Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Kesehatan Mental dan Budaya 2, 37-48


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607

Peran religiositas dan kecerdasan emosional terhadap agresivitas remaja madya di SMA Negeri Denpasar

Made Satria Swantara dan Supriyadi

Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana paupasli@yahoo.com

Abstrak

Agresivitas adalah suatu kecenderungan untuk menyakiti maupun melukai orang lain baik secara fisik maupun nonfisik yang disengaja dan dapat menimbulkan dampak kerugian bagi orang lain. Perbedaan individu dalam berperilaku agresif dapat mengacu pada jenis kelamin, latar belakang sosial, maupun usia. Usia Remaja cenderung memiliki agresivitas tinggi karena transisi pembentukan kepribadian kanak-kanak ke remaja. Religiusitas dapat berperan dalam membentuk sikap individu di masyarakat. Pengelolaan emosi yang baik juga diperlukan untuk menghindari perilaku agresif. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui peran antara religiositas dan kecerdasan emosional terhadap agresivitas pada remaja madya di SMA Negeri Denpasar. Subjek dalam penelitian ini adalah 123 siswa SMA Negeri 8 Denpasar. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala agresivitas, skala religiositas dan skala kecerdasan emosional. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda. Hasil uji regresi berganda menunjukkan nilai koefisien regresi sebesar 0,651, nilai koefisien determinasi sebesar 0,424 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (P <0,05) dengan nilai koefisien B tidak terstandarisasi pada variabel religiositas -0,516 dan kecerdasan emosional sebesar -0,298. Hasil tersebut menunjukkan bahwa religiositas dan kecerdasan emosional secara bersama-sama berperan menurunkan agresivitas remaja madya di SMA Negeri Denpasar. Semakin tinggi religiositas dan semakin tinggi kecerdasan emosional siswa maka akan semakin rendah dorongan agresivitasnya.

Kata Kunci: Agresivitas, kecerdasan emosional, religiositas, remaja.

Abstract

Aggressiveness is a tendency to intentionally hurt other people, either physically or non-physically, which may cause harm to others. This aggressive behavior differ from each individual and can refer to their gender, social background, and age. Adolescents tend to have high aggressiveness due to the transition of childhood to adolescent personality formation. Religiosity may play a role in shaping and forming individual’s attitude in society. Good emotional management is also necessary to avoid aggressive behavior. This study used a quantitative method which aims to determine the role of religiosity and emotional intelligence in aggressiveness of middle adolescents in public high schools Denpasar. The subjects of this study were 123 students of SMA Negeri 8 Denpasar. The measuring instruments used in this study were the aggressiveness scale, religiosity scale and emotional intelligence scale. The data analysis technique used in this study is multiple regression. The results of multiple regression tests show a regression coefficient value of 0,651, a determination coefficient value of 0,424 and a significance value of 0,000 (P <0,05) with unstandardized B coefficients value of -0,516 for the religiosity variable and -0,298 for the emotional intelligence variable. The results of this study indicate that both religiosity and emotional intelligence simultaneously play a role in reducing the aggressiveness of middle adolescents in public high schools Denpasar. The higher the religiosity and emotional intelligence of the student, the lower their aggressiveness. The higher the religiosity and emotional intelligence of the student, the lower their aggressiveness

Keywords: Adolescent, aggressiveness, emotional intelligence, religiosity.

LATAR BELAKANG

Agresi merupakan tindakan yang cenderung negatif, seperti menyerang, mencaci maki, menyakiti, hingga merugikan orang lain. Menurut Geen (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) definisi paling sederhana mengenai agresi yang didukung oleh pendekatan behavioris atau belajar adalah setiap tindakan yang menyakiti atau melukai orang lain. Individu memiliki kecenderungan yang berbeda dalam berperilaku agresif. Perbedaan tersebut dapat mengacu pada jenis kelamin, latar belakang sosial, maupun usia. Menurut Loeber dan Hay (dalam Krahé, 2013) agresi dalam batas tertentu merupakan perilaku normatif usia pada masa anak-anak dan remaja. Agresi pada masa anak-anak dan remaja dianggap sebagai permasalahan umum, akan tetapi menjadi tidak lazim apabila muncul secara terus menerus. Remaja yang memiliki kecenderungan agresi yang terus berlanjut maupun baru muncul ketika masa remaja tidak terlepas dari transisi masa pembentukan kepribadian kanak-kanak ke remaja.

Hall (dalam Santrock, 2007) mengibaratkan masa remaja sebagai masa badai dan stres yang merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati akibat perubahan biologis individu. Artinya pikiran, perasaan, dan tindakan remaja berubah-ubah antara kesombongan dan kerendahan hati, niat yang baik dan godaan, serta kebahagiaan dan kesedihan, artinya terjadi ketegangan emosi yang tinggi pada masa remaja. Meningginya ketegangan emosi pada remaja terjadi karena individu berada dibawah tekanan sosial dan dihadapkan oleh kondisi baru yang dapat memicu terjadinya perilaku agresif. Pada masa ini, remaja juga lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebaya dilingkungan sekitar seperti sekolah dan lingkungan bermain. Stimulus-stimulus yang ada pada lingkungan dapat memengaruhi perilaku individu baik dalam perilaku positif dan perilaku negatif. Hal ini sejalan dengan penjelasan Martono (dalam Agung & Matulessy, 2012) bahwa lingkungan sekolah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya perilaku agresif.

Bentuk agresivitas di dalam lingkungan sekolah salah satunya adalah tawuran. Berita yang dilansir pada www.nusabali.com, dua kelompok pelajar SMA dari sekolah yang berbeda di Kota Denpasar nyaris tawuran di jalan raya pada Minggu (30/4/2017). Aksi tidak terpuji kelompok pelajar saat jelang Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ini diduga terkait rivalitas dua sekolah negeri yakni SMAN 4 dan SMAN 1 Denpasar yang sudah lama terjadi. Berdasarkan informasi yang dihimpun, keributan antara pelajar SMAN 4 dan SMAN 1 ini karena rivalitas yang sudah terjadi sejak lama (Reza, 2017).

Agresivitas juga dapat terjadi karena masalah percintaan antar remaja. Berita yang dimuat pada http://bali.tribunnews.com, menyatakan bahwa telah terjadi perkelahian antara dua pelajar SMA yang terjadi pada Circle-K di jalan Nusa Kambangan, Denpasar pada Kamis (6/4/2017) pukul 01.00 WITA yang diduga karena persoalan asmara dengan inisial DP (17) yang menganiaya WP (16). Sebelumnya keduanya terlibat perselisihan yang

berujung pada penganiayaan DP terhadap WP dengan menggunakan bambu (Putra, 2017). Kasus lainnya dilansir dalam www.bali.tribunnews.com telah terjadi penganiayaan oleh tiga remaja perempuan di Sukawati pada Kamis (27/6/2019). Ketiga pelaku yaitu AG (17), DSK (16), dan VNA (17) ditahan karena melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap perempuan berumur 16 tahun. Motif pelaku diduga karena cemburu (Gunarta, 2019).

