Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.1, 36-48


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607 doi: 10.24843/JPU.2021.v08.i01.p04

Pengaruh dimensi attachment avoidance dan anxiety terhadap kualitas hubungan berpacaran dewasa muda

Irene Angela dan Jessica Ariela

Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan [email protected]

Abstrak

Hubungan pacaran merupakan bagian penting dalam hidup manusia khususnya dewasa muda dan dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Maka dari itu, kualitas dari hubungan pacaran perlu diperhatikan karena kualitas hubungan yang buruk dapat memberikan dampak negatif pada individu, pada hubungan individu bersama orang lain di masa depan dan juga pada tahap selanjutnya dari hubungan berpacaran (menikah). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa attachment merupakan prediktor terbaik dari kualitas hubungan. Attachment itu sendiri merupakan keinginan manusia untuk menjalin hubungan yang memiliki kasih sayang bersama dengan individu lain, serta menentukan arah hubungan. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh dimensi attachment terhadap kualitas hubungan berpacaran dewasa muda. Partisipan penelitian sebanyak 145 individu dewasa muda yang sedang menjalani hubungan berpacaran dan belum bertunangan, serta telah menjalani hubungan berpacaran lebih dari tiga bulan. Pengambilan data penelitian dilakukan secara online dan offline, dan diolah secara kuantitatif menggunakan alat ukur The Experiences Close Relationship-Revised dan The Perceived Relationship Quality Component. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh dimensi attachment terhadap kualitas hubungan sebesar 44,8%. Namun, dimensi attachment avoidance memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kualitas hubungan dibandingkan dengan attachment anxiety.

Kata kunci: Attachment anxiety, attachment avoidance, berpacaran, dewasa, kualitas hubungan.

Abstract

Dating relationship is a crucial part of the human life particularly for the young adults that it can affect the mental health of a person. Hence, the quality of dating relationship should be thoroughly considered because bad dating relationship could contribute negatively to a person’s life, to the person’s relationship with other people in the future and further to the next phase of dating relationship (marriage). Prior researches show that attachment is the preeminent indicators of the quality of relationship. Attachment is human desire to establish relationship based on shared affection with other individuals. Attachment also determines the direction and the basic understanding of individual toward that relationship. The objective of this research is to discern the dimension effect of attachment toward the quality of dating relationship for the young adults. Total participant of this research is 145 people who are currently in relationship for three months or more and not engaged yet. The data is obtained from two types of sources such as online and offline. This research uses quantitative research method with measuring instrument of ‘The Experiences Close Relationship-Revised dan The Perceived Relationship Quality Component. The result of this research shows that there is dimension effect of attachment toward the quality of dating relationship by 44,8%. However, attachment avoidance give bigger impact towards relationship quality compare with attachment anxiety.

Keywords: Attachment anxiety, attachment avoidance, dating, relationship quality, young adult.

LATAR BELAKANG

Hubungan yang intim atau hubungan romantis yang lebih akrab disebut pacaran merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia (Demir, 2008). Hubungan berpacaran dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisik individu (Dush & Amato, 2005), serta memengaruhi kepuasan hidup individu (Twenge & King dalam Domingue & Mollen, 2009). Kualitas dari hubungan berpacaran itu juga dapat memengaruhi ketahanan hubungan dan kepuasan pernikahan (Harris, 2013) serta kebahagiaan individu (Demir, 2008), sehingga penting untuk membangun kualitas hubungan yang baik bersama pasangan.

Namun, jika kualitas dari hubungan romantis itu buruk maka well-being individu yang tidak menjalani hubungan romantis atau tidak memiliki pacar akan lebih baik dibandingkan dengan individu yang menjalani hubungan yang buruk (Dush & Amato, 2005). Kualitas hubungan yang buruk dapat menurunkan kesehatan mental individu (Indrawati dkk., 2018). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas hubungan berkorelasi negatif dengan depresi (Noftle & Shaver, 2006) sehingga, semakin buruk kualitas hubungan, maka dapat meningkatkan depresi. Tekanan dalam hubungan dapat menimbulkan perasaan frustrasi dalam diri individu dan dapat menyebabkan individu untuk memutuskan bunuh diri (Al Baqi, 2015; Kholidah & Alsa, 2012). Selain itu juga dapat meningkatkan stres, menurunkan kepuasan hidup, dan membuat hubungan berakhir (Rhoades dkk., 2011). Berakhirnya hubungan juga tentunya dapat menimbulkan tekanan bagi individu apalagi bagi individu yang diputuskan. Putusnya hubungan dapat membuat individu memunculkan perilaku menarik diri dari lingkungan sosial atau menjadi murung (Al Baqi, 2015).

Kualitas hubungan yang buruk juga ditemukan berkorelasi sangat kuat dengan kemungkinan terjadinya kekerasan dalam pacaran (Viejo dkk, 2016) dan pada tahun 2018, ditemukan kekerasan dalam berpacaran juga menduduki urutan ketiga terbanyak setelah kekerasan pada istri dan anak, yaitu sebanyak 1.873 kasus (Komisi Nasional Perempuan, 2018). Di tahun yang sama, LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) yang juga bertugas menangani kasus di daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) melaporkan pada awal tahun bahwa terdapat 23 kasus kekerasan dalam pacaran yang terjadi (VOA Indonesia, 2017) dan meningkat menjadi 30 kasus pada akhir tahun 2017 (Bangkapos.com, 2018).

Kualitas hubungan itu sendiri adalah evaluasi positif atau negatif individu terhadap hubungan romantis yang ia jalankan, dan bersifat subyektif (Fletcher dkk., 2000). Semakin baik hubungan individu dengan pasangannya, maka semakin tinggi juga penilaian kualitas hubungan individu dengan pasangannya. Kualitas hubungan dapat dilihat melalui enam komponen yang disusun dalam alat ukur Perceived Relationship Quality-Components (PRQ-

C). Enam komponen kualitas hubungan terdiri dari kepuasan, komitmen, kepercayaan, keintiman, gairah, dan cinta (Fletcher dkk., 2000). Enam komponen yang dipilih dalam satu alat ukur ini juga sudah terbukti saling berkaitan dan dapat menggambarkan variabel kualitas hubungan.

