Pengelolaan Stres dan Peningkatan Produktivitas Kerja selama Work From Home pada Masa Pandemi COVID-19
on
Jurnal Psikologi Udayana 2020, Vol.7, No.2, 93-109
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN:2654 4024; p-ISSN: 2354 5607 doi: 10.24843/JPU.2020.v07.i02.p.09
Pengelolaan stres dan peningkatan produktivitas kerja selama work from home pada masa pandemi covid-19
Muchammad Ishak Shabuur dan Wustari L. Mangundjaya
Faculty of Psychology Universitas Indonesia, Depok, Indonesia [email protected] [email protected]
Abstrak
Pada saat pandemi COVID-19 menyebar secara global, pedoman kesehatan masyarakat menyarankan semua karyawan untuk bekerja dari rumah (WFH). Sementara itu, di Indonesia belum banyak perusahaan yang melaksanakan praktik WFH (Work From Home) atau bekerja jarak jauh dari rumah karena praktik manajemen yang masih tradisional, tentu penyesuaian terhadap WFH merupakan pengalaman baru untuk sebagian besar karyawan. Sementara itu, sebagian besar hasil penelitian terdahulu mengenai dinamika psikologis selama masa karantina menemukan adanya dampak psikologis negatif pada individu. Berdasarkan situasi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melihat kembali pengaruh sikap fleksibilitas kerja terhadap WFH melalui flexibility working options terhadap produktivitas kerja selama masa karantina Pandemi COVID-19 dan menguji strategi coping stres sebagai moderator pada hubungan antara kedua variabel tersebut. Penelitian ini melibatkan 421 karyawan yang bekerja secara WFH pada sektor swasta, publik dan pemerintah di Indonesia. Responden dikumpulkan dengan menggunakan teknik incidental sampling melalui penyebaran kuesioner secara online. Teknik pengujian efek moderasi pada penelitian ini menggunakan moderated regression analysis (MRA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi coping memoderasi hubungan secara positif, sehingga hubungan antara fleksibilitas kerja dan produktivitas kerja semakin meningkat ketika karyawan menerapkan mekanisme coping yang berfokus pada masalah untuk mengendalikan stresor dan menjaga produktivitas kerja mereka selama pandemi COVID-19.
Kata kunci: Sikap terhadap Opsi Fleksibilitas Kerja, Produktivitas Kerja, Strategi Coping, Work From Home selama Pandemi COVID-19.
Abstract
During the COVID-19 pandemic spread globally, public health guidelines recommend all workers to work from home (WFH). In Indonesia, not many companies have already implemented WFH before because of traditional management practices, of course adjusting to WFH is a new experience for most workers. Meanwhile, most of the results of previous research on psychological dynamics during the quarantine period found a negative psychological impact on individuals. Based on this situation, this study aims to review the influence of work flexibility attitudes towards WFH through flexibility working options on work productivity during the COVID-19 Pandemic quarantine period and test the coping strategy as a moderator on the relationship between the two variables. This study involved 421 working from home employees in the private sector, public sectors and government in Indonesia. Participants were taken using convenience sampling techniques through the distribution of questionnaires online. Testing for moderation effects is done by using moderated regression analysis (MRA) technique. The results show that coping strategy positively moderates the relationship, such that the relationship between flexibility working options and work productivity is increasing when employee implement coping mechanisms that focus on problems for control stresors and maintain their work productivity during the COVID-19 pandemic.
Keywords: Coping Strategies, Flexibility Working Option, Work From Home during COVID-19 Pandemic, Work Productivity.
LATAR BELAKANG
COVID-19 merupakan wabah penyakit penting dalam kesehatan masyarakat secara global pada tahun 2020 ini. Penyakit mirip pneumonia ini muncul di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina pada November 2019 (Zhu et al., 2020), yang kemudian disebut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai Penyakit Coronavirus 2019 atau COVID-19. Selain penyebarannya yang dapat dikatakan cepat, COVID-19 juga telah menjadi pandemi global yang menyebabkan kerusakan kesehatan masyarakat yang signifikan, sekaligus menyebabkan kerugian finansial dan ekonomi di banyak negara. Mayoritas negara berkembang akan lebih mengalami banyak hambatan dibandingkan negara maju dalam menahan laju penularan COVID-19, sehingga berpotensi berkembang menjadi episentrum baru, tak terkecuali Indonesia (Hopman et al., 2020)
Indonesia pertama kali mengkonfirmasi 2 kasus COVID-19 pertama pada 2 Maret 2020. Sampai dengan tanggal 14 Desember 2020, kasus COVID-19 meningkat menjadi 617,820 kasus di 34 provinsi. Lima provinsi tertinggi adalah Jakarta (152.499), Jawa Timur (69.921), Jawa Tengah (66.517), Jawa Barat (23.199), dan Sulawesi Selatan (66.210) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020). Pemerintah Indonesia telah menerapkan banyak rekomendasi publik untuk mengendalikan penularan COVID-19 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020). Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah bekerja jarak jauh dari rumah yang dikenal dengan istilah work from home (WFH). WFH yang diterapkan saat ini merupakan tindak lanjut atas imbauan langsung Presiden Republik Indonesia agar dapat meminimalisir penyebaran virus COVID-19. Masyarakat diminta untuk bekerja, melaksanakan kegiatan belajar mengajar, dan beribadah dari rumah. Imbauan tersebut untuk saat ini sudah didukung dengan kebijakan yang lebih konkrit khususnya di Jakarta yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi COVID-19 sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran kasus COVID-19 (Pemerintah Indonesia, 2020). Pembatasan kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan belajar mengajar sekolah dan tempat kerja yang diliburkan, pembatasan kegiatan ibadah, pembatasan kegiatan di fasilitas umum. Kegiatan bekerja di kantor dibatasi dan untuk sementara diganti dengan bekerja di rumah atau WFH yang bertujuan untuk tetap menjaga produktivitas kerja karyawan selama masa karantina berlaku (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
Menjaga produktivitas kerja selama menjalankan WFH di masa karantina pandemi COVID-19 merupakan tantangan terbesar yang dihadapi karyawan saat ini. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh PWC (2020) terhadap lebih dari 300 Chief Financial Officer di Amerika Serikat, penurunan produktivitas kerja merupakan kekhawatiran ketiga terbesar setelah dampak finansial dan potensi resesi global. Masa karantina Pandemi COVID-19 juga berdampak pada penurunan produktivitas berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Institute for Corporate Productivity (2020). Survey tersebut menemukan bahwa secara keseluruhan, 96% dari 518 responden yang
berasal dari praktisi Human Resources yang berasal dari campuran perusahaan global, multinasional dan lokal di Amerika melaporkan dampak pada produktivitas, peningkatan yang signifikan sebesar 41% dari yang semula hanya 9% sejak bulan februari. Menurut CEO Institute for Corporate Productivity, meningkatnya dampak pada produktivitas tersebut disebabkan karena karyawan mengalami ritme kerja baru yakni bekerja dari rumah serta menghadapi segala stresor dan tantangan yang menyertai ritme baru tersebut. Temuan dari penelitian lain yang mendukung, dikemukakan oleh Bai et al., (2004), bahwa karyawan selama masa karantina wabah penyakit SARS secara signifikan melaporkan konsentrasi dan ketidakpastian yang memburuk, kinerja kerja yang memburuk, dan keengganan untuk bekerja atau pertimbangan pengunduran diri.
