadap frustasi dan pengalaman tidak menyenangkan akan meningkat. Kedua, hubungan positif (positive relation) yang merupakan tingkat kemampuan istri dalam berinteraksi baik dengan orang lain, memiliki kepercayaan dalam hubungan interpersonal, serta memiliki rasa yang kuat pada cinta dan kasih sayang yang diungkapkan melalui perasaan empati. Ketiga, tujuan hidup (purpose in life) dimana istri yang memiliki wawasan positif tentunya akan memiliki kehendak dan tujuan hidup yang lebih terarah serta berkontribusi pada perasaan akan keberartian hidup. Keempat, penguasaan lingkungan (environmental mastery) dimana seorang istri yang mampu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis disebabkan karena bisa mengendalikan penguasaan lingkungannya. Kelima, otonomi (autonomy) yang merupakan tingkat kemampuan istri dalam penentuan nasib dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan perilaku internal dirinya sendiri. Keenam, pertumbuhan pribadi (personal growth) yang merupakan tingkat kemampuan seorang istri dalam mengembangkan potensi secara terus-menerus, dan menumbuhkan serta memperluas diri sebagai manusia.

Psychologicall well-being akan terbentuk dalam diri individu apabila dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang diungkapkan oleh penelitian Ryff, Singer, dan Schmutte (dalam Rohma & Syah, 2019) yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, religiusitas dan dukungan sosial. Adapun faktor yang akan dikaji berkaitan psychological wellbeing pada istri yang berkarir ialah work family conflict (Indriani & Sugiasih, 2016). Work family conflict dialami istri yang berkarir karena adanya ketidakcocokan antara tekanan di tempat kerja dan di rumah serta tuntutan harapan (Indriani & Sugiasih, 2016). Istri yang memiliki peran ganda dan tidak sejalan karena salah satu peran menuntut perhatian yang lebih akan mengakibatkan work family conflict.

Work family conflict sendiri dikonsepkan sebagai suatu keadaan konflik antar peran dimana tuntutan peran di pekerjaan dan di rumah saling bertentangan satu sama lain (Greenhaus & Beutell, 1985). Work family conflict dapat terjadi apabila istri mengalami beberapa hal berdasarkan dimensi work family conflict (Greenhaus & Beutell, 1985) diantaranya yaitu pertama, konflik berdasar perilaku (behavior-based conflict) dimana perilaku tertentu yang diperlukan seorang istri dalam satu peran kemungkinan tidak cocok untuk peran lain. Konflik akan semakin besar terjadi apabila seorang istri tidak mampu menyesuaikan perilaku saat menghadapi peran yang berbeda. Kedua, konflik berdasarkan waktu (timed-based conflict) dimana waktu yang diperlukan istri untuk menjalankan peran sebagai wanita karir dapat mengurangi waktunya untuk menjalankan perannya dalam keluarga, begitupun sebaliknya. Ketiga, konflik berdasar tegangan (strain-based conflict) dimana terjadi apabila tekanan dari salah satu peran yang dijalankan istri mempengaruhi kinerja saat menjalankan peran lainnya, seperti kehadiran anak yang baru lahir, kecemasan, ketegangan, kelelahan dan ada atau tidaknya dukungan sosial dari anggota keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985).

Work family conflict yang terjadi dan tidak terselesaikan dengan baik, akan memberikan dampak yang lebih buruk terhadap individu itu sendiri maupun organisasi. Secara individual dampaknya tidak hanya terlihat pada gangguan kesehatan yang bisa saja dialami oleh seorang istri, melainkan berdampak pada berkurangnya kepuasan istri baik dalam kehidupan rumah tangga maupun bekerja serta ketidakharmonisan dengan anggota keluarga lainnya (Hasanah & Ni’matuzahroh, 2018; Aisyah et al., 2011). Sedangkan dampak dari sisi organisasi ialah work family conflict mengakibatkan berkurangnya komitmen karyawan pada pekerjaan yang akhirnya dapat mendorong perputaran tenaga kerja yang tinggi pada organisasi (high turnover) (Hasanah & Ni’matuzahroh, 2018).

