“Apakah kami anak-anak yang memberontak?” Studi fenomenologi makna kemandirian bagi remaja generasi Z
on
Jurnal Psikologi Udayana 2022, Vol.9, No.1, 84-93
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2022.v09.i01.p09
“Apakah kami anak-anak yang memberontak?”
Studi fenomenologi makna kemandirian bagi remaja generasi Z
Surahman
Universitas Muhammadiyah Malang [email protected]
Abstrak
Remaja generasi Z sebagai kelompok individu yang mengenal teknologi internet sejak dini memiliki kemandirian yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Kemandirian yang dialami oleh remaja generasi Z diikuti dengan perilaku yang sulit dipahami dan terkadang disalah artikan sebagai pemberontakan misalnya tidak sependapat dengan orang tua. Berdasarkan fenomena tersebut penelitian ini memiliki tujuan menganalisis makna kemandirian bagi remaja generasi Z. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Data dikumpulkan dengan wawancara semi terstruktur kemudian dianalisis dengan teknik Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) terhadap empat remaja (19-21 tahun). Berdasarkan hasil analisis diperoleh makna kemandirian bagi remaja generasi Z yaitu: (1) upaya mengurangi intervensi/bantuan dari orang tua; (2) berbeda pandangan dengan orang tua; (3) menerima kesempatan dari orang tua untuk menentukan keputusan; dan (4) inisiatif membangun pengalaman kerja.
Kata kunci: generasi Z, kemandirian, makna, remaja
Abstract
Generation Z adolescents as a group of individuals who know internet technology from an early age have a different autonomy from the previous generations. The autonomy experienced by generation Z adolescents is followed by behavior that is difficult to understand and sometimes misinterpreted as rebellion, for example disagreeing with their parents and doing things without the help of their parents anymore. Based on this phenomenon, this study aims to analyze the meaning of autonomy for generation Z adolescents. This study uses a qualitative approach with phenomenological methods. Data were collected using semi-structured interviews and then analyzed using the Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) technique on four adolescents (19-21 years). Based on the results of the analysis obtained the meaning of independence for generation Z adolescents, namely: (1) efforts to reduce intervention / assistance from parents; (2) differing views with parents; (3) accept the opportunity of parents to make decisions; and (4) the initiative to build work experience.
Keywords: autonomy, adolescents, generation Z, meaning
LATAR BELAKANG
Generasi Z adalah individu yang lahir antara tahun 1995-2010 (Seemiller & Grace, 2016) Generasi Z dibentuk oleh kemajuan teknologi, masalah kekerasan, dan ekonomi yang tidak stabil. Melalui smartphone, akses internet di rumah, atau koneksi online di sekolah menjadikan generasi Z memiliki lebih banyak akses informasi dibandingkan generasi lain (Seemiller & Grace, 2017). Generasi Z juga disebut iGeneration atau generasi internet. Generasi Z dan Y memiliki kesamaan, namun Gen Z dapat menerapkan semua aktivitas (multitasking) sekaligus, seperti menjalankan media sosial di ponsel, browsing di PC, dan mendengarkan musik di headphone. Apapun yang generasi Z lakukan, hampir semuanya terkait dengan dunia maya. Sejak kecil generasi Z sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih yang secara tidak langsung memengaruhi kepribadian (Putra, 2016)
Penggunaan teknologi untuk media sosial memiliki tujuan yang berbeda setiap generasi. Generasi X menggunakan media sosial untuk menjaga hubungan yang ada. Generasi Y menggunakan media sosial untuk bisnis dan membangun citra diri. Pada generasi Z penggunaan media sosial lebih variatif misalnya, mengembangkan dan memelihara koneksi, membangun citra diri, mengekspresikan pikiran dan emosi, dan mencari hiburan (Nuzulita & Subriadi, 2019). Internet sebagai salah satu media komunikasi sangat memengaruhi pembentukan kemandirian pada setiap generasi. Menurut Hurlock, (1997) terdapat lima faktor yang memengaruhi kemandirian, yaitu: keluarga, sekolah, agama, pekerjaan atau tugas, dan media komunikasi massa: misalnya majalah, koran, televisi dan sebagainya.
Seperti banyak diketahui bahwa generasi Z lebih mandiri dari generasi sebelumnya. Mereka tidak menunggu orang tua mengajari mereka atau memberi tahu cara mengambil keputusan. Saat diterjemahkan ke dalam tempat kerja, generasi Z telah tumbuh untuk memilih bekerja dan belajar sendiri. Saat berada di sekolah generasi Z memiliki keingintahuan yang besar mengenai hal baru sehingga mereka inisiatif mencari tahu dan belajar mandiri (Fitriyani, 2018).
Kemandirian pada remaja merupakan upaya remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu dilandasi oleh keputusan dirinya sendiri setelah mendapatkan pengalaman dari lingkungan sekitar (Georgiou, 2019). Terdapat beberapa konstruk mengenai kemandirian pada remaja yang berubah mengikuti perkembangan zaman. Pada tahun 1950an kemandirian dikenal dengan detachment yang didefinisikan sebagai berkurangnya ikatan remaja dengan kontrol orang tua. Tahun 1966 disebut dengan unmitigated agency atau kondisi yang tidak diimbangi dengan kerja sama, kepedulian, dan pembentukan koneksi dengan orang lain. Tahun 1970an kemandirian remaja diistilahkan dengan self-reliance atau kematangan psikososial ditandai dengan tidak adanya ketergantungan yang berlebihan pada orang lain, rasa kendali atas hidup seseorang, dan memiliki inisiatif. Pada dekade berikutnya kemandirian disebut dengan emotional autonomy yang menekankan pada individuasi dari orang tua. Tahun 1997 disebut dengan psychological autonomy yang ditandai dengan pembentukan identitas remaja. Kemudian pada tahun 2000
disebut dengan autonomy atau keinginan remaja untuk mengatur diri sendiri berdasarkan pengalaman dan perilaku, serta bertindak dari rasa diri yang terintegrasi (Zimmer-Gembeck & Collins, 2006). Perubahan konstruk tersebut menunjukkan terjadinya penyesuaian makna kemandirian remaja dengan kondisi saat itu. Hal ini juga terjadi pada generasi Z yang bisa saja memiliki makna kemandirian yang berbeda dengan generasi lainnya.
Menurut Steinberg & Lerner (2004) terdapat beberapa hal yang memengaruhi perkembangan kemandirian yaitu, perubahan fisik, kognitif, dan peran. Perubahan fisik berkaitan dengan orientasi interaksi yang awalnya lebih banyak dengan orang tua kemudian mengarah kepada teman sebaya. Perkembangan peran dan aktivitas sosial terkait dengan munculnya masalah yang berhubungan dengan kebebasan. Sedangkan perkembangan kognitif menurut Barth (2014) berkaitan dengan kemampuan berpikir yang lebih kompleks, tuntutan psikososial dalam berhubungan dengan teman sebaya, pengembangan identitas, dan perubahan peran sosial. Kemandirian remaja juga dipengaruhi oleh hubungan kelekatan dengan orang tua (Maulida et al., 2017), tipe pola asuh (Santosa & Marheni, 2013), dan status pekerjaan ibu (Khotimah et al., 2015).