Masa karantina merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi mereka yang mengalaminya. Potensi manfaat karantina massal wajib perlu dipertimbangkan dengan hati-hati terhadap kemungkinan dampak psikologis (Rubin & Wessely, 2020). Keberhasilan penggunaan karantina sebagai tindakan kesehatan masyarakat mengharuskan kita mengurangi sejauh mungkin efek negatif yang terkait dengannya. Berdasarkan ulasan penelitian yang dilakukan oleh Brooks et al., (2020), tidak sedikit penelitian yang diulas menemukan adanya dampak psikologis negatif termasuk kebingungan, kemarahan, dan gejala stres pasca-trauma. Stresor selama masa karantina mencakup; kekhawatiran berlebih akan infeksi, frustrasi, durasi karantina yang tidak pasti, kebosanan, persediaan yang tidak memadai, informasi yang terbatas, kerugian materi, dan stigma negatif (Brooks et al., 2020)
Respon distres yang berlebihan dalam diri individu karena dampak karantina akan menghasilkan perilaku dan kecenderungan negatif seperti motivasi menurun sampai pada frustasi, karena itu perlunya coping stres sebagai cara untuk mengendalikan respon stres yang berlebihan. Coping stres sendiri merupakan strategi penanggulangan stres yang dianggap tepat untuk mengatasi stresor dengan mengevaluasi sumberdaya yang dimilikinya (Lazarus dan Folkman, 1984). Pada umumnya coping stres dibagi menjadi 2 bagian, yaitu pertama, berfokus problem (problem focused coping) yaitu berupa tindakan ketika individu menghadapi situasi yang menimbulkan stres, baik dari eksternal maupun dari dalam dirinya. Kedua, berfokus emosi (emotion focused coping), yaitu tindakan atau pikiran yang bertujuan untuk meminimalkan tekanan emosi yang ditimbulkan oleh situasi stres (Lazarus dan Folkman, 1984).
Studi terdahulu mengenai coping selama masa karantina Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang dilakukan oleh LeeBaggley et al., (2004), menunjukkan bahwa tanggapan yang empatik dan wishful thinking dapat memprediksi coping secara signifikan yang berkaitan dengan persepsi SARS. Sampel penelitian ditujukan kepada petugas kesehatan, karyawan Teknik, karyawan kantor dan mahasiswa. Penelitian coping lain yang dilakukan oleh Gan et al., (2004) menyelidiki coping dan reaksi perilaku selama SARS. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden yang berupa mahasiswa lebih
dapat mengontrol peristiwa stres yang disebabkan selama karantina SARS.
Secara garis besar, penjelasan di atas menunjukan bahwa karantina sering dikaitkan dengan efek psikologis negatif tidak terkecuali pada karyawan yang menjalankan WFH. WFH atau yang biasa disebut dengan; telecommuting, teleworking, dan remote working merupakan salah satu jenis dari opsi fleksibilitas kerja (Thompson et al., 2015). Opsi fleksibilitas kerja kebijakan yang dibuat oleh organisasi sebagai jembatan untuk menciptakan lebih banyak keseimbangan antara karyawanan dan keluarga karyawan, opsi tersebut dapat memberi karyawan beberapa tingkat kendali atas kapan dan di mana mereka bekerja di luar hari kerja standar (Lambert et al., 2008). Ada beberapa manfaat dari implementasi opsi fleksibilitas kerja dalam organisasi (Kirrane, 1994; Lazǎr et al., 2010), salah satunya adalah mendukung produktivitas dengan memberi mereka waktu untuk merawat keluarga mereka sehingga setelah itu mereka dapat fokus pada karyawanan mereka. Penggunaan Opsi fleksibilitas kerja kemungkinan akan mengurangi konflik karyawan-keluarga, dan tekanan pribadi serta meningkatkan sikap kerja karyawan (Sturges & Guest, 2004).
Secara spesifik penelitian terdahulu mengenai opsi pengaturan kerja WFH dimasa karantina COVID-19 sangat terbatas. Meskipun demikian, sebagian besar penelitian dengan latar belakang lain menunjukkan hasil positif atau serupa yang terkait dengan penggunaan opsi fleksibilitas kerja. Fleksibilitas biasanya merupakan proyek berbiaya rendah atau tanpa biaya dan telah dikaitkan dengan pengurangan turnover dan absensi, dan peningkatan produktivitas (Lee, 1991). Opsi fleksibilitas kerja juga telah dikaitkan dengan pengurangan gejala fisik dan psikologis dari ketegangan karyawan (Thomas & Ganster, 1995), dan dengan perbaikan kecil atau tidak ada perubahan dalam ukuran efektivitas organisasi, perilaku kehadiran, dan sikap kerja seperti kepuasan kerja (Christensen & Staines, 1990).
WFH & Produktivitas Kerja
Terlepas dari pentingnya WFH sebagai metode kerja alternatif, literatur industri dan organisasi saat ini belum mendalam dan sangat terbatas menyelidiki bagaimana bekerja di luar kantor mempengaruhi produktivitas. Ada beberapa penelitian tentang dampak WFH pada produktivitas untuk karyawanan tertentu. Bloom et al., (2015), misalnya, menyajikan bukti dari percobaan lapangan dengan karyawan call center di Cina bahwa teleworking meningkatkan produktivitas faktor total (TFP) organisasi. Efek positif pada produktivitas muncul baik dari peningkatan kinerja karyawan individu maupun dari pengurangan ruang kantor. Sebaliknya, Battiston et al., (2017), mengeksploitasi eksperimen alami dengan organisasi sektor publik di Inggris, menemukan bahwa produktivitas lebih tinggi ketika rekan satu tim berada di ruangan yang sama dan bahwa efeknya lebih kuat untuk tugas-tugas yang mendesak dan kompleks. Mereka menyarankan bahwa teleworking tidak cocok untuk tugas yang membutuhkan komunikasi tatap muka. Glenn Dutcher (2012), berdasarkan pendekatan eksperimental, menunjukkan bahwa WFH memiliki dampak positif pada produktivitas tugas-tugas kreatif tetapi dampak negatif pada
produktivitas tugas-tugas membosankan. Hasil penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilaksanakan oleh American Council of Economic Advisor (2010) menunjukkan bahwa opsi fleksibilitas kerja memiliki asosiasi positif yang cukup besar dengan turnover dan absensi karyawan yang lebih rendah dan dengan produktivitas dan profitabilitas yang lebih tinggi.
