Penerimaan ibu terhadap kondisi anak down syndrome
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Kesehatan Mental dan Budaya 2, 28-36
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607
Penerimaan ibu terhadap kondisi anak down syndrome
Kadek Pradnya Paramita dan I Gusti Ayu Putu Wulan Budisetyani
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana wulanbudisetyani@unud.ac.id
Abstrak
Down syndrome merupakan merupakan suatu kumpulan gejala dari abnormalitas kromosom, biasanya kromosom 21 yang tidak dapat memisahkan diri selama periode pembelahan sel (meiosis) sehingga anak akan mempunyai kromosom 21 yang berlebih atau sering disebut dengan trisomi 21. Penerimaan ibu penting karena berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak agar lebih maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana proses ibu menerima bahwa telah melahirkan anak down syndrome. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Responden dalam penelitian ini adalah seorang ibu yang memiliki anak down syndrome yang berjenis kelamin laki-laki dan merupakan anak laki-laki satu-satunya dikeluraga. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses menuju penerimaan yang dialami oleh ibu dengan anak down syndrome yaitu shock (terkejut), menyangkal (denial), anger (perasaan marah), bargaining (tawar-menawar), depresi, dan penerimaan diri (acceptance). Gambaran penerimaan ibu terhadap kondisi anak diantaranya mampu menerima anaknya secara utuh, membimbing anak menjadi lebih mandiri, dan mengarahkan anak pada potensi yang dimiliki. Faktor yang mendukung penerimaan ibu yaitu dukungan pasangan, kesadaran akan karma, religiusitas, merasa tidak berjuang sendirian, dan menyadari usia ibu merupakan salah satu faktor penyebab down syndrome.
Kata kunci : anak down syndrome, ibu, penerimaan.
Abstract
Down syndrome is a collection of symptoms of chromosomal abnormalities, usually chromosome 21 which cannot separate itself during the period of cell division (meiosis) so that the child will have excessive chromosome 21 or often called trisomy 21. Maternal self-acceptance is important because it affects growth and child development to be more maximal. This study aims to see how the process of accepting of mothers who give birth down syndrome children. This study uses qualitative methods with a case study approach. Respondents in this study were mothers who had down syndrome children who is a male sex and is the only male child in the family. Data retrieval is done by using interview and observation techniques. The results of this study indicate that the process towards acceptance is experienced by mothers with Down syndrome children, namely shock, denial, anger (feeling angry), bargaining, depression, and selfacceptance (acceptance). The description of acceptance includes being able to accept their children as a whole, guiding children to become more independent, and directing children to their potential. Factors that support acceptance, namely partner support, awareness of karma, religiosity, feeling not struggling alone, and realizing mother's age when pregnant is one of the factors causing Down syndrome.
Keywords: acceptance, down syndrome child, mother.
LATAR BELAKANG
Memiliki anak yang sehat baik secara fisik maupun mental, tumbuh dan berkembang dengan baik merupakan dambaan dari setiap orangtua. Besar harapan orangtua anaknya kelak tumbuh dan berkembang dengan baik, dan menjadi anak yang berguna. Tetapi di kehidupan nyata tidak semua pasangan dikaruniai anak yang sehat, karena tidak semua harapan orangtua dapat terwujud dan sering terjadi keadaan dimana anak yang lahir mengalami hambatan perkembangan sejak usia dini (Mawardah, Siswati, & Hidayati, 2012). Salah satu yang menjadi kekhawatiran dari para calon orangtua adalah jika memiliki anak yang tergolong dalam anak berkebutuhan khusus atau mengalami keterbelakangan mental (Lestari & Mariyati, 2015).
Menurut Santoso (dalam Rachmawati & Masykur, 2016) anak berkebutuhan khusus disebut juga dengan istilah anak cacat, anak berkelainan, anak tuna dan dalam pembelajarannya menjadi salah satu kelompok anak yang memiliki kebutuhan khusus. Jenis - jenis anak berkebutuhan khusus antara lain autisme, down syndrome, attention deficit hyperactivity disorder, speech delay, cerebral palsy, tunadaksa, tunagrahita dan masih banyak lagi jenisnya. Salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yaitu down syndrome yang dari waktu ke waktu tidak bisa ditekan populasinya dan dapat terus bertambah. Down syndrome merupakan suatu kumpulan gejala dari abnormalitas kromosom, biasanya kromosom 21 yang tidak dapat memisahkan diri selama periode pembelahan sel (meiosis) sehingga yang seharusnya individu memiliki 46 kromosom, tetapi terjadi individu dengan 47 kromosom yang inilah penyebab down syndrome. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. John Longdon Down, karena memiliki ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang mongoloid, maka sering juga dikenal dengan istilah mongolisme (https://jurnalpediatri.com).