Pada dasarnya kemandirian pada remaja merupakan periode dimana remaja dihadapkan pada tugas yang lebih kompleks dan saling memengaruhi satu sama lain. Misalnya pencarian identitas, pemisahan dengan orang tua, orientasi kelompok sosial, kebutuhan lingkungan yang dapat menerima identitas dan kemandirian. Kemandirian yang muncul pertama kali pada remaja bersifat independence. Hal ini terjadi ketika remaja berhasil melepaskan ikatan infantil sehingga ia mulai melakukan pemisahan dengan keluarganya (Tran & Raffaelli, 2019). Kemudian terdapat perubahan kemandirian yang bersifat autonomi saat beranjak dewasa sebagaimana pendapat Steinberg (2002) “during adolescence, there is a movement away from the dependency typical of childhood toward the autonomy typical of adulthood”. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk memberikan perhatian pada masa peralihan tersebut.
Melatih kemandirian dan melakukan pengawasan sejak awal oleh orang tua sangat penting agar tidak berdampak negatif pada perkembangan remaja. Hal ini dijelaskan oleh penelitian yang dilakukan Goldstein et al. (2005) ketika orang tua mengizinkan remaja terlalu bebas maka berisiko terlibat dalam hal negatif dengan teman sebayanya. Tetapi orang tua yang terlalu mengontrol akan berdampak pada hubungan remaja-orang tua dan berpotensi mengembangkan hubungan sebaya yang beresiko. Penelitian lain menjelaskan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh psychological control berpengaruh terhadap kesehatan mental, relatedness, dan peningkatan cyber-bullying pada remaja (Fousiani et al., 2016; Liu et al., 2022).
Hasil penelitian Bödvarsdóttir & Elklit (2007) juga menjelaskan bahwa terdapat 20 jenis kekerasan dan kecelakaan yang dapat menimpa remaja seperti, kecelakaan lalu lintas, perampokan/pencurian, kekerasan seksual,
bullying, hamil, dan aborsi. Hal tersebut terjadi karena minimnya pengawasan orang tua, tidak adanya panutan yang baik, dan konflik yang terjadi pada kedua orang tua mereka. Oleh karena itu perkembangan kepribadian remaja sangat ditentukan oleh orang tua dan teman sebayanya. Pola asuh positif orang tua dan teman sebaya yang baik juga membantu menjaga kestabilan psikologis serta dapat memfasilitasi orientasi sosial remaja (Choi et al., 2019).
Pembahasan mengenai kemandirian pada remaja sangat menarik karena sebagian besar masyarakat sering menyalah artikan makna kemandirian misalnya dimaknakan sebagai pemberontakan atau melawan orang tua. Menurut Steinberg (2002) rebellion atau pemberontakan biasanya terjadi pada remaja saat mulai mengembangkan kemandirian. Bukobza (2009) menambahkan bahwa remaja yang memberontak berhubungan dengan perilaku yang memiliki resiko. Pemberontakan yang dilakukan oleh remaja akan berdampak terhadap diri sendiri dan orang lain. Pada masa pembentukan identitas, remaja lebih memilih tindakan yang memuaskan diri sendiri tapi pada saat bersamaan dapat membahayakan mereka. Penyebabnya adalah cara mengambil keputusan yang belum matang.
Pemberontakan remaja sebagai salah satu proses perkembangan kemandirian juga diperkuat oleh pendapat Hazen et al. (2019) bahwa periode pemberontakan dan penolakan yang dilakukan oleh remaja adalah usaha menjadi individu yang mandiri. Meskipun ada pemberontakan dan penolakan terhadap orang tua, namun remaja pada akhirnya akan memegang teguh nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tua. Rebellion dilakukan oleh remaja karena keinginan mereka untuk tidak tergantung kepada orang tua dan terjadinya perbedaan pendapat. Menurut Boykin et al. (2009), pada saat remaja terjadi deidealisasi dimana mereka mulai melihat orang tua dari sisi negatif dan positif. Misalnya orang tua sebagai individu yang sempurna-tidak sempurna. Hal ini menjadi salah satu penyebab rebellion terjadi. Pemberontakan juga disebabkan oleh perbedaan pandangan atau pendapat antara remaja dan orang tua.
Selain pemberontakan, ciri remaja yang mandiri yaitu mempersiapkan diri bagi masa depan mereka, misalnya dengan memiliki pekerjaan sampingan. Banyak ditemukan remaja yang mengembangkan keterampilan mereka untuk mempersiapkan masa depan dengan penuh optimis walaupun dengan kondisi yang sulit dan penuh tantangan (Larson et al., 2002). Kemandirian yang dialami oleh remaja juga diikuti oleh kemampuan mereka memecahkan masalah sesuai dengan nilai yang mereka pegang teguh dan mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut hasil penelitian pada remaja di Chile yang dilakukan oleh Pérez & Cumsille (2012), terdapat beberapa faktor yang memengaruhi remaja dalam mengambil keputusan yaitu kontrol orang tua terhadap emosi remaja dan perkembangan psikologi serta norma yang dianut dalam keluarga dan sosial.
Remaja yang mandiri dapat mengembangkan empati sehingga berdampak pada penurunan cyber-bullying (Fousiani et al., 2016). Kualitas hidup remaja yang salah satunya dilihat dari
parent relation and autonomy dapat menurunkan kecenderungan konsumsi rokok dan ganja (Frobel et al., 2022). Parental autonomy support yang diperoleh remaja dapat menjadi buffer terhadap depresi, kecemasan, dan stres (Liu et al., 2022).
Berdasarkan penjelasan diatas penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna kemandirian bagi remaja generasi Z. sehingga dapat memberikan masukan baru bagi orang tua, guru, dan remaja sendiri mengenai kemandirian.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Cypress (2018) pada penelitian kualitatif peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti informasi-informasi dan kata-kata dari partisipan, laporan terperinci dari pandangan partisipan, serta melakukan studi pada situasi yang dialami. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah fenomenologi. Valentine et al., (2018) menyatakan bahwa fenomenologi adalah jenis penelitian kualitatif yang fokus pada penyelidikan fenomena yang ada pada pengalaman seseorang. Tujuan fenomenologi untuk mereduksi pengalaman individu pada fenomena menjadi deskripsi tentang esensi atau intisari universal (pemahaman dari sifat yang khas dari sesuatu). Makna dan kesadaran partisipan yang diteliti menjadi salah satu hal penting dalam studi ini.