Ketika istri memilih untuk bekerja jangan sampai ada konflik. Adanya konflik dalam keluarga yang tidak dapat dijalani dan dikontrol dengan baik tentunya akan menyebabkan kurangnya psychological well-being khususnya dalam keluarga dan peran utama ibu dalam keluarga tidak dapat terealisasi dengan maksimal. Perlu diketahui bahwa ketidakmampuan mengimbangi antara pekerjaan rumah dan bekerja mengakibatkan peran utama seorang ibu tidak dapat terealisasikan dengan baik (Hapsari, 2020). Namun apabila istri mampu mengimbangi antara pekerjaan dan peran utamanya sebagai istri tentunya akan membantu untuk meningkatkan kesejahteraan psikologisnya juga. Hal ini sejalan dengan yang

diungkapkan oleh Anggarwati dan Thamrin (2019) bahwa istri yang memilih menjadi wanita karir dapat membuat dirinya mengaktualisasi diri, dan memiliki keyakinan akan pencapaian psychological well-being yang dapat memberikan makna dan arah bagi kehidupan guna memenuhi kebutuhan keluarga.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indriani dan Sugiasih (2016) menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara work family conflict dan psychological wellbeing pada karyawati PT. SC Enterprises Semarang. Work family conflict karyawati tersebut berada pada kategori tinggi dan psychological well-being yang ada termasuk dalam kategori rendah, karena karyawati cenderung akan dilema antara kepentingan keluarga dan kebutuhan untuk bekerja, merasa sangat lelah karena dituntut untuk menjalankan dua peran dan tidak dapat menyeimbangkannya dengan baik, tidak dapat mengurus anak dan suami secara total dan kurangnya waktu bersama suami yang dapat mengakibatkan perselingkuhan. Begitupun dengan hasil penelitian dari Pamintaningtiyas dan Soetjiningsih (2020) terhadap ibu yang bekerja sebagai perawat di RS Sumber Kasih Cirebon, menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara work family conflict yang rendah dengan psychological well-being yang tinggi. Namun berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Dziak, Janzen, dan Muhajarine (2010) terhadap ibu yang bekerja di Kanada, yang menemukan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara work family conflict dengan psychological well-being karena pekerjaan yang dijalani justru membuat ibu yang bekerja merasa mendapatkan gaji yang memadai guna memenuhi kebutuhan hidup dan asuransi kesehatan yang menjamin. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa apabila dalam keluarga memiliki perekonomian yang memadai, maka akan mengurangi tekanan psikologis dalam keluarga termasuk ibu yang bekerja (Dziak et al., 2010).

Di era digitalisasi saat ini memiliki tantangan yang semakin besar, mengakibatkan banyaknya kebutuhan yang harus terpenuhi demi kesejahteraan keluarga, sehingga banyak istri yang memilih untuk berkarir sekaligus menjadi ibu rumah tangga termasuk pada istri yang berada di Toraja Utara. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana keterkaitan antara work family conflict dan psychological wellbeing pada istri yang berkarir di Toraja Utara. Beranjak dari dinamika yang telah diuraikan, mengakibatkan perlu adanya tinjauan ulang oleh peneliti antara work family conflict dengan psychological well-being. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara work family conflict dengan psychological well-being pada istri yang berkarir di Toraja Utara. Sedangkan, hipotesis penelitian yaitu terdapat hubungan negatif antara work family conflict dengan psychological well-being pada istri yang berkarir di Toraja Utara. Semakin rendah work family conflict yang terjadi, maka akan semakin meningkatnya psychological well-being istri yang berkarir di Toraja Utara. Sebaliknya, semakin tinggi work family conflict yang terjadi, maka akan semakin rendahnya pencapaian psychological well-being istri yang berkarir di Toraja Utara.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan desain korelasional untuk mengetahui hubungan antara work family conflict (X) dengan psychological well-being (Y) khususnya pada istri yang berkarir di Toraja Utara.

Partisipan Penelitian

Partisipan yang dilibatkan sebanyak 52 istri yang berkarir di Toraja Utara dengan menggunakan teknik non probability snowball sampling, yaitu teknik pengambilan dan penentuan sampel yang awalnya data dalam jumlah sedikit kemudian akan bertambah semakin banyak (Sugiyono, 2017). Digunakannya teknik snowball sampling karena tidak semua istri di Toraja Utara menjalankan peran sebagai wanita karir, sehingga keterlibatan partisipan yang berkarir diperluas dari partisipan yang satu ke partisipan yang lain sesuai dengan kriteria penelitian. Adapun pertimbangan peneliti dalam penelitian ini yaitu istri berkarir yang berdomisili di Kabupaten Toraja Utara. Seluruh partisipan yang terlibat dalam penelitian ini, sebelumnya diminta untuk mengisi lembar persetujuan (informed consent) yang berkaitan dengan prosedur pelaksanaan penelitian. Untuk data demografi partisipan, terlampir pada Tabel 1.

