Faktor-faktor yang melatarbelakangi keputusan perempuan untuk bertahan dalam abusive dating relationship
on
Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.2, 58-71
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2021.v08.i02.p08
Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Keputusan Perempuan untuk Bertahan dalam Abusive Dating Relationship
Ni Luh Dwi Sintyasari dan I Gusti Ayu Diah Fridari Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
Abstrak
Pacaran merupakan proses eksplorasi dan investigasi individu dalam menjalin hubungan intimasi. Menjalin hubungan pacaran munculkan hal positif bagi indvidu, tetapi memiliki konsekuensi negatif, salah satunya adalah terjadinya abusive dating. Ketika berada dalam abusive dating relationship, perempuan dapat memilih untuk meninggalkan hubungan atau bertahan. Keputusan perempuan untuk bertahan dalam abusive dating dilatarbelakangi berbagai faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi keputusan perempuan bertahan dalam abusive dating dengan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Responden penelitian merupakan 3 perempuan berusia 21-23 tahun yang telah berpacaran lebih dari satu tahun dan masih bertahan dalam abusive dating relationship. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen hubungan, bias kognitif, dukungan sosial, kepuasan pada hubungan, serta positive reinforcement menjadi faktor yang melatarbelakangi keputusan perempuan bertahan dalam abusive dating.
Kata Kunci: abusive dating relationship, keputusan bertahan, perempuan.
Abstract
Dating is a process of exploration and investigation of individuals in an intimate relationship. Having a relationship has a positive impact, but also has negative effects, one of which is abusive dating relationship. In an abusive dating relationship, women can choose to leave or stay in the relationship. A women’s decision to stay on the relationship caused by various factors. This research aimed to discover factors behind women’s decision to stay in abusive dating, utilizing a qualitative approach with a case study method. The sampling method used in this research is purposive sampling method. The respondents on this research were three women aged 21-23 years old who have been dating for more than one year and are staying in the abusive dating relationship. The results showed that commitment, cognitive bias, social support, relationship satisfaction, and positive reinforcement were factors behind women’s decision to stay on abusive dating relationship.
Keyword: abusive dating relationship, decision to stay, women.
LATAR BELAKANG
Pacaran dapat didefinisikan sebagai sebuah pola berkelanjutan dari hubungan dan interaksi dari dua individu yang telah mengakui adanya kecocokan satu sama lain (Brown dkk, 1999). Rowan dan Hallen (2010) mendefiniskan pacaran sebagai proses eksplorasi, investigasi, menerka kemungkinan untuk dapat menjalani komitmen pernikahan dengan orang lain. Proses individu untuk menjalin hubungan intimasi dengan lawan jenis umumnya akan muncul pada usia remaja. Pembentukan hubungan romantis yang menjadi tugas perkembangan di usia remaja akan berlanjut menjadi tugas perkembangan di usia dewasa (Furman & Collibee, 2014). Menurut Erikson (dalam Feist dkk, 2017) usia dewasa awal yaitu 19-30 tahun memiliki tugas perkembangan, salah satunya ditandai dengan membangun keintiman dengan lawan jenis.
Perkembangan masa dewasa awal ditandai dengan adanya upaya meningkatkan kemandirian dari pasangan, membangun intimasi dengan orang lain, dan melanjutkan komitmen pertemanan (Santrock, 2010). Hubungan pacaran dapat menjadi sarana untuk memperoleh dukungan sosial, kasih sayang, seseorang dengan minat yang sama, belajar untuk melakukan kompromi dan bekerjasama, pacaran di masa remaja merupakan cara individu untuk belajar membentuk hubungan yang lebih dalam dan intim (Doyle-portillo & Pastorino, 2010), sedangkan pada masa dewasa awal hubungan romantis cenderung berkembang menuju kematangan hubungan (Santrock, 2010). Pacaran juga dapat menjadi media individu untuk melakukan pencarian dan penyelidikan terkait keberlanjutan hubungannya menunju komitmen pernikahan di masa depan (Rowan & Hallen, 2010). Komitmen pernikahan pada individu di dewasa awal muncul ketika individu telah melakukan eksplorasi pada pilihan-pilihan yang individu miliki (Rauer dkk, 2013).
Menjalin hubungan pacaran dapat menghasilkan dampak negatif bagi individu (Gómez-López dkk, 2019), salah satunya mengalami kekerasan secara fisik (Viejo, 2014). Kekerasan dalam pacaran atau Abusive dating relationship merupakan pola dari perilaku kasar yang terjadi selama beberapa waktu, dimana individu menggunakan kekuatannya untuk mendesak dan menguasai pasangannya (La Bella, 2015). Berdasarkan hasil pendataan pada perempuan Indonesia tahun 2016 (Statistics Indonesia, 2017)) kekerasan pada hubungan dialami satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia. Abusive dating relationship, tidak hanya berupa abuse secara fisik berupa pemukulan saja, melainkan abuse secara emosional seperti perkataan yang menghina dan menurunkan self-esteem pasangan, serta abuse secara seksual yang berupa pemaksaan berhubungan seksual (Lily, 2012).
Catatan Tahunan Komnas Perempuan (Komnas Perempuan, 2020) jumlah perempuan korban kekerasan dalam hubungan pada perempuan di Indonesia mengalami peningkatan selama 12 tahun terakhir. Tahun 2008 terdapat 54,425 kasus, tahun 2009 sebanyak 143,586 kasus, penurunan di tahun 2010 dengan 105,103 kasus, tahun 2011 dengan 119,107 kasus, tahun 2012 dengan 216,156 kasus. Tahun 2013 kasus kekerasan dalam hubungan pada perempuan kembali meningkat 279,688 kasus,
tahun 2014 sebanyak 293,220 kasus dan tahun 2015 sebanyak 321,752 kasus. Di tahun 2016 jumlah perempuan korban kekerasan mengalami penurunan menjadi 259,150 kasus, namun di tahun 2017 kembali meningkat menjadi 348,446 kasus, tahun 2018 sebanyak 406,178 kasus, dan di tahun 2019 menjadi 431,471 kasus.
Berdasarkan jenis ranah kekerasan privat, di tahun 2019 kekerasan dalam hubungan pacaran menempati jenis kekerasan terbesar ketiga (sebanyak 1,819 kasus) setelah kekerasan terhadap anak perempuan dan kekerasan terhadap istri (Komnas Perempuan, 2020). Kekerasan atau abuse pada perempuan dapat disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah, masih adanya pemahaman patriarki, sifat tempramental, perempuan yang menyerang lebih dulu, serta riwayat mengalami tindakan abuse sebelumnya (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2018), kecemburuan pasangan, rasa kurang perhatian, ketidakpatuhan, serta kebutuhan ekonomi (Rohmah & Legowo, 2014). Ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan juga menjadi faktor yang berisiko menyebabkan abusive dating yang terjadi pada masyarakat (Gressard dkk, 2015). Berdasarkan sudut pandang pelaku yang melakukan tindakan abuse pada pasangannya dapat dipengaruhi oleh adanya pengalaman mendapatkan abuse dalam keluarga yang menyebabkan pelaku memiliki persepsi bahwa kekerasan dapat menjadi strategi dalam menyelesaikan masalah pada hubungan (Dodge dkk, 1994).
Tindakan abuse yang dilakukan oleh pasangan dalam hubungan pacaran dapat mengakibatkan beberapa efek negatif pada korban yaitu kerugian dalam hal kesehatan mentalnya (keinginan untuk bunuh diri, psikosomatis), kerugian dalam kesehatan fisik, penyalahgunaan obat-obatan, serta tindak criminal (Park dkk, 2018). Penelitian Safitri dan Sama’I (2013) menemukan kekerasan pada pacaran memiliki dampak psikis seperti depresi dan stres, dampak fisik seperti lebam, lecet, patah tulang, dampak seksual seperti perasaan trauma, cemas, dan disorganisasi serta dampak sosial yang berupa kecenderungan terjadinya pengendalian dan kontrol oleh pasangan lelaki dalam hal penampilan, pergaulan dan pekerjaan korban.
