Peran kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas terhadap tingkat kecemasan pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
on
Jurnal Psikologi Udayana 2020, Vol. 7, No. 2, 77-92
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607 doi: 10.24843/JPU.2020.v07.i02.p.08
Peran kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas terhadap tingkat kecemasan pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Aldilla Rumintang dan I Made Rustika
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Abstrak
Pada setiap peningkatan jenjang pendidikan akan ada perubahan lingkungan, sehingga dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi. Adanya tuntutan untuk lebih mandiri, tuntutan dari orangtua, serta perubahan lingkungan dapat menimbulkan kecemasan, terlebih pada dokter muda yang harus menerapkan langsung kepada pasien ilmu yang telah didapatkan selama pre klinik. Banyak faktor yang dapat berperan dalam menurunkan taraf kecemasan dokter muda diantaranya adalah kemampuan mengendalikan emosi dan kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi situasi yang dapat menimbulkan kecemasan. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui peran kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas terhadap tingkat kecemasan pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Subjek penelitian ini berjumlah 71 mahasiswa Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang sedang menjalankan tahap profesi pada tahun 2019. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi ganda. Hasil uji regresi ganda menunjukkan nilai koefisien regresi 0,743 dengan nilai koefisien determinasi 0,533 dan signifikansi 0,000 dengan koefisien beta terstandarisasi pada variabel kecerdasan emosional -0,389 dan kecerdasan adversitas -0,407. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas bersama-sama berperan menurunkan taraf kecemasan pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Kata kunci: dokter muda, kecemasan, kecerdasan adversitas kecerdasan emosional.
Abstract
In every change to higher education, there will always be a change in the environment. Therefore, ability to adapt in that change is needed. Pressure to be more independent, pressure from parents, and environment change can result in anxiety, especially to junior doctors who need to implement their knowledge from pre-clinical years right away to the patients. There are a lot of factors that can affect junior doctors’ level of anxiety. Those are the ability to control emotion and the ability to overcome situations that can lead to anxiety. This research aims to know the role of emotional intelligence and adversity intelligence in decreasing anxiety level of junior doctors in the Faculty of Medicine Udayana University. The subject of this research is 71 students of Medicine Studies and Professional Studies in Udayana University who are taking the professional step in the year 2019. The technique of the data analysis is multiple regression. The analysis resulted in a regression coefficient -0,743 with coefficient determination 0,533 with significant score 0,000 with standardized beta coefficient on emotional intelligence variable -0,389 and adversity intelligence -0,407. This result shows that emotional intelligence and adversity intelligence have the same role in decreasing anxiety level of students in Faculty of Medicine Udayana University.
Keywords: adversity intelligence, anxiety, emotional intelligence, junior doctor.
LATAR BELAKANG
Setiap individu dalam kehidupannya akan selalu mengalami perubahan, perubahan akan terus terjadi baik dalam segi fisik maupun segi psikologis, dalam menghadapi perubahan situasi individu akan banyak menghadapi hal-hal baru yang belum pernah dialaminya, sehingga perubahan ini dapat menimbulkan kecemasan. Menurut Ghufron dan Risnawati (2014), kecemasan adalah suatu kondisi dimana individu menjumpai situasi yang tidak pasti, dan kurangnya kepercayaan individu dengan kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi situasi tersebut. Kecemasan adalah pengalaman subjektif mengenai ketegangan dan kekhawatiran yang dirasakan individu. Kecemasan adalah hal yang wajar serta tidak selalu memiliki dampak yang negatif karena dapat membantu individu dalam berperilaku positif (Nevid dkk, 2005).
Kecemasan dapat menyebabkan reaksi fisik, emosional dan kognitif. Reaksi fisik antara lain seperti pusing, sakit perut, dan tangan berkeringat, lalu reaksi emosional yang ditimbulkan dari kecemasan adalah panik dan takut, sedangkan reaksi kognitif yang dapat ditimbulkan dari kecemasan adalah gangguan memori dan perhatian, kekhawatiran, bingung, serta ketidakteraturan dalam berpikir (Shah, dalam Ghufron & Risnawati, 2014). Kecemasan pada taraf yang ringan akan meningkatkan kewaspadaan pada individu sedangkan taraf kecemasan yang tinggi akan menyebabkan individu kehilangan konsentrasinya sehingga tidak optimal dalam mengerjakan sesuatu. Dalam kehidupan individu, kecemasan dapat terjadi kapanpun dan dimanapun. Terlebih-lebih saat individu sedang menempuh pendidikan, dimana diperlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Individu yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya dapat mengalami kecemasan, kekhawatiran, dan ketegangan. Pada setiap peningkatan jenjang pendidikan akan ada perubahan lingkungan, sehingga dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi. Adanya tuntutan untuk lebih mandiri dalam proses belajar, tuntutan dari orangtua, serta perubahan lingkungan pada tempat belajar dapat menimbulkan kecemasan pada individu, terlebih pada dokter muda yang harus menerapkan ilmu yang telah didapatkan selama pre klinik langsung kepadapasien.
Pendidikan kedokteran di Indonesia dibagi menjadi dua tahapan yaitu tahap akademik yang dilakukan minimal tujuh semester serta tahap profesi yang dilakukan selama empat semester (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012). Sesuai dengan Konsil Kedokteran Indonesia, Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana juga menerapkan kurikulum yang sama, yang ditempuh selama 86 minggu dengan total beban studi sebanyak 166 satuan kredit semester (sks). Tahap profesi pada pendidikan kedokteran dikenal dengan nama dokter muda.
