Mengupas makna syukur dari sudut pandang remaja awal
on
Jurnal Psikologi Udayana 2022, Vol.9, No.1, 1-10
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2022.v09.i01.p01
Mengupas makna syukur dari sudut pandang remaja awal
Adzanishari Mawaddah Rahmah1*, Zainal Abidin2,4, dan Fitri Ariyanti Abidin3,4
1Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran
2Departemen Psikologi Klinis, Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
3Departemen Psikologi Umum dan Eksperimen, Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran
4Pusat Studi Inovasi dan Penelitian Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran
Abstrak
Penelitian menunjukkan bahwa kebersyukuran dapat dijadikan sebagai salah satu upaya prevensi masalah kesehatan mental remaja. Konsep kebersyukuran yang digunakan pada umumnya mengacu pada konsep dari budaya Barat atau konsep yang diterapkan pada orang dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri konsep syukur pada remaja awal dengan menggunakan metode kualitatif. Responden adalah siswa SMP berjumlah 67 orang (Laki-laki=22 orang; 32,84%; rerata usia=13,32 tahun; Perempuan= 45 orang; 67,16%; rerata usia= 13,26 tahun). Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dengan pertanyaan terbuka mengenai makna, objek, bentuk ekspresi, beserta sisi afektif dari kebersyukuran. Data dianalisis menggunakan analisis tematik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep syukur yang dimaknai oleh remaja awal tergambarkan oleh 4 kategori besar, yaitu berterima kasih dan pujian terhadap Tuhan, menerima, menikmati, dan menghargai. Objek syukur berupa anugerah Tuhan, benda berharga, akademik, dan relasi sosial. Rasa syukur diekspresikan dengan berdoa, diucapkan secara verbal, beribadah, mengembangkan diri, dan berbuat positif pada orang lain. Responden melaporkan emosi positif ketika mengekspresikan rasa syukur. Temuan ini menunjukkan bahwa konsep kebersyukuran pada remaja awal di Indonesia erat kaitannya dengan ketuhanan dan moral.
Kata kunci: Analisis tematik, psikologi perkembangan, remaja awal, syukur.
Abstract
Studies showed that gratitude can be used as an approach to prevent adolescent mental health problems. The concept of gratitude that was used generally refered to a concept from Western culture or a concept applied to adults. This study aimed to explore the concept of gratitude in early adolescents using qualitative methods. Respondents consisted of 22 boys and 45 girls aged 12 to 15 years. The instrument used was an open-ended questionnaire about the meanings, objects, forms of expression, along with the affective sides of gratitude. Data were analyzed using thematic analysis. The result of this study indicated that the concept of gratitude interpreted by early adolescents was represented by four major categories, namely thanking and praising God, accepting, enjoying, and appreciating. The objects of gratitude were gifts of God, valuable objects, academic achievements, and social relations. Whereas expressions of gratitude were expressed by praying, verbalizing, worshiping God, developing oneself, and doing positive things to others. These finding showed that the concept of gratitude for early adolescents in Indonesia is closely related to divinity and morals but still intact with the characteristics of adolescent development.
Keywords: Developmental psychology, early adolescence, gratitude, thematic analysis.
LATAR BELAKANG
Berada di fase peralihan, remaja menjadi periode perkembangan kritis dimana berbagai permasalahan mulai bermunculan akibat terjadinya perubahan masif di berbagai aspek perkembangan (Berk, 2013). Salah satu tantangan pada remaja masa kini, khususnya remaja di Indonesia berkaitan dengan rentannya kemunculan masalah kesehatan mental. Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan adanya peningkatan prevalensi gangguan mental emosional pada usia remaja sebesar 4,4% dalam rentang lima tahun. Pada tahun 2013 prevalensi masalah kesehatan mental pada usia remaja mencapai 5,6% dari jumlah penduduk Indonesia dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 10% dari jumlah penduduk di Indonesia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013, 2018). Gangguan mental emosional yang dijelaskan pada data RISKESDAS adalah gejala depresi, kecemasan, gejala somatik, gejala kognitif, dan gejala penurunan energi.
Masalah kesehatan mental yang terjadi pada remaja dapat mempengaruhi berbagai aspek perkembangan. Depresi pada remaja merupakan salah satu faktor risiko terkuat terjadinya bunuh diri di kalangan remaja (Schulte-Körne, 2016; Windfuhr et al., 2008). Depresi juga memberikan dampak pada aspek psikososial, proses pendidikan, hingga kepuasan hidup remaja (Owens et al., 2012; Özabacı, 2010; Schulte-Körne, 2016). Begitu pula dengan kecemasan yang dapat berpengaruh pada self-esteem dan performa remaja dalam menempuh pendidikannya (Maldonado et al., 2013; Owens et al., 2012). Dalam jangka panjang, masalah kesehatan mental ini juga bisa bertahan dan berkembang menjadi gangguan kesehatan mental yang lebih serius (Maldonado et al., 2013; Neufeld et al., 2017; Srinivas et al., 2018).
Besarnya pengaruh masalah kesehatan mental pada aspek kehidupan remaja, Kemenkes menghimbau upaya penanganan yang komprehensif serta keterlibatan berbagai pihak masyarakat. Hal yang ditekankan ialah penanganan yang tidak hanya terfokus pada pengobatan, namun juga pada pencegahan (ROKOM, 2019). Dalam melakukan upaya pencegahan tersebut, psikologi positif memberikan sudut pandang yang komprehensif terhadap permasalahan kesehatan mental remaja. Psikologi positif memandang proses pencegahan permasalahan kesehatan mental remaja lebih dari sekedar upaya preventif, namun juga pada promosi aspek kehidupan remaja lainnya, seperti pengembangan diri dan kesehatan fisik (Benson & Scales, 2009; Norrish & Vella-Brodrick, 2009). Banyak kajian psikologi positif yang saat ini berkembang untuk menangani masalah kesehatan dan kesejahteraan mental remaja, salah satunya adalah melalui kebersyukuran (Norrish & Vella-Brodrick, 2009).
Konsep kebersyukuran sudah cukup banyak dikaji selama dua dekade terakhir, terutama pada subjek dewasa. Kebersyukuran atau gratitude dijelaskan sebagai suatu kondisi emosi atau perasaan (Froh et al., 2008), suatu moral (McCullough et al., 2001), orientasi hidup (Wood et al., 2010), respon koping (Emmons, 2008), hingga suatu trait kepribadian (Wood et al., 2010). McCullough et al (2002) menjelaskan konsep rasa syukur sebagai suatu bentuk perasaan takjub, berterima kasih,
serta penghargaan atas suatu keuntungan atau kebaikan yang didapatkan oleh seseorang. Secara lebih mendalam (Emmons, 2004) menggambarkan kebersyukuran sebagai suatu emosi yang mampu menanamkan makna dan koneksi terhadap orang lain, komunitas, alam, atau Tuhan.
Fitzgerald (1998) dan Watkins et al., (2003) menyebutkan adanya tiga komponen utama dalam kebersyukuran, yaitu adanya apresiasi terhadap seseorang atau sesuatu, adanya keinginan atau kehendak positif terhadap seseorang atau sesuatu, serta adanya kecenderungan untuk mengekspresikan apresiasi dan perasaan positif tersebut melalui tindakan yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa komponen kebersyukuran menekankan adanya peran aktif kognisi, afeksi, dan ekspresi dari suatu kebersyukuran. Oleh karena itu, rasa syukur tidak hanya berhenti pada pemaknaan, namun mengekspresikan rasa syukur menjadi salah satu komponen kebersyukuran yang penting. Selanjutnya Peterson dan Seligman (2004) menjelaskan adanya dua macam ekspresi kebersyukuran, yaitu personal gratitude dan transpersonal/ spiritual gratitude. Personal gratitude mengarah pada sosok orang tertentu yang dapat menghadirkan kebaikan, yang bisa berupa material, tindakan, maupun keberadaan sosok tersebut. Sedangkan spiritual gratitude mengarahkan ekspresi rasa syukur pada Tuhan, kekuatan di luar kemampuan diri, ataupun pada kekuatan alam.
