Jurnal Psikologi Udayana 2021, Vol.8, No.1, 1-11


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607 doi: 10.24843/JPU.2021.v08.i01.p01

Dinamika psikologis warga binaan pelaku perampokan minimarket dengan gangguan kepribadian antisosial di lembaga pemasyarakatan

Aussie Safitri Nugraha

Program Studi Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya

[email protected]

Abstrak

Perampokan merupakan salah satu bentuk dari tindakan kriminal. Pada umumnya, para pelaku membawa benda yang dapat menjadi senjata, seperti pisau atau sabit ketika melakukan aksi perampokan tersebut. Setiap tindakan kriminal tentu disertai oleh berbagai faktor yang melatarbelakangi pelaku yang dalam hal ini melakukan perampokan di minimarket. Adapun tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dinamika psikologis seorang warga binaan yang sedang menjalani masa hukuman di sebuah lembaga pemasyarakatan karena beberapa kali melakukan aksi perampokan pada tahun 2015. Responden penelitian berjumlah satu orang laki-laki berusia 27 tahun yang berasal dari kota kecil di Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu studi kasus. Teknik pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara, observasi dan menggunakan rangkaian asesmen psikologi pada responden, meliputi Wechsler-Bellevue Intelligence Scale (WBIS), tes grafis (DAP, BAUM, dan HTP), SSCT (Sack’s Sentence Completion Test), dan Hare Self-Report Psychopathy Scale. Hasil asesmen menunjukkan bahwa responden mengalami gangguan kepribadian antisosial yang ditegakkan berdasarkan kriteria pada DSM-5. Terdapat berbagai faktor yang berkaitan dengan kondisi gangguan kepribadian antisosial yang dialami responden, seperti lemahnya kontrol diri, adanya pengalaman mendapatkan hukuman fisik dari kakek, penanaman dan penerapan norma yang inkonsisten di rumah, serta berada dalam lingkungan pergaulan yang rentan melakukan tindakan kriminal. Sementara itu, faktor utama yang mendorong responden dalam melakukan aksi perampokan adalah karena kesulitan ekonomi dan permasalahan terkait kontrol diri.

Kata kunci: Gangguan kepribadian antisosial, kontrol diri, perampokan, warga binaan.

Abstract

Armed robbery is one form of crime. In general, the perpetrators carried objects that could be weapons, such as knives or sickles when carrying out the robbery. Every criminal act is certainly accompanied by various factors underlying the perpetrators who in this case are robbing at the minimarket. The purpose of this study was to determine the psychological dynamics of respondent, a prisoner who is serving a sentence in a penitentiary for several robberies in 2015. Respondent of the study was a 27-year-old male from a small town in East Java. This research used qualitative method, namely case study. Data collection techniques applied in this study were interview, observation and a series of psychological assessments, including the Wechsler-Bellevue Intelligence Scale (WBIS), graphic tests (DAP, BAUM, and HTP), SSCT (Sack's Sentence Completion Test), and Hare Self-Report Psychopathy Scale. The results of the assessment showed that respondent experienced antisocial personality disorder that was established based on the criteria in DSM-5. There were various factors related to the condition of antisocial personality disorder experienced by respondent, such as weak self-control, past experience of getting physical punishment from the grandfather, inconsistent cultivation and application of moral values at home, and being in a social environment that was prone to committing criminal acts. Meanwhile, the main factors driving respondent to commit the robbery were economic difficulties and problems related to self-control.

Keywords: Antisocial personality disorder, prisoner, robbery, self-control.

LATAR BELAKANG

Tindakan kriminal mengacu pada berbagai tindakan yang dilarang, dapat dituntut, dan dihukum berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku (Lanier & Henry, 2001). Adapun beberapa jenis tindakan kriminal di antaranya adalah kekerasan terhadap orang lain (violent personal crime), contoh: pembunuhan; kejahatan terkait harta benda, dan memanfaatkan kesempatan (occasional property crime), contoh: pencurian kendaraan bermotor dan pencurian di tokotoko besar; tindakan kriminal dengan memanfaatkan jabatan (occupational crime), contoh: korupsi; kejahatan politik (political crime); kejahatan terhadap ketertiban umum (public order crime), contoh: berjudi; kejahatan konvensional (conventional crime), contoh: perampokan; kejahatan yang terorganisir (organized crime), contoh: perdagangan manusia; kejahatan yang dilakukan sebagai profesi (professional crime), contoh: pemalsuan dokumen dan pencopetan (Alam & Ilyas, 2018).

Menurut van Koppen (2018), pelaku yang melakukan tindakan kriminal sejak usia remaja cenderung lebih sering melakukan tindakan kriminal yang lebih serius dan melakukan berbagai macam tindakan kriminal, jika dibandingkan dengan pelaku yang melakukan tindakan setelah memasuki usia dewasa. Conduct disorder seringkali dihubungkan dengan pelanggaran hukum yang berulang, khususnya pencurian dan pembunuhan, penyalahgunaan obat-obatan dan riwayat melakukan kekerasan pada masa kanak-kanak hingga remaja (Mariano, 2019). Menurut Hodgins, dkk., (2018) sebanyak 10% remaja laki-laki serta 4% remaja perempuan mengalami conduct disorder.

Berdasarkan setting yang lebih spesifik, Choi, dkk., (2017) menyebutkan bahwa sebanyak 55% tahanan remaja di Korea Selatan mengalami conduct disorder dan 96,9% di antaranya mengalami komorbid gangguan psikiatri pada axis 1. Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa para tahanan remaja yang mengalami conduct disorder cenderung lebih banyak melakukan tindakan kriminal dengan kekerasan serta menunjukkan karakteristik psikopatologi apabila dibandingkan dengan tahanan yang tidak mengalami conduct disorder (Choi, dkk., 2017). Selain conduct disorder, individu yang mengalami gangguan kepribadian memiliki risiko lebih tinggi dalam melakukan kekerasan maupun tindakan kriminal (Yu, dkk., 2012). Sementara itu, Yu, dkk., (2012) juga menuliskan bahwa gangguan kepribadian yang seringkali dihubungkan dengan tindakan kriminal yang berulang adalah gangguan kepribadian antisosial atau antisocial personality disorder.

American Psychiatry Association (APA) menuliskan bahwa karakteristik utama dari gangguan kepribadian antisosial adalah adanya pola pengabaian dan pelanggaran hak-hak orang lain yang berkelanjutan dimulai sejak masa kanak-kanak atau remaja awal dan berlanjut hingga masa dewasa (American Psychiatric Association, 2013). Gangguan kerpibadian antisosial seringkali disebut dengan psychopathy, sociopathy ataupun dyssocial personality disorder (APA, 2013). Hodgins, dkk., (2018) menuliskan sekitar 5% laki-laki

dan kurang dari 1% perempuan mendapatkan diagnosis gangguan kepribadian antisosial. Menurut Black (2015) penting untuk melakukan identifikasi mengenai gangguan kepribadian antisosial karena berkaitan dengan prognosis yang dimiliki. Salah satu di antaranya adalah semakin dini onset gangguan, maka tingkat keparahan dari gangguan kepribadian antisosial cenderung menjadi lebih buruk (Black, 2015; Vrisaba & Dianovinina, 2019).