Di Indonesia, terdapat beberapa kasus abusive dating relationship yang mengakibatkan kerugian berupa luka fisik bahkan kematian. Salah satunya adalah pengalaman abuse yang dialami oleh model bernama Dylan Sada yang mengalami abuse secara fisik dan verbal dari pasangannya. Abuse tersebut menyebabkan Dylan menderita luka lebam di beberapa bagian tubuhnya sehingga harus mendapat perawatan medis (Anggraini, 2018). Tindakan abuse secara fisik berujung kematian yang dialami perempuan asal Medan yang dibakar kekasih akibat cemburu (Efendi, 2018). Abuse secara fisik dan verbal juga pernah dialami artis Kesha Ratuliu selama dua tahun menjalin hubungan dengan pasangan terdahulunya (Sari, 2019).
Dampak negatif yang muncul akibat abusive dating relationship mestinya menjadi faktor pendorong korban kekerasan dalam pacaran yang masih menjalin hubungan
abusive untuk memilih keputusan mengakhiri hubungannya. Keputusan pasangan untuk bertahan dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang menjadi pertimbangan masing-masing perempuan. Jika ditinjau kembali, hubungan romantis pada remaja merupakan salah satu media dalam meningkatkan perkembangan psychological well-being serta hubungan interpersonal yang positif individu (Gómez-López dkk, 2019), sedangkan menurut Callahan dkk (2003) abusive dating relationship menyebabkan PTSD, diasosiasi serta rendahnya kepuasan hidup.
Status hubungan pacaran dinilai lebih mudah diputuskan dibanding hubungan pernikahan yang melibatkan hukum, agama serta keluarga, sehingga keputusan untuk meninggalkan abusive dating relationship menjadi dapat menjadi pilihan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan peneliti tahun 2020 terkait pandangan perempuan terhadap pacaran serta pengalaman abusive dating dalam hubungan. Dari 116 perempuan 19-30 tahun yang mengisi survei, sebanyak 41.4 persen perempuan pernah mengalami abusive dating relationship. Hasil survei yang diperoleh tercatat 11.1 persen perempuan yang mendapat abuse oleh pasangannya memilih segera meninggalkan hubungan, 42.6 persen perempuan memilih untuk bertahan walau akhirnya meninggalkan hubungan, dan sebanyak 24.1 persen memilih bertahan dengan pasangannya hingga saat ini.
Keputusan perempuan bertahan dalam abusive dating didorong oleh beberapa faktor. Berdasarkan hasil studi pendahuluan, pertimbangan perempuan bertahan dalam abusive dating relationship adalah penilaian bahwa pasangan sebenarnya adalah orang yang baik, serta tidak ingin menambah beban pasangan jika memutuskan hubungan. Adanya perempuan yang bertahan dalam abusive dating relationship serta adanya faktor-faktor yang melatarbelakanginya, menjadi dasar pemikiran yang menyebabkan peneliti menggali lebih dalam mengenai faktor yang melatarbelakangi keputusan untuk bertahan dalam abusive dating relationship. Hasil penelitian terkait faktor yang melatarbelakangi keputusan perempuan untuk bertahan dalam abusive dating relationship, dapat menjadi kajian acuan untuk lembaga-lembaga pemberdayaan perempuan di Indonesia dalam mengedukasi, mendeteksi, serta melakukan preventif terhadap kasus abusive dating relationship.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi keputusan perempuan untuk bertahan dalam abusive dating relationship.
Responden
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling dengan kriteria berupa, perempuan berusia 19-30 tahun berpacaran minimal satu tahun, mengalami abusive dating relationship, dan memilih bertahan dalam abusive dating relationship yang dijalani. Proses pencarian responden dilakukan dengan metode survei dan
penyebaran pamflet secara online. Survei dilakukan untuk memberi gambaran awal pada peneliti terkait pacaran, insiden terjadinya abusive dating, serta kesediaan berpartisipasi dalam penelitian. Berdasarkan hasil survei, terdapat dua partisipan survei yang memenuhi kriteria dan bersedia menjadi responden penelitian. Penyebaran pamflet pencarian responden penelitian dilakukan melalui media sosial dengan penjabaran kriteria yang diperlukan serta kerahasiaan data yang terjaga. Berdasarkan hasil penyebaran pamflet, satu partisipan mengajukan diri menjadi responden penelitian.
Ketiga responden berusia 21-23 tahun berinisial LI, TA, dan UL yang masing-masing telah menjalin hubungan pacaran selama 6 tahun, 2 tahun 10 bulan, serta 4 tahun 1 bulan. Dua responden penelitian merupakan orang yang baru pertama kali peneliti kenal, sedangkan satu responden merupakan adik tingkat di program studi yang sama dengan peneliti.
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara tatap muka dan wawancara secara online di dukung oleh pembuatan catatan lapangan dalam setiap wawancara, serta studi pustaka. Wawancara secara online dilakukan dengan aplikasi panggilan suara. Pengumpulan data dengan wawancara semi terstruktur menggunakan instrumen berupa pedoman umum wawancara yang telah dikembangkan oleh peneliti mengacu pada teori faktor-faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan oleh Dietrich (2010)dan Munandar (2014). Catatan lapangan adalah catatan peneliti mengenai proses wawancara dan suasana ketika wawancara berlangsung. Studi pustaka berupa pengumpulan informasi seperti jurnal dan buku terkait abusive dating relationship.
Kredibilitas data penelitian menggunakan metode perpanjangan wawancara, triangulasi data, dan member check. Perpanjangan wawancara dilakukan terkait kepastian dan konsistensi data dari wawancara awal. Triangulasi data peneliti lakukan dengan melakukan wawancara pada significant other responden yang mengetahui hubungan serta abuse yang dialami responden. Member check adalah proses pemeriksaan kembali data yang diperoleh peneliti dengan responden dengan tujuan menyesuaikan informasi diberikan responden.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan theoretical coding oleh Strauss dan Corbin (2003). Tahap analisis dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah open coding, dilanjutkan dengan axial coding, kemudian tahap ketiga adalah selective coding.
HASIL PENELITIAN
Fokus utama penelitian adalah faktor-faktor yang melatarbelakngi keputusan perempuan untuk bertahan dalam abusive dating relationship. Berdasarkan hasil analisis data terdapat lima faktor yang melatarbelakangi keputusan perempuan untuk bertahan dalam abusive dating relationship. Faktor-faktor tersebut adalah komitmen hubungan, bias kognitif, dukungan sosial, kepuasan pada hubungan serta positive reinforcement yang dialami selama hubungan.
Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Keputusan Bertahan LI
Responden pertama berinisial LI, berusia 23 tahun dan telah menjalin hubungan selama 6 tahun dengan pasangannya. LI mengalami abuse berupa abuse secara fisik, verbal, psikis, dan sosial oleh pasangan pada tahun kedua hingga keempat pacaran. Berdasarkan hasil analisis data keputusan bertahan LI dilatarbelakangi oleh komitmen, bias kognitif, serta dukungan sosial yang dimiliki
Komitmen
Komitmen dalam hubungan yang dimiliki LI muncul dari adanya faktor investasi hubungan, penilaian pesimis jika menjalani hubungan baru, kelekatan pada sosok pasangan selama hubungan, serta kepuasan pada hubungan. Komitmen sebagai faktor yang melatarbelakangi keputusan untuk bertahan, LI menyatakan:
“yang bertahan itu, pertama dari dari kedekatannya aku sama orang tuanya itu, kan karna udah deketlah, karna-, dan lima tahun juga pacaran gitu. Ngapainlah udah diumur segini juga ngapain-, males banget untuk nyari cowok lagi, penyesuaian diri, aku itu kan di awal tak ceritain ya, tujuh bulan aja udah kayak masih belum tau sifat aslinya kayak gimana, apalagi lebih lagi. Dan pasti kayak bakalan aduh, males dah lagi untuk cari pacar lagi, mungkin udahlah mungkin ini yang terbaik” (wawancara pada 12 Februari 2020).