Kasus lainnya yang melibatkan remaja terjadi di Jalan M Yamin Denpasar pada Sabtu (6/10/2018) pukul 21.00 WITA. Berita yang dimuat pada https://www.nusabali.com, menyatakan bahwa telah terjadi penganiayaan yang dilakukan FY (17) terhadap MYD (17). MYD (17) dihajar hingga babak belur karena menolak memberikan uang rokok kepada FY (17) yang merupakan teman satu sekolahnya (Nv, 2018).

Kasus agresi pada remaja juga terjadi pada kelompok remaja. Berita yang dimuat pada https://bali.tribunnews.com, menyatakan bahwa enam pemuda melakukan penusukan terhadap dua orang di Jalan Pulau Buton, Denpasar pada Jumat (13/6/2017) pukul 02.00 WITA. Enam remaja ini adalah GWS (16), AS (16), KPF (15), PES (16), HW (17) dan S (16). Enam remaja tersebut memiliki latar belakang masalah keluarga. Penusukan dilakukan karena tersinggung oleh sikap Boby Ola Ore (25) dan Hendrik Hoke Radja (26). Enam remaja tersebut memiliki masalah keluarga yang akhirnya melakukan tindakan penganiayaan tersebut (Ismayana, 2017).

Dari beberapa contoh kasus yang sudah dipaparkan, dapat dilihat bahwa perilaku agresif dalam berbagai bentuk masih banyak ditemui dalam lingkungan masyarakat khususnya remaja dalam rentang usia 15-18 tahun. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari tahun 2011 sampai 2016 kasus anak berhadapan dengan hukum di Bali merupakan kasus tertinggi dengan total 182 kasus dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya yang melibatkan anak (KPAI, 2016). Korban dan pelaku kekerasan remaja menurut Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Kota Denpasar meningkat dari tahun 2016 ke tahun 2017. Pada tahun 2016 tercatat bahwa pelaku kekerasan berjumlah 36 orang dan korban berjumlah 47 orang kemudian meningkat menjadi 39 orang pelaku kekerasan dan korban berjumlah 53 orang pada tahun 2017 (Arjani & Wiasti, 2018). Data dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar mencatat jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum di Denpasar. Pada Tahun 2011 terdapat 18 anak, tahun 2012 jumlah anak sempat menurun menjadi 12 anak, namun mengalami peningkatan pada tahun 2013 dengan 20 anak, tahun 2014 dengan 24 anak, tahun 2015 dengan 30 anak, tahun 2016 dengan 42 anak, dan menurun pada tahun 2017 dengan jumlah 39 anak (Gawi, 2018). Menurut Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali, tercatat total 253 anak di Bali berurusan dengan hukum dengan 137 atau 54% anak

dinyatakan sebagai korban sepanjang tahun 2017 (Gamar, 2017). Walaupun tingkat agresivitas sempat naik dari tahun 2012 hingga tahun 2016 di Denpasar dan menurun di tahun 2017, namun di Bali secara keseluruhan tingkat anak yang berhadapan dengan hukum cukup tinggi. Tingginya agresivitas pada remaja dapat dilihat dari peranan dari dalam diri maupun lingkungan.

Willis (2017) menyatakan bahwa munculnya perilaku agresif pada remaja salah satunya dipengaruhi oleh kurangnya keyakinan, kesadaran, dan pelaksanaan agama individu. Periode remaja disebut sebagai periode konflik dan keraguan religius yaitu remaja memunculkan pemikiran yang skeptis pada agamanya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh W. Starbuck (dalam Jalaluddin, 2016) dengan sampel remaja usia 11 sampai 26 tahun. Dalam penelitian tersebut, 53% dari 142 sampel mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang diterima oleh individu, cara penerapan, keadaan lembaga keagamaan, dan para pemuka agama. Keraguan ini dapat membuat para remaja memunculkan konflik batin dan menjadi kurang taat pada agama. Dalam kondisi seperti ini, individu terjebak dalam perilaku negatif dan merusak, seperti kasus narkoba, kekerasan, maupun tindak kriminal lainnya sebagai bentuk kegagalan remaja dalam menyelesaikan keraguan religius yang dimiliki.

Religiositas merupakan sikap batin individu kepada Tuhan yang mencakup totalitas ke dalam pribadi manusia (Dister, 1982). Sebagai sikap batin individu, religiositas tidak dapat dilihat secara langsung namun dapat dilihat dari pengungkapan perilaku individu sehari-hari. Kualitas dari tingkatan religiositas individu ditentukan oleh masing-masing individu itu sendiri. Religiositas dianggap sebagai acuan dalam membentuk moralitas masyarakat (Jalaluddin, 2016). Dengan kata lain, religiositas dapat membentuk perilaku yang baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga dapat mengurangi kecenderungan individu untuk berperilaku negatif.

Penelitian yang mendukung religiositas berperan dalam menurunkan agresivitas dilakukan oleh Sovinia dan Fauziah (2014) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara religiositas dengan agresivitas. Penelitian lainnya dilakukan oleh Ghofur dan Argiati (2012) yang menunjukkan terdapat hubungan yang negatif antara religiositas dengan agresivitas remaja madrasah yang berarti semakin tinggi religiositas maka semakin rendah agresivitas, dan sebaliknya.

Selain religiositas, kecerdasan emosional juga dapat berperan dalam perilaku agresif pada remaja. Istilah kecerdasan emosional dapat dijelaskan melalui kecerdasan dan emosi. Kecerdasan merupakan kemampuan atau serangkaian kemampuan mental yang mendasari pengenalan, pembelajaran, memori, dan kapasitas untuk menyusun suatu informasi tertentu dan emosi diartikan sebagai suatu keadaan perasaan terintegrasi yang melibatkan perubahan fisiologis, kesiapan motorik, kognisi tentang tindakan, dan pengalaman dari penilaian diri dan situasi (Mayer, Roberts, & Barsade, 2008). Kecerdasan

emosional sendiri meliputi kemampuan individu untuk mengendalikan diri, memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, mampu mengendalikan impuls, motivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan juga mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain (Goleman, 2017).

Individu dengan kemampuan yang baik dalam mengatur emosi, dapat membedakan emosi positif dan emosi negatif dengan lebih baik. Hurlock (1997) mengatakan bahwa ciriciri remaja dengan kematangan emosi yang baik mampu memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati yang lain, dengan kata lain tidak menunjukkan kemarahan yang meledak-ledak dan juga menilai suatu situasi secara kritis sebelum bertindak.

