Gambaran resiliensi mahasiswa psikologi penyintas perundungan kelompok sebaya
on
Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.2, 1-8
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607
DOI: 10.24843/JPU/2021.v08.i02.p01
Gambaran resiliensi mahasiswa psikologi penyintas perundungan kelompok sebaya: sebuah studi kasus tunggal
I Made Sutya Niki Darmaja dan Ni Made Ari Wilani
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
Abstrak
Perundungan merupakan kasus yang sering terjadi di dunia pendidikan termasuk perguruan tinggi yang melibatkan mahasiswa. Mahasiswa yang menjadi penyintas perundungan akan mengalami penurunan kesejahteraan hidup akibat dari perundungan. Sebuah studi tentang mahasiswa psikologi yang mengalami perundungan memberi gambaran jika penyintas mampu bangkit dari pengalaman perundungan dan mengalami pencapaian positif. Kondisi tersebut menandakan adanya peran variabel resiliensi pada penyintas perundungan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendalami gambaran resiliensi penyintas perundungan. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang mahasiswa psikologi. Mahasiswa psikologi dipilih untuk melihat peran ilmu psikologi yang telah dipelajari dalam membantu mengembangkan kemampuan resiliensi, dan penyintas yang merupakan mahasiswa psikologi adalah sebuah keunikan bagi penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus tunggal. Karakteristik responden pada penelitian ini adalah mahasiswa psikologi aktif, telah menempuh minimal empat semester, belum pernah mengambil cuti akademik, dan mengalami perundungan lebih dari enam bulan. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis theoritical coding Strauss-Corbin. Hasil penelitian ini menemukan gambaran resiliensi penyintas perundungan meliputi pengalaman perundungan, coping, adaptasi, pencapaian positif, dan bagaimana peran pengetahuan psikologi yang telah dipelajari. Penelitian ini diharapkan menambah wawasan tentang resiliensi pada penyintas perundungan kepada peneliti, penyintas perundungan, dan pihak-pihak lain yang bermaksud memanfaatkan informasi pada penelitian ini secara positif
Kata kunci: Ilmu psikologi, Mahasiswa psikologi, Perundungan, Resiliensi
Abstract
Bully is common case in every educational stage, including on college that involve college students. Bullying can decrease the wellbeing of the college student who is being survived by bullying. Bullying can occur on any college student in any department. A case describing the bullying’s experience on psychology student that pointed out the survivor able to rise up from bullying experience and reach positive achievements. That case indicates the role of resilience. By that case, this study focused on exploring the resilience on bullying survivor. Psychology student were selected to obtain how survivor’s knowledge about psychology contribute to the develop resilience, and the ‘Psychology Student’ itself were a unique subject for this study. The subject criterions are an active psychology student, already pass minimum four semester, haven’t take an academic leave on the first second year lectures, and bullied for more than six months. This study using theoretical coding Strauss and Corbin to analyze the data. The result on this study is an overview of resilience on bullying survivor including the bullying experience, coping, adaptation, reaching out, and the role of psychology knowledge on survivor. This study is expected increasing knowledge about resilience on bullying survivor to other researcher, the survivor itself, and other parties that will make use of this study’s result in the positive way.
Keywords: Bullying, Psychology Student, Psychology, Resilience.
LATAR BELAKANG
Perundungan merupakan perilaku agresif yang ditujukan oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain melalui perilaku yang tidak menyenangkan untuk mendapat status tinggi, kekuatan, dan posisi dominan di antara sebayanya (Salmivalli, 2010). Kasus perundungan di Indonesia yang muncul ke permukaan lebih banyak melibatkan anak-anak hingga remaja sebagai korban dan pelaku (Muthmainah, 2017; Novianto, 2018; Nurita, 2018). Kondisi tersebut didukung oleh kasus perundungan yang terjadi di sebuah daerah pada bulan Juli 2019 yang melibatkan empat remaja SMA dengan dua pelaku berusia 16 tahun, satu pelaku 18 tahun, dan penyintas perundungan berusia 15 tahun (Mardiastuti, 2019). United Nations Children’s Fund (UNICEF) (2020) menerangkan bahwa di Indonesia remaja berstatus pelajar berisiko menjadi penyintas perundungan. Mahasiswa merupakan remaja berusia 19-23 tahun (Kemenristekdikti, 2018; Santrock, 2007) dan juga dapat mengalami perundungan berupa intimidasi, pemalakan, pemukulan, ucapan kotor dan melecehkan, pemaksaan minum minuman keras, menelanjangi penyintas perundungan dan dipaksa mandi di tengah malam (Simbolon, 2012). Responden pada penelitian ini merupakan mahasiswa psikologi yang mengalami perundungan di lingkungan perkuliahannya berupa hinaan, kritik berlebihan, gosip, dan pengucilan oleh kelompok sebaya (Darmaja, 2019). Kasus perundungan di Indonesia jarang ditemukan terjadi pada mahasiswa sehingga penelitian ini mengangkat mahasiswa sebagai responden penelitian. Kasus perundungan yang melibatkan mahasiswa psikologi merupakan sebuah kasus yang unik karena perundungan terjadi di lingkungan yang menjunjung kesehatan mental.
