Jurnal Psikologi Udayana 2022, Vol.9, No.1, 71-83


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

DOI: 10.24843/JPU/2022.v09.i01.p08

Preferensi ideologi dan perilaku politik pemilih pada Pilpres 2019: Asosiasi antara openness to experience, conscientiousness, agreeableness, dan otoritarianisme sayap kanan

Agrhashakara Tegarpandhiga Nugroho1, David Hizkia Tobing2, Supriyadi3

Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara faktor kepribadian openness to experience, conscientiousness, dan agreeableness dengan otoritarianisme sayap kanan menggunakan Skala Big Five Inventory (BFI) dan Skala Very Short Authoritarianism (VSA). Penelitian ini juga berupaya mengetahui perbedaan kedua kelompok pemilih Pilpres 2019 ditinjau dari empat variabel tersebut. Partisipan penelitian adalah pemilih berusia 18 – 55 tahun dari 23 provinsi di Indonesia (N = 418). Peneliti melakukan analisis korelasi Spearman untuk menguji hubungan tiga faktor kepribadian dengan otoritarianisme sayap kanan. Hasil penelitian menunjukkan faktor kepribadian yang paling berkorelasi dengan OSK adalah openness (r = -.166, p < .001), diikuti oleh agreeableness (r = .141, p = .004), dan conscientiousness (r = .136, p = .005). Selain itu, uji beda Mann-Whitney menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok pemilih Jokowi – Amin dan Prabowo – Sandi ditinjau dari faktor OSK (u = 13604, p = .030, Cohen’s d = -.227), tetapi tidak ada perbedaan jika ditinjau dari faktor kepribadian (u = 15546, p = .983, Cohen’s d = .012; u = 15436, p = .899, Cohen’s d = -.026; u = 15522, p = .965, Cohen’s d = -.044). Hasil penelitian ini secara umum mengonfirmasi temuan-temuan sebelumnya sekaligus berkontribusi pada pemahaman tentang hubungan kepribadian dengan ideologi dan perilaku politik. Pembahasan menunjukkan beberapa faktor yang menjelaskan temuan penelitian, keterbatasan penelitian, serta implikasi praktis untuk penelitian selanjutnya.

Kata kunci: Agreeablenes, conscientiousness, ideologi politik, openness to experience, otoritarianisme sayap kanan, perilaku politik.

Abstract

This study aims to see the relationship between openness to experience, conscientiousness, and agreeableness with right-wing authoritarianism using the Big Five Inventory (BFI) and Very Short Authoritarianism scale (VSA). This study also seeks to know the differences between two groups of voters for the 2019 presidential election in terms of those four variables. The study participants were voters aged 18 - 55 years from 23 provinces in Indonesia (N = 418). Author used Spearman's correlation analysis to examine the relationship between three personality factors and right-wing authoritarianism. The results showed the personality factors most correlated with RWA were openness (r = -.166, p < .001), followed by agreeableness (r = .141, p = .004), and conscientiousness conscientiousness (r = .136, p = .005). In addition, the Mann-Whitney test shows a significant difference between the Jokowi - Amin and Prabowo - Sandi voter groups in terms of RWA (u = 13604, p = .030, Cohen’s d = -.227), but no difference was found based on personality factors (uOp = 15546, p = .983, Cohen’s d = .012; uCo = 15436, p = .899, Cohen’s d = -.026; uAg = 15522, p = .965, Cohen’s d = -.044). These results generally confirm previous findings and at the same time contribute to a better understanding of personality’s relation to political ideology and behavior. Discussion showed several factors to explain the research findings, limitations of the current study, and practical implications for future studies.

Keywords: Agreeablenes, conscientiousness, openness to experience, political behavior, political ideology, right-wing authoritarianism.

LATAR BELAKANG

Belakangan ini fenomena polarisasi politik makin mudah ditemui di negara-negara yang mengusung demokrasi. Menurut Testriono (2018), polarisasi politik adalah kondisi terbelahnya kelompok ke dalam dua kubu yang berseberangan umumnya disebabkan oleh sikap ekstrem terhadap sebuah ideologi, isu, atau kebijakan. Polarisasi politik yang terjadi umumnya melibatkan dua kubu spektrum politik sayap kiri dan sayap kanan. Secara garis besar, menurut Heywood (2015) politik sayap kiri mencerminkan ide-ide seperti kebebasan, kesetaraan, pembelaan hak-hak individu, dan mendukung perubahan (progresif). Sedangkan politik sayap kanan berhubungan dengan ide-ide seperti keteraturan, mematuhi pihak berwenang, dan mempertahankan keadaan atau tradisi yang berlaku (konservatif). Di Brasil, Partai Buruh (sayap kiri) dan Partai Sosial Liberal (sayap kanan) juga mewarnai polarisasi politik di negara tersebut, ditandai dengan terpilihnya Jair Bolsonaro sebagai presiden Brasil pada tahun 2018. Bolsonaro merupakan figur politikus sayap kanan yang mendukung kebijakan ekonomi pasar bebas serta pendalaman nilai-nilai kekeluargaan berdasarkan ajaran agama Kristen (Hasan, 2018).

Sementara di Amerika Serikat (AS), elite dan pemilih terbelah antara kubu progresif (Partai Demokrat) dan konservatif (Partai Republik) yang dipertajam oleh kemenangan Donald Trump dari Partai Republik sebagai presiden ke-45 AS melawan Hillary Clinton yang mewakili Partai Demokrat. Empat tahun kemudian pada pemilihan presiden AS 2020, pertarungan antara presiden petahana Donald Trump menghadapi Joe Biden turut melebarkan jurang polarisasi antara pendukung Demokrat dan Republik karena didorong oleh membesarnya ketimpangan rasial, krisis pandemi Covid-19, perubahan komposisi partai, dan munculnya media massa yang memihak partai politik atau golongan tertentu (Boxell et al., 2020; Mhaka, 2020).

Sedikit berbeda dengan yang terjadi di AS dan Brasil, polarisasi politik di Indonesia mulai berkembang sejak pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014 dan kembali meningkat pada pemilihan gubernur (pilgub) Jakarta tahun 2017. Para pemilih awalnya berseberangan berdasarkan pola dukungan calon presiden tahun 2014 (pro-Joko Widodo vs pro-Prabowo Subianto), tetapi polarisasi yang sudah terbentuk itu akhirnya memuncak pada pilgub Jakarta tahun 2017 yang membelah kubu pro-BTP (Basuki Tjahaja Purnama) vs pro-Anies Baswedan (Hadiz, 2018; Karim, 2019). Para pemilih cenderung memandang kedua pasangan calon tersebut sebagai pihak-pihak yang berseberangan dalam segala hal karena satu pihak identik dengan kelompok nasionalis, sementara satu pihak identik dengan kelompok Islam (Karim, 2019; Sumampouw, 2018).

Berlanjut pada pilgub Jakarta 2017, polarisasi politik awalnya dipicu oleh tuduhan penistaan agama terkait ucapan BTP mengenai “dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51” yang akhirnya mengundang reaksi keras dari kelompok Islam konservatif di Jakarta (Tapsell, 2017). Tidak diragukan lagi, pilgub Jakarta 2017 merupakan pemilihan lokal yang secara sosial paling memecah belah dalam sejarah Indonesia sehingga menimbulkan konflik politik berpola sama persis dengan yang

terjadi di lingkup nasional, yaitu penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) (Hadiz, 2017; Mason, 2018).

Polarisasi yang makin jelas ini membuat para pemilih percaya diri untuk menunjukkan posisi mereka di ruang publik dan media sosial melalui perdebatan dan kebebasan untuk membenci yang tidak sejalan (Lim, 2017). Menurut Heinze (2016), perilaku mengutarakan ujaran kebencian ini didasari oleh dua faktor. Pertama, prasangka buruk terhadap kelompok luar (out-group) yang terbentuk karena kecenderungan melakukan stereotip dan kurang terbuka terhadap perbedaan. Kedua, adanya persepsi terancam karena merasa inferior dibanding kelompok luar sehingga ujaran kebencian digunakan untuk melawan ancaman tersebut (Heinze, 2016). Fenomena polarisasi karena perbedaan pilihan politik yang terjadi sejak 2014-2017 akhirnya menyebabkan konflik serius dalam masyarakat, bahkan gesekan dan perpecahan dalam banyak hubungan pertemanan serta keluarga (Renaldi & Ibrahim, 2019).