Kemudian, Noftle dan Shaver (2006) membandingkan antara kepribadian dan attachment. Mereka ingin melihat dari antara kedua variabel tersebut, mana yang paling memengaruhi kualitas hubungan. Meskipun penelitian Noftle dan Shaver (2006) tidak melihat bagaimana kepribadian dan attachment memengaruhi kualitas hubungan, karena lebih fokus pada perbedaan kepribadian dan attachment, hasil penelitian menunjukkan bahwa attachment dikatakan sebagai prediktor terbaik dalam melihat kualitas hubungan.

Attachment itu sendiri adalah keinginan manusia untuk menjalin hubungan yang terikat dengan orang lain dimana kasih sayang dan afeksi hadir dalam hubungan tersebut (Bowlby, dalam Bartholomew & Horowitz, 1991). Selain itu, attachment juga dapat menentukan arah hubungan dan dasar pemahaman individu terhadap hubungan yang dijalaninya (Fraley & Shaver, 2000; Hazan & Shaver, 1987). Attachment yang terbentuk antara bayi dan pengasuh memengaruhi perilaku, perasaan, dan pikiran individu sampai dewasa. Ketika individu akan berinteraksi dengan orang lain, ia akan mempersepsikan orang lain atau dirinya sendiri seperti pengalaman yang ia dapatkan sebelumnya bersama pengasuhnya (Fraley, 2010). Oleh karena itu, attachment antara individu dan pasangannya, sama seperti bayi dan pengasuhnya (Shaver & Hazan, 1988), dan diyakini dapat memengaruhi kualitas hubungan romantis (Li & Chan, 2012). Sehingga penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh dimensi attachment terhadap kualitas hubungan berpacaran dewasa muda.

Attachment

Attachment merupakan dasar pemahaman individu terhadap hubungannya dan arah hubungan interaksi sosialnya (Fraley & Shaver, 2000; Hazan & Shaver, 1987). Berdasarkan teori attachment, working model merupakan proses psikologis yang paling penting oleh karena efek jangka panjang terhadap fungsi kepribadian individu, dari bayi, masa kanak-kanak, hingga dewasa (Bowlby, dalam Mikulincer & Shaver, 2007). Pola interaksi yang konsisten antara bayi dan pengasuh merupakan working model yang menjadi pengetahuan individu dan beroperasi atau teraktivasi secara otomatis dan tidak disadari ketika individu akan berinteraksi dengan orang baru sehingga menjadi sulit untuk berubah tetapi bukan tidak mungkin untuk berubah (Mikulincer & Shaver, 2007). Hal ini dikarenakan internal working model dapat “reworked” atau kembali bekerja dari awal (Pinquart dkk., 2013). Internal working model terbentuk melalui transaksi berkali-kali dengan attachment figures (Mikulincer & Goodman, 2006).

Attachment memiliki dua dimensi, yaitu avoidance dan anxiety. Bartholomew dan Horowitz (1991), menyebut dua dimensi ini sebagai image of the self (anxiety), yaitu pandangan individu terhadap dirinya sendiri, dan image of the other (avoidance), yaitu pandangan individu terhadap orang lain. Pada individu dengan dimensi anxiety yang tinggi cenderung lebih kepada evaluasi dirinya sendiri, apakah dirinya berharga atau tidak. Mereka cenderung melihat dirinya buruk dan memandang orang lain sebagai orang baik. Sebaliknya pada individu dengan dimensi avoidance yang tinggi, mereka cenderung mengevaluasi orang lain, apakah orang lain dapat dipercaya atau tidak. Individu cenderung memandang diri sendiri baik, dan memandang orang lain buruk (Bartholomew & Horowitz, 1991).

Kualitas Hubungan

Kualitas hubungan sendiri adalah evaluasi negatif atau positif dari individu yang sedang menjalani hubungan romantis yang bersifat subyektif (Fletcher dkk., 2000). Kualitas hubungan terdiri dari enam komponen, yaitu satisfaction, trust, commitment, passion, intimacy, dan love. Enam komponen ini saling berkaitan dan dapat menggambarkan variabel kualitas hubungan.

Dalam menjalani hubungan romantis, individu yang memberikan usaha, waktu dan tenaga dalam menjalankan hubungan akan memiliki komitmen yang lebih besar pada hubungannya. Komitmen merupakan bagian dari proses perjalanan hubungan individu bersama pasangannya dan akan muncul seiring berjalannya waktu (Lund, 1985). Komitmen juga diyakini timbul dari adanya rasa puas dalam menjalani hubungan (Fletcher dkk., 2000). Rasa puas atau kepuasan adalah keyakinan individu bahwa kualitas hubungannya bersama pasangannya baik sehingga individu juga merasakan perasaan positif terhadap hubungannya bersama pasangannya (Chen, 2015).

Selanjutnya, komponen kepercayaan merupakan keyakinan individu bahwa orang lain memiliki motif yang baik (Boon & Holmes, dalam Hernandez & Santos, 2010). Kemudian komponen keintiman yang menimbulkan kedekatan dan keterikatan antar individu yang menjalin hubungan juga tentunya dapat membawa individu untuk memiliki hubungan yang lebih baik. Lalu, gairah di antara dua orang yang berlawanan jenis juga baru akan timbul ketika mereka sudah merasakan adanya keintiman (Sternberg, 1986). Gairah itu sendiri merupakan ketertarikan fisik dan interaksi sosial individu bersama pasangannya yang memiliki hubungan timbal balik dengan keintiman (Sternberg, 1986). Terakhir, komponen cinta juga dapat menentukan kualitas hubungan dimana cinta itu sendiri merupakan kecenderungan individu merasakan, memikirkan, dan berperilaku tertentu pada pasangannya (Rubin, 1970). Cinta atau love juga mengacu pada perasaan positif individu terhadap orang tertentu (Lund, 1985).