Responden merupakan mahasiswa psikologi yang telah mengalami perundungan lebih dari enam bulan. Responden mengalami dampak negatif berupa munculnya perasaan inferior di lingkungan perundungan, namun responden tidak pernah mengambil cuti akademik sehingga dapat disimpulkan bahwa perundungan yang dialami responden terakumulasi menjadi stres toksik. (Hendriani, 2018) menyatakan stres toksik merupakan kondisi yang tidak menyenangkan dengan taraf tinggi pada individu dan berlangsung dalam durasi yang panjang. Cucchetti dan Toth (dalam Hendriani, 2018) menyatakan resiliensi merupakan sebuah proses bersifat dinamis yang mencakup adaptasi positif dalam konteks situasi yang sulit. Stres toksik merupakan konteks situasi yang bersifat sulit bagi individu dan merupakan kriteria konteks situasi yang sesuai dengan definisi resiliensi (Cucchetti & Toth, dalam Hendriani 2018) sehingga resiliensi diangkat sebagai variabel yang diteliti pada penelitian ini. Kondisi responden yang mampu mengatasi perundungan dan meraih pencapaian positif juga menjadi dasar pemilihan variabel resiliensi pada penelitian ini. Reivich dan Shatte (2002) menyatakan pencapaian positif merupakan faktor penting dalam kemampuan resiliensi individu. Individu yang resilien terhadap perundungan merupakan individu yang mampu mengatasi konteks situasi yang sulit dan mencapai hasil positif.
Status responden sebagai mahasiswa psikologi semester 7 saat pertama kali diwawancarai merupakan kondisi
berikutnya yang menarik peneliti. Responden yang merupakan mahasiwa psikologi semester 7 saat pertama kali diwawancarai diasumsikan memiliki pemahaman tentang ilmu psikologi yang baik. Kamus daring (American Psychological Association Dictionary (APA) menjelaskan bahwa psikologi merupakan ilmu yang mempelajari pikiran dan perilaku manusia melalui sudut pandang ilmiah. Pendapat lain dari Sarwono (2014) tentang ilmu psikologi adalah sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia serta hubungannya dengan ilmu-ilmu lain. Melalui definisi ilmu psikologi, mahasiswa psikologi adalah individu yang mempelajari perilaku dan pikiran manusia. Mahasiswa psikologi juga mempelajari hubungan pikiran dan perilaku, sehingga mahasiswa psikologi memiliki pemahaman lebih tentang hakikat manusia. Pemahaman mahasiswa psikologi tentang hakikat manusia tersebut menjadi daya tarik untuk melihat bagaimana peran ilmu psikologi dalam mengembangkan resiliensi responden pada penelitian ini.
Penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan gambaran resiliensi mahasiswa psikologi penyintas perundungan di lembaga perguruan tinggi psikologi yang meliputi pengalaman perundungan, dampak perundungan, upaya yang dilakukan responden untuk mengatasi perundungan, faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi responden, kondisi resilien responden dan peran ilmu psikologi yang telah dipelajari responden.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus dipilih untuk mendalami resiliensi individu yang berstatus mahasiswa psikologi sekaligus penyintas perundungan di lingkungan mahasiswa psikologi. Kasus perundungan dipilih sebagai fenomena dalam penelitian ini karena dianggap sebagai fenomena yang unik untuk terjadi di sebuah lingkungan yang menjunjung kesehatan mental. Pengangkatan penyintas perundungan sebagai responden dilandasi oleh kondisi responden yang kini sudah tidak mengalami perundungan dan mengalami peningkatan akademis di perkuliahannya.
Responden
Responden pada penelitian ini adalah mahasiswa psikologi aktif yang telah mengalami perundungan lebih dari enam bulan, telah menempuh 7 semester perkuliahan, tidak pernah mengambil cuti akademik, dan memiliki pengalaman keberhasilan mengatasi perundungan di masa lalu. Responden merupakan laki-laki berusia 21 tahun ketika pertama kali diwawancarai.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik wawancara semi terstruktur bersifat daring dan luring, dan fieldnote. Wawancara daring dan luring dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat terbuka, namun tetap bertujuan mendalami fokus penelitian. Wawancara luring dilakukan untuk menghindari penyebaran wabah
COVID-19 melalui jaringan pesan ketik pribadi yang diusul oleh responden dengan ketentuan yang telah disepakati antara responden dan peneliti. Fieldnote pada penelitian ini yang berisi tentang data-data utama penelitian dan kondisi tertentu saat wawancara luring yang tidak dapat ditranskripkan ke verbatim.
Teknik Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan theoretical coding yang dikemukakan oleh Strauss dan Corbin meliputi open coding, axial coding, dan selective coding (Strauss & Corbin, 1990)
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini menghasilkan dua topik utama, yaitu pengalaman perundungan dan gambaran resiliensi penyintas perundungan. Pengalaman perundungan yang dialami penyintas meliputi pemicu perundungan, bentuk perundungan, dan dampak perundungan. Gambaran resiliensi penyintas meliputi koping, adaptasi, faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi, dan kondisi resilien penyintas.
Pengalaman Perundungan
Pemicu Perundungan
Pemicu perundungan yang terjadi pada penyintas ketika berkuliah adalah perbedaan nilai akademis, dan hubungan persahabatan penyintas dengan sepasang kekasih. Nilai akademis penyintas lebih rendah dari nilai pelaku sehingga pelaku merundungi penyintas. Perundungan yang terjadi akibat perbedaan nilai akademis berupa hinaan dan kritik berlebihan. Pemicu kedua perundungan terjadi adalah hubungan persahabatan penyintas. Penyintas dipandang berniat merebut kekasih sahabatnya sehingga pelaku menyebarkan gosip, dan mengucilkan penyintas.
Bentuk Perundungan
Bentuk perundungan yang dialami penyintas saat berkuliah berupa perundungan verbal, dan perundungan relasional. Bentuk perundungan verbal yang dialami penyintas berupa hinaan dan kritik berlebihan. Bentuk relasional yang diterima penyintas berupa penyebaran gosip dan pengucilan.
Dampak Perundungan
Dampak perundungan di perkuliahan yang ditemui pada penyintas adalah rasa sakit hati, rasa kesepian, rasa tidak nyaman terhadap lingkungan perundungan, rasa sedih, dan rasa kelas terhadap pelaku. Penyintas juga menarik diri dari lingkungan perundungan, mengalami demotivasi berkuliah, menjadi individu yang tertutup tentang pengalaman perundungan, dan munculnya rasa dendam terhadap pelaku.