Moran (1999) menuliskan bahwa gangguan kepribadian antisosial identik dengan kombinasi antara kondisi medis dan permasalahan sosial yang dialami individu, seperti penyalahgunaan obat-obatan, melakukan hal-hal yang membahayakan diri, dan tindakan kriminal. Hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa gangguan kepribadian antisosial memiliki kaitan dengan meningkatnya level penyalahgunaan obat-obatan, gangguan mood, serta gangguan kecemasan (Werner, dkk., 2015). Sejumlah penelitian juga menjelaskan etiologi dari gangguan kepribadian antisosial berkaitan dengan faktor genetik yang memiliki peran penting pada pembentukan perilaku antisosial yang muncul sejak masa anak-anak dan bertahan hingga dewasa (Glenn, dkk., 2013). Selain faktor genetik, faktor lingkungan juga disebutkan berkontribusi terhadap gangguan kepribadian antisosial (Glenn, dkk., 2013). Di sisi lain, conduct disorder yang terjadi pada masa anak-anak dan remaja dapat berkembang menjadi gangguan kepribadian antisosial ataupun permasalahan lainnya, seperti tindakan kriminal dengan atau tanpa kekerasan, seperti perampokan, penipuan, penjambretan, dan lain-lain (National Collaborating Centre for Mental Health, 2013).

Wesseldijk, dkk., (2018) lalu menuliskan hasil penelitian serupa, bahwa faktor genetik sangat berpengaruh pada masalah perilaku dan gangguan kepribadian antisosial, sedangkan faktor lingkungan turut memiliki kontribusi yang besar terhadap masalah perilaku pada masa kanak-kanak. Sementara itu, hasil penelitian Rokven, dkk., (2017) menunjukkan bahwa tinggal berdekatan dengan peer yang melakukan tindakan kriminal meningkatkan risiko individu untuk turut melakukan pelanggaran. Untuk menurunkan tingkat kejahatan dan residivisme, para narapidana memerlukan bantuan untuk mendapatkan akses dan peluang, seperti dengan memperoleh pendidikan dan pelatihan, pekerjaan, dan perlu menjaga jarak dari individu maupun kelompok yang melakukan tindakan kriminal setelah keluar dari LP (Davis, dkk., 2012). Selain itu, bagi narapidana yang mengalami gangguan kepribadian antisosial memerlukan kemampuan untuk memecahkan masalah, manajemen diri, serta kemampuan dalam mengelola emosi negatif dan melakukan coping untuk mengurangi kemungkinan menjadi residivis (Andrews, dkk., 2006).

Berdasarkan hasil penelitian Krastins, dkk., (2014) terdapat indikasi adanya hubungan yang signifikan antara kekerasan yang diperoleh pada masa kanak-kanak, hubungan orangtua yang buruk, pengalaman diolok-olok, tingkat depresi dan kecemasan terhadap gejala gangguan kepribadian antisosial saat individu memasuki masa dewasa. Sementara itu, kekerasan fisik, riwayat penelantaran, pengalaman diintimidasi, dan tingkat keterlibatan ayah dalam merawat

anak menjadi hal yang sangat berkontribusi untuk memprediksi gejala gangguan kepribadian antisosial, setelah mengontrol variabel depresi dan kecemasan secara statistik (Krastins, dkk., 2014). Adapun faktor protektif yang dapat membantu individu untuk terhindar dari perilaku antisosial pada masa sekolah, yaitu dengan lebih terlibat dalam aktivitas di kelas, adanya dukungan sosial, dan pengawasan orangtua (Morrison, dkk., 2002).

Menurut APA (2013) lebih dari 70% laki-laki yang mengalami gangguan penggunaan alkohol di klinik penyalahgunaan zat, lembaga pemasyarakatan, atau setting forensik lainnya mengalami gangguan kepribadian antisosial. Mayoritas narapidana yang melakukan tindak kriminal tanpa kekerasan dikatakan mengalami gangguan kepribadian antisosial, sedangkan tindak kriminal dengan kekerasan mayoritas dilakukan oleh narapidana yang mengalami gangguan kepribadian antisosial disertai dengan gangguan psikologis lainnya, seperti psikotik dan gangguan mood (Matejkowski, 2017). Martin, dkk., (2019) lalu menuliskan bahwa sebanyak 73% narapidana yang mengalami gangguan kepribadian antisosial menunjukkan kemungkinan untuk menjadi residivis.

Kecenderungan untuk mencari kesenangan yang berisiko, kontrol diri yang lemah, dan berperilaku agresif menjadi faktor risiko dari individu yang mengalami gangguan kepribadian antisosial (Andrews, dkk., 2006). Kontrol diri yang buruk dapat menyebabkan individu kesulitan dalam meregulasi emosi (Sa, 2015). Sa (2015) juga menuliskan bahwa hambatan dalam meregulasi emosi jika disertai dengan impulsivitas dapat membuat individu melakukan hal-hal yang melanggar norma sosial (pada individu yang mengalami gangguan kepribadian antisosial) dan mengalami masalah yang signifikan ketika beraktivitas (seringkali terjadi pada individu dengan gangguan mood maupun kepribadian).

Deteksi dini dari gangguan kepribadian antisosial dalam setting LP menjadi penting untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan kesehatan psikologis bagi narapidana dengan tujuan untuk menurunkan risiko dari residivisme (Evans, dkk., 2017). Hal ini membuat peneliti melihat pentingnya memetakan dinamika psikologis responden agar dapat memperoleh pemahaman secara lebih mendalam mengenai gangguan kepribadian antisosial dan tindakan kriminal yang dilakukan oleh responden. Penelitian ini merupakan sebuah laporan kasus PKPP yang akan memaparkan dinamika dari gangguan kepribadian antisosial pada seorang narapidana atau warga binaan bernama Responden (nama samaran) di lembaga pemasyarakatan (LP) “X” berdasarkan berbagai faktor yang melatarbelakangi tindakan kriminal perampokan di minimarket.

Riwayat Kasus

Responden adalah seorang warga binaan di LP “X” yang merupakan pelaku tindakan kriminal pencurian dengan pemberatan (perampokan) di minimarket dan terbukti melanggar pasal 365 UU KUHP dengan masa hukuman 7 tahun penjara. Tindakan kriminal yang dilakukan responden

dilandasi kesulitan ekonomi yang dialaminya saat itu serta kurangnya kontrol diri, sehingga menyanggupi ajakan temannya untuk merampok tanpa memperhatikan dampak jangka panjang dari perbuatannya tersebut. Selain itu, lingkungan tempat tinggal reponden dipenuhi oleh orangorang seusianya yang sering melanggar aturan hukum, seperti melakukan penjambretan dan penyalahgunaan obat-obatan.

Usia responden pada saat pemeriksaan psikologis dilakukan adalah 27 tahun dan telah menjadi warga binaan selama kurang lebih 3,5 tahun setelah mendapatkan vonis dari pihak pengadilan. Pada waktu yang sama, responden sedang dalam proses pengajuan pembebasan bersyarat. Responden mengaku menyesali perbuatannya karena tidak menyangka perbuatannya tersebut akan mengakibatkan dirinya harus mendekam di LP dan jauh dari keluarga. Sementara itu, responden tidak memiliki perasaan bersalah terhadap korban-korban yang ditemuinya saat melakukan aksi karena tidak pernah menyakiti korban-korban tersebut secara fisik.

Pada akhir tahun 2015, Responden melakukan aksi perampokan di beberapa minimarket selama kurang lebih tiga bulan. Saat itu, responden dibujuk oleh salah seorang temannya yang tinggal di sekitar rumahnya untuk merampok bersama-sama. Temannya tersebut membujuk responden dengan menekankan kondisi ekonomi responden yang memburuk (tiba-tiba harus menanggung biaya hidup keponakannya yang yatim piatu), sehingga responden tidak bisa bersenang-senang seperti sebelumnya. Teman responden sempat menyarankan untuk merampok di bank, namun responden menolak karena merasa pengamanan di bank sangat ketat. Responden juga sempat diajak untuk merampok rumah tetapi dirinya merasa tidak percaya diri karena masih dianggap sulit dan memerlukan perencanaan yang lebih matang agar tidak tertangkap. Responden kemudian memilih untuk merampok di minimarket 24 jam karena merasa pengamanan di minimarket tergolong minim di atas jam 12 malam yang tampak dari sepinya pengunjung dan biasanya hanya dua hingga tiga karyawan yang bertugas pada jam malam hingga subuh.