Konsep syukur telah memiliki dasar teoritis yang kuat dan memiliki keterkaitan yang kuat dengan budaya, agama, dan nilai-nilai filosofis (Emmons, 2004). Di Indonesia beberapa penelitian terkait konsep kebersyukuran menekankan pada keberadaan Tuhan sebagai perbedaan dengan konsep kebersyukuran Barat (Haryanto & Kertamuda, 2016; Listiyandini et al., 2017). Konsep syukur yang banyak ditemui berupa konsep yang bersifat transendental dimana ekspresi terima kasih tidak perlu ditujukan pada objek yang jelas, namun penekanannya ada pada kesadaran di dalam diri (Haryanto & Kertamuda, 2016; Listiyandini et al., 2017; Steindl-Rast, 2004). Temuan Haryanto dan Kertamuda (2016) pada mahasiswa menggambarkan konsep kebersyukuran yang dibangun atas 5 kategori, yaitu kondisi menerima, berterima kasih, menikmati, menghargai, dan memaafkan.
Dari perspektif Islam, konsep kebersyukuran diungkapkan oleh beberapa ahli ilmu agama Islam seperti Al-Ghazali, Ibn Qayyim al-Jauziyah, dan Ibn al-Jauzy. Secara umum konsep syukur pada perspektif Islam memiliki makna yang hampir serupa dengan konsep syukur pada umumnya, yaitu menyadari segala hal yang didapatkan (kenikmatan dan kebaikan) dan kemudian diungkapkan dengan rasa terima kasih (Rachmadi et al., 2019). Pada konsep kebersyukuran Islam, ada penekanan pada penerimaan yang ditujukan secara khusus kepada Allah dan dibuktikan dengan memanfaatkan nikmat Allah tersebut untuk kebaikan. Dalam hal ini penerimaan yang dimaksud tidak hanya pada hal yang dianggap menyenangkan namun juga hal yang dibenci, dengan memaknai hal-hal tersebut sebagai tanda kasih sayang dari Allah (Putra, 2004; Rachmadi et al., 2019). Aspek kebersyukuran dalam Islam yang disampaikan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah terdiri dari tunduk pada yang memberi nikmat, mencintai pemberi nikmat, mengakui nikmat-Nya, memuji pemberi nikmat, dan tidak menggunakan nikmat itu untuk
sesuatu yang dibenci-Nya (Al-Jauziyah, 1999; Rachmadi et al., 2019).
Pada anak dan remaja, konsep kebersyukuran cenderung sejalan dengan temuan pada subjek dewasa Barat. Penelitian awal mengenai perkembangan kebersyukuran pada anak dan remaja dilakukan oleh Baumgarten-tramer (1938) yang menjelaskan 4 tahap atau karakteristik dari kebersyukuran, yaitu verbal, concrete, connective, dan finalistic gratefulness. Verbal gratefulness merupakan pengungkapan rasa terima kasih atau rasa syukur yang diekspresikan melalui kata-kata, tahap ini ditemukan di berbagai usia dan merupakan bentuk gratefulness yang paling dasar. Concrete gratefulness adalah pengungkapan rasa terima kasih atau rasa syukur dengan adanya keinginan untuk membalas kebaikan yang diterimanya dan paling banyak ditemui pada anak usia 8 hingga 15 tahun. Connective gratefulness adalah pengungkapan rasa terima kasih atau rasa syukur dengan adanya kecenderungan untuk memiliki hubungan spiritual dengan pihak yang memberikan kebaikan dan paling banyak ditemui pada anak usia 11 hingga 12 tahun. Sementara finalistic gratefulness merupakan pengungkapan rasa terima kasih atau rasa syukur yang paling jarang ditemukan pada anak dan remaja, namun mulai tampak pada beberapa remaja usia 13 hingga 15 tahun yang ditunjukkan dengan keinginan untuk membalas pihak yang memberikan kebaikan dengan mengusahakan kebaikan (membalas kebaikan) di masa yang akan datang. Konsep perkembangan kebersyukuran pada anak dan remaja ini sudah dilakukan penelitian ulang oleh Freitas et al. (2011) pada populasi yang berbeda dan menunjukkan hasil yang tidak terlalu berbeda dari penelitian awal.
Dalam ranah intervensi, penelitian Froh et al. (2008) pada remaja tingkat sekolah menengah membuktikan bahwa dengan mengingat hal-hal yang disyukuri dalam kehidupan sehari-hari, para remaja memiliki optimisme, kepuasan hidup, dan kepuasan dengan pengalaman sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang tidak melakukannya, bahkan hingga 3 minggu setelah penelitian berlangsung. Pada remaja sekolah menengah atas ditemukan bahwa berkembangnya kemampuan bersyukur pada remaja dapat memprediksikan berkembangnya integrasi sosial dan kebermaknaan hidup remaja (Bono et al., 2019). Temuan lainnya menunjukkan kebersyukuran pada remaja juga memiliki hubungan positif dengan afek positif (Froh et al., 2009), hope (Hoy et al., 2013), self-esteem (Li et al., 2012), resilience (Sapouna & Wolke, 2013), hingga menahan remaja dari stres (Reckart et al., 2017). Kebersyukuran pada remaja juga berdampak positif terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan aspek akademis remaja, karena dapat menunjang prestasi akademis (Ma et al., 2013) dan mempengaruhi emosi positif dan negatif di sekolah (Tian et al., 2015). Sebaliknya kebersyukuran pada remaja berhubungan negatif dengan gejala depresif pada remaja (Gillham et al., 2011), perilaku berisiko pada remaja (Froh et al., 2011), ide dan percobaan bunuh diri (Li et al., 2012), serta viktimisasi dan risiko bunuh diri pada remaja, terutama pada remaja yang menjadi korban bullying (Rey et al., 2019).
Melihat praktik kebersyukuran dapat memberikan manfaat sebagai penunjang kesehatan mental remaja, memahami bagaimana remaja memaknai kebersyukuran dapat membantu
perencanaan intervensi preventif dan kuratif berbasis kebersyukuran. Sayangnya gambaran konsep kebersyukuran pada populasi remaja masih cenderung terbatas, khususnya pada populasi remaja Indonesia yang memiliki nilai dan budaya tersendiri. Pada konsep kebersyukuran yang diungkapkan Baumgarten-tramer (1938) dan Freitas et al. (2011) tidak menyebutkan adanya unsur ketuhanan sebagaimana yang ditemukan subjek dewasa Barat. Sementara eksplorasi pada subjek dewasa di Indonesia menemukan dan menitikberatkan pada unsur Tuhan (Haryanto & Kertamuda, 2016). Untuk itu diperlukan peninjauan khusus pada remaja untuk mengetahui konsep syukur dari sudut pandang remaja dengan melihat respon yang diberikan secara langsung, sehingga dapat diketahui bagaimana persamaan dan perbedaan konsep syukur remaja Indonesia jika dibandingkan dengan konsep remaja di budaya Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah konsep kebersyukuran remaja yang ditinjau dari segi kognitif, afektif, dan perilaku. Konsep yang digali adalah makna, objek, bentuk, dan apa yang dirasakan remaja saat bersyukur. Penelitian ini difokuskan pada remaja awal yang merupakan salah satu masa kritis dalam perkembangan kebersyukuran. Dengan lebih memahami konsep kebersyukuran pada remaja awal, diharapkan dapat menunjang penyusunan intervensi berbasis kebersyukuran yang lebih tepat sasaran.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan sisi kognitif, afektif, dan perilaku (ekspresi) dari makna kebersyukuran bagi remaja awal.