Berdasarkan kumpulan hasil penelitian diatas, peneliti berasumsi bahwa semakin karyawan memiliki fleksibilitas kerja selama WFH, maka akan menjaga dan/atau meningkatkan produktivitasnya di masa pandemi COVID-19:
H1: Sikap terhadap Flexibility Working Options berpengaruh secara positif pada produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa karantina COVID-19
Stres & Produktivitas Kerja
Stres kerja menurut Bhui et al., (2016) merupakan reaksi yang berbahaya yang dimiliki oleh individu terhadap tekanan dan tuntutan yang tidak semestinya dibebankan kepada mereka. Pada definisi lain, stres kerja disebutkan merupakan suatu kondisi disfungsi individu yang diatribusikan atau diakibatkan oleh lingkungan di tempat kerja (Ain, Khattak, 2013). Ini sejalan dengan pendapat (McHugh, 1993; Murphy, 1995; Schabracq & Cooper, 2000) bahwa stres kerja berkontribusi pada motivasi dan moral yang rendah, penurunan kinerja, turnover tinggi, cuti sakit, kecelakaan, kepuasan kerja yang rendah, produk dan layanan berkualitas rendah, komunikasi internal yang buruk dan konflik. Khan et al., (2011) mencatat bahwa stres memberikan dampak yang signifikan terhadap karyawan. Karyawan yang menghadapi kelelahan fisik, psikologis, dan organisasi akan mengalami stres sehingga tidak dapat memenuhi harapan organisasi mereka. Stres juga dapat menyebabkan individu berada dalam keadaan emosi dan dalam ketegangan sehingga individu tersebut tidak dapat berpikir dengan baik dan efektif, karena kemampuan rasional dan penalaran tidak berfungsi dengan baik. Hal tersebut secara langsung menyebabkan produktivitas dan kinerja karyawan menurun. Ismail & Teck-hong (2011) menggambarkan bahwa karyawan dalam organisasi layanan mengalami tingkat stres terkait karyawanan yang tinggi, yang merupakan alasan utama buruknya kinerja karyawan di tempat kerja. Menurut Bytyqi et al., (2010), stres memiliki efek langsung pada kesehatan karyawan dan kinerja mereka, karena hal tersebut dapat dikatakan bahwa stres memiliki peranan yang cukup penting pada masalah organisasi. Melalui hubungan coping stres dan produktivitas kerja, penelitian bertujuan untuk membantu karyawan mengadopsi mekanisme coping yang tepat untuk dapat mengendalikan stresor sehingga mereka akan menemukan dan beroperasi pada tingkat yang paling nyaman bagi mereka dan ini akan memungkinkan mereka untuk menjadi lebih produktif, efektif dan efisien dalam melaksanakan tugas mereka selama bekerja dari rumah:
H2a: Coping berfokus pada masalah berpengaruh secara positif terhadap produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa karantina COVID-19
H2b: Coping berfokus pada emosi berpengaruh secara positif terhadap produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa karantina COVID-19
H3a: Coping berfokus pada masalah dapat memoderasi secara positif pengaruh sikap terhadap Flexibility Working Options pada Produktivitas Kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa karantina COVID-19
Gambar 1. Model Penelitian A
H3b: Coping berfokus pada emosi dapat memoderasi secara positif pengaruh sikap terhadap Flexibility Working Options pada Produktivitas Kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa karantina COVID-19
Gambar 2. Model Penelitian B
METODE PENELITIAN
Variabel dan Definisi Operasional
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menguji efek moderasi Strategi Koping (variabel moderator) pada pengaruh sikap terhadap Flexibility Working Options (variabel eksogen) pada produktivitas kerja (variabel endogen) dari karyawan yang sedang menjalankan WFH selama masa karantina Pandemi COVID-19. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei kuantitatif dengan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Populasi pada penelitian ini merupakan karyawan yang menjalankan WFH dan berdomisili di Jakarta. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 421 pegawai yang melaksanakan WFH pada sektor swasta, sektor publik dan pemerintahan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel non-probability sampling yaitu incidental sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner (self-report) sebagai sarana
pengumpulan data. Peneliti menyebarkan kuesioner secara online menggunakan formulir Google. Kuesioner akan disebarluaskan melalui email dan media sosial.
Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini salah satunya adalah produktivitas kerja yang dibuat oleh Endicott & Nee (1997) yaitu Endicott Work Productivity Scale (EWPS). EPWS adalah kuesioner laporan diri singkat yang dirancang untuk
memungkinkan para peneliti memperoleh ukuran sensitif dari produktivitas kerja. EWPS dinilai tepat oleh peneliti dalam mengukur produktivitas kerja karyawan selama masa karantina COVID-19 karena EWPS dirancang untuk menilai sejauh mana kondisi klinis, seperti gangguan stres, memengaruhi fungsi kerja seseorang (Endicott & Nee, 1997). EWPS dirancang untuk menilai subjek dengan berbagai gangguan mental dan yang bekerja di berbagai pengaturan karyawan. Instrumen terdiri dari 25 aitem yang dinilai menggunakan skala Likert lima poin (0 = '' Tidak pernah '' hingga 4 = '' Hampir selalu ''). Total rentang skor EWPS dari 0 (produktivitas tinggi) hingga 100 (produktivitas sangat rendah). Skala EWPS memiliki alpha cronbach sebesar 0,956.
Alat Ukur Strategi Coping
Pada umumnya penelitian-penelitian yang menggunakan variabel coping fokus masalah dan coping fokus emosi lebih banyak menggunakan alat ukur Ways of Coping Checklist (Folkman dan Lazarus, 1980) yang kemudian direvisi oleh Vitaliano et al., (1985) dan Brief COPE yang ditemukan oleh Carver et al., (1989). Merujuk pada penelitian Prati et al., (2011), maka untuk mengukur coping fokus masalah dan coping fokus emosi menggunakan alat ukur Brief COPE yang ditemukan oleh Carver et al., (1989). Meskipun demikian, dalam penelitian ini coping fokus spiritual tidak menjadi variabel yang diukur, sedangkan dalam Brief COPE (Carver et al., 1989) coping fokus spiritual masuk dalam dimensi coping fokus emosi, sehingga khusus untuk coping fokus emosi menggunakan alat ukur Ways of Coping Checklist (Vitaliano et al., 1985) yang telah direvisi ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dahlan (2005). Carver et al., (1989) mengembangkan alat ukur Brief COPE Inventory dengan tujuan untuk mengevaluasi frekuensi responden dalam mengambil tindakan untuk mengatasi tingkat stres tinggi di tempat kerja. Alat ukur ini memiliki 5 dimensi, yaitu coping aktif , perencanaan,
suppression of sompeting activities, coping menahan diri, dan mencari dukungan sosial, dengan 5 skala poin (“Tidak Pernah” sampai “Sangat Sering”) dan secara keseluruhan memiliki 20 item pernyataan dengan setiap masing-masing dimensi memiliki 4 (empat) pernyataan. Alat ukur ini memiliki konsistensi internal sebesar 0,952.
Coping berfokus emosi, menggunakan alat ukur “Ways of coping checklist” yang direvisi oleh Vitaliano, et al., (2001), dan kemudian direvisi dalam Bahasa Indonesia oleh Dahlan (2005), coping berfokus emosi mengevaluasi frekuensi cognitive reappraisal pada responden perawat dengan 3 jenis prilaku coping yaitu self blame (alpha = 0,81), wishful thinking (alpha = 0,74), dan avoidance (alpha = 0,71), dengan 4 poin skala (“Tidak Pernah” sampai “Sering”) dan jumlah keseluruhan 21 item dengan jumlah item masing-masing untuk self blame memiliki 3 item pernyataan, wishful thinking 8 item pernyataan dan avoidance 10 item pernyataan. Reliabilitas alpha dari alat coping berfokus emosi pada penelitian ini sebesar 0,839.
Alat Ukur Attitude Towards Flexible Working Options Penelitian ini mengukur sikap karyawan terhadap metode WFH dengan menggunakan instrument Flexible Working Options Questionnaire (FWOQ) dari Albion (2004) sebagai alat ukur.
FWOQ dirancang untuk mengukur sikap dan hambatan terhadap penggunaan FWO. Kuesioner membentuk bagian dari survei staf yang lebih besar yang mengukur aspek iklim tempat kerja. Konten aitem didasarkan pada pengalaman sebelumnya, diskusi dengan karyawan yang akrab dengan berbagai FWO, dan sikap dan hambatan yang diidentifikasi dalam literatur yang diulas sebelumnya. Semua aitem dinilai pada skala Likert 5 poin, dengan responden menunjukkan persetujuan atau ketidaksetujuan mereka dengan setiap pernyataan (1 = “Sangat Tidak Setuju”, 5 = “Sangat Setuju”). Skor tinggi menunjukkan sikap yang menguntungkan terhadap penggunaan FWO. Alat ukur FWOQ pada penelitian ini memiliki reliabilitas alpha sebesar 0.800.