Goleman (2017) menjelaskan bahwa sangat penting untuk mengatur atau mengelola emosi, karena jika menyangkut hal pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan atau emosi sama pentingnya dengan kecerdasan individu. Individu yang mampu mengontrol emosi diri dan melihat emosi dari orang lain akan terhindar dari berbagai tekanan dan mampu menghindari atau mendapat jalan keluar dari berbagai masalah yang ada, sehingga sikap agresi tidak akan muncul.

Penelitian yang mendukung kecerdasan emosional berperan terhadap agresivitas dilakukan Mafiroh (2015) yang menunjukkan adanya hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresif yang berarti semakin tinggi kecerdasan emosional individu, maka perilaku agresif akan semakin rendah dan sebaliknya. Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Castillo-Gualda, Cabello, Herrero, Rodríguez-Carvajal dan Fernández-Berrocal (2017) menyatakan bahwa intervensi dalam bentuk pelatihan kecerdasan emosional dapat menurunkan tingkat agresivitas khususnya pada remaja awal dan madya.

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan mengenai agresivitas pada remaja madya, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran religiositas dan kecerdasan emosional terhadap agresivitas secara mandiri dan bersama-sama pada remaja madya di SMA Negeri Denpasar.

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan dua variabel bebas, yaitu religiositas dan kecerdasan emosional, dan variabel terikat pada penelitian ini adalah agresivitas. Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Agresivitas

Agresivitas adalah tingkah laku yang bertujuan melukai atau menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental yang berbentuk agresi fisik langsung, agresi fisik pasif langsung, agresi fisik aktif tidak langsung, agresif fisik pasif tidak langsung, agresif verbal aktif langsung, agresif

verbal pasif langsung, agresi verbal aktif tidak langsung, dan agresi verbal pasif tidak langsung.

Religiositas

Religiositas adalah keyakinan, nilai, pengetahuan, perilaku atau pengamalan, praktik, dan pengalaman yang berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling bermakna dan bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam diri seseorang.

Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk merasakan dan memahami secara lebih efektif terhadap kepekaan emosi yang mencakup mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain yang dapat digunakan untuk membimbing pikiran untuk mengambil keputusan yang terbaik.

Responden

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja madya yang aktif sebagai siswa SMA Negeri di Denpasar berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik multi-stage cluster sampling. Multi-stage cluster sampling adalah salah satu cara yang dapat dilakukan dalam teknik cluster sampling (Clark-Carter, 2019).

Jumlah sampel minimum dalam penelitian ini mengacu pada rumus sesuai dengan prediktor atau variabel bebas, yaitu 104 + Σk (Field, 2009). Jumlah sampel minimum dalam penelitian ini berjumlah 106 responden. Responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah 123 siswa.

Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 April 2019 pukul 11.00 WITA di SMA Negeri 8 Denpasar.

Alat Ukur

Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan tiga skala, yaitu skala agresivitas, skala religiositas, dan skala kecerdasan emosional. Skala agresivitas disusun berdasarkan teori Buss (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009). Skala religiositas disusun berdasarkan teori Glock dan Stark (dalam Jalaluddin, 2016). Skala kecerdasan emosional disusun berdasarkan teori Goleman (2017).

Jenis skala yang digunakan pada penelitian ini adalah skala Likert dengan bentuk pernyataan yang mendukung konsep variabel (favorable) dan yang tidak mendukung konsep variabel (unfavorable) dan memiliki empat pilihan jawaban, yaitu (STS) Sangat Tidak Sesuai, (TS) Tidak Sesuai, (S) Sesuai, (SS) Sangat Sesuai.

Penelitian ini menggunakan uji validitas dengan tujuan untuk mengukur sejauh mana alat ukur penelitian sesuai dengan yang diharapkan oleh peneliti (Clark-Carter, 2019). Uji validitas dilakukan dengan dua jenis, yaitu validitas isi dan validitas konstruk. Validitas isi dilakukan dengan professional judgement sebelum try out dan validitas

konstruk dilakukan dengan teknik korelasi Product Moment Pearson dengan melihat koefisien korelasi item total (rix) sebesar 0,25 (Azwar, 2016). Uji Reliabilitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsistensi atau sejauh mana suatu alat tes akan menghasilkan hasil yang sama dari satu kesempatan ke kesempatan yang lainnya (Clark-Carter, 2019). Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik Cronbach’s Alpha, di mana semakin koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 maka pengukuran semakin reliabel (Azwar, 2016).

Try out alat ukur dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2019 dengan subjek siswa SMA Negeri 2 Denpasar. Jumlah subjek try out alat ukur pada penelitian ini sebanyak 88 siswa.

Hasil uji validitas skala agresivitas menunjukkan nilai koefisien korelasi item total dengan rentang 0,259 hingga 0,567. Hasil uji reliabilitas skala agresivitas menunjukkan koefisien Alpha yang mampu merepresentasikan 87,5% skor murni subjek, sehingga dapat disimpulkan bahwa skala agresivitas layak digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur atribut agresivitas.

Hasil uji validitas skala religiositas menunjukkan nilai koefisien korelasi item total dengan rentang 0,268 hingga 0,747. Hasil uji reliabilitas skala religiositas menunjukkan koefisien Alpha yang mampu merepresentasikan 94,2% skor murni subjek, sehingga dapat disimpulkan bahwa skala religiositas layak digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur atribut religiositas.

Hasil uji validitas skala kecerdasan emosional menunjukkan nilai koefisien korelasi item total dengan rentang 0,266 hingga 0,596. Hasil uji reliabilitas skala kecerdasan emosional menunjukkan koefisien Alpha yang mampu merepresentasikan 86,6% skor murni subjek, sehingga dapat disimpulkan bahwa skala kecerdasan emosional layak digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur atribut kecerdasan emosional.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua uji, yaitu uji asumsi dan hipotesis. Uji asumsi yang dilakukan, yaitu uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov test, uji linieritas dengan compare mean dan uji multikolinieritas. Setelah data penelitian melewati syarat uji asumsi yaitu data normal, linier dan tidak terjadi multikolinieritas antara variabel bebas, maka uji hipotesis dapat dilakukan. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis regresi berganda untuk menguji hipotesis penelitian. Analisis data menggunakan program SPSS 22.0 for Windows.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 123 siswa di SMA Negeri 8 Denpasar. Jenis kelamin subjek yang mengikuti penelitian ini setara antara laki-laki dan perempuan dengan persentase laki-laki 46,3% dan persentase perempuan 53,7%. Mayoritas subjek pada penelitian ini berusia 16 tahun dengan jumlah 75 siswa.

Deskripsi Data Penelitian

Hasil deskripsi data penelitian variabel agresivitas, religiositas dan kecerdasan emosional dapat dilihat dalam tabel 1 (terlampir).

Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan bahwa agresivitas memiliki nilai rata-rata teoretis sebesar 87,5 dan nilai rata-rata empiris sebesar 63,38. Perbedaan antara mean empiris dan mean teoretis pada variabel agresivitas sebesar 24,12 dengan nilai t sebesar -25,178 (p=0,000). Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoretis. Nilai mean empiris yang diperoleh dari data penelitian menunjukkan nilai yang lebih kecil dari nilai mean teoretis (mean empiris < mean teoretis) mengindikasikan subjek memiliki taraf agresivitas yang rendah dibandingkan dengan populasi. Hasil dari kategorisasi variabel agresivitas dapat dilihat pada tabel 2 (terlampir) yang menunjukkan bahwa remaja madya di SMA Negeri Denpasar memiliki tingkat agresivitas yang rendah yaitu sebanyak 68 siswa atau 55,3%.

Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan bahwa religiositas memiliki nilai rata-rata teoretis sebesar 102,5 dan nilai rata-rata empiris sebesar 131,48. Perbedaan antara mean empiris dan mean teoretis pada variabel agresivitas sebesar 28,98 dengan nilai t sebesar -30,043 (p=0,000). Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoretis. Nilai mean empiris yang diperoleh dari data penelitian menunjukkan nilai yang lebih kecil dari nilai mean teoretis (mean empiris > mean teoretis) mengindikasikan subjek memiliki taraf religiositas yang tinggi dibandingkan dengan populasi. Hasil dari kategorisasi variabel religiositas dapat dilihat pada tabel 3 (terlampir) yang menunjukkan bahwa remaja madya di SMA Negeri Denpasar memiliki tingkat religiositas yang sangat tinggi yaitu sebanyak 116 siswa atau 94,3%.

Hasil deskripsi statistik pada tabel 1 menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki nilai rata-rata teoretis sebesar 70 dan nilai rata-rata empiris sebesar 84,34. Perbedaan antara mean empiris dan mean teoretis pada variabel agresivitas sebesar 14,34 dengan nilai t sebesar 22,708 (p=0,000). Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoretis. Nilai mean empiris yang diperoleh dari data penelitian menunjukkan nilai yang lebih kecil dari nilai mean teoretis (mean empiris > mean teoretis) mengindikasikan subjek memiliki taraf kecerdasan emosional yang tinggi dibandingkan populasi. Hasil dari kategorisasi variabel kecerdasan emosional dapat dilihat pada tabel 4 (terlampir) yang menunjukkan bahwa remaja madya di SMA Negeri Denpasar memiliki tingkat kecerdasan emosional yang sedang yaitu sebanyak 92 siswa atau 74,8%.

Uji Asumsi

Uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov test. Apabila hasil dari Kolmogorov-Smirnov test lebih besar daripada 0,05, maka data berdistribusi secara normal (Field, 2009). Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 5 (terlampir) dengan nilai Kolmogorov-Smirnov agresivitas 0,061 dengan signifikansi 0,200 (p>0,05), nilai Kolmogorov-Smirnov religiositas 0,063 dengan

signifikansi 0,200 (p>0,05), dan nilai Kolmogorov-Smirnov kecerdasan emosional 0,072 dengan signifikansi 0,188 (p>0,05). Hasil uji normalitas menunjukkan ketiga variabel memiliki distribusi data yang normal.

Uji linieritas menggunakan compare mean. Hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat dapat dikatakan linier apabila nilai signifikansi dari Deviation from Linearity menunjukkan nilai lebih dari 0,05 (Priyanto, 2018). Hasil uji linieritas dapat dilihat pada tabel 6 (terlampir) yang menunjukkan terdapat hubungan yang linier antara variabel agresivitas dengan variabel religiositas yang diindikasikan dengan nilai signifikansi linearity sebesar 0,000 (p<0,05) dan signifkansi deviation from linearity 0,494 (p>0,05). Hubungan antara variabel agresivitas dengan kecerdasan emosional dapat dikatakan linier karena memiliki nilai signifikasi linearity sebesar 0,000 (p<0,05) dan signifkansi deviation from linearity 0,302 (p>0,05).

Multikolinieritas pada variabel bebas dapat dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) ≤ 10 dan nilai Tolerance ≥ 0,1, maka dinyatakan tidak terjadi multikolinieritas (Field, 2009). Berdasarkan hasil uji multikolinieritas pada tabel 7 (terlampir), variabel religiositas dan kecerdasan emosional memiliki nilai Tolerance 0,684 (Tolerance>0,1) dan nilai Variance Inflation Factor (VIF) sebesar 1,462 (VIF<10), sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat multikolinieritas antar variabel bebas.

Uji Hipotesis

Uji regresi berganda merupakan perpanjangan regresi sederhana di mana suatu variabel terikat diprediksi oleh kombinasi linier dari dua atau lebih oleh variabel bebas (Field, 2009). Pengambilan keputusan dalam pengujian regresi berganda didasarkan pada nilai signifikansi, jika p<0,05 maka variabel bebas berperan secara signifikan terhadap variabel terikat. Berdasarkan hasil uji regresi berganda pada tabel 8 (terlampir) dapat diketahui bahwa F hitung memiliki nilai sebesar 44,105 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan variabel bebas berupa religiositas dan kecerdasan emosional secara bersama-sama berperan terhadap agresivitas pada remaja madya di SMA Negeri Denpasar.

Hasil uji regresi berganda juga dapat digunakan untuk melihat besaran peranan atau koefisien determinasi dari variabel religiositas dan kecerdasan emosional terhadap agresivitas. Pada tabel 9 (terlampir) dapat dilihat nilai R sebesar 0,651 dengan nilai koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,424. Hal ini menunjukkan religiositas dan kecerdasan emosional memiliki peran sebesar 42,4% terhadap agresivitas.

Uji regresi berganda pada penelitian ini juga digunakan untuk melihat hasil persamaan regresi dan hasil uji hipotesis minor terkait analisis peran religiositas dan kecerdasan emosional terhadap agresivitas secara terpisah. Secara matematis persamaan regresi berganda dapat dituliskan sebagai berikut:

Y=a+b1x1+b2x2

Keterangan:

Y = Agresivitas.

b1 = Nilai B Religiositas.

x1 = Religiositas. a = Konstanta.

b2 = Nilai B Kecerdasan Emosional.

  • x2 = Kecerdasan Emosional.

Pada tabel 10 (terlampir) menunjukkan variabel religiositas memiliki nilai B pada Unstandardized Coefficients sebesar -0,516 dan memiliki taraf signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan religiositas berperan dalam menurutkan tingkat agresivitas. Artinya semakin tinggi religiositas maka agresivitas akan semakin rendah. Variabel kecerdasan emosional memiliki nilai B pada Unstandardized Coefficients sebesar -0,298 dan taraf signifikansi sebesar 0,021  (P<0,05) sehingga dapat

disimpulkan kecerdasan emosional berperan dalam menurunkan tingkat agresivitas. Artinya semakin tinggi kecerdasan emosional maka agresivitas akan semakin rendah. Rumus persamaan regresi berganda yang diperoleh dari hasil uji regresi berganda dapat dijabarkan dengan persamaan matematis berikut:

Agresivitas =  156,395  -  0,516 Religiositas -  0,298

Kecerdasan Emosional

Persamaan regresi di atas memiliki arti sebagai berikut:

  • a.    Konstanta sebesar 156,395 menyatakan bahwa jika tidak ada penambahan atau peningkatan pada variabel bebas (religiositas dan kecerdasan emosional), maka taraf agresivitas yang dimiliki sebesar 156,395.