Individu dengan attachment anxiety yang tinggi memiliki keinginan yang kuat untuk menjalani hubungan pacaran dengan perasaan yang terus menerus takut ditolak, takut ditinggalkan, namun individu menutupinya dengan menjadi sangat aktif untuk mempertahankan hubungan pacarannya. Individu cenderung membesar-besarkan emosi, perilaku, dan pikiran mereka terhadap pasangan mereka baik hal positif maupun hal negatif. Keterlibatan individu dalam menjalani hubungan dapat meningkatkan pengalaman positif bersama pasangannya. Sayangnya, karena individu terlalu sensitif atau mudah mempermasalahkan sesuatu, ia juga akan banyak mengalami hal yang kurang menyenangkan selama menjalani hubungan dan membuat kualitas hubungan semakin buruk. Berbanding sebaliknya, pada individu dengan attachment avoidance yang tinggi, mereka akan menjadi pasif dalam menjalani hubungan karena tidak menyukai keintiman, dan cenderung mengurangi berbagai interaksi dengan pasangan. Hal ini memang akan membuat individu menjadi kurang mendapatkan pengalaman negatif dengan pasangannya, tetapi juga membuat individu sedikit mengalami hal positif dalam hubungannya. Maka dari itu, kualitas hubungan individu dengan attachment avoidance yang tinggi dapat menjadi buruk atau menurun (Li & Chan, 2012). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini ingin menguji asumsi bahwa kualitas hubungan individu akan dipengaruhi oleh kedua dimensi attachment, di mana semakin rendah kedua dimensinya, maka kualitas hubungan individu akan semakin positif.

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kualitas hubungan dan variabel bebas dalam penelitian ini adalah attachment. Definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian adalah sebagai berikut:

Kualitas Hubungan

Kualitas hubungan merupakan skor total evaluasi negatif atau positif individu terhadap hubungan yang ia jalani bersama pasangannya dengan mengisi alat ukur yang digunakan, yaitu Perceived Relationship Quality-Revised (PRQ-R). Semakin tinggi skor total yang diperoleh oleh partisipan, maka kualitas hubungan individu bersama pasangannya semakin tinggi atau positif. Lalu, semakin rendah skor total partisipan menunjukkan kualitas hubungan partisipan rendah atau negatif.

Attachment

Attachment adalah skor dimensi attachment yang diperoleh individu melalui kuesioner attachment, yaitu Experiences in Close Relationships-Revised (ECR-R). Alat ukur ini dikembangkan oleh Fraley dkk. (2000). Alat ukur ini melihat dua dimensi attachment, yaitu dimensi anxiety dan dimensi avoidance. Semakin tinggi skor dimensi anxiety individu, menunjukkan bahwa dirinya merasa takut ditinggalkan dan akan marah jika berpisah dari orang yang ia sayangi (Mikulincer & Shaver, 2007). Individu juga akan cenderung memandang dirinya sendiri buruk (Bartholomew & Horowitz, 1991). Berbeda dengan

dimensi avoidance, semakin tinggi skor individu menunjukkan bahwa hubungan individu dengan pasangan tidak dekat dan individu cenderung menekan emosi yang dirasakan (Mikulincer & Shaver, 2007). Pandangan individu terhadap orang lain juga akan cenderung menjadi negatif atau melihat orang lain itu buruk (Bartholomew & Horowitz, 1991).

Responden

Jumlah responden yang berpartisipasi pada penelitian ini yaitu sebanyak 145 orang. Populasi penelitian ini adalah dewasa muda berusia 20 hingga 40 tahun yang sedang menjalani hubungan berpacaran. Karakteristik populasi dalam penelitian ini antara lain pertama, subjek sedang menjalani hubungan berpacaran dan belum bertunangan. Kedua, subjek telah menjalani hubungan selama lebih dari tiga bulan. Ketiga, subjek menjalani hubungan berpacaran dengan individu yang berbeda jenis kelaminnya dengan subjek, atau dapat disebut hubungan berpacaran heteroseksual. Keempat, subjek belum pernah menikah.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross-sectional karena hanya dilakukan sebanyak satu kali pada subjek. Penelitian ini juga menggunakan uji regresi untuk menjelaskan pengaruh variabel bebas (attachment) terhadap variabel terikat (kualitas hubungan).

Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2019 dengan cara bertemu secara langsung dengan subjek yang memenuhi kriteria di salah satu Universitas swasta di Tangerang dan juga menggunakan kuesioner online dengan menggunakan Google form dan disebarkan melalui akun media sosial seperti Line dan Instagram.

Alat Ukur

Penelitian ini menggunakan alat ukur PRQ-R untuk melihat kualitas hubungan. Alat ukur ini dikembangkan oleh Fletcher dkk. (2000) guna mengukur evaluasi individu terhadap hubungan yang dijalaninya bersama pasangan. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini merupakan alat ukur yang telah diadaptasi oleh Indrawati dkk. (2018). Pengisian dilakukan dengan menggunakan skala Likert dari angka 1 yang berarti “tidak sama sekali” sampai dengan angka 7 yang berarti “sangat” menggambarkan individu. Alat ukur ini terdiri dari enam komponen, yaitu kepuasan hubungan, komitmen, keintiman, kepercayaan, gairah, dan cinta. Jumlah skor total yang tinggi menunjukkan bahwa kualitas hubungan individu itu positif, berlaku untuk sebaliknya.

Kemudian untuk mengukur attachment subjek, digunakan alat ukur ECR-R yang dikembangkan oleh Fraley dkk. (2000) dan telah diadaptasi oleh Elizabeth dan Ariela (2020). Attachment terbagi menjadi dua dimensi, yaitu anxiety dan avoidance. Sebelumnya, alat ukur ini dikembangkan dengan tujuan untuk melihat sejauh mana individu merasa nyaman dalam menjalani hubungan yang intim atau dekat dengan orang lain (seperti pacar, orang

tua, atau teman). Namun, dalam penelitian ini, penggunaan alat ukur berfokus pada hubungan berpacaran. Alat ukur ini juga terdiri dari 36 pernyataan dengan masing-masing dimensi memiliki 18 pernyataan yang akan diisi dengan menggunakan skala Likert dari 1 yaitu “sangat tidak setuju”, hingga 7 yang berarti “sangat setuju”.

Penyebaran skala uji coba alat ukur dilaksanakan sebanyak dua kali. Pertama dilakukan uji coba terlebih dahulu pada 38 partisipan. Hasil uji coba yang dilakukan menunjukkan bahwa kedua alat ukur yang digunakan memiliki validitas dan reliabilitas yang tergolong baik dengan reliabilitas di atas .700 (Sugiyono, 2017) dan validitas per item juga di atas .200 (Piedmont, 2014).

Hasil uji validitas ECR-R dimensi attachment anxiety menunjukkan nilai koefisien korelasi item total bergerak dari .310 – .804. Untuk dimensi attachment avoidance, nilai koefisien korelasi item total bergerak dari .218 -.717. Hasil uji reliabilitas dimensi attachment anxiety menunjukkan koefisien Alpha sebesar .896, dan .880 untuk dimensi attachment avoidance. Namun, hasil validitas dan reliabilitas alat ukur ECR-R diperoleh setelah membuang tiga item dengan validitas yang buruk (kurang dari .200). Kemudian, hasil uji validitas PRQ-R menunjukkan nilai koefisien korelasi item total bergerak dari .293 – .811. Hasil uji reliabilitas menunjukkan koefisien Alpha sebesar .917.