Berdasarkan pernyataan LI, komitmen yang muncul dari pertimbangan investasi hubungan LI disebabkan oleh penilaian mengenai hubungan yang telah lama terjalin, usia yang sudah tidak muda dan harus mulai berhubungan serius, serta hubungan yang sudah berlangsung selama lima tahun. Komitmen LI juga muncul dari adanya penilaian pesimis mengenai hubungan alternatif lain, yang menurut LI hubungan baru hanya membuat LI merasa malas dan terbebani untuk menyesuaikan diri kembali. Kepuasan yang LI rasakan pada hubungan merupakan hal yang menjadi pertimbangan untuk bertahan. Kepuasan LI muncul dari penilaian positif mengenai sifat pasangan yang sesuai dengan kriteria pasangan LI serta kecocokan dalam hal hobi yang LI rasakan pada pasangan selama hubungan. Ketergantungan pada pasangan juga menjadi hal yang menyebabkan komitmen hubungan. Ketergantungan pada pasangan dimunculkan dari peran pasangan yang selalu mengarahkan, menasihati, memberi masukan dan saran, menuntun, serta membantu seluruh tugas LI. Penilaian mengenai pasangan yang memiliki peran dalam mengarahkan, memberi saran, di dukung oleh pernyataan LI pada wawancara: “Misalnya untuk tujuanku kemana, dia selalu ngingetin kayak gitu. jadi kayak udah, kayak penuntun gitu. mungkin karna dia tu sering ngasi saran ke aku.” (wawancara pada 7 Juli 2020)
“kalo misalkan nggak sama dia, eee eem jadi nggak nggak teratur. Karna yang selama ini selalu mengingatkan ini tu selalu dia kayak gitu. Termasuk yang di organisasinya aku. Oh iya ya ternyata aku harus fokus sama tujuannya, itu sih” (wawancara 7 Juli 2020)
Berdasarkan pernyataan LI, putus dengan pasangan menyebabkan LI kehilangan sosok yang mengingatkannya untuk fokus pada tujuan termasuk dalam hal organisasi.
Bias Kognitif
Bias kognitif yang LI munculkan terdiri dari empati LI pada pasangan ketika melakukan abuse seperti memahami bahwa tindakan pasangan disebabkan latar belakang keluarga pasangan yang tegas, tindakan pasangan adalah hal yang wajar karena pasangan belum dapat memetakan emosinya. Bias kognitif LI seperti rasa optimis LI pada pasangan muncul dari kepercayaan LI pada Tuhan dan pasangannya, yang LI nyatakan dengan:
“mungkin Tuhan ini tunjukkan buat aku biar bisa mengarahkan dia kayak gitu. Kayak gitu sih. Jadi maknaku tu lebih kesana aja” (wawancara pada 12 Februari 2020)
Keputusan LI untuk memaknai abuse yang dialami dengan kepercayaan pada Tuhan yang telah menunjukkan jalan baginya untuk dapat membantu mengarahkan pasangan, sehingga perlahan dapat mengubah pasangan. Bias kognitif LI juga muncul dari kecenderungan mempercayai afirmasi yang sejalan dengan kepercayaannya. Hal ini terlihat dalam kutipan wawancara LI:
“jadi aku tu memilih dengerin yang temen aku yang menerima pasangannya kayak gitu. Gitu, soalnya kan dia juga memberikan alasan yang rasional juga ke aku” (wawancara
Berdasarkan kutipan tersebut, LI memilih untuk menerima pendapat teman yang mendukung bahwa pasangan adalah orang yang baik, seperti yang LI juga percayai. Adanya kecenderungan LI yang lebih mempercayai afirmasi teman LI untuk tetap bertahan dalam hubungan dibandingkan dengan teman yang menolak juga menjadi bias kognitif yang muncul pada LI. Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang LI miliki terutama ketika menghadapi masalah dengan pasangannya juga menjadi faktor yang melatarbelakangi keputusan LI untuk bertahan dalam abusive dating relationship. Adanya sumber dukungan sosial seperti ibu dan lingkungan pertemanan membantu LI dalam menceritakan masalah yang dialami sekaligus meminta pendapat ataupun saran mengenai permasalahannya. Adanya lingkungan pertemanannya LI nyatakan dalam wawancara:
“Kayak dikirimin dah jadinya sama temen-temenku tu kayak nggak usah sedih, trauma tu-, kamu tu lagi ngebangun resilience mu biar kuat kayak gitu.” (wawancara pada 21 Maret 2020)
Dukungan sosial dari lingkungan pertemanan LI manfaatkan sebagai media untuk memperoleh dukungan emosional, menceritakan perasaan terkait tindakan abuse pasangan, meminta sudut pandang atau saran untuk menghadapi pasangan, serta membantu LI melupakan sejenak permasalah LI dengan pasangannya. Adanya dukungan teman sebagai sumber dukungan bagi LI, juga dinyatakan oleh significant other LI yang menyatakan:
“dia punya lah kelompok kelompok tertentu banyak support sosialnya dia tu menurut saya gak sampe sih kayaknya karna itu yang dipake mengalihkan sama
dia, jadi kadang kalo dia ini sama pacarnya yaudah sa-lari ke temennya kayak gitu”(wawancara bersama significant other LI pada 11 Juni 2020)
Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Keputusan Bertahan TA
Responden kedua berinisial TA berusia 22 tahun. TA dan pasangan telah menjalin hubungan pacaran selama 2 tahun 10 bulan, dan mengalami abuse secara fisik, verbal, psikis, dan sosial pada enam bulan hingga satu tahun awal pacaran. berdasarkan hasil analisis data, terdapat empat faktor yang melatarbelakangi keputusan TA bertahan yaitu kepuasan pada hubungan, komitmen, bias kognitif, dan dukungan sosial.
Kepuasan pada Hubungan
Kepuasan pada hubungan TA muncul dari adanya pemenuhan kebutuhan atau fulfillment of need dari pasangan, yang TA nyatakan dengan:
“aku ngerasa kalo dia tu ee gimana bilangnya ya, dia tu ngasi kayak dia lebih sayang sama aku daripada dirinya sendiri. Kayak dia ngeluangin waktunya walaupun dia sibuk banget, dia sempet sempetin kayak, aku sih tipe orang yang suka kayak diperjuangin gitulo” (wawancara pada 25 Februari 2020)
Fulfillment of need dinilai TA dari pasangan yang memenuhi kebutuhan untuk diperjuangkan, disayangi, diperhatikan, diberikan kenyamanan, serta kesediaan untuk melakukan pernikahan nyentana. Menurut TA pasangan yang bersedia melakukan pernikahan nyentana merupakan kriteria TA dalam menjalin hubungan pacaran.
Kepuasan pada hubungan disebabkan oleh adanya penilaian positif TA bahwa pasangannya selama hubungan, yang TA nyatakan dalam wawancara:
“bersyukur aja sama yang sekarang, maksudnya kalo sekarang udah baik nggak perlu lagi mikirin di luar ada yang lebih mikirin lagi. Kan belum tentu yang lebih baik tu bisa ngejalanin sama kita” (wawancara pada 26 Juni 2020)
Kepuasan TA didasari oleh penilaian hubungan saat ini bersama pasangan yang dinilai baik, sehingga TA lebih baik tidak memikirkan kemungkinan menjalin hubungan pacaran dengan orang lain. Kepuasan pada hubungan dengan pasangan juga dimunculkan TA berdasarkan penilaian TA pada keberhasilan pasangan mengubah perilaku abuse yang dilakukan pada masa awal pacaran. Hal ini didukung oleh pernyataan TA dalam wawancaranya mengenai perubahan pasangan yang sudah jarang melakukan tindakan abuse dalam hubungan mereka:
“ooh sekarang nggak sih. Mungkin setaun pertama sih. Tapi kalo makin kesini udah jarang banget, lebih ke ngomong baik-baik.”(wawancara 26 Juni 2020)
Komitmen
Komitmen TA disebabkan oleh adanya penilaian investasi selama hubungan seperti usia, kebersamaan dalam hubungan, serta rencana masa depan. .Penilaian mengenai usia TA yang sudah tidak tepat untuk bermain-main dalam hubungan serta adanya rencana melanjutkan hubungan ke pernikahan, menjadi pertimbangan TA untuk memilih bertahan dengan hubungan
pacaran, pertimbangan ini dinyatakan TA dalam wawancaranya:
“adaa (pernikahan), kan soalnya udah umur segini-, maksudnya kalo udah segini, umur segini kalo main-main itu gimana men gitu” (wawancara 17 Juli 2020) “emmm, pertama capek (P: capek, he eh) buat kenalan lagi, trus ngeliatin kejelekanku lagi, terus aku harus buat dia nerima aku lagi, soalnya aku tu susah buat di terima soalnya,” (wawancara 26 Juni 2020)
Komitmen hubungan TA juga muncul dengan adanya penilaian negatif pada hubungan alternatif. Penilaian negatif TA pada membentuk hubungan baru disebabkan oleh rasa malas dan lelah TA untuk menyesuaikan diri dengan pasangan baru. Menurut penilaian TA, membentuk hubungan baru mengharuskan TA untuk kembali berkenalan hingga mendapat penerimaan dari pasangan baru.
