Peran dukungan pasangan dan keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga terhadap konflik kerja-keluarga selama work fromhome pada dosen wanita yang sudah menikah
on
Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.2, 30-40
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2021.v08.i02.p05
Peran dukungan pasangan dan keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga terhadap konflik kerja-keluarga selama work from home pada dosen wanita yang sudah menikah
Luh Putu Ratih Andhini, Ni Made Sintya Noviana Utami, Anak Agung Dyah Pramudya Dewi, dan I Gusti Ayu Yurika Wahyuning Shantiyani
Program Studi Psikologi, Fakultas Bisnis Sosial Teknologi dan Humaniora, Universitas Bali Internasional [email protected]
Abstrak
Konflik keluarga-kerja sangat dirasakan pada dosen wanita yang sudah menikah yang sudah menikah ditengah terjadinya pandemic virus Covid-19. Dosen harus menjalankan tugasnya dari rumah, selain itu ia juga memiliki tugas mengurus anak dan suami di rumah. Konflik keluarga-pekerjaan dapat diperani oleh keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga dan dukungan pasangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan kedua variabel (keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga dan dukungan pasangan) secara bersamaan terhadap konflik kerja-keluarga pada dosen wanita yang sudah menikah. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi ganda. Responden berjumlah 21 dosen wanita yang sudah menikah yang bekerja sebagai dosen pada salah satu universitas. Peneliti menggunakan skala work family conflict, skala work family conflict self-efficacy, dan skala dukungan pasangan. Hasil yang didapatkan R square = 0,428 artinya keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga dan dukungan pasangan memiliki peran sebanyak 42,8% dalam menjelaskan konflik kerja-keluarga. Nilai R = 0,654; F = 6.737; dan p = 0,007 < 0,05 dimana hipotesis diterima, artinya ada peran yang signifikan antara keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga dan dukungan pasangan terhadap konflik kerja-keluarga pada dosen wanita yang sudah menikah Universitas X selama work from home. Nilai Beta terlihat dukungan pasangan memiliki nilai yang lebih tinggi yang memengaruhi konflik kerja keluarga dibandingkan keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga.
Kata kunci: Dukungan pasangan, work family conflict, work family conflict self-efficacy.
Abstract
Work-family conflict have been strongly felt by married female lecturers in the midst of the Covid-19 virus pandemic. Lecturers must carry out their duties from home, besides that they also have the task of taking care of children and husbands at home. Work-family conflict can be affected by work family conflict self-efficacy and spouse support. The purpose of this study was to see the relationship between the two variables (work-family conflict self-efficacy and spouse support) simultaneously on work-family conflict in married female lecturers. Subject totaled 21 female lecturers who worked as lecturers at a university. Researchers used the work family conflict, the work family conflict self-efficacy, and spouse support scale. The results obtained by R square = 0.428 means that work-family conflict self-efficacy and spouse support has a role as much as 42.8% in explaining work-family conflict. R value = 0.654; F = 6737; and p = 0.007 <0.05 where the hypothesis is accepted, meaning that there is a significant role between work-family conflict self-efficacy and spouse support for work-family conflict in married female lecturers at University X during work from home. The Beta value shows that spouse support has a higher value that affects work-family conflict than work-family conflict selfefficacy.
Keyword: Spouse support, work family conflict, work family conflict self-efficacy.
LATAR BELAKANG
Sejak mewabahnya virus Covid-19 di Wuhan pada tahun 2020 dan telah masuk ke Indonesia pada 2 Maret 2020, pada 15 Mei 2020, Presiden Jokowi telah meningkatkan kewaspadaan penyebaran virus ini dengan cara membatasi kegiatan masyarakat di luar rumah. Hal ini berdampak bagi para pekerja antara lain harus bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan ibadah di rumah (Ratriani, 2020). Work from home (WFH) adalah suatu istilah bekerja dari jarak jauh atau bekerja dari rumah, dimana pekerja tidak perlu datang ke kantor dan dapat menyelesaikan tugasnya dari rumah. WFH memiliki kelebihan seperti bekerja lebih fleksibel, dapat meningkatkan work life balance, lebih dekat dengan keluarga. Pada sisi lain kekurangan WFH yaitu kehilangan motivasi kerja, mendapatkan gangguan dari anak dan keluarga, dan tidak semua pekerjaan dapat dilakukan dari rumah (Dewayani, 2020).
WFH memiliki makna berbeda bagi para wanita karir yang sudah menikah dan memiliki anak yaitu mereka harus mengerjakan peran utama sebagai ibu/istri dan mengerjakan tugas kantor secara bersamaan. Kondisi ini menjadi semakin sulit saat ini dikarenakan sekolah dilakukan dari rumah, tempat penitipan anak ditutup, dan tidak boleh mengunjungi keluarga selama masa pandemi Covid-19. Hal ini berdampak pada pekerjaan kantor yang tidak optimal karena harus mengerjakan tugas domestik lainnya seperti menjaga anak, menemani anak belajar daring, membersihkan rumah, mengurus suami (Fajria, 2020).
Dampak WFH tersebut juga dirasakan oleh dosen wanita yang sudah menikah dan memiliki anak. Dalam data statistika PDDikti tahun 2021 sebanyak 129.061 wanita yang bekerja sebagai dosen aktif dan 166.979 laki-laki, artinya 44% peran wanita yang bekerja di dunia pendidikan, adapun alasan perempuan bekerja adalah membantu memenuhi kebutuhan keluarga, ingin berprestasi, meningkatkan status, menunjukkan kualitas di dunia kerja, meningkatkan kemampuan, dan mengembangkan diri (Utami & Wijaya, 2018).