Jumlah partisipan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah empat remaja dengan memperhatikan saturasi data. Pada penelitian ini terjadi saturasi kategori karena selama proses coding tidak ditemukan informasi baru yang muncul. Partisipan dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Adapun kriteria subyek dalam penelitian ini yaitu; a) generasi Z (lahir tahun 1995-2010), b) saat ini tidak tinggal bersama dengan orang tua, dan c) telah lulus dari jenjang SMA minimal 6 bulan terakhir. Penentuan kriteria tersebut berdasarkan hasil penelitian yang menjelaskan terdapat perbedaan kemandirian mahasiswa yang tinggal bersama orang tua dan tidak tinggal bersama orang tua (Rosidah, 2017). Proses transisi dari SMA ke perguruan tinggi yang memerlukan kemampuan individu untuk mengelola tantangan sosial, psikologis, dan keilmuan (Nugraheni et al., 2020).
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara semi terstruktur yang dilakukan secara langsung dan melalui telepon. Wawancara melalui telepon dilakukan karena terdapat partisipan yang berada di luar daerah dan pertimbangan pandemi Covid-19. Hanna (2012) menyatakan bahwa wawancara lewat telepon dapat dilakukan dalam penelitian kualitatif jika terkendala geografis dan menjaga rasa nyaman partisipan terkait dengan batas privasi. Pengumpulan data menggunakan telepon atau media daring juga telah diatur oleh AP2TPI & HIMPSI (2021) untuk menindaklanjuti kondisi pandemi Covid-19.
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahap kegiatan yang dimulai dengan menentukan partisipan yang akan diwawancarai sesuai dengan kriteria. Selanjutnya persiapan wawancara dengan merencanakan garis-
garis besar pertanyaan untuk mendapatkan informasi dari subyek. Garis-garis besar pertanyaan dikembangkan dari teori kemandirian Steinberg yang meliputi emotional autonomy, behavioral autonomy, dan value autonomy. Berdasarkan garis-garis besar pertanyaan tersebut dibuatlah panduan wawancara yang membantu peneliti dalam melakukan wawancara. Kemudian peneliti melakukan pendekatan dengan partisipan dengan cara memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud peneliti. Langkah berikutnya mengadakan kesepakatan waktu untuk melaksanakan wawancara. Setelah kesepakatan diperoleh, peneliti melakukan wawancara berdasarkan panduan yang sudah dipersiapkan. Wawancara dilakukan sebanyak satu sampai dua kali dengan pertimbangan kualitas informasi yang didapatkan dari setiap partisipan. Wawancara kepada setiap partisipan dilakukan selama 45-70 menit. Setelah wawancara selesai peneliti melakukan penyalinan hasil wawancara dalam bentuk transkrip wawancara untuk selanjutnya dilakukan analisis data.
Triangulasi data dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman peneliti terhadap data dan fakta yang dimiliki dengan menggunakan sesuatu di luar data itu sendiri. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber dengan membandingkan informasi yang diperoleh sumber yang berbeda.
Analisis data yang digunakan yaitu Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Tujuan dari analisis fenomenologis interpretatif adalah mengungkap secara detail bagaimana partisipan memaknai dunia personal dan sosialnya. Sasaran utama penelitian IPA adalah makna berbagai pengalaman, peristiwa, status, yang dimiliki oleh partisipan (Smith, 2019). Pendekatan ini berusaha mengeksplorasi pengalaman personal serta menekankan pada persepsi atau pendapat personal seorang individu tentang objek atau peristiwa.
Tahapan analisis yang dilakukan dengan teknik IPA yaitu, transcribing, reading numerous times, initial noting, developing emergent themes, forming superordinate themes, moving the another cases, dan producing thematic map (Sandardos & Chambers, 2019; Smith, 2014).
-
a. Transcribing
Hasil wawancara dalam bentuk rekaman kemudian ditranskrip verbatim untuk dilakukan analisis pada tahap selanjutnya. Nama partisipan diganti dengan nama lain untuk menjaga kerahasiaan.
-
b. Reading numerous times
Tahap selanjutnya membaca hasil transkrip beberapa kali untuk memahami lebih dalam makna dari pernyataan yang disampaikan oleh partisipan.
-
c. Initial noting
Pada tahap ini peneliti memberi tanda pada pernyataan yang menarik kemudian diberi catatan naratif dan komentar umum dari setiap pernyataan.
-
d. Developing emergent themes
Hasil catatan naratif dan komentar umum selanjutnya dikelompokkan ke dalam tema-tema tertentu.
-
e. Forming superordinate themes
Setelah diperoleh tema-tema kemudian mencari hubungan antar tema dari keseluruhan tema yang ada. Sehingga terbentuk beberapa tema yang lebih khusus.
-
f. Moving to another cases
Tahap ini dilakukan analisis pada partisipan yang lain dengan cara yang sama seperti tahapan sebelumnya.
-
g. producing thematic map
Tahap akhir penelitian yaitu mencari hubungan antar tema pada tiap kasus untuk menggambarkan inti dari fenomena.
HASIL PENELITIAN
Partisipan penelitian terdiri dari empat orang (3 laki-laki) dengan status sebagai mahasiswa. BJ (laki-laki; 19 tahun) merupakan mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Malang. BJ berasal dari Bengkulu dan memiliki satu saudara perempuan. NT (perempuan; 21 tahun) adalah mahasiswi D3 kebidanan dan juga memiliki satu adik perempuan. Saat SMA NT menempuh pendidikan di sekolah berasrama. MA (laki-laki; 19 tahun) adalah anak bungsu dari lima bersaudara dan saat ini menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. RL (laki-laki; 20 tahun) adalah anak kelima dari enam bersaudara. RL juga pernah sekolah di SMA berasrama.
Berdasarkan hasil interpretasi data diperoleh empat tema makna kemandirian bagi remaja generasi Z, yaitu; (1) upaya mengurangi intervensi/bantuan dari orang tua; (2) berbeda pandangan dengan orang tua; (3) menerima kesempatan dari orang tua untuk menentukan keputusan; dan (4) inisiatif membangun pengalaman kerja. Sesuai dengan tahapan analisis menggunakan teknik IPA, diperoleh thematic map yang ditunjukkan pada bagan 1 (lampiran). Pada thematic map digambarkan bahwa tiga tema berhubungan peran orang tua. Satu tema terakhir berkaitan dengan internalisasi diri agar lebih mandiri dengan mencari pengalaman kerja.