Gambaran Resiliensi
Koping
Koping yang dilakukan penyintas melalui tiga cara, yaitu menjaga hubungan dengan sahabat, meregulasi diri, dan mencari lingkungan baru. Penyintas tetap menajaga hubungan persahabatannya dengan sepasang kekasih. Penyintas berniat meyakinkan sahabat-sahabatnya bahwa
gosip yang beredar tidak benar. Strategi kedua yang dilakukan penyintas dengan meregulasi dirinya melalui hobi. Penyintas memiliki hobi memelihara binatang, sehingga penyintas merasa terbantu dengan hobinya tersebut.
Upaya ketiga yang dilakukan penyintas adalah mencari lingkungan baru. Upaya mencari lingkungan baru terbagi menjadi dua tahap, yaitu mencari kelompok sebaya baru di lingkungan perundungan, dan mencari kelompok baru di luar lingkungan perundungan. Upaya penyintas mencari kelompok baru di lingkungan perundungan berhasil. Namun, dikarenakan pelaku hadir ke dalam interaksi penyintas dengan lingkungan baru, penyintas kemudian meninggalkan kelompok sebaya barunya. Upaya kedua yang dilakukan penyintas adalah mencari lingkungan baru di luar lingkungan perundungan. Penyintas mencoba berinteraksi dengan angkatan muda. Interaksi penyintas dengan angkatan muda inilah yang menyebabkan penyintas berhasil memasuki kondisi resilien dalam perundungan dunia perkuliahan.
Adaptasi
Penyintas beradaptasi dengan cara membangun relasi di lingkungan baru. Penyintas mulai menjalin hubungan dengan tiap individu di lingkungan baru, memperbanyak interaksi dengan lingkungan baru, bergabung dengan kelompok sebaya, dan mengurangi interaksi dengan lingkungan perundungan. Lingkungan baru yang didapatkan penyintas merupakan lingkungan yang suportif terhadap penyintas sehingga penyintas merasa aman, nyaman, dan enjoy di lingkungan baru.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Resiliensi
Faktor-faktor yang memengaruhi penyintas terbagi menjadi dua, yaitu faktor protektif dan faktor risiko.
Faktor protektif
Faktor protektif yang dimiliki penyintas adalah, (1) lingkungan keluarga yang positif, (2) value positif penyintas yang didapat dari nasihat gurunya, dan prinsip-prinsip yang dikembangkan selama menjadi korban perundungan serta nilai karma yang dipercayai. (3) kesadaran akan identitas yang ditandai dengan munculnya kesadaran akan kebutuhan menuntaskan studi, (4) lingkungan baru yang suportif, (5) pengalaman masa lalu, dan (6) Hobi yang dimiliki penyintas. Faktor risiko
Kondisi yang menjadi faktor risiko bagi penyintas dalam mencapai kondisi resilien dari pengalaman perundungan meliputi faktor personal, dan lingkungan sosial. Penyintas dalam penelitian ini memiliki pengalaman perundungan di masa lalu. Pengalaman perundungan pertama kali dialami penyintas ketika duduk di bangku SD. Penyintas memerlukan kaca mata untuk membantu melihat. Kebutuhan penyintas akan kaca mata menyebabkan penyintas merasa malu kepada teman-temannya. Selain kaca mata, bentuk tubuh penyintas juga menyebabkan penyintas merasa tidak nyaman karena penyintas kerap kali disamakan dengan tokoh film. Penyintas juga memiliki self-esteem yang rendah, penyintas merasa dirinya aneh, dan bodoh saat berkuliah. Faktor lingkungan yang menjadi faktor risiko bagi penyintas adalah pengalaman perundungan ketika SMP. Perundungan saat SMP terjadi kepada penyintas karena lingkungan sosial dan sekolah akrab
dengan premanisme sehingga penyintas yang merupakan kutu buku saat itu menjadi target perundungan.
Reaching Out
Reaching out merupakan pencapaian positif yang diraih penyintas. Pencapaian tersebut meliputi (1) aktualisasi diri ditandai terbangunnya hubungan yang berkualitas, dan penyintas mulai mengembangkan hobi baru. (2) Penyintas mengalami peningkatan akademis ditunjukan oleh peningkatan nilai akademis, percaya diri dalam berpendapat di kelas, menikmati dan mencurahkan diri ke dalam proses belajar, dan mampu memanejemen waktu. (3) penyintas mampu memahami penyebab perundungan. (4) Penyintas mampu mengaplikasikan ilmu psikologi yang telah dipelajari untuk memahami pelaku berdasarkan sudut pandang ilmiah..
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Pengalaman Perundungan
Pemicu Perundungan
Pemicu perundungan terhadap penyintas ketika berkuliah adalah perbedaan kondisi akademis, dan hubungan persahabatan penyintas dengan sepasang kekasih. Perbedaan kondisi akademis menyebab perbedaan power antara penyintas dan pelaku. Randall (2001) menyatakan perbedaan power antara individu dapat memicu perundungan ke arah individu dengan power yang lebih rendah. Perbedaan power pada penyintas terjadi karena nilai akademis penyintas lebih rendah dari pada nilai pelaku perundungan. Pemicu dari lingkungan sosial berikutnya adalah nilai-nilai kelompok sebaya dan hubungan persahabatan penyintas dengan sepasang kekasih. Menurut Cowie dan Jennifer (2008), kelompok sebaya memiliki nilai-nilai tertentu yang dapat menjadi faktor risiko atau faktor protektif perundungan. Nilai-nilai yang dianut oleh kelompok sebaya menyebabkan penyintas dipandang berniat merebut kekasih sahabatnya sehingga penyintas diberi sanksi. Sanksi tersebut berupa penyebaran gosip sehingga penyintas dikucilkan.