  • b.  Koefisien regresi religiositas sebesar -0,516

mengindikasikan bahwa setiap penambahan satuan nilai pada variabel religiositas, maka akan menurunkan taraf agresivitas sebesar 0,516

  • c.  Koefisien regresi kecerdasan emosional sebesar

  • -0,298 mengindikasikan bahwa setiap penambahan satuan nilai pada variabel kecerdasan emosional, maka akan menurunkan taraf agresivitas sebesar 0,298.

Analisis Lanjutan

Independent sample t test dalam penelitian ini digunakan untuk melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam tingkat religiositas, kecerdasan emosional serta agresivitas. Pengambilan keputusan dalam uji ini dibagi menjadi dua tahapan. Pertama dilihat dari hasil Levene's Test for Equality of Variance untuk melihat sebaran data yang bersifat homogen. Jika nilai Sig. kurang dari 0,05 maka pengambilan keputusan harus melihat baris pada tabel berlabel Equal variances not assumed. Jika nilai Sig. uji Levene lebih besar dari 0,05 maka data bersifat homogen dan pengambilan keputusan harus melihat baris pada tabel berlabel Equal variances assumed. Tahap kedua adalah melihat Sig. t-test for Equality of Means dan jika nilai signifikansinya kurang dari 0,05 maka rata-rata kedua kelompok berbeda secara signifikan (Field, 2009). Hasil perbedaan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada table 11 (terlampir). Hasil Independent Sample T-test dapat dilihat pada tabel 12 (terlampir).

Perbedaan agresivitas berdasarkan jenis kelamin

Pada tabel 12 menunjukkan nilai F pada Levene's Test agresivitas sebesar 0,031 dengan taraf signifikansi 0,860 (p>0,05). Nilai t pada Equal variances assumed agresivitas adalah 2,278 dengan signifikansi (2-tailed) 0,007 (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada agresivitas berdasarkan jenis kelamin, dengan tingkat agresivitas laki-laki lebih besar daripada perempuan dengan rata-rata agresivitas laki-laki sebesar 66,12 sedangkan perempuan sebesar 61,02.

Perbedaan religiositas berdasarkan jenis kelamin

Pada tabel 12 menunjukkan nilai F pada Levene's Test religiositas sebesar 0,460 dengan taraf signifikansi 0,499 (p>0,05). Nilai t pada Equal variances assumed religiositas adalah -1,535 dengan signifikansi (2-tailed) 0,127 (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada religiositas berdasarkan jenis kelamin.

Perbedaan kecerdasan emosional berdasarkan jenis kelamin

Pada tabel 12 menunjukkan nilai F pada Levene's Test kecerdasan emosional sebesar 0,088 dengan taraf signifikansi 0,767 (p>0,05). Nilai t pada Equal variances assumed kecerdasan emosional adalah -2,968 dengan signifikansi (2-tailed) 0,004 (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada kecerdasan emosional berdasarkan jenis kelamin, dengan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih besar daripada laki-laki dengan rata-rata kecerdasan emosional perempuan sebesar 86,03 sedangkan laki-laki sebesar 82,39.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda, dapat diketahui bahwa pada pengujian hipotesis adanya peran dari religiositas dan agresivitas terhadap agresivitas remaja madya di SMA Negeri Denpasar dapat diterima. Hal ini dapat diketahui dari hasil koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,424 dengan taraf signifikansi 0,000 (p<0,005). Hal ini menunjukkan variabel religiositas dan kecerdasan emosional secara bersama-sama memberikan sumbangan sebesar 42,4% terhadap agresivitas.

Variabel religiositas memiliki nilai B pada Unstandardized Coefficients sebesar -0,516 dan memiliki taraf signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan religiositas berperan dalam menurutkan tingkat agresivitas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurmardiyah (2018) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara religiositas dengan agresivitas pada remaja di SMK Muhammadiyah 1 Surakarta.

Jalaluddin (2016) menjelaskan bahwa religiositas berhubungan dengan tingkah laku keagamaan yang bersumber dari keyakinan beragama. Keyakinan dalam beragama tersebut turut memengaruhi perkembangan pada masa remaja dalam aspek perilaku. Apabila perkembangan religiositas kearah yang negatif, maka akan timbul perilaku yang menyimpang dan kegagalan untuk memenuhi

kebutuhan baik bersifat fisik maupun psikis, dan remaja yang memiliki tingkat religiositas yang tinggi akan menunjukkan perilaku ke arah hidup yang religius. Huesmann, Dubow dan Boxer (2011) menjelaskan bahwa religiositas, khususnya partisipasi dalam kegiatan keagamaan, memiliki manfaat dalam mengurangi tingkat agresivitas selain memengaruhi kepercayaan normatif tentang agresivitas. Partisipasi dalam kegiatan keagamaan memperkuat komitmen dan bantuan moral dalam internalisasi nilai-nilai yang dimiliki individu. Nilai-nilai yang didapatkan melalui kegiatan keagamaan adalah refleksi dari norma-norma sosial untuk perilaku yang tepat.

Variabel kecerdasan emosional memiliki nilai B pada Unstandardized Coefficients sebesar -0,298 dan memiliki taraf signifikansi sebesar 0,021 (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan kecerdasan emosional juga berperan dalam menurutkan tingkat agresivitas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Swadnyana dan Tobing (2019) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan emosioal dengan agresivitas pada remaja madya di SMA Dwijendra Denpasar.

Menurut Goleman (2017) kecerdasan emosional berfungsi sebagai pengelola emosi pada individu baik untuk diri sendiri dan saat berhubungan dengan orang lain. Individu yang mampu mengelola emosinya, akan terhindar dari kecenderungan agresivitas. Remaja yang memiliki kemampuan kecerdasan emosional yang baik menunjukkan tingkat dukungan sosial yang lebih besar, interaksi yang lebih positif, hubungan sosial yang lebih sehat, serta penyesuaian dan kepuasan sosial yang baik (Brackett, Rivers, & Salovey, 2011). Menurut studi, remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah dinilai lebih agresif daripada yang lain dan cenderung terlibat dalam perilaku yang menyebabkan konflik daripada yang mendapat skor lebih tinggi dalam kecerdasan emosional (Mayer, J. D., Perkins, D. M., Caruso, D. R., & Salovey, P, 2001).

