Persepsi remaja terhadap perilaku emotional eating
on
Jurnal Psikologi Udayana 2022, Vol.9, No.1, 33-39
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2022.v09.i01.p04
Persepsi remaja terhadap perilaku emotional eating
Nindya Alifia Tittandi
Program Studi Magister Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada [email protected]
Abstrak
Masa remaja merupakan masa transisi yang biasanya ditandai dengan perubahan emosi yang cukup signifikan. Pada masa ini, beberapa remaja mengalami kesulitan dalam mengatasi luapan emosi yang sedang dialami, sehingga memilih untuk mengatasi dengan makan. Kondisi ini dapat dikenal dengan perilaku emotional eating. Perilaku emotional eating ini apabila dilakukan secara berlebihan dapat mengakibatkan berat badan berlebih atau bahkan obesitas. Pada penelitian ini, peneliti mencoba mencari tahu sejauh mana pengetahuan remaja terkait perilaku emotional eating. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi transendental dan melibatkan dua orang remaja perempuan sebagai partisipan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan partisipan terkait emotional eating masih terbatas, hal ini dapat berpengaruh negatif apabila tidak segera ditangani seperti terjadinya berat badan berlebih dan/atau obesitas. Penelitian saat ini dapat menjadi sumber bukti untuk penelitian selanjutnya bahwa pemberian edukasi mengenai perilaku makan pada remaja merupakan hal yang penting untuk dilakukan.
Kata kunci: emotional eating, perilaku makan, persepsi, remaja
Abstract
Adolescence is a period of transition marked by significant emotional changes. Currently, some teenagers have difficulty coping with the emotional outbursts they experience, so they choose to cope with eating. This condition is known as emotional eating behavior. This emotional eating behavior if done excessively can lead to overweight or even obesity. In this study, researchers tried to find out the extent of adolescent knowledge related to emotional eating behavior. This study used a qualitative research method with a transcendental phenomenological approach and involved two young women as participants. Research findings indicate that knowledge related to emotional eating is still limited, this can have a negative effect if not treated immediately such as the occurrence of overweight and/or obesity. Current research can be a source of evidence for further research that providing education about eating behavior in adolescents is an important thing to do.
Keywords: adolescence, eating behavior, emotional eating, perspective
LATAR BELAKANG
Pengertian emotional eating menurut Braden dkk. (2018) merupakan tendensi makan seseorang yang dipengaruhi oleh kondisi emosional alih-alih kebutuhan fisik atau biologis untuk makan. Ganley (dalam Rizkiana & Sumiati, 2019) juga menyatakan bahwa emotional eating merupakan istilah yang digunakan sebagai representasi suatu fenomena dimana emosi seseorang dapat mempengaruhi perilaku makan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku emotional eating merupakan suatu keadaan dimana seseorang memilih untuk makan atau tidak makan sesuai dengan situasi dan/atau kondisi perasaanya. Menurut Mantau dkk. (2018) faktor psikologis (misalnya perilaku makan yang terkendali) dan situasional (misalnya stress) dianggap lebih relevan dalam menjelaskan cara seseorang dalam memilih makanan saat menghadapi suatu keadaan negatif.
Alasan terkait perilaku emotional eating yang muncul saat individu sedang menghadapi keadaan negatif, dikarenakan salah satu komponen zat yang dibutuhkan individu untuk meningkatkan mood negatif menjadi positif adalah bersumber dari makanan (Mantau dkk., 2018). Sebuah studi eksperimental menunjukkan bahwa makan merupakan respon terhadap kecemasan (Braden dkk., 2018). Selain itu, perilaku makan juga disebutkan sebagai respon terhadap depresi dan kondisi tersebut erat kaitannya dengan kesejahteraan psikologis, gejala eating disorder, dan kesulitan regulasi emosi (Braden dkk., 2018).