Seperti yang diduga banyak ahli, polarisasi politik pun berlanjut pada Pilpres 2019 (Fionna & Hutchinson, 2019). Hasil dari perbedaan haluan politik yang tumbuh di kalangan elite mengenai isu ambang batas presiden (presidential threshold) sebesar 20% yang memengaruhi ideologi dan pilihan politik pemilih akar rumput dengan cara memaksa publik Indonesia untuk membelah diri menjadi dua kubu (PinterPolitik, 2018). Fenomena norma politik tersebut serupa dengan yang terjadi di banyak negara akibat persaingan antara para elite politik yang mendorong tumbuhnya kebencian antarkubu diakar rumput (Tucker et al., 2018). Walaupun fenomena polarisasi kian menguat, polarisasi dikalangan pemilih tidak hanya dibentuk oleh ideologi melainkan komitmen kuat terhadap kandidat dalam pemilu (Wilson, 2013).

Masa kampanye Pilpres 2019 di Indonesia tidak jauh berbeda dengan kondisi pada tahun 2014 dan 2017. Maraknya hoaks yang mengangkat isu SARA sebagai materi kampanye dengan mudah menciptakan polarisasi politik antara dua kubu pendukung pasangan capres dengan pendapat dan pandangan berbeda tentang para kandidat pilihannya sehingga menyebabkan pergesekan politik dan berpotensi memicu kebencian serta konflik terbuka (Purwanto, 2015). Salah satu indikator polarisasi politik yang makin tajam adalah jumlah hoaks yang terus meningkat mendekati 17 April 2019. Dalam periode bulan Januari-Maret 2019 saja, data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menunjukkan ada 175 hoaks, bertambah dua kali lipat menjadi 353 hoaks pada bulan Februari, dan makin naik pada bulan Maret menjadi 453 hoaks. Dari 453 hoaks tersebut, terdapat 130 hoaks politik sehingga total hoaks politik yang diidentifikasi dan diverifikasi oleh Kemenkominfo menjadi 311 hoaks. Hoaks politik antara lain berupa kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu. Secara spesifik, terdapat 50 hoaks yang memakai kata "Jokowi" dan 26 hoaks menggunakan kata "Prabowo Subianto" (Kemenkominfo, 2019).

Beberapa tahun terakhir para peneliti mulai tertarik untuk mencari penjelasan tentang faktor psikologis yang mendasari

perilaku dan afiliasi politik, salah satu argumen menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan psikologis mendorong individu untuk mengadopsi praktik dan keyakinan politik yang berbeda (Jost et al., 2008; Jost, 2006; Jost et al., 2003). Topik mengenai ideologi dan pilihan politik belakangan ini umumnya mengidentifikasi pemilih dengan ideologi progresif yang lebih berpandangan luas serta terbuka, dan konservatif yang lebih bersikap hati-hati serta mempertahankan nilai-nilai tradisional (Jost et al., 2008).

Fenomena konservatisme politik yang dijelaskan sebelumnya merupakan cerminan dari right-wing authoritarianism atau otoritarianisme sayap kanan (OSK), yaitu kepatuhan psikologis kepada pihak-pihak yang dianggap berwenang atau berkuasa dalam tatanan kehidupan individu yang mendukung otoritas yang kuat dalam masyarakat (Altemeyer, 1981). Duckitt (2001) menyatakan bahwa individu yang memiliki tingkat OSK tinggi berkembang dari suatu ideologi yang bersifat konservatif, menolak hal yang baru, tidak menyukai perbedaan, dan menekankan pada satu pemahaman. OSK terdiri dari tiga aspek, yaitu mendukung penggunaan cara-cara pengendalian sosial yang menghukum dan ketat (otoritarianisme), mendorong rasa hormat dan kepatuhan terhadap otoritas (konservatisme), dan menghormati nilai serta norma tradisional (tradisionalisme) (Duckitt et al., 2010).

Penelitian terdahulu menemukan bahwa OSK memiliki korelasi positif yang signifikan dengan social dominance orientation atau orientasi dominasi sosial (ODS) (Duriez & Van Hiel, 2002); prasangka terhadap kelompok yang dipersepsikan berbahaya dan membangkang (Asbrock et al., 2009); etnosentrisme, konservatif secara sosial, nasionalis, lebih menyukai hukum dan peraturan yang keras dan ketat, serta dukungan terhadap kontrol sosial dan otoritas yang menghukum (Bizumic & Duckitt, 2018). Sebaliknya, individu dengan skor OSK yang rendah memiliki kecenderungan untuk lebih toleran dan liberal, demokratis, mendukung kebebasan individu, memiliki tingkat kebebasan individual yang tinggi, serta mendukung ekspresi diri dan regulasi diri (Altemeyer, 1996, 2007; Duckitt, 2009).

Di sisi lain, kepribadian individu memiliki peran yang besar dalam memengaruhi pilihan politik seperti pembentukan posisi ideologis mengenai isu sosial-ekonomi serta keterlibatan individu secara aktif dalam kegiatan politik praktis (Bakker, 2016; Denny & Doyle, 2008; Gerber et al., 2011; Winter, 2003). Berdasarkan model proses ganda (dual-process model) yang dikemukakan oleh Duckitt et al. (2002), kohesi sosial (hubungan sosial yang erat) dan keamanan kolektif merupakan dua tujuan motivasional yang mendasari OSK. Kedua tujuan motivasional tersebut dipengaruhi oleh faktor kepribadian openness to experience yang rendah dan conscientiousness yang tinggi (Nicol & De France, 2016). Dua faktor kepribadian tersebut merupakan bagian dari Five-Factor Model (FFM) atau Big Five personality traits, yaitu openness to experience (O), conscientiousness (C), extraversion (E), agreeableness (A), dan neuroticism (N) (Costa & McCrae, 1992).

Hasil penelitian Nicol dan De France (2016) menunjukkan bahwa openness dan conscientiousness secara konsisten

merupakan prediktor terkuat dari semua aspek dan skor total OSK, sedangkan agreeableness hanya dapat memprediksi aspek tradisionalisme pada OSK. Berdasarkan penelitian tersebut, individu yang memiliki openness rendah cenderung mendapatkan skor lebih tinggi pada semua subfaktor OSK dan individu dengan conscientiousness yang tinggi cenderung memiliki skor lebih tinggi pada semua subfaktor OSK. Menurut Altemeyer (1996), individu dengan OSK yang tinggi memang memiliki kecenderungan gaya kognitif yang kaku dan kurang kompleks, kurangnya imajinasi, serta adanya kebutuhan akan struktur dan ketertiban. Ciri-ciri kepribadian tersebut akhirnya berkembang menjadi dua tujuan motivasional: kohesi sosial dan keamanan kolektif (Duckitt et al., 2002). Sementara itu, individu yang memiliki skor agreeableness rendah cenderung mendapatkan skor lebih tinggi hanya pada subfaktor tradisionalisme dalam OSK karena individu dengan agreeableness rendah cenderung mengejar tujuan hedonistik dan memprioritaskan kepentingan diri, sehingga tidak memerhatikan kemungkinan konflik kepentingan dengan orang lain (Perry & Sibley, 2012).

Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, temuan Hirsh et al. (2010) mengonfirmasi bahwa individu dengan ideologi konservatif cenderung memiliki skor lebih tinggi pada faktor conscientiousness (subfaktor orderliness) dan agreeableness (subfaktor politeness), serta skor yang rendah pada faktor openness (subfaktor intellect) (Carney et al., 2008; Goldberg & Rosolack, 1994). Menurut McCrae dan Costa (1996), faktor conscientiousness yang tinggi dan openness yang rendah ini berhubungan dengan kecenderungan mempertahankan tradisi, keteraturan, dan stabilitas yang tercermin dalam ideologi konservatif (Roberts et al., 2005). Di sisi lain, individu dengan kecenderungan liberal memiliki skor lebih tinggi pada faktor openness (subfaktor intellect) dan agreeableness (subfaktor compassion). Berkaitan dengan model proses ganda yang telah dipaparkan di atas, kepribadian merupakan cerminan dari kebutuhan psikologis yang mendorong individu untuk memiliki tujuan motivasional. Tujuan motivasional tersebut menyebabkan individu mengadopsi praktik dan keyakinan politik tertentu, salah satunya melalui variabel OSK (Duckitt et al., 2002; Jost et al., 2008). Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepribadian merupakan salah satu faktor psikologis yang penting dalam memengaruhi ideologi dan pilihan politik.

Meskipun berbagai survei elektabilitas (survei untuk mengetahui tingkat keterpilihan dalam jabatan pemerintahan) dan exit poll (survei yang dilakukan setelah pemilih keluar dari bilik suara) di Indonesia telah berupaya untuk mengungkap alasan para pemilih memberikan suaranya kepada kandidat yang dikehendakinya, hal tersebut belum berhasil menjelaskan faktor-faktor psikologis yang mendasari ideologi dan pilihan politik. Penelitian mengenai ideologi atau perilaku politik sejauh ini hanya dilakukan pada politikus atau partai politik (Aspinall et al., 2018) dan belum menyasar para pemilih secara langsung.

Penelitian ini menyoroti hubungan antara openness to experience, conscientiousness, dan agreeableness dengan OSK serta perbedaan kedua kelompok pemilih capres ditinjau dari

faktor kepribadian dan OSK. Salah satu pertimbangan dalam memilih empat variabel tersebut adalah karena korelasinya yang kuat (Duckitt & Sibley, 2009; Hirsh et al., 2010; Nicol & De France, 2016; Perry & Sibley, 2012) dan keaslian penelitian. Sejauh penelusuran yang dilakukan, peneliti belum menemukan hasil penelitian maupun artikel jurnal yang membahas hubungan antara empat variabel tersebut di Indonesia. Penelitian ini penting dilakukan untuk memahami dan memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai fenomena polarisasi politik yang terbentuk sejak Pilpres 2014 dan makin tajam pada Pilpres 2019.

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah otoritarianisme sayap kanan (OSK) serta variabel bebas dalam penelitian ini adalah openness to experience, conscientiousness, dan agreeableness. Berikut definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian:

Otoritarianisme sayap kanan

OSK adalah kecenderungan individu untuk patuh kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas (authoritarian submission atau ketundukan otoriter), menunjukkan agresi terhadap kelompok di luar kelompoknya (authoritarian agression atau agresi otoriter), dan mendukung nilai-nilai tradisional terutama yang disokong oleh otoritas (traditionalism atau tradisionalisme) (Altemeyer, 1981, 1996). Pengukuran OSK dalam penelitian ini menggunakan skala Very Short Authoritarianism (VSA) yang dikembangkan oleh Bizumic dan Duckitt (2018). Makin tinggi skor total yang diperoleh, maka makin tinggi tingkat OSK atau kecenderungan ideologi konservatif individu.

Openness to experience

Openness merupakan kecenderungan memiliki rasa ingin tahu yang besar, apresiasi terhadap seni, sensitif terhadap estetika, lebih menyadari perasaan serta emosi diri sendiri, serta berpikir dan bertindak secara individualistis dan tidak sesuai dengan konsepsi umum (Costa & McCrae, 1992). Pengukuran openness dalam penelitian ini menggunakan subskala openness dalam Big Five Inventory (BFI) hasil adaptasi oleh Surijah dan Tjundjing (2007) dengan ketentuan makin tinggi skor total yang diperoleh, maka makin tinggi tingkat openness yang dimiliki individu.

Conscientiousness

Conscientiousness adalah kecenderungan untuk menunjukkan disiplin diri, bertindak patuh, dorongan untuk mendapatkan prestasi atau pencapaian yang berlawanan dengan ekspektasi eksternal (Costa & McCrae, 1992). Pengukuran conscientiousness dalam penelitian ini menggunakan subskala conscientiousness dalam BFI hasil adaptasi oleh Surijah dan Tjundjing (2007). Makin tinggi skor total yang diperoleh, maka makin tinggi tingkat conscientiousness individu.

Agreeableness

Agreeableness merupakan kecenderungan untuk percaya pada orang lain, murah hati, mudah menerima, mudah mengalah, dan berperilaku baik (Costa & McCrae, 1992). Pengukuran agreeableness dalam penelitian ini menggunakan subskala agreeableness dalam BFI hasil adaptasi oleh Surijah dan Tjundjing (2007) dengan ketentuan makin tinggi skor total yang

diperoleh, maka makin tinggi tingkat agreeableness yang dimiliki individu

.

Partisipan

Populasi dalam penelitian ini adalah pemilih yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia serta menggunakan suaranya untuk memilih salah satu capres pada Pilpres 2019. Berdasarkan data KPU, jumlah suara sah nasional pada Pilpres 2019 sebesar 154.257.601 suara (pemilih) (Farisa, 2019). Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan yang telah berusia 18 tahun atau lebih, berdomisili di salah satu provinsi di Indonesia, terdaftar di dalam Daftar Pemilih (DPT/DPTb/DPK), bukan anggota TNI/Polri, dan memilih salah satu capres. Teknik pengambilan sampel penelitian ini menggunakan purposive sampling karena peneliti mengambil sampel berdasarkan kriteria khusus yang sesuai dengan tujuan penelitian dan cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2017). Untuk menentukan besaran sampel penelitian, peneliti menggunakan peranti lunak Sample Size Calculator Raosoft dan Qualtrics dengan tingkat kepercayaan (confidence level) 95% dan selang kepercayaan (confidence interval) 5%. Berdasarkan perhitungan tersebut, jumlah sampel minimal untuk mendapatkan estimasi data penelitian dengan tingkat kepercayaan yang memadai adalah 385 partisipan.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian

Pengumpulan data penelitian dilakukan pada tanggal 15 Februari – 8 Maret 2020. Peneliti merekrut partisipan penelitian dengan cara menyebarkan kuesioner daring melalui media sosial seperti Twitter, Facebook, WhatsApp, dan LINE. Setelah mengklik tautan kuesioner penelitian, partisipan diarahkan untuk membaca dan mengisi lembar persetujuan (informed consent) sesuai ketentuan Pasal 20, Pasal 48, dan Pasal 49 Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI, 2010). Selanjutnya, partisipan diinstruksikan untuk menjawab pernyataan-pernyataan dalam kuesioner yang terdiri dari skala BFI dan skala VSA. Pada bagian akhir kuesioner, partisipan diminta untuk menjawab pertanyaan sosiodemografis seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, domisili, etnis, agama, dan pilihan politik pada Pilpres 2019.Peneliti mendapatkan sebanyak 421 calon partisipan, tetapi tiga individu dikeluarkan karena tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian setelah membaca lembar persetujuan. Akibat hal tersebut, penelitian ini menggunakan data 418 partisipan untuk dianalisis lebih lanjut.

Alat Ukur

Peneliti menggunakan dua alat ukur berbentuk skala Likert untuk mengumpulkan data, yaitu skala VSA dan skala BFI. Peneliti melakukan adaptasi dan modifikasi skala VSA yang dikembangkan oleh Bizumic dan Duckitt (2018). Proses penerjemahan skala VSA dilakukan oleh peneliti dan satu dosen dari Program Studi Sarjana Psikologi Universitas Udayana yang pernah melakukan studi S-3 di America Serikat. Peneliti melakukan modifkasi skala VSA dengan mengubah format jawaban yang hanya menampilkan nilai ekstrem (“sangat berbeda dengan pendapat saya” & “sangat sejalan dengan pendapat saya”). Skala VSA terdiri dari lima butir pernyataan deklaratif yang berarah favorable dan unfavorable dengan sembilan pilihan jawaban. Kemudian, peneliti juga

memodifikasi skala BFI yang diadaptasi oleh Surijah dan Tjundjing (2007) dari John et al. (1991). Peneliti melakukan modifikasi skala BFI dengan mengubah isi butir, yaitu menghapus dan menambah beberapa kata untuk memberikan konteks pernyataan dalam tiap butir. Skala BFI berisi 44 butir pernyataan deklaratif berarah favorable dan unfavorable lima pilihan jawaban serta keterangan yang hanya menampilkan nilai ekstrem (“sangat bertentangan dengan diri saya” & “sangat sesuai dengan diri saya”).