Selama melakukan aksi perampokan, responden selalu menggunakan masker medis agar tidak terlihat wajahnya selama merampok dan membawa celurit untuk menakut-nakuti karyawan minimarket tempatnya beraksi. Pada waktu lainnya, responden terkadang bertugas untuk mengambil uang di kasir maupun brankas minimarket. Dari seluruh aksi perampokan yang dirinya lakukan, responden beserta temannya pernah kabur dari tempat kejadian dan gagal dalam melakukan aksi karena salah seorang karyawan berhasil melarikan diri dari minimarket dan berteriak mencari pertolongan. Responden mengaku dirinya merasa takut untuk melukai orang lain, namun responden tidak memiliki perasaan bersalah atas aksi perampokan yang dilakukannya. Responden baru merasa menyesal melakukan aksi perampokan tersebut setelah akhirnya dirinya tertangkap dan harus menjalani masa hukuman.

Responden tinggal bersama dengan ibu, kakak perempuan, dan seorang adiknya setelah ayahnya meninggal dunia pada

saat ia berusia 5 tahun. Menurut responden, selain ibunya, kakek dan kakak perempuannya turut membesarkannya. Pola pengasuhan yang diterapkan oleh kakek cenderung melakukan kekerasan fisik dalam memberikan hukuman. Pada saat responden beranjak remaja, kakek bahkan pernah memecut responden dengan pecutan sapi saat responden ketahuan bolos dari kegiatan mengaji. Di sisi lain, ibu cenderung memberikan iming-iming hadiah setiap akan meminta responden untuk mengikuti suatu kegiatan, seperti mengaji dan melakukan ibadah maupun meminta tolong untuk melakukan hal lainnya. Meskipun kakek merupakan sosok yang sangat tegas dalam mendisiplinkan responden, terjadi inkonsistensi antara pola asuh kakek dan ibunya serta kondisi kakek yang tidak tinggal satu rumah dengannya, membuat responden dibesarkan tanpa pengawasan dan pengarahan yang cukup baik dari figur orangtua.

Selama tinggal di LP X, responden sempat beberapa kali berkelahi dengan teman satu selnya hingga dipindahkan ke blok lain oleh petugas LP. Menurut responden, dirinya tidak pernah mengawali perkelahian dengan orang lain, namun responden tidak akan segan untuk membalas dengan pukulan maupun adu mulut bila teman sel menghinanya (umumnya responden dihina karena kondisi ekonomi keluarganya). Selain itu, responden mengaku pernah beberapa kali mengonsumsi narkotika karena rasa penasaran dan merasa sulit untuk mengontrol diri dari ajakan temannya tersebut. Meski demikian, responden mengaku sudah berhenti mengonsumsi narkotika karena membuatnya kehabisan uang, sehingga tidak bisa membeli makanan ataupun kebutuhan lainnya di LP. Umumnya, keluarga responden datang sekitar dua hingga tiga bulan sekali untuk mengunjungi responden sembari memberikan uang untuk kebutuhan responden selama di LP. Keluarga responden selama ini tidak mengetahui pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh responden baik sebelum maupun setelah menjalani masa hukuman di LP. Maka dari itu, keluarga responden sempat merasa sangat tekejut dan mengungkapkan kekecewaannya pada responden saat responden diketahui tertangkap di tempat kerjanya karena aksi perampokan yang dilakukannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menggali informasi mengenai permasalahan responden secara mendalam dan gejala-gejala yang berkaitan dengan penegakkan diagnosis gangguan kepribadian antisosial/antisocial personality disorder yang dialami responden serta dinamika psikologis yang melatarbelakangi gangguan kepribadian antisosial maupun aksi perampokan minimarket yang dilakukan Responden.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, yaitu studi kasus. Teknik studi kasus dipilih dengan harapan bahwa peneliti mendapatkan pemahaman mengenai situasi dan makna dari berbagai aspek yang terlibat dalam kasus itu sendiri (Hancock & Algozzine, 2017). Penelitian ini memiliki subjek sebanyak satu orang responden dan merupakan hasil dari Praktik Kerja Profesi

Psikologi (PKPP). Pada pertemuan awal, subjek belum mengetahui faktor-faktor yang melandasi tindakannya dalam melakukan perampokan (di luar faktor ekonomi) sebanyak empat kali hingga akhirnya tertangkap. Responden juga sempat menjadi pemberitaan di media ketika tertangkap. Selain itu, pihak LP juga menyarankan responden untuk mengikuti pemeriksaan psikologis, mengingat responden sedang menjalani proses pembebasan bersyarat. Rangkaian pemeriksaan atau asesmen psikologis diselenggarakan di LP X pada bulan April 2019 hingga Juli 2019. Untuk mendalami informasi yang berkaitan dengan responden, pihak LP turut memberikan informasi mengenai pribadi responden dan kegiatannya selama tinggal di LP. Selain itu, adanya dokumen putusan Mahkamah Agung juga sangat membantu peneliti untuk memperoleh informasi yang lebih menyeluruh serta terpercaya, khususnya terkait tindakan kriminal yang dilakukan oleh responden.

Adapun metode asesmen yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara dan observasi untuk mendapatkan informasi mengenai responden secara mendalam dan utuh, serangkaian tes psikologis, seperti grafis (Baum, DAP, WZT, dan HTP) untuk memperoleh hal-hal yang berkaitan dengan aspek emosi, dorongan agresi, dan kontrol diri yang dimiliki responden, SSCT agar memperoleh pandangan responden terhadap diri maupun indikasi konflik dengan orang lain, WB untuk memperoleh gambaran intelektual dan potensi kecerdasan yang dimiliki responden, SRPS untuk mengetahui indikasi psikopatologis terkait tindakan kriminal responden.

HASIL PENELITIAN

Dinamika Psikologis

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, responden mengalami gangguan kepribadian antisosial atau antisocial personality disorder berdasarkan kriteria DSM-5 dan diketahui melanggar pasal 365 UU KUHP karena melakukan aksi perampokan di minimarket. Terdapat berbagai faktor yang mendasari tindakan responden atas permasalahan-permasalahan yang dialaminya tersebut. Responden merupakan seorang laki-laki berusia 27 tahun yang tinggal menjalani masa hukuman sebagai warga binaan di LP “X” sejak awal tahun 2016. Responden melakukan aksi perampokan sebanyak empat kali di beberapa minimarket yang kemudian dijatuhi hukuman pidana penjara selama 7 tahun. Umumnya, responden menjalankan aksi perampokan pada waktu dini hari. Pada saat pemeriksaan psikologis dilakukan, responden sedang menjalani proses pembebasan bersyarat.

Responden adalah anak kedua dari empat bersaudara. responden juga memiliki seorang kakak tiri laki-laki hasil dari pernikahan pertama ibunya. Responden merasa hubungannya dengan kakak tiri tidak dekat karena tidak pernah tinggal bersama dengannya. Meski demikian, responden dan kakak tirinya melakukan interaksi yang bersifat tidak mendalam dan saling menolong apabila diperlukan. Responden beberapa kali

diberikan uang oleh kakak tirinya, sebaliknya, responden juga terkadang membantu menjaga anak kakak tirinya tersebut.