Perilaku makan remaja merupakan salah satu kondisi yang perlu diawasi (Santrock, 2018). Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal yang kompleks, mulai dari keinginan remaja untuk menjaga citra diri seperti postur tubuh (Tumenggung & Talibo, 2018), terbawa oleh situasi dan kondisi seperti pada saat bersedih, pada saat berkumpul dan makan-makan bersama teman, mulai aktif dalam suatu kegiatan sehingga membutuhkan lembur, dan lain sebagainya (Goheer dkk., 2021).
Ketidakmampuan remaja dalam mengontrol perilaku makan dapat mengakibatkan remaja tersebut mengalami kondisi overweight atau bahkan obesitas. Berdasarkan laporan dari Riset Kesehatan Dasar atau RISKESDAS (2018) terdapat kenaikan angka obesitas pada anak usia 15-18 tahun sebanyak 26.6% di tahun 2016 dan 31% di tahun 2018. Penelitian menyebutkan bahwa emotional eating merupakan salah satu penyebab seorang remaja mengalami obesitas yang dipengaruhi oleh ketidakmampuan remaja dalam regulasi diri dengan baik (Rizkiana & Sumiati, 2019). Akan tetapi penelitian tersebut belum membahas secara detail apakah remaja mengetahui/menyadari bahwa dirinya melakukan perilaku emotional eating atau tidak.
Sebagai upaya untuk menghindari perilaku emotional eating yang berkepanjangan (khususnya pada remaja), melalui riset ini peneliti ingin meninjau sejauh mana pengetahuan yang dimiliki remaja mengenai kesehatan fisik dan psikologis terkait perilaku emotional eating. Peneliti berharap melalui penelitian ini dapat menjadi bukti mengenai tingkat pengetahuan remaja terkait perilaku emotional eating sehingga langkah selanjutnya dapat disusun program preventif untuk remaja mengenai pencegahan perilaku emotional eating.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi transendental atau psikologis dari Moustakas (dalam Creswell, 2015) yaitu dengan melihat segala bentuk kejadian secara terbuka tanpa melibatkan prasangka subjektif peneliti dan berfokus pada deskripsi dari pengalaman partisipan.
Partisipan merupakan dua orang pelajar perempuan berusia 14 dan 18 tahun. Partisipan tidak memiliki penyakit kronis yang menyebabkan turunnya berat badan. Partisipan didapatkan melalui kesukarelaan dari pengumuman yang peneliti sebarkan terkait kebutuhan partisipan dalam penelitian. Pengambilan data dilakukan menggunakan proses wawancara mendalam semi-terstruktur, ditambah dengan beberapa observasi dan dokumentasi sebagai upaya peneliti untuk menggali informasi lebih lanjut mengenai pengetahuan yang dimiliki remaja terhadap fenomena emotional eating.
Analisis data fenomenologi menggunakan struktur keseluruhan Moustakas (dalam Creswell, 2015) dengan mengidentifikasi pernyataan-pernyataan penting yang muncul dari hasil wawancara, kemudian menyusunnya ke dalam satuan kalimat yang bermakna, mengelompokkannya ke dalam tema-tema, dan terakhir dengan mendeskripsikannya secara lengkap. Verifikasi data dilakukan melalui double check kepada partisipan terkait ketepatan maksud dan tulisan yang ditranskrip oleh peneliti.
HASIL PENELITIAN
Pengetahuan Terkait Pengertian Emotional Eating
Berdasarkan hasil wawancara, peneliti menemukan perbedaan pengetahuan terkait perilaku emotional eating di antara kedua partisipan. Pada pertanyaan awal yaitu, “apa yang dipahami partisipan terkait perilaku emotional eating?”. Partisipan 1 (P1) yang merupakan pelajar SMP dengan segera menjawab “enggak”. Berbeda dengan Partisipan 2 (P2) yang berstatus sebagai pelajar SMA, dengan segera menjelaskan pemahamannya terkait perilaku emotional eating. “Yang saya ketahui tentang emotional eating yaitu kebiasaan seseorang dalam mengkonsumsi makanan secara berlebihan walaupun dia tidak merasa lapar, hanya karena stress dan lain-lain”. Pada P1, peneliti kemudian memberi penjelasan singkat terkait perilaku emotional eating.