Peneliti melakukan uji coba alat ukur kepada 66 orang yang memenuhi kriteria subjek penelitian. Hasil uji validitas skala VSA menunjukkan nilai korelasi butir-total bergerak dari .316 sampai .634, sedangkan hasil uji reliabilitas mengindikasikan koefisien Cronbach’s Alpha sebesar .732 sehingga dapat disimpulkan skala VSA layak digunakan untuk mengukur OSK. Selanjutnya, hasil uji validitas skala BFI menunjukkan nilai korelasi butir-total subskala openness bergerak dari .345 hingga .659 dan koefisien Cronbach’s Alpha sebesar .733. Subskala conscientiousness memiliki validitas yang bergerak dari .387 sampai .622 dan reliabilitas sebesar .741. Pada subskala agreeableness, validitas bergerak dari .291 hingga .559 dan reliabilitas Cronbach’s Alpha sebesar .708.

Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode pengujian signifikansi hipotesis nol (null hypothesis significance testing) yang mensyaratkan hasil penelitian diuji terhadap hipotesis tidak ada efek atau tidak ada hubungan berdasarkan data yang ada (Pernet, 2015). Penelitian ini menggunakan dua teknik analisis data: uji korelasi Spearman Rank untuk mengetahui signifikansi dan arah hubungan faktor kepribadian dengan OSK; dan uji Mann-Whitney U untuk mengetahui perbedaan pilihan politik antara pemilih 01 (Jokowi-Amin) dan 02 (Prabowo-Sandi) ditinjau dari faktor kepribadian dan OSK. Untuk memenuhi asumsi uji hipotesis, peneliti melakukan uji normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk dengan dasar pengambilan keputusan nilai signifikansi lebih besar dari .05 maka data dinyatakan terdistribusi secara normal (Azwar, 2008). Untuk melakukan uji homogenitas, peneliti menggunakan Levene’s Test for Equality of Variance dalam One-Way Analysis of Variance (ANOVA) dengan dasar pengambilan keputusan data memiliki varians yang sama jika nilai signifikansi lebih besar dari .05. Semua uji asumsi dan uji hipotesis dilakukan menggunakan perangkat lunak Jamovi versi 1.1.9.0 untuk macOS.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Peneliti membagi karakteristik 418 partisipan penelitian berdasarkan dimensi sosiodemografi, yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, domisili, etnis, agama, dan kandidat pilihan pada Pilpres 2019. Berdasarkan data penelitian, terdapat selisih yang cukup besar dalam karakteristik jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Karakteristik ini didominasi oleh perempuan dengan persentase 68.2% dan laki-laki sebesar 31.8%. Rentang usia partisipan bergerak dari 18 – 46 tahun dengan usia rata-rata 22.3 tahun

(SD = 10.9). Mayoritas partisipan termasuk dalam golongan sebesar 18 – 25 tahun (88.5%). Sebagian besar partisipan memiliki tingkat pendidikan SMA/sederajat (62.7%) dan S-1 (26.6%). Dari segi pekerjaan, sebesar 72.9% partisipan memiliki pekerjaan sebagai mahasiswa/pelajar, diikuti karyawan swasta sebanyak 15.7%.

Domisili partisipan penelitian cukup tersebar di beberapa pulau di Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Pulau Jawa, utamanya berasal dari DKI Jakarta (23.6%), Jawa Timur (18.6%), dan DI Yogyakarta (16.9%). Mayoritas partisipan penelitian beretnis Jawa (52.2%) dan beragama Islam (77.3%). Pada Pilpres 2019, data penelitian menunjukkan bahwa sebesar 76.8% partisipan memilih pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan 23.2% memilih Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.

Deskripsi Data Penelitian

Sebanyak 418 partisipan memberikan respons terhadap skala penelitian. Pada skala BFI, total skor terendah terdapat pada faktor openness sebesar 15, faktor conscientiousness sebesar 15, dan faktor agreeableness sebesar 18. Skor tertinggi dari masing-masing faktor ialah 49 untuk faktor openness, 40 untuk faktor conscientiousness, dan 45 faktor agreeableness. Nilai rerata tertinggi terdapat pada faktor openness sebesar 35.8 (SEMean = .267) dan faktor agreeableness sebesar 31.6 (SEMean = .227). Rerata terendah diperoleh faktor conscientiousness sebesar 27.0 (SEMean = .223). Standar deviasi pada masing-masing faktor dalam skala BFI bergerak dari 4.56 sampai 5.45. Sementara pada skala VSA, nilai rerata yang diperoleh sebesar 6.02 (SEMean = .347) Total skor terendah yang diperoleh sebesar -24, serta total skor tertinggi sebesar 20. Standar deviasi dalam skala VSA sebesar 7.10. Perincian deskripsi data penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 (terlampir).

Berdasarkan deskripsi data kelompok penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 2 (terlampir), skor rerata dan median antara kelompok pemilih 01 dan 02 pada faktor openness tidak memiliki perbedaan yang signifikan (m = [35.82, 35.75], median = [36.00, 36.00]). Begitu pula dengan skor rerata dan median pada faktor conscientiousness (m = [26.99, 27.11], median = [27.00, 27.00]) serta agreeableness (m = [31.60, 31.80], median = [32.00, 31.00]). Pada variabel OSK, skor rerata dan median kelompok 02 sedikit lebih besar dibanding kelompok 01 (m = [5.65, 7.26], median = [7.00, 8.00]).

Uji Asumsi

Hasil uji normalitas skala BFI pada Tabel 3 (terlampir) menunjukkan masing-masing faktor memperoleh nilai signifikansi sebesar <.001 (agreeableness), .028 (conscientiousness), dan .020 (openness). Hasil tersebut menandakan data memiliki distribusi tidak normal (p < .05). Sementara itu, hasil uji normalitas skala VSA juga menunjukkan data berdistribusi tidak normal, dengan nilai signifikansi sebesar <.001 (p < .05).

Hasil uji homogenitas yang dilakukan pada skala BFI menunjukkan tiga faktor memiliki varian yang sama. Tiga faktor tersebut memperoleh nilai signifikansi sebesar .614 pada faktor openness, .304 pada faktor conscientiousness, dan .203

pada faktor agreeableness. Sementara itu, skala VSA memperoleh nilai signifikansi sebesar .046. Hal ini berarti skala VSA memiliki varian yang sama. Berdasarkan hasil uji asumsi, dapat disimpulkan bahwa data penelitian ini memiliki distribusi tidak normal dan memiliki varian yang sama sehingga uji hipotesis dapat dilakukan.

Uji Hipotesis

Hasil uji korelasi Spearman Rank pada Tabel 4 (terlampir) menunjukkan adanya korelasi negatif dan cenderung lemah antara OSK dengan openness (r = -.166, p < .001). Sementara itu, OSK berkorelasi positif dengan conscientiousness (r = .136, p = .005) dan agreeableness (r = .141, p = .004), walaupun cenderung lemah. Artinya, individu dengan openness yang tinggi cenderung memiliki skor OSK yang rendah, sedangkan individu yang memiliki skor tinggi pada conscientiousness dan agreeableness akan cenderung memiliki skor OSK yang tinggi juga.