Bias Kognitif
Bias kognitif TA disebabkan oleh adanya pemikiran dan rasa optimis yang TA miliki pada pasangan yang melakukan tindak abuse pada pasangan. Pemikiran dan rasa optimis dimunculkan TA untuk menyikapi perilaku abuse pasangan, walaupun pasangan melakukan mengulangi tindakan abuse pada TA.
“Soalnya dia apa namanya ngebujuknya tu, gimana, aduh, ngebujuknya tu bikin percaya gitu loh” (wawancara pada 26 Juni 2020)
“Aku bisa kayaknya ngerubah orang ini tetep kayak gitu kayak aku tu bisa ngerubah orang ini aku gak, jadi orang lebih baik tu lo. aku tau kan gimana dulu dia sama mantannya tu, dan ih nggak kok, bisa kok (mengubah pasangan), (pasangan) nggak sejelek itu” (wawancara pada 26 Juni 2020)
Optimisme yang dimiliki TA muncul dari penilaian TA ketika melihat tindakan pasangan meminta maaf setelah melakukan abuse. Permintaan pasangan menyebabkan TA merasa terbujuk dan percaya bahwa pasangan bisa berubah sehingga memilih untuk kembali percaya pada pasangan. Rasa percaya pada pasangan yang melakukan abuse berulang juga disebabkan penilaian TA bahwa pasangan bukan orang yang jahat. TA menilai bahwa pasangan melakukan abuse karena terbiasa dengan abuse ketika berhubungan dengan mantan pacarnya, sehingga TA harus dapat mengubah pasangan lebih baik.
Dukungan Sosial
Lingkungan pertemanan yang TA miliki merupakan sumber dukungan sosial yang TA miliki. Dukungan sosial dari lingkungan pertemanan menjadi media TA untuk bercerita mengenai kesedihan akibat masalah dengan pasangan, mendapatkan dukungan emosional dan saran mengenai tindakan yang harus TA lakukan dalam menghadapi perilaku abuse pasangan, serta dukungan berupa media untuk dapat melupakan rasa sedih dengan menghabiskan waktu bersama dengan teman-temannya. Pernyataan ini didukung oleh hasil wawancara significant other mengenai TA dan lingkungan pertemanannya:
“ngasi saran preventif gitu biar gak digituin lagi, iya walaupun-, gausah dah dilawan dulu gitu, biarin dah biarin tenang tenang aja dulu baru omongin gitu jangan sampe kayak gitu lagi gitu.”(wawancara bersama significant other TA pada 13 Juli 2020)
Berdasarkan wawancara dengan significant other, lingkungan pertemanan TA cenderung membantu TA untuk menenangkan diri dan memberi saran agar tidak terjadi pertengkaran yang mengarah ke abusive dating.
Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Keputusan Bertahan UL
Responden ketiga berinisial UL yang berusia 21 tahun dan telah menjalin hubungan pacaran selama 4 tahun 1 bulan. UL mengalami abusive dating pada tahun kedua dan ketiga pacaran yang berupa abuse secara fisik, verbal, psikis, dan sosial. Hasil analisis data memunculkan bahwa keputusan UL bertahan dilatarbelakangi oleh dua faktor yaitu komitmen dan positive reinforcement.
Komitmen
Munculnya komitmen hubungan UL disebabkan oleh adanya proses penilaian mengenai investasi hubungan seperti usia, keseriusan dan lama hubungan, serta usaha bersama yang dimiliki. Secara spesifik, UL menjelaskan dalam wawancara:
“terus ee jadi maunya (bertahan) itu gara-gara dia terus, terus, kayak ada usaha. Kayak terus-terusan, akhirnya lama-lama dan gara-gara orangtua juga. Dan aku mikir kayak yaa udah se umur gini, masak iya mau cari pacar baru lagi, males. Itu jadinya, jugaan orangtua udah sama-sama kenal gitu”(wawancara pada 14 Juni 2020)
“harapannya sih waktu itu biar bisa sama-sama tidak berantem-rantem kayak gitu lagi, terus yaa biar lancar gitulah kak, soalnya kayak udah punya usaha bareng, udah. Terus kayak apa namanya nyambung diajak ngobrol juga udah, udah cocok juga udah, orangtua juga udah. Biar berlanjutlah gitu terus.” (wawancara pada 14 Juni 2020)
Komitmen UL disebabkan oleh penilaian mengenai usia UL yang dianggap sudah dewasa, sehingga UL merasa malas untuk mencari pasangan baru dan berusaha untuk mengenal pasangan dari awal. Komitmen UL semakin diperkuat dengan adanya kedekatan dan persetujuan keluarga masing-masing pada hubungan UL dan pasangan. Menurut UL, selain keluarga yang sudah menyetujui, adanya bisnis online yang dijalankan bersama menjadi salah satu hal yang mengikat UL dengan pasangannya untuk terus bertahan dan melanjutkan hubungan. Penilaian bahwa baik UL dan pasangan memiliki kecocokan dari segi hobi dan sifat juga menjadi hal yang mendasari komitmen hubungan menjadi faktor yang melatarbelakangi keputusan bertahan UL dalam hubungannya.
Positive Reinforcement
Positive reinforcement atau penguatan positif yang UL dapat ketika memutuskan untuk bertahan dalam hubungan, muncul dari adanya intervensi keluarga UL dan pasangan agar UL dan pasangan berbaikan dan memilih tetap bersama. Intervensi keluarga ini dilakukan oleh kedua belah pihak. Hal ini, dijelaskan oleh UL dalam wawancara:
“Padahal aku, padahal waktu itu belum balikan gitu. karna kakakku yang nyuruh, kayak di deket-deketin apa sih namanya, kayak di “udahalah, balik ajalah, ngapain sih break break kayak gitu, kayak anak kecil aja berantem” kayak gitu lo kak.” (wawancara pada 14 Juni 2020)
“karna keluarga juga, kayak di desak gitulah, kayak “udah baikan aja baikan”(wawancara pada 14 Juni 2020)
Menurut UL, keluarga kedua belah pihak berusahamendekatkan keduanya dengan mengundang pasangan ke acara keluarga UL ataupun mengundang UL ketika keluarga pasangan mengadakan acara keluarga. Desakan dari keluarga untuk bisa berbaikan dengan pasangan, menjadi hal yang UL pertimbangkan ketika memutusan bertahan dalam hubungan. Selain intervensi yang dilakukan keluarga, positive reinforcement juga muncul dari perilaku persuasif pasangan setelah melakukan tindakan abuse. Terdapat beberapa tindakan persuasif yang dilakukan oleh pasangan, UL menyatakan:
“Kalo dulu tu dia kerumah, yaa seperti cowok-cowok gitulah kak, bawa bunga gitulah kak, kayak minta maaf gitu bawa bunga, ngajak jalan-jalan, minta maaf, blablabla. Akhirnya aku mau deh diajak balikan,”(wawancara pada 14 Juni 2020)
Pasangan berusahauntuk mengembalikan kepercayaan UL dengan datang ke rumah UL, meminta maaf melalui telepon dan chat, membawakan barang kesukaan UL yang berupa bunga serta makanan, membawa UL pergi jalan-jalan. Tindakan persuasif pasangan ini berhasil membuat UL memaafkan pasangan dan percaya bahwa pasangan tidak akan melakukan abuse kembali. Pasangan dan UL juga pernah melakukan perjanjian untuk tidak menggunakan abuse fisik lagi, walaupun menurut UL abuse tetap dilakukan setelah pasangan berjanji.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Komitmen
Komitmen hubungan merupakan merupakan seluruh kekuatan positif maupun negatif yang memengaruhi keputusan individu memilih untuk bertahan dalam suatu hubungan (Taylor dkk, 2009). Komitmen hubungan diperoleh dari adanya penilaian mengenai kepuasan pada hubungan, ketersediaan alternatif hubungan, serta investasi selama hubungan (Rusbult & Buunk, 1993). Menurut penelitian (Edwards dkk, 2014) keputusan bertahan atau meninggalkan abusive dating dapat diprediksi melalui komitmen individu yang mana komitmen individu ini berhubungan dengan tingginya kepuasan dalam hubungan dan investasi hubungan, serta rendahnya kualitas alternatif yang tersedia. Adanya komitmen dalam hubungan, muncul pada ketiga responden penelitian. Ketiga responden menunjukkan adanya pertimbangan mengenai kepuasan hubungan, penilaian hubungan alternatif, serta investasi yang telah dilakukan dalam hubungan sebagai faktor yang melatarbelakangi keputusan bertahan dalam abusive dating relationship.