Dokter muda merupakan individu yang menempuh program studi profesi dokter dalam jangka waktu dua tahun dari semester sembilan sampai dengan semester sebelas (Willda dkk, 2016). Adanya perubahan status dari mahasiswa kedokteran menjadi dokter muda dapat
menimbulkan kecemasan, dimana individu tersebut akan mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari ke dalam kasus nyata. Dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana akan melaksanankan tahap profesi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. RSUP Sanglah Denpasar adalah rumah sakit tipe A yang memiliki pelayanan kesehatan terlengkap di Bali dan menjadi rumah sakit rujukan, sehingga pasien yang berada di RSUP Sanglah berasal dari berbagai macam daerah, baik dari provinsi Bali atau provinsi lainnya. Selain itu, pasien akan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, gejala penyakit yang mirip satu sama lain, serta pertanyaan yang tidak terduga dari pasien, yang mana hal tersebut dapat menimbulkan kecemasan pada dokter muda, sehingga kurang optimal dalam menjalankantugasnya.
Kecemasan pada dokter muda telah didukung dengan adanya studi pendahuluan yang dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif pada mahasiswa Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang sedang menjalankan tahap profesi sebanyak 23 orang, dengan melakukan pengisian kuesioner serta wawancara. Didapatkan hasil studi pendahuluan secara kuantitatif bahwa terdapat 4 orang mengalami kecemasan pada tingkat yang sangat rendah, 9 orang mengalami kecemasan pada tingkat rendah, lalu kecemasan dengan tingkat sedang dialami oleh 4 orang dan 3 orang mengalami kecemasan dengan tingkat yang tinggi, selanjutnya dari hasil studi pendahuluan secara kualitatif dengan melakukan wawancara pada 3 dokter muda, didapatkan hasil bahwa saat dokter muda menjalankan tahap profesi muncul perasaan cemas seperti sulit berkonsentrasi, jantung berdebar, tangan gemetar serta berkeringat (Rumintang, 2019). Adapun penelitian yang dilakukan oleh Savitri dan Diniari(2015), mengenai perbedaan tingkat kecemasan dan depresi pada mahasiswa jenjang preklinik dan koasisten didapatkan hasil bahwa distribusi gangguan cemas pada mahasiswa jenjang koasisten lebih tinggi yaitu sebesar 60% dan untuk kecemasan yang dialami mahasiswa jenjang preklinik sebesar 26,3%. Berdasarkan hasil studi pendahuluan dapat dilihat bahwa setiap individu mengalami taraf kecemasan yang berbeda-beda pada saat menjalani tahap profesi. Dari hasil studi pendahuluan tersebut timbul pertanyaan mengapa ada dokter muda yang taraf kecemasannya tinggi sementara yang lainnya memiliki tingkat kecemasan rendah?.
Menjadi dokter muda tentu akan berhadapan dengan berbagai pemasalahan, baik permasalahan yang menyangkut pasien ataupun permasalahan lainnya. Menurut Goleman (dalam Sarwono, 2011), seseorang dalam menyelesaikan masalah harus disertai dengan pengelolaan emosi yang baik, karena jika hanya mengandalkan kecerdasan kognitif tanpa disertai dengan pengelolaan emosi yang baik, akan sulit untuk mencapai keberhasilan. Pengendalian diri adalah keahlian individu untuk mengelola emosi sehingga memiliki dampak yang baik dalam penyelesaian tugas, mampu menunda kesenangan sebelum tercapainya suatu tujuan, peka dengan kata hati, serta cepat kembali pulih dari tekanan emosi (Goleman, 2005). Selain dibutuhkan pengendalian diri yang baik dokter muda juga dituntut untuk dapat dengan cermat membaca situasi dan cepat menangani kecemasan yang dirasakannya, sehingga dibutuhkan keterampilan sosial
yang baik. Kemampuan individu untuk cermat dalam membaca situasi serta jaringan sosial dan mampu mengelola emosi saat berkaitan dengan individu lain adalah makna dari keterampilan sosial (Goleman, 2015). Keterampilan sosial serta pengendalian diri adalah bagian dari komponen kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional memilikilima komponen yaitu pengaturan diri, keterampilan sosial, empati, motivasi, serta kesadaran diri. Keahlian dalam memahami perasaannya serta perasaan individu lain, mampu mengendalikan emosi pada diri sendiri , mampu memotivasi diri serta orang lain adalah makna dari kecerdasan emosional (Goleman, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Perdana(2017), menunjukkan tingginya taraf kecerdasan emosi individu dapat mengurangi tingkat kecemasan individu tersebut. Sejalan dengan penelitian sebelumnya, penelitian Fikry dan Khairani(2017) menunjukkan hubungan negatif antara kercerdasan emosional dengan kecemasan pada mahasiswa.
Selain dibutuhkan kemampuan dalam mengendalikan diri serta cermat membaca situasi dalam menangani kecemasan, menjadi dokter muda juga dihadapkan pada tugas yang banyak, jadwal yang padat, kurangnya waktu tidur, ditambah lagi dengan adanya tanggung jawab yang besar, hal-hal ini dapat memengaruhi kecemasan individu. Sehingga kemampuan bertahan sangat dibutuhkan untuk menghadapi hal tersebut. Kemampuan bertahan atau endurance adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk bertahan serta berhubungan dengan persepsi individu mengenai lamanya kesulitan akan berlangsung. Endurance merupakan salah satu aspek dari kecerdasan adversitas. Selain endurance, kecerdasan adversitas memiliki tiga aspek lain yaitu control, origin-ownership, dan reach (Stolz, 2000).