-
1. Upaya mengurangi intervensi/bantuan dari orang tua Makna kemandirian menurut remaja generasi Z yaitu usaha mengurangi intervensi dari orang tua dalam mengambil keputusan atau melakukan aktivitas. Usaha yang mereka lakukan seperti mulai berani melakukan aktivitas yang selama ini belum pernah dilakukan tanpa bantuan orang tua. Hal ini disampaikan oleh MA sebagai berikut:
“Dari kemandirian Kak, dari awal aku cari kampus, cari kos, mindahin barang semuanya aku sendiri Kak. Kayak di Yogya kemarin aku sendiri cari kampusnya sama applynya. Jadi pikiran itu udah kebuka Kak. Terus kemarin pas mau ke Jakarta dan naik pesawat pertama kalinya jadi aku searching dulu gimana caranya naik pesawat Kak hahah”.
Mencari informasi tentang kampus yang diinginkan, mendaftar, dan mencari kos hingga memindahkan barang dilakukan sendiri oleh MA tanpa bantuan orang tua. Sebagai remaja MA melakukan kegiatan tersebut karena dia merasa “pikirannya lebih terbuka”. Remaja dapat merancang dan melakukan kegiatan yang dianggap dapat dikerjakan sendiri. MA juga menyampaikan bahwa dia menggunakan teknologi untuk mencari informasi tata cara naik pesawat. Hal ini menandakan
bahwa teknologi membantu remaja untuk mengurangi bantuan orang tua.
Remaja generasi Z terlebih dahulu berusaha menyelesaikan sendiri masalah yang sedang dihadapi. Jika mereka sudah berusaha semaksimal mungkin namun tidak mendapatkan solusinya, maka mereka meminta masukan orang tua. BJ menyampaikan hal tersebut seperti berikut:
“Contoh kejadian ada permasalahan dengan dosen, terus ehh terjadi kecelakaan-kecelakaan kerja, ada STNK hilang, hape rusak. Itu karena kita sudah terbiasa memecahkan masalah sendiri kita akan memposisikan orang tua ini tahu ketika kita benar-benar berada di sangat bawah. Kita minta pertimbangan dan Alhamdulillahnya kita bisa tanpa melibatkan orang tua, kita bisa mendapatkan problem solvingnya gitu ”.
BJ berusaha sendiri terlebih dahulu dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, namun kemudian memposisikan orang tua sebagai pertimbangan kedua jika tetap tidak menemukan solusi.
Selain memposisikan orang tua sebagai pertimbangan kedua remaja generasi Z lebih memilih untuk menghadapi masalahnya sendiri tanpa melibatkan orang tua, seperti yang disampaikan oleh RL:
“Kalo aku ketika ada masalah finansial atau sosial justru ga menempatkan orang tua ditengah masalahku. Karena aku mikir orang tua itu berhak atas hidupku tapi orang tua ga ada kewajiban untuk menyelesaikan masalahku. Kemarin aku rugi secara finansial tapi aku ga bilang sama orang tuaku, aku justru mengurangi jatah uang makanku sampai kiriman bulan berikutnya”.
RL menyampaikan saat menghadapi masalah orang tua tidak memiliki kewajiban dalam menyelesaikan masalahnya namun tetap memiliki hak untuk kehidupannya. RL menjelaskan bahwa dirinya dapat mengorbankan kenyamanan yang dia miliki agar masalahnya selesai tanpa menjadi beban orang tua. RL menggambarkan dirinya sebagai individu yang mandiri dalam mengatasi masalah.
Pada tema ini menjelaskan usaha remaja generasi Z melakukan kegiatan tanpa bantuan orang tua, selain itu mereka juga memposisikan orang tua sebagai salah satu sumber pertimbangan ketika tidak mendapatkan solusi dari masalah yang mereka hadapi. Usaha untuk tidak diintervensi orang tua merupakan keuntungan bagi remaja untuk belajar dari hal baru atau dari masalah yang mereka hadapi. Peran orang tua sangat penting pada saat remaja mulai melakukan kegiatan atau memutuskan sesuatu sendiri. Orang tua harus memahami bahwa remaja mulai percaya diri dalam mengambil keputusan.
Tema kedua yang diperoleh dari makna kemandirian adalah berbeda pandangan dengan orang tua. Tema ini menjelaskan bahwa remaja generasi Z memiliki pendapat atau pandangan yang berbeda dengan orang tua mereka. Perbedaan pendapat pada remaja lebih banyak berkaitan dengan akademik.
Sebagaimana yang disampaikan oleh NT dalam menentukan jurusan kuliahnya sebagai berikut:
“Beberapa hal berkaitan dengan pilihan akademik kak.
Misalnya dulu pas mau kuliah aku maunya kedokteran gigi tapi orang tua nyuruhnya cari jurusan yang ada di sini aja biar ga jauh karena orang tua tau kalo aku sering sakit-sakitan mereka khawatir. Tapi aku tetap mau kedokteran dan aku tetap ikut. Tapi akhirnya pas ikut ternyata hasilnya ga lolos”.
Perbedaan pandangan NT dan orang tuanya dalam menentukan jurusan kuliah terjadi karena dia ingin jurusan yang sesuai dengan bakat dan minat. Namun orang tuanya mempertimbangkan lokasi sehingga meminta NT untuk mencari kampus yang dekat dengan rumah. Perbedaan pandangan inilah yang seringkali menyebabkan remaja seolah-olah tidak mendengarkan pendapat orang tua.
Selain berbeda pendapat antara orang tua dan remaja. Perbedaan pendapat antara ayah dan ibu semakin membuat bingung remaja generasi Z dalam mengambil keputusan. Pada akhirnya mereka memiliki pendapat yang berbeda sama sekali dengan kedua orang tuanya. Hal ini terjadi pada RL:
“Ayahku maunya di kampus negeri sedangkan ibuku menyerahkan ke aku kemana aja. Ternyata aku keterima di UNIB dengan jalur mandiri dengan biaya yang mahal sedangkan jurusannya aku ga terlalu suka. Dengan pertimbangan tahun depan aku mau tes lagi ya udah aku pending aja”.
RL memilih keputusan untuk tidak kuliah selama satu tahun untuk mempersiapkan diri pada tahun selanjutnya agar masuk perguruan tinggi yang dia inginkan. Keputusan tersebut dia ambil setelah jurusan yang dia dapatkan tidak sesuai dengan keinginannya dan tahun berikutnya dia akan tetap berusaha mendapatkan jurusan yang dia inginkan. RL memilih keputusan yang berbeda dengan ayah dan ibunya saat kedua orang tuanya memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Perbedaan pandangan yang terjadi pada remaja generasi Z dan orang tua mereka terkadang memberikan dampak terhadap orang tua. Seperti yang disampaikan oleh NT:
“Pernah yang parah banget kak sampe ayahku katanya nangis karena aku ga ngikutin maunya ayah. Karena ayah khawatir aja sama aku. Tapi ujung-ujungnya mereka tetap mendukung pilihanku Kak. Aku tahunya dari mama karena ayah ga liatin ke aku”.