Kepuasan pada hubungan disebabkan oleh adanya penilaian bahwa hubungan dan pasangan memberikan outcome dengan memenuhi kebutuhan (Rusbult & Buunk, 1993). Kepuasan pada hubungan muncul dari adanya pertimbangan keuntungan dan kerugian yang dialami selama menjalin hubungan. Kepuasan pada hubungan juga muncul pada ketiga responden yang menilai kecocokan antara responden dengan pasangannya. Penilaian kecocokan dan sikap positif dalam hubungan ini di dukung oleh penelitian Mattson dkk (2012) yang menemukan
bahwa sikap positif pada hubungan pacaran memiliki hubungan dengan tingkat kepuasan pada hubungan yang dijalani. Munculnya perasaan positif berupa rasa sayang pada pasangan oleh responden LI dan UL didukung oleh penelitian Sudarmiati dan Irawadhi (2016) yang menemukan bahwa rasa sayang pada pasangan menjadi faktor terbesar dalam keputusan bertahan pada kekerasan dalam pacaran.
Komitmen hubungan juga diperoleh dari ketersediaan alternatif hubungan. Ketersediaan alternatif hubungan muncul dari kekuatan yang menarik individu untuk tetap berada dalam hubungan, atau tingkat kepercayaan individu bahwa hubungan lain atau alternatif dapat memenuhi kebutuhan yang individu miliki (Rusbult & Buunk, 1993). Ketiga responden menilai bahwa menjalin hubungan baru dengan orang lain merupakan hal yang memberatkan karena harus mengulang proses perkenalan, memahami pasangan, serta beradaptasi dengan pasangan baru. Responden LI, TA, dan UL juga memunculkan penilaian bahwa hubungan alternatif belum tentu lebih baik jika dibandingkan dengan hubungan dengan pasangan saat ini. Pertimbangan mengenai kemungkinan yang dirasa ketika individu putus memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen hubungan individu (Rhoades dkk, 2010).
Munculnya komitmen diperoleh juga oleh adanya investasi dalam hubungan. Investasi dalam hubungan meliputi waktu, energi, uang, keterlibatan emosional, serta pengorbanan untuk pasangan (Taylor dkk, 2009). Penilaian tingginya investasi yang dilakukan selama hubungan muncul pada ketiga responden. Responden LI dan UL memutuskan bertahan karena pertimbangan lama pacaran yang telah dijalani selama enam tahun dan empat tahun. Menurut Miller dkk (2012) lama hubungan pacaran memungkinkan individu tetap berada dalam abusive dating relationship. Selain pertimbangan lama pacaran, adanya penilaian mengenai usia saat ini juga menjadi pertimbangan ketiga responden untuk bertahan dalam hubungan yang dijalani. Menurut LI, TA, dan UL usia ketiganya saat ini, mengharuskan responden untuk lebih serius menjalani hubungan pacaran serta memikirkan hubungan serius.
Keseriusan hubungan berupa rencana melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan memiliki hubungan signifikan dengan komitmen individu pada hubungannya (Rhoades dkk, 2010). Hal ini juga muncul pada ketiga responden yang masing-masing telah memiliki rencana keseriusan hubungan dengan melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan. Tindakan keseriusan pasangan LI seperti pembicaraan dengan ayah responden LI, perencanaan pernikahan TA dan pasangan, serta menyiapkan tabungan bersama untuk pernikahan oleh UL dan pasangan. Menurut Ogolskydan Surra (2014) rencana jangka panjang yang dimiliki individu saat menjalin hubungan menjadi prediktor kuat dalam keberlanjutan suatu hubungan.
Bias Kognitif
Bias kognitif menurut Tversky dan Kahneman (1983) merupakan pengambilan keputusan tidak masuk akan yang muncul akibat kurang maksimalnya usaha (effort) yang dilakukan, sehingga menyebabkan kekeliruan dalam keputusan. Menurut West dkk (2008) bias kognitif
didefinisikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada observasi serta generalisasi yang dapat mengarahkan individu pada kesalahan memori, ketidakakuratan penilaian, serta logika yang salah. Bias kognitif terbagi menjadi empat bentuk, salah satunya adalah munculnya optimisme atau kepercayaan serta harapan positif yang berlebihan pada hasil yang diinginkan dalam pengambilan keputusannya (Shefrin, 2007). Bias kognitif berupa optimisme berlebihan muncul pada dua responden yaitu LI dan TA ketika mengalami abusive dating relationship.
Bias kognitif yang muncul pada LI dan TA seperti adanya kepercayaan yang besar bahwa pasangan tidak akan mengulangi tindakan abuse pada responden. Pada responden LI, kepercayaan besar pasangan dapat perlahan berubah disebabkan oleh pemikiran LI yang merasa meskipun pasangan melakukan abuse berulang, tindakan abuse pasangan tidak selalu muncul ketika pertengkaran terjadi. LI juga percaya bahwa tindakan abuse pasangan merupakan hal yang wajar karena latar belakang keluarga pasangan yang terlalu mengekang sehingga pasangan belum bisa mengontrol emosi dan melampiaskannya pada LI. Kecenderungan pelaku abuse menggunakan abuse sebagai strategi penyelesaian masalah dapat disebabkan oleh pengalaman abuse dalam keluarga (Dodge dkk, 1994). Penilaian bahwa tindakan abuse pasangan harus dihadapi dengan menumbuhkan empati dan memaafkan pasangan juga muncul pada LI sebagai proses LI memahami dan memaklumi tindakan pasangan serta melanjutkan hubungan. Empati berhubungan positif dengan sikap memaafkan perempuan yang berada dalam hubungan kekerasan (Untari, 2014).
Bias kognitif juga dimunculkan oleh responden TA, yang mana dengan tindakan abuse yang berulang, TA masih memiliki kepercayaan besar bahwa pasangan tidak akan mengulangi abuse dan mampu berubah, ketika melihat pasangan yang selalu meminta maaf dengan tulus dan selalu berjanji. Bias kognitif TA juga muncul dari rasa optimisme TA bahwa tindakan abuse pasangan muncul karena pengalaman pacaran masa lalu pasangan yang terbawa hingga saat ini. Penelitian Sekarlina dan Margaretha (2013) menemukan bahwa kepercayaan alasan tindakan abuse pasangan adalah faktor diluar diri pasangan menjadi salah satu distorsi kognitif pada perempuan yang berada dalam abusive dating.