Peneliti melakukan wawancara pada dua orang dosen wanita Universitas X yang sudah menikah dan memiliki anak selama work from home. Responden yang merasakan urusan keluarga yang dapat mengganggu pekerjaan (family interfere work) adalah Mitha (28 tahun) yang mengatakan “saya sejak wfh bingung banget mau mengerjakan yang mana, saat jam yang sama saya harus mengajar tetapi anak ikut nimbrung juga depan laptop karena ga ada yang jagain jadi ngajarnya ya sambil ngurus anak”, sehingga berdampak pada proses pengajaran jarak jauh yang dari awal menggunakan Zoom dalam menjelaskan materi kemudian berpindah menggunakan WhatsApp voice note. Sedangkan, responden yang merasakan urusan pekerjaan mengganggu keluarga adalah Mona (35 tahun) mengatakan “saat ada deadline dari kampus yang harus diselesaikan jadinya saya ga bisa masak harus ketunda dulu kerjaan di rumah saat wfh.. ya.. harus mengutamakan deadline dulu karena udah diminta hari dan jam itu juga”, sehingga harus menunda tugas domestik.
Menurut Jamadin, Mohamad, dkk (dalam Hasanah & Ni’matuzahroh, 2017) keluarga dan pekerjaan merupakan satu kesatuan dari kehidupan manusia, ketika ingin menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga sering terjadi konflik dalam memberikan prioritas kepada kedua peran tersebut. Jika individu tidak dapat menyeimbangkan tanggung jawab terkait kedua peran, potensi konflik antara peran tersebut meningkat yang disebut sebagai konflik pekerjaan keluarga. Menurut Nizam (2018), menyatakan bahwa konflik kerja-keluarga adalah salah satu bentuk konflik peran ketika tuntutan antara peran di pekerjaan dan keluarga saling bertentangan sehingga menyebabkan pelaksanaan salah satu peran menjadi terhambat dan menimbulkan konflik.
Menurut Fadilla dan Rozana (2020) menjelaskan konflik kerja-keluarga sebagai pertikaian peran seorang individu saat ia merasakan sulitnya dalam pemenuhan peran di keluarga maupun di tempat kerja disebabkan oleh permintaan pekerjaan atau keluarga yang sulit diabaikan. Konflik kerja-keluarga memiliki empat aspek (Carlson & Kacmar, 2000), yaitu time-based work interfere family terjadi ketika waktu yang digunakan untuk menyelesaikan masalah pekerjaan mengganggu pemenuhan tanggung jawab di keluarga; timebased family interfere work terjadi ketika waktu untuk menyelesaikan tuntutan keluarga mengganggu pemenuhan tanggung jawab di pekerjaan; stain-based work interfere family terjadi saat urusan pekerjaan mengganggu performa dalam memenuhi tanggung jawab keluarga; dan stain-based family interfere work terjadi saat urusan keluarga mengganggu performa dalam memenuhi tuntutan pekerjaan.
Menurut Bellavia dan Frone (dalam Hasanah & Ni’matuzahroh, 2017) konflik keluarga-pekerjaan yang dirasakan dosen wanita yang sudah menikah dapat diperani dari tiga faktor antara lain faktor dalam diri individu (ciri demografis, kepribadian, ketelitian, ketabahan, dapat membentengi dari pontensi konflik peran); peran dari keluarga (membagi waktu untuk pekerjaan di keluarga dan stressor dari keluarga); dan peran dari pekerjaan (pembagian waktu, terkena stressor kerja, karakteristik pekerjaan, dukungan sosial, karakteristik kerja). Dari ketiga faktor tersebut, peneliti menfokuskan pada faktor internal (work family conflict self-efficacy) dan eksternal (dukungan pasangan).
Keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga (work family conflict self-efficacy). Menurut Cinamon (dalam Hennessy, 2007) keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga adalah keyakinan individu dalam dirinya atau kemampuan untuk mengelola konflik dalam pekerjaan dan juga keluarga. Bandura mendefinisikan self-efficacy sebagai kemampuan untuk memandu dan memotivasi diri sendiri untuk menyelesaikan sesuatu yang tahu harus melakukan apa. Hennessy (2007) menyatakan terdapat dua dimensi dari keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga, antara lain work family conflict self-efficacy (WFC-SE) dan family work conflict self-efficacy (FWC-SE). Hennessy (dalam Rakhmawati, 2013) menyatakan faktor-faktor yang dapat memperani work family conflict self-efficacy seseorang adalah besar kecilnya keluarga, usia anak, banyaknya waktu
yang dihabiskan untuk bekerja di luar rumah, kemampuan mengatur waktu, dan tingkat dukungan masyarakat atau sosial yang berdampak pada work family conflict.
Konflik dapat diminimalisir apabila wanita bekerja mendapatkan dukungan sosial yang bersumber dari atasan, rekan kerja, suami dan teman atau kerabat. Sarafino (dalam Julianty & Prasetya, 2016) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan dan bantuan yang diterima dari orang lain. Menurut Adams, King & King, 1996, Carlson & Parrewe, 1999 (dalam Artiawati, 2012), dukungan sosial merupakan sumber penting yang dapat mengurangi efek negatif dari sumber stres, dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Dukungan pasangan adalah dukungan yang didapatkan dari suami untuk memotivasi istri baik secara moral maupun material (Bobak, dalam Julianty & Prasetya, 2016). Goldberger & Breznis (dalam Hasanah, 2014) juga menjelaskan dukungan pasangan adalah dukungan yang diberikan suami kepada istri berupa bantuan psikologis seperti motivasi, perhatian, dan penerimaan. Dukungan pasangan merupakan hubungan yang bersifat menolong yang mempunyai nilai khusus bagi istri sebagai tanda adanya ikatan yang bersifat positif. Menurut Utami dan Wijaya (2018) wanita bekerja yang mendapatkan dukungan pasangan lebih mampu menjalankan kedua perannya dengan seimbang serta lebih mampu membagi waktu dan tenaganya baik untuk keluarga maupun pekerjaannya. Artiawati (2012) menyatakan terdapat dua aspek dukungan pasangan antara lain dukungan emosional (berupa pemberian empati, cinta, kepercayaan, kepedulian, perhatian, dan mendengarkan) dan instrumental (berupa bantuan dalam bentuk barang, uang, tenaga, waktu dan bantuan langsung).