Selanjutnya, untuk melakukan uji beda partisipan yang memilih Joko Widodo – Ma’ruf Amin diberi kode 01 sedangkan yang memilih Prabowo Subianto – Sandiaga Uno diberi kode 02. Analisis Mann-Whitney U pada variabel openness, conscientiousness, dan agreeableness menggunakan asumsi hipotesis kelompok 01 berbeda dengan kelompok 02 (Group 1 ≠ Group 2), sedangkan pada variabel OSK menggunakan asumsi hipotesis kelompok 02 memiliki rata-rata skor yang lebih besar dibanding kelompok 01 (Group 1 < Group 2). Menurut Nachar (2008), uji Mann-Whitney U bertujuan mengetahui apakah kedua kelompok independen bersifat homogen dan memiliki distribusi yang sama.

Hasil uji Mann-Whitney U pada Tabel 5 (terlampir) mengindikasikan tidak ada perbedaan pilihan politik yang signifikan ditinjau dari openness (u = 15546, p = .983, Mdif = .000), conscientiousness (u = 15436, p = .899, Mdif = -.000), dan agreeableness (u = 15522, p = .965, Mdif = -.000). Selain itu, besaran efek openness, conscientiousness, dan agreeableness terhadap perbedaan pilihan politik juga tergolong sangat kecil (Cohen’s d = .012; -.026; -.044). Berikutnya, peneliti menemukan perbedaan yang signifikan antarkelompok 01 dan 02 ditinjau dari OSK dengan selisih skor rerata sebesar (u = 13604, p = .030, -1.00 (CI95 = [-3.00, -5.29e-5]). Namun, variabel OSK memiliki efek yang kecil terhadap perbedaan pilihan politik (Cohen’s d = -.227).

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Berdasarkan uji korelasi Spearman yang telah dilakukan, peneliti menemukan bahwa faktor openness berkorelasi negatif dengan OSK dibuktikan dengan nilai signifikansi p < .001 dan nilai r sebesar -.166. Selanjutnya, tingkat OSK juga berhubungan secara positif dengan faktor conscientiousness dan agreeableness, hal ini dibuktikan dengan melihat nilai signifikansi p sebesar .005 dan .004 serta nilai koefisien r sebesar .136 dan .141.

Dalam penelitian ini, variabel openness memiliki korelasi negatif dengan OSK (p < .001, r = -.166), sejalan dengan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa OSK berkorelasi negatif

dengan openness (Heaven & Bucci, 2001). Studi lain yang dilakukan oleh Perry dan Sibley (2012) juga menunjukkan hasil serupa bahwa openness yang rendah dapat memprediksi tingkat OSK pada individu. Hal tersebut konsisten dengan temuan Sibley dan Duckitt (2008) bahwa individu dengan openness rendah memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menginginkan kohesi sosial dan keamanan kolektif yang tercermin dari tingkat OSK. Pernyataan tersebut sejalan dengan model proses ganda (dual-process model) yang dikemukakan oleh Duckitt et al. (2002) bahwa dua tujuan motivasional yang mendasari OSK adalah kohesi sosial dan keamanan kolektif. Lebih jauh, Sibley dan Duckitt (2008) berpendapat bahwa individu yang rendah dalam openness lebih cenderung menghargai aturan moral yang jelas dan tidak ambigu dalam menggambarkan bagaimana dunia sosial seharusnya beroperasi.

Berdasarkan temuan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa OSK yang tinggi pada individu merupakan manifestasi dari nilai atau tujuan motivasional untuk memelihara keamanan, ketertiban, dan stabilitas sosial terutama karena individu memiliki pandangan hidup (worldview) bahwa dunia luar pada dasarnya bersifat berbahaya, mengancam, dan tidak terduga. Pandangan hidup ini secara psikologis didasari oleh openness yang rendah dan pada akhirnya mendorong individu untuk mengadopsi sikap ideologis konservatif seperti mempertahankan tradisi, keamanan, dan konformitas sosial (Duckitt & Sibley, 2009).

Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa variabel conscientiousness berhubungan secara positif dengan tingkat OSK (p = .005, r = .136). Sejalan dengan hasil penelitian Carney et al. (2008), individu dengan skor conscientiousness yang tinggi cenderung memiliki ideologi yang lebih konservatif tercermin dari tingkat OSK. Secara psikologis, conscientiousness yang tinggi juga merupakan konstruk yang mendasari kebutuhan akan kohesi sosial dan keamanan kolektif. Menurut Duckitt et al. (2002) conscientiousness yang tinggi dan openness yang rendah secara simultan berinteraksi dengan keyakinan bahwa kelompok luar dan dunia sosial pada dasarnya berbahaya, sehingga mendorong individu untuk membentuk sikap ideologis konservatif terhadap ancaman yang dipersepsikan. Sikap ideologis konservatif ini juga tercermin dari kecenderungan perilaku memelihara keamanan, konformitas, dan tradisi dalam masyarakat (Duckitt & Sibley, 2009). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Altemeyer (1996) bahwa individu dengan OSK yang tinggi cenderung memiliki gaya kognitif yang kaku dan kurang kompleks, kurangnya imajinasi, serta adanya kebutuhan akan struktur dan ketertiban. Di sisi lain, temuan penelitian ini bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa conscientiousness berkorelasi negatif dengan tingkat OSK (Heaven & Bucci, 2001; Perry & Sibley, 2012; Sibley & Duckitt, 2008; Sibley & Duckitt, 2010).

Korelasi yang signifikan antara OSK dan conscientiousness, serta kecenderungan untuk bersikap tertib dan moralistik, sejalan dengan pandangan Altemeyer (1988, 1996) bahwa individu dengan OSK yang tinggi umumnya sangat menerima

nilai-nilai tradisional serta tertarik untuk mengikuti instruksi figur yang mempunyai kekuasaaan dan pengaruh. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa makin rendah openness individu dan makin tinggi conscientiousness individu maka ia akan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengembangkan ideologi dan perilaku politik yang konservatif.

Secara ideologis, individu konservatif ini umumnya mendukung nilai serta norma sosial tradisional dan religius; mendukung kepatuhan dan rasa hormat terhadap figur otoritas dalam masyarakat; dan memiliki sikap keras terhadap pelanggaran hukum, norma, atau aturan sosial (Bizumic & Duckitt, 2018). Lalu, individu yang konservatif cenderung ingin meningkatkan keseragaman dan meminimalkan keragaman dalam masyarakat. Untuk mencapai itu, individu yang konservatif cenderung menunjukkan kontrol sosial dengan cara pemaksaan dan penggunaan otoritas kelompok untuk membatasi perilaku orang-orang di luar kelompoknya, misalnya pembatasan imigrasi serta pembatasan kebebasan berbicara dan berserikat (Altemeyer, 1998).

Dalam penelitian ini, nilai signifikansi p sebesar .004 dan nilai koefisien r sebesar .141 menunjukkan bahwa agreeableness berkorelasi positif dengan OSK. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Hirsh et al. (2010) bahwa subfaktor compassion pada agreeableness berkorelasi kuat dengan egaliterianisme (diasosiasikan dengan sikap politik liberal), serta subfaktor politeness yang berhubungan positif dengan tradisionalisme (diasosiasikan dengan sikap politik konservatif). Searah dengan hasil penelitian ini, Nicol dan De France (2016) juga menemukan hubungan kausal antara agreeableness dan salah satu subfaktor pada OSK, yaitu tradisionalisme. Namun, hal ini tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya oleh Heaven dan Bucci (2001) yang menemukan bahwa skor OSK yang tinggi berkorelasi negatif dengan agreeableness. Fakta tersebut mungkin berkaitan dengan konteks masyarakat Indonesia yang umumnya cenderung memiliki nilai kolektivisme yang kuat serta asertivitas yang rendah, sehingga berhubungan dengan agreeableness yang tinggi (Minkov et al., 2019).

Singkatnya, agreeableness mencerminkan penerimaan dan keinginan untuk memandang orang lain secara positif (Costa & McCrae, 1992). Salah satu penjelasan untuk temuan ini adalah keinginan untuk menghormati orang lain merupakan kunci untuk menyesuaikan diri dengan sebuah kelompok serta penentu mendasar untuk mendukung pandangan tradisional (Nicol & De France, 2016).

Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U, peneliti tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada faktor openness, conscientiousness, dan agreeableness. Artinya, faktor kepribadian pada kedua kelompok memiliki kecenderungan yang serupa dan tidak menunjukkan perbedaan pola yang ekstrem. Jika ditinjau dari tingkat OSK, peneliti menemukan perbedaan yang signifikan di antara dua kelompok, walaupun besaran efeknya kecil. Kedua temuan tersebut dapat dijelaskan oleh beberapa faktor. Pertama, kelompok pemilih pasangan calon 01 dan 02 pada penelitian ini cenderung memiliki kesamaan dalam faktor kepribadian (homogen) karena

keduanya memiliki kecenderungan ideologi politik konservatif, tetapi hanya berbeda orientasi. Hadiz (2017) berpendapat bahwa setelah pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017, peta politik Indonesia justru memunculkan dua kekuatan konservatif: Joko Widodo dan militer mendorong konservatisme nasionalis, serta Prabowo Subianto bersama koalisi partai dan organisasi Islam konservatif. Sebagai salah satu konstruk psikologis yang dapat menjelaskan perilaku individu secara luas dan stabil, faktor kepribadian memiliki hubungan dengan ideologi dan perilaku politik terutama ditinjau dari tingkat OSK (Bakker, 2016; Carney et al., 2008; Denny & Doyle, 2008; Gerber et al., 2011; Goldberg & Rosolack, 1994; Hirsh et al., 2010; Winter, 2003). Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa faktor conscientiousness berkaitan dengan ideologi konservatif serta kecenderungan untuk memilih kandidat konservatif atau sayap kanan (Carney et al. 2008; Goldberg & Rosolack, 1994; Gosling et al., 2003; Jost, 2006; Mondak & Halperin, 2008; Stenner, 2005). Mengingat bahwa individu yang lebih teliti menunjukkan kontrol impuls yang dipengaruhi lingkungan sosial dan lebih cenderung mematuhi norma dan aturan, identifikasi sebagai individu dengan ideologi konservatif melibatkan dukungan terhadap norma-norma tradisional baik dalam domain kebijakan ekonomi maupun sosial (John & Srivastava, 1999; Jost, 2006; Jost et al., 2003).

Kedua, faktor openness yang rendah secara konsisten juga memiliki kaitan dengan identifikasi diri sebagai konservatif karena tingkat OSK yang tinggi (Carney et al., 2008; Jost et al., 2003; McCrae, 1996; Mondak & Halperin, 2008; Palmer, 2014; Sibley & Duckitt, 2008). Fakta tersebut sejalan dengan temuan dalam penelitian ini bahwa kedua kelompok pemilih pasangan calon 01 dan 02 memiliki kesamaan tingkat openness yang rendah.

Ketiga, Hirsh et al. (2010) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa subfaktor politeness dari agreeableness berkorelasi kuat dengan konservatisme dan tradisionalisme, serta subfaktor compassion dari agreeableness berkorelasi kuat dengan liberalisme dan egaliterianisme. Berdasarkan hasil penelitian ini, agreeableness yang tinggi pada kedua kelompok pemilih pasangan calon 01 dan 02 tampaknya berperan dalam membentuk ideologi dan perilaku politik dengan memengaruhi kekuatan kedua sistem motivasi yang mendasari tingkat OSK. Tiga faktor yang disebutkan di atas mengonfirmasi bahwa kedua kelompok pemilih pasangan calon 01 dan 02 sebenarnya bukan merupakan dua kelompok yang sama sekali bertolak belakang karena faktor kepribadian yang mendasari perilaku keduanya pun dapat dikatakan serupa, yaitu memiliki openness yang rendah, conscientiousness yang tinggi, dan agreeableness yang tinggi.

Berdasarkan hasil dan analisis data penelitian, peneliti mengambil beberapa simpulan. Pertama, openness berhubungan negatif secara signifikan dengan OSK yang berarti makin rendah openness pada individu, maka makin tinggi tingkat OSK.. Kedua, conscientiousness secara signifikan berkorelasi positif dengan OSK, artinya makin tinggi

conscientiousness pada individu maka makin tinggi pula tingkat OSK. Ketiga, agreeableness secara signifikan juga memiliki hubungan positif dengan OSK yang bermakna makin tinggi agreeableness pada individu, makin tinggi pula tingkat OSK. Keempat, ditinjau dari openness to experience, conscientiousness, dan agreeableness, tidak terdapat perbedaan pilihan politik yang signifikan antara pemilih 01 dan 02 dengan besaran efek yang sangat kecil. Namun, ketika ditinjau dari tingkat OSK, terdapat perbedaan pilihan politik yang signifikan antara pemilih 01 dan 02 dengan besaran efek yang kecil.

Meskipun temuan yang dilaporkan dalam penelitian ini penting, ada beberapa keterbatasan yang perlu dicermati: (1) jumlah sampel sebanyak 418 partisipan masih tergolong sedikit untuk merepresentasikan dan menarik generalisasi pada populasi sehingga peneliti berpendapat jumlah ini belum memadai untuk melihat hubungan antarvariabel serta perbedaan antarkelompok; (2) karakteristik partisipan penelitian juga masih cenderung homogen karena mayoritas diisi oleh mahasiswa dan golongan usia 18 - 25 tahun sehingga belum mencakup bagian lain dari populasi secara proporsional; (3) dalam penelitian ini, alat ukur OSK merupakan hasil adaptasi alat ukur OSK yang dikembangkan dengan konteks sosial-politik di Amerika Serikat, Britania Raya, dan Australia sehingga menurut peneliti perlu dilakukan adaptasi lebih lanjut untuk menyesuaikan isi alat ukur dengan konteks sosial-politik Indonesia.

Berdasarkan hasil dan keterbatasan penelitian yang telah dipaparkan, peneliti dapat menyarankan beberapa hal kepada pihak-pihak terkait. Bagi para pemilih, sebaiknya mengetahui profil kepribadian serta politiknya agar dapat memahami preferensi dan nilai-nilai yang tercermin dari tiap kandidat pejabat publik, dengan tujuan untuk mengambil keputusan politik yang lebih tepat. Bagi Komisi Pemilihan Umum, sebaiknya memanfaat data profil kepribadian dan ideologi politik dalam melakukan komunikasi persuasif kepada masyarakat untuk meningkatkan angka partisipasi pemilih dan meminimalkan angka golput (golongan putih), contohnya melalui media sosial atau iklan daring di mana pesan-pesan persuasi yang disampaikan dapat disesuaikan dengan profil tiap individu.

Bagi partai politik atau tim kampanye, dapat mulai menggunakan platform profil kepribadian dan politik secara legal dan konsensual agar dapat mengembangkan strategi kampanye yang lebih efektif dan efisien. Bagi pemerintah Bagi pemerintah, sebaiknya merancang strategi mitigasi maupun resolusi konflik sosial secara terencana dan terukur menggunakan profil kepribadian dan ideologi politik individu sebagai data pendukung.

Bagi peneliti selanjutnya, peneliti menyarankan untuk menginvestigasi lebih jauh subfaktor kepribadian dan variabel adaptasi karakteristik politik yang berhubungan secara kausal dalam menjelaskan ideologi dan perilaku politik pemilih di Indonesia. Lalu, peneliti selanjutnya juga dapat melakukan penyempurnaan desain dan metode penelitian seperti: melakukan a priori power analysis untuk menentukan ukuran

sampel yang ideal untuk mendapatkan besaran efek yang memadai; merekrut partisipan yang lebih beragam serta menentukan kriteria pemilih (misal: pemilih pemula, pemilih berpengalaman, dan lainnya); melakukan adaptasi serta validasi alat ukur OSK lebih lanjut untuk menyesuaikan isi alat ukur dengan konteks sosial-politik Indonesia; dan menggunakan desain penelitian campuran (mixed method) untuk mengetahui pola ideologi serta perilaku politik pemilih pada tingkat individu maupun kelompok di Indonesia, serta menguji atau mengaitkan data kualitatif dengan teori atau model psikologi yang relevan.