Skala Pengukuran

Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan skala psikologi yang terdiri dari dua, yaitu skala work family conflict dan skala psychological well-being. Work family conflict diukur menggunakan Work Family Conflict Scale berdasarkan tiga dimensi yang diutarakan oleh Greenhaus dan Beutell (1985) yaitu time-based conflict, strain-based conflict, dan behaviourbased conflict. Skala work family conflict kemudian dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan karakteristik partisipan, sehingga terdapat 18 item dengan menggunakan lima respons jawaban dari skala Likert, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Salah satu contoh item dari skala work family conflict yaitu “Waktu yang dihabiskan dalam bekerja, membuat saya kurang bertanggung jawab dalam urusan rumah tangga”. Dari hasil pengujian, diperoleh nilai seleksi item total pada skala work family conflict yang berkisar dari 0,491-0,737 dengan nilai Alpha Cronbach 0,929 (sangat reliabel).

Psychological well-being diukur menggunakan Psychological Well-Being Scale dari Ryff (1989) yang terdiri dari enam dimensi yaitu self-acceptance, positive relations, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth. Skala psychological well-being kemudian dimodifikasi sesuai dengan karakteristik partisipan. Pada skala psychological well-being terdapat 24 item pernyataan dengan menggunakan lima respons jawaban dari skala Likert, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Salah satu contoh item dari skala psychological well-being yaitu “Bagi saya sebagai seorang istri berkarir, hidup adalah proses yang berkelanjutan dalam hal belajar, berubah, dan berkembang”. Dari hasil pengujian, diperoleh nilai seleksi item total pada skala psychological well-being yang berkisar dari 0,321-0,740 dengan nilai Alpha Cronbach 0,898 (sangat reliabel).

Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui uji deskriptif statistik, uji asumsi (uji normalitas dan uji linieritas). Setelah itu, dilakukan uji hipotesis menggunakan korelasi product moment dari Karl Pearson untuk mengetahui hubungan antara work family conflict dengan psychological well-being. Pengujian semua data penelitian menggunakan bantuan program SPSS version 21 for window.

HASIL PENELITIAN

Analisis Deskriptif

Pada Tabel 2, skor work family conflict yang diperoleh oleh istri yang berkarir di Toraja Utara, sebagian besar berada pada kategori rendah dengan persentase 44%. Sedangkan, skor psychological well-being istri yang berkarir di Toraja Utara, sebagian besar berada pada kategori tinggi dengan persentase 56%.

Tabel 2. Kategorisasi Variabel Penelitian

Variabel

Rata-rata

SD

%

Keterangan

Work family conflict

41,13

13,025

44%

Rendah

Psychological well-being

69,86

9,106

56%

Tinggi

Uji Asumsi Normalitas dan Linieritas

Dari hasil uji normalitas, diperoleh nilai K-S-Z dari variabel work family conflict sebesar 0,843 dengan signifikansi 0,475 (p>0,05). Pada variabel psychological well-being, diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,698 dengan signifikansi 0,714 (p>0,05). Nilai signifikan yang kurang dari 0,05 menunjukkan bahwa kedua variabel berdistribusi normal. Selanjutnya, dari hasil uji linieritas diperoleh nilai signifikan Fdeviation from linearity sebesar 0,950 (p>0,05), yang menunjukkan hubungan work family conflict dan psychological well-being istri yang berkarir di Toraja Utara adalah linier.

Uji Hipotesis

Dari hasil perhitungan uji korelasi pada Tabel 3, diperoleh nilai Pearson Correlation sebesar -0,143 dengan signifikansi 0,156 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara work family conflict dan psychological well-being pada istri yang berkarir di Toraja Utara.