Walaupun down syndrome merupakan kasus lama, tetapi populasinya tidak dapat ditekan dari waktu ke waktu. Jumlah penderita down syndrome terus bertambah dari tahun ke tahun dan tidak bisa ditekan populasinya. Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO), terdapat satu kejadian down syndrome per 1.000 kelahiran hingga satu kejadian per 1.100 kelahiran di seluruh dunia. Setiap tahunnya, sekitar 3.000 hingga 5.000 anak lahir dengan kondisi ini. WHO memperkirakan ada 8 juta penderita down syndrome di seluruh dunia. Di Indonesia, kecenderungan down syndrome pada anak berusia 24-59 bulan meningkat. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, pada 2010 prevalensi down syndrome sebesar 0,12 persen. Namun, nilai ini meningkat menjadi 0,13 persen pada 2013, dengan kata lain, terdapat 0,13 persen anak usia 24-59 bulan di Indonesia yang menderita down syndrome (Purnamasari ,2017). Down syndrome sendiri sejatinya tidak bisa dicegah, karena down syndrome merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan
jumlah kromosom. Jumlah kromosom 21 yang seharusnya hanya berjumlah dua menjadi tiga. Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah semakin tua ibu mengandung, maka semakin tinggi pula risiko untuk terjadinya down syndrome. Tetapi dapat dilakukan deteksi dini untuk mengetahui down syndrome dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil yaitu tes untuk mengetahui kelainan genetik pada bayi dengan memeriksa cairan ketuban atau cairan amnion. Di dalam cairan amnion terdapat sel fetal (kulit janin) yang dapat dilakukan analisis kromosom, analisis biokimia dan biologi, terutama pada usia kehamilan 14-16 minggu.
Mangunsong (dalam Wijayanti, 2015) menyatakan reaksi orangtua yang pertama kali muncul pada saat mengetahui bahwa anaknya mengalami kelainan adalah perasaan terkejut, kegoncangan batin, melakukan penyangkalan yaitu dengan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anaknya. Kesedihan yang dirasakan oleh orangtua khususnya ibu yang melahirkan, saat mendengar diagnosa bahwa anaknya mengalami kelainan, begitu pula dengan ayah, ayah juga merasakan kesedihan yang sama dengan ibu seperti merasa terkejut, sedih, tidak percaya dengan vonis yang diberikan oleh dokter, dan ayah merasa tidak tega dengan kondisi anak. Harapan semula akan berbalik ketika mendengar diagnosa bahwa anak mengalami kebutuhan khusus, berbagai masalah psikologis juga dialami oleh orangtua karena mengetahui keadaan anak tidak sesuai dengan harapannya.
Menurut Wenar dan Kerig (dalam Wijayanti, 2015), ibu memiliki frekuensi bersama anak yang lebih sering dibandingkan dengan ayah, hal ini disebabkan oleh ibu memiliki ikatan emosional yang kuat pada anak, sejak berada di dalam kandungan selama kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari janin berada di dalam rahim ibu. Oleh karena itu, ibu cenderung lebih sering mengalami stres dibandingkan ayah. Mulai dari fase awal kehamilan hingga melahirkan membuat kondisi fisik ibu menjadi menurun akibat kehamilan. Begitu juga dengan kondisi psikologisnya, umumnya emosi ibu hamil lebih labil dan juga mudah marah. Setelah itu, ibu akan mengalami proses melahirkan, dimana proses melahirkan ini akan menguras energi ibu untuk mengeluarkan anak dari rahimnya. Selain itu saat proses melahirkan juga mempunyai risiko yang besar, yaitu risiko kematian. Saat anak telah lahir akan membutuhkan perawatan dan perhatian lebih dari sang ibu, anak juga membutuhkan Air Susu Ibu (ASI). Interaksi anak dengan ibu lebih sering terjadi, ibu yang lebih banyak terlibat dalam tumbuh kembang anaknya. Ayah juga ikut mengasuh, merawat, dan membesarkan anak tetapi ayah akan lebih berfokus terhadap finansial untuk menunjang perawatan anak.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti kepada seorang ibu dengan anak down syndrome yang saat ini berusia 11 tahun mengatakan bahwa perasaan yang muncul saat pertama kali mengetahui anaknya mengalami down syndrome adalah terkejut, sedih, hancur, dan bertanya-tanya
pada dirinya sendiri mengapa Tuhan memberikan cobaan yang sangat berat. Ibu tersebut juga berpikir apa kesalahan yang pernah dilakukannya sehingga anaknya mengalami down syndrome. Selama beberapa bulan ibu tersebut terlarut dalam perasaan sedih, mengalami stres, dan tidak percaya bahwa anak yang dilahirkan mengalami down syndrome. Selain melakukan studi pendahuluan pada ibu dengan anak down syndrome, peneliti juga melakukan studi pendahuluan pada ayah dari anak down syndrome tersebut. Anak down syndrome di keluarga ini merupakan anak keempat dari pasangan ayah dan ibu, anak pertama, anak kedua, dan ketiga sehat secara fisik dan mental. Bahkan anak keempatnya ini adalah anak laki-laki satu-satunya yang sudah dinanti dan sangat diharapkan (Paramita, 2018).