Saat berusia enam tahun, ayah responden meninggal dunia karena sakit, sehingga dirinya dibesarkan oleh ibunya. Menurut responden, dirinya tidak terlalu banyak memiliki ingatan mengenai ayahnya, namun responden ingat bahwa dirinya sering mengikuti ayahnya saat berpergian dan dirinya merasa nyaman berada di dekat ayahnya. Sepeninggal ayahnya, ibu membesarkan responden dengan bantuan kakek yang tinggal tidak jauh dari rumah keluarga responden.

Responden memandang ibu sebagai sosok yang cukup perhatian, namun kurang tegas dalam mendisiplinkannya, bahkan selalu memberikan hadiah agar responden bersedia untuk mengikuti kegiatan ibadah atau membantu ibunya. Di sisi lain, kakek responden adalah sosok yang cenderung keras dalam mendisiplinkan responden. Kakek responden tidak segan memukul responden bila dirinya diketahui tidak mengikuti kegiatan ibadah rutin. Hal ini sempat memunculkan kemarahan pada diri responden terhadap kakeknya. Responden beberapa kali pergi dari rumah untuk menghindari bertemu dengan kakeknya saat kakek sedang berkunjung ke rumah. Hal ini menunjukkan inkonsistensi pola asuh yang diterapkan antara ibu dan kakeknya yang turut berkontribusi terhadap pemahaman norma dan pengembangan moralitas pada diri responden.

Anggota keluarga yang paling dekat dengan responden adalah kakak perempuannya. Responden memandang kakak perempuan sebagai sosok yang sabar dan berjasa besar bagi dirinya karena telah membantu membiayai responden hingga lulus SMA dan menjadi tulang punggung keluarga. Kakak perempuannya juga sempat meminta responden agar lebih bertanggung jawab karena selepas dirinya menikah, maka Responden diharapkan mampu bertindak sebagai kepala keluarga dan tulang punggung keluarga.

Responden memiliki kecenderungan untuk bertindak tanpa berpikir panjang yang kemudian menyebabkan responden sering melakukan hal-hal yang melanggar aturan tanpa memikirkan konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya. Hal ini tidak lepas dari penanaman dan penerapan norma yang tidak konsisten di dalam keluarga dan kurangnya rasa empati yang berkembang di dalam diri responden. Selain itu, responden merupakan sosok yang menginginkan hasil yang instan sehingga tidak jarang menyelesaikan masalah dengan cara yang kurang adaptif, seperti dengan cara merampok minimarket. Hal ini tampak dari keputusan responden untuk merampok karena memperoleh hasilnya dengan segera setelah melakukan aksi. Responden tidak mengira dirinya akan tertangkap karena merasa aman melakukan aksi di atas jam 12 malam dan sempat berhasil melarikan diri ketika salah seorang korban lari dan berteriak mencari pertolongan. Responden juga selalu menutupi area wajahnya menggunakan masker medis dengan harapan dirinya tidak akan dikenali sebagai pelaku perampokan.

Kematian kakak tirinya yang meninggalkan dua orang anak kemudian menambah beban finansial yang harus ditanggung

oleh responden. Oleh karena itu, gaji responden yang sebelumnya cukup untuk berekreasi, seperti minum kopi bersama teman-teman dirasa kurang. Di sisi lain, responden berada di lingkungan tempat tinggal dengan teman sebaya yang sering melanggar aturan, seperti penyalahgunaan obat-obatan, mencuri, menjambret, dan merampok. Responden sempat terpengaruh untuk menggunakan obat-obatan (pil koplo) karena merasa penasaran setelah melihat teman-temannya beberapa kali menggunakannya saat sedang berkumpul.

Responden mengaku kurang lebih selama dua bulan dirinya mengonsumsi obat-obatan hingga memutuskan berhenti setelah responden berkonflik lalu mengalami putus hubungan dengan mantan pacarnya pada saat sedang “teler” akibat mengonsumsi obat-obatan tersebut. Keesokan harinya responden tidak mengingat kejadian tersebut dan merasa kebingungan dengan pernyataan pacarnya yang mengaku telah putus hubungan dengan sang mantan pacar. Setelah melihat pesan berisi percakapannya dengan mantan pacarnya di handphone saat itu, responden kemudian menyadari bahwa obat-obatan yang responden konsumsi membuatnya sering tidak mengingat kejadian ataupun perbuatan yang dilakukannya saat sedang berkumpul dengan teman-teman dan mengonsumsi obat tersebut.

Sebelumnya, responden sempat diajak temannya menjambret, namun responden menolak karena khawatir akan risiko tertangkap. Beberapa saat kemudian, salah seorang teman lainnya mengajak responden untuk merampok di minimarket dan membujuknya dengan menekankan kondisi keuangan responden yang semakin sulit dan membuatnya tidak bisa bersenang-senang. Setelah memikirkan bujukan temannya tersebut, responden kemudian memutuskan untuk ikut melakukan aksi perampokan.

Kecenderungan responden yang mudah terpengaruh dengan orang-orang di lingkungannya, membuatnya terkadang mengulang tindakan-tindakan yang melanggar hukum, seperti menggunakan narkotika dan tidak segan menunjukkan agresi (berkelahi secara fisik) bila responden merasa orang lain sengaja memancing kemarahannya dan terlebih dahulu memukulnya. Selain itu, responden cenderung memendam perasaannya selama di LP karena merasa teman di LP kurang dapat dipercaya. Meski demikian, terdapat beberapa faktor protektif yang dimiliki responden dan dapat membantu responden mencegah tindakan kriminal yang dilakukannya terulang kembali, seperti kemampuan kognitif yang cukup baik, adanya anggota keluarga yang rutin mengunjungi dan menunjukkan kepedulian dengan membawa makanan maupun uang. Responden juga merasa memiliki kebutuhan untuk berhenti bermasalah dengan hukum. Hal ini dikarenakan responden merasa sedih karena harus berjauhan dari keluarga dan tidak dapat berkumpul pada hari raya maupun acara keluarga.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Berdasarkan International Classification of Diseases atau ICD-10 dan DSM-IV, gangguan kepribadian dialami dalam

waktu yang panjang (umumnya dimulai sejak masa anak-anak atau remaja dan berlanjut hingga dewasa) dan menetap yang melibatkan pengalaman di dalam diri (inner experience) dan perilaku yang menyebabkan distress atau penurunan signifikan fungsi sosial pada individu. Wujud dari suatu gangguan kepribadian adalah adanya permasalahan pada kognisi (kemampuan individu untuk memahami dan memikirkan dirinya serta orang lain), emosi (intensitas dan kesesuaian respon emosi), dan perilaku (kemampuan interpersonal, fungsi sosial dan pekerjaan, serta kemampuan untuk mengontrol dorongan) yang bukan disebabkan karena kondisi lain, seperti psikosis, gangguan mood, penyalahgunaan obat-obatan, dan lain-lain (Semple & Smyth, 2009).

Salah satu gangguan yang tergolong dalam gangguan kepribadian adalah gangguan kepribadian antisosial. Gangguan kepribadian antisosial merupakan suatu pola yang menetap pada individu yang menampilkan perilaku yang tidak bertanggung jawab secara konteks sosial, dalam hal ini mengabaikan hak orang lain (Emmelkamp & Kamphuis, 2013). Maass (2019) kemudian menyampaikan hal serupa dan menambahkan bahwa individu yang mengalami gangguan kepribadian antisosial kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial maupun hukum yang berlaku, sehingga kerap memperdaya (kebohongan yang berulang, menggunakan banyak nama samaran atau alias, menipu orang lain untuk keuntungan maupun kesenangan pribadi), impulsif atau gagal untuk membuat perencanaan, agresif dan mudah tersinggung yang terlihat dari pertengkaran fisik yang berulang, bertindak gegabah atas keamanan diri maupun orang lain, kurang bertanggung jawab (kesulitan untuk mempertahankan pekerjaan atau memenuhi kewajiban finansial, kurang memiliki perasaan menyesal dan tak acuh, sehingga kerap melakukan rasionalisasi terhadap perilaku yang kurang pantas ataupun merugikan orang lain.