Kecerdasan adversitas merupakan kehendak individu untuk sukses dalam mencapai tujuan, sifat yang tidak mudah menyerah, ketahanan diri individu, serta kemampuan untuk dapat bangkit kembali (Green, 2006). Kecerdasan adversitas dapat menentukan sukses atau tidaknya seseorang dalam pekerjaan ataupun kehidupannya (Stolz, 2000). Penelitian Puspitasari(2013), memperlihatkan adanya hubungan yang negatif dan signifikan antara adversity quotient dengan kecemasan, semakin tinggi adversity quotient yang dimiliki maka taraf kecemasan yang dialami akan semakin rendah.
Individu dengan taraf kecerdasan adversitas yang tinggi menganggap situasi yang sulit tidak menimbulkan halangan yang tidak akan teratasi, kesulitan akan dianggap sebagai tantangan, tantangan yang muncul akan dianggap sebagai peluang dan setiap peluang harus disambut. Kecerdasan adversitas merupakan faktor penting bagi kesuksesan, yang menentukan bagaimana dan sejauh mana kemampuan, kinerja, dan sikap agar apa yang individu inginkan dapat terwujud. Kecerdasan adversitas merupakan aspek mental yang bisa dipelajari dan dapat ditingkatkan (Stolz, 2000).
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, peneliti bermaksud meneliti peran kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas terhadap tingkat kecemasan dokter muda Fakultas Kedokteran UniversitasUdayana.
METODE PENELITIAN
Variabel dan Definisi Operasional
Kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas sebagai variabel bebas serta kecemasan sebagai variabel tergantung Kecemasan
Pengalaman subjektif individu mengenai kekhawatiran, ketakutan, serta ketegangan akan ancaman atau bahaya yang akan datang, sehingga dapat menyebabkan respon fisik, perilaku, serta terganggunya pemikiran individu.Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi taraf kecemasan subjek.
Kecerdasan emosional
Keahlian individu mengamati gejolak emosi pada diri, mengelola dan mengendalikan emosi, menjalin hubungan dengan orang lain, mengontrol suasana hati, memotivasi diri, serta berempati untuk mengendalikan pikiran dan tindakan individu.Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi taraf kecerdasan emosional subjek.
Kecerdasan adversitas
Kemampuan individu untuk mengahadapi kesulitan dan bertahan, kemampuan untuk dapat bangkit kembali, mengatasi tantangan serta hambatan dalam mencapai keberhasilan serta tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi taraf kecerdasan adversitas subjek.
Responden
Sampel yang digunakan adalah Mahasiswa Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang sedang menjalankan tahap profesi pada tahun 2019. Populasi penelitian ini adalah Mahasiwa Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang sedang menjalankan tahap profesi dengan jumlah populasi sebanyak 234 doktermuda.
Sampel didapat menggunakan teknik simple random sampling, dilakukan dengan mengambil sampel yang memiliki nomor induk mahasiswa (NIM) genap. Sebanyak 117 skala yang disebarkan, namun hanya 71 skala yang dapat digunakan. Hal ini dikarenakan adanya sampel penelitian yang tidak dapat dihubungi.
Tempat penelitian
Penelitian dilakukan pada 9 Desember 2019. Penelitian ini dimulai dengan mencari kontak yang dapat dihubungi dari sampel penelitian, kemudian peneliti menyebarkan link untuk pengisian skala melalui google form.
Alat ukur
Terdapat tiga skala yang digunakan yaitu skala kecemasan, kecerdasan emosional, dan kecerdasan adversitas.Skala penelitian yang akan digunakan adalah skala Likert. Skala Likert yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari empat alternatif pilihan, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS).Skala kecemasan disusun oleh peneliti berdasarkan aspek kecemasan oleh Nevid dkk(2005), kecerdasan emosional menggunakan skala yang disusun oleh Rustika (2014)dan telah dimodifikasi oleh peneliti, serta skala kecerdasan adversitas diusun oleh peneliti berdasarkan
aspek kecerdasan adversitas menurut pendapat Stolz(2000). Skala kecemasan, kecerdasan emosional, dan kecerdasan adversitas masing-masing terdiri dari 40 aitem.
Allen dan Yen (dalam Azwar, 2017) mengemukakan, validitas konstruk merupakan sejauh mana kemampuat tes atau alat ukur dalam mengungkap trait atau konstrak teoretik yang hendak diukur. Aitem valid apabila memiliki skor antara 0,30 - 0,50 dalam korelasi aitem total. Teknik pengukuran reliabilitas menggunakan Cronbach Alpha. Reliabilitas alat ukur baik apabila memiliki skor minimal 0,60 dalamkoefisien reliabilitas alpha, semakin nilai koefisien reliabilitas mendekati satu maka akan semakin reliabel alat ukur tersebut (Azwar, 2014).
Alat ukur di uji coba pada 23 Oktober 2019 kepada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang menjalankan tahap profesi pada tahun 2019 yang memiliki NIM ganjil.