Responden
Partisipan dalam penelitian ini adalah 67 remaja (22 laki-laki; 32,84%; rerata usia=13,32 tahun dan 45 perempuan; 67,16%; rerata usia=13,26 tahun). Pemilihan partisipan diawali dengan menghubungi bagian Humas sekolah dan mendapatkan izin dari pihak Kepala Sekolah salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Jatinangor. Pihak sekolah memberikan keleluasaan kepada peneliti terkait pemilihan kelas dan menyarankan untuk mengambil data secara langsung pada siswa pada waktu yang sudah disepakati. Peneliti mengambil dua kelas dari masing-masing rombongan belajar kelas VII dan VIII berdasarkan ketersediaan dan kesediaan siswa pada saat pengambilan data.
Seluruh partisipan pada penelitian ini beragama Islam dan berdomisili di kawasan Jatinangor. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2019 dan dilakukan secara klasikal di masing-masing kelas dengan dipandu oleh satu orang tester. Sebelum pengambilan data dilakukan, pada siswa dijelaskan tujuan penelitian dan detail prosedur pengambilan data. Mereka diberikan kebebasan untuk memilih berpartisipasi atau tidak dalam penelitian ini. Siswa yang memilih berpartisipasi diminta untuk memberikan pernyataan kesediaannya (mengisi dan menandatangani informed consent), sedangkan siswa yang memilih untuk tidak berpartisipasi dipersilahkan keluar kelas, menunggu di ruang tunggu. Seluruh siswa memilih untuk
berpartisipasi. Proses pengambilan data dilakukan sekitar 30 menit. Pada proses pengisian tester memandu siswa pada setiap soalnya, dan siswa diperbolehkan bertanya selama mengisi kuesioner.
Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini didapatkan dari kuesioner pertanyaan terbuka yang pengerjaannya dilakukan secara paper and pencil. Pertanyaan yang dibangun dalam penelitian ini didasari dari konteks rasa syukur yang ditinjau dari segi kognitif, afektif, dan perilaku. Pertanyaan yang digunakan pada kuesioner terbuka adalah:
Area kognitif:
-
1. Menurutmu apa itu syukur (apa makna syukur bagimu?)
-
2. Hal apa saja yang kamu syukuri?
-
3. Kepada siapa rasa syukur kamu ungkapkan?
Area perilaku:
-
4. Apa yang biasanya kamu lakukan untuk mengungkapkan rasa syukur itu?
Area afektif:
-
5. Apa yang kamu rasakan ketika kamu melakukannya (berkaitan dengan pertanyaan 4)?
Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis menggunakan metode tematik analisis. Proses awal dimulai dengan penyalinan data ke dalam aplikasi Excel. Proses analisis dilakukan secara manual, dengan pengkodean data menjadi kategori sesuai dengan kesan yang ditangkap oleh peneliti. Proses pengkodean ini dilakukan oleh penulis (AMR) dan sarjana psikologi yang sebelumnya telah dijelaskan mengenai konsep kebersyukuran. Proses pengkodean dilakukan oleh masing-masing coder secara terpisah. Hasil dari pengelompokan dan pengkategorian merupakan kesepakatan dari kedua coder dan disajikan berupa tema besar dan persentase. Kesepakatan dicapai melalui diskusi. Tema yang dihasilkan kemudian dibahas secara kualitatif berdasarkan konten yang diungkapkan oleh partisipan.
HASIL PENELITIAN
Arti Syukur bagi Remaja
Berdasarkan 73 respon partisipan (24 respon partisipan laki-laki; 32,88% dan 49 respon partisipan perempuan; 67,12%) terhadap pertanyaan “Menurutmu apa itu syukur (apa makna syukur bagimu?)”, kebersyukuran yang dimaknai oleh remaja awal dapat dikategorikan ke dalam empat kategori besar; yaitu berterima kasih dan pujian terhadap Tuhan, menerima, menikmati, dan menghargai. Persebaran dari respon makna kebersyukuran ini dapat dilihat pada Tabel 1 (terlampir).
Makna berterima kasih dari kebersyukuran paling banyak diungkapkan oleh partisipan (n= 28; 38,36%; laki-laki= 7; 9,59%; perempuan= 21; 28,77%). Makna berterima kasih ini diungkapkan dengan menunjukkan rasa terima kasih dan memberikan pujian kepada sosok yang memberikan kebaikan, yang sebagian besar ditujukan kepada Tuhan. Beberapa respon yang diberikan adalah “Ucapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa” (R9, perempuan) dan “Syukur itu dimana kita bersyukur atau berterimakasih pada seseorang” (R58, laki-
laki). Sementara makna menerima (n= 21; 28,77%; laki-laki=8; 10,96%; perempuan=13; 17,81%) diartikan sebagai melakukan usaha dan tidak mengeluh atas apa yang diberikan atau didapatkan. Menerima juga dimaknai oleh remaja sebagai memahami apa maksud pemberian dari Tuhan. Contoh respon yang diberikan adalah, “Syukur itu menerima apa yang telah diberi dan tidak mengeluh” (R10, perempuan) dan “Menerima keadaan yang ada atau menerimakan apa yang sudah didapat” (R31, laki-laki).
Syukur sebagai menikmati (n= 19; 26,03%; laki-laki= 7; 9,56%; perempuan= 12; 16,47%) diartikan sebagai pengungkapan rasa kegembiraan, kebanggaan, rasa memiliki, dan merasakan keuntungan atas apa yang diberikan. Beberapa respon yang diberikan adalah, “Menikmati yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya” (R41, laki-laki) dan “Menikmati apa yang kita inginkan bisa terwujud” (R52, perempuan). Makna menghargai (6,85%) lebih menekankan pada penghargaan atas apapun yang diberikan apa adanya. Beberapa respon yang menggambarkan syukur sebagai menghargai adalah, “Ketika kita mendapatkan sesuatu yang bisa dibilang 'kurang', kita bisa menghargai apa yang ada, dan digunakan sebaik mungkin” (R25; perempuan) dan “Menghargai nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita” (R48; laki-laki). Berdasarkan pemaparan tersebut dapat terlihat bahwa baik partisipan laki-laki maupun partisipan perempuan memaknai syukur kepada keempat kategori tersebut.
Objek Rasa Syukur
Berdasarkan 98 respon partisipan (30 respon partisipan laki-laki; 30,61% dan 68 respon partisipan perempuan; 69,39%) terhadap pertanyaan “Hal apa saja yang kamu syukuri?”, didapatkan respon yang menunjukkan objek yang menurut remaja awal patut untuk disyukuri. Dapat dilihat pada Tabel 2 (terlampir), secara umum objek rasa syukur dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu anugerah Tuhan, benda berharga, hal-hal yang berkaitan dengan akademik, dan relasi sosial yang dimiliki saat ini.
Anugerah Tuhan (n= 41; 41,84%; laki-laki= 10; 10,20%; perempuan= 31; 31,63%) menjadi kategori yang paling banyak diungkapkan oleh responden. Remaja awal mengidentifikasi berbagai hal sebagai pemberian Tuhan, diantaranya sebagai kehidupan, alam, kondisi fisik, rezeki, kesenangan, hingga cobaan. Responden mengungkapkan kehidupan dan keadaan alam sebagai pemberian Tuhan yang perlu untuk disyukuri, misalnya “Turunnya hujan” (R4, laki-laki) dan “Saat saya diberikan kehidupan di dunia dan saat saya masih diberi umur untuk hidup” (R33, perempuan). Sebagian besar respon pada tema ini terkait dengan masih diberikannya waktu, kesempatan, hingga pengalaman kehidupan. Beberapa remaja juga mengaitkan rasa syukur akan kehidupan dengan keadaan alam seperti cuaca, sinar matahari, dan keberadaan makhluk hidup selain manusia yang ada di sekitarnya.