Tabel 3. Uji Korelasi

WFC

PWB

Pearson Correlation

1

-0,143

WFC     Sig. (1-tailed)

0,156

N

52

52

Pearson Correlation

-0,143

1

PWB     Sig. (1-tailed)

0,156

N

52

52

PEMBAHASAN

Hasil penelitian membuktikan hipotesis yang diajukan ditolak, yang berarti tidak adanya hubungan negatif signifikan antara work family conflict dengan psychological well-being. Hal ini berarti bahwa kemampuan istri dalam memahami dan menyadari penyebab serta cara mencegah work family conflict nampaknya tidak menjadi faktor yang berhubungan dengan meningkatnya psychological well-being. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya dari Obrenovic et al. (2020) yang menemukan bahwa tidak adanya keterhubungan secara signifikan antara work family conflict dengan psychological well-being.

Bila ditinjau, dinamika psychological well-being yang ditunjukkan oleh istri yang berkarir berada pada kategori tinggi yang mengarah pada kemampuan seorang istri yang berkarir dalam mengendalikan setiap situasi yang terjadi dalam keluarga, kemudian menikmati apa yang didapatkan dari hasil pekerjaannya yang kembali mampu meningkatkan kepuasan dalam diri dan berdampak positif pada psychological wellbeing. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Farradinna et al. (2020) bahwa perempuan yang menjalankan peran sebagai wanita karir dapat mempertimbangkan segala hal dengan begitu baik, sehingga tidak berisiko pada hal-hal lain di luar karirnya. Hal ini mendukung apa yang dipaparkan oleh Puspitasari et al. (2013) bahwa pekerjaan yang dijalani justru membuat ibu yang bekerja merasa mendapatkan gaji yang memadai guna memenuhi kebutuhan hidup dan asuransi kesehatan yang menjamin, serta tercapainya kesejahteraan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa apabila dalam keluarga memiliki perekonomian yang memadai, maka akan mengurangi tekanan psikologis dalam keluarga termasuk ibu yang bekerja (Dziak et al., 2010). Ibu yang bekerja memengaruhi stabilitas ketahanan ekonomi keluarga, sehingga pemenuhan kebutuhan keluarga juga dapat terpenuhi dengan baik (Azizah & Salam, 2021).

Tingginya psychological well-being yang dicapai oleh istri yang berkarir di Toraja Utara, memberikan pemahaman positif dimana istri berkarir dapat menerima dirinya sebagai bagian dari tanggung jawab keluarga Toraja untuk mengambil peran dalam melaksanakan setiap tugas dan fungsi. Seperti yang diungkapkan oleh Rahmawati, Nyaphisi, dan Saripudin (2021) bahwa penerimaan diri yang positif dari wanita yang menajalankan peran ganda akan membantunya merealisasi setiap tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Kemampuan lain yang diwujudkan oleh istri yang berkarir di Toraja Utara sebagai bentuk implementasi pencapaian psychological well-being yaitu membangun hubungan postif. Husniyati (2021), mempertegas bahwa problematika yang dihadapi seorang wanita karir tidaklah mudah, namun semua itu bisa diatasi apababila individu dapat membangun hubungan yang baik dan empati yang tinggi dengan orang-orang sekitar. Kondisi ini bila dikaitkan dengan hasil penelitian, menunjukkan bahwa istri yang berkarir di Toraja Utara dapat mewujudkan psychological well-being melalui hubungan baik yang positif.

Setiap istri yang berkarir di Toraja Utara, nampaknya juga memiliki tujuan hidup yang positif sehingga membantunya mencapai psychological well-being. Sebagai bagian dari suku Toraja yang menjalankan tradisi atau budaya Toraja yang mewajibkan setiap keluarga harus melakukan ritual-ritual keagamaan, sehingga membutuhkan finansial yang memadai.

Hal inilah yang bisa menjadi salah satu pemicu bagi istri di Toraja Utara memilih untuk berkarir demi mencapai tujuan hidup dalam tradisi tersebut. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Karam dan Afiouni (2021) bahwa pola karir bagi seorang perempuan dapat membantunya menentukan arah atau langkah dan tujuan untuk menjalankan peran dalam pekerjaan. Apabila pola karir yang dijalankan secara tepat, maka pengaktualisasian untuk mencapai psychological well-being dapat terwujud dengan optimal.