Julianty dan Prasetya (2016) dalam penelitiannya tentang hubungan antara dukungan sosial suami dengan konflik peran ganda pada guru wanita di Kabupaten Halmahera Barat mendapatkan hasil bahwa ada hubungan negatif yang tidak signifikan antara dukungan sosial suami dengan konflik peran ganda. Sedangkan penelitian Utami & Wijaya (2018), mengenai dukungan sosial pasangan dengan konflik pekerjaan-keluarga pada ibu bekerja didapatkan hasil ada hubungan negatif signifikan antara dukungan sosial pasangan dengan konflik pekerjaan-keluarga. Variabel lain yang dibahas dalam penelitian ini adalah work family conflict selfefficacy. Hartika (2015) meneliti tentang peranan self-efficacy dalam mengatur work/family conflict pada ibu yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit X, didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara self-efficacy dengan work family conflict dan juga terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara self-efficacy dan family work conflict.
Penelitian terdahulu yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dukungan pasangan dan work family conflict selfefficacy memiliki hubungan yang negatif terhadap work family conflict. Penelitian tersebut dilakukan saat kondisi normal dimana belum terjadi situasi pandemic Covid-19, sedangkan dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada kondisi work from home. Dosen wanita yang memiliki tugas utama yaitu Tridarma Perguruan Tinggi, juga mendapatkan
tugas tambahan sejak melakukan WFH. Mereka harus mengurus pekerjaan kampus, mengurus anak dan suami, membersihkan rumah, dan mendampingi anak belajar daring di rumah.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk melihat hubungan kedua variabel (keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga dan dukungan pasangan) secara bersamaan terhadap konflik kerja-keluarga pada dosen perempuan Universitas X selama work from home. Selain itu, peneliti ingin mengetahui besar kontribusi dari kedua variable independent terhadap variable dependent.
Hipotesis yang dapat diajukan adalah ada hubungan antara keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga dan dukungan pasangan terhadap konflik kerja-keluarga selama WFH pada dosen wanita yang sudah menikah di Universitas X.
METODE PENELITIAN
Responden
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh dosen wanita yang sudah menikah di Universitas X, sedangkan sampel penelitian berjumlah 21 dosen wanita yang sudah menikah di Universitas X. Teknik pengambilan sampel dengan cara purposive, antara lain bejenis kelamin perempuan, berada dalam masa kerja aktif, tidak sedang cuti, telah menikah, memiliki anak minimal satu, melakukan work from home, dan berprofesi sebagai dosen Universitas X.
Alat Ukur
Peneliti menggunakan 3 skala yaitu skala work family conflict yang diadaptasi dari Artiawati (2004) terdapat 12 pernyataan dengan rentang jawaban 1 sampai 6. Skala wfc memiliki nilai reliabilitas = 0,950 dan validitas antara 0,665 s/d 0,934. Skala work family conflict self-efficacy diadaptasi dari penelitian Andhini dan Artiawati (2018) dengan 10 pernyataan dimana memiliki rentang jawaban 1 sampai 5. Skala wfc-se memiliki nilai validitas antara 0,535 s/d 0,918 dan reliabilitas = 0,915. Skala dukungan pasangan dibuat oleh (Antani & Ayman, 2003) dan ditambahkan 1 butir oleh tim Project 3535 (Artiawati, 2012) dengan rentang 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Skala dukungan pasangan memiliki nilai validitas antara 0,757 s/d 0,850 dan reliabilitas = 0,868.
Analisis Data
Analisis data penelitian ini menggunakan analisis regresi ganda dikarenakan untuk melihat peran antara keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga (IV 1) dan dukungan pasangan (IV 2) terhadap konflik kerja-keluarga (DV).
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Responden
Responden berjumlah 21 orang dengan latar pendidikan terakhir S2, berjenis kelamin perempuan diantaranya 10 orang dengan rentang usia 25 sampai 30 tahun, 8 orang dengan rentang usia 31 sampai 35 tahun, dan 3 orang berusia antara 36 sampai 40 tahun. Responden dipilih berdasarkan karakteristik antara lain berjenis kelamin perempuan,
memiliki masa kerja aktif dan tidak cuti, telah menikah, memiliki satu anak, melakukan work from home dan berprofesi sebagai dosen di Universitas X. Peneliti mengambil data secara online dengan menggunakan Google Form yang dibagikan melalui WhatsApp.
Hasil didapatkan bahwa 4 orang dosen wanita yang sudah menikah bekerja selama 1 sampai 2 tahun, terdapat 15 orang responden yang sudah bekerja selama 3 sampai 4 tahun dan 2 orang bekerja selama 5 sampai 6 tahun. Peneliti juga mendapatkan hasil bahwa lebih banyak responden dengan suami bekerja full-time (18 orang), 3 orang menyatakan jadwal kerja suami part-time.