Penerimaan penting karena anak down syndrome memerlukan lebih banyak perhatian dibandingkan dengan anak normal. Apabila didalam keluarga terdapat penerimaan, terutama pada ibu maka akan memermudah pengasuhan dan memengaruhi perkembangan anak down syndrome menjadi lebih baik. Menurut Prihadhi (2004) penerimaan adalah menerima semua kondisi yang ada pada individu, tanpa ada yang ditutup-tutupi, baik itu kekuatan maupun kelemahan, kekurangan ataupun kelebihan yang dimiliki, sesuatu yang mendorong maupun menghambat yang ada dalam diri, tidak meratapi segala kekurangan dan membanggakan segala kelebihan. Menurut Kubler Ross (2009), sebelum mencapai pada tahap penerimaan individu akan melalui beberapa tahapan yakni, tahap denial, anger, bargainning, depression, dan acceptance. Ibu yang tidak bisa menerima dirinya bahwa telah melahirkan anak berkebutuhan khusus cenderung akan merasa malu, putus asa, mengacuhkan anak, terus-menerus menyembunyikan kondisi anak, tidak memberikan anak pendidikan yang layak, bahkan tidak mau dan merasa tidak mampu mengurus anaknya sendiri sehingga menitipkan anaknya ke tempat rehabilitasi, hal ini akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu anak akan kesulitan untuk bersosialisasi dengan orang lain maupun lingkungannya, anak tidak bisa mengendalikan emosinya, anak merasa tidak diinginkan dan disayangi.
Budaya Patrilineal pada khususnya memengaruhi Hukum Adat Bali, budaya patrilineal merupakan suatu adat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah atau pihak laki-laki. Pandangan Hindu yang memuliakan perempuan sangat kontradiktif dengan tradisi dan hukum adat yang ada di Bali. Dimana dalam tradisi dan Hukum Adat Bali belum mencerminkan adanya kesetaraan gender. Keluarga-keluarga apalagi yang beragama Hindu adat Bali sebagian besar mengharapkan memiliki anak laki-laki, hal ini dikarenakan anak laki-laki akan dijadikan pewaris dan pelanjut garis silsilah atau garis keturunan. Dalam kehidupan sosial masyarakat laki-laki Bali memiliki kedudukan dan peranan yang di istimewakan. Hal ini dapat dilihat dalam mengambil keputusan penting di masyarakat hanya laki-laki yang berhak untuk memutuskan sedangkan perempuan hanya menerima hasil keputusan tersebut. Anak laki-laki juga akan menggantikan posisi ayah sebagai anggota komunitas (banjar)
jika para orangtua sudah tua, sangkep (rapat) di banjar biasanya menghadirkan para kepala keluarga yang berjenis kelamin laki-laki (Mantra, 2011).
Anak lelaki mendapat keistimewaan (privilege) dalam keluarga adat Bali khususnya dalam pewarisan karena kapasitas-kapasitas yang dijalani di dalam relasi keluarga dan sosialnya. Peran lelaki Bali dalam adat menjadi penting dalam kapasitasnya, seperti mengadakan sangkep (rapat) dalam kelompoknya, menentukan seorang pemimpin, pelaksana pemilu di banjar, membuat keputusan jadwal ritual dan adat keagamaan, mebat yaitu membuat ragam kuliner untuk pesta sebagai bagian ritual upacara, megambel (bermain musik), menyelenggarakan kremasi bagi keluarga yang meninggal dan ‘negen wadah’ yaitu memanggul jenasah keluarga dan warga pada saat kematian. Sesungguhnya, hampir semua peran ini dapat dilakukan perempuan, termasuk megambel untuk perlombaan antar banjar juga melibatkan peran perempuan, tetapi anak perempuan pada masyarakat bali dianggap sebagai bungan natah (kembang di halaman rumah). Konotasi ini bisa bermakna ganda, anak perempuan semata-mata dianggap sebagai aksesoris atau pelengkap, dan anak perempuan dipersiapkan sebagai sang penjaga tradisi dan ritual adat istiadat (Mantra, 2011).
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana proses penerimaan ibu terhadap kondisi anak down syndrome dan apa saja faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan ibu terhadap kondisi anak down syndrome yang merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarga.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Gunawan (2013), penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan dan penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala secara sentral. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus.
Unit Analisis
Penelitian ini menggunakan unit analisis perseorangan. Satuan kajian perseorangan seperti siswa, klien, pasien yang sudah ditetapkan sebagai satuan kajian, maka pengumpulan data dipusatkan pada apa yang terjadi dalam kegiatannya, apa yang memengaruhinya dan bagaimana sikapnya (Moleong, 2016).
Responden Penelitian
Responden penelitian ini adalah seorang ibu yang memiliki anak down syndrome yang dipilih dengan menggunakan Purposive sampling. Beberapa kriteria responden penelitian ini antara lain :
-
1. Seorang ibu yang melahirkan anak down syndrome yang berjenis kelamin laki-laki dan merupakan anak laki-laki satu-satunya dikeluarga.
-
2. Berdomisili di Denpasar.
-
3. Ibu yang mengasuh anak tanpa bantuan orang lain.
Teknik Penggalian Data
Proses pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi dan wawancara. Observasi yang dilakukan adalah keterlibatan pasif dengan wawancara wawancara terstruktur.
Teknik Pengorganisasian dan Analisis Data
Teknik pengorganisasian data dilakukan dengan memindahkan data rekaman wawancara ke dalam folder pada komputer peneliti. Hasil rekaman wawancara kemudian diolah dalam bentuk fieldnote dan verbatim yang telah diberi judul file sesuai dengan kode masing-masing responden. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Sugiyono, 2017).
Kredibiltas Penelitian
Kredibillitas data pada penelitian ini dilakukan dengan peningkatan ketekunan dan teknik triangulasi. Teknik triangulasi yang dilakukan yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik dan triangulasi waktu.