Teknik Analisa Data
Analisis statistik penelitian dilakukan pada empat topik utama dan termasuk analisis deskriptif, uji asumsi statistik, dan pengujian hipotesis. Metode yang disukai untuk setiap analisis dirinci di bawah ini. Penelitian ini menggunakan analisis statistik melalui aplikasi pemrosesan data, yaitu IBM SPSS versi 20.0. Analisis deskriptif termasuk tabel frekuensi untuk kontrol atau demografi, dengan variabel eksogen dan endogen ditampilkan secara terpisah untuk mengidentifikasi sifat distribusi dari data survei. Pengujian hipotesis merupakan bagian terakhir dari analisis statistik pada penelitian ini. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode uji regresi dan uji moderasi untuk menguji hipotesis. Teknik analisis moderated regression analysis (MRA) merupakan teknik yang digunakan dalam pengujian moderasi pada penelitian ini, untuk melihat pengaruh sikap terhadap FWO pada Produktivitas Kerja, dengan strategi coping stres sebagai variabel moderator.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Berdasarkan tabel 1 (terlampir), sebagian besar kuesioner diisi oleh responden perempuan (65,6%). Sebagian besar usia responden berada dalam kategori Millennials (24-38 tahun) dengan presentase sebesar 66,5%. Selanjutnya mayoritas responden pada penelitian ini memiliki status lajang (84.8%). Sementara itu, sebagian besar responden bekerja pada sektor swasta (80,3 %). Mayoritas jenjang pendidikan responden penelitian ini adalah lulusan sarjana (78,9%).
Deskripsi Data Penelitian
Tabel 2 (terlampir) menunjukkan perhitungan ANOVA data demografi (jenis kelamin, usia, lembaga, dan lama bekerja) yang terkait dengan variabel penelitian (FWO, PFC, EFC, dan WP). Hasil menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan di keempat variabel yang diteliti jika dibandingkan berdasarkan jenis kelamin. Sementara itu, pengukuran sikap terhadap WFH yang diukur melalui FWO menunjukkan perbedaan rata-rata yang signifikan di hampir semua karakteristik responden kecuali jenis kelamin, hal tersebut pun juga berlaku untuk perbedaan rata-rata produktivitas kerja pada peneletian ini. Karakteristik status dan pendidikan responden pada penelitian
ini juga secara konsisten memiliki perbedaan rata-rata pada seluruh variable yang diukur (FWO, PFC, EFC, dan WP).
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan sebelum menguji hipotesis pada penelitian ini terdiri dari uji normalitas, linieritas, dan uji korelasi. Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah data sampel berasal dari populasi sudah terdistribusi secara normal. Uji normalitas yang digunakan adalah Kolmogorov Smirnov, apabila nilai probabilitas lebih besar dari pada alpha (0,05) maka data penelitian terdistribusi normal. Hasil uji asumsi normalitas data penelitian ini menunjukkan bahwa sebaran data sikap terhadap FWO terdistribusi secara normal, dengan p=0,350 (p<0,05), problem-focused coping dengan p=0,122 (p<0,05) dan emotions-focused coping dengan p=0,07 (p<0,05) Selanjutnya variabel produktivitas kerja terdistribusi normal dengan p=0,408 (p>0,05).
Berdasarkan hasil uji asumsi normalitas yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sebaran data pada variabel-variabel di atas telah terdistribusi secara normal. Uji asumsi linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah terdaoat hubungan yang linier antara variabel bebas, variabel moderator, dan variabel terikat. Variabel-variabel yang diukur dalam penelitian ini dapat dikatakan memiliki hubungan yang linier apabila nilai signifikansi < alpha (0,05). Berdasarkan hasil uji asumsi linieritas, maka dapat disimpulkan bahwa variabel sikap terhadap FWO, problem-focused coping, dan emotional-focused coping dengan Work Productivity memiliki hubungan yang linier (p=0,000;p<0,05).
Uji asumsi terakhir pada penelitian ini yang perlu dilakukan sebelum uji hipotesis adalah uji asumsi korelasi. Berdasarkan hasil analisis data pda tabel 3, tiga dari empat variabel dalam penelitian saling memiliki hubungan korelasional yang signifikan (p<0,05), terkecuali emotional-focused coping yang sama sekali tidak berkolerasi dengan seluruh variable yang diteliti pada penelitian ini (p>0,05). Di sisi lain, problem-focused coping memiliki korelasi positif dengan sikap terhadap flexibility working options dan work productivity. Selanjutnya, sikap terhadap flexibility working options memiliki hubungan yang positif. dengan work-productivity (Tabel 3 terlampir).
Hal tersebut menunjukan bahwa karyawan yang memiliki rasio problem- focused coping yang tinggi meningkatkan sikap terhadap pengaturan fleksibilitas kerja selama menjalankan WFH dan dapat menghasilkan produktivitas kerja yang tinggi selama masa karantina pandemi Covid-19. Berdasarkan uji asumsi yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa data dalam penelitian ini telah berdistribusi secara normal, menunjukkan hubungan yang linear, serta tiap variable memiliki korelasi yang signifikan kecuali emotional-focused coping. Berdasarkan hasil uji asumsi tersebut, maka analisis statistik dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu uji hipotesis yang terdiri dari regresi berganda dan uji moderasi dengan Teknik moderated regression analysis (MRA).
Uji Hipotesis
Analisis regresi sederhana dilakukan untuk melihat pengaruh dari sikap terhadap WFH melalui variabel FWO terhadap produktivitas kerja karyawan selama masa pandemic COVIDcoping dengan produktivitas kerja karyawan selama pandemi, terdapat pengaruh yang signifikan (p=0,000; p<0,05). Disisi lain, emotion-focused coping tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan selama masa pandemic COVID-19 (p=0,346; p<0,05). Uji hipotesis selanjutnya yang dilakukan adalah uji moderasi menggunakan Teknik MRA, hasil menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari sikap terhadap WFH melalui variabel flexibility working options pada produktivitas kerja karyawan selama pandemi setelah dimoderasi oleh problem-focused coping (p=0,000; p<0,05). Berdasarkan hasil tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ha diterima, yang artinya coping berfokus pada masalah dapat memoderasi secara positif pengaruh sikap fleksibilitas kerja terhadap WFH pada produktivitas kerja karyawan selama masa karantina pandemi COVID-19.
Uji regresi pada penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh sikap terhadap WFH (flexibility working options) melalui peran moderasi strategi coping terhadap produktivitas kerja. Hasilnya ditemukan terdapat peran positif dari FWO yang signifikan terhadap produktivitas kerja selama masa pandemic COVID-19 (p=0,000; p<0,05), dengan koefisien beta β =0,166. Setelah dimoderasi oleh problem-focused coping, signifikansi pengaruh FWO tersebut tidak berubah, namun koefisien korelasi berubah menjadi β =0,694 Perubahan tersebut menunjukan bahwa variabel problem-focused coping meningkatkan pengaruh positif dari sikap terhadap FWO pada produktivitas kerja. Di sisi lain, hasil regresi sederhana untuk melihat moderasi oleh emotional-focused coping pada peran dari sikap terhadap FWO atas produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa pandemic COVID-19 menunjukkan moderasi negatif dengan koefisien korelasi r=-0,109, namun demikian tidak merubah nilai signifikansi pengaruh FWO terhadap produktivitas kerja. Hasil tersebut menunjukkan bahwa emotional-focused coping dapat berperan sebagai moderator, namun moderasi yang dihasilkan bersifat negatif sehingga berbanding terbalik dengan peran moderasi sebelumnya. Emotional-focused coping menurunkan atau melemahkan pengaruh positif dari FWO terhadap produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa pandemi COVID-19.