Terdapat 33 aitem valid pada skala kecemasan yang memiliki korelasi aitem-total 0,309 - 0,723, dengan nilai koefisien alpha sebesar 0,935. Skala ini dapat menggambarkan 93,50% nilai skor murni subjek.
Terdapat 39 aitem valid pada skala kecerdasan emosional, yang memiliki korelasi aitem-total 0,320 - 0,747, dengan nilai koefiaien alpha sebesar 0,945. Skala ini dapat menggambarkan 94,50% nilai skor murnisubjek.
Terdapat 38 aitem yang valid pada skala kecerdasan adversitas, yang memiliki korelasi aitem-total 0,300 - 0,762, dengan nilai koefisien alpha 0,944. Skala ini dapat menggambarkan 94,40% nilai skor murnisubjek.
Teknik Analisis Data
dilakukan dengan melihat normalitas, lineritas, serta multikolinieritas. Teknik Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk uji normalitas, lalu melihat nilai signifikansi pada linearity untuk uji linearitas serta untuk uji multikolinaritas melihat variance inflation factor (VIF) dan nilai tolerance. Regresi ganda adalah teknik yang digunakan untuk uji hipotesis.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Subjek penelitian sebanyak 71 orang dengan mayoritas jenis kelamin perempuan berjumlah 43 orang dan laki-laki berjumlah 28 orang. Rentang usia subjek berusia 22 tahun yang berjumlah 45 orang. Mayoritas pendidikan terakhir Ayah dan Ibu subjek adalahS1.
Deskripsi Data Penelitian
Pada tabel 1 (terlampir) dapat dilihat deskripsi data variabel kecemasan, kecerdasan emosional, dan kecerdasan adversitas.
Mayoritas subjek mempunyai taraf kecemasan yang rendah dengan presentase sebesar 63,4%, dapat dilihat pada tabel 1, nilai mean teoritis variabel kecemasan sebesar 82,5 dan mean empiris 71,23 (71,23<82,5).
Mayoritas subjek mempunyai taraf kecerdasan emosional yang tinggi dengan presentase sebesar 53,5% dengan nilai mean teoritis variabel kecerdasan emosional sebesar 97,5 dan nilai mean empiris 115,00 (115,00>97,5).
Mayoritas subjek mempunyai taraf kecerdasan adversitas yang tinggi dengan presentase sebesar 64,8% dengan nilai mean teoritis sebesar 95 dan nilai mean empiris 109,59 (109,59>95).
Uji Asumsi
Teknik Kolmogorov-Smirnov digunakan pada uji normalitas. Data normal jika memiliki nilai probabilitas >0,05 (Arikunto, 1988). Pada tabel 2 data variabel kecemasan dikatakan normal karena memiliki signifikansi 0,582 serta nilai Kolmogorov- Smirnov 0,777. Pada data variabel kecerdasan emosional dikatakan normal karena memiliki signifikansi 0,389 serta nilai Kolmogorov-Smirnov 0,903, dan data variabel kecerdasan adversitas normal dengan memiliki signifikansi 0,644 serta nilai Kolmogorov-Smirnov0,740.
Menurut Sugiyono(2017) guna uji linearitas untuk mengetahui terdapat hubungan yang linear atau tidak antara variabel terikat dan variabel bebas. Hubungan antar variabel linier jika signifikansi <0,05, apabila signifikansi >0,05 maka data tidak linier (Nurgiyanto dkk, 2009). Pada tabel 3 uji linearitas, taraf signifikansi linearity 0,000 pada variabel kecemasan dengan variabel kecerdasan emosional yang memiliki arti adanya hubungan yang linear. Begitu juga dengan variabel kecemasan dengan variabel kecerdasan adversitas memiliki signifikansi linearity 0,000 sehingga dapat dikatakan memiliki hubungan yang linear.
Multikolinearitas dilihat melalui VIF serta nilai tolerance. Field (2009) mengemukakan, bila nilai tolerance lebih besar dari 0,1 dan nilai VIF lebih kecil dari 10 dapat dikatakan tidak terjadi multikolinearitas. Pada tabel 4 variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas memiliki nilai VIF 2,248 dan nilai tolerance 0,445, sehingga tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas.
Berdasarkan uji asumsi, maka data penelitian ini memiliki distribusi normal, memiliki hubungan linear serta tidak terjadi multikolinearitas, maka uji hipotesis dapat dilakukan dengan menggunakan regresi ganda.
Uji Hipotesis
Pada tabel 5 dapat dilihat F hitung 41.983 serta nilaisignifikansi sebesar 0,000, sehingga dapat dikatakan kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas berperan terhadap kecemasan pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Tabel 6 dapat dilihat nilai R 0,743 dengan nilai R Square 0,553, maka dapat dikatakan kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas memiliki peran sebesar 55,3 % terhadap kecemasan.
Pada tabel 7, kecerdasan emosional mempunyai nilai koefisien beta terstandarisasi -0,389 dengan signifikansi
0,002, sehingga kecerdasan emosional berperan dalam menurunkan taraf kecemasan. Kecerdasan adversitas mempunyai nilai koefisien beta terstandarisasi -0,407 dengan signifikansi 0,001, sehingga kecerdasan adversitas memiliki peran dalam menurunkan taraf kecemasan.
Rumus yang didapatkan ditulis dalam persamaan sebagai berikut:
Y= 138,867 - 0,389X1 - 0,407X2
Keterangan:
Y = Kecemasan
-
X1 = Kecerdasan emosional X2 = Kecerdasan adversitas
-
a. Konstanta sebesar 138,867 menunjukkan bila tidak ada peningkatan skor pada kecerdasan emosional maupun kecerdasan adversitas maka taraf kecemasan yang dimiliki sebesar 138,867.