Anugerah Tuhan juga dihayati sebagai ketangguhan fisik yang diberikan oleh Tuhan. Ketangguhan yang dimaksud berupa kesehatan, kemampuan panca indera, hingga kelebihan secara fisik, misalnya seperti yang tergambar pada respon, “Aku bersyukur karena Allah, aku bisa merasakan nimat seperti berbicara, berkedip, dan bernapas” (R47, perempuan).
Sebagian remaja mengungkapkan hal ini dengan membandingkan kondisi fisiknya dengan pihak-pihak yang memiliki kekurangan dalam segi fisik, salah satu respon yang diberikan terkait hal ini adalah, “Dikasih tubuh yang sempurna, supaya bisa membantu orang yang lebih membutuhkan yang memiliki kondisi tubuh yang tidak sempurna” (R16, laki-laki). Penelaahan lebih lanjut menunjukkan bahwa rasa syukur akan ketangguhan fisik muncul ketika remaja menyadari bahwa ketangguhan fisik begitu signifikan dalam kehidupan, dan hal ini didapatkan dari mengamati pihak-pihak yang memiliki keterbatasan secara fisik.
Cara pandang ini juga remaja hayati dalam memaknai anugerah Tuhan berupa rezeki, kemudahan, serta kesenangan. Rezeki yang remaja hayati ialah hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan pokok sehari-hari, seperti rezeki yang berkecukupan, kebutuhan makan yang terpenuhi, tempat tinggal, hingga kemudahan dan perasaan senang yang ditimbulkan. Beberapa remaja juga mengungkapkan cobaan atau kesulitan yang dihadapi sebagai anugerah dari Tuhan “…Saat menerima cobaan tetap bersyukur, dan ketika keajaiban datang” (R14, perempuan). Meskipun tidak banyak yang mengungkapkan hal ini, namun kesulitan dipersepsikan sebagai pemberian Tuhan yang mampu meningkatkan ketangguhan di dalam diri, dalam hal kemampuan diri (kuat menghadapi kesulitan) ataupun dalam hal spiritual (mendapat pahala dan kasih sayang Tuhan).
Selanjutnya, remaja menjadikan benda berharga (n= 23; 23,47%; laki-laki= 10; 10,20%; perempuan= 13; 13,27%) sebagai hal yang patut untuk disyukuri. Kategori ini merupakan penekanan pada objek yang bersifat materil. Sebagian besar menghayati benda berharga atau benda yang berarti sebagai pemberian dari orang lain, terutama orang tua. Hal yang unik, lebih dari setengah remaja yang mengungkapkan hal ini memilih Handphone (HP) sebagai barang berharga dengan alasan kesenangan dalam bermain game (entertaiment) dan bersosialisasi dengan teman sebaya (social media dan gengsi dengan teman sebaya). Salah satu pernyataan yang diberikan terkait respon ini, “Bersyukur dapat HP baru, asalnya tidak punya HP menjadi punya HP, baik HP itu murah atau mahal. Sekarang bisa chatting dan main sama temen” (R65, perempuan). Beberapa remaja lainnya menjadikan uang sebagai benda berharga, yang diungkapkan dengan uang jajan ataupun uang yang didapat sebagai hadiah. Adapun benda berharga lainnya yang diungkapkan berupa barang yang berkaitan dengan hobi dan juga kendaraan.
Remaja juga menjadikan keunggulan dalam hal akademik (n=18; 18,37%; laki-laki= 9; 9,18%; perempuan=9; 9,18%) sebagai objek yang patut disyukuri. Kategori ini lebih menekankan objek yang didapat dari pencapaian diri sendiri. Dikarenakan remaja yang tergabung dalam penelitian ini merupakan siswa dari salah satu sekolah unggulan di kawasannya, sebagian besar yang mengungkapkan hal ini menjadikan kesempatan bersekolah di sekolah tersebut menjadi hal yang perlu disyukuri. Salah satu contoh respon terkait hal ini, “…Karena ini keinginanku pada saat aku sekolah SD. Aku pengen kesini karena sekolah ini terpaporit di kecamatan Jatinangor, jadi orang yang masuk ke sini sangat bersyukur” (R41, laki-laki). Hal ini dikarenakan persaingan yang cukup
ketat untuk bisa menjadi siswa di sekolah tersebut. Pencapaian akademik lainnya ialah prestasi akademik yang dicapai, seperti nilai ujian, urutan ranking, dan memenangkan lomba atau kompetisi baik di tingkat sekolah maupun tingkat yang lebih luas. Alasan dari mensyukuri hal ini ialah adanya rasa bangga yang didapatkan dari pujian dan keunggulan dari teman-teman sebaya.
Kategori terakhir adalah rasa syukur terhadap keberadaan orang-orang berarti di dalam kehidupan remaja (n=16; 16,33%; laki-laki=1; 1,02%; perempuan=15; 15,31%). Respon ini sebagian besar diberikan oleh partisipan perempuan dan lebih mengarah pada sosok orang tua sebagai keberadaan yang perlu disyukuri, misalnya, “Sehat dan masih punya kedua orang tua yang lengkap” (R45, perempuan). Hal ini dijelaskan dengan kebaikan, kesabaran, jasa (kerja keras), dan pengaruh orang tua dalam kehidupan remaja. Sosok lainnya adalah keberadaan teman yang dimaknai sebagai sosok yang menemani dan menimbulkan kesenangan pada remaja, misalnya, “…Mempunyai teman yang sangat baik dan tidak pilih kasih.” (R55, perempuan). Adapun keberadaan sosok lain seperti saudara, orang-orang sekitar, dan keluarga besar juga perlu untuk disyukuri bagi beberapa remaja.
Tujuan Rasa Syukur
Pada bagian ini didapatkan 86 respon (23 respon partisipan laki-laki; 26,74% dan 63 respon partisipan perempuan; 73,26%). Hanya ada satu partisipan laki-laki (R66) yang memberikan lebih dari satu respon pada bagian ini. Dalam mengungkapkan rasa syukur, remaja pada penelitian ini umumnya mengarahkan pada tiga kategori utama, yaitu kepada Tuhan, orang tua, dan sosok lainnya. Tabel 3 (terlampir) menunjukkan bahwa ungkapan rasa syukur sebagian besar ditujukan pada Tuhan (n= 56; 65,12%; laki-laki= 19; 22,09%; perempuan= 37; 43,02%). Alasan remaja menjadikan Tuhan sebagai tujuan rasa syukur ialah anugerah yang diberikan Tuhan seperti yang diungkapkan pada objek rasa syukur dan juga dikarenakan sifat dari Tuhan itu sendiri, seperti Sang Pencipta dan Sang Pemilik Alam Semesta. Salah satu contoh respon, “Syukur pada Tuhan, karena tanpa Tuhan kita tidak akan diberikan rizki oleh Tuhan” (R61, perempuan). Pada hal ini, kesan ‘keharusan’ untuk bersyukur pada Tuhan cukup kental. Namun, secara lebih jauh ada pula penekanan yang dihayati remaja bahwa rasa syukur pada Tuhan ini bersifat timbal balik, dalam arti tanpa mengekspresikan syukur kepada Tuhan, tidak akan ada lagi anugerah yang diberikan oleh Tuhan, misalnya, “Apa yang kita lakukan sampai saat ini itu karena Tuhan, jika tidak ada Tuhan di dunia kita tidak dapat hidup bahagia” (R12, Laki-laki).