Responden memperoleh dukungan sosial dari kehidupan keluarga paling banyak dari anggota keluarga (9 orang), sisanya dukungan didapatkan dari suami (8 orang) dan dari orang luar seperti asisten rumah tangga atau pengasuh (4 orang). Sedangkan dari kehidupan kerja, responden lebih banyak mendapatkan dukungan dari rekan kerja (14 orang), ada yang mendapatkan dukungan dari atasan (1 orang) dan ada yang mengerjakan pekerjaan sendiri (6 orang).
Hasil Skor Responden
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi pada variabel konflik kerja-keluraga didapatkan bahwa skor sedang sampai tinggi dimiliki oleh 9 orang dosen wanita yang sudah menikah (43%), sedangkan skor rendah sampai sangat rendah dimiliki oleh 12 orang (57%) (tabel 1 terlampir). Responden yang memiliki skor konflik kerja-keluarga paling banyak di rentang sangat rendah hingga rendah, hal ini diperani oleh hasil skor variabel keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga didapatkan skor sedang sampai sangat tinggi dimiliki oleh 17 orang (81%) dan 4 orang (19%) memiliki skor rendah (tabel 2 terlampir), selain itu variabel dukungan pasangan juga dapat memperani terlihat bahwa responden dengan skor sedang sampai sangat tinggi dimiliki oleh 20 orang (95%) dan 1 orang dengan skor sangat rendah (tabel 3 terlampir).
Uji Asumsi
Peneliti melakukan uji normalitas dengan analisis Kolmogorov Smirnov dimana suatu sebaran data dikatakan normal jika hasil p > 0,05. Tabel 4 (terlampir) menunjukkan bahwa variabel keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga, dukungan pasangan dan konflik kerja-keluarga memiliki nilai signifikansi 0,871 > 0,05 artinya ketiga variabel tersebut bersifat normal.
Uji linieritas bertujuan mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung memiliki garis sejajar atau tidak. Uji linieritas menggunakan compare mean (deviation from linearity) didapatkan hasil variabel keyakiann diri mengelola konflik kerja-keluarga dan variabel konflik kerja-keluarga sebesar 0,094 > 0,05 artinya kedua variabel ini bersifat linier, kemudian variabel dukungan pasangan dan variabel konflik kerja keluarga sebesar 0,005 < 0,05 artinya tidak linier (tabel 5 terlampir).
Uji multikolineritas juga dilakukan dengan melihat nilai Tolerance dan VIF didapatkan hasil bahwa variabel keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga, dukungan
pasangan dan konflik kerja-keluarga memiliki nilai Tolerance 0,792 > 0,10 dan nilai VIF sebesar 1,262 < 10,00 berarti tidak terjadi multikolinearitas (tabel 6 terlampir).
Uji heteroskedastisitas dengan Glejser didapatkan nilai signifikan 0,303 > 0,05 (variabel keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga) dan signifikan 0,115 > 0,05 (variabel dukungan pasangan) artinya kedua variabel terebut tidak terjadi gejala heteroskedastisitas dalam model regresi (tabel 7 terlampir).
Uji Hipotesis
Berdasarkan tabel 8 (terlampir) uji hipotesis menunjukkan bahwa R square didapat 0,428 artinya keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga dan dukungan pasangan memiliki peran sebanyak 42,8% dalam menjelaskan konflik kerja-keluarga. Nilai R = 0,654; F = 6.737; dan p = 0,007 < 0,05 dimana hipotesis diterima, artinya ada peran yang signifikan antara keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga dan dukungan pasangan terhadap konflik kerja-keluarga pada dosen wanita yang sudah menikah Universitas X selama work from home.
Peneliti bertujuan mengetahui peran antara dua independent variabel secara parsial (sendiri-sendiri) terhadap dependent variabel didapat dengan hasil pada tabel 9 (terlampir).
Berdasarkan tabel 9, diketahui bahwa variabel keyakinan diri mengelola konflik-kerja keluarga memiliki nilai koefisien regresi = -1.195; Beta = -0.607; thitung = -3.031; sig. = 0.007 < 0.05, artinya terdapat peran signifikan yang negatif antara keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga terhadap konflik kerja-keluarga. Variabel dukungan pasangan memiliki koefisien regresi = -2.095; Beta = -0.646; thitung = -3.225; sig. = 0.005 < 0.05, artinya terdapat peran signifikan yang negatif antara dukungan pasangan terhadap konflik kerja-keluarga. Nilai Beta terlihat dukungan pasangan memiliki nilai yang lebih tinggi yang memengaruhi konflik kerja keluarga dibandingkan keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Peran dukungan pasangan terhadap konflik kerja-keluarga Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat peran signifikan yang negatif antara dukungan pasangan terhadap konflik kerja-keluarga, artinya konflik kerja-keluarga yang dirasakan rendah dikarenakan adanya dukungan yang didapatkan oleh responden dari pasangannya. Sebaliknya, konflik dirasakan sangat tinggi terjadi karena tidak adanya dukungan yang didaparkan oleh responden. Dukungan pasangan merupakan variabel pertama yang paling memperani konfik kerja-keluarga. Hasil penelitian ini didukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Utami dan Wijaya (2018) mendapatkan hasil ada hubungan negatif signifikan antara dukungan sosial pasangan dan konflik pekerjaan-keluarga dengan peran sebesar 28.3%, dimana ibu bekerja yang mendapatkan dukungan sosial tinggi mengalami konflik pekerjaan-keluarga rendah. Dimensi konflik pekerjaan-keluarga dominan adalah konflik disebabkan perilaku (work interference family). Selain itu, terdapat penelitian lain dari Fadilla dan Rozana (2020) didapatkan hasil bahwa dukungan
sosial pasangan dan dari tempat kerja berperan negatif terhadap work family conflict pada polisi wanita dengan status menikah di Polrestabes Bandung yaitu sebesar 54,3%.