Bentuk pencapaian psychological well-being yang tinggi ditunjukkan oleh istri yang berkarir di Toraja Utara, terealisasi juga melalui kemampuan menentukan nasib sebagai individu yang menjalankan peran ganda. Penggambaran positif ini mengarah pada kemampuan yang baik akan setiap konsekuensi yang diterima dari setiap keputusan yang diambil. Keputusan untuk memiliki nilai otonomi pada diri sendiri didukung oleh pandangan Nuzuli dan Sunata (2022) bahwa istri harus memiliki otonomi dalam dirinya sebagai bentuk kedewasaan dan kemandirian, yang kemudian akan mengarahkannya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, dan tetap menjaga keharmonisan keluarga.

Realisasi diri sebagai individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi, nampaknya memberikan potret positif tentang pertumbuhan dan pengembangan potensi diri dari istri yang berkarir di Toraja Utara. Belajar memahami kondisi keluarga dan adat yang berlaku di lingkungan tempat tinggal, membuat istri yang berkarir di Toraja Utara terus melakukan inovasi-inovasi positif, namun tetap menjaga harkat dan martabat suami dan keluarga. Keputusan istri untuk berkarir merupakan perwujudan dari kebutuhan aktualisasi diri dalam kaitannya memperkuat eksistensi sebagai wanita karir (Irawati & Hafid, 2019). Rizqi dan Santoso (2022) menambahkan bahwa menjadi seorang wanita karir harus terus melakukan pengembangan potensi diri agar berdampak baik pada kehidupan keluarga, dan karirnya akan tertata secara ideal.

Menjalankan dua peran bagi seorang istri merupakan hal yang tidak mudah dan belum tentu mampu dijalani oleh setiap orang, dan nampaknya bahwa keberhasilan istri dalam menjalankan dua peran menjadikannya sebagai seorang istri dalam menginvestasikan waktu yang seimbang antara keluarga dan pekerjaan (Lin et al., 2019). Charkhabi et al. (2016) mengungkapkan bahwa istri yang berkarir menyiapkan sarana diri melalui penerimaan diri, hubungan yang positif, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, otonomi dan pertumbuhan diri yang lebih baik, sehingga mudah merealisasikan pencapaian psychological well-being.

Apabila diamati dari proses kehidupan yang terjadi di Toraja Utara, saat ini sudah banyak istri yang menjalankan dua peran yaitu sebagai istri yang berkarir dan juga menjadi ibu rumah tangga. Hal ini ditunjukkan karena kehidupan di Toraja Utara tidak hanya dituntut untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saja, melainkan juga harus memenuhi kebutuhan adat yang memakan biaya tidak sedikit, seperti Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. Oleh karena itu, istri yang ada di Toraja banyak yang mengambil alih untuk berkarir membantu suami dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan adat. Paembonan dan Vida (2019) mengungkapkan bahwa perempuan di Toraja telah dididik sejak dini untuk turut bekerja keras agar terbiasa dalam menghadapi kehidupan di Toraja Utara yang memakan biaya tidak sedikit, sehingga perempuan

Toraja memegang peranan penting dan kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam keluarga, adat, dan sistem ekonomi.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap istri yang berkarir di Toraja Utara, menyebutkan bahwa istri yang berkarir di Toraja Utara cenderung menjalankan peran ganda yakni sebagai istri dan berkarir bukanlah merupakan salah satu faktor yang mampu menimbulkan konflik dalam keluarga dan memengaruhi psychological well-being. Istri yang berkarir di Toraja Utara merasa bahwa menjalankan dua peran sekaligus merupakan jalan yang mereka pilih dan disepakati dalam keluarga demi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan adat yang berlaku di Toraja Utara dimana memerlukan biaya yang tidak sedikit. Kondisi ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Suniati et al. (2021) bahwa istri yang berkarir tetap dapat menjalankan tugas di dalam keluarga, karena memiliki manajemen sumber daya keluarga yang baik.

Menjalani dua peran bagi istri di Toraja Utara, dianggap efektif karena adanya tuntutan yang harus dipenuhi dalam keluarga dan sosial. Individu yang mampu memenhi setiap kebutuhan dengan baik akan mengarah pada pencapaian psychological well-being yang baik (Kelly et al., 2014). Upaya untuk meningkatkan psychological well-being istri yang sedang berkarir nampaknya bukan karena manajemen work family conflict yang baik, melainkan adanya dukungan penuh keluarga atas apa yang dilakukan oleh istri saat sedang berkarir. Keberhasilan untuk mencapai psychological well-being pada istri yang berkarir di Toraja juga dapat disebabkan karena faktor usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, religiositas dan dukungan sosial budaya (Panatik et al., 2011; Lin et al., 2019; Indriani & Sugiasih, 2016).