Bias kognitif yang memengaruhi pengambilan keputusan individu dapat juga berupa confirmation bias. Confirmation bias merupakan kecenderungan individu untuk mencari dan menggunakan informasi yang dapat mendukung gagasan milik individu, dibandingkan informasi yang bertentangan dengan gagasan tersebut (King, 2014). Bias kognitif berupa confirmation bias muncul pada responden LI ketika memutuskan untuk bertahan dalam abusive dating relationship dengan memilih untuk mendengarkan dan mengikuti saran teman-teman yang mendukung dan memperkuat keinginan LI untuk bertahan dengan pasangan. Dukungan yang menguatkan keputusan bertahan LI muncul dari afirmasi atau peneguhan sahabat LI yang berpendapat bahwa pasangan LI merupakan orang yang baik serta tindakan abuse pasangan tidak benar-benar merugikan pihak LI, sehingga lebih baik jika LI berusaha
untuk menyelesaikan masalah secara baik-baik melalui komunikasi antar keduanya. Confirmation bias LI juga diperkuat dengan kecenderungan LI mengikuti pendapat temannya yang sejalan dengan keinginan bertahan LI, dibandingkan dengan pendapat teman yang menyarankan untuk LI meninggalkan hubungannya.
Dukungan Sosial
Menurut Lakey dan Cohen (2000) dukungan sosial dapat didefinisikan sebagai dukungan yang berasal dari hubungan dan interaksi sosial yang membantu individu untuk mengurangi dampak dari situasi yang menimbulkan stres pada individu. Dukungan sosial dapat meningkatkan well-being individu karena dukungan sosial berhubungan dengan penyediaan emosi positif, rasa stabil dalam hidup, dan kesadaran akan self-worth sehingga dapat membantu menghindari pengalaman negatif dan menurunkan risiko munculnya penyakit mental dan fisik (Cohen & Wills, 1985).
Cohen dan Wills (1985) menyatakan terdapat empat jenis dukungan sosial seperti dukungan self-esteem atau dukungan emosional, dukungan informasional, dukungan social companionship, serta dukungan instrumental. Dukungan emosional berupa dukungan informasi bahwa individu dihargai dan diterima meskipun sedang mengalami situasi sulit. Dukungan emosional merupakan jenis dukungan sosial yang umumnya tersedia sebagai respon positif lingkungan atas pengalaman abusive dating relationship yang dialami individu (Sylaska & Edwards, 2014). Dukungan sosial berjenis dukungan emosional, juga muncul pada dua responden yaitu LI dan TA. Ketersediaan dukungan sosial secara emosional didapatkan LI dan TA dari lingkungan pertemanan. Dukungan emosional yang didapatkan dari pertemanan ini seperti dukungan untuk menenangkan, menceritakan keluh kesah sehingga LI dan TA memiliki media untuk menyampaikan kesedihan dan memperoleh dukungan secara emosional. Dukungan emosional memiliki hubungan negatif pada tingkat depresi pada perempuan yang mengalami abuse oleh pasangan (Theran dkk, 2006)
Jenis dukungan kedua adalah dukungan informasi yaitu bantuan untuk memahami dan beradaptasi dengan masalah berupa saran maupun cognitive guidance (Cohen & Wills, 1985). Lingkungan sosial dapat menyediakan dukungan yang membantu berupa pemberian saran, rasionalisasi perilaku pasangan, serta pandangan netral (Edwards dkk, 2012). Dukungan informasi dari lingkungan pertemanan juga muncul pada LI dan TA. Dukungan informasi ini berupa penyediaan pendapat dan saran dalam menghadapi pasangan ketika konflik terjadi, sehingga meminimalisir kemungkinan munculnya tindakan abuse pasangan. Jenis dukungan ketiga menurut Cohen dan Wills (1985) adalah social companionship berupa dukungan menghabiskan waktu bersama dengan situasi yang lebih tenang dan menyenangkan sehingga menurunkan kecemasan individu terhadap masalah yang dihadapi. Lingkungan yang menunjukkan reaksi positif pada pengalaman abuse menyebabkan kecenderungan individu untuk bergantung pada lingkungan pertemanannya ketika menghadapi abusive dating relationship (Sullivan dkk, 2010). Dukungan social companionship dari teman muncul pada responden LI dan TA.
Ketika menghadapi tindakan abuse pasangan, teman-teman LI dan TA akan mengajak keduanya untuk menenangkan dan melupakan sementara masalah dengan melakukan aktivitas menyenangkan.
Peran penting adanya dukungan sosial pada perempuan yang berada dalam abusive dating relationship sebagai bentuk media perempuan untuk mengurangi efek negatif dari pengalaman negatif, bantuan dalam hal saran dan pandangan terhadap masalah, di dukung oleh penelitian Rismelina (2020) yang menemukan bahwa dukungan sosial berpengaruh pada resiliensi korban kekerasan dalam rumah tangga. Memiliki lingkungan sosial yang memberikan dukungan dalam menghadapi situasi berat, menyebabkan individu dapat melakukan adaptasi bahkan menjadi resilien dalam menghadapi situasi berat. Hal ini di dukung oleh pernyataan Machisa dkk (2018) yang menyatakan perempuan korban kekerasan pasangan yang merasa memiliki komunitas yang suportif cenderung menjadi individu yang resilien.
Kepuasan pada Hubungan
Menurut teori interdependensi individu akan merasa puas apabila hubungan yang dijalani sesuai dengan harapan dan kebutuhan yang dimiliki (Taylor dkk, 2009). Menurut Rodriguez dkk (2015) pemenuhan kebutuhan memiliki korelasi tinggi dengan kualitas hubungan individu. Kepuasan pada hubungan yang disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan muncul pada responden TA. Pemenuhan kebutuhan TA oleh pasangan berupa kebutuhan emosional seperti rasa diperhatikan, kenyamanan, disayang dan diterima, serta kesediaan pasangan untuk melakukan pernikahan nyentana yang merupakan faktor hal penting ketika TA mencari pasangan. Pemenuhan kebutuhan emosional oleh pasangan ketika menjalin hubungan sebagai pertimbangan TA memutuskan bertahan di dukung oleh penelitian (Sari, 2018) bahwa kebutuhan afeksi oleh pasangan menjadi salah satu alasan perempuan bertahan pada hubungan pacaran dengan kekerasan.
Penelitian Sholikhah dan Masykur (2020) mengenai penilaian bahwa pasangan merupakan pemenuh kebutuhan menjadi alasan bertahan dalam hubungan pacaran penuh kekerasan, juga mendukung hasil temuan penelitian mengenai pertimbangan bertahan TA dilatarbelakangi oleh adanya penilaian pasangan yang memenuhi kebutuhan TA dalam menjalin hubungan. Penilaian pemuasan kebutuhan memiliki peran dalam berjalannya hubungan, hal ini di dukung oleh penelitian Sagkal dan Ozdemir (2019) yang menemukan bahwa kepuasan kebutuhan dalam hubungan berhubungan dengan kualitas hubungan. Kepuasan pada hubungan TA lainnya disebabkan oleh adanya perubahan perilaku abuse pasangan. TA merasa bahwa pasangan sudah berubah dan tidak lagi melakukan tindakan abuse pada TA. Perubahan ini TA lihat dari pasangan yang sudah tidak memunculkan perilaku abuse lagi.
Positive Reinforcement
Berdasarkan teori cycle of violence (L. E. A. Walker, 2009) terdapat tiga tahap violence yang terjadi. Tahap pertama adalah tahap tension-building, tahap terjadinya violence, serta yang ketiga tahap penyesalan dan kasih sayang. Tahap ketiga merupakan tahap pemberian penguatan positif atau
reinforcement positif kepada perempuan. Pada tahap ini, pasangan akan meminta maaf, menunjukkan kebaikan, memberikan hadiah, serta janji-janji, sehingga perempuan memiliki kepercayaan dan harapan bahwa pasangan akan berubah (L. E. A. Walker, 2009). Tiga tahapan dalam abuse yang umumnya dilalui individu di dukung oleh penelitian Wishesa dan Suprapti (2014) yang menemukan bahwa tiga responden penelitiannya melewati tahap tension-building, explosion, dan honeymoon. Tindakan pasangan UL meminta maaf dengan membawa hadiah dan berjanji tidak akan mengulangi menyebabkan UL percaya bahwa pasangan UL telah berubah dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Keputusan perempuan untuk bertahan dalam abusive dating, dapat disebabkan oleh permintaan maaf dan perlakuan manis pasangan, sehingga percaya bahwa tindakan abuse pasangan tidak akan kembali terjadi (Rakovec-Felser, 2014).