Hasil uji regresi berganda mendapatkan bahwa nilai B pada Unstandardized Coefficients variabel religiositas lebih tinggi dari variabel kecerdasan emosional yang berarti religiositas memiliki peran yang lebih besar dalam menurunkan tingkat agresivitas dibandingkan dengan kecerdasan emosional. Hal ini dikarenakan budaya atau kearifan lokal Bali yang melekat dengan agama. Orang Bali memiliki cara hidup dengan menghormati kehidupan berkelanjutan untuk generasi berikutnya yang didapatkan dari agama dan dilakukan secara turun menurun (Ardhana, 2016). Kebudayaan Bali yang melekat dengan agama mengenal hukum Karma. Setiap niat dan tindakan individu tidak lepas dari hukum Karma, artinya niat baik dan perbuatan baik berkontribusi pada Karma baik dan kebahagiaan masa depan, sementara niat buruk dan perbuatan buruk berkontribusi pada Karma buruk dan penderitaan di masa depan (Chadha, 2016). Hukum Karma secara tidak langsung dapat mengurangi kecenderungan individu berperilaku agresif, karena individu telah mengetahui konsekuensi dari setiap tindakannya.

Hasil kategorisasi variabel agresivitas pada subjek penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek memiliki taraf agresivitas yang rendah, yaitu sebanyak 68 dari total 123 subjek. Agresivitas yang rendah dapat dilihat dari peran budaya, khususnya dalam penelitian ini adalah budaya Bali. Budaya Bali mengenal konsep kehidupan Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab kebahagiaan. Konsep ini akan mengajarkan individu untuk berusaha menghindari konflik yang dapat terjadi tidak hanya saat ini tetapi juga pada masa yang akan datang (Ardhana, 2016).

Hasil kategorisasi variabel religiositas pada subjek penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek memiliki taraf religiositas yang sangat tinggi, yaitu sebanyak 116 dari total 123 subjek. Taraf religiositas tinggi dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor pendukung, seperti masyarakat Bali yang tidak lepas dari kegiatan keagamaan, baik dari agama Hindu maupun agama-agama lainnya. Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu memiliki tanggung jawab adat, seperti membuat persembahan sehari-hari dan terlibat dalam upacara keagamaan dan budaya (Putra, 2011). Sifat toleransi juga menjadi pertimbangan dalam tingginya religiositas dalam penelitian ini, karena dalam toleransi setiap individu memiliki kebebasan berpendapat atau mengekspresikan religiositasnya masing-masing.

Hasil kategorisasi variabel kecerdasan emosional pada subjek penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek memiliki taraf kecerdasan emosional sedang yaitu, sebanyak 92 dari total 123 subjek. Menurut Castillo-Gualda dkk. (2017) emosi sangat penting dalam interaksi sosial dalam bentuk apapun dan interaksi sosial lazim di sekolah di mana remaja menghabiskan sebagian waktunya. Sistem pembelajaran khususnya kurikulum 2013 yang diterapkan pada mayoritas sekolah belum secara spesifik mencantumkan pengajaran mengenai emosi atau khususnya kecerdasan emosional, hal ini menyebabkan tingkat kecerdasan emosional siswa masih dalam taraf sedang. Menurut Castillo-Gualda dkk. (2017) salah satu cara untuk mengembangkan taraf atau kemampuan kecerdasan emosional dan mengurangi tingkat agresi dapat dilakukan dengan intervensi berbasis sekolah yaitu dengan intervensi social and emotional learning (SEL).

Hasil dari analisis lanjutan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada agresivitas berdasarkan jenis kelamin. Menurut Krahé (2013) penelitian tentang perbedaan gender dalam agresivitas menunjukkan bahwa laki-laki secara fisik lebih agresif daripada perempuan. Laki-laki juga mendapat skor lebih tinggi daripada perempuan pada ukuran agresi verbal, meskipun perbedaannya lebih kecil dari pada agresi fisik. Namun, penelitian terbaru menjelaskan jenis agresivitas yang dilakukan oleh perempuan yaitu dalam bentuk agresi tidak langsung dan bersifat relasional.

Perbedaan jenis kelamin dalam religiositas tidak ditemukan dalam penelitian ini. Secara umum para peneliti telah menolak gagasan bahwa terdapat perbedaan jenis kelamin yang melekat antara laki-laki dan perempuan dalam hal beragama (Nelson, 2009). Hal tersebut dapat dikaitkan

dengan peran laki-laki dan perempuan pada budaya. Gender mengacu pada peran yang dibentuk secara sosial yang melibatkan norma dan harapan budaya yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Sistem budaya Bali yang bersifat patriarchy menyebabkan perempuan memiliki peran-peran tertentu. Hal ini sesuai dengan teori struktur sosial yang berpendapat bahwa kekuatan sosial seperti dominasi patriarkal memaksa perempuan untuk mengambil peran seperti lebih religius (Nelson, 2009).

Perbedaan jenis kelamin juga ditemukan pada kecerdasan emosional. Perbedaan tersebut dapat ditinjau dari pola asuh orangtua individu. Orangtua lebih sering berbicara mengenai emosi (kecuali emosi marah) dengan anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Dibandingkan dengan anak laki-laki, orangtua memberikan lebih banyak informasi tentang perasaan kepada anak perempuan karena anak perempuan lebih cepat menguasai bahasa daripada anak laki-laki, ini menyebabkan anak perempuan mampu mengekspresikan perasaan dan lebih terampil dalam menggunakan kata-kata untuk menyebut reaksi emosional dan mengganti kata-kata untuk reaksi fisik daripada anak laki-laki (Naghavi & Redzuan, 2011).

Berdasarkan hasil dari penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Religiositas dan kecerdasan emosional secara bersama-sama berperan terhadap tingkat agresivitas, religiositas dan kecerdasan emosional juga berperan secara mandiri dalam menurunkan tingkat agresivitas pada remaja madya di SMA Negeri Denpasar, mayoritas remaja madya di SMA Negeri Denpasar memiliki agresivitas yang rendah, religiositas yang sangat tinggi, serta kecerdasan emosional yang sedang, dan terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan jenis kelamin pada agresivitas dan kecerdasan emosional, namun tidak ada perbedaan yang signifikan berdasarkan jenis kelamin pada religiositas.

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka saran yang dapat diberikan pada remaja adalah mempertahankan dan meningkatkan religiositas dan kecerdasan emosional sehingga kecenderungan agresivitas tidak terjadi dengan cara memperbanyak pengetahuan beragama dengan membaca kitab suci sebagai acuan dalam beragama, menjalankan praktik-praktik keagamaan seperti rajin beribadah dan pengamalannya dimasyarakat dengan cara tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Peningkatan kecerdasan emosional dapat dilakukan dengan cara berusaha memahami emosi diri dan orang lain dengan memahami hal-hal yang dirasakan dan mengetahui penyebab munculnya perasaan, mampu mengendalikan emosi dengan mengetahui tindakan yang harus dilakukan pada situasi tertentu seperti belajar mengekspresikan emosi sesuai dengan konteks, membina hubungan dengan masyarakat, seperti bekerjasama, serta dapat memotivasi diri untuk mencapai suatu tujuan.