Setelah melihat paparan hasil penelitian secara keseluruhan, responden tampak memiliki beberapa karakteristik gangguan kepribadian antisosial yang cukup menonjol dan sejalan dengan pernyataan (Maass, 2019). Pada saat akan melakukan perampokan, responden selalu berbohong kepada ibunya dengan meminta izin pergi berkumpul dengan teman-temannya. Jika aksi perampokan dilakukan pada hari kerja, responden seringkali diam-diam keluar rumah pada tengah malam tanpa meminta izin kepada ibu. Hal ini dikarenakan ibu selalu melarang responden berpergian pada malam hari jika keesokan harinya responden harus bekerja. Di sisi lain, sejak awal responden mulai bekerja, responden cenderung berpindah-pindah tempat kerja dalam hitungan bulan karena merasa kurang cocok dengan bayaran maupun pekerjaan yang dilakukan. Responden kemudian bertahan kurang lebih dua tahun di tempat kerja terakhir sebelum dirinya tertangkap karena harus turut membiayai keponakan yang saat itu baru saja menjadi yatim piatu.

Perilaku yang berkaitan dengan pelanggaran norma tidak hanya dilakukan responden pada masa dewasa saja. Sejak kecil, responden kerap berbohong terhadap ibu dan kakaknya untuk izin mengikuti kegiatan sekolah ataupun mengaji, meski pada kenyataannya responden bermain ke rumah teman. Pada

masa remaja, responden juga sering membolos dan berbohong kepada kakaknya saat kakaknya tidak sengaja melihatnya di jalan pada jam sekolah. Selain membolos dan berbohong dengan keluarga, responden melakukan pelanggaran-pelanggaran lainnya, seperti mengambil barang yang bukan miliknya dan berkelahi secara fisik dengan orang lain. Responden mengaku sejak kecil dirinya sering melempari pohon dan mengambil buah milik tetangga tanpa izin dan sempat beberapa kali terlibat perkelahian dan saling berpukulan dengan teman sekolahnya.

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh responden sejak kecil memenuhi kriteria dari conduct disorder berdasarkan DSM-5 milik APA (2013). Individu yang mengalami conduct disorder cenderung menunjukkan pemberontakan yang seringkali berujung pada hambatan dari pengembangan kemampuan regulasi emosi dan perilaku, atau kesulitan untuk mengembangkan empati, rasa bersalah, dan perilaku-perilaku prososial (Frick, 2016). Sementara itu, salah satu kriteria dari gangguan kepribadian antisosial pada DSM-5 adalah mengalami conduct disorder sebelum berusia 15 tahun (APA, 2013). Di sisi lain, tingkat agresivitas individu pada masa pra-remaja dan remaja awal secara signifikan memprediksi gangguan kepribadian antisosial pada masa dewasa awal yang berlaku bagi perempuan maupun laki-laki (Whipp, dkk., 2018).

Secara biologis, remaja yang mengalami conduct disorder memiliki kondisi yang serupa dengan individu dewasa yang mengalami gangguan kepribadian antisosial (Junewicz & Billick, 2020). Beberapa hasil penelitian sebelumnya mengenai struktur dan fungsi otak menyebutkan bahwa pengembangan perilaku antisosial secara biologis melibatkan beberapa area otak, seperti amygdala, korteks prefrontal ventromedial, dan bagian temporal (Portnoy, dkk., 2013). Hal ini menunjukkan terdapat indikasi bahwa diagnosis conduct disorder dapat menjadi penyebab dari gangguan kepribadian antisosial (Mcgonigal, dkk., 2019).

Diagnosis gangguan kepribadian antisosial hanya dapat ditegakkan apabila memenuhi minimal tiga kriteria dari tujuh kriteria pada indikator (A) yang terdiri atas (1) gagal untuk menyesuaikan norma sosial atau mengikuti aturan sosial berdasarkan hukum yang berlaku dan diindikasikan dengan tindakan berulang yang membuat individu ditangkap, (2) melakukan penipuan/kecurangan yang ditandai dengan kebohongan berulang, menipu orang lain untuk keuntungan atau kesenangan pribadi, (3) impulsif atau gagal dalam merencanakan sesuatu, (4) mudah tersinggung serta agresif yang tampak dari keterlibatan dalam perkelahian atau penyerangan secara fisik, (5) sikap acuh tak acuh, kecerobohan atas keselamatan diri dan orang lain, (6) tidak bertanggung jawab secara konsisten yang tampak dari kegagalan melakukan pekerjaan dengan baik atau melakukan pelanggaran kontrak, serta (7) kurang memiliki penyesalan yang terlihat dari sikap acuh tak acuh atau melakukan rasionalisasi, misalkan bahwa dirinya terluka, memiliki pengalaman penganiayaan ataupun pernah memiliki pengalaman menjadi korban pencurian. Selain itu, gangguan kepribadian antisosial hanya dapat ditegakkan bila individu

berusia minimal 18 tahun dan memiliki bukti adanya gangguan perilaku (conduct disorder) sebelum berusia 15 tahun serta perilaku antisosial tidak terjadi selama berada dalam kondisi skizofrenia ataupun gangguan bipolar (APA, 2013).

Jika ditinjau berdasarkan kriteria DSM-5 di atas, diagnosis gangguan kepribadian antisosial dapat ditegakkan karena memenuhi kriteria yang dituliskan APA (2013). Responden beberapa kali diketahui melanggar norma maupun hukum yang berlaku, seperti menyalahgunakan obat-obatan dan beberapa kali melakukan aksi perampokan minimarket. Sejak kecil, responden mengaku sering berbohong pada ibu dan kakaknya terkait kegiatan yang diikutinya, sehingga keluarga tidak mengetahui bahwa responden pernah menyalahgunakan obat-obatan maupun melakukan perampokan sebelum akhirnya tertangkap. Responden juga sempat berbohong dan mengelak kepada pihak kepolisian saat dirinya tertangkap. Sementara itu, responden dapat dikatakan impulsif, karena hampir selalu terpengaruh dan mengikuti ajakan-ajakan teman yang terkadang melanggar norma maupun hukum yang berlaku (menyalahgunakan obat-obatan dan merampok).

Responden sempat beberapa kali terlibat dalam perkelahian secara fisik. Tidak lama setelah tinggal di LP, responden saling memukul dengan salah satu teman selnya karena merasa direndahkan oleh temannya tersebut. Saat perkelahian tersebut terjadi, petugas LP kemudian datang melerai dan memindahkan responden ke blok lain. Selain itu, responden tidak segan untuk membawa senjata tajam saat merampok dan membawa motor dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga membahayakan diri dan orang lain. Secara umum, responden kesulitan untuk bertahan di tempat kerja. Hal ini membuat dirinya kerap berpindah tempat kerja. Sementara itu, di tempat kerja yang terakhir, dirinya juga sempat mendapatkan teguran karena kedapatan mengonsumsi salah satu jenis pil koplo saat sedang bekerja. Pada umumnya, responden mengaku dirinya tidak memiliki perasaan bersalah terhadap pihak-pihak yang menjadi korban dari aksi perampokan yang dilakukannya. Responden menyesali perbuatannya karena tidak menyangka dirinya akan tertangkap dan harus tinggal berjauhan dari keluarga.