Meskipun work family conflict tidak memiliki hubungan negatif signifikan dengan psychological well-being, namun tingkat work family conflict yang dimiliki sebagian besar istri berkarir di Toraja Utara tergolong rendah dengan persentase sebesar 44%. Hal ini didasarkan pada kemampuan istri yang berkarir di Toraja Utara yang mampu dalam mengendalikan work family conflict dengan baik, melalui pengendalian terhadap behavior based conflict yaitu perilaku tertentu yang diperlukan seorang istri dalam satu peran kemungkinan tidak cocok untuk peran lain, pengendalian terhadap timed based conflict dimana waktu yang diperlukan istri untuk menjalankan peran sebagai wanita karir dapat mengurangi waktunya untuk menjalankan perannya dalam keluarga, begitupun sebaliknya. Kemudian pengendalian terhadap strain-based conflict, dimana terjadi apabila tekanan dari salah satu peran yang dijalankan istri mempengaruhi kinerja saat menjalankan peran lainnya, seperti kehadiran anak yang baru lahir, kecemasan, ketegangan, kelelahan dan ada atau tidaknya dukungan sosial dari anggota keluarga. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa work family conflict sangat minim dialami oleh istri yang berkarir di Toraja Utara.

Dari hasil pengujian membuktikan bahwa kemampuan seorang istri yang berkarir di Toraja Utara dapat mengendalikan work family conflict. Kondisi ini ditunjukkan oleh kemampuan istri yang berkarir di Toraja Utara yang dapat mengendalikan setiap perilaku-perilaku buruk yang muncul akibat tekanan pekerjaan di kantor maupun pekerjaan di rumah, sehingga tidak berisiko terhadap keharmonisan keluarga. Hal lain yang mampu dikendalikan oleh istri berkarir di Toraja Utara berkaitan dengan work family conflict ialah dapat mengatur waktu dengan

baik. Istri yang berkarir di Toraja Utara dapat menyeimbangkan waktu untuk bekerja sebagai wanita karir di kantor, namun juga melakukan keseimbangan waktu untuk melayani keluarganya, dimana istri yang berkarir di Toraja Utara tetap meluangkan waktu untuk memberikan pengasuhan kepada anak dan pelayanan sebagai istri kepada suami. Pengendalian work family conflict yang dilakukan oleh istri berkarir di Toraja Utara juga tergambarkan dengan baik lewat kemampuan coping mengatasi kelelahan dalam menjalankan peran ganda, sehingga mampu berusaha dan bekerja keras demi membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga maupun kebutuhan adat. Hal ini karena perempuan di Toraja Utara telah dibiasakan sejak dini untuk bekerja keras, sehingga saat sudah berkeluarga dan memilih menjalankan dua peran untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan adat seperti Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’, perempuan Toraja telah mampu mengendalikan dan menjalankan setiap tugas yang dikerjakan termasuk apabila terjadi konflik.

SIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah, tidak terdapat hubungan negatif signifikan antara work family conflict dengan psychological well-being pada istri yang berkarir di Toraja Utara. Kategori work family conflict berada pada kategori rendah, sedangkan psychological well-being berada pada kategori tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa rendahnya work family conflict bukan menjadi fsalah satu aktor yang berhubungan dengan meningkatnya psychological well-being istri yang berkarir di Toraja Utara.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi istri yang berkarir di Toraja Utara, agar dapat memahami esensi dari kemampuan untuk mencapai psychological wellbeing walaupun di tengah banyaknya tuntutan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan adat yang wajib dilakukan oleh setiap masyarakat suku Toraja. Peningkatan psychological well-being pada istri yang berkarir di Toraja Utara dapat diimbangi dengan kemampuan mengendalikan setiap stressor yang muncul dalam keluarga dan fokus dengan tujuan yang akan dicapai. Penelitian ini juga bisa dijadikan sebagai rujukan bagi penelitian selanjutnya, agar dapat merancang penelitian dalam perspektif budaya yang berbeda, guna melihat perbandingan akan seberapa besar pencapaian psychological well-being, apabila dikaitkan dengan faktor-faktor yang memengaruhi psychological well-being.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S., Panatik, B., Khadijah, S., Badri, Z., Rajab, A., & Abdul, H. (2011). The Impact of work family conflict on psychological well-being among school teachers in Malaysia. Procedia: Social and Behavioral  Sciences,  29(1),  1500-1507.