Responden memperoleh dukungan sosial dari kehidupan keluarga paling banyak dari anggota keluarga, sisanya dukungan didapatkan dari suami dan dari orang luar seperti asisten rumah tangga atau pengasuh. Dukungan sosial yang didapatkan oleh responden antara lain dukungan emosional berupa kasih sayang dan empati; dukungan informatif seperti saran, umpan balik dan petunjuk dalam menyelesaikan masalah; dukungan instrumental berupa pemberian kesempatan bekerja, bantuan dalam menyelesaikan tugas; dan penilaian positif berupa pemberian penghargaan (House dalam Fadilla dan Rozana, 2020). Menurut Winnubst (dalam Fadilla dan Rozana, 2020) responden yang menerima dukungan sosial pasangan dalam hubungan pernikahan dapat berupa informasi, bantuan nyata, kepedulian (dukungan emosional), saling menghormati dan menghargai (dukungan afirmatif), hal ini memiliki manfaat bagi emosional responden.
Responden lebih banyak mendapatkan dukungan instrumental dibandingkan dengan dukungan emosional. Menurut House (dalam Utami & Wijaya, 2018) dukungan instrumental yang bersifat bantuan secara langsung dan paling konkret. Ibu bekerja yang mendapatkan dukungan suami dapat meringankan beban yang dialami secara langsung. Responden mendapatkan bantuan langsung dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, menjaga dan menemani anak belajar daring dari rumah. Dukungan kedua yang dirasakan sangat membantu responden adalah dukungan emosional. Dukungan emosional dapat berupa cinta, perhatian, kepedulian dan empati. Dukungan emosional yang didapatkan dari suami dapat menenangkan suasana dan perasaan serta membantu ibu bekerja dalam mengendalikan emosinya.
Peran keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga terhadap konflik kerja-keluarga
Penelitian menunjukan hasil bahwa terdapat peran signifikan yang negatif antara keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga terhadap konflik kerja-keluarga, artinya dosen wanita yang sudah menikah Universitas X yang merasakan konflik kerja-keluarga yang rendah disebabkan oleh keyakinan dirinya yang tinggi dalam mengelola konflik. Sebaliknya, jika konflik yang dirasakan tinggi hal tersebut dikarenakan dosen wanita yang sudah menikah yang memiliki keyakinan diri rendah dalam mengelola konflik kerja-keluarga. Keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga merupakan variabel kedua yang berperan pada konflik kerja-keluarga. Hasil penelitian didukung oleh penelitian yang dilakukan Hennessy (2007) didapatkan hasil bahwa wanita yang memiliki keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga yang tinggi akan cenderung mengalami lebih sedikit konflik kerja- keluarga. Sejalan juga dengan hasil penelitian yang dilakukan Erdwins dkk. (2001) serta Hennessy dan Lent (2007) yang menemukan hubungan negatif antara efikasi diri dan konflik kerja-keluarga.
Penelitian lain yang mendukung hasil analisis dilakukan oleh Hartika (2015) didapatkan bahwa terdapat peran negatif yang signifikan antara self-efficacy dengan work family conflict dan juga terdapat peran negatif yang signifikan antara selfefficacy dengan family work conflict pada ibu yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit X. Individu yang memiliki keyakinan diri yang tinggi akan lebih berusaha mengatasi rintangan yang dialaminya, sebaliknya jika dosen wanita yang sudah menikah yang merasakan lebih banyak muncul masalah disebabkan oleh keyakinan diri yang rendah.
Responden lebih banyak memiliki keyakinan diri ketika mengalami konflik kerja-keluarga, artinya responden yang melakukan peran dalam keluarga lebih mudah dalam mengatur waktu dan tenaga saat ada tuntutan dari pekerjaan. Responden yang memiliki keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga yang rendah akan lebih rentan mengalami overload dan ketegangan. Menurut Cook (dalam Hartika, 2015) ibu bekerja yang memiliki keyakinan diri yang tinggi akan memiliki kontrol dan regulasi yang lebih dalam mengatur energi dan waktu antara masalah di kantor atau rumah. Pengaturan waktu dan energi yang seimbang akan memberikan hasil yang baik dalam pekerjaannya, sehingga dapat meminimalisir konflik kerja-keluarga.
Peran dukungan pasangan dan keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga terhadap konflik kerja-keluarga pada dosen wanita yang sudah menikah Universitas X selama work from home
Sebagai upaya dalam menghambat penularan Covid-19 pada pertengahan Maret 2020 Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Energi DKI Jakarta menerbitkan Surat Edaran Nomor 14/SE/2020 tentang imbauan bekerja dari rumah (work from home). Hal ini sangat sulit dirasakan bagi pekerja yang sudah menikah, mereka kesulitan membagi waktu antara pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah. Pekerjaan di rumah sering terabaikan karena harus menyelesaikan pekerjaan kantor, bahkan pekerjaan kantor bisa diselesaikan pada tengah malam (Hapsari, 2020).
WFH menjadi masalah besar bagi wanita bekerja yang sudah menikah dan memiliki anak. Retnowati, Aprianti dan Agustina (2020) melakukan survei pada 30 ibu pekerja dari rumah didapatkan hasil lebih dari 60% merasa kewalahan dengan jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta stres yang ditimbulkan karena lingkungan kerja yang tidak kondusif. Pramita (2020) menuliskan dalam berita online Kompas bahwa karyawan mengalami stres ketika menghadapi WFH karena terlalu lama duduk di depan laptop dan sedikit melakukan aktivitas sosial.