Secara umum, lemahnya kontrol diri pada responden sejak kecil ketika menghadapi tekanan dari peer group membuat responden rentan melakukan pelanggaran aturan. Individu dengan kontrol diri yang lemah memiliki kemungkinan lebih besar untuk memiliki teman sebaya dan nila-nilai yang menyimpang (Baron, 2003). Baron (2003) juga menuliskan bahwa individu yang memiliki teman sebaya dan nilai-nilai menyimpang menjadi prediktor dari kejahatan yang berkaitan dengan pencurian maupun perusakan properti, penyalahgunaan obat-obatan, dan tindak kriminal secara umum. Hal ini sesuai dengan pengalaman responden yang beberapa kali melakukan penyalahgunaan obat-obatan dan perampokan di empat minimarket karena mengikuti ajakan teman.

APA (2013) menuliskan bahwa individu yang mengalami gangguan kepribadian antisosial cenderung keras kepala,

manipulatif, memanfaatkan orang lain atau situasi demi keuntungan pribadi, dan kurang memiliki rasa empati. Empati umumnya melibatkan simulasi mental dari kondisi emosi orang lain. Oleh karena itu, empati melibatkan kapasitas emosi individu untuk memahami orang lain. Ketidakmampuan dalam memberikan respon emosi dapat mendorong perilaku antisosial karena membuat individu kesulitan untuk memahami dan merasa terhubung dengan orang lain (Baumeister & Lobbestael, 2011). Sebelumnya, responden pernah membawa dan mengancam ibunya agar tidak menikah dengan menggunakan samurai dan dirinya lebih mengedepankan tujuannya untuk menolak pernikahan ibunya daripada memahami ketakutan ibunya saat melihat responden membawa samurai ke hadapannya. Selain itu, responden juga cenderung tidak menunjukkan rasa empati terhadap korban dari aksi perampokannya dengan mengungkapkan bahwa hasil tersebut responden bagikan sebagian untuk tetangga yang kurang mampu.

Berdasarkan hasil wawancara, Ayah biologis responden diketahui meninggal sejak responden masih berusia enam tahun. Hal ini membuat responden tidak merasakan kehadiran figur ayah sejak dini, meskipun responden memiliki seorang kakek yang cukup sering mengunjungi responden saat masih anak-anak dan dipandang sebagai pengganti sosok ayah di dalam keluarga. Menurut responden, dirinya lebih nyaman bersama ayah daripada ibu, karena ayah lebih sering mengajaknya berinteraksi dan melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama-sama daripada ibu, sehingga responden sering merindukan sosok ayahnya. Sementara itu, Pfiffner, dkk., (2001) menyatakan bahwa perilaku antisosial yang meningkat pada anak berkaitan dengan ketidakhadiran ayah biologis.

Bierer, dkk., (2003) lalu menuliskan bahwa kekerasan fisik maupun kekerasan seksual yang diperoleh pada masa anak-anak dapat memprediksi gangguan kepribadian antisosial dan gangguan kepribadian paranoid. Sejalan dengan penelitian sebelumnya, hasil penelitian Dargis, dkk., (2016) terhadap pelaku kriminal menunjukkan riwayat penganiayaan pada masa anak-anak memiliki hubungan dengan tingkat intensitas gangguan kepribadian antisosial pada masa dewasa. Kakek responden seringkali melakukan kekerasan fisik dalam memberi hukuman pada responden. Responden sempat membenci kakeknya dan sering menghindar dari kakek saat dirinya mengetahui kakek sedang berada di rumah. Hal ini menyebabkan responden terkadang menggunakan kekerasan fisik saat dirinya merasa sangat marah. Pada bulan pertama responden tinggal di LP, responden terlibat pertengkaran fisik karena dirinya merasa sangat marah akibat dihina oleh temannya terkait status ekonomi responden dan keluarganya. Selain itu, responden juga pernah mengancam ibunya dengan membawakan samurai saat ibu sempat bersikeras untuk menikah dengan saudara iparnya. Menurut responden, hal tersebut dilakukan karena ibu tidak mau mendengarkan pendapat anaknya yang menolak pernikahan tersebut terjadi, sehingga responden merasa perlu untuk mengancam ibunya dengan menggunakan senjata hingga akhirnya ibu mengurungkan niatnya.

Menurut Sigelman dan Rider (2009) pola asuh permisif cenderung menunjukkan respon penerimaan yang tinggi, namun memiliki sedikit tuntutan dan kontrol. Orangtua yang menerapkan pola asuh permisif cenderung memiliki sedikit peraturan dan mengizinkan anak untuk mengekspresikan perasaan maupun dorongan yang dimiliki serta jarang melakukan kontrol atas perilaku anak. Ibu Responden cenderung menerapkan pola asuh permisif karena sehari-hari selalu memperhatikan kebutuhan responden dan jarang melakukan pengawasan terhadap responden, sehingga responden sejak kecil sudah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang tidak diketahui oleh ibunya. Selain itu, ibu juga cenderung menuruti permintaan responden, seperti memberikan uang agar responden bersedia untuk membantu ibu ataupun mengikuti kegiatan pengajian.

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, kakek responden tampak menerapkan pola asuh otoriter yang cenderung memberikan hukuman fisik, seperti memukul responden dengan pecutan yang biasa digunakan untuk memecut sapi saat responden tidak menuruti permintaannya. Pola asuh otoriter menekankan pada banyaknya tuntutan dan kontrol, cenderung kurang responsif dan menunjukkan penerimaan yang minim terhadap anak. Orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter memiliki banyak aturan dan mengharapkan anak untuk patuh secara kaku, namun jarang menjelaskan mengenai pentingnya untuk menaati aturan tersebut serta sering memberikan hukuman secara fisik agar anak menjadi patuh (Sigelman & Rider, 2009).

Menurut responden, kakek adalah satu-satunya anggota keluarga yang tegas dalam menegakkan aturan terhadap dirinya, namun karena tidak tinggal bersama, responden berusaha untuk menghindari kakek ketika berkunjung. Di sisi lain, ibu dan kakak perempuan cenderung menerapkan kontrol yang longgar terhadap responden, sehingga sejak kecil responden sering berbohong saat ditanyakan kegiatan yang responden lakukan selama di sekolah maupun di luar rumah. Meski responden nyaman berada di dekat ibu dan kakaknya, responden lebih senang berkumpul dengan teman-temannya. Sementara itu, Vieno, dkk., (2009) menyatakan bahwa orangtua memiliki peran yang penting dalam memengaruhi perilaku anaknya pada masa remaja awal dengan membina hubungan yang dekat dan melakukan kontrol yang diperlukan terhadap anak. Kurangnya kontrol dan pengaruh dari orangtua kemudian membuat responden lebih mudah terpengaruh oleh teman-temannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka diagnosis gangguan kepribadian antisosial pada responden dapat ditegakkan karena memenuhi kriteria pada DSM-5. Hasil asesmen juga menunjukkan adanya beberapa potensi ataupun kelebihan yang dimiliki responden berdasarkan kondisi saat pemeriksaan dilakukan. Responden memiliki kemampuan yang cukup baik untuk menerima dan memahami informasi yang diberikan dengan bahasa sederhana dan konkrit. Selain itu, responden memiliki keluarga yang rutin berkunjung dan menunjukkan kepeduliannya selama responden tinggal di LP. Setelah responden tinggal di LP, keluarga lebih sering mengingatkan responden untuk bersikap baik, sehingga bisa segera kembali

berkumpul dengan keluarga di rumah. Di sisi lain, responden mempunyai kebutuhan untuk melanjutkan hidup dengan cara yang lebih baik (bekerja secara halal) dan berhenti bermasalah dengan hukum.