Orang tua juga menjadi tujuan remaja mengungkapkan rasa syukur (n= 18; 20,93%; laki-laki= 4; 4,65%; perempuan= 14; 16,28%). Dalam hal ini remaja mengungkapkan rasa syukur atas jasa dan pengorbanan yang dilakukan orang tua terhadap dirinya. Respon yang lebih menunjukkan bahwa remaja yang menujukan rasa syukur pada orang tuanya lebih menghayati pencapaian mereka saat ini, yang kemudian mereka menghayati proses yang dialami untuk mencapai proses tersebut, dimana orang tua menjadi support atau pendukung, misalnya, “Saya telah dibimbing selama kecil, ….orang tua selalu mendoakan agar anak-anaknya bisa berhasil hingga masuk SMP” (R26, R60, perempuan). Temuan ini ditunjukkan oleh data dimana
sebagian besar remaja yang menjadikan orang tua sebagai tujuan rasa syukur menjadikan keunggulan akademik sebagai objek rasa syukur. Adapun tujuan rasa syukur yang dikelompokkan dalam kategori lain-lain yang hanya didapatkan dari partisipan perempuan (n= 12; 13,95%) dan ditujukan pada sosok selain Tuhan dan orang tua. Rasa syukur ditujukan pada diri sendiri, guru, teman, saudara, dan orang-orang terdekat selain yang telah disebutkan.
Ekspresi Rasa Syukur
Berdasarkan 80 respon yang didapatkan (28 respon partisipan laki-laki; 35%; dan 52 respon partisipan perempuan; 52%), secara umum cara yang diungkapkan oleh remaja dalam mengekspresikan rasa syukur dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu dengan mengekspresikan dengan aktivitas religius (peribadatan dan ritual keagamaan), mengucapkan atau mengutarakan terima kasih secara verbal, melakukan hal-hal yang dapat mengembangkan diri, dan melakukan perbuatan yang positif terhadap orang lain. Persebaran respon ini dapat dilihat pada Tabel 4 (terlampir).
Ekspresi yang paling umum diungkapkan oleh partisipan adalah mengekspresikan dengan aktivitas religius (n= 37; 46,25%; laki-laki= 14; 17,50%; perempuan= 23; 28,75%) sebagai ekspresi rasa syukur diungkapkan remaja dengan ucapan dan juga aktivitas peribadatan. Ekspresi verbal dari ekspresi religius ini diungkapkan dengan mengatakan ‘Alhamdulillah’ dan berdoa meminta untuk ditambahkannya anugerah dari Tuhan, yang merupakan objek dari rasa syukur. Penjelasan lebih lanjut menunjukkan bahwa selain meminta anugerah dan hal-hal yang diinginkan pada Tuhan, doa juga berisi pujian dan perjanjian dengan Tuhan. Pada beberapa remaja ekspresi berdoa tidak bisa dipisahkan dengan mengucapkan rasa terima kasih secara verbal. Hal ini dikarenakan dalam doa berisi pula pujian yang mengungkapkan rasa terima kasih pada Tuhan. Ekspresi religius ini juga diungkapkan secara aktivitas fisik atau tampak dengan melakukan ritual keagamaan seperti sujud syukur dan sholat ketika menerima hal baik. Salah satu respon yang diberikan ialah, “Saat bersyukur berdoa, berterima kasih, sujud syukur” (R27, laki-laki).
Ekspresi yang umum lainnya dalam mengutarakan rasa terima kasih ialah dengan mengucapkannya secara verbal (n= 25; 31,25%; laki-laki= 10; 12,50%; perempuan= 15; 18,75%). Pada kategori ini ditekankan ucapkan terima kasih pada sesama manusia secara verbal. Beberapa remaja dalam penelitian ini mengungkapkan rasa syukurnya dengan melakukan pengembangan diri (n= 11; 13;75%; laki-laki=2; 2,50%; perempuan= 9; 12,25%), misalnya dengan melakukan introspeksi diri, berusaha untuk tidak sombong, memanfaatkan pemberian dengan sebaiknya, dan meningkatkan semangat untuk beraktivitas. Beberapa remaja menyandingkan pengembangan diri ini dengan mengekspresikan rasa syukur pada Tuhan, misalnya, “Mengucapkan alhamdulillah dan semakin bersemangat” (R37, perempuan), Berdoa dan menghargai apa yang saya miliki (R34, perempuan), dan Bersyukur di dalam hati dan instrospeksi diri”(R35, laki-laki).
Kategori ekspresi rasa syukur yang terakhir ialah dengan berbuat baik kepada pihak yang kurang beruntung (n=7; 8,75%; laki-laki= 2; 2,50%; perempuan= 5; 6,25%), misalnya dengan
membagi sebagian harta yang dimiliki, berbagi makanan, atau membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. Salah satu contohnya adalah, “Memanfaatkan hal-hal yang diberi dengan cara yang baik, misalnya dengan membantu orang yang kesulitan” (R55, perempuan). Berbuat baik dilakukan sebagai upaya berbagi rasa syukur yang dirasakan dan adanya harapan dengan berbuat baik akan menambahkan syukur yang dirasakan.
Rasa dalam Ekspresi Syukur
Remaja awal pada umumnya melaporkan emosi positif ketika mengungkapkan rasa syukur. Sebagian besar emosi yang diungkapkan adalah rasa senang, bahagia, tenang, dan tentram. Remaja yang mengatakan senang dan bahagia, sebagian besar membutuhkan waktu lebih lama dalam mengisi pertanyaan terakhir ini dan mengaku kesulitan dalam mengungkapkan perasaan dari kebersyukuran. Namun, mereka mengetahui bahwa apa yang dihasilkan dari rasa syukur adalah perasaan yang positif. Sementara remaja yang mengatakan bahwa dirinya merasa tenang dan tentram, rasa nyaman, terharu, dan percaya diri, melaporkan perasaan dengan penjelasan yang lebih detail. Mereka mampu melaporkan contoh atas perasaan tenang dan tentram yang dimaksud, salah satunya ialah “Merasa tanpa beban” (R57, perempuan). Adapun kesulitan yang dialami remaja dalam memberikan respon pertanyaan ini yaitu beberapa remaja mengaku kurang terbiasa dan merasa tidak bisa menilai lebih jelas apa yang dirasakannya.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Secara umum, temuan penelitian ini menggambarkan kebersyukuran yang dimaknai oleh remaja awal, beserta objek, tujuan, bentuk perilaku, dan apa yang dirasakan dari mengekspresikan rasa syukur tersebut. Bagi remaja awal, syukur diartikan sebagai rasa terima kasih, pujian, penerimaan, rasa menikmati, dan menghargai. Baik remaja laki-laki maupun perempuan mengungkapkan keempat makna ini. Makna syukur ini ditujukan pada objek rasa syukur yakni anugerah Tuhan, benda berharga, sekolah/ilmu, dan relasi sosial yang dimiliki. Hal yang cukup unik pada penelitian ini, hanya ada satu remaja laki-laki yang menjadikan kehidupan dan relasi sosial sebagai objek yang dianggap layak untuk disyukuri. Hal ini membuka peluang untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana perbedaan dinamika dan prioritas yang dimiliki remaja awal laki-laki dan perempuan masa kini dalam berelasi sosial.
Bagi remaja awal rasa syukur paling layak diungkapkan kepada Tuhan, orang tua, orang terdekat, dan diri sendiri. Temuan yang cukup unik kembali ditemui pada bagian ini, dimana tidak ada partisipan laki-laki yang menjadikan orang terdekat selain orang tua sebagai tujuan mengungkapkan rasa syukur. Kemudian, rasa syukur ini diekspresikan dengan ekspresi religius, mengucapkan atau mengungkapkannya secara verbal, mengembangkan kemampuan diri, dan berbuat baik kepada orang lain. Sebagian besar remaja awal melaporkan dengan mengungkapkan rasa syukur, mereka merasakan emosi positif, seperti rasa senang, bahagia, tenang, dan tentram.