-
b. Koefisien regresi X1 sebesar -0,389 memperlihatkan setiap peningkatan skor pada variabel kecerdasan emosional akan menurunkan taraf kecemasan sebesar 0, 389.
-
c. Koefisien regresi X2 sebesar -0,407
memperlihatkan setiap peningkatan skor pada variabel kecerdasan adversitas akan menurunkan taraf kecemasan sebesar 0, 407.
Hasil uji hipotesis dalam penelitian ini diterima, baik hipotesis mayor maupun hipotesis minor. Rangkuman hasil uji hipotesis mayor dan minor dapat dilihat pada tabel 8.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Pengujian hipotesis kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas berperan terhadap tingkat kecemasan dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dapat diterima, dimana signifikansi 0,000 serta nilai koefisien R sebesar 0,743. Variabel kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas bersama-sama memiliki peran dalam menentukan taraf kecemasan dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Koefisien beta terstandarisasi variabel kecerdasan emosional sebesar -0,389 dengan signifikansi 0,002, sehingga kecerdasan emosional berperan dalam menurunkan taraf kecemasan. Sejalan dengan penelitian Agus dan Wilani(2019), yang menunjukkan kecerdasan emosional berperan negatif terhadap kecemasan. Penelitian lain yang dilakukan Pradnyaswari dan Budisetyani(2018), mengenai kecerdasan emosional dengan kecemasan terdapat hubungan yang negatif antar variabel.
Serupa dengan yang disampaikan oleh Goleman(2016), faktor penting dalam kehidupan salah satunya adalah kecerdasan emosional, kecerdasan emosional terpusat dengan naluri moral, ikatan antara perasaan, serta watak, sehingga individu dapat mengontrol dorongan emosi yang ada di dirinya atau orang lain. Kecemasan adalah manifestasi dari emosi takut yang ditandai dengan perasaaan akan datangnya hal yang tidak menyenangkan. Apabila kecerdasan emosional
yang dimiliki individu tinggi maka mampu untuk mengatasi emosi yang dirasakannya termasuk perasaan cemas. Hasil penelitian Fikry dan Khairani(2017), menunjukkan seseorang dengan taraf kecerdasan emosional tinggi mampu untuk mengatur emosinya sehingga perasaan cemas dapat diminimalisasi dan dapat menurunkan tingkat kecemasan yang dirasakan.
Menurut Nuraini, (2013), kecerdasan emosional diperlukan oleh individu untuk menghadapi permasalahan yang dapat menyebabkan perasaan cemas bagi individu tersebut. Seseorang dengan taraf kecerdasan emosional tinggi mampu mengendalikan emosinya sehingga dapat meminimalisasi atau menghindari perasaan cemas serta akan mampu menjadikannya sebagai kekuatan positif sehingga dapat membantu untuk terlepas dari situasi yang tidak menyenangkan.
Goleman(2005) mengemukakan, tingginya taraf kecerdasan emosional yang dimiliki individu menyebabkan individu mampu dalam menangani emosi sehingga memiliki dampak yang positif dalam pelaksanaaan tugas, mampu menunda kesenangan sebelum tercapainya suatu tujuan, cepat kembali pulih dari tekanan emosi serta peka terhadap kata hati. Hal tersebut menggambarkan apabila dokter muda mampu mengelola emosi dirinya dengan baik maka dokter muda akan mampu bersikap tenang saat merasakan perasaan takut terhadap sumber yang tidak teridentifikasi, serta dapat meminimalisasi timbulnya gejala fisik seperti jantung berdebar dan nafas pendek, gejala behavioral seperti berperilaku tergantung dan menghindar, serta gejala kognitif seperti sulit berkonsentrasi sebagai akibat dari kecemasan yang dapat mengganggu aktivitas. Dokter muda yang mempunyai pengendalian diri yang baik dalam menghadapi berbagai kondisi serta tekanan dalam menjalani jenjang profesi dapat menurunkan kecemasan yang dirasakan oleh doktermuda.
Variabel kecerdasan adversitas memiliki koefisien beta terstandarisasi -0,407 dengan signifikansi 0,001 yang memiliki arti bahwa kecerdasan adversitas berperan dalam menurunkan taraf kecemasan pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Sejalan dengan penelitian Rachmady dan Aprilia(2018), kecerdasan adversitas dan kecemasan menghadapi dunia kerja memiliki hubungan negatif dan signifikan. Penelitian lain oleh Upadianti dan Indrawati(2018), kecerdasan adversitas dan kecemasan memiliki hubungan negatif yangsignifikan.
Individu dengan taraf kecerdasan adversitas tinggi akan memiliki kegigihan, memiliki kekebalan atas ketidakmampuannya menghadapi masalah, tidak mudah untuk terjebak dalam kondisi keputusasaan, dan tidak mudah menyerah (Stolz, 2000). Kecerdasan adversitas yang dimiliki dapat mengurangi pemikiran bahwa dirinya tidak mampu untuk menghadapimasalah.