Isu Etik
Isu etika yang harus diperhatikan selama proses penelitian berlangsung yaitu :
-
1. Meminta persetujuan dari responden agar bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
-
2. Penelitian ini tidak akan membuat responden dalam bahaya maupun merugikan responden.
-
3. Data-data dalam penelitian ini akan dijaga
kerahasiaannya.
-
4. Peneliti akan menyimpan rekaman mengenai data
responden selama proses penelitian berlangsung.
-
5. Responden berhak untuk mundur di tengah penelitian.
-
6. Peneliti akan memberikan hasil penelitian kepada responden (jika responden memintanya).
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan proses analisis data, terdapat dua topik utama pada hasil penelitian ini yaitu gambaran kehidupan ibu sebelum menerima kondisi anak down syndrome dan gambaran penerimaan ibu terhadap kondisi anak down syndrome.
Gambaran Kehidupan Ibu Sebelum Menerima Kondisi Anak Down Syndrome
Kondisi anak yang mengalami kebutuhan khusus diketahui setelah responden melahirkan anaknya, selama masa kehamilan sama sekali tidak diketahui bahwa anak yang dikandungnya tersebut mengalami suatu kelainan, responden merasa bahwa kandungan yang sekarang lebih lemah dan jarang ada pergerakan janin dibandingkan dengan saat responden mengandung anak pertama sampai anak ketiganya. Setelah diberitahu bahwa anaknya mengalami kelainan yang diduga down syndrome, dokter menyarankan agar anak dari responden tersebut melakukan tes kromosom yang hasil tesnya akan keluar setelah satu minggu, hasil tes dinyatakan bahwa
anak responden positif mengalami down syndrome. Reaksi awal saat responden mengetahui kondisi anaknya adalah merasa sangat terkejut dan menyangkal (denial) vonis yang diberikan oleh dokter, responden beranggapan bahwa kondisi anaknya baik-baik saja dan terjadi kesalahan pada vonis dokter. Responden merasa marah dan menyalahkan diri sendiri, percaya bahwa kondisi anak akan menjadi normal dengan seiring berjalannya waktu (bargaining), responden juga sempat merasa depresi dan menyembunyikan kondisi anaknya.
Faktor Peningkat Penerimaan Ibu Terhadap Kondisi Anak Down Syndrome
Responden menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu meningkatkan penerimaan responden terhadap kondisi anaknya diantaranya, tidak pernah dihakimi oleh suami maupun keluarga besar,dukungan pasangan, religiusitas, merasa tidak berjuang sendirian, kesadaran akan karma, dan usia ibu saat hamil.
Faktor Penurun Penerimaan Ibu Terhadap Kondisi Anak Down Syndrome
Beberapa faktor yang dapat menurunkan penerimaan responden yaitu merupakan anak laki-laki satu-satunya, sering mendapat cemooh dari orang lain, dan perkembangan anak yang lambat.
Upaya Peningkatan Penerimaan Ibu
Upaya yang dilakukan oleh responden agar dapat menerima kondisi anak yaitu meningkatkan religiusitas, penghayatan diri, bertukar cerita dengan sesama orangtua anak berkebutuhan khusus, dan refreshing bersama keluarga.
Gambaran Penerimaan Ibu Terhadap Kondisi Anak Down Syndrome
Responden saat ini sudah benar-benar bisa menerima (acceptance) seutuhnya kondisi anaknya yang mengalami down syndrome, responden juga selalu mengajak anaknya bersosialisasi agar terbiasa dengan suara yang agak berisik, responden juga menyatakan bahwa sekarang ia sudah tidak malu lagi dengan kondisi anaknya yang down syndrome dan sudah tidak begitu mendengarkan komentar negatif orang lain tentang dirinya maupun tentang keadaan anaknya. Responden saat ini akan berfokus pada kemandirian anaknya agar bisa menyelesaikan pekerjaan secara tuntas, dan saat ini berfokus pada kemandirian, potensi dan hal yang disukai oleh anak.
PEMBAHASAN
Gambaran Kehidupan Ibu Sebelum Menerima Kondisi Anak Down Syndrome
Kondisi anak yang mengalami kebutuhan khusus diketahui setelah respondem melahirkan anaknya, selama masa kehamilan sama sekali tidak diketahui bahwa anak yang dikandungnya tersebut mengalami suatu kelainan, responden merasa bahwa kandungan yang sekarang lebih lemah dan jarang ada pergerakan janin dibandingkan dengan saat responden mengandung anak pertama sampai anak ketiganya.
Setelah diberitahu bahwa anaknya mengalami kelainan yang diduga down syndrome, dokter menyarankan agar anak dari responden tersebut melakukan tes kromosom yang hasil tesnya akan keluar setelah satu minggu, hasil tes dinyatakan bahwa anak responden positif mengalami down syndrome.
Responden merasa terkejut dan melakukan penyangkalan (denial) bahwa hasil tes tersebut salah dan anaknya baik-baik saja, hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Blacher (dalam Heaman, 1991) yang meneliti mengenai pengalaman orangtua yang memiliki anak retardasi mental dan disabilitas lainnya menemukan bahwa terdapat beberapa tahap yang dominan dalam penerimaan yaitu terkejut dan penolakan, disorganisasi emosi dan penyesuaian emosional. Menurut Teori ini mendukung hasil penelitian dimana orangtua dengan anak down syndrome awalnya terkejut saat mendengar diagnosa bahwa anaknya down syndrome dan melakukan penyangkalan dengan menganggap hasil tes kromosom tersebut salah.