Bentuk Perundungan
Penyintas mengalami dua bentuk perundungan, yaitu perundungan relasional, dan verbal. Bentuk perundungan relasional yang dialami penyintas berupa penyebaran gosip, dan pengucilan (Harris & Petrie, 2003; Orpinas & Horne, 2006; Cowie & Jennifer, 2008). Perundungan verbal yang dialami penyintas berupa hinaan, dan kritik berlebihan (Orpinas & Horne, 2006; Cowie & Jennifer, 2008).
Dampak Perundungan
Perundungan yang dialami menyebabkan penyintas dalam penelitian ini merasa sakit hati, kesepian, merasa tidak nyaman, sedih, dan kesal terhadap pelaku. Ortega dkk (2012) juga menyebutkan penyintas perundungan dapat mengalami berbagai emosi negatif seperti kesepian, dan rasa tidak nyaman. Rasa sakit hati, rasa tidak nyaman, dan rasa kesal terhadap pelaku menyebabkan penyintas dalam penelitian ini menarik diri dari lingkungan perundungan, dan mengalami demotivasi mengikuti perkuliahan. Pernyataan tersebut didukung oleh temuan Mintasrihardi dkk (2019) yang menjelaskan bahwa demotivasi dan penarikan diri pada penyintas perundungan terjadi karena perasaan negatif yang
dialami seperti rasa sakit hati, rasa tidak nyaman, dan rasa kesal terhadap pelaku.
Selain menarik diri dari lingkungan perkuliahan, penyintas juga cenderung menjadi diri yang tertutup tentang pengalaman perundungan. Penyintas dalam penelitian ini menutupi perundungan dari keluarga. Menurut Kabadayi dan Sari (2018), kondisi tertutup penyintas terjadi karena berbagai hal. Penyintas pada penelitian ini tidak menceritakan perundungan karena belum mampu mengatasi pengalaman perundungan dan perasaan-perasaan negatif yang dialami.
Dampak selanjutnya yang dialami penyintas adalah munculnya dorongan agresi terhadap pelaku. Pernyataan ini didukung oleh Randall (2001) yang menyebutkan korban perundungan memiliki kecenderungan melakukan agresi terhadap orang lain. Dorongan agresi tersebut menurut Istanti dan Yuniardi (2018) berasal dari perasaan inferior yang tumbuh pada penyintas. Dorongan agresi tersebut memunculkan rasa dendam terhadap pelaku. Perasaan dendam membawa penyintas dalam penelitian ini berkeinginan menghilangkan nyawa pelaku.
Gambaran Resiliensi
Gambaran resiliensi penyintas diawali dengan adanya stresor perundungan, kemudian upaya koping, adaptasi, faktor protektif dan faktor risiko, dan pencapaian positif yang diraih penyintas.
Koping
VanBreda (2001) menjelaskan koping sebagai proses memelihara kesejahteraan psikologis, fisik, dan sosial. Penyintas telah melakukan berbagai upaya koping dalam pengalaman perundungannya. Upaya koping penyintas dibagi menjadi dua menurut MacArthur dan MacArthur (dalam Hendriani, 2018), yaitu koping aktif dan koping penghindaran. Koping aktif yang dilakukan penyintas melalui upaya mendekati dan menjaga hubungan dengan pelaku. Koping aktif kedua yang dilakukan penyintas adalah memperbaiki hubungan dengan sahabatnya. Koping aktif ketiga yang dilakukan penyintas berupa melakukan aktivitas lain bersama sahabatnya.
Penyintas mendekati pelaku dengan harapan mampu menghentikan perundungan, tapi upaya tersebut kurang efektif karena penyintas mengalami penolakan. Upaya koping aktif kedua yang dilakukan penyintas mampu menurunkan stresor pengalaman perundungan disebabkan oleh kembalinya support system yang dimiliki penyintas. Hendriani (2018) menjelaskan support system dapat mencegah stresor menjadi lebih buruk, pada penelitian ini stresor tersebut adalah perundungan. Kembalinya support system penyintas juga menyumbangkan keefektivan upaya koping ke-tiga. Bersama sahabatnya, penyintas melakukan berbagai aktivitas yang dapat membantu mengatasi stresor seperti touring, dan hiking.
Koping kedua yang dilakukan penyintas dalam penelitian ini adalah koping penghindaran. Yuliandari (2017) dalam penelitiannya menerangkan bahwa koping penghindaran
dipilih oleh individu untuk menghindari stresor dengan cara melakukan kegiatan yang bersifat tidak negatif. Penyintas perundungan dalam penelitian ini menghindari lingkungan perundungan dengan cara mencari lingkungan baru. Lingkungan baru yang ditemukan penyintas mampu menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan membuat penyintas enjoy berada di lingkungan tersebut. Mengacu pada pernyataan Reivich dan Shatte (2002), upaya pencarian lingkungan baru merupakan upaya yang sehat dan produktif bagi penyintas ditandai dengan adanya rasa aman, nyaman, dan enjoy.
Adaptasi
Adaptasi merupakan tahap penting dalam resiliensi. Penyintas pada penelitian ini telah membangun hubungan pertemanan di lingkungan baru. Hubungan pertemanan tersbut dapat meningkatkan daya tahan penyintas terhadap stresor perundungan (Akasyah, 2018). McCubbin dan Patterson (dalam VanBreda, 2001) menerangkan dukungan sosial yang diterima penyintas dari lingkungan baru memfasilitasi proses adaptasi menuju arah yang positif. Penyintas telah menunjukan perubahan dalam perasaan, perilaku, dan gaya hidup. Penyintas merasa aman, nyaman, dan enjoy di lingkungan baru yang menandakan adanya perasaan positif. Penyintas juga menjadi berani mengemukakan pendapat di kelas, dan mencurahkan diri mengikuti kegiatan perkuliahan. Penyintas di lingkungan baru telah mengembangkan hobi baru bersama kelompok sebaya barunya. Mengacu pada Baum (dalam Hendriani, 2018), adaptasi dalam resiliensi adalah adaptasi yang memunculkan pikiran, perasaan, perilaku, sikap, dan gaya hidup positif. Penyintas telah menunjukan sebagian besar kriteria adaptasi yang disebutkan Baum (dalam Hendriani, 2018) sehingga adaptasi yang dilakukan penyintas merupakan adaptasi positif.