DAFTAR PUSTAKA

Altemeyer, B. (1981). Right-wing authoritarianism. University of Manitoba Press.

Altemeyer, B. (1988). Enemies of freedom. University of Manitoba Press.

Altemeyer, B. (1996). The authoritarian specter. Harvard University Press.

Altemeyer, B. (2007). The authoritarians. University of Manitoba Press.

Asbrock, F., Sibley, C. G., & Duckitt, J. (2009). Right-wing

authoritarianism and social dominance orientation and the dimensions of generalized prejudice: A longitudinal test. European Journal of Personality,  24(4),  324-340.

https://doi.org/10.1002/per.746

Aspinall, E., Fossati, D., Muhtadi, B., & Warburton, E. (2018, April). Mapping the Indonesian political spectrum. New Mandala. https://www.newmandala.org/mapping-indonesian-political-spectrum/

Azwar, S. (2008). Sikap manusia: Teori dan pengukuran. Pustaka Pelajar.

Bakker, B. N. (2016). Personality traits, income, and economic ideology. Political Psychology, 38(6), 1025-1041.

Bizumic, B.,  & Duckitt, J. (2018). Investigating right wing

authoritarianism with a very short authoritarianism scale. Journal of Social and Political Psychology, 6(1), 129–150. https://doi.org/10.5964/jspp.v6i1.835.

Boxell, L., Gentzkow, M., & Shapiro, J. M. (2020). Cross-country trends in affective polarization. National Bureau of Economic Research. https://doi.org/10.3386/w26669

Carney, D., Jost, J., Gosling, S., & Potter, J. (2008). The secret lives of liberals and conservatives:  Personality profiles,

interaction styles, and the things they leave behind. Political Psychology, 29(6), 807-840.

Costa, P. T., Jr., & McCrae, R. R. (1992). Revised NEO personality inventory (NEO-PI–R) and the NEO Five-Factor inventory (NEO-FFI) professional manual. Psychological Assessment Resources.

Denny, K., & Doyle, O. (2008). Political interest, cognitive ability and personality: Determinants of voter turnout in Britain. British Journal of Political Science, 38(2), 291–310.

Duckitt, J. (2001). A dual-process cognitive-motivational theory of ideology and prejudice. In M. P. Zanna (Ed.), Advances in experimental social psychology, Vol. 33, p. 41-113). Academic Press.

Duckitt, J. (2009). Authoritarianism and dogmatism. In M. Leary & R. Hoyle (Eds.), Handbook of individual differences in social behavior (pp. 298-317). Guilford Press.

Duckitt, J., Bizumic, B., Krauss, S. W., & Heled, E. (2010). A tripartite approach to right-wing authoritarianism:    The

authoritarianism-conservatism-traditionalism       model.

Political       Psychology,        31(5),        685-715.

https://doi.org/10.1111/j.1467-9221.2010.00781.x

Duckitt, J., & Sibley, P. (2009). A dual-process motivational model of ideology, politics, and prejudice. Psychological Inquiry, 20, 98-109. https://doi.org/10.1080/10478400903028540

Duckitt, J., Wagner, C., du Plessis, I., & Birum, I. (2002). The psychological bases of ideology and prejudice: Testing a dual-process model. Journal of Personality and Social Psychology, 83(1), 75–93. https://doi.org/10.1037//0022-

3514.83.1.75

Duriez, B., & Van Hiel, A. (2002). The march of modern fascism: A comparison of social dominance orientation and authoritarianism. Personality and Individual Differences. 32(7),      1199–1213.     https://doi.org/10.1016/s0191-

8869(01)00086-1

Farisa, F. C. (2019, 21 Mei). Ini hasil lengkap rekapitulasi suara pilpres 2019    di    34    provinsi.    Kompas    Online.

https://amp.kompas.com/nasional/read/2019/05/21/050500 31/ini-hasil-lengkap-rekapitulasi-suara-pilpres-2019-di-34-provinsi

Fionna, U., & Hutchinson, F. E. (2019). Indonesia’s 2019 elections: A fractured democracy? Asian Affairs,  50(4),  502-519.

https://doi.org/10.1080/03068374.2019.1672400

Gerber, A. S., Huber, G. A., Doherty, D., & Dowling, C. M. (2011). The Big Five personality traits in the political arena. Annual Review of Political Science, 14, 265–287.

Goldberg, L. R., & Rosolack, T. K. (1994). The Big Five factor structure as an integrative framework: An empirical comparison with Eysenck’s PEN model. In C. F. Halverston, Jr., G. A. Kohnstamm, & R. P. Martin (Eds.), The developing structure of temperament and personality from infancy to adulthood (pp. 7-35). Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Gosling, S. D., Rentfrow, P. J., & Swann, W. B., Jr. (2003). A very brief measure of the big-five personality domains. Journal of Research in Personality,    37,    504-528.

https://doi.org/10.1016/S0092-6566(03)00046-1

Hadiz, V. R. (2017, Oktober). Behind Indonesia’s illiberal turn. New Mandala. https://www.newmandala.org/indonesia-illiberal/

Hadiz, V. R. (2018). Imagine all the people? Mobilising Islamic populism for right-wing politics in Indonesia. Journal of Contemporary       Asia,        48(4),        566-583.

https://doi.org/10.1080/00472336.2018.1433225

Hasan, A. M. (2018, 12 Oktober). Jair Bolsonaro Trump versi Brazil yang kangen kediktatoran militer. Tirto. https://tirto.id/jair-bolsonaro-trump-versi-brazil-yang-kangen-kediktatoran-militer-c5S7

Heaven, P. C. L., & Bucci, S. (2001). Right-wing authoritarianism, social dominance orientation and personality: An analysis using the IPIP measure. European Journal of Personality, 15(1), 49-56. https://doi.org/10.1002/per.389

Heinze, E. (2016) Hate speech and democratic citizenship. Oxford University Press.

Heywood, A. (2015). Key concepts in politics and international relations. Macmillan International Higher Education.

Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia.

Hirsh, J. B., Xu, X., DeYoung, C. G., & Peterson, J. B. (2010). Compassionate liberals and polite conservatives: Associations of agreeableness with political ideology and moral values. Personality and Social Psychology Bulletin, 36(5), 655-664. https://doi.org/10.1177/0146167210366854

John, O. P., Donahue, E. M., & Kentle, R. L. (1991). The Big Five inventory versions 4a and 54. University of California, Berkeley, Institute of Personality and Social Research.

John, O. P., & Srivastava, S. (1999). The Big Five trait taxonomy: History, measurement, and theoretical perspectives. In L. A. Pervin & O. P. John (Eds.), Handbook of personality: Theory and research (pp. 102-138). Guilford Press.

Jost, J. T. (2006). The end of the end of ideology. American

Psychologist, 61(7), 651-670.

Jost, J. T., Glaser, J., Kruglanski, A. W., & Sulloway, F. J. (2003). Political conservatism as motivated social cognition. Psychological Bulletin, 129(3), 339-375.

Jost, J. T., Nosek, B. A., & Gosling, S. D. (2008). Ideology: Its resurgence in social, personality, and political psychology. Perspectives on Psychological Science, 3(2), 126-136.

Karim, A. G. (2019). Mengelola polarisasi politik dan sirkulasi kekuasaan di Indonesia: Catatan bagi agenda riset. POLITIKA Jurnal Ilmu  Politik,   10(2),   215-228.

https://10.14710/politika.10.2.2019.215-228

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2019). Siaran pers tentang selama maret 2019, Kominfo identifikasi 453 hoaks, total hoaks sejak agustus 2018 jadi 1.224 (Siaran Pers No. 69/HM/KOMINFO/04/2019). Kemenfominfo                                     RI.

https://kominfo.go.id/content/detail/17629/siaran-pers-no-69hmkominfo042019-tentang-selama-maret-2019-kominfo-identifikasi-453-hoaks-total-hoaks-sejak-agustus-2018-jadi-1224/0/siaran_pers

Lim, M. (2017). Freedom to hate: Social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies,                  49(3),                  411-427.

https://doi.org/10.1080/14672715.2017.1341188

Mason, L. (2018). Uncivil agreement: How politics became our identity. University of Chicago Press.