Saran bagi orangtua adalah dapat mengajarkan anak mengenai pemahaman emosi dengan cara memberi contoh, seperti mengekspresikan emosi marah atau tidak suka dengan disertai alasan orangtua melakukan hal tersebut. Hal lain yang dapat dilakukan oleh orangtua yaitu tidak menghukum anak dengan kekerasan fisik atau verbal

melainkan dengan cara menasihati anak dan mengganti perlakuan orangtua menjadi hukuman yang positif.

Saran bagi institusi pendidikan adalah menyusun program Social Emotional Learning (SEL) yang melibatkan guru bimbingan konseling untuk mempertahankan religiositas dan khususnya meningkatkan kecerdasan emosional di sekolah sehingga dapat berperan dalam pencegahan munculnya agresivitas. Program tersebut dapat berupa intervensi secara sosial dan emosional yang dapat mempromosikan religiositas dan khususnya kompetensi kecerdasan emosional dilingkungan sekolah.

Saran bagi penelitian selanjutnya adalah dapat memilih subjek penelitian lebih merata sehingga data yang diperoleh dapat lebih variatif dan dapat digeneralisasi lebih luas. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti variabel bebas lain yang berbeda dari penelitian ini sehingga dapat ditemukan variabel lain yang dapat berperan dalam agresivitas, seperti pola asuh, konformitas, kontrol diri, dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, D. B., & Matulessy, A. (2012). Kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual dan agresivitas pada remaja. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, 1(2), 99104. Doi: 10.30996/persona.v1i2.34.

Ardhana, I. K. (2016, Agustus). Religious teachings on sustainability in the context of Hinduism in Bali. Paper presented at the Asian Conference: A Call to Dialogue on the Sustainability of Life in the Asian Context, Yogyakarta, JCAP (Jesuit Conference of Asia Pacific).

Arjani, N. L., & Wiasti, N. M. (2018). Profil statistik gender Kota Denpasar 2018 Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Kota Denpasar. Dikutip dari https://kb.denpasarkota.go.id/download. Diakses dan diunduh pada 5 Juni 2019.

Azwar, S. (2016). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Brackett, M. A., Rivers, S. E., & Salovey, P. (2011). Emotional intelligence:   Implications for personal, social,

academic, and workplace success. Social and Personality Psychology Compass, 5, 88–103. Doi:

10.1111/j.1751-9004.2010.00334.x.

Castillo-Gualda, R., Cabello, R., Herrero, M., Rodríguez-Carvajal, R., & Fernández-Berrocal, P. (2017). A three-year emotional intelligence intervention to reduce adolescent  aggression:  The mediating role  of

unpleasant  affectivity.  Journal of Research  on

Adolescence, 28(1), 186–198. Doi: 10.1111/jora.12325.

Chadha, N. (2016). Karma theory and positive psychology: An overview. Indian Journal Of Applied Research, 6(5), 170-172. Doi: 10.15373/2249555X

Clark-Carter, D. (2019). Quantitative psychological research: The complete students  companion.  New York:

Routledge.

Dayakisni, T., & Hudaniah. (2009). Psikologi sosial. Malang: MM Press.

Dister, N. S. (1982) Pengalaman dan motivasi beragama: Pengantar psikologi agama. Jakarta: Leppenas.

Field, A. (2009). Discovering statistics using SPSS. London: SAGE Publications.

Gamar, R. (2017). Sepanjang 2017, 253 anak di Bali berurusan dengan hukum. Diakses pada 5 Juni 2019, dari website: https://regional.kompas.com.

Gawi, M. S. (2018). Narkoba dan premanisme. Diakses pada 5 Juni 2019, dari website: https://balitribune.co.id.

Ghofur, A., & Argiati, S. H. (2012). Hubungan religiusitas terhadap agresivitas remaja di Madrasah Aliyah Assalaam Temanggung. Jurnal Spirits, 3(1),  43-51.

Doi: 10.30738/spirits.v3i1.1124.

Goleman, D. (2017). Emotional intelligence: Kecerdasan emosional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gunarta, I. W. E (2019). Kronologi penganiayaan tiga remaja putri di Sukawati hingga vidionya viral di medsos, korban trauma. Diakses pada 2 Juli 2019, dari website: https://bali.tribunnews.com.

Huesmann, L. R., Dubow, E. F., & Boxer, P. (2011). The effect of religious participation on aggression over one’s lifetime and across generations. Dalam Forgas, J. P., Kruglanski, A. W., & Williams, K. D. The Psychology of Social Conflict and Aggression. (hal. 301-322). New York: Psychology Press.

Hurlock, E. B. (1997). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ismayana, I. M. A. (2017). Meresahkan, 6 Remaja Keroyok dan Lakukan Penusukan di Jalan Pulau Buton Denpasar. Diakses pada 2 Juli 2018, dari website: https://bali.tribunnews.com.

Jalaluddin, H. (2016). Psikologi agama: Memahami perilaku dengan       mengaplikasikan       prinsip-prinsip

psikologi (edisi ke-18). Jakarta: Rajawali Pers.

KPAI. (2016). Data kasus perlindungan anak berdasarkan lokasi pengaduan dan pemantauan pedia se-Indonesia tahun 2011-2016. Diakses pada 19 Februari, dari website: http://bankdata.kpai.go.id/.

Krahé, B. (2013). The social psychology of aggression (2nd ed.). New York: Psychology Press.

Mafiroh, I. (2015). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresif remaja pada siswa kelas XI di SMA Negeri 1 Pleret tahun ajaran 2013/2014. (Skripsi).           Dikutip           dari:

http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/13349. Diakses dan diunduh pada 19 Februari 2018.

Mayer, J. D., Perkins, D. M., Caruso, D. R., & Salovey, P. (2001). Emotional intelligence and giftedness. Roeper Review,         23,          131–137.         Doi:

10.1080/02783190109554084.

Mayer, J. D., Roberts, R. D., & Barsade, S. G. (2008). Human abilities: Emotional intelligence. Annual Review of Psychology,       59(1),       507–536.       Doi:

10.1146/annurev.psych.59.103006.093646.

Naghavi, F., & Redzuan, M. (2011). The relationship between gender and emotional intelligence. World. Appl. Sci. J. 15,         555–561.         Dikutip         dari:

https://pdfs.semanticscholar.org/63c3/184d107e804db1 b7701a752f6f27d11b2c56.pdf. Diakses dan diunduh pada 18 Juli 2019.