Saran yang dapat diberikan kepada peneliti selanjutnya yang melaksanakan penelitian di lingkungan LP maupun rumah tahanan adalah agar menggali informasi secara mendalam dan utuh terkait subjek penelitian sejak dimulai dari masa kecil hingga dewasa dan pola asuh yang diterapkan oleh orangtua subjek penelitian serta pelanggaran-pelanggaran aturan yang mungkin dilakukan sejak dini. Hal ini dikarenakan pada umumnya gangguan kepribadian antisosial diawali dengan masalah perilaku pada masa anak-anak dan remaja yang kemudian bertahan hingga dewasa dan membentuk gangguan kepribadian antisosial. Selain itu, kasus di dalam penelitian ini maupun kasus serupa dapat dikembangkan untuk kemudian diberikan intervensi berdasarkan kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki subjek penelitian agar intervensi menjadi lebih efektif.

Saran yang dapat ditujukan terhadap responden adalah agar mampu untuk meningkatkan motivasinya dalam mengeksplor minat dan menggali potensi diri yang kemudian dapat dijadikan sumber penghasilan (misal: melukis) yang sesuai dengan norma di masyarakat. Selain itu, responden perlu untuk meningkatkan kontrol diri dan berlatih untuk menolak ajakan-ajakan teman dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran norma maupun hukum. Sementara itu, saran yang ditujukan terhadap pihak LP adalah agar semakin giat dalam memberikan pelatihan-pelatihan berupa berbagai skill yang dapat meningkatkan kesempatan bekerja bagi para warga binaan setelah keluar dari LP dan bekerja sama dengan praktisi kesehatan mental untuk mengadakan pelatihan-pelatihan psikologis yang berkaitan dengan pengembangan empati dan peningkatan kontrol diri.

DAFTAR PUSTAKA

Alam, A.S. Ilyas, A. (2018). Kriminologi Suatu Pengantar: Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.). Arlington, VA: Author.

Andrews, D. A., Bonta, J., & Wormith, J. S. (2006). The recent past and near future of risk and/or need assessment. Crime and Delinquency,                   52(1),                   7-27.

https://doi.org/10.1177/0011128705281756.

Baron, S. W. (2003). Self-control, social consequences, and criminal behavior: Street youth and the general theory of crime. Journal of Research in Crime and Delinquency, 40(4), 403-425.

https://doi.org/10.1177/0022427803256071.

Baumeister, R. F., & Lobbestael, J. (2011). Emotions and antisocial behavior. Journal of Forensic Psychiatry and Psychology, 22(5),                                                635-649.

https://doi.org/10.1080/14789949.2011.617535.

Bierer, L. M., Yehuda, R., Schmeidler, J., Mitropoulou, V., New, A.

S., Silverman, J. M., & Siever, L. J. (2003). Abuse and neglect in childhood: Relationship to personality disorder diagnoses. CNS          Spectrums,          8(10),          737-754.

https://doi.org/10.1017/s1092852900019118.

Black, D. W. (2015). The natural history of antisocial personality

disorder. In Canadian Journal of Psychiatry, 60(7), 309-314. https://doi.org/10.1177/070674371506000703.

Choi, B. S., Kim, J. I., Kim, B. N., & Kim, B. (2017). Comorbidities and correlates of conduct disorder among male juvenile detainees in South Korea. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 11, 44. https://doi.org/10.1186/s13034-

017-0182-3.

Dargis, M., Newman, J., & Koenigs, M. (2016). Clarifying the link between childhood abuse history and psychopathic traits in adult criminal offenders. Personality Disorders: Theory, Research,      and     Treatment,      7(3),     221-228.

https://doi.org/10.1037/per0000147.

Davis, C., Bahr, S. J., & Ward, C. (2012). The process of offender reintegration: Perceptions of what helps prisoners reenter society. Criminology & Criminal Justice, 13(4), 446-469. https://doi.org/10.1177/1748895812454748.

Emmelkamp, P. M. G., & Kamphuis, J. H. (2013). Personality Disorders. New York: Psychology Press/Taylor & Francis. https://doi.org/10.4324/9781315824406

Evans, C., Forrester, A., Jarrett, M., Huddy, V., Campbell, C. A., Byrne, M., Craig, T., & Valmaggia, L. (2017). Early detection and early intervention in prison: improving outcomes and reducing prison returns. Journal of Forensic Psychiatry and Psychology,                 28(1),                 91-107.

https://doi.org/10.1080/14789949.2016.1261174.

Frick, P. J. (2016). Current research on conduct disorder in children and adolescents. South African Journal of Psychology, 46(2), 160-174. https://doi.org/10.1177/0081246316628455.

Glenn, A. L., Johnson, A. K., & Raine, A. (2013). Antisocial

personality disorder: A current review. Current Psychiatry Reports, 15(12),  427.  https://doi.org/10.1007/s11920-013-

0427-7.

Hancock, D. R., & Algozzine, B. (2017). Doing case study research: A practical guide for beginning researchers. Third Edition. New York: Teachers College Press.

Hodgins, S., Checknita, D., Lindner, P., Schiffer, B., & De Brito, S. A. (2018). Antisocial personality disorder. Dalam A. R. Beech, A. J. Carter, R. E. Mann, & P. Rotshtein (Eds.). The wiley blackwell handbook of forensic neuroscience (pp 229-272). Hoboken,     NJ:     John     Wiley     &     Sons.

https://doi.org/10.1002/9781118650868.

Junewicz, A., & Billick, S. B. (2020). Conduct disorder: Biology and developmental trajectories. Psychiatric Quarterly, 91(12), 7790. https://doi.org/10.1007/s11126-019-09678-5.

Krastins, A., Francis, A. J. P., Field, A. M., & Carr, S. N. (2014). Childhood predictors of adulthood antisocial personality disorder symptomatology. Australian Psychologist, 49(3), 142156. https://doi.org/10.1111/ap.12048.

Lanier, M. M., & Henry, S. (2001). Crime in context: The scope of the problem. Dalam S. Henry & M. M. Lanier (Eds.). What is crime? Controversies over the nature of crime and what to do about it (pp 1-5). Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc. https://doi.org/10.2307/3089445.

Maass, V. S. (2019). Personality disorders: Elements, history, examples, and research. California: Praeger.

Mariano, M. P. V. (2019). Moral competence and conduct disorder among Filipino children in conflict with the law. Neuropsychopharmacology     Reports,     39(1),     1-9.

https://doi.org/10.1002/npr2.12071.

Martin, S., Zabala, C., Del-Monte, J., Graziani, P., Aizpurua, E., Barry, T. J., & Ricarte, J. (2019). Examining the relationships between impulsivity, aggression, and recidivism for prisoners with antisocial personality disorder. Aggression and Violent Behavior.                    Elsevier,                    Ltd.

https://doi.org/10.1016/j.avb.2019.07.009.

Matejkowski, J. (2017). The moderating effects of antisocial personality disorder on the relationship between serious mental

illness and types of prison infractions. Prison Journal, 97(2), 202-223. https://doi.org/10.1177/0032885517692804.

Mcgonigal, P., Kerr, S., Morgan, T., Dalrymple, K., Chelminski, I., & Zimmerman, M. (2019). Should childhood conduct disorder be necessary to diagnose antisocial personality disorder in adults? Annals of Clinical Psychiatry, 31(1), 36-44. PMID: 30699216.

Moran, P. (1999). The epidemiology of antisocial personality disorder. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 34(5), 231-242. https://doi.org/10.1007/s001270050138.

Morrison, G. M., Robertson, L., Laurie, B., & Kelly, J. (2002). Protective factors related to antisocial behavior trajectories. Journal of Clinical Psychology,   58(3),   277-290.

https://doi.org/10.1002/jclp.10022.

National Collaborating Centre for Mental Health. (2013). Antisocial behaviour and conduct disorders in children and young people: Recognition, intervention and management. Leicester, London: British Psychological Society and Royal College of Psychiatrists.

www.nccmh.org.uk/downloads/CD/CG158FullCG.pdf.