Temuan yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan dari penelitian sebelumnya.
Remaja awal memaknai kebersyukuran sebagai rasa terima kasih dan pujian terhadap Tuhan, menerima, menikmati, dan menghargai kebaikan dan hal-hal yang didapatkan. Temuan ini sejalan dengan temuan yang dipaparkan pada penelitian Haryanto dan Kertamuda (2016) pada mahasiswa di Indonesia serta pemaparan Fitzgerald (1998) dan Watkins et al. (2003) yang menekankan komponen kognitif, afektif, motif, dan tindakan dari kebersyukuran. Remaja memaknai kebersyukuran sebagai efek dari suatu hal yang mereka dapatkan atau alami dan dianggap ‘layak’ untuk direspon sebagai kebersyukuran. Makna pujian dan terimakasih pada Tuhan lebih menggambarkan sisi transendental dari kebersyukuran yang dekat dengan konteks keagamaan (Steindl-Rast, 2004) dan sejalan dengan aspek syukur dalam agama Islam yang diungkapkan Al-Jauziyah terdapat aspek mencintai dan memuji pemberi nikmat, dalam hal ini Allah sebagai Tuhan (Al-Jauziyah, 1999; Rachmadi et al., 2019). Konsep menerima dari kebersyukuran cukup dekat dengan kemampuan remaja dalam membangun resiliensi dengan proses bersyukur (Sapouna & Wolke, 2013). Konsep menikmati dan menghargai lebih menekankan pada implementasi positif dari suatu kebersyukuran, sebagaimana yang dijelaskan Bono et al. (2019) dan Froh et al. (2008) bahwa kebersyukuran memiliki hubungan erat dengan optimisme, kepuasan hidup, dan penurunan afek negatif.
Sejalan dengan ekspresi kebersyukuran yang diungkapkan Peterson dan Seligman (2004) remaja pada penelitian ini menunjukkan spiritual gratitude dan personal gratitude pada objek yang disyukurinya. Spiritual gratitude yang diartikan sebagai anugerah Tuhan menjadi hal yang paling banyak disyukuri. Selain pada anugerah Tuhan, Spiritual gratitude pada remaja juga diungkapkan pada kebersyukuran akan kehidupan dan kecukupan yang dimiliki. Kebersyukuran ini memungkinkan berkembangnya optimisme dan resiliensi pada remaja (Bono et al., 2017; Peterson & Seligman, 2004; Reckart et al., 2017; Sapouna & Wolke, 2013), yang dalam penelitian ini diungkapkan dengan kemampuan remaja untuk mensyukuri hal-hal yang sederhana, kesulitan yang dihadapi, dan kehidupan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan makna syukur dalam perspektif Islam dimana syukur tidak hanya diarahkan pada hal positif yang didapatkan, melainkan juga penerimaan pada hal yang tidak disukai sebagai kasih sayang dari Tuhan (Rachmadi et al., 2019).
Sementara pada personal gratitude, cukup kental kaitannya dengan hal-hal yang mempertegas identitas remaja di tengah teman sebayanya, suatu karakteristik khas dari perkembangan masa remaja (Berk, 2013). Personal gratitude yang ditemukan pada responden remaja awal ialah hal-hal yang berkaitan dengan benda berharga, capaian akademik, dan kemampuan materil. Temuan ini sedikit berbeda dengan temuan Haryanto dan Kertamuda (2016) dan Listiyandini et al. (2017) pada responden mahasiswa dan orang dewasa di Indonesia, dimana personal gratitude tidak begitu tergambarkan.
Terdapat perbedaan penekanan kebersyukuran antara remaja pada penelitian ini dengan remaja awal di budaya Barat. Mayoritas remaja pada penelitian ini memaknai kebersyukuran pada hal-hal yang bersifat pemberian Tuhan, seperti segala hal yang dimiliki, apa yang terjadi di kehidupan, dan nikmat Tuhan.
Sebagian lainnya memaknai rasa syukur atas pemberian dan kebaikan dari orang lain. Sementara pandangan remaja barat lebih menekankan makna syukur kepada rasa terima kasih yang direfleksikan dengan apresiasi, membalas kebaikan orang lain, keinginan membantu orang lain, menolong, dan tindakan positif lainnya yang ditujukan pada sesama manusia (Emmons & Mccullough, 2003; Froh et al., 2011). Pada remaja awal di Indonesia syukur merupakan konsep yang cenderung kental dengan aspek religius dan dikenalkan serta diajarkan sebagai nilai-nilai yang erat kaitannya dengan hubungan dengan Tuhan. Perbedaan dengan populasi barat ini juga ditemukan pada penelitian dengan responden mahasiswa di Indonesia (Haryanto & Kertamuda, 2016).
Meskipun demikian, konsep dasar syukur diantara keduanya sama-sama sebuah bentuk refleksi dari kebaikan atau pemberian. Keduanya menyiratkan adanya ‘keharusan’ untuk berterima kasih atau mensyukuri. Hal ini merupakan tantangan dalam meneliti rasa kebersyukuran pada kalangan anak dan remaja. Seperti yang disampaikan oleh Bono dan Froh (2009) dan Freitas et al. (2011) bahwa adanya kemiripan antara ekspresi rasa syukur dengan keharusan untuk menunjukkan rasa ‘sopan’ atau politeness yang terkadang sulit untuk dikendalikan.
Remaja mengekspresikan rasa syukur dengan berdoa, mengucapkan atau mengutarakan secara verbal rasa terima kasih, melakukan kegiatan peribadatan atau ritual keagamaan, melakukan hal-hal yang dapat mengembangkan diri, dan melakukan perbuatan yang positif terhadap orang lain. Mengekspresikan rasa syukur dengan berdoa dan beribadah ini cukup dekat dengan pengertian connective gratefulness yang diungkapkan Baumgarten-tramer (1938) dimana kecenderungan untuk memiliki hubungan secara spiritual ditujukan pada kekuatan yang mampu mengendalikan keadaan, atau dalam hal ini adalah Tuhan. Pada pandangan Islam, ekspresi ini merupakan bentuk dari tunduk pada pemberi nikmat serta sebagai bentuk mencintai dan memuji Tuhan sebagai pemberi nikmat (Al-Jauziyah, 1999; Rachmadi et al., 2019).
Ungkapan rasa syukur secara verbal atau verbal gratefulness juga ditemukan dalam penelitian ini. Perbedaan yang ditemukan dalam konsep ekspresi rasa syukur adalah ekspresi syukur dengan mengembangkan diri dan melakukan kebaikan kepada orang lain. Meskipun ekspresi ini cukup dekat dengan konsep finalistic gratitude, namun tujuannya tidak sekedar untuk membalas tetapi lebih ditujukan untuk meningkatkan kemungkinan memperoleh kebaikan di masa yang akan datang. Respon ini sebenarnya lebih dekat dengan pemaknaan syukur sebagai suatu moral agent seperti yang dijelaskan oleh Emmons dan Mccullough (2003). Hal yang menarik, respon dari remaja pada penelitian ini kurang menggambarkan ekspresi membalas kebaikan secara konkrit atau yang disebut Baumgarten-tramer (1938) sebagai concrete gratefulness. Pada perspektif Islam ekspresi syukur ini merupakan aspek terakhir dari kebersyukuran yaitu berupa amal perbuatan (Al-Ghazali., 1998; Rachmadi et al., 2019) dan sebagai tindakan tidak menggunakan nikmat untuk sesuatu yang dibenci-Nya (Al-Jauziyah, 1999; Rachmadi et al., 2019).