Individu dengan taraf kecerdasan adversitas tinggi memiliki kemampuan untuk bertahan mengatasi kecemasan yang dirasakan, sehingga individu akan terdorong untuk mengerjakan sesuatu secara optimal. Individu dengan taraf kecerdasan adversitas tinggi cenderung memiliki sikap
optimis, motivasi yang tinggi, tekun serta ulet, dengan sikap tersebut individu mampu untuk menyelesaikan kesulitan dengan baik serta mampu untuk keluar dari hambatan yang dihadapi (Puspitasari, 2013). Hal ini berkaitan dengan aspek control (kendali) dalam kecerdasan adversitas yang merujuk padaketigaaspekkecemasanyaitugejalaperilaku,kognitif, dan fisik. Menurut Stolz(2000), Control (kendali) merupakan keyakinan yang dimiliki individu dalam mengontrol suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kesulitan. Kemampuan individu untuk memengaruhi situasi secara positif dan mampu mengendalikan respon terhadap situasi tersebut, sehingga dokter muda yang memiliki taraf kecerdasan adversitas yang tinggi dapat meminimalisasi atau bahkan menghidari gejala-gejala yang dapat ditimbulkan oleh kecemasan yang dihadapi selama jenjang klinik.
Pada hasil uji regresi ganda koefisien beta terstandarisasi kecerdasan adversitas memiliki nilai yang lebih tinggi dari nilai koefisien beta terstandarisasi kecerdasan emosional, sehingga dapat disebutkan kecerdasan adversitas memiliki peran yang lebih besar terhadap kecemasan dibandingkan kecerdasan emosional. Dokter muda dengan taraf kecerdasan adversitas tinggi akan mampu untuk memengaruhi situasi sulit secara positif serta mampu untuk mengendalikan respon tersebut. Dokter muda dengan taraf kecerdasan adversitas yang tinggi, menganggap bahwa situasi sulit tidak akan menimbulkan halangan yang tidak teratasi, karena kesulitan yang datang akan dianggap sebagai tantangan. Setiap tantangan yang muncul akan dianggap sebagai peluang (Stolz, 2000).
Kecerdasan adversitas dengan taraf yang tinggi akan membantu dokter muda untuk memiliki kemampuan bertahan, serta kemampuan untuk bangkit kembali, sehingga dokter muda dapat bersikap tidak mudah menyerah saat dihadapkan pada suatu permasalahan. Individu dengan taraf kecerdasan adversitas tinggi akan memiliki kemampuan bertahan dan berusaha mengatasi kesulitan, yang kemudian akan menjadi dorongan bagi individu untuk mencapai tujuannya (Stolz, 2000). Dokter muda dengan taraf kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai pengendalian diri yang baik, sehingga dokter muda akan mampu bersikap tenang dan mencari solusi pemecahan masalah yang dihadapi, jika dokter muda hanya memiliki taraf kecerdasan emosional tinggi tanpa disertai dengan kemampuan untuk bertahan dan mengendalikan respon terhadap suatu permasalahan, maka dokter muda tidak mampu untuk bersikap tenang serta tidak mampu mencari solusi untuk permasalahan yangdihadapi.
Kategorisasi variabel kecerdasan adversitas, memperlihatkan sebagian besar subjek mempunyai taraf kecerdasan adversitas tinggi yaitu sebesar 64,8% dari total keseluruhan subjek. Faktor yang dapat memengaruhi kecerdasan adversitas adalah pengalaman berorganisasi, dimana pada hal ini seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana mewajibkan bagi mahasiswa untuk mengikuti minimal satu organisasi yang tersedia, sehingga seluruh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana memiliki pengalaman berorganisasi. Menurut Dwika dkk(2014), pengalaman berorganisasi akan membantu individu untuk meningkatkan kecerdasan adversitas, hal ini disebabkan karena individu yang memiliki pengalaman berorganisasi lebih banyak menemui kesulitan dikarenakan selain harus menghadapi kesulitan akademis, individu juga harus 82
menghadapi kesulitan di organisasi sehinga individu lebih meningkatkan kecerdasan adversitasdibandingkanindividu yang tidak memiliki pengalaman organisasi. Individu yang memiliki pengalaman berorganisasi juga akan lebih berani untuk megambil keputusan, memiliki jiwa kepemimpinan, serta berkomunikasi di depan umum.
Faktor lainnya yang dapat memengaruhi kecerdasan adversitas dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah penggunaan kurikulum dengan sistem blok, yang mana dalam sistem blok ini antara lain terdiri dari Small Group Discussion (SGD), dalam SGD mahasiwa akan diberikan kasus dan diminta untuk berdiskusi serta menyelesaikan kasus tersebut, adanya kegiatan berdiskusi dan menyelesaikan masalah dalam SGD dapat meningkatkan kecerdasan adversitas yang dimiliki mahasiswa, lalu pleno, praktikum, serta student project, sehingga mahasiswa kedokteran akan menghadapi berbagai kesulitan dan membutuhkan kegigihan dan kemampuan bertahan untuk menghadapi kesulitan tersebut.
Kategorisasi variabel kecerdasan emosi, memperlihatkan sebagian besar subjek mempunyai taraf kecerdasan emosional tinggi yaitu sebesar 53,5% dari total keseluruhan subjek. Kecerdasan emosional yang tinggi dapat dipengaruhi faktor lingkungan keluarga (Goleman, 2009). Mayoritas orangtua subjek memiliki tingkat pendidikan Strata 1 (S1), dengan presentase pendidikan ayah dan ibu berpendidikan S1 sebesar 56,3%. Orangtua dengan pendidikan yang tinggi akan lebih sadar dengan perkembangan anak dan mencari informasi mengenai pola pengasuhan yang efektif, dengan menerapkan pola pengasuhan yang efektif dapat membantu untuk mengembangkan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh anak.