https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2011.11.390

Anggarwati, P. I., & Thamrin, W. P. (2019). Work family-conflict dan psychological well-being pada ibu bekerja. Jurnal Psikologi, 12(2), 200-212.

Azizah, S. N., & Salam, A. N. (2021). Working mother and family economy resilience in the COVID-19 era: Evidence from Indonesia. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen, 14(3), 203215. http://dx.doi.rg/10.24156/jikk.2021.14.3.203

Charkhabi, M., Sartori, R., & Ceschi, A. (2016). Work-family conflict based on strain: The most hazardous type of conflict in Iranian

hospitals nurses. SA Journal of Industrial Psychology, 42(1), 1-10. https://doi.org/10.4102/sajip.v42i1.1264

Dziak, E., Janzen, B. L., & Muhajarine, N. (2010). Inequalities in the psychological well-being of employed, single and partnered mothers: The role of psychosocial work quality and workfamily conflict. International Journal for Equity in Health, 9(6), 2-9. https://doi.org/https://doi.org/10.1186/1475-9276-9-6

Farradinna, S., Halim, F. W., Shahrazad, W., & Sulaiman, W. (2020). How does the impact of work-family enrichment on workfamily conflict and psychological well- being among academics’ female in Indonesia? Test Engineering & Management, 83(3), 26874-26900

Greenhaus, J. H., & Beutell, N. J. (1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Review, 10(1), 76-88. https://doi.org/10.1037/0022-3514.57.6.1069

Hapsari, I. (2020). Konflik peran ganda dan kesejahteraan psikologis pekerja yang menjalani work from home pasca pandemi COVID-19.    Jurnal    Psikologi,     13(1),     37-45.

https://doi.org/10.35760/psi.2020.v13i1.2623

Hasanah, S. F., & Ni’matuzahroh, N. (2018). Work family conflict pada single parent. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni,                     1(2),                     381-398.

https://doi.org/10.24912/jmishumsen.v1i2.972

Husniyati, S. (2021). Sistematic literature review tentang dilematika dan problematika wanita karir: Apakah mendahulukan karir atau rumah tangga terlebih dahulu? Journal of Contemporary Islamic         Counseling,          1(2),         115-126.

https://doi.org/10.15575/jcic.v1i2.80

Indriani, D., & Sugiasih, I. (2016). Dukungan sosial dan konflik peran ganda terhadap kesejahteraan psikologis karyawati PT. SC Enterprises Semarang. Psikologi Proyeksi, 11(1), 46-54.

http://dx.doi.org/10.30659/jp.11.1.46-54

Irawati, A., & Hafid, A. (2019). Ibu berkarir: Kajian fenomenologi terhadap dual career family di Sidorejo Kedungadem Bojonegoro. ATTANWIR: Jurnal Keislaman dan Pendidikan, 10(1),                                                 59-71.

https://doi.org/10.53915/jurnalkeislamandanpendidikan.v10i1 .15

Karam, C. M., & Afiouni, F. (2021). Career constructions a feminist standpoint on the meaning of context. Gender, Work & Organization,               28(2),               672-700.

https://doi.org/10.1111/gwao.12607

Kelly, E. L., Moen, P., Oakes, J. M., Fan, W., Okechukwu, C., Davis, K. D., Hammer, L. B., Kossek, E., King, R. B., Hanson, G. C., Mierzwa, F., & Casper, L. M. (2014). Changing work and work- family conflict: Evidence from the work, family, and health network. American Sociological Review, 73(3), 485516. https://doi.org/10.1177/0003122414531435

Lin, W., Chen, H., Wang, Y., Lin, W., Chen, H., & Wang, Y. (2019). Work-family conflict and psychological well-being of tour leaders: The moderating effect of leisure coping styles workfamily conflict and psychological well-being of tour leaders: The moderating effect of leisure coping styles. Leisure

Sciences,                       0(0),                       1-22.

https://doi.org/10.1080/01490400.2019.1671253

Nuzuli, A. K., & Sunata, I. (2022). Dinamika komunikasi pada keluarga yang memiliki istri berpenghasilan lebih dari suami. Jurnal Komunikasi Profesional, 6(2), 158-168.