Teknik Analisis Data

Setelah melakukan uji validitas dan reliabilitas pada kedua alat ukur yang digunakan, dilanjutkan dengan uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov dan ditemukan data berdistribusi normal pada konstruk utama, tetapi tidak normal pada enam komponen kualitas hubungan. Selanjutnya dilakukan uji asumsi multikolinearitas, autokorelasi, linearitas dan heteroskedasitas sebelum melanjutkan pada uji korelasi kedua variabel menggunakan teknik Pearson Product Moment. Lalu, uji regresi berganda dilakukan untuk melihat pengaruh dimensi attachment terhadap kualitas hubungan berpacaran. Untuk data tambahan, peneliti menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment untuk distribusi data normal, dan Spearman’s Rho untuk distribusi data tidak normal. Uji beda juga dilakukan dalam mengolah data tambahan dengan menggunakan teknik Independent Sample t-test dan One-way ANOVA untuk distribusi data normal, dan untuk distribusi data tidak normal menggunakan teknik Mann-Whitney U dan Kruskal-Wallis H.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Total kuesioner yang terkumpul yaitu sebanyak 153, tetapi ada 8 kuesioner yang tidak digunakan karena tidak sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Dari data yang telah diperoleh, karakteristik subjek rata-rata

partisipan berusia 22 tahun dan mayoritas adalah berusia 20 tahun. Partisipan dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 34 orang (23,4%) dan partisipan dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 111 orang (76,6%). Mayoritas partisipan juga memiliki latar belakang pendidikan terakhir SMA/SMK yaitu sebanyak 85 orang (58,6%). Mayoritas partisipan juga memiliki pasangan dengan latar belakang pendidikan terakhir SMA/SMK, yaitu sebanyak 69 orang (47,6%). Lalu, 29 partisipan (20%) menjalani hubungan berpacaran dangan pasangan yang berbeda agama dan 116 partisipan (80%) memeluk agama yang sama dengan pasangannya. Selain itu, 40 partisipan (27,6%) berbeda etnis dengan pasangannya dan 105 partisipan (72,4%) berpacaran dengan individu dari etnis yang sama. Mayoritas partisipan penelitian juga sudah menjalani hubungan berpacaran selama 5 bulan (8.3%) dan kebanyakan di antara mereka sudah memiliki pengalaman berpacaran sebanyak 2 kali (25,5%). Partisipan penelitian ini juga mayoritas menjalani hubungan pacaran jarak dekat yaitu sebanyak 102 (70,3%) dan 43 orang (29.7%) menjalani hubungan pacaran jarak jauh. Tujuan dari 96 partisipan (66,2%) menjalani hubungan berpacaran untuk menikah.

Deskripsi Data Penelitian

Hasil deskripsi penelitian variabel  attachment,  dan

kualitas hubungan terdapat pada tabel 1 (terlampir).

Tabel 1 menunjukkan terdapat 17 butir pernyataan untuk dimensi attachment anxiety dan 16 butir untuk attachment avoidance. Setiap individu memiliki kedua dimensi ini di dalam dirinya. Namun, semakin tinggi skor individu pada dimensi anxiety, berarti individu cenderung merasa takut akan ditinggalkan, dan akan marah jika berpisah dari orang yang disayang (Mikulincer & Shaver, 2007). Rata-rata dimensi attachment anxiety partisipan yaitu 57,68 dengan nilai minimum 25 dan nilai maksimum 101 serta standar deviasi 17,468. Semakin tinggi skor individu pada dimensi avoidance, maka hubungan individu dengan orang lain cenderung kurang atau tidak dekat, dan menekan emosi yang ia rasakan (Mikulincer & Shaver, 2007). Rata-rata dimensi attachment avoidance partisipan yaitu 41,28 dengan nilai minimum 18 dan nilai maksimum 86 serta standar deviasi 12,628.

Kemudian, untuk variabel kualitas hubungan, terdapat 18 total butir pernyataan dengan skor minimum 54 dan skor maksimum 124. Semakin tinggi total skor kualitas hubungan individu, maka hal tersebut menunjukkan semakin baik juga kualitas hubungan individu dengan pasangannya. Sebaliknya, semakin rendah total skor kualitas hubungan individu, maka semakin buruk juga kualitas hubungan individu dengan pasangannya. Rata-rata kualitas hubungan partisipan yaitu 103,39 dengan standar deviasi 12,452.

Uji Asumsi

Uji normalitas yang digunakan pada penelitian ini yaitu Kolmogorov-Smirnov. Hasil penelitian menunjukkan

distribusi data normal untuk dimensi attachment baik dimensi anxiety (.080) maupun avoidance (.200). Untuk variabel kualitas hubungan, total skor kualitas hubungan memiliki distribusi data normal (.061), tetapi tidak demikian dengan komponen-komponennya. Berkaitan dengan distribusi data yang tidak normal, peneliti menggunakan Spearman’s Rho untuk melakukan uji korelasi (tabel 2, terlampir).

Uji linearitas dengan menggunakan Q-Q Plot dan hasil menunjukkan bahwa data terdistribusi dengan normal dan linear karena sebagian besar data terpola di sekitar garis (gambar 1, Q-Q Plot, terlampir).

Uji multikolineritas juga digunakan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara variabel bebas satu dengan variabel bebas lainnya. Berdasarkan tabel 3 (terlampir), variabel bebas yaitu attachment avoidance dan anxiety memiliki korelasi yang rendah (r< .500) yaitu r=.215. Hal ini membuat model regresi menjadi lebih baik lagi (Nisfiannoor, 2009).

Uji autokorelasi pada penelitian ini berdasarkan hasil Durbin-Watson. Hasil yang didapatkan yaitu 1.752 yang berarti tidak terjadi autokorelasi karena hasil yang didapatkan lebih besar dari batasan dU=1,742 (Hidayat, 2013).

Uji heteroskedasitas yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan suatu pola yang menyebar secara acak (gambar 2, terlampir), sedangkan data yang baik dan diharapkan yaitu homogen. Ketika asumsi homoscedasticity tidak terpenuhi, hal ini menunjukkan bahwa analisis regresi tidak sekuat yang diinginkan, dan diperlukan pengambilan data yang lebih banyak (Hayes, 2018).