Menurut pengetahuan yang dimiliki P2, peneliti kemudian menanyakan lebih jauh terkait informasi yang ia miliki. P2 menjawab, “Saya tahu dari google tapi saya pernah diberi materi tersebut oleh guru BK saya ketika kelas 11”. Hal ini kemudian menjadi pertimbangan adanya perbedaan pengetahuan yang dimiliki P1 dengan P2 yang kemungkinan dipengaruhi oleh inisiatif P2 untuk mencari tahu informasi tersebut sebelum menjawab pertanyaan dari peneliti.
Penyebab Munculnya Perilaku Emotional Eating
Pertanyaan kedua diajukan mengenai “Hal apa yang menurut partisipan dapat menyebabkan seseorang melakukan perilaku emotional eating?”. Kedua partisipan setuju bahwa kondisi emosional mempengaruhi perilaku emotional eating. Seperti jawaban P1 yaitu, “Ketika sedang bahagia, emosi, sedih.”
respon serupa juga diberikan oleh P2, “Seseorang bisa melakukan emotional eating ketika dia sedang stress, emosionalnya tidak terkontrol, labil, bahkan mati rasa”.
Peneliti kemudian bertanya mengenai kegiatan yang dilakukan partisipan pada saat dilanda perasaan sedih, kecewa, marah, dan stres. P1 menjawab “Makannya banter, yang manis-manis biasanya”, dan pada P2 “Kalau saya lagi bad mood saya memilih buat makan sampai kenyang, nanti lama kelamaan moodnya akan baik”. Hal tersebut menunjukkan bahwa makan merupakan pilihan perilaku alternatif bagi mereka saat merasa sedih, kecewa, marah, dan stres.
Akibat Dari Perilaku Emotional Eating
Peneliti menanyakan terkait apa yang diketahui partisipan terkait dampak dari perilaku emotional eating pada pertanyaan selanjutnya.. Kedua partisipan sepakat bahwa perilaku emotional eating dapat mengakibatkan perilaku makan yang kurang terkontrol sehingga mampu menjadikan seseorang memiliki berat badan berlebih bahkan risiko obesitas. Pernyataan tersebut seperti, “… guru BK saya berikan materi yang lain yaitu tentang akibat emotional eating yaitu tentang obesitas…”.
Upaya Pencegahan
Terakhir, peneliti menanyakan tentang langkah yang dapat dilakukan partisipan untuk menghindari perilaku emotional eating. P1 mengungkapkan bahwa “Perlu mengontrol emosi, ya sadar diri. Melakukan kegiatan yang positif, ya melakukan hobi”. P2 menjawab “Menyadari bahwa emotional eating itu tidak baik untuk kesehatan maupun tubuh kita sendiri, dan mengelola mood dengan baik agar tidak melakukan emotional eating, lalu berolahraga dengan rutin, menyediakan makanan-makanan sehat seperti buah-buahan di rumah kita agar yang dimakan oleh tubuh kita itu makanan yang sehat-sehat, dan yang pasti menjaga mood agar tidak emotional eating”. Berdasarkan jawaban di atas, kedua partisipan sepakat untuk menghindari perilaku emotional eating dan diperlukan kemampuan regulasi emosi yang baik pada individu, sehingga apabila dihadapkan dengan perasaan negatif dapat menyalurkannya pada hal-hal yang lebih bermanfaat seperti melakukan hobi atau berolahraga.
Informasi tambahan, hasil observasi singkat peneliti pada P1 memiliki kebiasaan makan snack daripada makan berat. Snack tersebut berupa makan camilan di sela-sela waktunya serta buah-buahan di pagi hari. Selain itu, terdapat data dokumentasi mengenai materi yang pernah disampaikan oleh guru BK dari P2.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Masa remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak menuju masa dewasa, pada masa ini remaja memiliki emosi yang mudah berubah-ubah (Rizkiana & Sumiati, 2019) sehingga banyak hal yang akan dilakukan remaja untuk mengatasinya, salah satunya yaitu dengan makan.