Hasil kategorisasi kecemasan, menunjukkan mayoritas subjek memiliki taraf kecemasan rendah yaitu 63,4% dari total keseluruhan subjek. Rendahnya taraf kecemasan pada dokter muda dipengaruhi oleh tingginya taraf kecerdasan adversitas dan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh dokter muda. Hal tersebut ditunjukkan berdasarkan hasil uji regresi ganda, yang mana kecerdasan adversitas serta kecerdasan emosional berperan secara bersama-sama terhadap kecemasan dokter muda Fakultas Kedokteran UniversitasUdayana.
Adapun keterbatasan penelitian ini,peneliti hanya membatasi subjek penelitian pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, sehingga hasil yang diperoleh mungkin akan menimbulkan perbedaan apabila dilakukan pada dokter muda di universitaslain serta terbatasnya jumlah skala yang diperoleh.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa, kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas berperan menurunkan taraf kecemasan dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas masing-masing berperan dalam menurunkan taraf kecemasan dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, mayoritas dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
memiliki taraf kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas tergolong tinggi dan taraf kecemasan yang tergolongrendah.
Adapun saran yang dapat diberikan kepada dokter muda diharapkan untuk dapat mempertahankan serta meningkatkan kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas yang dimiliki, agar dapat menghadapi tuntutan-tuntutan dan masalah di berbagai situasi dalam jenjang profesi sehingga dapat terhindar dari perasaan cemas yang dapat mengganggu kinerja dokter muda. Peningkatan kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas dapat dilakukan dengan mengikuti pelatihan, mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan interaksi sosial serta kegiatan yang melatih individu untuk dapat menyelesaikan kesulitan seperti mengikutiorganisasi.
Saran bagi orangtua, untuk memberikan pengasuhan yang meningkatkan kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas. Kecerdasan emosional dapat ditingkatkan melalui kegiatan berdiskusi, memberikan contoh yang baik kepada anak bagaimana berperilaku dan mengutarakan perasaan pada suatu situasi atau masalah. Kecerdasan adversitas dapat ditingkatkan dengan cara membiarkan anak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya namun tetap dengan pengawasan. Memberikan kesempatan pada anak menyelesaikan permasalahannya sendiri dapat membantu anak untuk tidak putus asa dan mudah menyerah.
Saran bagi institusi pendidikan diharapkan dapat memberikan sarana bagi mahasiswa untuk dapat meningkatkan kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas, sarana dapat berupa program pelatihan atau seminar mengenai faktor-faktor atau kegiatan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas.
Saran untuk peneliti berikutnya, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai refrensi pendukung. Peneliti berikutnya dapat memperluas sampel tidak hanya pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana tetapi Fakultas kedokteran semua Universitas yang berada di Bali supaya data yang didapatkan lebih beragam dan representatif. Peneliti berikutnya diharapkan dapat meneliti variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini yang sekiranya dapat memengaruhi taraf kecemasan, seperti pola asuh orangtua, dukungan sosial dansebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, H. P., & Wilani, N. M. A. (2018). Peran kecerdasan emosional terhadap kecemasan menghadapi ujian pada mahasiswa tahun pertama Program Studi Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran. Jurnal Psikologi Udayana, Edisi Khus, 156–163.
Arikunto, S. (1988). Statistik Jilid i. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Azwar, S. (2014). Reliabilitas dan validitas. Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2017). Dasar-dasar psikometrika. Pustaka Pelajar.
Dwika, D. Y., Zulharman, & Yulis, H. M. (2014). Hubungan pengalaman berorganisasi dengan tingkat adversity quotient (AQ) pada mahasiswa angkatan 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Jom FK, 2(1), 1–15.
Field, A. (2009). Discovering Statistics Using SPSS. Sage Publications Ltd.
Fikry, T. R., & Khairani, M. (2017). Kecerdasan Emosional Dan Kecemasan Mahasiswa Bimbingan Skripsi di Universitas Syiah Kuala. Jurnal Konseling Andi Matappa, 1(2), 108–115.
https://doi.org/10.31100/jurkam.v1i2.60
Ghufron, M. N., & Risnawati, R. S. (2014). Teori-teori psikologi. Ar-Ruzz Media.
Goleman, D. (2005). Working with emotional intelligence: kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. (2009). Emotional Intelligence. Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. (2015). Emotional Inteligence. PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. (2016). Kecerdasan Emosional. PT Gramedia Pustaka Utama.
Green, A. (2006). Effective personal communication skills for public relation. Kogan Page Limited.
Konsil Kedokteran Indonesia. (2012). Standar pendidikan profesi dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
Nevid, J. S., Rathus, S., & Greene, B. (2005). Psikologi abnormal. Erlangga.
Nuraini, D. E. (2013). Kecerdasan Emosi dan Kecemasan Menghadapi Pensiun Pada PNS. E-Journal Psikologi, 1(3), 324–331.
Nurgiyanto, S., Gunawan, & Marzuki. (2009). Statistik terapan (untuk penelitian ilmu sosial). Gadjah Mada University Press.
Perdana, F. S. (2017). Pengaruh Kecerdasan Emosi Terhadap Kecemasan Menghadapi Ulangan Akhir Semester Pada Siswa Kelas X Smk Negeri 3 Yogyakarta. Jurnal Riset Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling, 3(9), 503–514.