Menurut Skinner (dalam Feist dkk, 2017) terdapat dua efek reinforcement, yang terdiri dari memperkuat perilaku dan memberikan penghargaan atau reward pada individu. Menurut terminologi Skinner (dalam Walker, 1975) goals, rewards, dan incentives dapat merujuk pada positive reinforcement, yang artinya mencapai tujuan (goals) atau menerima reward merupakan positif reinforcement. Pada kasus UL, pasangan berusaha memperkuat perilaku bertahan dalam hubungan dengan datang ke rumah UL, memberikan UL bunga, mengajak UL jalan-jalan, meminta maaf, dan mengucapkan janji untuk tidak mengulangi tindakan abusenya pada UL. Hal ini di dukung oleh Griffing dkk (dalam Miller dkk, 2012) bahwa dari 60 perempuan yang pernah meninggalkan kemudian kembali lagi ke hubungan abusivenya, 90 persen melaporkan kembali paling tidak karena pasangan mengatakan penyesalan dan menunjukkan kebaikan setelah abuse dilakukan.
Positive reinforcement atau penguatan positif di definisikan sebagai frekuensi peningkatan suatu perilaku yang disebabkan oleh adanya rangsangan ganjaran (King, 2014). Penguatan positif ini dapat berupa makanan, seks, persetujuan sosial, serta kenyamanan fisik (Feist dkk, 2017). Menurut Bell dan Naugle (2005) prinsip positive reinforcement kemungkinan dapat menjelaskan alasan perempuan memilih untuk kembali dalam hubungan abusive. Positive reinforcement dapat berupa adanya dukungan dari teman maupun keluarga ketika perempuan memutuskan kembali dan berusaha memperbaiki hubungan (Bell & Naugle, 2005). Hal ini dapat menjelaskan reinforcement yang UL peroleh dari keluarga UL dan pasangan seperti menasihati untuk kembali bersama, mendekatkan UL dan pasangan dalam acara keluarga.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa ketiga responden memiliki faktor-faktor yang melatarbelakangi keputusan bertahan dalam abusive dating relationship yang dijalani seperti komitmen hubungan, bias kognitif, dukungan sosial, kepuasan serta positive reinforcement. Responden LI memunculkan komitmen, bias kognitif, dan dukungan sosial. Keputusan bertahan TA muncul dari kepuasan pada hubungan, komitmen, bias kognitif, serta dukungan sosial. Responden UL memutuskan bertahan dilatarbelakangi oleh komitmen dan positive reinforcement yang dialami.
Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti dapat memberi saran pada perempuan yang berada dalam abusive dating untuk memiliki pertimbangan yang lebih matang mengenai keputusan bertahan atau meninggalkan hubungan serta memiliki dukungan sosial disekitar. Saran juga disampaikan kepada keluarga dan teman untuk dapat menjadi penyedia dukungan tanpa menghakimi korban. Saran bagi lembaga sosial terkait agar dapat memberikan edukasi mendalam mengenai abusive dating dan menyediakan layanan konseling. Bagi peneliti selanjutnya, saran yang peneliti dapat sampaikan adalah pengembangan penelitian pada laki-laki korban abusive dating, serta berdasarkan bentuk abuse spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, W. N. (2018). Babak Belur Jadi Korban Kekerasan Pasangan, Model Dylan Sada Curhat di Instagram. Kompas.Com.
Bell, K. M., & Naugle, A. E. (2005). Understanding Stay/Leave Decisions in Violent Relationships: A Behavior Analytic Approach. Behavior and Social Issues, 14(1), 21–46. https://doi.org/10.5210/bsi.v14i1.119
Brown, B. B., Feiring, C., & Furman, W. (1999). Missing the Love Boat: Why Researcher Have Shied Away From Adolescent Romance. In W. Furman, B. B. Brown, & C. Feiring (Eds.), The Development of Romantic Relationships in Adolescence (pp. 1–16). Cambridge University Press.
https://doi.org/10.1017/CBO9781316182185.002
Callahan, M. R., Tolman, R. M., & Saunders, D. G. (2003).
Adolescent Dating Violence Victimization and Psychological Well-Being. Journal of Adolescent Research, 18(6), 664–681. https://doi.org/10.1177/0743558403254784
Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, Social Support, and the Buffering Hypothesis. Psychological Bulletin, 98(2), 310–357. https://doi.org/https://doi.org/10.1037/0033-2909.98.2.310
Dietrich, C. (2010). Decision Making: Factors that Influence Decision Making, Heuristics Used, and Decision Outcomes. Inquiries, 2(2), 1–3.
http://www.inquiriesjournal.com/a?id=180
Dodge, K. A., Pettit, G. S., & Bates, J. E. (1994). Effects of physical maltreatment on the development of peer relations. Development and Psychopathology, 6(1), 43–55. https://doi.org/10.1017/S0954579400005873
Doyle-portillo, S., & Pastorino, E. (2010). What is Psychology ? Essentials. Wadsworth.
Edwards, K. M., Gidycz, C. A., & Murphy, M. J. (2014). Leaving an Abusive Dating Relationship: A Prospective Analysis of the Investment Model and Theory of Planned Behavior. Journal of Interpersonal Violence, 30(16), 2908–2927.
https://doi.org/10.1177/0886260514554285
Edwards, K. M., Murphy, M. J., Tansill, E. C., Myrick, C., Probst, D. R., Corsa, R., & Gidycz, C. A. (2012). A qualitative analysis of college women’s leaving processes in abusive relationships. Journal of American College Health, 60(3), 204–210. https://doi.org/10.1080/07448481.2011.586387
Efendi, R. (2018). Akhir Tragis Gadis Medan Korban Pacar yang Terbakar Cemburu. Liputan6.Com.
Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T.-A. (2017). Teori Kepribadian (8th ed.). Salemba Humanika.
Furman, W., & Collibee, C. (2014). A matter of timing: Developmental theories of romantic involvement and psychosocial adjustment. Development and Psychopathology, 26(4), 1149–1160.
https://doi.org/10.1017/S0954579414000182
Gómez-López, M., Viejo, C., & Ortega-Ruiz, R. (2019). Psychological well-being during adolescence: Stability and association with romantic relationships. Frontiers in Psychology, 10(JULY).
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01772
Gressard, L. A., Swahn, M. H., & Tharp, A. T. (2015). A First Look at Gender Inequality as a Societal Risk Factor for Dating Violence. American Journal of Preventive Medicine, 49(3), 448–457. https://doi.org/10.1016/j.amepre.2015.05.017
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2018). Waspada Bahaya Kekerasan dalam Pacaran.
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1669/w aspada-bahaya-kekerasan-dalam-pacaran
King, L. A. (2014). Psikologi Umum Sebuah Pandangan Apresiatif (2nd ed.). Salemba Humanika.
La Bella, L. (2015). Dating Violence (1st ed.). Rosen Publisher.
Lakey, B., & Cohen, S. (2000). Social Support Theory and Measurement. In S. Cohen, L. G. Underwood, & B. H. Gottlieb (Eds.), Social Support Measurement and Interventions: A Guide For Health and Social Scientists (pp. 29–52). Oxford University Press.
https://doi.org/10.1093/med:psych/9780195126709.003.0010
Lily, H. M. (2012). Dating Violence (1st ed.). Rosen Publisher.