Perbedaan pandangan berakibat terhadap orang tua dan pada akhirnya orang tua mengikuti pandangan anak. Seiring berkembangnya pengalaman dan informasi yang remaja generasi Z peroleh dapat memengaruhi mereka dalam mengambil suatu keputusan. Pada dasarnya perbedaan pandangan yang terjadi merupakan upaya mereka menyalurkan pemikiran, minat, dan bakat mereka. Perbedaan pandangan inilah yang harus dipahami oleh orang tua sehingga tetap dapat menjaga hubungan yang baik dan mengarahkan anak sesuai bakat serta minat mereka.
Memberikan kesempatan kepada remaja generasi Z untuk mengambil keputusan perlu dilakukan orang tua agar mereka belajar bertanggung jawab dan mandiri. Kesempatan menentukan pilihan diberikan setelah remaja generasi Z menjelaskan pilihan-pilihan yang akan diambil dan selanjutnya orang tua menyerahkan keputusan akhir pada mereka. Sebagaimana yang disampaikan oleh NT:
“Kayak misalnya kemarin mau PKL karena alasan keuangan, pilihannya ke Bandung plus jalan-jalan ke Jogja, naik pesawat ini berapa juta. Sebenarnya lebih ke ngasih tahu pilihannya apa aja tapi ujung-ujungnya aku juga yang mutusin. Tapi kalo yang besar-besar belum Kak mungkin nanti pas ada calon suami heheh”.
NT mendapatkan kesempatan dari orang tuanya setelah menjelaskan kekurangan dan kelebihan dari pilihan yang diambil. Selanjutnya orang tuanya memberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya sendiri. Orang tua juga memberikan kesempatan menentukan keputusan penting berhubungan dengan masa depan mereka sendiri. Hal ini disampaikan oleh MA seperti berikut ini:
“Orang tua sudah menyerahkan ke aku semuanya Kak.
Mau dimana aku kerjanya nanti.”
Keputusan untuk memilih tempat bekerja merupakan pilihan jangka panjang yang harus diputuskan oleh MA dan orang tuanya. Namun orang tua MA memberikan kesempatan untuk memutuskannya kepadanya, Kesempatan yang diberikan orang tuanya merupakan tanggung jawab besar untuk masa depan MA sendiri.
Tiga tema makna kemandirian di atas berkaitan dengan peran orang tua. Remaja generasi Z berusaha untuk memutuskan ikatan infantil yang selama ini terjadi sehingga mereka melakukan reaksi yang berbeda. Reaksi yang dilakukan yaitu mengurangi intervensi orang tua. Remaja generasi Z juga memiliki perbedaan pandangan dengan orang tua. Perbedaan pandangan terjadi karena mereka mulai mendapatkan banyak pengalaman dan faktor perkembangan kognitif. Tema terakhir yang berkaitan dengan peran orang tua adalah menerima kesempatan untuk menentukan keputusan. Remaja generasi Z perlu diberi kesempatan untuk menentukan sendiri pilihan yang akan dijalani agar mereka belajar untuk memutuskan dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.
Belajar untuk mulai mencari pengalaman kerja adalah salah satu makna kemandirian bagi remaja generasi Z. Kematangan pemikiran remaja diwujudkan dengan memiliki rencana jangka panjang dan mulai melaksanakannya. Seperti yang disampaikan oleh NT berikut:
“Kayak nabung dari uang jajan terus dari hasil online shopping meskipun ga seberapa buat investasi jadilah. Sebenarnya ga membebani kuliah aja tapi karena akunya aja Kak”.
NT menyampaikan bahwa motivasi membuka online shopping untuk menabung. Walaupun dengan penghasilan yang tidak
banyak dan bukan karena permintaan orang tuanya namun NT tetap berusaha mencari pengalaman kerja. Selain itu, NT menggunakan teknologi informasi untuk belajar bekerja. Ini membuktikan bahwa remaja generasi Z sudah mulai mempersiapkan pengalaman kerja sejak awal dengan memanfaatkan sosial media. Inisiatif membangun pengalaman kerja juga disampaikan oleh MA:
“Pertama cari pengalaman terus cari penghasilan sambil kuliah karena 1 minggu 5 kali pertemuan jadi dapat 450.000”.
Sama halnya dengan NT, MA mempersiapkan diri dengan mencari pengalaman kerja menjadi asisten laboratorium. Tema ini menunjukkan bahwa remaja generasi Z sudah mempersiapkan diri secara fisik dan mental untuk masa depan mereka dengan inisiatif mencari pengalaman kerja.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Penelitian ini mengulas pernyataan remaja generasi Z mengenai makna kemandirian. Hasil wawancara menemukan lima tema, dimana tiga tema berhubungan langsung dengan orang tua yaitu upaya mengurangi intervensi atau bantuan dari orang tua, adanya perbedaan pandangan antara remaja dan orang tua, dan menerima kesempatan dari orang tua dalam menentukan keputusan. Satu tema lainnya adalah inisiatif membangun pengalaman kerja.
Pendapat remaja generasi Z mengenai kemandirian menghasilkan makna khusus dan memunculkan interpretasi atau penafsiran terhadap kemandirian yang berbeda-beda berdasarkan pengalaman setiap remaja. Subyek mengkonstruksikan konsep bahwa kemandirian erat kaitannya dengan orang tua dan internalisasi usaha diri untuk lebih mandiri misalnya inisiatif mencari pengalaman kerja serta memperhatikan banyak hal sebelum memutuskan sesuatu. Konsep self determination theory (SDT) atau teori determinasi diri digunakan dalam menganalisis makna kemandirian bagi remaja generasi Z.
Teori determinasi diri menjelaskan pentingnya sumber daya manusia untuk pengembangan kepribadian dan perilaku regulasi diri (Ryan & Deci, 2015). Hal ini dibuktikan dengan munculnya tindakan atau perilaku baru oleh remaja generasi Z, yaitu tidak selalu sependapat dengan orang tua dalam mengambil tindakan, mengurangi bantuan dari orang tua, mengambil keputusan dengan penuh pertimbangan, dan inisiatif mencari pengalaman kerja. Perilaku yang dilakukan oleh remaja generasi Z tersebut merupakan usaha dan motivasi diri untuk mengembangkan kepribadian dalam bentuk kemandirian.