Braden dkk. (2018) menyatakan bahwa emotional eating mengecualikan emosi positif sebagai pemicu makan, sehingga secara umum emosi negatif yang akan lebih banyak mempengaruhi perilaku makan seseorang. Hal tersebut peneliti
temukan dalam pengakuan dari partisipan penelitian bahwa saat perasaan mereka sedang buruk, mereka cenderung akan memilih untuk makan hingga kondisi perasaannya membaik, padahal tidak menutup kemungkinan saat bahagia seperti perayaan hari besar atau saat sedang menonton film dengan suasana hati gembira seseorang bisa melakukan emotional eating.
Partisipan juga menambahkan pilihan makanan manis saat berada dalam kondisi emosi negatif. Pilihan makanan seperti makanan yang mengandung gula saat mengalami kondisi buruk atau sedih sesuai dengan penelitian yang dilakukan Parker dkk. (dalam Mantau dkk., 2018), hal tersebut dikarenakan makanan juga merupakan sistem reward bagi tubuh dan apabila perilaku tersebut berlebihan, akan berdampak pada kenaikan berat badan (Mantau dkk., 2018).
Menurut ide pencegahan perilaku emotional eating dari partisipan, perilaku tersebut muncul dikarenakan kesulitan seseorang dalam pengaturan/regulasi emosi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa kelompok dengan gangguan makan memiliki kesulitan regulasi emosi yang lebih tinggi daripada kelompok sehat (Harrison dkk., 2010). Selain itu, juga terdapat kebingungan dalam mendeteksi rasa lapar atau kenyang saat berada dalam kondisi yang berkaitan dengan emosi (Konttinen, 2020) sehingga dengan memupuk kemampuan regulasi emosi sejak dini, akan lebih bermanfaat bagi keberlangsungan hidup anak di kemudian hari.
Pada penelitian kali ini, diketahui bahwa P1 yang merupakan siswi SMP belum begitu mengerti mengenai perilaku emotional eating. Hal ini berbeda dengan P2 yang merupakan siswi SMA yang telah dibekali pengetahuan terkait emotional eating oleh guru di sekolahnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pentingnya pengetahuan yang diberikan guru sebagai salah satu langkah preventif pencegahan obesitas serta gangguangangguan makan lainnya pada remaja. Sehingga materi-materi terkait gangguan yang sering muncul pada masa remaja beserta upaya pencegahannya dapat disampaikan sejak dini dengan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah atau diberikan melalui seminar atau poster-poster psikoedukasi.
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Riggs dan Pentz (2011) telah melakukan uji coba sebuah modifikasi program penyalahgunaan narkoba dan pencegahan kekerasan menjadi pencegahan obesitas pada anak di Amerika. Komponen penting dari program tersebut adalah pengaturan perilaku individu, kontrol impuls, dan kemampuan pengambilan keputusan, khususnya terkait diet dan aktivitas fisik demi perilaku hidup sehat (Riggs & Pentz, 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku emotional eating yang dapat menyebabkan obesitas pada remaja, dipengaruhi oleh kemampuannya untuk regulasi diri serta kemampuan dalam memilih asupan yang menyehatkan. Kemampuan ini perlu dipupuk sedari kecil dengan harapan tidak sulit untuk mengontrolnya di kemudian hari.
Keterbatasan partisipan dalam penelitian ini mengakibatkan diperlukannya penelitian lanjutan dengan partisipan yang lebih banyak dan/atau beragam. Meski begitu, sebagai langkah awal temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan
remaja terkait perilaku emotional eating masih minim. Hal tersebut dapat berdampak negatif apabila tidak segera diatasi.