Survei Deloitte pada para perempuan pekerja di sembilan negara menperoleh hasil yaitu lebih dari 80% perempuan pekerja merasa kualitas hidup memburuk selama pandemi Covid-19. Lebih dari dua pertiga perempuan pekerja merasa memiliki beban pekerjaan rumah tangga lebih banyak sejak menjalani WFH, terutama tanggung jawab mengurus anak dan mendampingi mereka dalam belajar daring (Prastiwi, 2021). Hal ini juga dirasakan oleh dosen wanita yang sudah menikah. Menurut Adisa dkk (2016) dosen wanita secara khusus mengalami tekanan dalam mengajar, menghadiri
konferensi, membimbing, mengawasi siswa, menilai tugas-tugas, dan mengerjakan administrasi lainnya, sehingga membuat mereka kehabisan waktu dan energi dalam mengurus keluarga, hal ini dapat memparah work family conflict. Work family conflict lebih dirasakan pada individu yang sudah menikah dibandingkan dengan individu yang belum menikah atau lajang (Ismail & Gali, 2017).
Konflik kerja-keluarga dipengaruhi secara bersamaan oleh dukungan pasangan dan keyakian diri mengelola konflik kerja keluarga, artinya ada hubungan yang signifikan antara kedua independent variabel terhadap konflik kerja keluarga pada dosen wanita yang sudah menikah Universitas X selama work from home. Penelitian yang mendukung oleh Utami dan Adhiatma (2020) didapatkan hasil bahwa (1) konflik peran ganda berperan negatif signifikan terhadap self-efficacy; (2) Dukungan sosial berperan positif signifikan terhadap selfefficacy; (3) Konflik peran ganda tidak berperan signifikan terhadap kinerja karyawan; (4) Dukungan sosial tidak berperan signifikan terhadap kinerja karyawan; (5) Selfefficacy berperan positif signifikan terhadap kinerja karyawan; (6) Self-Efficacy terbukti mampu memediasi peran tidak langsung antara konflik peran ganda dan dukungan sosial terhadap kinerja responden. Penelitian lain oleh Apollo dan Cahyadi (2012) membuktikan bahwa dukungan sosial keluarga dan penyesuaian diri mempunyai hubungan yang negatif yang sangat signifikan dengan tingkat konflik peran ganda perempuan menikah yang bekerja.
Responden penelitian ini lebih banyak dari tingkat pendidikan S2, dimana memiliki standar kerja yang sangat tinggi dari pekerjaan yaitu harus melaksanakan tugasnya sebagai dosen, ibu, istri dan guru bagi anaknya. Fitri (2000) menyatakan tingkat pendidikan perempuan berhubungan secara signifikan dengan tinggi rendahnya konflik peran ganda pada perempuan yang bekerja. Berdasarkan hasil analisis konflik kerja-keluarga sangat rendah dirasakan oleh para responden hal ini dikarenakan adanya dukungan pasangan dan keyakinan diri yang sangat tinggi. Individu yang mendapatkan dukungan sosial tinggi akan mempunyai self-esteem dan self-concept yang tinggi, serta memiliki pandangan optimis terhadap kehidupan dan pekerjaan dikarenakan memiliki keyakinan pada kemampuannya (Apollo, 2007).
Dosen wanita yang menikah dan memiliki anak lebih banyak mendapatkan dukungan instrumental dan diikuti dengan dukungan emosional. Dukungan pasangan ini sangat berarti bagi para responden karena mendapatkan bantuan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah, menjaga anak dan mendampingi anak belajar daring dari rumah. Perhatian, cinta dan empati didapatkan juga oleh responden dari pasangan. Dukungan emosional yang didapatkan dari suami dapat menenangkan suasana dan perasaan serta membantu dosen wanita bekerja dalam mengendalikan emosinya.
Selain dukungan pasangan, keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga merupakan variabel kedua yang memengaruhi konflik kerja-keluarga. Dosen wanita yang memiliki keyakianan diri mengelola konflik kerja-keluarga lebih dapat mengatur waktu dan tenaga saat mendapatkan tuntutan dari pekerjaan. Menurut Cook (dalam Hartika, 2015) ibu bekerja
yang memiliki keyakinan diri yang tinggi akan memiliki kontrol dan regulasi yang lebih dalam mengatur energi dan waktu antara masalah di kantor atau rumah. Pengaturan waktu dan energi yang seimbang akan memberikan hasil yang baik dalam pekerjaannya, sehingga dapat meminimalisir konflik kerja-keluarga.
Dukungan pasangan dan keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga memiliki peran sebanyak 42,8% dalam menjelaskan konflik kerja-keluarga, sedangkan 57.2% diperani oleh general intra-individual predictors, family role predictors, dan work role predictors (Bellavia dan Frone dalam Hasanah dan Ni’matuzahroh, 2017). Faktor family role predictors tidak hanya didapatkan dari suami dikarenakan jadwal bekerja suami yang full-time, responden juga mendapatkan dukungan dari anggota keluarga dan bukan anggota keluarga dalam membantu pekerjaan di rumah. Responden yang mendapatkan dukungan dari rekan kerja, atasan dalam membantu pekerjaan di kantor merupakan faktor work role predictors.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan dalam penelitian ini bahwa dukungan pasangan dan keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga secara bersama-sama berhubungan terhadap konflik kerja-keluarga, serta memiliki hubungan negatif. Saran yang dapat peneliti berikan untuk penelitian selanjutnya adalah dapat meneliti faktor lain yang memperani konflik kerja-keluarga seperti faktor domain keluarga dari anggota keluarga, bukan anggota keluarga dan faktor domain kantor dari atasan dan rekan kerja. Saran untuk dosen wanita yang sudah menikah di Universitas X yaitu untuk menghindari konflik kerja-keluarga perlu meningkatkan keyakinan dalam diri sendiri. Selain itu, dukungan dari suami diperlukan untuk menggurangi konflik kerja-keluarga selama melakukan work from home.