Setelah terkejut dan melakukan penyangkalan (denial) ibu dengan anak down syndrome akan merasakan emosi negatif seperti down, sedih, dan bingung. Hartuti & Mangunsong (2009) mengatakan bahwa orangtua dengan anak berkebutuhan khusus akan mengalami dua tahapan reaksi dalam menghadapi keadaan anaknya. Pertama, perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut, dan tidak memercayai kenyataan yang dialami anaknya. Kedua, orangtua akan merasa kecewa, sedih, dan mungkin merasa marah ketika mengetahui realitas yang harus dihadapinya.
Responden merasa marah dan menyalahkan dirinya sendiri pada saat mengetahui bahwa anaknya menderita down syndrome dan malu kepada lingkungan sekitar akan keadaan anaknya, bingung bagaimana menjelaskan keadaan anaknya tersebut. Menyalahkan diri sendiri atas kondisi anak, dimana ibu merasa bersalah dengan bertanya-tanya apakah semua terjadi akibat kesalahan di masa lalu. Hal ini seperti disampaikan dalam penelitian Safaria (2005) yang mengungkapkan bahwa timbul rasa bersalah, terutama pihak ibu yang khawatir apakah keadaan anaknya akibat dari kelalaian selama mengandung atau akibat dosa di masa lalu.
Responden berusaha untuk melakukan tawar-menawar (bargaining) yaitu menganggap kondisi anak akan membaik seiring dengan berjalannya waktu dan melakukan nazar pada Tuhan dengan berjanji akan mempersembahkan sesuatu jika anaknya bisa tumbuh dengan normal, sambil responden mencari tempat pengobatan yang cocok untuk anaknya. Sebagaimana penelitian Safaria (2005) yang menyatakan bahwa orangtua berusaha untuk menghibur diri dan berpikir upaya apa saja akan dilakukan untuk membantu kesembuhan anak.
Responden merasa depresi sampai tidak bisa makan, merasa putus asa dengan keadaan anaknya, merasa malu dengan kondisi anak, dan susah untuk tidur dialami oleh responden, hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Gupta &
Singhal (2004) bahwa orangtua dengan anak disabilitas secara alami mengalami stres di berbagai aspek dalam keluarga seperti tuntutan untuk mengasuh dalam keseharian, tekanan emosional, reaksi negatif dari orang lain juga dapat menyebabkan stres pada orangtua dengan anak disabilitas. Responden sempat merasa putus asa dengan kondisi anak yang tidak terdapat banyak perubahan dalam pertumbuhannya, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2018) yang menyatakan bahwa ibu merasa putus asa dengan keadaan anaknya yang tidak mampu berkata-kata, mencari pengobatan tapi tidak berhasil, terbebani pikiran bagaimana masa depan anak.
Proses Penerimaan Ibu Terhadap Kondisi Anak Down Syndrome
Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan penerimaan responden yaitu ibu dengan anak down syndrome. Faktor peningkat penerimaan responden yang pertama yaitu tidak pernah dihakimi oleh pasangan maupun keluarga besar. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2015) yang menyatakan bahwa ibu akan lebih merasakan afek positif daripada afek negatif karena ibu memiliki suami dan keluarga yang selalu memberikan motivasi dan tidak pernah meninggalkannya.
Faktor peningkat penerimaan yang kedua adalah dukungan dari suami membuat responden merasa lebih kuat dan semangat untuk menghadapi kenyataan bahwa anak yang dilahirkannya mengalami down syndrome. Dukungan emosional dari suami dalam bentuk perhatian dan motivasi juga membuat responden menjadi nyaman dan tenang. Menurut Sarafino (2006), dukungan emosi adalah dukungan yang berupa perhatian dan empati yang muncul pada diri seseorang ketika melihat keadaan orang lain. Didukung dengan Sarafino (2006), yang menyatakan bahwa dukungan emosional memunculkan rasa nyaman pada diri seseorang dalam keadaan stres. Adanya dukungan dari suami, akan membuat ibu merasa diterima dengan keadaan yang dialaminya sehingga ibu tidak merasa sendiri dalam menghadapi keadaan yang sangat sulit (Lestari, 2012). Kahn & Antonoucci (dalam Roy, 2011), menyatakan bahwa dukungan sosial berasal dari orang orang yang selalu berada dalam sepanjang hidupnya setiap hari seperti orang tua, anak, dan suami/istri.
Faktor ketiga yang membantu responden menerima kondisi anaknya adalah berdoa dan berserah diri kepada Tuhan agar bisa kuat menjalani cobaan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Prasetia (2017) yang menyatakan bahwa subjek meyakini kemampuan yang ada dalam dirinya dalam menghadapi permasalahan karena subjek selalu mendekatkan diri kepada sang empunya kehidupan. Hal ini tentu membuat ketiga subjek merasa bahwa kehendak Tuhan dalam keluarga mereka terjadi karena ketiga subjek dipandang mampu menjalani ini oleh Sang Kuasa, sehingga mereka lebih kuat, tegar, dan selalu berserah kepada Tuhan. Faktor keempat yaitu responden menyadari bahwa kondisi anaknya yang mengalami down syndrome kemungkinana
disebabkan oleh karma/hasil perbuatan responden di masa lalu ataupun dikehidupan sebelumnya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Prasetya (2017) bahwa ibu dengan anak down syndrome akan merasa kecewa, sedih, dan beranggapan bahwa kondisi anaknya down syndrome adalah akibat dari dosa ibu dimasa lalu.