Faktor-Faktor Resiliensi
Faktor Protektif
Faktor protektif merupakan hal yang berpotensi untuk membantu individu mengatasi permasalahan secara efektif (Hendriani, 2018). Berbagai hal yang membantu responden dalam penelitian ini untuk mencapai adaptasi positif yang berlanjut ke kondisi resilien adalah lingkungan yang positif, nilai religius, value positif, kesadaran akan identitas diri, lingkungan baru yang suportif, pengalaman masa lalu, dan hobi.
Lingkungan keluarga yang positif
Penyintas berasal dari lingkungan keluarga yang bersifat positif. Keluarga penyintas merupakan keluarga yang perhatian, hangat, dan mempercayai penyintas. Garmezy (dalam Hendriani, 2018) menyebutkan interaksi individu dengan keluarga yang bersifat positif dapat menjadi pendorong kesuksesan proses adaptasi. Orang tua penyintas mampu menunjukan dukungan terhadap penyintas melalui perhatian mereka sehingga penyintas merasa dirinya diperhatikan. Interaksi penyintas dengan sosok ayah dalam pengalaman perundungan cukup mendominasi. Sosok ayah selalu diceritakan di setiap pengalaman perundungan sebagai sosok yang mampu memberi saran, dan arahan bagi penyintas. Borualogo dkk (2020) menyatakan keterlibatan
ayah dalam interaksi anak mampu mencegah anak mengalami kualitas hidup yang buruk. Sapouna dan Wolke (2013), Tobias dan Chapanar (2016), Yuliani dkk (2018) beserta McChubbin dan Patterson (dalam VanBreda, 2001) menyebutkan keluarga yang hangat merupakan salah satu faktor yang dapat meredam dampak negatif dari berbagai stresor dikarenakan keluarga menyediakan tempat bagi individu untuk berbagi pengalaman, memberi rasa perlindungan, dan memberi rasa aman.
Value Positif
Penyintas memegang nilai-nilai positif dalam dirinya ketika menghadapi perundungan. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai religius karma, dan prinsip-prinsip dalam hidupnya. Grotberg (dalam Hendriani, 2018) menyebutkan nilai-nilai yang dimiliki mampu mendorong individu menuju diri yang resilien terhadap stresor. Nilai religius yang dipegang penyintas saat menghadapi perundungan adalah nilai karma. Melalui nilai karma tersebut penyintas meyakini bahwa pelaku akan mendapat hal setimpal dengan perbuatannya. Melalui nilai karma ini pula penyintas meyakini bahwa membalas pelaku dengan cara yang buruk akan berdampak buruk juga bagi dirinya. Putri dan Uyun (2017) menyebutkan nilai religius mampu membantu individu menghadapi stresornya.
Penyintas mengembangkan prinsip hidup selama menghadapi perundungan. Prinsip tersebut diantaranya adalah meninggalkan lingkungan perundungan, tidak memaksa lingkungan menerima keberadaanya, dan fokus pada diri sendiri. Prinsip-prinsip tersebut membantu penyintas menemukan strategi koping penghindaran, yaitu mencari lingkungan baru. Selain mengembangkan prinsip hidup, penyintas juga memegang nasihat gurunya untuk tetap bersabar menghadapi masalah yang dihadapi. Germezy (dalam Hendriani, 2018) menyebutkan faktor protektif dapat muncul dari berbagai atribut yang dimiliki oleh individu, dan lingkungan di luar keluarga. Pengembangan prinsip hidup berasal dari atribut yang dimiliki penyintas, dan nasihat guru yang dipegang oleh penyintas merupakan kemampuan penyintas dalam memanfaatkan sumber eksternal di luar keluarga.
Kesadaran akan identitas diri
Hendriani (2018) menyatakan kesadaran akan identitas diri menyebabkan individu sadar akan tanggung jawab yang harus ditanggung. Penyintas dalam penelitian ini sadar akan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa sehingga terdorong untuk menuntaskan studinya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dipilih penyintas adalah mencari lingkungan baru. Keluarga juga berperan dalam menyadarkan penyintas tentang tanggung jawabnya. Rasa tanggung jawab tersebut mendorong penyintas mengatasi perundungannya. Kondisi ini menjadi daya dorong bagi penyintas untuk mencapai kondisi resiliennya. Tanggung jawab mendorong individu untuk mengatasi stresor yang dialami (Hendriani, 2018).
Lingkungan baru yang suportif
Individu cenderung menetap di lingkungan yang mampu menumbuhkan perasaan positif pada dirinya (Akbar, 2013). Penyintas dalam penelitian ini pun merasa disambut dengan positif oleh lingkungan baru dan merasa bahwa lingkungan
baru adalah lingkungan yang layak baginya. Penyintas juga merasa lebih diterima dan diperlakukan baik di lingkungan baru. Beberapa tokoh seperti Ward,(2001), McChubbin dan Patterson (dalam VanBreda, 2001), serta Yuliani dkk (2018) mengatakan jika lingkungan yang lebih positif mampu membantu individu untuk mencapai diri yang resilien.
Pengalaman masa lalu
Penyintas juga merupakan penyintas perundungan ketika SD, dan SMP. Penyintas mampu mengatasi perundungan yang terjadi ketika SD dengan cara menekuni hobi bersama kelompok sebaya baru. Ketika SMP, penyintas mengatasi perundungan dengan cara menerima dan memaafkan pelaku. Pengalaman tersebut oleh Garner dan Boulton (2016), dapat membantu individu menjadi diri yang resilien.