DAFTAR PUSTAKA
Adisa, T. A., Osabutey, E., & Gbadamosi, G. (2016). Understanding the causes and consequences of work-family conflict: An exploratory study of Nigerian employees. Employee Relations, 38(5), 770–788. https://doi.org/10.1108/ER-11-2015-0211.
Andhini, L.P.R., & Artiawati. (2018). Correlation between
keyakinan diri mengelola konflik kerja-keluarga, supervisor support and spouse support with work family enrichment on female worker in tourism sector. The ASEAN Regional Union Psychological Society (ARUPS) Congress 6th,533-539. https://himpsi.or.id/blog/berita-
pengumuman-2/post/unduh-proceeding-the-6th-asean-regional-union-psychological-society-arups-congress-15.
Antani, A., & Ayman, R. (2003). Gender, Social Support and the Experience of Work-Family Conflict. In: Paper Presented at European Academy of Management. Paper Presented at European Academy of Management.
Apollo. (2007). Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Perasaan Malu pada Remaja. Widya Warta, Jurnal Ilmiah Universitas Katolik Widya Mandala Madiun No. 1 Tahun XXXI, 39-50.
http://repository.widyamandala.ac.id/657/1/4.Apollo.pdf.
Apollo. & Cahyadi, A. (2012). Konflik peran ganda perempuan menikah yang bekerja ditinjau dari dukungan sosial keluarga dan penyesuaian diri. Widya Warta No. 02 Tahun XXXV I/Juli 2012.
Artiawati. (2004). Konflik kerja-keluargain asian cultural context: the case of Indonesia, makalah dipresentasikan sebagai bagian dari simposium Project 3535 pada International Conference Society for Industrial and Organizational Psychology, Chicago, USA.
Artiawati. (2012). Konflik kerja-keluarga pada jurnalis di Jawa dan Bali (model konflik kerja-keluarga dengan ideologi peran gender, beban peran berlebih, dukungan sosial, dan kepribadian sebagai anteseden; rasa bersalah dan kesejahteraan psikologis sebagai konsekuensi). Disertasi tidak diterbitkan. Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Carlson, D.S., & Kacmar, K.M. (2000). Work family conflict in the organization do life role values make a difference?. Journal of management, 26(5),1031-1054.
https://www.researchgate.net/publication/228079127_Wo rk-
Family_Conflict_in_the_Organization_Do_Life_Role_V alues_Make_a_Difference.
Dewayani, T. (2020). Bekerja dari Rumah (Work From Home) Dari Sudut Pandang Unit Kepatuhan Internal.
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13014/Be kerja-dari-Rumah-Work-From-Home-Dari-Sudut-Pandang-Unit-Kepatuhan-Internal.html.
Erdwins, C.J., Buffardi, L.C., Casper, W.J., O’Brien, A.S., (2001). The relationship of women’s role strain to social support, role satisfaction, and self-efficacy. Family Relations, 50 (3), 230-239.
https://www.researchgate.net/publication/227690731
Fadilla, C., & Rozana, A. (2020). Peran dukungan sosial terhadap work-family conflict pada polwan dengan status menikah. Prosiding Psikologi, 6(2), 584–589.
Fajria, H. (2020). Peneliti LD FEB UI: Dilema WFH bagi Perempuan Karier, Ini Saran Akademisi.
https://www.feb.ui.ac.id/blog/2020/09/19/peneliti-ld-feb-ui-dilema-wfh-bagi-perempuan-karier-ini-saran-akademisi/.
Fitri, W. (2000). Konflik Peran Ganda Ditinjau Dari Tingkat Religiusitas. (Naskah Publikasi). Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Hapsari, I. (2020). Konflik peran ganda dan kesejahteraan psikologi pekerja yang menjalani work from home selama pandemi Covid-19. Jurnal Psikologi, 13 (1).
https://www.researchgate.net/publication/342620063
Hartika, A. (2015). Peranan self-efficacy dalam mengatur work/family conflict pada ibu yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit X. Pustaka Ilmiah.
Hennessy, K. D. (2007). Work-family balance: an exploration of conflict and enrichment for women in a traditional occupation. Dissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of the, University of Maryland.
Hennessy, K.D. & Lent, R.W. (2007). Self-Efficacy for Managing Work-Family Conflict: Validating the English Language Version of a Hebrew Scale. Journal of Career Assessment. In press.
Hasanah, S., F., & Ni’matuzahroh. (2017). Konflik kerja-
keluargapada single parent. Jurnal Muara Ilmu Sosial,Humaniora dan Seni, 1(2),381-398.
Ismail, H. N., & Gali, N. (2017). Relationships among performance appraisal satisfaction, work–family conflict and job stress. In Journal of Management and Organization.
Julianty, E., & Prasetya, B. E. A. (2016). Hubungan Antara Dukungan Sosial Suami Dengan Konflik Peran Ganda Pada Guru Wanita Di Kabupaten Halmahera Barat. Jurnal Psikologi Perseptual, 1(1), 27–39.
https://doi.org/10.24176/perseptual.v1i1.1077
Nizam, L.H. (2018). Peran dukungan sosial keluarga terhadap konflik keluarga dan pekerjaan pada wanita berwirausaha di Kota Medan. Skripsi diterbitkan, Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara.