Faktor kelima yang meningkatkan peneriman responden yaitu responden merasa tidak berjuang sendirian karena responden aktif mengikuti grup anak berkebutuhan khusus dan bisa saling berbagi cerita dengan orangtua yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus. Didukung dengan hasil penelitian Suri (2012), bahwa sesama orangtua yang memiliki anak down syndrome dan saling bertukar pendapat ataupun cerita memberikan efek positif pada orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
Faktor peningkatan penerimaan keenam yaitu responden mengatakan bahwa responden akhirnya menjadi paham setelah dijelaskan oleh dokter bahwa usia ibu saat hamil merupakan salah satu faktor penyebab anak lahir dengan kondisi down syndrome. Responden juga mencari artikel-artikel terkait dengan down syndrome untuk menambah pengetahuan mengenai penyebab, terapi, dan juga penanganan down syndrome.
Terdapat beberapa faktor yang dapat menurunkan penerimaan ibu terhadap kondisi anak down syndrome yaitu merupakan anak laki-laki satu-satunya dan anak yang diharapkan kelak bisa meneruskan keturunan dalam keluarga, sering mendapatkan cemooh ataupun komentar negatif dari tetangga maupun orang lain, hal ini sama halnya dengan pendapat Mangunsong (2011) menyatakan bahwa, umumnya sumber keprihatinan orangtua berasal dari perlakuan negatif masyarakat normal terhadap anaknya. Seorang ibu yang memiliki anak down syndrome, bahkan sering mendapat pandangan negatif dan ejekan dari masyarakat sekitar terkait dengan keterbatasan yang dimiliki anaknya. Faktor penurun penerimaan yang terakhir adalah perkembangan anak yang termasuk lambat sehingga membuat responden merasa sedih dan putus asa.
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh responden agar bisa meningkatkan penerimaan terhadap kondisi anak diantaranya adalah meningkatkan religiusitas dengan berdoa dan berserah diri kepada Tuhan, hal ini didukung dengan penelitian dari Rahmawati (2017) bahwa responden yang tingkat religiusitasnya tinggi akan lebih mudah menerima, memahami keadaan anak yang berkebutuhan khusus, dan akan tetap memberikan pendampingan yang optimal. Penelitian ini selaras dengan pendapat Bastaman dalam Liputo (dalam Saputri, 2011) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai setiap kejadian secara poisitif, sehingga hidupnya menjadi bermakna dan terhindar dari stres atau depresi.
Upaya kedua yang dilakukan oleh responden adalah penghayatan diri dengan menganggap bahwa bagaimana pun
juga keadaannya anak responden tetaplah anaknya yang disayangi, merupakan anugerah dari Tuhan dan beranggapan bahwa anak yang spesial akan dititipkan kepada orangtua yang spesial juga. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2015) yaitu keluarga responden mendukung dan mengatakan bahwa harus bangga menjadi seorang ibu yang memiliki anak dengan gangguan down syndrome, karena tidak semua ibu dititipkan anak dengan gangguan tersebut. Didukung juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggreni & Valentina (2015) yang menyatakan bahwa orangtua menganggap kehadiran anak down syndrome sebagai anugerah dan karunia dari Tuhan, sehingga mereka mensyukuri keberadaan anak down syndrome. Menilai keberadaan anak down syndrome sebagai anugerah dan karunia dari Tuhan merupakan sudut pandang positif dari orangtua.
Upaya ketiga menurut responden adalah bertukar cerita dengan orangtua yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus agar merasa lebih lega dan mempunyai tempat berkeluh kesah. Upaya keempat yaitu responden melakukan refreshing bersama keluarga kecilnya yang terdiri dari suami dan ketiga anak perempuannya, mereka pergi jalan-jalan setelah selesai melakukan terapi agar pikiran dan perasaan menjadi lebih lega, gembira, dan pikiran fresh kembali.
Responden mengatakan bahwa saat ini sudah benar-benar bisa menerima (acceptance) seutuhnya kondisi anaknya yang mengalami down syndrome, responden juga selalu mengajak anaknya bersosialisasi agar terbiasa dengan suara yang agak berisik, responden juga menyatakan bahwa sekarang ia sudah tidak malu lagi dengan kondisi anaknya yang down syndrome dan sudah tidak begitu mendengarkan komentar negatif orang lain tentang dirinya maupun tentang keadaan anaknya. Responden saat ini akan berfokus pada kemandirian anaknya agar bisa menyelesaikan pekerjaan secara tuntas, dan berfokus pada apa yang disukai dan diminati anaknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Ellis (dalam Bernard, 2013), mengatakan bahwa penerimaan diri oleh ibu merupakan bentuk penerimaan ibu secara utuh menerima kondisi anak dengan adanya kelebihan ataupun kekurangan pada anak untuk dapat mencapai suatu kebahagiaan. Maslow (dalam Kristina & Megasari, 2016), mengungkapkan penerimaan diri terdapat beberapa komponen yang mempengaruhi, seperti memiliki gambaran yang positif terhadap dirinya sendiri, dapat berinteraksi sosial dengan baik, merasa bebas dari rasa bersalah, tidak merasa malu terhadap dirinya, tidak merasa cemas akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya maupun keadaan anaknya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab IV penelitian ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
-
1. Reaksi awal yang muncul saat responden mengetahui bahwa anaknya mengalami kondisi down syndrome adalah
merasa sangat terkejut, tidak bisa berkata-kata, merasa seakan-akan dunia runtuh, menyangkal (denial) dengan vonis yang telah diberikan oleh dokter, merasa marah, menyalahkan diri sendiri, sedih, tidak bisa tidur dan makan karena terus memikirkan kondisi anaknya, sempat bargaining dan bernazar, merasa stres dan putus asa, merasa malu dengan kondisi anaknya yang mengalami down syndrome dan sempat menyembunyikan kondisi anaknya dari orang lain.