McCrae, R. R., & Costa, P. T., Jr. (1996). Toward a new generation of personality theories: Theoretical contexts for the Five-Factor Model. In J. S. Wiggins (Ed.), The five-factor model of personality: Theoretical perspectives (pp. 51-87). Guilford Press.

Mhaka, T. (2020, 13 Oktober). Joe Biden’s America is a dangerous myth.                    Al                    Jazeera.

https://www.aljazeera.com/opinions/2020/10/13/joe-bidens-america-is-a-dangerous-myth

Minkov, M., van de Vijver, F. J. R., & Schachner, M. (2019). A test of a new short Big-Five tool in large probabilistic samples from 19 countries. Personality and Individual Differences, 151, 109519. https://doi.org/10.1016/j.paid.2019.109519

Mondak, J. J., & Halperin, K. D. (2008). A framework for the study of personality and political behaviour. British Journal of Political Science, 38(2), 335–362.

Nachar, N. (2008). The Mann-Whitney U: A test for assessing whether two independent samples come from the same distribution. Tutorials in Quantitative Methods for Psychology, 4(1), 1320. https://doi.org/10.20982/tqmp.04.1.p013.

Nicol, A. A. M., & De France, K. (2016). The big five’s relation with the facets of right-wing authoritarianism and social dominance orientation. Personality and Individual Differences,                98,                320–323.

https://doi.org/10.1016/j.paid.2016.04.062

Palmer, C. L. (2014). The prejudiced personality? Using the Big Five to predict susceptibility to stereotyping behavior. American Political Science Association 2014 Annual Meeting Paper. American      Political      Science      Association.

https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=24557 59

Pernet, C. (2015). Null hypothesis significance testing: a short tutorial. F1000Research,                 4,                 621.

https://doi.org/10.12688/f1000research.6963.3

Perry, R., & Sibley, C. G. (2012). Big Five personality prospectively predicts social dominance orientation and right-wing authoritarianism. Personality and Individual Differences, 52(1), 3-8. https://doi.org/10.1016/j.paid.2011.08.009

Polarisasi Jokowi-Prabowo ancam demokrasi? (2018, 13 November). PinterPolitik.   https://pinterpolitik.com/polarisasi-jokowi-

prabowo-ancam-demokrasi/

Purwanto. (2015). Politik identitas dan resolusi konflik transformatif. Jurnal Review Politik, 5(1).

Renaldi, E., & Ibrahim, F. (2019, 17 Februari). Pilpres 2019 picu konflik agama dan perpecahan keluarga. Mata Mata Politik. https://www.matamatapolitik.com/news-x-pilpres-2019-picu-konflik-agama-dan-perpecahan-keluarga/

Roberts, B. W., Chernyshenko, O. S., Stark, S., & Goldberg, L. R. (2005) The structure of conscientiousness: An empirical investigation based on seven major personality questionnaires. Personnel Psychology, 53(1),  103-139.

http://doi.org/10.1111/j.1744-6570.2005.00301.x

Sibley, C. G., & Duckitt, J. (2008). Personality and prejudice: A metaanalysis and theoretical review. Personality and Social Psychology Review, 12, 248–279.

Sibley, C. G., & Duckitt, J. (2010). The personality bases of ideology: A  one-year  longitudinal study. Journal of Social

Psychology, 150, 540–559.

Stenner, K. (2005). The authoritarian dynamic. Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9780511614712

Sugiyono. (2017). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Alfabeta.

Sumampouw, S. A. (2018). The money that never sleeps: Bureaucratic movement and vote buying dynamics in Bolaang Mongondow, North Sulawesi. Power Conflict Democracy, 6(1). https://doi.org/10.22146/pcd.31824

Surijah, E. A., & Tjundjing, S. (2007). Mahasiswa versus tugas: Prokrastinasi akademik dan conscientiousness. Anima Indonesian Psychological Journal, 22(4), 352-374.

Tapsell, R. (2017, 17 Februari). Post-truth politics in Southeast Asia. Inside Story. https://insidestory.org.au/post-truth-politics-in-southeast-asia/

Tucker, J. A., Guess, A., Barbera, P., Vaccari, C., Siegel, A., Sanovich, S., Stukal, D., & Nyhan, B. (2018). Social media, political polarization, and political disinformation: A review of the scientific literature. Hewlett Foundation.

Wilson, J. Q. (2013). How divided are we?. In S. Kernell, & S. S. Smith (Eds.), Principles and practice of American politics: Classic and contemporary findings (pp. 492-503). CQ Press.

Winter, D. G. (2003). Personality and political behavior. In D. O. Sears, L. Huddy, & R. Jervis (Eds.), Oxford handbook of political psychology (pp. 110–145). Oxford University Press.

LAMPIRAN

Tabel 1

Deskripsi Data Penelitian

N

Mean

SEMean

SD

Skor Terendah (Xmin)

Skor Tertinggi (Xmax)

BFI

Openness

418

35.8

.267

4.56

15

49

BFI

Conscientiousness

418

27.0

.223

4.64

15

40

BFI

Agreeableness

418

31.6

.227

5.45

18

45

VSA

418

6.02

.347

7.10

-24

20

Tabel 2

Deskripsi Data Kelompok Penelitian

Kelompok

n

Mean

Median

SD

SE

Openness

01

321

35.82

36.00

5.54

.309

02

97

35.75

36.00

5.16

.524

Conscientiousness

01

321

26.99

27.00

4.49

.251

02

97

27.11

27.00

4.82

.489

Agreeableness

01

321

31.60

32.00

4.79

.267

02

97

31.80

31.00

4.11

.418

OSK

01

321

5.65

7.00

7.27

.406

02

97

7.26

8.00

6.36

.646

Tabel 3

Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Penelitian

Shapiro-Wilk

Levene’s Test for Equality of Variances

n

w     p

F

df

df2

p

Openness

418

.992     .025

.255

1

416

.614

Conscientiousness

418

.993     .050

1.058

1

416

.304

Agreeableness

418

.982    <.001

1.629

1

416

.203

OSK

418

.979    <.001

3.995

1

416

.046

Tabel 4

Hasil Uji Korelasi Spearman Rank Data Penelitian

OPEN

CONS

AGR

Openness to Experience

Spearman’s ρ

--

Nilai p

--

Conscientiousness

Spearman’s ρ

.186***

-

Nilai p

<.001

-

Agreeableness

Spearman’s ρ

.191***

.217**

-

Nilai p

<.001

<.001

-

OSK

Spearman’s ρ

-.166***

.136**

.141**

Nilai p

<.001

.005

.004

Tabel 5

Hasil Uji Beda Mann-Whitney Data Penelitian

95% CI

u

p

MDif

Lower

Upper

Cohen’s d

Openness

Mann-Whitney

15546

.983

2.74e-6

-1.00

1.000

.012

Conscientiousness

Mann-Whitney

15436

.899

-1.64e-5

-1.00

1.000

-.026

Agreeableness

Mann-Whitney

15522

.965

-5.75e-5

-1.00

1.000

-.044

OSK

Mann-Whitney

13604

.030

-1.00

-Inf

-5.29e-

5

-.227

Tabel 6

Ringkasan Hasil Uji Hipotesis Penelitian

No

Hipotesis

Hasil

1

Openness to experience, conscientiousness, dan agreeableness tidak memiliki korelasi yang signifikan secara parsial maupun simultan dengan otoritarianisme sayap kanan

H01 ditolak

2

Tidak ada perbedaan pilihan politik antara pemilih pasangan 01 dan 02 ditinjau dari openness to experience, conscientiousness, dan agreeableness

H02 gagal ditolak

3

Tidak ada perbedaan pilihan politik antara pemilih pasangan 01 dan 02 ditinjau dari tingkat otoritarianisme sayap kanan

H03 ditolak

83