Pramita, E. W. (2020). Cerita work from home para pekerja ibukota ada yang stress dan nyaman. Di akses September 29, 2021 dari: Tempo.co:
https://cantik.tempo.co/read/1328621/cerita-work-from-home-para-pekerjaibukota-ada-yang-stres-dannyaman/full&view=ok.
Prastiwi, A. M. (2021). Perempuan sukses berkarier dan urus pekerjaan domestik selama WGH. Di akses September 29, 2021 dari
https://katadata.co.id/ariemega/berita/6139956717a95/per empuan-sukses-berkarier-dan-urus-pekerjaan-domestik-selama-wfh.
Rakhmawati, O. N. (2013). Hubungan antara Work Family Conflict Self-Efficacy and Marital Satisfaction pada Ibu Dewasa Muda yang Bekerja. Octharina Nur Rakhmawati Tri Iswardani A . Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Retnowati, A. N., Aprianti, V., & Agustina, D. (2020). Dampak work family conflict dan stres kerja pada kinerja ibu bekerja dari rumah selama pandemic Covid 19 di Bandung. Jurnla Sain Manajemen 6(2).
https://doi.org/10.30656/sm.v6i2.2963.
Utami, L. A., & Adhiatma, A. (2020). Self Efficacy sebagai mediasi Peran Konflik Peran Ganda dan Dukungan Sosial terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus Pada PT. Kailo Sumber Kasih). Konferensi Ilmiah Mahasiswa Unisisula, 9687(2), 1247–1265.
http://jurnal.unissula.ac.id/index. php/kimue/article/view/ 12539
Utami, K. P. dan Wijaya, Y. D. (2018). Hubungan dukungan pasangan dengan konflik pekerjaan-keluarga pada ibu bekerja. Jurnal Psikologi, 16
(1).https://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/psiko/articl e/view/2351/2032.
LAMPIRAN
Gambar 1.
Usia partisipan
Gambar 2.
Lama bekerja partisipan
lama bekerja partisipan
Gambar 3.
Jadwal kerja suami
1-2 tahun 3-4 tahun 5-6 tahun
Jadwal Kerja Suami
full-time
part-time
Gambar 4.
Orang yang membantu pekerjaan rumah
Membantu Pekerjaan Rumah
8 suami |
9 anggota keluarga |
4M bukan anggota keluarga |
Gambar 5.
Orang yang membantu pekerjaan kantor
Membantu Pekerjaan Kantor
1
0
atasan bawahan rekan kerja lain-lain
Tabel 1.
Distribusi Frekuensi Variabel WFC
Kategori |
Rentang |
Frekuensi |
Persentase (%) |
SR |
X ≥ 60 |
5 |
23.8 |
R |
48 ≤ X < 60 |
7 |
33.3 |
S |
36 ≤ X < 48 |
4 |
19 |
T |
24 ≤ X < 36 |
3 |
14.3 |
ST |
X < 24 |
2 |
9.5 |
Total |
21 |
100 |
Tabel 2 .
Distribusi Frekuensi Variabel WFC-SE
Kategori |
Rentang |
Frekuensi |
Persentase (%) |
SR |
X ≥ 42 |
0 |
0 |
R |
34 ≤ X < 42 |
4 |
19 |
S |
26 ≤ X < 34 |
5 |
23.8 |
T |
18 ≤ X < 26 |
10 |
47.6 |
ST |
X < 18 |
2 |
9.5 |
Total |
21 |
100 |
Tabel 3.
Distribusi Frekuensi Variabel Dukungan Suami
Kategori |
Rentang |
Frekuensi |
Persentase (%) |
SR |
X ≥ 21 |
1 |
4.8 |
R |
17 ≤ X < 21 |
0 |
0 |
S |
13 ≤ X < 17 |
6 |
28.6 |
T |
9 ≤ X < 13 |
9 |
42.9 |
ST |
X < 9 |
5 |
23.8 |
Total |
21 |
100 |
Tabel 4.
Uji Normalitas
Variabel |
Kolmogorov-Smirnov |
Asymp. Sig. |
1. Work Family Conflict Self- | ||
Efficacy | ||
2. Dukungan Pasangan |
0.595 |
0.871 |
3. Work Family Conflict |
Tabel 5.
Uji Linieritas
Variabel |
Deviation from Linearity |
WFC * WFC-SE |
0.094 |
WFC * Dukungan Pasangan |
0.005 |
Tabel 6.
Uji Multikolinearitas
DV |
IV |
Tolerance |
VIF | |
WFC-SE |
0.792 |
1.262 | ||
WFC | ||||
Dukungan Pasangan |
0.792 |
1.262 | ||
Tabel 7. | ||||
Uji Heteroskedastisitas | ||||
DV |
IV |
Sig. | ||
WFC-SE |
0.303 | |||
ABS_Res |
Dukungan Pasangan |
0.115 |
Tabel 8.
Uji Hipotesis
Variabel |
R |
R square |
F |
Sig. |
Ket |
WFC-SE dan Dukungan |
0.654 |
0.428 |
6.737 |
0.007 |
Terdapat hubungan signifikan antara 2 IV terhadap DV |
Pasanagan terhadap WFC
Tabel 9 .
Uji t Parsial
Variabel |
Koefisien Regresi |
Beta |
thitung |
Sig. |
Ket |
Konstanta |
115.119 | ||||
WFC-SE |
-1.195 |
-0.607 |
-3.031 |
0.007 |
Ada hubungan signifikat yang |
Dukungan Pasangan |
-2.095 |
-0.646 |
-3.225 |
0.005 |
negatif |
40
Discussion and feedback