Teori determinasi diri terdiri dari tiga bagian penting yaitu motivasi diri, pengembangan kepribadian, dan kesejahteraan. Teori ini fokus pada kemampuan atau perilaku bertekad diri. Teori ini juga menjelaskan bahwa terdapat kebutuhan psikologi yang mendasar dan universal, yaitu kemandirian, kemampuan berhubungan, dan kompetensi (Ryan & Deci, 2000). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori determinasi
diri, dimana remaja generasi Z memiliki motivasi untuk mengembangkan diri mereka agar tidak selalu tergantung dengan orang tua dalam mengambil keputusan dan mengerjakan sesuatu. Pengembangan kepribadian remaja terlihat dari kemampuan untuk mempertimbangan sesuatu sebelum diputuskan. Remaja lebih bijaksana dalam menentukan keputusannya dan memperhatikan pilihan lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Kesejahteraan remaja diperoleh saat orang tua memberi kesempatan untuk menentukan pilihannya. Perasaan berharga muncul saat mereka mendapatkan kesempatan tersebut.
Ryan & Deci (2000) menjelaskan dalam determinasi diri motivasi intrinsik sangat berperan penting untuk mendorong seseorang mengambil keputusan sendiri dan mencari pengetahuan baru yang kemudian diterapkan dalam kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan. Salah satu makna kemandirian yang dihasilkan penelitian ini yaitu kemampuan remaja mempertimbangkan berbagai macam pilihan sebelum memutuskan dan perbedaan pandangan dengan orang tua.
Remaja generasi Z mengalami tantangan dalam perkembangan kemandirian, khususnya pada awal-awal proses perkembangan. Omatseye (2007) menyampaikan dalam masa pencarian kemandirian remaja terperangkap dalam gap generation. Mereka bertengkar dengan orang tua dan saudara dan meminta mereka bertanggung jawab karena membuat mereka stres. Usaha remaja generasi Z untuk tidak tergantung dengan orang tua adalah proses yang berat untuk dilalui oleh remaja. Hal ini terjadi karena pada masa kanak-kanak aktivitas atau mengambil keputusan dibantu orang tua namun kemudian terjadi perubahan saat remaja. Sebagaimana penjelasan oleh Roche et al. (2019) tantangan remaja di awal kemandirian terletak pada upaya pemutusan ikatan infantil dengan orang tua yang sudah melekat sejak masa kanak-kanak. Bahkan proses pemutusan ikatan infantil ini menyebabkan reaksi yang tidak dipahami bagi remaja dan orang tua.
Pada saat remaja generasi Z berupaya untuk mengurangi intervensi atau bantuan orang tua, mereka mulai mengambil keputusan dan melakukan aktivitas sendiri. Hal ini sependapat dengan Tran & Raffaelli (2019) bahwa kemandirian remaja yang bersifat independence ditandai dengan mengambil keputusan yang tidak diintervensi orang tua. Temuan tema ini juga didukung oleh pendapat Boykin et al. (2009) saat remaja terjadi peningkatan kognitif, emosi, dan kematangan perilaku yang menyebabkan mereka mengurangi pengaruh caregiver dalam hal ini orang tua. Remaja yang menginginkan kemandirian akan berdampak pada kepercayaan mereka kepada orang tua seperti membuat keputusan tanpa otoritas orang tua dan bertanggungjawab atas keputusan yang sudah diambil (Kuhn & Laird, 2011; Ruggeri et al., 2014).
Tema kedua menjelaskan bahwa terjadi perbedaan pandangan antara remaja generasi Z dan orang tua dalam menentukan sesuatu. Pada makna ini perbedaan pendapat lebih banyak berhubungan dengan akademik. Menurut Barth (2014) perbedaan pendapat terjadi karena perubahan pendidikan saat remaja memasuki sekolah menengah dan/atau pendidikan tinggi, serta perubahan hukum saat mereka mencapai status
tertentu. Selain itu perbedaan pendapat orang tua-remaja sebagai sesuatu yang normatif sedangkan ikatan emosional yang erat antara remaja dan orang tua dianggap sebagai aberration atau penyimpangan (Boykin et al., 2009). Perbedaan pandangan menjadi bagian penting hubungan orang tua-remaja. Peningkatan kemandirian dan individuasi selama remaja berdampak pada penurunan kedekatan, peningkatan konflik, dan kesetaraan kekuasaan antara remaja-orang tua (De Goede et al., 2009).
Perbedaan pandangan yang dilakukan oleh remaja generasi Z seperti menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan keluarga. Perilaku tersebut sebenarnya upaya remaja untuk melepaskan ikatan infantil (Steinberg, 2002). Ditambahkan oleh Hazen et al. (2019) bahwa pemutusan infantil terhadap orang tua adalah usaha remaja untuk menunjukkan identitas diri dan mengembangkan kemandirian. Pada masa-masa inilah remaja perlu mendapatkan dukungan dari orang tua, seperti pendapat Inguglia et al. (2014) jika remaja mendapatkan dukungan dari orang tua untuk mandiri maka mereka akan merasakan kesejahteraan psikologi (Inguglia et al., 2014).
Hasil selanjutnya mengenai makna kemandirian yaitu ketika remaja mendapatkan kesempatan dari orang tua untuk menentukan keputusan penting. Alasan orang tua memberikan kesempatan kepada remaja menurut Steinberg & Lerner (2004) perubahan fisik memengaruhi penampilan dan cara berperilaku yang lebih matang sehingga orang tua dapat mempercayakan tanggung jawab tertentu kepada mereka. Memberikan kesempatan kepada remaja merupakan bentuk dukungan sehingga dapat memberikan dampak terhadap perkembangan psikologi. Orang tua yang suportif cenderung akan mendukung pertumbuhan kemandirian remaja dan memotivasi remaja untuk memaksimalkan potensi yang sesuai dengan kepribadian mereka (Köpke, 2012; Soenens & Vansteenkiste, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa remaja generasi Z memiliki inisiatif mencari pengalaman kerja. Remaja saat ini dapat mengembangkan gaya hidup mereka sesuai dengan tuntutan budaya, ekonomi, dan sosial yang semakin modern. Mereka akan sekolah sambil bekerja untuk mempersiapkan diri dalam dunia pekerjaan. Hal ini dilakukan bukan hanya tuntutan ekonomi tetapi memilih beberapa alternatif pekerjaan kedepannya (Hurrelmann & Quenzel, 2015).
Peran teknologi terhadap kemandirian remaja generasi Z ditemukan pada tema upaya mengurangi intervensi/bantuan dari orang tua. Kemajuan teknologi membantu remaja mengakses berbagai macam informasi yang dibutuhkan. Apalagi remaja generasi Z sudah terbiasa menggunakan teknologi sejak dini (Putra, 2016). Kemudahan akses informasi dan komunikasi dari perangkat teknologi berdampak terhadap relasi orang tua-remaja (Qonitatin et al., 2020). Tema lain mengenai peran teknologi terhadap kemandirian remaja yaitu inisiatif membangun pengalaman kerja. Kemajuan dan kemudahan akses teknologi bagi remaja tidak hanya digunakan sebagai media hiburan dan komunikasi, namun membantu mereka dalam mencari pengalaman dengan membuka bisnis online (Hermelia & Ediran, 2021; Izzati, 2015). Remaja
menjadikan bisnis online sebagai salah satu alternatif pilihan karir yang akan ditekuninya (Juliyanti & Aizah, 2021). Hasil review juga menjelaskan bahwa teknologi membantu remaja meningkatkan well-being dan self-esteem (Ahn, 2013). Hal tersebut menandakan bahwa teknologi memfasilitasi remaja agar lebih mandiri dengan mengurangi bantuan dari orang tua dan inisiatif mencari pengalaman kerja.