Keterbatasan lainnya dalam penelitian ini adalah kedua partisipan berjenis kelamin perempuan sehingga peneliti belum mengetahui perspektif perilaku emotional eating pada remaja laki-laki. Selain itu, peneliti tidak memperhatikan pengaruh psikososial baik dari keluarga maupun teman sebaya dikarenakan penelitian ini berfokus pada penggalian pengetahuan awal yang dimiliki partisipan, sehingga hal ini dapat menjadi perhatian pada penelitian selanjutnya untuk memperhatikan pengaruh lingkungan partisipan dalam perilaku makan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Braden, A., Musher-eizenman, D., Watford, T., & Emley, E. (2018). Eating when depressed, anxious, bored, or happy: Are emotional eating types associated with unique psychological and physical health correlates? Appetite, 125, 410–417.
https://doi.org/10.1016/j.appet.2018.02.022
Creswell, J. W. (2015). Penelitian kualitatif & desain riset: memilih di antara lima pendekatan (S. Z. Qudsy (ed.); Edisi ke-3). Pustaka Pelajar.
Goheer, A., Holzhauer, K., Martinez, J., Woolf, T., Coughlin, J. W., Martin, L., Zhao, D., Lehmann, H., Clark, J. M., & Bennett, W. L. (2021). What influences the “when” of eating and sleeping?
A qualitative interview study. Appetite, 156, 104980.
https://doi.org/10.1016/j.appet.2020.104980
Harrison, A., Sullivan, S., Tchanturia, K., & Treasure, J. (2010). Emotional functioning in eating disorders: Attentional bias, emotion recognition and emotion regulation. Psychological Medicine, 40(11), 1887–1897.
https://doi.org/10.1017/S0033291710000036
Konttinen, H. (2020). Emotional eating and obesity in adults: the role of depression, sleep and genes. Proceedings of the Nutrition Society, 79, 283–289.
https://doi.org/10.1017/S0029665120000166
Mantau, A., Hattula, S., & Bornemann, T. (2018). Individual
determinants of emotional eating: A simultaneous investigation. Appetite, 130(January), 93–103.
https://doi.org/10.1016/j.appet.2018.07.015
Riggs, N. R., & Pentz, M. A. (2011). Preventing risk for program ( PATHWAYS ). Evaluation Review, 287–310.
Riskesdas, K. (2018). Hasil utama riset kesehatan dasar (RISKESDAS). Journal of Physics A: Mathematical and Theoretical, 44(8), 1–200. https://doi.org/10.1088/1751-
Rizkiana, U., & Sumiati, N. T. (2019). Pengaruh kepribadian dan attachment terhadap emotional eating pada remaja di Tangerang Selatan. Tazkiya Journal of Psychology, 6(1), 123–134.
https://doi.org/10.15408/tazkiya.v6i1.11021
Santrock, J. W. (2018). A topical approach to life-span development (Ninth). McGraw-Hill Education.
Tumenggung, I., & Talibo, S. D. (2018). Eating disorders pada siswa SMA di kota Gorontalo. Health and Nutritons Journal, 4(1), 26–35.
LAMPIRAN
Pertanyaan Penelitian:
-
1. Apa yang dipahami partisipan mengenai perilaku emotional eating?
-
2. Hal apa yang menurut partisipan dapat menyebabkan seseorang melakukan perilaku emotional eating?
-
3. Apa yang diketahui partisipan mengenai dampak dari perilaku emotional eating?
-
4. Bagaimana upaya partisipan untuk menghindari perilaku emotional eating?
Verbatim Wawancara
Partisipan 1
Nama : N K (P1)
Usia : 14 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Siswi SMP
Wawancara I
Hari/Tanggal : Sabtu, 28 November 2020
Pukul : 19.19 – 19.24 WIB
Tempat : Kediaman subjek I (Gunungkidul)
Pertanyaan |
Jawaban |
Analisa |
Kode & Kategori |
Apakah subjek mengetahui istilah dari emotional eating? |
Enggak. |
Partisipan belum mengetahui pengertian terkait perilaku emotional eating |
Pengetahuan terkait pengertian emotional eating (PN) |
Kalau dari kata-katanya, kira-kira artinya apa? Eating? Emotional? |
Hmmm, makan, emosional. Memakan emosi. |
Peneliti memberikan penjelasan singkat terkait makna dari emotional eating | |
Makan apa biasanya saat bad mood? |
Makan jajan, chiki. |
Partisipan mulai mengingat dan menyebutkan apa yang ia konsumsi saat dalam kondisi yang tidak baik | |
Cokelat pernah nggak? |
Ndak suka cokelat. | ||
Berarti emotional eating itu? |
Emosi eh makan di saat kondisinya sedang tidak bagus (dibantu oleh peneliti). | ||
Terus kalau sudah tahu pengertiannya tadi, kira-kira kapan orang itu melakukan perilaku emotional eating? |
Ketika sedang bahagia, emosi, sedih. |
Partisipan menganalisis kapan perilaku emotional eating terjadi |
Penyebab munculnya perilaku emotional eating (PS) |
Sedih? Biasanya makannya chiki tadi? |
Iya. | ||
Sambil apa biasanya selain makan? |
Tidur. | ||
Tapi biasanya makan tidak? Kalau marah, kalau sedih gitu. Atau malah kehilangan nafsu makan? |
Makannya banter, yang manis-manis biasanya. |
Partisipan mulai menyadari bahwa perilakunya termasuk dalam perilaku emotional eating | |
Apa biasanya? kan nggak doyan cokelat tu. |
Hmm yaa susu. | ||
Biasanya kan kalau kayak gitu, makannya tidak terkontrol kan, dek I tahu nggak dampaknya ke tubuh? |
Enggak. |
Partisipan belum mengetahui dampak yang terjadi akibat perilaku emotional eating |
Akibat dari perilaku emotional eating (A) |
Kira-kira biasanya orang makan banyak gitu gimana? |
Gemuk. |
Partisipan menjawab dampak dengan bantuan clue dari peneliti | |
Jadi bagaimana? Harus bisa ngontrol emosi ya. |
Iya. | ||
Terus, biar kita tidak makan secara emosional tadi, kita perlu apa saja nih? |
Perlu mengontrol emosi, ya sadar diri. |
Partisipan berpikir tentang alternatif pencegahan perilaku emotional eating |
Usaha pencegahan (PC) |
Berarti kalau misalnya emang lagi emosi nih, mending larinya ke makan atau ke yang lain jadinya? |
Ke yang lain. | ||
Contohnya? |
Kegiatan yang positif, ya melakukan hobi. | ||
Hobinya apa kalau dek I? |
Banyak, fotografi dan nulis. Nulis kayak fiksi gitu tapi tidak tulis tangan. | ||
Tapi sambil ngemil juga? |
Enggak, enggak bisa. |
Partisipan 2
Nama : N S (P2)
Usia : 18 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Siswi SMA
Wawancara II
Hari/Tanggal : Sabtu, 29 November 2020
Pukul : 15.49 – 16.27 WIB
Tempat : Daring (voice note whatsapp)
Pertanyaan |
Jawaban |
Analisa |
Kode & Kategori |
Dek N tahu enggak sih, pengertian dari emotional eating? |
Yang saya ketahui tentang emotional eating yaitu kebiasaan seseorang dalam mengonsumsi makanan secara berlebihan walaupun dia tidak merasa lapar, hanya karena stress dan lain-lain. |
Partisipan telah mengetahui pengertian terkait perilaku emotional eating, peneliti khawatir partisipan mencari tahu dari google karena wawancara yang berlangsung secara daring. |
Pengetahuan terkait pengertian emotional eating (PN) |
Wah, dek N sudah tahu ya. Kira-kira tahu darimana tuh? |
Saya tahu dari google tapi saya pernah diberi materi tersebut oleh guru BK saya ketika kelas 11. |
Partisipan mengaku mengetahui dari google, nmun sebelumnya telah diberikan materi tersebut oleh guru BK di sekolahnya. | |