Berdasarkan uji normalitas, uji linearitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan uji heteroskedasitas yang telah dilakukan maka dapat dikatakan data dalam penelitian ini berdistribusi normal, tidak ada multikolinearitas, dan menunjukkan hubungan yang linear serta tidak terjadi autokorelasi sehingga dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu analisis regresi.

Uji Regresi dan Hipotesis

Untuk melihat pengaruh dimensi attachment terhadap kualitas hubungan berpacaran individu dewasa muda, peneliti melakukan uji regresi setelah menguji korelasi antar kedua variabel. Pertama peneliti menggunakan Linear Regression untuk melihat pengaruh dari masing-masing dimensi attachment terhadap kualitas hubungan, kemudian menggunakan Multiple Regression untuk melihat pengaruh dari kedua dimensi attachment terhadap kualitas hubungan. Hal ini dikarenakan kedua dimensi attachment terdapat pada diri individu

Berdasarkan tabel 5 & 6 (terlampir), persamaan regresi linear antara dimensi attachment anxiety dengan kualitas hubungan, adalah sebagai berikut:

Y=111.145 + (-.135)X

Pada persamaan regresi ini, variabel X yaitu dimensi attachment anxiety dan variabel Y yaitu kualitas hubungan. Dari persamaan regresi di atas dapat diketahui, jika skor dimensi attachment anxiety adalah nol maka kualitas hubungan individu sebesar 111.145, dan jika dimensi attachment anxiety bertambah satu skor, maka kualitas hubungan akan menurun sebesar .135.

Berdasarkan tabel 7 & 8 (terlampir), persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu:

Y=130.559 + (-.658)X

Dari persamaan regresi tersebut, ketika skor dimensi attachment avoidance adalah nol maka kualitas hubungan individu sebesar 130.559. Jika skor attachment avoidance individu bertambah satu skor, maka kualitas hubungan akan menurun sebesar .658.

Uji regresi berganda juga dilakukan pada penelitian ini. Dari tabel 9 (terlampir) diperoleh dua persamaan regresi. Pertama, yaitu:

Y=132.085 + (-.034)X

Melalui persamaan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa jika skor dimensi attachment anxiety individu adalah nol, maka kualitas hubungan individu sebesar 132.085. Jika terjadi penambahan satu skor pada angka dimensi attachment anxiety maka kualitas hubungan individu dapat menurun sebesar .034. Namun, dimensi attachment anxiety tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kualitas hubungan ketika perhitungan regresi menjadi regresi berganda.

Persamaan regresi kedua yang diperoleh yaitu:

Y=132.085 + (-.648)X

Dari persamaan regresi ini diketahui bahwa jika skor dimensi attachment avoidance individu adalah nol, maka kualitas hubungan individu bersama pasangannya sebesar 132.085. Jika terdapat penambahan satu skor angka untuk dimensi attachment avoidance, maka kualitas hubungan akan menurun sebesar .648. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, F sebesar 57.560 dengan signifikansi .000 menunjukkan bahwa variabel dimensi attachment dapat memengaruhi kualitas hubungan sebesar 44,8% sedangkan sisanya (55,2%) dipengaruhi oleh faktor lain. Adapun dimensi attachment anxiety ditemukan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kualitas hubungan ketika dilakukan perhitungan regresi berganda. Oleh karena itu hipotesis penelitian bahwa dimensi attachment memengaruhi kualitas hubungan berpacaran dewasa muda secara signifikan, diterima (Tabel 12 terlampir).

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan oleh dimensi attachment terhadap kualitas hubungan berpacaran dewasa muda 44,8% (R2=.448). Namun, pengaruh attachment anxiety (R2=.036) sangat kecil dibandingkan dengan attachment avoidance (R2=.446), sehingga ketika keduanya diuji menggunakan regresi berganda, attachment anxiety (image of self) tidak memberikan pengaruh yang signifikan kepada kualitas hubungan (p=.462). Hal ini disebabkan oleh internal working model dimana attachment avoidance merupakan evaluasi atau cara pandang individu terhadap orang lain (image of other) menentukan interaksi individu bersama orang tersebut (Bartholomew & Horowitz, 1991), dan dalam menilai kualitas hubungan, individu cenderung melihat sikap pasangannya, serta melihat kesesuaian pasangan dengan diri individu (Fletcher dkk., 2000). Berbeda dengan attachment anxiety yang merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri apakah dirinya berharga atau tidak. Cara individu dalam memandang pasangannya, apakah pasangannya dapat dipercaya atau tidak yang pada akhirnya lebih mempengaruhi kualitas hubungan. Oleh karenanya attachment avoidance memberikan pengaruh lebih besar terhadap kualitas hubungan. Selain itu, dimensi attachment avoidance juga ditemukan berkorelasi dengan semua komponen kualitas hubungan (kepuasan hubungan, komitmen, keintiman, kepercayaan, gairah, dan cinta).

Kecilnya pengaruh yang diberikan dimensi attachment anxiety terhadap kualitas hubungan juga didukung oleh hasil uji korelasi attachment anxiety dengan komponen kualitas hubungan. Dimensi attachment anxiety hanya berkorelasi dengan dua dari enam komponen kualitas hubungan yaitu kepuasan hubungan (rs=-.295, p<.05) dan komitmen (rs=-.285, p<.05). Hal ini dapat terjadi karena kepuasan hubungan dan komitmen dapat muncul dari dalam diri individu saja. Keduanya berbeda dengan empat komponen lainnya (keintiman, kepercayaan, gairah dan cinta) yang membutuhkan atau dapat muncul dengan bergantung pada kehadiran orang lain sehingga tidak berkorelasi dengan attachment anxiety (image of self) yang mengacu pada penilaian akan diri sendiri (Bartholomew & Horowitz, 1991). Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian, individu dengan attachment anxiety yang tinggi dapat dikatakan lebih baik barkaitan dengan kualitas hubungan berpacaran. Hal ini dikarenakan individu masih melibatkan dirinya dalam hubungan. Berbeda dengan individu dengan attachment avoidance yang tinggi, dapat lebih menurunkan kualitas hubungan berpacaran karena tidak melibatkan diri dalam hubungan.