Nelson, J. M. (2009). Psychology, religion, and spirituality. New York, NY: Springer.

Nurmardiyah, S. (2018). Hubungan antara religiusitas dengan agresivitas pada remaja di SMK Muhammadiyah 1 Surakarta. (Naskah Publikasi). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dikutip dari http://eprints.ums.ac.id/58918. Diakses dan diunduh pada 1 Juni 2019.

Nv. (2018). Gara-gara rokok, siswi dihajar rekannya. Diakses pada 2 Juli 2018, dari website: https://nusabali.com.

Priyatno, D. (2018). SPSS: Panduan mudah olah data bagi mahasiswa & umum.Yogyakarta: Penerbit Andi.

Putra, I. G. A. B. A. (2017). Diduka rebutan cewek, dua pelajar SMA adu jotos di CK Nusa Kambangan Denpasar.

Diakses pada 19 Februari 2018, dari website: https://bali.tribunnews.com.

Putra, I. N. D. (2011). A literary mirror: Balinese reflections on modernity and identity in the twentieth century. Leiden: KITLV Press.

Reza. (2017). Dua kelompok pelajar nyaris tawuran. Diakses pada 19 Februari 2018, dari website: https://www.nusabali.com.

Santrock, J. W. (2007). Remaja (edisi ke-11). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sovinia, L., & Fauziah, N. (2014). Hubungan antara religiusitas dengan agresivitas. Empati: Jurnal Karya Ilmiah S1 Undip, 3(4),         1-11.         Dikutip         dari

https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/article/vi ew/7627. Diakses dan diunduh pada 19 Februari 2018.

Swadnyana, I.,  & Tobing, D. (2019). Hubungan antara

kecerdasan emosional dan agresivitas pada remaja madya di SMA Dwijendra Denpasar. JURNAL PSIKOLOGI UDAYANA, 6(02), 1125-1134. Dikutip

dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/4 8668. Diakses dan diunduh pada 4 Juni 2019.

Taylor. S.E, Peplau, L.A & Sears, D.O. (2009). Psikologi sosial (edisi ke-12). Jakarta : Kencana.

Willis, S. S. (2017). Remaja dan masalahnya: Mengupas berbagai bentuk kenakalan remaja, narkoba, free sex dan pemecahannya. Bandung: Alfabeta.

LAMPIRAN

Tabel 1.

Deskripsi Data Penelitian

Variabel Penelitian

Mean Teoretis

Mean Empiris

Standar Deviasi Teoretis

Standar Deviasi Empiris

Sebaran Teoretis

Sebaran       t

Empiris      (sig)

Agresivitas

87,5

63,38

17,5

10,624

35-140

-25,178

38-95      (0,000)

Religiositas

102,5

131,48

20,5

10,698

41-164

30,043

102-159     (0,000)

Kecerdasan Emosional

70

84,34

14

7,004

28-112

22,708

67-98      (0,000)

Tabel 2.

Kategorisasi Agresivitas

Rentang Nilai

Kategori

Jumlah

Persentase

X ≤ 61,25

Sangat Rendah

48

39%

61,25 < X ≤ 78,75

Rendah

68

55,3%

78,75 < X ≤ 96,25

Sedang

7

5,7%

96,25 < X ≤ 113,75

Tinggi

0

0%

113,75 < X

Sangat tinggi

0

0%

Total

123

100%

Tabel 3.

Kategorisasi Religiositas

Rentang Nilai

Kategori

Jumlah

Persentase

X ≤ 71,75

Sangat Rendah

0

0%

71,75 < X ≤ 92,25

Rendah

0

0%

92,25 < X ≤ 112,75

Sedang

0

0%

112,75 < X ≤ 133,25

Tinggi

7

5,7%

133,25 < X

Sangat tinggi

116

94,3%

Total

123

100%

Tabel 4.

Kategorisasi Kecerdasan Emosional

Rentang Nilai

Kategori

Jumlah

Persentase

X ≤ 49

Sangat Rendah

0

0%

49 < X ≤ 63

Rendah

26

21,1%

63 < X ≤ 77

Sedang

92

74,8%

77 < X ≤ 91

Tinggi

5

4,1%

91 < X

Sangat tinggi

0

0%

Total

173

100%

Tabel 5.

Hasil Uji Normalitas

Variabel

Kolmogorv-Smirnov

Sig.

Kesimpulan

Agresivitas

0,061

0,200

Data Normal

Religiositas

0,063

0,200

Data Normal

Kecerdasan Emosional

0,072

0,188

Data Normal

Tabel 6.

Hasil Uji Linieritas

Variabel

Linearity

Deviation from Linearity

Kesimpulan

Agresivitas* Religiositas

0,000

0,494

Data Linier

Agresivitas* Kecerdasan Emosional

0,000

0,302

Data Linier

Tabel 7.

Hasil Uji Multikolinieritas

Variabel

Tolerance

VIF

Kesimpulan

Religiositas

0,684

1,462

Tidak terjadi multikolinieritas

Kecerdasan Emosional                0,684

1,462

Tidak terjadi multikolinieritas

Tabel 8.

Hasil Uji Regresi Berganda

Sum of Squares         df

Mean Square

F

Sig.

Regression

5833,382              2

2916,691

44,105

0,000

Residual

7935,658             120

66,130

Total

13769,041             122

Tabel 9.

Besaran Sumbangan Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

0,651

0,424

0,414

8,132

Tabel 10.

Hasil Uji Hipotesis Minor dan Persamaan Regresi Linier Berganda

Variabel

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t         Sig.

B

Sts. Error

Beta

(Constant)

156,395

10,163

15,388    0,000

Religiositas

-0,516

0,083

-0,520

-6,203     0,000

Kecerdasan Emosional           -0,298

0,127

-0,197

-2,347    0,021

Tabel 11.

Hasil Perbedaan antara Laki-laki dan Perempuan

Jenis Kelamin          N

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

Laki-laki               57

66,12

10,977

1,454

Agresivitas

Perempuan           66

61,02

9,785

1,204

Laki-laki               57

129,89

11,523

1,526

Religiositas

Perempuan           66

132,85

9,814

1,208

Kecerdasan

Laki-laki               57

82,39

7,297

0,966

Emosional

Perempuan           66

86,03

6,322

0,788

Tabel 12.

Hasil Independent Sample T-test

Levene's Test for Equality of Variance

t-test for Equality of Means

F

Sig.

t

df

Sig.

(2tailed)

Agresivitas

Equal variances assumed

0,031

0,860

2,278

121

0,007

Equal variances not assumed

2,705

113,270

0,008

Religiositas

Equal variances assumed

0,460

0,499

-1,535

121

0,127

Equal variances not assumed

-1,517

110,710

0,132

Kecerdasan Emosional

Equal variances assumed

Equal variances not assumed

0,088

0,767

-2,968

-2,937

121

111,701

0,004

0,004

48