Lima tema yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi orang tua agar lebih memahami anak-anak mereka yang berusia remaja dalam mengambil keputusan. Selain itu, orang tua yang memahami makna kemandirian remaja generasi Z dapat memfasilitasi tugas perkembangan remaja tersebut dengan menentukan pola asuh yang tepat. Harapannya kemandirian yang merupakan salah satu tugas perkembangan remaja dapat berjalan dengan optimal dan meminimalisir konflik orang tua dan anak. Bagi remaja generasi Z hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk memahami perubahan psikologis yang terjadi dan mampu mempersiapkan diri dengan baik.
Penelitian ini hanya fokus makna kemandirian pada remaja generasi Z tahap akhir sehingga kedepannya dapat dilakukan penelitian pada remaja awal dan dilakukan perbandingan. Selain itu, penelitian mengenai makna kemandirian remaja generasi Z perlu dilihat dari beberapa variasi latar belakang misalnya suku, keadaan sosial ekonomi, dan desain pendidikan yang diperoleh sebelumnya (asrama dan non asrama). Penelitian selanjutnya juga dapat
mempertimbangkan makna kemandirian yang dipengaruhi oleh teknologi informasi. Makna kemandirian remaja generasi Z juga perlu dilihat dari perspektif orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Ahn, J. (2013). The effect of social network sites on adolescents’ social and academic development: current theories and controversies. Journal of the American Society for Information Science and Technology, 64(28), 1435–1445. https://doi.org/10.1002/asi
AP2TPI, & HIMPSI. (2021). Panduan Tele-Asesmen, Tele-Intervensi dan Tele-Supervisi Praktik Pendidikan Profesi Psikologi.
Barth, F. D. (2015). Social media and adolescent development: Hazards , pitfalls and opportunities for growth. Clinical Social Work Journal, 43(2), 201–208. https://doi.org/10.1007/s10615-014-0501-6
Bödvarsdóttir, Í., & Elklit, A. (2007). Victimization and PTSD-like states in an Icelandic youth probability sample. BMC Psychiatry, 7, 1–7. https://doi.org/10.1186/1471-244X-7-51
Boykin, M. K., Allen, J. J., Stephenson, J. C., & Hare, A. L. (2009). Attachment and autonomy during adolescence. In R. M. Lerner & L. Steinberg (Eds.), Adolescent Psychology (pp. 358–403). John Wiley & Sons, Inc.
Bukobza, G. (2009). Relations between rebelliousness, risk-taking behavior, and identity status during emerging adulthood. International Journal of Theory and Research, 9(2), 159–177. https://doi.org/10.1080/15283480802676932
Choi, O. joo, Choi, J., & Kim, J. ho. (2019). A longitudinal study of the effects of negative parental child-rearing attitudes and positive peer relationships on social withdrawal during adolescence: An application of a multivariate latent growth model. International Journal of Adolescence and Youth, 1–16. https://doi.org/10.1080/02673843.2019.1670684
Cypress, B. (2018). Qualitative research methods: A
phenomenological focus. Dimensions of Critical Care Nursing, 37(6), 302–309.
https://doi.org/10.1097/DCC.0000000000000322
De Goede, I. H. A., Branje, S. J. T., & Meeus, W. H. J. (2009). Developmental changes in adolescents’ perceptions of relationships with their parents. Journal of Youth and Adolescence, 38, 75–88. https://doi.org/10.1007/s10964-008-9286-7
Fitriyani, P. (2018). Pendidikan karakter bagi generasi z. Prosiding Konferensi Nasional Ke- 7 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah „Aisyiyah (APPPTMA), 307–314.
Fousiani, K., Dimitropoulou, P., Michaelides, M. P., & Van Petegem, S. (2016). Perceived parenting and adolescent cyber-bullying: Examining the intervening role of autonomy and relatedness need satisfaction, empathic concern and recognition of humanness. Journal of Child and Family Studies, 25, 2120– 2129. https://doi.org/10.1007/s10826-016-0401-1
Frobel, W., Grafe, N., Meigen, C., Vogel, M., Hiemisch, A., Kiess, W., & Poulain, T. (2022). Substance use in childhood and adolescence and its associations with quality of life and behavioral strengths and difficulties. BMC Public Health, 22, 1–12. https://doi.org/10.1186/s12889-022-12586-2
Georgiou, G. K. (2019). Child and adolescent development in china: Not that different from western countries after all? New directions for child And adolescent development. New Directions for Child and Adolescent Development, 163, 1–4. https://doi.org/10.1002/cad.20270
Goldstein, S. E., Davis-kean, P. E., Eccles, J. S., Bartko, T., Belansky, E., Butler, N., Chatman, C., Early, D., Lord, S., Malanchuk, O., Mccarthy, K., & Michael, A. (2005). Parents, peers, and problem behavior: A longitudinal investigation of the impact of relationship perceptions and characteristics on the development of adolescent problem behavior. Development Psychology, 41(2), 401–413. https://doi.org/10.1037/0012-1649.41.2.401
Hanna, P. (2012). Using internet technologies (such as Skype) as a research medium: A research note. Qualitative Research, 12(2), 239–242. https://doi.org/10.1177/1468794111426607
Hazen, E., Schlozman, S., & Beresin, E. (2019). Adolescent
pyschological development: A review. Adolescent Medicine, 29(5), 161–168.
Hermelia, H., & Ediran, D. (2021). Pemanfaatan media sosial dalam melakukan jual beli online melalui instagram. Jurnal Teknologi, 11(1), 24–27.
Hurlock, E. B. (1997). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Rentang Kehidupan. Erlangga.
Hurrelmann, K., & Quenzel, G. (2015). Lost in transition: Status insecurity and inconsistency as hallmarks of modern adolescence. International Journal of Adolescence and Youth, 20(3), 261–270.
https://doi.org/10.1080/02673843.2013.785440
Inguglia, C., Ingoglia, S., Liga, F., & Coco, A. Lo. (2014). Autonomy and relatedness in adolescence and emerging adulthood: relationships with parental support and psychological distress. Journal of Adult Development, 1–32.
https://doi.org/10.1007/s10804-014-9196-8
Izzati, N. (2015). Motif penggunaan gadget sebagai Sarana promosi bisnis online di kalangan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Jurnal ASPIKOM, 2(5), 374–380.
https://doi.org/10.24329/aspikom.v2i5.88
Juliyanti, R., & Aizah, N. (2021). Motivasi pilihan karir bagi remaja pada masa pandemi Covid-19. Anterior Jurnal, 20(2), 119–126. https://doi.org/10.33084/anterior.v20i2.1661
Khotimah, K., Doriza, S., & Artanti, G. D. (2015). Perbedaan
kemandirian remaja berdasarkan status pekerjaan ibu. Jurnal FamilyEdu, 1(2), 99–120.