Sementara itu setelah dimoderasi oleh problem-focused coping, ditemukan perubahan koefisien determinasi dari 0,481 menjadi 0,902 pada peran sikap terhadap FWO atas produktivitas kerja. Artinya, terdapat peningkatan peran sikap WFO atas produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa pandemi COVID-19 setelah dimoderasi oleh problem-focused coping sebesar 46,7%. Berdasarkan uji hipotesis yang telah dilakukan, maka dapat dibuat persamaan regresi Y = 82,435 + 0,694 X1 + 0,607 X2 + 0799 X3; dan Y = 55,242 -0,109 X1 + 0,957 X4 -1,088 X5 dengan Y adalah produktivitas kerja, X1 merupakan sikap fleksibilitas terhadap WFH melalui variabel FWO, X2 problem-focused coping, X3 interaksi X1 & X2, X4 emotional-focused, dan X5 yakni interaksi X1 & X4.
19. Hasil analisis pada tabel 4 (terlampir) ditemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari sikap terhadap FWO pada produktivitas kerja karyawan selama masa pandemi (p=0,000;p<0,05). Begitu juga pengaruh problem-focused Berdasarkan persamaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa problem-focused coping berfungsi meningkatkan pengaruh sikap terhadap FWO pada produktivitas kerja, sementara emotional-focused coping melemahkan pengaruh sikap terhadap FWO pada produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH pada masa pandemi COVID-19 di Indonesia. Kesimpulan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6 (terlampir).
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data berupa uji hipotesis, dari 5 hipotesis yang diajukan 3 diantaranya dapat diterima. Hasil uji hipotesis yang pertama adalah sikap terhadap Flexibility Working Options (FWO) berpengaruh secara positif pada produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa pandemic COVID-19. Hasil menunjukkan bahwa Ha1 diterima dan Ho1 ditolak (p=0,000; p<0,05). Temuan tersebut menunjukkan bahwa garis regresi dapat dipercaya untuk memprediksi variabel dependen yakni produktivitas kerja. Koefisen beta (β) bernilai positif (β = 0,166) yang memiliki arti bahwa kedua variabel tersebut saling memiliki hubungan yang positif, artinya semakin tinggi sikap terhadap FWO maka produktivitas kerja akan semakin tinggi, begitupun
sebaliknya dimana semakin rendah sikap terhadap FWO maka produktivitas kerja akan semakin tinggi. Pengaruh sikap FWO atas produktivitas kerja dapat dilihat melalui koefisien determinasi, hasil menunjukkan bahwa sikap terhadap FWO dapat memprediksi produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH salama masa pandemi COVID-19 sebesar 48,1% (rxy2 = 0,481). Di sisi lain, 51,9% sisanya dipengaruhi oleh faktor yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Berdasarkan tinjauan literatur yang dilakukan, peneliti berasumsi bahwa Work-to-Family Enrichment (Greenhaus & Powell, 2006), Konflik Kehidupan Kerja (Beauregard & Henry, 2009), dan Stres Kerja (Donald et al., 2005) dapat memberikan sisa pengaruh tersebut.
Berdasarkan hasil temuan terkait bagaimana sikap terhadap FWO mempengaruhi produktivitas kerja, hasil penelitian ini dapat mendukung beberapa penelitian serupa yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan (Pruchno et al., 2000) menemukan bahwa pengaturan kerja yang lebih fleksibel dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan, karena karyawan lebih dapat mengatur jadwal kerjanya yang dirasa lebih tepat sebagai penyesuaian dengan kehidupan pribadi diluar karyawanan. Selain karyawan dapat mengatur dan menyesuaikan jadwal kerjanya sendiri, fleksibilitas kerja juga dapat bermanfaat untuk mengurangi stres dan juga meningkatkan kinerja (Parris et al., 2008). Hasil penelitian ini juga searah dengan hasil temuan penelitian yang dilakukan Gajendran et al., (2015) bahwa fleksibilitas kerja memiliki efek positif pada efektivitas individu, termasuk tugas dan kinerja kontekstual, tetapi hal ini juga dapat bergantung pada hubungan dengan manajer lini karyawan. Karyawan yang memiliki hubungan dengan supervisor yang baik, akan mencapai tingkat
tugas dan kinerja kontekstual yang lebih tinggi terlepas dari sejauh mana mereka bekerja dari jarak jauh.
Hipotesis kedua yang diterima dalam penelitian ini adalah ditemukan bahwa problem-focused coping lebih berpengaruh secara positif dan signifikan (p<0,05) terhadap produktivitas kerja, jika dibandingkan dengan strategi coping lainnya yakni emotion-focused coping yang memiliki pengaruh yang tidak signifikan (p>0,05). Arah pengaruh antara problem-focused coping kepada produktivitas kerja dapat dilihat melalui nilai koefisien beta (β) pada persamaan regresi kedua sebesar 0,574 yang berarti hubungannya searah karena nilainya positif. Hubungan tersebut dapat diyakini sebagai gejala sebab akibat sehingga dapat meramalkan apabila terjadi kenaikan nilai sebesar satu poin pada variabel problem-focused coping, maka satuan poin produktivitas kerja akan mengalami kenaikan sebesar 0,574. Pengaruh problem-focused coping atas produktivitas kerja ditunjukkan melalui koefisien determinasi hasil menunjukkan bahwa sikap problem-focused coping dapat memprediksi produktivitas kerja karyawan salama masa pandemi COVID-19 sebesar 32,8% (rxy2 = 0,328). Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa strategi problem-focused coping dapat dikatakan lebih berpengaruh secara efektif terhadap produktivitas kerja, jika dibandingkan dengan strategi coping lainnya yakni emotion-focused coping melalui koefisien determinasi, (rxy2) sebesar 0,025. Artinya, strategi emotion-focused coping memprediksi produktivitas kerja karyawan salama masa pandemi COVID-19 hanya sebesar 2,5%.
Berdasarkan uji hipotesis secara keseluruhan yang dilakukan pada penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa karyawan yang menggunakan strategi coping berupa problem-focused coping akan lebih dapat mengendalikan stesor yang ditimbulkan selama masa pandemi COVID-19 untuk tetap menjaga produktivitas kerjanya. Hasil penelitian ini dapat mendukung penelitian terdahulu yang dilakukan Hardicki (2016), bahwa karyawan yang menggunakan problem-focused coping akan menghasilkan produktivitas kerja yang lebih tinggi dari karyawan yang menggunakan emotion-focused coping sebagai strategi coping. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Carver et al., (1989), bahwa karyawan yang lebih memilih untuk berpikir tentang bagaimana cara mengatasi stresor yang kemudian menentukan suatu usaha tertentu yang bersifat langsung dalam mengatasi stresor, meningkatkan kegiatan secara bertahap yang dapat dilakukan untuk mengatasi stress, dan berusaha mendapatkan dukungan sosial dari orang sekitarnya dalam menghadapi stresor yang muncul. Berdasarkan hasil pada penelitian ini dan penelitian terdahulu yang sejalan, menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki strategi problem-focused coping akan lebih efektif dalam menjaga bahkan meningkatkan produktivitas kerjanya meskipun harus bekerja dari rumah selama masa pandemi COVID-19.
Selanjutnya, hasil uji hipotesis terakhir yang terbukti diterima adalah problem-focused coping dapat memoderasi secara positif pengaruh sikap fleksibilitas kerja terhadap WFH pada produktivitas kerja. Artinya hipotesa alternatif (Ha3A) penelitian ini diterima, di mana problem-focused coping sebagai variabel pemoderasi berperan dalam menguatkan nilai
produktivitas kerja karyawan selama masa pandemi COVID-19 di Indonesia. Berdasarkan uji signifikansi parameter individual melalui teknik analisis MRA, kedua jenis strategi coping dinyatakan memiliki nilai probabilitas yang signifikan (p<0,05), namun hanya variabel moderator pertama yaitu problem-focused coping yang memiliki peran moderasi yang positif (β = 0,694) sedangkan variabel pemoderasi kedua yakni emotion-focused coping menurunkan koefisien korelasi yang semula β sebesar 0,166 menjadi -0,109. Hal tersebut memiliki arti bahwa hanya problem-focused coping yang berperan sebagai moderator yang positif terhadap produktivitas kerja, sedangkan emotion-focused coping berperan secara negatif sebagai variabel moderator. Hal tersebut memiliki arti bahwa semakin tinggi rasio problem-focused coping, maka individu akan semakin produktif saat mereka merasa sudah memiliki fleksibilitas sikap kerja saat WFH. Di sisi lain, ketika rasio emotion-focused coping semakin tinggi, maka individu akan cenderung kurang produktif meskipun mereka merasa sudah memiliki fleksibilitas sikap kerja saat WFH selama masa pandemi COVID-19 berlangsung.