Pfiffner, L. J., McBurnett, K., & Rathouz, P. J. (2001). Father absence and familial antisocial characteristics. Journal of Abnormal Child Psychology, 29   (5),   353-367.

https://doi.org/10.1023/A:1010421301435.

Portnoy, J., Gao, Y., Glenn, A. L., Niv, S., Peskin, M., Rudo-Hutt, A., Schug, R. A., Yang, Y., & Raine, A. (2013). The biology of childhood crime and antisocial behavior. Dalam C. Gibson & M. Krohn (Eds.). Handbook of life-course criminology: Emerging trends and directions for future research (pp 21-42). New York:   Springer Science + Business Media.

https://doi.org/10.1007/978-1-4614-5113-6_2.

Rokven, J. J., de Boer, G., Tolsma, J., & Ruiter, S. (2017). How friends’ involvement in crime affects the risk of offending and victimization. European Journal of Criminology, 14(6), 607719. https://doi.org/10.1177/1477370816684150.

Sa, M. (2015). Mood and personality disorders. dalam G. M. Kapalka (Ed.).   Treating disruptives disorders:   A guide to

psychological, pharmacological, and combined therapies (pp 207-238). New York: Routledge.

Semple, D., & Smyth, R. (2009). Oxford Handbook of Psychiatry. New      York:      Oxford      University      Press.

https://doi.org/10.1093/med/9780199239467.001.0001.

Sigelman, C. K.,  & Rider, E. A. (2009). Life-span human

development (6th ed.). Belmont, CA: Wadsworth Cengage Learning.

van Koppen, M. V. (2018). Criminal career dimensions of juvenile-and adult-onset offenders. Journal of Developmental and LifeCourse         Criminology,         4(1),         92-119.

https://doi.org/10.1007/s40865-017-0074-5.

Vieno, A., Nation, M., Pastore, M., & Santinello, M. (2009).

Parenting and antisocialbBehavior: A model of the relationship between  adolescent self-disclosure,  parental  closeness,

parental  control, and adolescent  antisocial behavior.

Developmental     Psychology,      45(6),      1509-1519.

https://doi.org/10.1037/a0016929.

Vrisaba, N. A., & Dianovinina, K. (2019). Dinamika kepribadian narapidana kasus pembunuhan dengan gangguan kepribadian antisosial. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 4(2), 130-147. https://doi.org/10.33367/psi.v4i2.827.

Werner, K. B., Few, L. R., & Bucholz, K. K. (2015). Epidemiology, comorbidity, and behavioral genetics of antisocial personality disorder and psychopathy. Psychiatric Annals, 45(4), 195-199. https://doi.org/10.3928/00485713-20150401-08.

Wesseldijk, L. W., Bartels, M., Vink, J. M., van Beijsterveldt, C. E. M., Ligthart, L., Boomsma, D. I., & Middeldorp, C. M. (2018). Genetic and environmental influences on conduct and antisocial personality problems in childhood, adolescence, and

adulthood. European Child and Adolescent Psychiatry, 27(9), 1123-1132. https://doi.org/10.1007/s00787-017-1014-y.

Whipp, A. M., Korhonen, T., Raevuori, A., Heikkilä, K., Pulkkinen, L., Rose, R. J., Kaprio, J., & Vuoksimaa, E. (2018). Early adolescent aggression predicts antisocial personality disorder in young adults: a population-based study. European Child and      Adolescent      Psychiatry,      28(7),      1-10.

https://doi.org/10.1007/s00787-018-1198-9.

Yu, R., Geddes, J. R., & Fazel, S. (2012). Personality disorders, violence, and antisocial behavior: A systematic review and meta-regresion analysis. Journal of Personality Disorders, 26(5), 775-792. https://doi.org/10.1521/pedi.2012.26.5.775.

LAMPIRAN

Tabel 1.

Kriteria gangguan kepribadian antisosial berdasarkan DSM-5

Karakteristik

Checklist

Keterangan

A.

Pola pervasif mengabaikan dan melanggar hak orang lain, yang terjadi sejak memasuki usia 15 tahun, seperti tiga (atau lebih) dari kriteria berikut ini:

v

Memenuhi seluruh kriteria pada bagian A

1.

Gagal dalam menyesuaikan norma sosial atau mengikuti aturan sosial yang berkaitan dengan perilaku berdasarkan hukum dengan indikasi adanya tindakan yang berulang yang membuat individu ditangkap atau ditahan.

v

Responden sempat melakukan penyalahgunaan obat-obatan dan kemudian melakukan aksi perampokan sebanyak empat kali hingga akhirnya tertangkap dan mendapatkan vonis hukuman selama 7 tahun.

2.

Penipuan atau kecurangan yang dilakukan dan ditandai dengan kebohongan secara berulang, menggunakan aliansi ataupun menipu orang lain demi keuntungan dan kesenangan pribadi.

v

Responden kerap berbohong terhadap pihak keluarga saat izin pergi untuk melakukan aksi perampokan dengan mengatakan berkumpul bersama teman-teman. Selain itu, pada awal saat Responden tertangkap, dirinya sempat menyangkal bahwa telah melakukan aksi perampokan.

3.

Impulsif atau gagal dalam melakukan suatu perencanaan.

v

Responden mudah terpengaruh oleh ajakan teman-temannya, seperti melakukan penyalahgunaan obat-obatan dan ikut terlibat dalam aksi perampokan. Selain itu, Responden kurang memiliki perencanaan terkait kehidupan dan masa depannya.

4.

Mudah merasa tersinggung dan agresif dengan indikasi terlibat dalam tindakan perkelahian atau penyerangan secara fisik.

v

Responden beberapa kali sempat terlibat dalam perkelahian. Responden pernah saling memukul satu sama lain dengan teman satu selnya, sehingga akhirnya Responden dipindahkan ke blok lain.

5.

Memiliki sikap acuh tak acuh dan kecerobohan atas keselamatan diri sendiri maupun orang lain

v

Responden tidak segan membawa senjata tajam untuk mengancam korban. Selain itu, Responden sering tergesa-gesa dalam membawa motor saat melakukan aksi perampokan, sehingga membahayakan dirinya maupun orang lain.

6.

Ketidakbertanggungjawaban secara konsisten yang tampak dari kegagalan dalam melakukan pekerjaan dengn baik ataupun melakukan pelanggaran kontrak kerja

v

Responden beberapa kali pindah tempat kerja dalam waktu singkat (hitungan bulan). Selain itu, di tempatnya terakhir bekerja sebelum tertangkap, Responden sempat mengonsumsi obat-obatan terlarang, sehingga berdampak pada pekerjaannya.

7.

Kurang memiliki penyesalan, yang tampak dari sikap acuh tak acuh atau melakukan rasionalisasi bahwa dirinya merasa terluka, teraniaya, ataupun merasa dirampas dari orang lain.

v

Responden tidak merasa menyesal terhadap korban dari aksi perampokan yang dilakukannya dan mengatakan bahwa hasil yang dirinya peroleh sebagian diberikan terhadap tetangga yang kurang mampu. Selain itu, dirinya juga menekankan kesulitan ekonomi yang dialaminya karena tiba-tiba harus menanggung biaya hidup dua keponakannya.

B.

Individu berusia minimal 18 tahun.

v

Responden  berusia  27  tahun  saat  melakukan

pemeriksaan.

C.

Terdapat bukti gangguan perilaku (conduct disorder) yang terjadi sebelum individu berusia 15 tahun.

v

Responden memiliki gangguan perilaku sejak kecil.

D.

Perilaku antisosial tidak terjadi secara khusus selama skizofrenia atau gangguan bipolar.

v

Responden tidak mengalami skizofrenia

11