Mengenai sisi afeksi dari ekspresi rasa syukur, mayoritas remaja melaporkan afek positif ketika mengekspresikan rasa syukur. Sejalan dengan apa yang disampaikan Froh et al. (2009) mengenai dampak kebersyukuran terhadap afek remaja. Namun yang menjadi kendala adalah kesulitan yang dialami beberapa remaja dalam mengungkapkan perasaan yang dirasakan, terutama pada konsep yang abstrak seperti rasa syukur ini. Sebagian respon yang terkesan superficial dan cenderung melaporkan kesan yang secara umum diketahui merupakan dampak dari rasa syukur. Penelaahan lebih lanjut mengungkapkan bahwa kebersyukuran pada remaja dalam penelitian ini sebagian besar dikenalkan secara langsung sebagai sebuah konsep atau dalam hal ini diajarkan oleh keluarga ataupun guru agama. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kebersyukuran mulai muncul pada usia sekolah (sekitar 7 hingga 10 tahun) terutama saat sistem kognitif dan emosional anak semakin matang (Froh et al., 2008). Hal ini menekankan besarnya pengaruh penanaman konsep syukur oleh pihak pendidik utama anak, yaitu orang tua dan guru terhadap pemaknaan yang ditampilkan dalam penelitian ini. Meskipun demikian diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji bagaimana konsep kebersyukuran berkembang pada anak dan remaja di Indonesia.
Dalam penelitian ini, keseluruhan responden beragama Islam. Untuk dapat memahami konsep kebersyukuran pada remaja yang beragama lain, penelitian selanjutnya disarankan untuk melihat kebersyukuran pada remaja yang memiliki latar belakang agama dan budaya yang lebih heterogen atau mengkaji secara khusus sudut pandang remaja dalam kebersyukuran ditinjau dari agama spesifik.
Berdasarkan hasil analisis terhadap data dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsep bersyukur pada remaja awal di Indonesia erat kaitannya dengan ketuhanan dan moral. Aktivitas bersyukur dimaknai sebagai timbal balik dari apa yang didapatkan dan diungkapkan dengan cara mengungkapan rasa terima kasih, menerimanya, menikmatinya, dan menghargainya. Anugerah Tuhan menjadi poin penting sebagai hal yang perlu untuk disyukuri. Remaja dalam penelitian ini mengekspresikan rasa syukurnya dengan berdoa, mengungkapkannya secara verbal, melakukan ritual peribadatan, mengembangkan diri, dan berbuat hal positif pada orang lain. Secara umum dengan melakukan aktivitas bersyukur menghasilkan emosi dan perasaan yang positif bagi remaja. Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah konsep syukur cukup berpotensi untuk dijadikan sebagai salah satu pendekatan alternatif dalam rancangan promosi kesehatan mental remaja awal. Dalam membuat rancangan intervensi tersebut, perlu memperhatikan sisi spiritual dari remaja awal serta hubungan antara remaja dengan Tuhannya dan lingkungan sosialnya. Meski dibutuhkan kajian lebih lanjut dalam metode penyampaiannya, konsep syukur cukup dekat dengan aspek kehidupan remaja dan cukup familiar untuk dijadikan sebagai konsep yang diajarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali. (1998). Mensucikan jiwa, onsep tazkiyatun-nafs terpadu, intisari ihya’ulumuddin. Robbani Press.
Al-Jauziyah, I. Q. (1999). Madarijussalikin (pendakian menuju Allah),
penjabaran kongkrit “iyyaka na’budu wa iyyakanasta’in.” Pustaka Al-Kautsar.
Baumgarten-tramer, F. (1938). “ Gratefulness ” in children and young people. The Journal of Genetic Psychology, 53(1), 53–66. https://doi.org/10.1080/08856559.1938.10533797
Benson, P. L., & Scales, P. C. (2009). The definition and preliminary measurement of thriving in adolescence. The Journal of Positive Psychology, 4(1), 85–104.
https://doi.org/10.1080/17439760802399240
Berk, L. A. (2013). Child Development 9th Edition (9th ed.). Pearson Education.
Bono, G., & Froh, J. (2009). Gratitude in school: Benefits to students and schools. In R. Gilman, E. S. Huebner, & M. J. Furlong (Eds.), Handbook of positive psychology in schools (pp. 77–88). Routledge.
Bono, G, Froh, J. J., Disabato, D., Blalock, D., McKnight, P., & Bausert, S. (2019). Gratitude’s role in adolescent antisocial and prosocial behavior: A 4-year longitudinal investigation. The Journal of Positive Psychology, 14(2), 230–243.
https://doi.org/10.1080/17439760.2017.1402078
Bono, G, Froh, J. J., Disabato, D., Blalock, D., Mcknight, P., Bausert, S., Bono, G., Froh, J. J., Disabato, D., & Blalock, D. (2017). Gratitude ’ s role in adolescent antisocial and prosocial behavior: A 4-year longitudinal investigation. The Journal of Positive Psychology, 9760(December), 1–13.
https://doi.org/10.1080/17439760.2017.1402078
Emmons, R. A. (2004). The psychology of gratitude: An introduction. In R. A. Emmons & M. E. McCullough (Eds.), The psychology of gratitude. Oxford University Press.
Emmons, R. A. (2008). Gratitude, subjective well-being, and the brain. In M. Eid & R. J. Larsen (Eds.), The science of subjective wellbeing (p. 469). The Guilford Press.
Emmons, R. A., & Mccullough, M. E. (2003). Counting blessings versus burdens: An experimental investigation Cfgratitude and subjective well-being in daily life. 84(2), 377–389.
https://doi.org/10.1037/0022-3514.84.2.377
Fitzgerald, P. (1998). Gratitude and justice. Ethics, 109(1), 119–153. https://doi.org/10.1086/233876
Freitas, L. B. de L., Pieta, M. A. M., & Tudge, J. R. H. (2011). Beyond politeness: the expression of gratitude in children and adolescents. Psicologia: Reflexão e Crítica, 24(4), 757–764. https://doi.org/10.1590/S0102-79722011000400016
Froh, J. J., Emmons, R. A., Card, N. A., Bono, G., & Wilson, J. A. (2011). Gratitude and the reduced costs of materialism in adolescents. Journal of Happiness Studies, 12(2), 289–302. https://doi.org/10.1007/s10902-010-9195-9
Froh, J. J., Sefick, W. J., & Emmons, R. A. (2008). Counting blessings in early adolescents: An experimental study of gratitude and subjective well-being. Journal of School Psychology, 46(2), 213–233.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jsp.2007.03.005.
Froh, J. J., Yurkewicz, C., & Kashdan, T. B. (2009). Gratitude and subjective well-being in early adolescence: Examining gender differences. Journal of Adolescence, 32(3), 633–650.
https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2008.06.006
Gillham, J., Adams-Deutsch, Z., Werner, J., Reivich, K., Coulter-Heindl, V., Linkins, M., Winder, B., Peterson, C., Park, N., Abenavoli, R., Contero, A., & Seligman, M. E. P. (2011). Character strengths predict subjective well-being during adolescence. The Journal of Positive Psychology, 6(1), 31–44. https://doi.org/10.1080/17439760.2010.536773
Haryanto, H. C., & Kertamuda, F. E. (2016). Syukur sebagai sebuah pemaknaan. Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi, 18(2), 109.
https://doi.org/10.26486/psikologi.v18i2.395
Hoy, B. D., Suldo, S. M., & Mendez, L. R. (2013). Links between parents’ and children’s levels of gratitude, life satisfaction, and hope. Journal of Happiness Studies, 14(4), 1343–1361.
https://doi.org/10.1007/s10902-012-9386-7
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riskesdas 2013 dalam angka.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Hasil utama RISKESDAS 2018.