Persamaan regresi yang terbentuk dari hasil uji moderasi pada peneletian ini menunjukkan bahwa sikap terhadap FWO dapat meningkatkan produktivitas kerja, di mana kemudian oleh problem-focused coping pengaruh tersebut lebih diperkuat kembali. Peningkatan koefisien determinasi dari 48,1% menjadi 90,2% juga menunjukkan bahwa problem-focused coping memiliki peran yang cukup besar dalam memoderasi hubungan sebab-akibat yang terjadi. Peran besar problem-focused coping dalam menguatkan pengaruh sikap terhadap FWO pada produktivitas kerja tidak terlepas dari banyaknya stresor yang timbul karena masa pandemi ini. Brooks et al (2020), menyebutkan bahwa stresor selama masa karantina meliputi; kekhawatiran berlebih akan infeksi, frustrasi, durasi karantina yang tidak pasti, kebosanan, persediaan yang tidak memadai, informasi yang terbatas, kerugian materi, dan stigmastigma negatif. Meskipun demikian, ketika individu mampu mengatasi stresor-stresor tersebut dengan strategi coping yang efektif (dalam penelitian ini, yakni problem-focused coping), maka akan mendukung sikap fleksibilitas kerja selama bekerja dari rumah dan berujung pada meningkatnya produktivitas kerja saat masa pandemi berlangsung. Karena menurut (Bytyqi et al., 2010), stres memiliki efek langsung pada kesehatan karyawan dan kinerja mereka, hal tersebut dapat dikatakan bahwa stres memiliki peranan yang cukup penting pada masalah organisasi. Hal tersebut dapat diperkuat dengan hasil penelitian sebelumnya, bahwa rendah atau tingginya tingkat stres kerja sangat bergantung pada cara pengelolaan stres melalui strategi coping yang dilakukan atau dipilih karyawan ketika berhadapan dengan stresor (Fako, 2010; Klassen & Chiu, 2010; Zukri & Hassim, 2010).
Berdasarkan uji variabel moderator, hasil moderasi yang mungkin terjadi dapat dibedaan menjadi empat yaitu variabel prediktor biasa, variabel moderator homologizer, moderator semu dan moderator murni. Pengelompokan ini didasarkan pada dua hal, hubungan variabel moderasi dengan variabel bebas dan tergantung, serta interaksi moderator dengan variabel bebas (Ghozali, 2016). Problem-focused coping pada penelitian ini terbukti sebagai variabel pemoderasi semu
melalui hasil uji MRA. Sharma et al., (1981) menyatakan bahwa variabel moderasi semu adalah variabel yang mampu memoderasi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dan dapat berinteraksi dengan variabel independen. Berdasarkan hasil penelitian ini, problem-focused coping berhubungan dan berinteraksi bahwa sikap terhadap FWO sehingga dapat memperkuat hubungan terhadap produktivitas kerja karyawan selama masa pandemic COVID-19. Di sisi lain, pada penelitian ini emotion-focused coping dibuktikan sebagai variabel moderator murni, karena emotion-focused coping terbukti tidak memiliki hubungan dengan variabel dependen, meskipun berinteraksi dengan variabel independent. Klasifikasi tersebut didasarkan oleh pernyataan yang dikemukakan (Sharma et al., 1981), bahwa moderator murni merupakan variabel dapat memoderasi dan berinteraksi dengan variabel independen, namun tidak dapat menjadi variabel independen.
Penelitian ini bertujuan untuk meninjau pengaruh sikap terhadap FWO pada karyawan yang melaksanakan WFH terhadap produktivitas kerja selama masa karantina Pandemi COVID-19 dan menguji strategi coping stres (emotion-focused coping dan problem-focused coping) sebagai moderator pada hubungan antara kedua variabel tersebut. Berdasarkan pembahasan hasil analisis statistik, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hanya FWO dan problem-focused coping yang memiliki peran yang signifikan dan positif dalam mempengaruhi produktivitas kerja selama masa pandemic COVID-19 di Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini menunjukkan bahwa problem-focused coping dapat memoderasi secara positif pengaruh sikap fleksibilitas kerja terhadap WFH pada produktivitas kerja karyawan selama masa karantina pandemi COVID-19. Hal tersebut memiliki arti bahwa semakin tinggi rasio problem-focused coping, maka individu akan semakin produktif saat mereka merasa sudah memiliki fleksibilitas sikap kerja selama WFH selama pandemi COVID-19 di Indonesia. Selain hasil analisis yang sudah dijelaskan diatas, penelitian ini juga menghasilkan sebuah rekomendasi untuk karyawan dalam mengadopsi mekanisme coping yang tepat untuk dapat mengendalikan stresor-stresor yang muncul selama masa pandemi COVID-19 sehingga akan memungkinkan mereka untuk menjadi lebih produktif, yakni problem-focused coping.
Salah satu keterbatasan yang cukup signifikan pada penelitian ini adalah terbatasnya tinjauan literatur mengenai penelitian empiris terdahulu yang memiliki model penelitan yang sama dalam melihat dinamika Work From Home serta strategi coping dalam menghadapi stresor dan produktivitas pekerja khususnya di masa pandemic COVID-19 di Indonesia. Berdasarkan
keterbatasan tersebut, peneliti berikutnya juga diharapkan mencari hubungan langsung fleksibilitas kerja dan/atau produktivitas kerja dengan variabel anteseden lain yang tidak diukur pada penelitian ini yang dapat mengeksplor lebih luas terkait fenomena masa karantina pandemi ini, terlebih masih banyak variabel selain yang diteliti pada penelitian ini yang dapat berhubungan dan memprediksi produktivitas kerja. Peneliti merekomendasikan peneliti selanjutnya untuk menelaah melalui hubungan variabel lain yang juga berpeluang mempengaruhi fleksibilitas kerja maupun produktivitas kerja, seperti Work-to-Family Enrichment (Greenhaus & Powell, 2006), Konflik Kehidupan Kerja (Beauregard & Henry, 2009), dan Stres Kerja (Donald et al., 2005) dapat memberikan sisa pengaruh tersebut.
Berdasarkan hasil yang didapat, saran yang dapat disampaikan kepada subjek penelitian ini yaitu karyawan yang bekerja dari rumah selama masa pandemi berlangsung sebaiknya tetap melakukan strategi problem-focused coping yang dapat meminimalisir meningkatnya stres kerja, dengan cara melakukan perencanaan kegiatan sehari-hari, menahan diri dari masalah, mencari dukungan sosial baik dari atasan, rekan kerja, teman sejawat maupun keluarga untuk mendapatkan nasihat, bantuan atau informasi mengenai stresor yang muncul, dan tetap konsentrasi saat bekerja demi menjaga produktivitas yang berujung pada pemenuhan harapan atau target kinerja dari organisasi tempat mereka bekerja.