Penelitian ini juga memiliki beberapa analisis tambahan, pertama, semakin banyak jumlah mantan pacar, maka kualitas hubungan akan semakin baik (rs=.172, p<.05). Kedua, semakin banyak jumlah mantan pacar juga akan membuat attachment avoidance seseorang semakin menurun (rs=-.172, p<.05). Dalam hubungan berpacaran

pasti akan terjadi konflik dan semakin banyak jumlah pacar individu menunjukkan bahwa individu memiliki pengalaman dalam berhubungan dan semakin baik dalam menangani konflik (Indrawati dkk., 2018). Oleh karenanya kemampuan individu dalam menyelesaikan konflik dapat meningkatkan kualitas hubungan (Meeks, Hendrick, & Hendrick, dalam Farooqi, 2014). Namun, kesuksesan hubungan sebelumnya juga perlu diperhatikan, serta durasi dari hubungan sebelumnya. Kesuksesan hubungan individu dengan pasangan sebelumnya ditemukan dapat memungkinkan individu untuk memulai hubungan baru dengan orang lain dan tingkat attachment avoidance dapat menurun (Schindler dkk., 2010). Selain itu, semakin baik individu dalam menyelesaikan konflik, tentunya individu juga dapat semakin nyaman dalam menjalani hubungannya dan dapat mempertahankan hubungannya.

Selanjutnya, semakin bertambah tua usia individu maka attachment anxiety akan semakin menurun (rs=-.212, p<.05). Pertambahan usia dapat merubah peran individu dalam hubungannya dan individu akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Seiring berjalannya waktu, individu akan semakin nyaman (Chopik dkk., 2013). Oleh karenanya, semakin bertambah usia individu, ia akan semakin nyaman dan attachment anxiety akan semakin berkurang.

Keempat, terdapat perbedaan kepuasan hubungan dan komitmen yang signifikan berdasarkan tingkat pendidikan individu dan pasangannya. Kepuasan hubungan (U=1562, p=.032) dan komitmen (U=1594.5, p=.044) pada individu dan pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang sama lebih tinggi daripada individu dengan pasangan yang berbeda tingkat pendidikan akhir. Kesamaan latar belakang seperti pendidikan dapat memfasilitasi komunikasi sehari-hari pasangan, oleh karenanya kepuasan hubungan dan komitmen individu dengan tingkat pendidikan akhir yang sama lebih tinggi daripada pasangan dengan tingkat pendidikan akhir yang berbeda (Luo, 2009).

Kelima, terdapat perbedaan tujuan berpacaran yang signifikan pada kualitas hubungan (F=14.528, p=.000). Individu dengan tujuan berpacaran menikah memiliki kualitas hubungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan lain dengan tujuan berpacaran bukan untuk menikah. Hal ini dikarenakan, tujuan yang tidak jelas dari hubungan yang dijalani dapat menimbulkan konflik dalam hubungan dan menurunkan kualitas hubungan (Gere & Schimmack, 2013). Maka dari itu, diperlukan tujuan yang jelas untuk meningkatkan kualitas hubungan. Keenam, tujuan berpacaran juga berbeda secara signifikan pada attachment avoidance (F=6.227, p=.003) dimana tujuan berpacaran yang belum jelas lebih tinggi daripada tujuan berpacaran yang lain. Attachment avoidance cenderung menghindari hubungan yang intim atau hubungan yang membutuhkan komitmen (Brennan dkk., 1998) sehingga tidak heran jika individu dengan attachment avoidance yang tinggi memiliki tujuan berpacaran yang tidak jelas.

Ketujuh, cinta yang muncul dalam hubungan lebih besar pada pasangan dari latar belakang etnis yang berbeda dibandingkan dengan pasangan dengan etnis yang sama (U=1487, p=.006). Pada pasangan dengan etnis yang berbeda dapat belajar saling menghargai (Gaines & Ickes, dalam Page-Gould, 2004), juga dapat menemukan dan melakukan hal-hal baru dalam menjalani hubungan (Strong & Aron, dalam Miller, 2015). Kemudian, hal baru dalam hubungan dapat meningkatkan cinta individu terhadap pasangannya. Lalu yang terakhir, gairah pada individu yang menjalani hubungan jarak dekat lebih tinggi daripada individu yang menjalani hubungan jarak jauh (U=2164,5, p=.021). Gairah itu sendiri merupakan keinginan individu akan keromantisan, ketertarikan fisik serta interaksi seksual (Sternberg, 1986). Oleh karenanya membutuhkan kedekatan secara jarak untuk meningkatkan gairah. Maka sejalan dengan hasil penelitian ini dimana individu yang menjalani hubungan jarak dekat memiliki gairah yang lebih tinggi karena lebih memungkinkan untuk melakukan interaksi seksual yang dapat memunculkan perasaan gembira pada individu saat memikirkan pasangannya (Aron & Henkemeyer, dalam Chen, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian ini, dimensi attachment mempengaruhi kualitas hubungan secara signifikan. Jika dimensi attachment memiliki tingkat yang tinggi dalam diri individu, baik dimensi attachment avoidance maupun anxiety maka dapat membuat kualitas hubungan individu dengan pasangannya menurun. Namun, dimensi attachment avoidance memberikan pengaruh yang lebih besar. Artinya, evaluasi individu terhadap orang lain, cara pandangnya individu terhadap pasangannya memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kualitas hubungan dibandingkan dengan dimensi attachment anxiety yang merupkan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri.

Saran yang dapat diberikan untuk peneliti selanjutnya yaitu melakukan regresi berganda untuk kedua dimensi attachment, melakukan penelitian dyadic atau dari kedua belah pihak yang menjalani hubungan untuk mengetahui dinamika hubungan dan melakukan analisis lebih dalam. Kedua, diharapkan dapat menjelaskan perbedaan partisipan yang berdomisili di Jakarta, Tangerang, Bogor, dan Depok. Ketiga, lebih memperhatikan teknik pengambilan sampel agar lebih merata, lebih banyak dan beragam untuk memperoleh hasil yang lebih signifikan. Terakhir, mengontrol durasi hubugan individu dengan pasangan sebelumnya yang mungkin saja dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hubungan berpacaran.