Hobi
Hobi yang dimiliki responden saat mengalami perundungan dan melakukan adaptasi adalah memelihara hewan. Bagi responden, hobi tersebut mampu membantunya melepas stres. Juliadilla dan Hastuti H. (2019) menyatakan jika memelihara hewan dapat mengurangi stres pada pegawai purnatugas, dan oleh Nugrahaeni (2016) menyatakan jika pemilik hewan peliharaan dapat meningkatkan kualitas hidup, mengurangi rasa kesepian, depresi, dan cemas serta merupakan bentuk dukungan sosial bagi pemiliknya.
Faktor Risiko
Faktor risiko dalam kasus perundungan ini adalah faktor personal dan faktor lingkungan penyintas.
Faktor Personal
Perundungan yang terjadi pada penelitian ini dipicu dua faktor utama, yaitu faktor personal dan faktor lingkungan sosial penyintas. Penyintas memiliki pengalaman perundungan di masa lalu. Pengalaman perundungan pertama penyintas terjadi saat penyintas di bangku SD. Pemicu perundungan tersebut adalah rasa tidak nyaman penyintas yang muncul akibat rasa malu karena bentuk tubuh, dan kebutuhan akan kaca mata untuk membantu pengelihatan. Menurut Cowie dan Jennifer (2008), rasa tidak nyaman yang dikombinasikan dengan rasa malu dapat menarik perhatian pelaku merundungi penyintas. Rasa tidak nyaman dan rasa malu tersebut menjadi sinyal kepada individu lain bahwa penyintas tidak akan melawan ketika diperlakukan dengan cara yang buruk (Cowie & Jennifer, 2008). Kondisi personal penyintas yang telah terbentuk menjadi faktor risiko bagi penyintas. Selain rasa tidak nyaman dan rasa malu. Penyintas juga memiliki self-esteem yang rendah ditandai dengan penilaian diri. Penyintas menilai dirinya bodoh dan aneh ketika berkuliah. Cowie dan Jennifer (2008) menyebut kondisi tersebut dapat meningkatkan faktor risiko perundungan karena memunculkan rasa inferior terhadap diri. Perasaan inferior yang terbentuk dalam diri penyintas melalui pengalaman perundungan di masa lalu merupakan faktor risiko yang dapat menghambat resiliensi.
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sosial penyintas menjadi salah satu faktor risiko bagi penyintas ketika SMP. Penyintas berada di lingkungan yang akrab dengan premanisme, oleh Cowie dan Jennifer (2008) lingkungan yang akrab dengan premanisme atau kondisi negatif lainnya seperti penggunaan kekerasaan dalam kehidupan sehari-hari cenderung meningkatkan risiko
perundungan. Lingkungan penyintas yang berisiko merundungi menyebabkan penyintas dirundung oleh individu yang memiliki kelompok yang bersifat preman. Perundungan yang dialami oleh individu dapat menyebabkan individu tersebut menjadi individu yang mudah cemas, selfesteem rendah, rasa kepercayaan diri rendah, dan tertutup (Kabadayi & Sari, 2018).
Pengalaman perundungan yang dialami penyintas menyumbangkan atribut-atribut negatif terhadap penyintas. Atribut tersebutlah yang meningkatkan faktor risiko penyintas untuk mengalami perundungan.
Reaching Out
Reaching out merupakan kondisi penyintas yang telah bangkit dari perundungan dan mampu meraih pencapain positif (Reivich & Shatte, 2002). Adapun pencapaian positif yang telah diraih penyintas adalah mampu mengaktualisasikan diri, mengalami peningkatan akademis, menjadi individu yang mandiri, memahami pelaku, munculnya self-acceptance, dan dengan ilmu psikologi responden mampu lebih memahami pelaku yang selanjutnya juga lebih mampu menerapkan self-acceptance.
Aktualisasi diri
Maslow (dalam Feist dkk, (2017) menyatakan salah satu kriteria individu dapat dikatakan mengaktualisasi dirinya adalah dengan adanya keinginan individu untuk tumbuh dan berkembang ke arah yang mereka inginkan. Aktualisasi diri penyintas terwujud melalui kemampuan membangun hubungan yang berkualitas dengan lingkungan barunya, dan mengembangkan hobi. Penyintas telah memiliki kelompok sebaya baru yang menjadi support system-nya. Selain itu, penyintas bersama kelompok sebaya baru mampu berbagi minat yang beragam dan mengembangkan hobi baru.
Peningkatan akademis
Prestasi akademis penyintas di lingkungan baru mengalami kenaikan. Nilai akademis penyintas meningkat, merasa lebih percaya diri berpendapat di kelas, menikmati proses belajar di kelas, mencurahkan diri dalam belajar, dan mampu memanajemen waktu untuk keperluan kuliah. Aini dan Taman (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa kemandirian belajar dan lingkungan belajar memengaruhi prestasi belajar pada siswa secara positif. Penyintas pada penelitian ini menunjukan kemandirian belajar, yaitu mencurahkan diri dalam belajar. Fath (2015) memperkuat temuan Aini dan Taman (2012) tentang pengaruh positif lingkungan belajar terhadap prestasi siswa. Lingkungan yang mendukung proses belajar mengajar pada siswanya akan memengaruhi secara positif prestasi belajar siswa tersebut. Penyintas dalam penelitian ini merasa aman, nyaman, dan enjoy di lingkungan barunya sehingga mengalami peningkatan dalam kondisi akademis. Kemandirian penyintas dalam belajar dan lingkungan baru yang suportif memiliki pengaruh terhadap peningkatan akademis penyintas.
Memahami penyebab perundungan
Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan individu yang resilien merupakan individu yang mampu memahami penyebab dari masalah yang dihadapi. Penyintas telah memahami penyebab dari perundungan yang dialaminya adalah pelaku yang melampiaskan permasalahannya kepada
penyintas. Selain itu, penyintas juga paham perundungan ini terjadi karena nilai akademisnya yang rendah, dan hubungan persahabatannya.