Pradnyaswari, A. A. A., & Budisetyani, I. G. P. W. (2018). Hubungan Kecerdasan Emosional Dengan Kecemasan Bertanding Pada Atlet Softball Remaja Putri Di Bali. Jurnal Psikologi Udayana, 5(1), 218–225.
https://doi.org/10.24843/jpu.2018.v05.i01.p20
Puspitasari, R. T. (2013). Adversity quotient dengan kecemasan mengerjakan skripsi pada mahasiswa. Jurnal Online Psikologi, 1(2), 299–310.
Rachmady, T. M. N., & Aprilia, E. D. (2018). Hubungan Adversity Quotient Dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Pada Freshgraduate Universitas Syiah Kuala. Journal Psikogenesis, 6(1), 54–60.
https://doi.org/10.24854/jps.v6i1.632
Rumintang, A. (2019). Studi Pendahuluan: Peran kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas terhadap tingkat kecemasan pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Rustika, I. M. (2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik pada remaja. (Disertasi tidak dipublikasikan). Program Doktor Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sarwono, S. W. (2011). Psikologi Remaja. Rajawali Pers.
Savitri, I. A. R., & Diniari, N. K. S. (2014). Perbedaan Tingkat Kecemasan Dan Depresi Pada Mahasiswa Jenjang Preklinik Dan Co -Asisten Di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Pada Tahun 2014. E-Jurnal Medika Udayana, 4(7), 1–11.
Stolz, P. G. (2000). Adversity quetiont: mengubah hambatan
menjadi peluang. PT Grasindo.
Sugiyono. (2017). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Upadianti, L. P. S., & Indrawati, E. S. (2018). Hubungan Antara Adversity Intelligence dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja pada mhasiswa Tingkat Akhir Departemen Teknik Perencanaan Wilayah Kota dan Teknik Elektro Universitas Diponegoro. Jurnal Empati, 7(3), 111–120.
Willda, T., Nazriati, E., & Firdaus. (2016). Hubungan Resiliensi Diri terhadap Tingkat Stres pada Dokter Muda Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Jom FK, 3(1), 1– 9. Retrieved from https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFDOK/article/view/ 9220
LAMPIRAN
Tabel 1
Deskripsi data penelitian
Variabel Peiiclitiuii |
Menu Tcorit b |
Mcan I IIipiris |
Sln Iiiliii' Deviasi Icoriliv |
Stundur Dcvlasl Kiiipiris |
Schjiriiii Icoritis |
Sebaran Empiris |
T OiRl |
Kecenuihan |
82.5 |
71.23 |
16.5 |
8,546 |
33*132 |
54*99 |
•11.117 (O,000) |
Kcccrdasan Emosional |
97,5 |
115,00 |
19,5 |
11,831 |
39*156 |
96*149 |
12,464 (0,000) |
Kcccnlasan AdvCrsitas |
95 |
109.59 |
19 |
10,783 |
38-152 |
88-142 |
11.402 (OaOOO) |
Tabel 2
Hasil uji normalitas
Variahel Kolmogwv-Sitiiriiw Sig. |
Kesimpulan |
Kcccmasan 0,777 0,582 |
Data Normal |
Kecerdasan 0,903 0.389 Emosional |
Data Normal |
Koccrdasan 0,740 0,644 Adversiuis |
Data Normal |
Tabel 3
Hasil uji linearitas
Variabel |
Liiteurity' |
Kesimpulan |
Kcccmasan* Kecerdasan Emosional |
0.000 |
Data Linear |
Kecemasan * Kecerdasan Adxcrsitas |
0,000 |
Data Linear |
Tabel 4
Hasil uji multikolinearitas
Variabel |
Toferance VlE Kesimpulan |
Kecerdasan Emoslonal |
0,44 5 2,248 Tidak terjadi Iniiliikolincariias |
Kecerdasan Adversitas |
0.445 2,248 Tidakterjadi Iniiliikolincaritas |
Tabel 5
Hasil uji regresi berganda
Sum ufSnιιares |
L>f |
Mean Square |
F |
Sig* | |
Regression |
2824,774 |
2 |
1412.387 |
41.983 |
0.000 |
Residttdl |
2287.620 |
68 |
33.641 | ||
Total |
5112,394 |
70 |
Tabel 6
Besaran sumbangan variabel bebas terhadap variabel tergantung
R R Square Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
0,743 0,553 0,539 |
5,800 |
Hasil uji hipotesis minor dan garis regresi linear berganda
Variabd |
Vnstuinlurdized Coefficients |
Stan da r di zed CueJjieients Beta |
I |
⅛ | |
B |
Sts. Error | ||||
(Constani) |
138,867 |
7,423 |
18,708 |
0.000 | |
Kecerdasan emosional |
-0,281 |
0.088 |
-0.389 |
-3.198 |
0.002 |
Kecerdasan |
-0,322 |
0.096 |
-0.407 |
-3.344 |
0,001 |
adversitas
Hasil uji hipotesis
No |
Hipotesis |
Hasil |
I |
Hipotesis Mayor: Kecerdasan emosional dan kecerdasan adversitas berperan menurunkan tingkat kecemasan pada dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Ldayana, |
Diterima |
2 |
Hipotesis Minor:
|
Diterima Diterima |
92
Discussion and feedback