Saran yang penting untuk diperhatikan kepada pihak organisasi berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu: (1) perusahaan dapat memberikan dukungan berupa memastikan karyawan memiliki fasilitas atau infrastruktur teknologi dan koneksi internet yang cepat terakses sehingga karyawan dapat bekerja, mengadakan rapat, atau terkoneksi kapanpun dan dimanapun tanpa harus memakan waktu yang tidak produktif karena kendala yang berkaitan dengan fasilitas yang menunjang bekerja dari rumah. (2) Atas saran untuk organisasi atau perusahaan dapat mengatur tenggat waktu yang masuk akal dan dapat dicapai untuk setiap tugas kerja. Tenggat waktu memaksa karyawan untuk bekerja lebih keras dan lebih efektif saat tenggat waktu semakin dekat. Tenggat waktu harus disepakati antara karyawan dan atasan sehingga karyawan didorong secara internal dan termotivasi untuk mulai menyelesaikan pekerjaan tepat seperti yang dijadwalkan. (3) Atas saran untuk organisasi atau perusahaan sekiranya dapat menerapkan mekanisme apresiasi atau reward system atas penyelesaian tugas bila sesuai dengan target perusahaan, dengan mengacu pada asas kebermanfaatan bagi situasi produktivitas pekerja yang menjalani WFH.
DAFTAR PUSTAKA
Ain, Khattak, I. (2013). Impact of Role Conflict on Job Satisfaction , Mediating Role of Job Stress in Private Banking Sector. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business.
Albion, M. J. (2004). A Measure of Attitudes Towards Flexible Work Options. Australian Journal of Management. https://doi.org/10.1177/031289620402900207
Bai, Y. M., Lin, C. C., Lin, C. Y., Chen, J. Y., Chue, C. M., & Chou, P. (2004). Survey of stress reactions among health care workers involved with the SARS outbreak. In Psychiatric Services. https://doi.org/10.1176/appi.ps.55.9.1055
Battiston, D., Blanes, J., & Kirchmaier, T. (2017). Is Distance Dead? Face-to-Face Communication and Productivity in Teams. CEP Discussion Paper.
Beauregard, T. A., & Henry, L. C. (2009). Making the link between work-life balance practices and organizational performance. Human Resource Management Review. https://doi.org/10.1016/j.hrmr.2008.09.001
Bhui, K., Dinos, S., Galant-Miecznikowska, M., de Jongh, B., & Stansfeld, S. (2016). Perceptions of work stress causes and effective interventions in employees working in public, private and non-governmental organisations: a qualitative study. BJPsych Bulletin. https://doi.org/10.1192/pb.bp.115.050823
Bloom, N., Liang, J., Roberts, J., & Ying, Z. J. (2015). Does working from home work? Evidence from a chinese experiment. Quarterly Journal of Economics. https://doi.org/10.1093/qje/qju032
Brooks, S. K., Webster, R. K., Smith, L. E., Woodland, L., Wessely, S., Greenberg, N., & Rubin, G. J. (2020). The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence. In The Lancet. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30460-8
Bytyqi, F., Reshani, V., & Hasani, V. (2010). Work Stress, Job Satisfaction and Organizational Commitment among Public Employees before Privatization. European Journal of Social Sciences.
Carver, C. S., Scheier, M. F., & Weintraub, K. J. (1989). Assessing Coping Strategies: A Theoretically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology, 56(2), 267–283. https://doi.org/10.1037/0022-3514.56.2.267
Christensen, K. E., & Staines, G. L. (1990). Flextime: A Viable Solution to Work/Family Conflict? Journal of Family Issues. https://doi.org/10.1177/019251390011004007
Dahlan, W. (2005). Model Proses Stres dengan Tiga Strategi Coping. (Disertasi Doktor Tidak Dipublikasikan). Universitas Indonesia, Jakarta.
Donald, I., Taylor, P., Johnson, S., Cooper, C., Cartwright, S., & Robertson, S. (2005). Work environments, stress, and productivity: An examination using ASSET. International Journal of Stress Management. https://doi.org/10.1037/1072-5245.12.4.409
Endicott, J., & Nee, J. (1997). Endicott Work Productivity Scale (EWPS): A new measure to assess treatment effects. Psychopharmacology Bulletin.
Fako, T. T. (2010). Occupational stress among university employees in Botswana. European Journal of Social Sciences.
Gajendran, R. S., Harrison, D. A., & Delaney-Klinger, K. (2015). Are Telecommuters Remotely Good Citizens? Unpacking Telecommuting’s Effects on Performance Via I-Deals and Job Resources. Personnel Psychology.
https://doi.org/10.1111/peps.12082
Gan, Y., Liu, Y., & Zhang, Y. (2004). Flexible coping responses to severe acute respiratory syndrome-related and daily life stressful events. Asian Journal of Social Psychology. https://doi.org/10.1111/j.1467-839X.2004.00134.x
Ghozali, I. (2016). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 23. (Edisi 8). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Glenn Dutcher, E. (2012). The effects of telecommuting on productivity: An experimental examination. The role of dull and creative tasks. Journal of Economic Behavior and Organization. https://doi.org/10.1016/j.jebo.2012.04.009
Greenhaus, J. H., & Powell, G. N. (2006). When work and family are allies: A theory of work-family enrichment. In Academy of Management Review. https://doi.org/10.5465/amr.2006.19379625
Hardicki, Lutfi Novem (2016) Perbedaan Produktivitas Kerja Ditinjau Dari Strategi Coping. University of Muhammadiyah Malang.
Hopman, J., Allegranzi, B., & Mehtar, S. (2020). Managing COVID-19 in Low- and Middle-Income Countries. In JAMA - Journal of the American Medical Association. https://doi.org/10.1001/jama.2020.4169
Ismail, M. I., & Teck-hong, T. (2011). Identifying Work-Related Stress among Employees in the Malaysian Financial Sector Mohamed & Tan. World Journal of Management.
Institute for Corporate Productivity (2020) “The corona virus employer resource center”, (diakses tanggal 27 Juli 2020) dari https://www.i4cp.com/search/productivity?categories=coronavirus,coronavirus-practice
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2020). National Health Care Guideline for Coronavirus 2019 (Covid-19) in Indonesia (Jakarta)
Khan, J., Khan, M. A., Haq, A. U., & Arif, M. (2011). Occupational stress and burnout in Pakistans banking sector. African Journal of Business Management, 5(3), 810–817. https://doi.org/10.5897/AJBM10.395
Kirrane, E. D. (1994). Wanted: Flexible work arrangements. Association Management. 16, 38–46.
Klassen, R. M., & Chiu, M. M. (2010). Effects on Teachers’ Self-Efficacy and Job Satisfaction: Teacher Gender, Years of Experience, and Job Stress. Journal of Educational Psychology. https://doi.org/10.1037/a0019237
Lambert, A. D., Marler, J. H., & Gueutal, H. G. (2008). Individual differences: Factors affecting employee utilization of flexible work arrangements. Journal of Vocational Behavior. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2008.02.004
Lazǎr, I., Osoian, C., & Raţiu, P. (2010). The role of work-life balance practices in order to improve organizational performance. In European Research Studies Journal. https://doi.org/10.35808/ersj/267
Lazarus, R.S., & Folkman, S. (1984). Stres, Appraisal and Coping. New York:Springer.
Lee-Baggley, D., DeLongis, A., Voorhoeave, P., & Greenglass, E. (2004). Coping with the threat of severe acute respiratory syndrome: Role of threat appraisals and coping responses in health behaviors. Asian Journal of Social Psychology. https://doi.org/10.1111/j.1467-839X.2004.00131.x
Lee, C. (1991). Balancing Work & Family. 28(N9), 23–28.
McHugh, M. (1993). Stres at work: Do managers really count the costs? Employee Relations Journal, 151, 18–32.
Murphy, L. R. (1995). Occupational Stres Management: Current Status and Future Direction Trends in Organizational Behavior. 114, 2.