Pemanfaatan ilmu psikologi – memahami pelaku
Dalam upaya menuju kondisi resiliennya, ilmu psikologi yang dipelajari responden juga turut berperan membantu responden memahami pelaku dari sudut pandang ilmiah. Responden juga telah mencoba menghubungkan kondisi pelaku ke hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Hierarki kebutuhan tersebut mengarahkan responden ke jawaban bahwa pelaku mencari pengakuan dengan cara merundungi responden. Melalui pemahaman ilmiah tersebut responden mampu lebih memahami pelaku dengan menganalisis kemungkinan-kemungkinan alasan pelaku merundungi responden. ilmu psikologi yang dipelajari responden mampu memfasilitasi pemahaman responden tentang pelaku, kemudian pemahaman responden tentang pelaku menyebabkan responden lebih mampu mentoleransi pelaku.
Berdasarkan peneltian yang dilakukan, pemicu perundungan yang dialami penyintas saat berkuliah adalah nilai akademis yang rendah, dan hubungan persahabatan. Nilai akademis yang rendah menyebabkan penyintas mengalami perundungan verbal berupa hinaan, dan kritik berlebihan. Hubungan persahabatan menyebabkan penyintas mengalami perundungan relasional berupa gosip, dan pengucilan. Perundungan tersebut menyebabkan penyintas merasa sakit hati, kesepian, merasa tidak nyaman, sedih, dan kesal terhadap pelaku hingga penyintas menarik diri serta mengalami demotivasi berkuliah. Selain itu penyintas juga tertutup tentang pengalaman perundungannya.
Upaya yang dilakukan penyintas untuk mengatasi perundungan yang dialami adalah dengan upaya koping aktif, dan koping penghindaran. Koping aktif yang dilakukan penyintas adalah mendekati dan menjaga hubungan dengan pelaku, memperbaiki hubungan persahabatan, dan melakukan aktivitas positif bersama sahabatnya. Koping penghindaran yang dilakukan penyintas berupa pencarian lingkungan baru yang kemudian mampu mendorong penyintas mengembangkan resiliensinya. Penyintas kemudian beradaptasi di lingkungan baru dengan membangun relasi. Lingkungan baru yang ditemukan penyintas mampu memfasilitasi kebutuhan penyintas untuk menjadi diri yang resilien terhadap perundungan. Kondisi resilien tersebut ditunjukan dari pencapaian positif yang diraih penyintas di lingkungan baru.
KETERBATASAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus tunggal yang menyebabkan data yang diperoleh bersifat unik dan khas sehingga untuk proses generalisasi memerlukan tindakan lebih lanjut. Penelitian ini juga tidak mampu mendalami penyebab perundungan yang diantaranya meliputi karakter penyintas saat mengalami perundungan, lingkungan perkuliahan, dan motif pelaku.
Penelitian ini sebelumnya mengambil pendekatan fenomenologi untuk memahami perundungan yang dialami
oleh mahasiswa psikologi. Pendekatan tersebut dialihkan ke studi kasus tunggal karena sebagian besar responden yang telah didapatkan peneliti tidak dapat dihubungi kembali. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh pembangunan raport yang kurang optimal oleh peneliti terhadap responden.
Penelitian serupa berikutnya diharapkan mampu membangun raport yang baik terhadap responden. Peneliti selanjutnya juga disarankan untuk memerhatikan keterbukaan responden terhadap pengalaman, dan penerimaan diri responden sebagai korban perundungan karena hal tersebut dapat memengaruhi proses penggalian data. Peneliti juga dapat melakukan studi mendalam tentang gambaran perasaan dendam atau gambaran keinginan fight back dari penyintas perundungan yang tidak dapat dibahas dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, P. N., & Taman, A. (2012). Pengaruh kemandirian belajar dan lingkungan belajar siswa terhadap prestasi belajar akuntansi siswa kelas xi ips sma negeri 1 sewon bantul tahun ajaran 2010/2011. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, 10(1), 48– 65. https://doi.org/10.21831/jpai.v10i1.921
Akasyah, W. (2018). Determinan Ketahanan Psikologis Remaja Korban Bullying dengan Pendekatan Model Adaptasi Stres Stuart. Tesis. Program Studi Magister Keperawatan Universitas Airlangga. Surabaya
Akbar, G. (2013). Mental Imagery Mengenai Lingkungan Sosial yang Baru pada Korban Bullying. EJournal Psikologi, 1(1), 23–37.
American Psychological Association Dictionary. (n.d.). https://dictionary.apa.org/psychology
Borualogo, I. S., Wahyudi, H., & Kusdiyati, S. (2020). Prediktor perundungan siswa sekolah dasar. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 8(1), 26–42.
https://doi.org/10.22219/jipt.v8i1.9841
Cowie, H., & Jennifer, D. (2008). New Perspectives on Bullying. McGraw-Hill.
https://doi.org/10.1177/000494410905300308
Darmaja, I. M. S. . (2019). Pengalaman Perundungan
Mahasiswa. (Naskah tidak dipublikasikan). Program Studi Sarjana Psikologi Universitas Udayana. Bali.
Fath, A. M. (2015). Pengaruh motivasi, lingkungan, dan disiplin terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran ipa kelas v sdn 19 banda aceh. Visipena Journal, 6(1), 1–11.
https://doi.org/10.46244/visipena.v6i1.344
Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T. A. (2017). Teori
Kepribadian (8th ed.). Salemba Humanika.
Garner, I. W., & Boulton, M. J. (2016). Adolescent’s
unambiguous knowledge of overcoming bullying and developing resilience. Journal of Occupational Therapy, Schools, and Early Intervention, 9(2), 199– 207.
https://doi.org/10.1080/19411243.2016.1162761
Haniyah. (2019). Islamic law child bullying crimes (islamic perspektive). Annual Conference for Muslim Scholars, 817–827.