-
2. Terdapat faktor internal dan eksternal yang dapat membantu responden untuk perlahan-lahan bisa menerima kondisi anaknya, yang merupakan faktor internalnya adalah kesadaran bahwa kondisi anaknya yang mengalami down syndrome merupakan hasil perbuatan (karma) responden maupun suami dimasa lalu atau dikehidupan sebelumnya, responden merasa tidak berjuang sendirian karena bisa berbagi keluh kesah kepada sesama ibu dengan anak berkebutuhan khusus, penjelasan dokter dan artikel-artikel yang telah responden baca akhirnya membuat responden menyadari bahwa usia ibu yang mengandung diatas 35 tahun sangat berisiko melahirkan anak down syndrome. Sedangkan faktor eksternal adalah suami maupun keluarga tidak pernah menghakimi dan menyalahkan responden atas kondisi anaknya yang mengalami down syndrome, dukungan dari suami yang selalu ada dan tetap menemani membuat responden lebih kuat dan tegar untuk bisa menerima keadaan anaknya. Terdapat juga faktor penurun penerimaan responden yaitu anaknya merupakan anak laki-laki satu-satunya dan anak yang sangat diharapkan oleh responden dan suami, karena di Bali anak laki-laki lah yang akan meneruskan keturunan kelak. Responden sering mendapatkan cemooh dari orang lain dan menanyakan hal yang membuat responden menjadi sedih, perkembangan anak yang agak lambat juga merupakan faktor penurun penerimaan responden terhadap kondisi anaknya.
-
3. Proses penerimaan responden yaitu dengan meningkatkan religiusitas, penghayatan diri yaitu beranggapan bahwa bagaimanapun kondisi anaknya tetap akan menjadi anaknya yang akan responden sayangi, responden menganggap bahwa anak yang spesial akan dititipkan kepada orangtua yang spesial pula, melakukan refreshing bersama keluarga, dan mencari lebih banyak artikel-artikel terkait dengan down syndrome untuk menambah pengetahuan responden. Saat ini responden sudah bisa menerima kondisi anaknya yang mengalami down syndrome secara utuh, dan saat ini berfokus pada kemandirian, potensi dan hal yang disukai oleh anak.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan peneliti dapat memberikan saran dan rekomendasi pada pihak-pihak terkait sebagai berikut :
Saran bagi ibu dengan anak down syndrome yaitu diharapkan melihat kelebihan-kelebihan yang ada pada anak yang sudah Tuhan berikan dan titipkan. Sebaiknya dalam menghadapi
permasalahan yang berat, dapat menggunakan tidak hanya kemampuan kognitifnya saja, namun mengoptimalkan kemampuan sosial untuk mencari dukungan dan masukan dari orang sekitar yang bersifat positif, dan ibu diharapkan agar tidak terlalu larut dalam fase negatif seperti menyangkal, marah, bargaining, maupun depresi karena hal tersebut dapat merugikan anak yang seharusnya bisa lebih cepat mendapatkan penanganan.
Saran bagi suami yaitu untuk tetap mendukung dan tidak menyalahkan ibu dengan kelahiran anak, sebaiknya ikut membantu mencari informasi mengenai pengobatan yang tepat, ikut mendampingi anak saat terapi, dan bersedia mendengarkan segala keluh kesah yang dirasakan oleh ibu, sehingga anak mendapat penanganan yang cepat dan tumbuh kembang anak menjadi optimal.
Saran bagi keluarga sebaiknya mendampingi dan memberikan dukungan pada ibu yang memiliki anak down syndrome agar ibu merasa tidak ditinggalkan dan tidak merasa dikucilkan oleh keluarga, sehingga anak dengan down syndrome diperlakukan dengan baik sama seperti anak normal.
Saran bagi masyarakat yaitu sebaiknya memperlakukan anak berkebutuhan khusus sama seperti anak normal dan tidak memandang rendah anak-anak berkebutuhan khusus, khusunya down syndrome dan tidak menganggap anak down syndrome sebagai seseorang yang gila maupun idiot karena akan membuat ibu menjadi terpukul dan lebih sulit menerima kondisi anak.
Saran bagi peneliti selanjutnya yaitu diharapkan agar lebih mengupas dan memperdalam terkait dengan penerimaan diri ibu dengan anak down syndrome, sehingga akan mendapatkan data yang lebih komprehensif dan berguna bagi yang ingin mengetahuinya.