Köpke, S. (2012). Identity development and separation-individuation
in relationships between young adults and their parents–A conceptual integration (Issue August). Humboldt University Berlin.
Kuhn, E. S., & Laird, R. D. (2011). Individual differences in early adolescents’ beliefs in the legitimacy of parental authority. Developmental Psychology, 47(5), 1353–1365.
https://doi.org/10.1037/a0024050
Larson, R. W., Wilson, S., & Mortimer, J. T. (2002). Conclusions: Adolescents’ preparation for the future. Journal of Research on Adolescence, 12(1), 159–166.
Liu, X., Cui, L., Wu, H., Liu, B., & Y, Y. (2022). Profiles and transition of mental health problems among Chinese adolescents : The predictive role of friendship quality, parental autonomy support, and psychological control. Journal of Adolescence, 94(1), 19– 33. https://doi.org/10.1002/jad.12002
Maulida, S., Nurlaila, & Hasanah, U. (2017). Hubungan kelekatan orang tua dengan kemandirian remaja. KKP: Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan, 4(1), 1–5.
https://doi.org/http://doi.org/10.21009/JKKP
Nugraheni, M., Rahayu, M., & Arianti, R. (2020). Penyesuaian mahasiswa tahun pertama di perguruan tinggi: Studi pada mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW. Jurnal Psikologi Sains Dan Profesi, 4(2), 73–84. http://repository.unpas.ac.id/30138/
Nuzulita, N., & Subriadi, A. P. (2019). The role of risk-benefit and privacy analysis to understand different uses of social media by Generations X , Y , and Z in Indonesia. E J Info Sys Dev Countries, 1–17. https://doi.org/10.1002/isd2.12122
Omatseye, B. O. J. (2007). The adolescent quest for autonomy: Renegotiating a cordial relationship. College Student Journal, 41, 623–630.
Pérez, J. C., & Cumsille, P. (2012). Adolescent temperament and parental control in the development of the adolescent decision making in a Chilean sample. Journal of Adolescence, 35(3), 659–669. https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2011.09.002
Putra, Y. S. (2016). Theoritical review: Teori perbedaan generasi. Among Makarti, 19(18), 123–134.
Qonitatin, N., Faturochman, F., Helmi, A. F., & Kartowagiran, B. (2020). Relasi remaja – orang tua dan ketika teknologi masuk di dalamnya. Buletin Psikologi, 28(1), 28–44. https://doi.org/DOI: 10.22146/buletinpsikologi.44372
Roche, K. M., Lambert, S. F., White, R. M. B., Calzada, E. J., Little, T. D., Kuperminc, G. P., & Schulenberg, J. E. (2019).
Autonomy-related parenting processes and adolescent adjustment in latinx immigrant families. Journal of Youth and Adolescence, 48(6). https://doi.org/10.1007/s10964-019-
01010-5
Rosidah, N. (2017). Perbandingan kemandirian mahasiswa yang tinggal bersama orang tua dengan mahasiswa yang tidak tinggal bersama orang tua sebagai wujud pembentukkan warga negara yang baik (Studi deskriptif komparatif kuantitatif mahasiswa PPKn Universitas Pasundan Bandung) [Universitas Pasundan]. http://repository.unpas.ac.id/30138/
Ruggeri, A., Gummerum, M., & Hanoch, Y. (2014). Braving difficult
choices alone: Children’s and adolescents’ medical decision making. PLoS ONE, 9(8), 1–7.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0103287
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of instrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68–78.
https://doi.org/10.1007/978-94-024-1042-6_4
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2015). Self-determination theory. In International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences: Second Edition (Second Edi, Vol. 21, pp. 486–491). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.26036-4
Sandardos, S. S., & Chambers, T. P. (2019). “ It ’ s not about sport, it ’ s about you ”: An interpretative phenomenological analysis of mentoring elite athletes. Psychology of Sport & Exercise, 43, 144–154. https://doi.org/10.1016/j.psychsport.2019.02.003
Santosa, A. W. U., & Marheni, A. (2013). Perbedaan kemandirian berdasarkan tipe pola asuh orang tua pada siswa SMP Negeri di Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 1(1), 54–62.
Seemiller, C., & Grace, M. (2016). Generation Z goes to college. Jossey-Bass.
Seemiller, Corey, & Grace, M. (2017). Generation Z: Educating and engaging the next generation of students. American College Personnel Association and Wiley Online Library, 21–26.
https://doi.org/10.1002/abc.21293
Smith, J. A. (2014). Psikologi Kualitatif (2nd ed.). Pustaka Pelajar.
Smith, J. A. (2019). Participants and researchers searching for meaning: Conceptual developments for interpretative
phenomenological analysis. Qualitative Research in Psychology, 16(2), 166–181.
https://doi.org/10.1080/14780887.2018.1540648
Soenens, B., & Vansteenkiste, M. (2005). Antecedents and Outcomes of self-determination in 3 life domains: The role of parents’ and teachers’ autonomy support. Journal of Youth and Adolescence, 34(6), 589–604. https://doi.org/10.1007/s10964-005-8948-y
Steinberg, Laurence, & Lerner, R. M. (2004). Adolescent Psychology (2nd ed.). John Wiley & Sons, Inc.
Steinberg, Laurences. (2002). Adolescence (6th ed.). McGraw-Hill Companies, Inc.
Tran, S. P., & Raffaelli, M. (2019). Configurations of autonomy and relatedness in a multiethnic U . S . sample of parent – Adolescent dyads. Journal of Research on Adolescence, 1–16. https://doi.org/10.1111/jora.12517
Valentine, K. D., Kopcha, T. J., & Vagle, M. D. (2018).
Phenomenological methodologies in the field of educational communications and technology. TechTrends, 62(5), 462–472. https://doi.org/10.1007/s11528-018-0317-2
Zimmer-Gembeck, M. J., & Collins, W. A. (2006). Developmental Patterns and Processes. In G. R. Adams & M. Berzonsky (Eds.), Blackwell Handbook Of Adolescence (pp. 175–204). Blackwell Publishing Ltd.
LAMPIRAN
Bagan 1
Thematic map makna kemandirian bagi remaja generasi Z
93
Discussion and feedback