Obrenovic, B., Jianguo, D., Khudaykulov, A., & Khan, M. A. S. (2020). Work-family conflict impact on psychological safety and psychological well-being: A job performance model. Frontiers      in      Psychology,       11(1),       1-18.

https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.00475

Paembonan, L. S., & Vida, H. D. (2019). Tinjauan terhadap gaya kepemimpinan perempuan di pemerintah daerah Kabupaten Toraja    Utara.     Jurnal Inada,     2(1),     61-81.

https://doi.org/10.33541/ji.v2i1.1038

Pamintaningtiyas, I. D., & Soetjiningsih, C. H. (2020). Hubungan antara work family conflict dengan psychological well-being pada ibu yang bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Sumber Kasih Cirebon. Psikologi  Konseling,  16(1),  581-589.

https://doi.org/10.24114/konseling.v16i1.19142

Puspitasari, N., Puspitawati, H., & Herawati, T. (2013). Peran gender, kontribusi ekonomi perempuan, dan kesejahteraan keluarga petani hortikultura. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen, 6(1), 10-19. https://doi.org/10.24156/jikk.2013.6.1.10

Rahmawati, R., Nyaphisi, M., & Saripudin, M. (2021). Family education starts from empowering women in communities: Seeing from the relationship between self-acceptance, happiness, and work-family balance. Gagasan Pendidikan Indonesia,                    2(2),                    81-92.

http://dx.doi.org/10.30870/gpi.v2i2.11904

Rizqi, M. A., & Santoso, S. A. (2022). Peran ganda wanita karir dalam manajemen keluarga. Jurnal Manajerial, 09(01), 73-85.

http://dx.doi.org/10.30587/manajerial.v9i01.3483

Rohma, R., & Syah, Ah. (2019). Psychological well-being pada wanita simpanan. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 2(2), 7683.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? explorations on the meaning of psychological well-being. American Journal of Managed        Care,        57(6),        1069-1081.

https://doi.org/10.1037/0022-3514.57.6.1069

Sugiyono. (2017). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, CV.

Suniati, E., Rizkillah, R., Hakim, F. A., Zakiya, N., & Damayanti, R. (2021). Manajemen sumber daya keluarga, konflik kerja-keluarga, dan tugas keluarga. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen,                  14(1),                  1-13.

https://doi.org/10.24156/jikk.2021.14.1.1

Syntia, A. I. G. A. (2016). Hubungan antara konflik peran ganda dengan psychological well-being pada ibu yang bekerja sebagai kowad. Skripsi (tidak dipublikasikan). Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.

Yasa, R. B., & Fatmawati. (2020). Analisis relasi keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi anak dari keluarga single parent. Psikoislamedia: Jurnal Psikologi, 05(2020), 207-216. http://dx.doi.org/10.22373/psikoislamedia.v5i2.8091

Tabel 1. Demografi Partisipan

Karakteristik

Frekuensi

%

Usia

21-25 Tahun

3

6%

26-30 Tahun

12

23%

31-35 Tahun

10

19%

36-40 Tahun

4

8%

41-45 Tahun

5

10%

46-50 Tahun

8

15%

51-55 Tahun

8

15%

56-60 Tahun

2

4%

Total

52

100%

Pekerjaan

PNS

22

42%

Swasta

18

35%

Wirausaha

12

23%

Total

52

100%

Lamanya Menikah

< 1 Tahun

5

10%

1-2 Tahun

25

48%

3-5 Tahun

3

6%

6-7 Tahun

8

15%

8-10 Tahun

4

8%

> 10 Tahun

7

13%

Total

52

100%

Status Anggota Keluarga

Belum memiliki anak

9

17%

Memiliki anak

43

83%

Total

52

100%

Tempat Tinggal

Tinggal Bersama keluarga inti

37

71%

(suami dan anak)

Tinggal bersama orang tua

14

27%

atau mertua

Tinggal bersama keluarga

1

2%

besar

Total

52

100%

155