Machisa, M. T., Christofides, N., & Jewkes, R. (2018). Social support factors associated with psychological resilience among women survivors of intimate partner violence in Gauteng, South Africa. Global Health Action, 11(3), 1–9.
https://doi.org/https://doi.org/10.1080/16549716.2018.149111 4
Mattson, R. E., Rogge, R. D., Johnson, M. D., Davidson, E. K. B., & Fincham, F. D. (2012). The positive and negative semantic dimensions of relationship satisfaction. Journal of the International Association for Relationship Research, 20(2), 328–355. https://doi.org/10.1111/j.1475-6811.2012.01412.x
Miller, K. B., Lund, E., & Weatherly, J. (2012). Applying Operant Learning to the Stay-Leave Decision in Domestic Violence. Behavior and Social Issues, 21(1), 135–151.
https://doi.org/10.5210/bsi.v21i0.4015
Munandar, A. S. (2014). Psikologi Industri dan Organisasi. Universitas Indonesia.
Ogolsky, B. G., & Surra, C. A. (2014). A comparison of concurrent and retrospective trajectories of commitment to wed. Journal of the International Association for Relationship Research, 21(4), 620–639. https://doi.org/10.1111/pere.12054
Park, Y., Mulford, C., & Blachman-Demner, D. (2018). The acute and chronic impact of adolescent dating violence: A public health perspective. In D. A. Wolfe & J. R. Temple (Eds.), Adolescent Dating Violence: Theory, Research, and Prevention (pp. 53–83). Elsevier Inc.
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-811797-2.00003-7
Perempuan, K. (2020). Catatan Tahunan Komnas Perempuan.
https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2020/Catata n Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2020.pdf
Rakovec-Felser, Z. (2014). Domestic violence and abuse in intimate relationship from public health perspective. Health Psychology Research, 2(3), 62–67. https://doi.org/10.4081/hpr.2014.1821
Rauer, A. J., Pettit, G. S., Lansford, J. E., Bates, J. E., & Dodge, K. A. (2013). Romantic relationship patterns in young adulthood and their developmental antecedents. Developmental Psychology, 49(11), 2159–2171.
https://doi.org/10.1037/a0031845
Rhoades, G. K., Stanley, S. M., & Markman, H. J. (2010). Should I Stay or should I go? Predicting dating relationship stability from four aspects of commitment. Journal of Family Psychology, 24(5), 543–550. https://doi.org/10.1037/a0021008
Rismelina, D. (2020). Pengaruh strategi koping dan dukungan sosial terhadap resiliensi pada mahasisiwi korban kekerasan dalam rumah tangga. Psikoborneo, 8(2), 195–201.
Rodriguez, L. M., Hadden, B. W., & Knee, C. R. (2015). Not all ideals are equal: Intrinsic and extrinsic ideals in relationships. Journal of the International Association for Relationship Research, 22(1), 138–152. https://doi.org/10.1111/pere.12068
Rohmah, S., & Legowo, M. (2014). Motif Kekerasan Dalam Relasi Pacaran di kalangan Remaja Muslim. Paradigma, 2(1), 1–9.
Rowan, J., & Hallen, P. (2010). Dating - Philosophy for Everyone. In F. Allhoff, K. Miller, & M. Clark (Eds.), Dating - Philosophy for Everyone (Issue 2006, pp. 49–64). Blackwell Publishing. https://doi.org/10.1002/9781444324549
Rusbult, C. E., & Buunk, B. P. (1993). Commitment processes in close relationships: An interdependence analysis. Journal of Social and Personal Relationships, 10(2), 175–204.
https://doi.org/10.1177/026540759301000202
Safitri, W. A., & Sama’I, D. (2013). Dampak Kekerasan Dalam Berpacaran (The Impact Of Violence In Dating). Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa UNEJ, 1(1), 1–6. http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/57669
Santrock, J. W. (2010). Life-Span Development (13th ed., Vol. 4, Issue 1). McGraw-Hill.
Sari, I. P. (2018). dalam relasi pacaran. Perempuan korban cenderung menjadi makhluk irasional dengan mempertahankan relasi pacarannya dengan pertimbangan keuntungan berupa terhindar dari. Jurnal Dimensia, 7(1), 64–85.
https://doi.org/https://doi.org/10.21831/dimensia.v7i1.21055
Sari, R. P. (2019). Kesha Ratuliu Pernah Alami Kekerasan Fisik dan Verbal dari Mantan Kekasih. Kompas.Com.
https://www.kompas.com/hype/read/2020/01/09/151500066/ke sha-ratuliu-pernah-alami-kekerasan-fisik-dan-verbal-dari-mantan-kekasih?page=all#page2
Sekarlina, I., & Margaretha. (2013). Stockholm Syndrome pada Wanita Dewasa Awal yang Bertahan dalam Hubungan yang Penuh Kekerasan. Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental, 02(03), 1–6.
Shefrin, H. (2007). Behavioral corporate finance: decisions that create values. McGraw-Hill.
Sholikhah, R., & Masykur, A. M. (2020). “ATAS NAMA CINTA, KU RELA TERLUKA” (Studi Fenomenologi pada Perempuan Korban Kekerasan Dalam Pacaran). Empati, 8(4), 52–62.
Statistics Indonesia. (2017). SPHPN 2016: Prevalensi Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia. In Badan Pusat Statistik (BPS) (Issue 29/03).
Strauss, A., & Corbin, J. (2003). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Pustaka Belajar.
Sudarmiati, S., & Irawadhi, D. A. L. (2016). Pengalaman Dating Violence pada Remaja Putri. MUSWIL IPEMI Jateng, September 2016, 219–232. https://ppnijateng.org
Sullivan, T. P., Schroeder, J. A., Dudley, D. N., & Dixon, J. M. (2010). Do differing types of victimization and coping strategies influence the type of social reactions experienced by current victims of intimate partner violence? Violence Against Women, 16(6), 638–657.
https://doi.org/10.1177/1077801210370027
Sylaska, K. M., & Edwards, K. M. (2014). Disclosure of Intimate Partner Violence to Informal Social Support Network Members: A Review of the Literature. Trauma, Violence, and Abuse, 15(1), 3–21.
https://doi.org/10.1177/1524838013496335
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi Sosial (12th ed.). Kencana.
Theran, S. A., Sullivan, C. M., Bogat, G. A., & Stewart, C. S. (2006). Women ’ s Well-Being. Violence Against Women, 12(10), 950–969. https://doi.org/10.1177/1077801206292871
Tversky, A., & Kahneman, D. (1983). Extensional Versus Intuitive Reasoning: The Conjunction Fallacy in Probability Judgment. American Psychological Association, 90(4), 293–315.
https://doi.org/10.1007/BF00712851
Untari, P. (2014). Hubungan Antara Empati dengan Sikap Pemaaf pada Remaja Putri yang Menagalami Kekerasan dalam Berpacaran. EJournal Psikologi, 2(2), 279–289.
Viejo, C. (2014). Physical Dating Violence: towards a comprehensible view of the phenomenon. Journal for the Study of Education and Development, 37(4), 785–815. https://doi.org/10.1080/02103702.2014.977110
Walker, L. E. A. (2009). The battered woman. In American Journal of Obstetrics and Gynecology (3rd ed.). Springer Publishing Company. https://doi.org/10.1016/0002-9378(95)90322-4
Walker, S. (1975). Essential Psychology Learning and Reinforcement (P. Herriot (ed.)). Metheun & Co Ltd.
West, R. F., Toplak, M. E., & Stanovich, K. E. (2008). Heuristics and Biases as Measures of Critical Thinking: Associations with Cognitive Ability and Thinking Dispositions. Journal of Educational Psychology, 100(4), 930–941.
https://doi.org/10.1037/a0012842
Wishesa, A. I., & Suprapti, V. (2014). Dinamika emosi remaja perempuan yang sedang mengalami kekerasan dalam pacaran. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan, 3(3), 159– 163.
GLOSARIUM
Nyentana merupakan pernikahan di Bali yang ditandai dengan mempelai laki-laki yang ikut dan tinggal dengan keluarga mempelai perempuan, serta semua garis keturunannya mengambil garis keturunan mempelai perempuan.
LAMPIRAN
Bagan 1. Faktor yang Melatarbelakangi Keputusan LI Bertahan
Bagan 2. Faktor yang Melatarbelakangi Keputusan TA Bertahan
Bagan 3. Faktor yang Melatarbelakangi Keputusan UL Bertahan
71
Discussion and feedback