Saran bagi individu yang menjalani hubungan berpacaran, yaitu untuk memahami attachment diri sendiri dan pasangan (bisa dengan mengisi alat ukur ECR-R), untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan masing-masing dan dapat mencari solusi untuk mengatasi masalah. Apabila mengetahui diri sendiri atau pasangan memiliki attachment avoidance yang tinggi, maka kedua individu dapat mendiskusikan hal-hal yang dapat membantu

individu dengan attachment avoidance yang tinggi untuk membantunya lebih terbuka, menerima bantuan dari pasangan, dan belajar mengungkapkan apa yang ia rasakan dan pikirkan bersama pasangan. Melatih diri sendiri untuk terbuka dan terlibat dalam hubungan untuk meningkatkan kualitas hubungan berpacaran. Lalu, jika seseorang atau pasangannya memiliki attachment anxiety yang tinggi, maka dapat mendiskusikan hal-hal yang membuat individu dengan attachment anxiety yang tinggi merasa tidak nyaman, cemburu, dan keadaan atau situasi yang dapat memicu kecurigaan. Individu dan pasangan dapat mencoba untuk bernegosiasi, dan belajar toleransi satu dengan yang lainnya untuk dapat membangun kepercayaan individu dengan attachment anxiety yang tinggi, sehingga kualitas hubungan berpacaran dapat meningkat. Terakhir, bagi para praktisi psikologi seperti konselor, dapat memberikan kuesioner ECR-R dan PRQC pada klien untuk melihat attachment dan kualitas hubungan individu dan pasangannya, lalu mendiskusikan hasil yang diperoleh bersama klien guna meningkatkan kualitas hubungan klien

DAFTAR PUSTAKA

Al Baqi, S. (2015). Ekspresi emosi marah. Buletin Psikologi, 23(1), 22-30.

Bartholomew, K., & Horowitz, L. M. (1991). Attachment styles among young adults: A test of a four-category model. Journal of Personality and Social Psychology, 61, 226-244.

Brennan, K. A., Clark, C. L., & Shaver, P. R. (1998). Self-report measurement of adult attachment: An integrative overview. In J. A. Simpson & W. S. Rholes (Eds.), Attachment theory and close relationships (pp. 46-76). Guilford Press.

Chen, S. (2015). A latent profile analysis of romantic relationship quality and its associations with personality, partner support, and psychological wellbeing. Electronic Thesis and Dissertation Repository. Paper 2977.

Chopik, W. J., Edelstein, R. S., & Fraley, R. C. (2013). From the cradle to the grave: Age differences in attachment from early adulthood to old age. Journal of personality, 81(2), 171-183.

Demir, M. (2008). Sweetheart, you really make me happy: Romantic relationship quality and personality as predictors of happiness among emerging adults. J Happiness        Stud,         9,         257-277.

https://doi.org/10.1007/s10902-007-9051-8

Domingue, R., & Mollen, D. (2009). Attachment and conflict communication in adult romantic relationships. Journal of Social and Personal Relationships, 26(5), 678-696. https://doi.org/10.1177/0265407509347932

Dush, C. M. K., & Amato, P. R. (2005). Consequences of relationship status and quality for subjective wellbeing. Journal of Social and Personal Relationships, 22(5), 607-627.

Elizabeth, & Ariela, J. (2020). Forecasting relationship quality of Indonesian newlywed individuals: a quantitative study on the role of attachment. Asia Pacific Journal of Counselling and Psychotherapy, 11(2), 109-121.

https://doi.org/10.1080/21507686.2020.1781668

Farooqi, S. R. (2014). The construct of relationship quality. Journal of Relationships Research, 5, 1–11.

Fletcher, G. J. O., Simpson, J. A., & Thomas, G. (2000). The measurement of perceived relationship quality components: A confirmatory factor analytic approach. Personality and Social Psychology Bulletin, 26, 340354.

Fraley, R. C. (2010). A brief overview of adult attachment theory and research. IL University of  Illinois.

http://labs.psychology.illinois.edu/~rcfraley/attachmen t.htm

Fraley, R. C., & Shaver, P. R. (2000). Adult romantic

attachment:  Theoretical Developments, emerging

controversies, and unanswered questions. Review of General      Psychology,      4(2),      132-154.

https://doi.org/10.1037/1089-2680.4.2.132

Fraley, R. C., Waller, N. G., & Brennan, K. A. (2000). An item response theory analysis of selfreport measures of adult attachment. Journal of Personality and Social Psychology, 78, 350–365.

Gere, J., & Schimmack, U. (2013). When romantic partners’ goals conflict: Effects on relationship quality and subjective well-being. J Happiness Stud (14), 37-49.

Harris, V. W. (2013). Healthy Dating Leads to Healthy Marriage. National Resource Center for Healthy Marriage              and              Families.

https://www.researchgate.net/publication/260408504

Hayes, A. F. (2018). Introduction to mediation, moderation, and conditional process analysis (2nd ed.). The Guilford Press.

Hazan, C.,  & Shaver, P. R. (1987). Romantic love

conceptualized as an attachment process. Journal of Personality and Social Psychology, 52, 511-524. .

Hernandez, J. M. C., & Santos, C. C. (2010). Developmentbased trust: Proposing and validating a new trust measurement model for buyer-seller relationships. Brazilian Administration Review, 7(2), 172-197.

Hidayat, A. (2013). Tabel durbin watson dan cara membaca. Statiskian.

https://www.statistikian.com/2013/03/durbin-watson-tabel.html

Indrawati, F., Sani, R., & Ariela, J. (2018). Hubungan antara harapan dan kualitas hubungan pada dewasa muda yang sedang menjalani hubungan pacaran. Jurnal Psikologi Ulayat, 5(1), 72-85.

Kholidah, E. N., & Alsa, A. (2012). Berpikir positif untuk menurunkan stres psikologis. Jurnal Psikologi, 39(1), 67-75.

Laporan LBH: tidak semua perempuan korban kekerasan memilih jalur hokum. (2017). VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/tidak-semua-perempuan-korban-kekerasan-memilih-jalur-hukum/3686162.html

Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2018.   (2018).

https://www.komnasperempuan.go.id/reads-lembar-fakta-dan-poin-kunci-catatan-tahunan-catahu-komnas-perempuan-tahun-2018.

Li, T., & Chan, D. K. (2012). How anxious nd avoidant

attachment affect romantic relationship quality differently: A meta-analytic review. European Journal of Psychology, 42(4), 406-419.

Lund, M. (1985). The development of investment and commitment scales for predicting continuity personal relationships. Journal of Social and Personal Relationships, 2, 3–23.