Parris, M. A., Vickers, M. H., & Wilkes, L. (2008). Caught in the middle: Organizational impediments to middle managers’ worklife balance. Employee Responsibilities and Rights Journal. https://doi.org/10.1007/s10672-008-9069-z
Prati, G., Pietrantoni, L., & Cicognani, E. (2011). Coping Strategies and Collective Efficacy as Mediators Between Stress Appraisal and Quality of Life Among Rescue Workers. International Journal of Stress Management. https://doi.org/10.1037/a0021298
Pricewaterhouse Coopers International. (2020). “PwC US CFO Pulse Survey”, (diakses tanggal 26 Juli 2020) dari https://www.pwc.com/us/en/library/covid-19/pwc-covid-19-cfo-pulse-survey.html
Pruchno, R., Litchfield, L., & Fried, M. (2000). Measuring the Impact of Workplace Flexibility. Findings from the National Work Life Measurement Project, 1–57.
Rubin, G. J., & Wessely, S. (2020). The psychological effects of quarantining a city. In The BMJ. https://doi.org/10.1136/bmj.m313
Schabracq, M. J., & Cooper, C. L. (2000). The changing nature of work and stress. Journal of Managerial Psychology. https://doi.org/10.1108/02683940010320589
Sharma, S., Durand, R. M., & Gur-Arie, O. (1981). Identification and Analysis of Moderator Variables. Journal of Marketing Research. https://doi.org/10.1177/002224378101800303
Singhal, T. (2020). A review of Coronavirus Disease-2019 (COVID-19). Indian J. Pediatr. 87, 281–286.
https://doi.org/10.1007/s12098-020-03263-6
Sturges, J., & Guest, D. (2004). Working to live or living to work? Work/life balance early in the career. Human Resource Management Journal. https://doi.org/10.1111/j.1748-8583.2004.tb00130.x
Thomas, L. T., & Ganster, D. C. (1995). Impact of Family-Supportive Work Variables on Work-Family Conflict and Strain: A Control Perspective. Journal of Applied Psychology. https://doi.org/10.1037/0021-9010.80.1.6
Thompson, R. J., Payne, S. C., & Taylor, A. B. (2015). Applicant attraction to flexible work arrangements: Separating the influence of flextime and flexplace. Journal of Occupational and Organizational Psychology. https://doi.org/10.1111/joop.12095
Vitaliano, P. P., Russo, J., Carr, J. E., Maiuro, R. D., & Becker, J. (1985). The Ways of Coping Checklist: Revision and Psychometric Properties. Multivariate Behavioral Research. https://doi.org/10.1207/s15327906mbr2001_1
Zhu, N., Zhang, D., Wang, W., Li, X., Yang, B., Song, J., Zhao, X., Huang, B., Shi, W., Lu, R., Niu, P., Zhan, F., Ma, X., Wang, D., Xu, W., Wu, G., Gao, G. F., & Tan, W. (2020). A Novel Coronavirus from Patients with Pneumonia in
China, 2019. New England Journal of Medicine. https://doi.org/10.1056/nejmoa2001017
Zukri, M., & Hassim, N. (2010). A Study of Occupational Stres, and Coping Strategies Among Correctional Officers in Kedah, Malaysia. Journal of Community Health, 16(2), 66–74.
LAMPIRAN
Tabel 1
Data Demografi
Karakteristik |
N (421) |
Persentase |
Jenis Kelamin | ||
Pria |
145 |
34,4% |
Perempuan |
276 |
65,6% |
Usia | ||
Gen X (<24 Tahun) |
39 |
9,3% |
Millennials (24-38 Tahun) |
280 |
66,5% |
Gen Z (39 – 54 Tahun) |
102 |
24,2% |
Status | ||
Lajang |
357 |
84,8% |
Menikah |
36 |
8,6% |
Menikah dan memiliki anak |
28 |
6,7% |
Institusi | ||
BUMN |
23 |
5,5% |
Swasta |
338 |
80,3% |
Aparatur Sipil Negara | ||
(ASN) |
60 |
14,3% |
Pendidikan | ||
SMA |
39 |
9,3% |
Diploma |
26 |
6,2% |
Sarjana |
332 |
78,9% |
Pascasarjana |
24 |
5,7% |
LAMPIRAN
Tabel 2
ANOVA among variables (N=421)
Gender |
Usia |
Status |
Instansi |
Pendidikan | ||||||
F |
p |
F |
p |
F |
p |
F |
p |
F |
p | |
Flexible Working Options Problem Focused |
1.34 |
0.09 |
1.78 |
0.01 |
2.51 |
0.04 |
1.13 |
0.03 |
2.54 |
0.00 |
Coping Emotional Focused |
2.25 |
0.18 |
1,92 |
0.10 |
3.44 |
0.00 |
3,40 |
0.27 |
2.65 |
0.00 |
Coping |
1.92 |
0,10 |
1.73 |
0.04 |
3.17 |
0.00 |
2.41 |
0.00 |
2.40 |
0.00 |
Work Productivity |
1.74 |
0.07 |
2.20 |
0.00 |
2.02 |
0.00 |
1,61 |
0.00 |
1.92 |
0.00 |
LAMPIRAN
Tabel 3
Matrix menunjukkan Hubungan antar 106ariable (N=421)
Variabel |
1 |
2 |
3 |
4 |
1. Flexibility Working Options |
1.00 | |||
2. Problem-Focused Coping |
.49** |
1.00 | ||
3. Emotional-Focused Coping |
.057 |
.071 |
1.00 | |
4. Work Productivity |
.17** |
.57** |
0.05 |
1.00 |
LAMPIRAN
Tabel 4
Uji Regresi Sikap terhadap FWO, PFC, dan EFC terhadap Work Productivity
β |
S.E. |
P |
Label | |
Attitude Towards Flexibility Working Options --> Work Productivity |
0.166 |
0.082 |
0.000 |
Signifikan |
Problem-Focused Coping --> Work Productivity |
0.574 |
0.108 |
0.000 |
Signifikan |
Emotion-Focused Coping --> Work Productivity |
0.046 |
0071 |
0.346 |
Tidak Signifikan |
LAMPIRAN
Tabel 5
Uji Moderasi PFC dan EFC pada FWO terhadap Work Productivity
Peran sikap terhadap FWO pada produktivtas kerja |
Sig. |
β |
R2 |
Sebelum dimoderasi emotion-focused coping |
0.000 |
0.166 |
0.481 |
Setelah dimoderasi emotion-focused coping |
0.000 |
-0.109 |
0.504 |
Sebelum dimoderasi problem-focused coping |
0.000 |
0.166 |
0.481 |
Setelah dimoderasi problem-focused coping |
0.000 |
0.694 |
0.902 |
Tabel 6 Ringkasan Hasil Hipotesis |
LAMPIRAN | ||
Hipotesis |
Pernyataan |
Keterangan | |
Ha1 |
Sikap terhadap Flexibility Working Options berpengaruh secara positif pada produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa karantina COVID-19 |
Diterima | |
Ha2A |
Coping berfokus pada masalah berpengaruh secara positif terhadap produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa karantina COVID-19 |
Diterima | |
Ha2B |
Coping berfokus pada emosi berpengaruh secara positif terhadap produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa karantina COVID-19 |
Ditolak | |
Ha3A |
Coping berfokus pada masalah dapat memoderasi secara positif pengaruh sikap terhadap Flexibility Working Options pada Produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa karantina COVID-19 |
Diterima | |
Ha3B |
Coping berfokus pada emosi dapat memoderasi secara positif pengaruh sikap terhadap Flexibility Working Options pada Produktivitas kerja karyawan yang melaksanakan WFH selama masa karantina COVID-19 |
Ditolak |
109
Discussion and feedback