Harris, S., & Petrie, G. F. (2003). Bullying : the bullies, the victims, the bystanders. The Scarecrow Press, Inc. google.com
Hendriani, W. (2018). Resiliensi Psikologis: Sebuah Pengantar. Pranadamedia Group.
Hendriani, W. (2017). Adaptasi positif pada resiliensi akademik mahasiswa doktoral. Humanitas, 14(2), 139–149.
https://doi.org/10.26555/humanitas.v14i1.5696
Istanti, S. R., & Yuniardi, M. . (2018). Inferiority dan perilaku bullying dimediasi oleh dorongan agresi pada remaja sekolah menengah pertama. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 06(2), 207–212.
Juliadilla, R., & Hastuti H., S. C. (2019). Peran pet (hewan peliharaan) pada tingkat stres pegawai purnatugas. Jurnal Psikologi Integratif, 6(2), 153–175.
https://doi.org/10.14421/jpsi.v6i2.1488
K., R. D. A., & P., P. P. (2012). Resiliensi guru di sekolah terpencil. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan, 1(2), 1–6.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/110610017_Ring kasan.pdf
Kabadayi, F., & Sari, S. V. (2018). What is the role of resilience in predicting cyber bullying perpetrators and their victims? Journal of Psychologists and Counsellors in Schools, 28(1), 102–117.
https://doi.org/10.1017/jgc.2017.20
Kemenristekdikti. (2018). Statistik pendidikan tinggi tahun 2018. In Pusat Data dan Informasi Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
https://pddikti.ristekdikti.go.id/asset/data/publikasi/ Statistik Pendidikan Tinggi Indonesia 2018.pdf
Mardiastuti, A. (2019). 3 siswi sma pelaku bully di
klungkung bali ditetapkan jadi tersangka. Detik. https://news.detik.com/berita/d-4613019/3-siswi-sma-pelaku-bully-di-klungkung-bali-ditetapkan-jadi-tersangka
Mintasrihardi, Kharis, A., & Aini, N. (2019). Dampak
bullying terhadap perilaku remaja (studi pada smkn 5 mataram). Jurnal Ilmu Administrasi Publik, 7(1), 44–55. https://doi.org/10.31764/jiap.v7i1.775
Muthmainah, A. (2017). Semakin banyak yang melaporkan kasus “bullying.” CNN Indonesia.
Novianto, R. D. (2018). Catatan kpai bidang pendidikan: kasus bullying paling banyak. Sindo News. https://nasional.sindonews.com/berita/1324346/15/ catatan-kpai-bidang-pendidikan-kasus-bullying-paling-banyak
Nugrahaeni, H. S. (2016). Hubungan Antara Pet Attachment Dengan Kualitas Hidup Pada Pemilik Hewan Peliharaan. Universitas Negeri Semarang.
Nurita, D. (2018). Hari anak nasional, kpai catat kasus bullying paling banyak. Tempo.
https://nasional.tempo.co/read/1109584/hari-anak-nasional-kpai-catat-kasus-bullying-paling-banyak
Orpinas, P., & Horne, A. M. (2006). Bullying Prevention: Creating a Positive School Climate and Developing Social Competence. American Psychological Association.
Ortega, R., Elipe, P., Mora-Merchán, J. A., Genta, M. L., Brighi, A., Guarini, A., Smith, P. K., Thompson, F., & Tippett, N. (2012). The emotional impact of bullying and cyberbullying on victims: a european cross-national study. Aggressive Behavior, 38(5), 342–356. https://doi.org/10.1002/ab.21440
Putri, A. S., & Uyun, Q. (2017). Hubungan tawakal dan resiliensi pada santri remaja penghafal al quran di yogyakarta. Jurnal Psikologi Islam, 4(1), 77–87.
Randall, P. (2001). Bullying in Adulthood. In Bullying in Adulthood. Brunner-Routledge.
https://doi.org/10.4324/9780203469224
Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 keys to finding your inner strength and overcoming life’ hurdles. Broadway Books.
Salmivalli, C. (2010). Bullying and the peer group: A review. Aggression and Violent Behavior, 15(2), 112–120. https://doi.org/10.1016/j.avb.2009.08.007
Santrock, J. W. (2007). Remaja (2nd ed.). Erlangga.
Sapouna, M., & Wolke, D. (2013). Resilience to bullying victimization: The role of individual, family and peer characteristics. Child Abuse and Neglect, 37(11), 997–1006.
https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2013.05.009
Sarwono, S. W. (2014). Pengantar Psikologi Umum (E. A. Meinarno (Ed.)). Rajawali Pers.
Simbolon, M. (2012). Perilaku Bullying pada Mahasiswa Berasrama. Jurnal Psikologi, 39(2), 233–243.
https://doi.org/10.4135/9781483328539.n43
Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basic of qualitative research: grounded theory procedures and techniques. SAGE Publication.
Tobias, S., & Chapanar, T. (2016). Predicting resilience after cyberbully victimization among high school students. Journal of Psychological and Educational Research, 24(1), 7–25.
UNICEF. (2020). Situasi anak di indonesia - tren, peluang, dan tantangan dalam memenuhi hak-hak anak. In Unicef.
VanBreda, A. D. (2001). Resilience Theory: A Literature Review (p. 333). South African Miitary Health Service, Military Psychological Institute, Social Work Research & Development.
Ward, C. (2001). The A, B, Cs of Acculturation. In Handbook of Culture and Psychology (pp. 411–446). Oxford University Press.
Yuliandari, R. P. (2017). Analisis Strategi Coping oleh Remaja Korban Perundungan (Bullying). Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Yuliani, S., Widianti, E., & Sari, S. P. (2018). Resiliensi remaja dalam menghadapi perilaku bullying. Jurnal Keperawatan BSI, 6(1), 77–86.
8
Discussion and feedback