Luo, S. (2009). Partner selection and relationship satisfaction in early dating couples: The role of couple similarity.

Personality and individual differences, 47(2), 133

138.

Miller. (2015). Intimate relationship 7th ed. Mc Graw Hill

Mikulincer, M., & Goodman, G. S. (Eds.). (2006). Dynamics of romantic love: Attachment, caregiving, and sex. Guilford Press.

Mikulincer, M., & Shaver, P. R. (2007). Attachment in

adulthood: structure, dynamics, and change. The Guilford Press.

Modus pelaku kekerasan saat berpacaran, ancam sebarkan video intim ke keluarga. (2018). Bangkapos.com. http://bangka.tribunnews.com/2018/03/01/modus-pelaku-kekerasan-saat-berpacaran-ancam-sebarkan-foto-video-intim-ke-keluarga

Nisfiannoor, M. (2009). Pendekatan statistika modern. Salemba Humanika

Noftle, E. E., & Shaver, P. R. (2006). Attachment dimensions and the Big Five personality traits: Associations and comparative ability to predict relationship quality. Joumal of Research in Personality, 40,  179-208.

https://doi.org/10.1016/j.jrp.2004.11.003

Page-Gould, E. (2004). Research on cross-race relationships: An annotated bibliography. Greater Science Center at UC Berkeley.

https://greatergood.berkeley.edu/article/item/cross-race_relationships_an_annotated_bibliography

Piedmont, R. L. (2014). Inter-item Correlations. In A. C. Michalos (Ed.), Encyclopedia of Quality of Life and Well-Being Research (pp. 3303-3304). Dordrecht: Springer.

Pinquart, M. F., & Feubner, C. C., Ahnert, L. (2013). Meta-analytic evidence for stability in attachments from infancy to early adulthood. Attachment & Human Development, 15(2), 189-218.

Rhoades, G. K., Kamp Dush, C. M., Atkins, D. C., Stanley, S. M., & Markman, H. J. (2011). Breaking up is hard to do: The impact of unmarried relationship dissolution on mental health and life satisfaction. J Fam Psychol, 25(3), 366-374.

Rubin, Z. (1970). Measurement of romantic love. Journal of Personality and Social Psychology, 16, 265-273.

Schindler, I., Fagundes, C. P., & Murdock, K. W. (2010). Predictors of romantic relationship formation: Attachment style, prior relationships, and dating goals. Personal     Relationships,     17(1),     97-105.

https://doi.org/10.1111/j.1475-6811.2010.01255.x

Shaver, P. R., & Hazan, C. (1988). A biased overview of the study of love. Journal of Social and Personal Relationships,             5(4),             473-501.

https://doi.org/10.1177/0265407588054005

Sternberg, R. J. (1986). A triangular theory of love. Psychological     Review,     93(2),     119-135.

https://doi.org/10.1037/0033-295X.93.2.119

Sugiyono. (2017). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan kombinasi (mixed methods). Alfabeta

Viejo, C., Monks, C. P., Sanchez, V., & Ortega-Ruiz, R. (2016). Physical dating violence in Spain and the United Kingdom and the importance of relationship quality. Journal of interpersonal violence, 31(8), 1453-1475.

LAMPIRAN

Tabel 1.

Data deskriptif variabel penelitian

Butir

N

Rata-rata

Nilai minimum

Nilai

Iiiaksimiuii

Standar

Deviasi

Anxiety’

17

145

57.68

25

IOl

17.468

Avoidance

16

145

41,28

18

86

12.628

Kepuasan

Hubungan

3

145

17.67

7

21

2,598

Tabel 2.

Uji normalitas data penelitian

Koiistiiik

Kolmogorov-Smirnovl

Keterangan

Anxiety A ttachm ent

Avoidance Attachment

Kualitas Hubungan

.080

.200

.061

Nonnal

Nonnal

Nonnal

Tabel 3.

Uji multikolinearitas data penelitian

Variabel

N

Fs

Sig

Anxiety

145

.215**

.009

Avoidance

145

.215**

.009

Tabel 4.

Uji autokorelasi data penelitian

k

N

Durb Lii-W atson

2

145

1.752

Tabel 5.

Hasil uji regresi linear attachment anxiety

Model

R

R2

Adjusted R2

Std. Error of the estimate

1

.189

.036

.029

12.271

Tabel 6.

Koefisien regresi linear attachment anxiety

Model

Koefisien B

T

Sig-

(Constant)

111.145

31.515

.000

Aiixiety

-.135

-2.298

.023

Tabel 7.

Hasil uji regresi linear attachment avoidance

Model

R

R2

Adjusted R2

Std. Error of the estimate

1

.668

.446

.442

9.304

Tabel 8.

Koefisien regresi linear attachment avoidance

Model

Koefisien B

T

Sig-

(Constant)

130.559

49.273

.000

Anxiety

-.658

-10.721

.000

Tabel 9.

Hasil uji regresi berganda data penelitian

Model

R

R2

Adjusted R2

Std. Error of the estimate

1

.669

.448

.440

9.318

Tabel 10.

Data ANOVA

Model

Sum of    Mean

F                  siS

Squares     Square

1

.9996.184   4998.092      57.560             .000

12330.188    86.832

22326.3 72

Tabel 11.

Hasil uji regresi berganda nilai koefisien beta dan nilai T variabel attachment terhadap kualitas hubungan

Model

Koefisien B

T

Sig-

(Constant)

132.085

39.274

.000

Anxiety

-.034

-.739

.462

Avoidance

-.648

.10.294

.000

Tabel 12.

Rangkuman hasil uji hipotesis penelitian

Hipotesis                        Keterangan

HOi

Ditemukan dimensi attachment anxiety tidak mempengaruhi kualitas hubungan berpacaran      Diterima

dewasa muda secara signifikan

Hli

Ditemukan    dimensi    attachment    anxiety

mempengaruhi kualitas hubungan berpacaran      Ditolak

dewasa muda secara signifikan.

HO2

Ditemukan dimensi attachment avoidant tidak mempengaruhi kualitas hubungan berpacaran pada      Ditolak

dewasa muda secara signifikan.

Hl2

Ditemukan   dimensi   attachment   avoidant

mempengaruhi kualitas hubungan berpacaran      Diterima

dewasa muda secara signifikan.

Gambar 1.

Hasil uji linearitas menggunakan Q-Q plot

Hasil uji heteroskedasitas


Scatterplot

Regression Standardized Predicted Value


48