DAFTAR PUSTAKA
Gupta, A., & Singhal, N. (2004). Positive perceptions of children with disabilities. Asia Pacific Disability Rehabilitation Journal, 15, 22-35.
Gunawan, I. (2013). Metode penelitian kualitatif teori & praktik. Jakarta: PT Bumi Aksara
Heaman, D. J. (1991). Perceived stressors and coping strategies of parents with developmentally disabled children. Diunduh dari https://www.pediatricnursing.org/article/S0882-
Hartuti & Mangunsong, F. M. (2009). Pengaruh faktor-faktor protektif internal dan eksternal pada resiliensi akademis siswa penerima bantuan khusus murid miskin (BKMM) Di SMA negeri di Depok. Jurnal Psikologi Indonesia.
Kubler-Ross, E. (2009). On Death and Dying: What the Dying Have to Teach Doctors, Nurses, Clergy, and Their Own Families, 40th Anniversary Edition. London: Routledge Taylor & Francis Group.
Kristina, F.I & Megasari, I. (2016). Hubungan antara dukungan sosial suami dengan penerimaan diri pada ibu yang memiliki Anak down syndrome di semarang. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Diunduh dari
https://media.neliti.com/media/publications/65507-ID-hubungan-antara-dukungan-sosial-suami-de.pdf.
Lestari F. A., & Mariyati L. I. (2015). Resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome di Sidoarjo. PSIKOLOGIA, 3(1).
Mawardah, U., Siswati, & Hidayati, F. (2012). Relationship between active coping parenting stress in mother of mentally retarded child. Jurnal Psikologi, 1, 1-14. https://ejournal3.undip.ac.id
Mantra, G. (2011). Kekerasan patriarki pada perempuan bali.
Diunduh dari https://balebengong.id/kekerasan-patriarki-pada-perempuan-bali/.
Mangunsong, Frieda. 2011. Psikologi dan pendidikan anak luar biasa jilid 1. Jakarta: LPSP3
Moleong, L.J. (2016). Metodologi penelitian kualitatif edisi revisi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nugraha, S.S. (2018). Penerimaan diri orangtua yang memiliki anak tunarungu. Naskah publikasi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diunduh dari
eprints.ums.ac.id/69587/2/HALAMAN%20DEPAN.pdf.
Purnamasari, D. (21 Maret,2017). Lebih dekat dengan down
syndrome. Diunduh dari https://tirto.id/lebih-dekat-dengan-down-syndrome-clbN.
Paramita, P. (2018). Studi pendahuluan : Penerimaan ibu terhadap kondisi anak down syndrome. Naskah tidak dipublikasikan, Program Studi Sarjana Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
Prihadhi, K, E. (2004). My potency. Jakarta : Komputindo.
Prasetia, Y.P.P. (2017). Resiliensi pada ibu yang memiliki anak down syndrome. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Dinduh dari repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13142/1/T1_8020 13047_Full%20text.pdf.
Rachmawati, N.S, & Masykur, M.A (2016). Pengalaman ibu yang memiliki anak down syndrome. Universitas Diponegoro. Diunduh dari https://media.neliti.com.
Roy, R. (2011). Social support, health, and illness. Toronto: University of Toronto Press.
Rahmawati, S. (2017). Pengaruh religiusitas terhadap penerimaan diri orangtua anak autis di sekolah luar biasa XYZ. Jurnal AL-AZHAR Indonesia seri humaniora, 4(1).
Sugiyono. (2017). Metode penelitian kualitatif untuk penelitian yang bersifat: ekploratif, enterpretif, interaktif dan konstruktif. Bandung: Alfabeta
Sarafino, E.P. (2006). Health psychology: Biopsychosocial interaction. New York: John Wiley & Sons.
Suri, D.P., & Daulay, W. (2012). Mekanisme koping pada orang tua yang memiliki anak down syndrome di SDLB negeri 107708 Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Jurnal USU, 1(1).
Saputri, S.A., Hardjono, & Karyanta, N.A. (2011). Hubungan religiusitas dan dukungan sosial dengan psychological wellbeing santri kelas VIII Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Ibnu Abbas Klaten. Jurnal Program Study Psikologi Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret.
Safaria, T.(2005). Autisme: pemahaman baru untuk hidup bermakna bagi orangtua. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Wijayanti, Dian. (2015). Subjective well being dan penerimaan diri ibu yang memiliki anak down syndrome. eJournal Psikologi, 4(1), 120-130.
LAMPIRAN
Tabel 1
Proses penerimaan ibu dengan kondisi anak down syndrome
No |
Proses penerimaan ibu |
Gambaran |
Faktor terkait, tindakan |
1 |
Penyangkalan (denial) |
syndrome. |
|
2 |
Marah |
|
maupun keluarga besar.
diri sendiri.
|
3 |
Melakukan tawar-menawar (bargaining) |
1. Melakukan tawar-menawar atau menghibur diri sendiri seperti beranggapan bahwa seiring berjalannya waktu anaknya akan tumbuh normal. |
mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan jika anaknya bisa tumbuh normal.
|
4 |
Depresi |
|
mengingat kondisi anak.
|
5 |
Acceptance |
1. Dapat menerima diri bahwa telah melahirkan anak down syndrome dan juga menerima keadaan anaknya secara utuh. |
|
36
Discussion and feedback