Berarti guru BK nya sudah ngajarin ya. Apa saja yang sudah diajarkan? Terus menurut dek N sendiri apa aja sih yang bisa bikin seseorang itu melakukan perilaku emotional eating ini? |
Yang pernah diberikan oleh guru BK saya yaitu faktor-faktor yang memengaruhi seseorang bisa melakukan emotional eating. Seseorang bisa melakukan emotional eating ketika dia sedang stress, emosionalnya tidak terkontrol, labil, bahkan mati rasa. |
Partisipan menjelaskan terkait hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang melakukan perilaku emotional eating. |
Penyebab munculnya perilaku emotional eating (PS) |
Selain emotional eating, kemarin guru BK nya bahas apa aja kalau tentang penyakit-penyakit makanan ini? |
Yang guru BK saya berikan materi yang lain yaitu tentang akibat emotional eating yaitu tentang obesitas, tidak sehatnya pola makan, banyaknya lemak yang ada di tubuh yang tidak sehat, dan lain-lain. |
Partisipan menjelaskan akibat dari perilaku emotional eating. |
Akibat dari perilaku emotional eating (A) |
Itu nggak tapi, diajarin juga maksudnya tuh kayak anorexia nervosa, bulimia nervosa, seperti itu diajarin nggak? |
Tidak, ataupun nggak tahu kalau belum ya, mbak. Tapi pas kan itu terus online, terus gurunya tuh jarang ngasih materi-materi paling Cuma suruh ngisi google form, gitu. |
Peneliti menanyakan materi apa saja yang diberikan oleh guru BK partisipan mengenai gangguan makan. | |
Dek N ini kira-kira makan sehari berapa kali? Terus, kapan aja ya waktunya? |
Jadi kalau pola makan saya itu nggak mesti selalu sehari berapa kali, tapi selapernya. Kalau laper ya makan, kalo nggak laper ya nggak makan. |
Peneliti mengajak partisipan untuk menganalisi pola makan partisipan, apakah termasuk dalam kategori emotional eating atau tidak. |
Bisa sehari kadang tiga kali, kadang dua kali, kadang empat kali, tergantung mood dan keinginan, dan kelaperan. | |||
Tuh berarti kan kalau tergantung mood berarti termasuk emotional eating nggak sih? Berarti kurang teratur ya, pola makan dek N ini. Atau emang ada tambahan snack seperti buah-buahan atau cemilan lain mungkin? |
Iya tadi saya pas jawab juga membatin kalau saya itu termasuk emotional eating. Jadi saya setiap hari juga makan buah; diimbangi dengan buah tapi juga makan camilan. |
Patisipan mulai menyadari bahwa perilaku makannya termasuk perilaku emotional eating karena masih tergantung mood. | |
Tapi kalau dek N lagi sedih gitu atau lagi bad mood, kayak gitu biasanya akan atau mengalihkan ke kegiatan lainnya? |
Kalau saya lagi bad mood saya memilih buat makan sampai kenyang, nanti lama kelamaan moodnya akan baik. |
Pilihan partisipan untuk makan sampai moodnya kembali baik merupakan salah satu ciri perilaku emotional eating. | |
Itu makannya apa? Manis-manis kah? Atau apa aja yang ada gitu? |
Apa aja yang ada, kalau ada yang manis, ya manis. Kalau adanya pedes-pedes atau gurih-gurih, ya pedes atau gurih. Tapi kalau kesukaan sih lebih ke pedes dan gurih ketimbang manis. |
Partisipan lebih menyukai jenis makanan yang gurih dan pedas daripada yang manis-manis. | |
Kira-kira cara dek N buat membatasi diri buat nggak emotional eating tu dek N bakal ngelakuin apa? |
Menyadari bahwa emotional eating itu tidak baik untuk kesehatan maupun tubuh kita sendiri, dan mengelola mood dengan baik agar tidak melakukan emotional eating, lalu berolahraga dengan rutin, menyediakan makanan-makanan sehat seperti buah-buahan di rumah kita agar yang dimakan oleh tubuh kita itu makanan yang sehat-sehat, dan yang pasti menjaga mood agar tidak emotional eating. |
Partisipan menyebutkan hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya perilaku emotional eating dan berharap dirinya dapat menjalankannya juga. |
Usaha pencegahan (PC) |
Keterangan:
PN: Pengetahuan terkait emotional eating
PS: Penyebab perilaku emotional eating
A: Akibat dari perilaku emotional eating
PC: Pencegahan dari perilaku emotional eating
39
Discussion and feedback