Li, D., Zhang, W., Li, X., Li, N., & Ye, B. (2012). Gratitude and suicidal ideation and suicide attempts among chinese adolescents: Direct, mediated, and moderated effects. Journal of Adolescence, 35(1), 55–66.
https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2011.06.005
Listiyandini, R. A., Nathania, A., Syahniar, D., Sonia, L., & Nadya, R. (2017). Mengukur rasa syukur: Pengembangan model awal skala bersyukur versi Indonesia. Jurnal Psikologi Ulayat, 2(2), 473. https://doi.org/10.24854/jpu22015-41
Ma, M., Kibler, J. L., & Sly, K. (2013). Gratitude is associated with greater levels of protective factors and lower levels of risks in African American adolescents. Journal of Adolescence, 36(5), 983–991. https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2013.07.012
Maldonado, L., Huang, Y., Chen, R., Kasen, S., Cohen, P., & Chen, H. (2013). Impact of early adolescent anxiety disorders on selfesteem development from adolescence to young adulthood. Journal of Adolescent Health, 53(2), 287–292.
https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2013.02.025
McCullough, M. E., Emmons, R. A., & Tsang, J.-A. (2002). The grateful disposition: A conceptual and empirical topography. Journal of Personality and Social Psychology, 82(1), 112–127. https://doi.org/10.1037/0022-3514.82.1.112
McCullough, M. E., Kilpatrick, S. D., Emmons, R. A., & Larson, D. B. (2001). Is gratitude a moral affect? Psychological Bulletin, 127(2), 249–266. https://doi.org/10.1037/0033-2909.127.2.249
Neufeld, S. A. S., Jones, P. B., & Goodyer, I. M. (2017). Child and adolescent mental health services: longitudinal data sheds light on current policy for psychological interventions in the community. Journal of Public Mental Health, 16(3), 96–99. https://doi.org/10.1108/JPMH-03-2017-0013
Norrish, J., & Vella-Brodrick, D. (2009). Positive psychology and adolescents: Where are we now? Where to from here? Australian Psychologist, 44(4), 270–278.
https://doi.org/10.1080/00050060902914103
Owens, M., Stevenson, J., Hadwin, J. A., & Norgate, R. (2012). Anxiety and depression in academic performance: An exploration of the mediating factors of worry and working memory. School Psychology International, 33(4), 433–449. https://doi.org/10.1177/0143034311427433
Özabacı, N. (2010). Quality of life as a predictor of depression. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 2(2), 2458–2463. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2010.03.353
Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character strengths and virtues: A handbook and classification. Oxford University Press.
Putra, J. S. (2004). Syukur: Sebuah konsep psikologi indigenous Islami. Jurnal Soul, 7(2), 35–44.
Rachmadi, A. G., Safitri, N., & Aini, T. Q. (2019). Kebersyukuran: Studi komparasi prespektif psikologi barat dan psikologi Islam. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 24(2), 115–128.
Reckart, H., Scott Huebner, E., Hills, K. J., & Valois, R. F. (2017). A preliminary study of the origins of early adolescents’ gratitude differences. Personality and Individual Differences, 116, 44– 50. https://doi.org/10.1016/j.paid.2017.04.020
Rey, L., Quintana-Orts, C., Mérida-López, S., & Extremera, N. (2019). Being bullied at school: Gratitude as potential protective factor for suicide risk in adolescents. Frontiers in Psychology, 10. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.00662
ROKOM. (2019). Targetkan Indonesia sehat jiwa, kemenkes fokus pada upaya pencegahan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20191009/0932 024/targetkan-indonesia-sehat-jiwa-kemenkes-fokus-upaya-pencegahan/
Sapouna, M., & Wolke, D. (2013). Resilience to bullying
victimization: The role of individual, family and peer
characteristics. Child Abuse & Neglect, 37(11), 997–1006. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2013.05.009
Schulte-Körne, G. (2016). Mental health problems in a school setting in children and adolescents. Deutsches Aerzteblatt Online, 113(11), 183–190. https://doi.org/10.3238/arztebl.2016.0183
Srinivas, S., Rajendran, S., Anand, K., & Chockalingam, A. (2018). Self-reported depressive symptoms in adolescence increase the risk for obesity and high BP in adulthood. International Journal of Cardiology, 269, 339–342.
https://doi.org/10.1016/j.ijcard.2018.07.089
Steindl-Rast, D. (2004). Gratitude as thankfulness and as gratefulness. In R. A. Emmons & M. E. McCullough (Eds.), The psychology of gratituderatitude. Oxford University Press.
Tian, L., Du, M., & Huebner, E. S. (2015). The effect of gratitude on elementary school students’ subjective well-being in schools: The mediating role of prosocial behavior. Social Indicators Research, 122(3), 887–904. https://doi.org/10.1007/s11205-
014-0712-9
Watkins, P. C., Woodward, K., Stone, T., & Kolts, R. L. (2003). Gratitude and happiness: Development of a measure of gratitude and relationships with subjective well-being. Social Behavior and Personality, 31(5), 431–451.
https://doi.org/10.2224/sbp.2003.31.5.431
Windfuhr, K., While, D., Hunt, I., Turnbull, P., Lowe, R., Burns, J., Swinson, N., Shaw, J., Appleby, L., & Kapur, N. (2008). Suicide in juveniles and adolescents in the United Kingdom. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 49(11), 1155– 1165. https://doi.org/10.1111/j.1469-7610.2008.01938.x
Wood, A. M., Froh, J. J., & Geraghty, A. W. A. (2010). Gratitude and well-being: A review and theoretical integration. Clinical Psychology Review, 30(7), 890–905.
https://doi.org/10.1016/j.cpr.2010.03.005
LAMPIRAN
Tabel 1
Arti Syukur Bagi Remaja Awal
Arti Syukur |
Laki-laki (%) |
Perempuan (%) |
Total (%) |
Berterima kasih dan pujian terhadap Tuhan |
7 (9,59) |
21 (28,77) |
28 (38,36) |
Menerima |
8 (10,96) |
13 (17,81) |
21 (28,77) |
Menikmati |
7 (9,56) |
12 (16,47) |
19 (26,03) |
Menghargai |
2 (2,74) |
3 (4,11) |
5 (6,85) |
Total Respon |
24 (32,88) |
49 (67,12) |
73 (100) |
Tabel 2
Objek yang Disyukuri Bagi Remaja Awal
Objek Syukur |
Laki-laki (%) |
Perempuan (%) |
Total (%) |
Anugerah Tuhan |
10 (10,20) |
31 (31,63) |
41 (41,84) |
Benda Berharga |
10 (10,20) |
13 (13,27) |
23 (23,47) |
Sekolah dan Ilmu |
9 (9,18) |
9 (9,18) |
18 (18,37) |
Kehidupan dan Relasi Sosial |
1 (1,02) |
15 (15,31) |
16 (16,33) |
Total Respon |
30 (30,61) |
68 (69,39) |
98 (100) |
Tabel 3
Tujuan Rasa Syukur Bagi Remaja
Tujuan Syukur |
Laki-laki (%) |
Perempuan (%) |
Total (%) |
Tuhan |
19 (22,09) |
37 (43,02) |
56 (65,12) |
Orang tua |
4 (4,65) |
14 (16,28) |
18 (20,93) |
Lain-lain |
0 (0) |
12 (13,95) |
12 (13,95) |
Total Respon |
23 (26,74) |
63 (73,26) |
86 (100) |
Tabel 4
Ekspresi Rasa Syukur Remaja Awal
Tujuan Syukur |
Laki-laki (%) |
Perempuan (%) |
Total (%) |
Ekspresi Religius |
14 (17,50) |
23 (28,75) |
37 (46,25) |
Mengucapkan terima kasih |
10 (12,50) |
15 (18,75) |
25 (31,25) |
Mengembangkan diri |
2 (2,50) |
9 (12,25) |
11 (13,75) |
Berbuat baik |
2 (2,50) |
5 (6,25) |
7 (8,75) |
Total Respon |
28 (35) |
52 (65) |
80 (100) |
10
Discussion and feedback