STERILISASI PAKSA OLEH PEMERINTAH

TIONGKOK TERHADAP PEREMPUAN ETNIS UIGHUR: PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

Evelyn Salsabila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Tjokorda Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2020.v10.i01.p01

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah perspektif hukum hak asasi manusia internasional dalam memandang kegiatan sterilisasi paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok terhadap perempuan Etnis Uighur. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian yuridis-normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual yang berfokus pada pengkajian berbagai pengaturan hukum internasional serta bahan hukum sekunder dan tersier yang berkaitan dengan pelaksanaan sterilisasi paksa oleh Pemerintah Tiongkok terhadap perempuan Etnis Uighur serta perlindungan hak asasi manusia bagi perempuan Etnis Uighur dari sterilisasi paksa. Berdasarkan studi yang telah dilaksanakan, penulis mengetahui bahwa sterilisasi paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok terhadap perempuan Etnis Uighur melanggar hak asasi manusia mereka sebagaimana yang telah ditentukan dalam berbagai instrumen hukum hak asasi manusia internasional yang berlaku.

Kata Kunci: Sterilisasi Paksa, Hak Asasi Manusia, Perempuan Etnis Uighur

ABSTRACT

This study aims to acknowledge the perspective of international human rights law regarding the involuntary sterilization policy implemented by the Government of China against Uighurs women. The research method used is juridical-normative research methodology using statutory and conceptual approach which focus on studying various international legal instruments and other legal materials relating to China's implementation of forced sterilization against Uighurs women and human rights protection for them. Based on the study, writer acknowledges that the involuntary sterilization policy implemented by the Government of China is violating the human rights of Uighurs women as regulated in numerous applicable human rights legal instruments.

Key Words: Involuntary Sterilization, Human Rights, Uighurs Women

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Membentuk keluarga dan memiliki keturunan merupakan hak asasi manusia (HAM) dari setiap orang. Tidak hanya dalam membentuk keluarga dan memiliki keturunan, merupakan hak bagi setiap orang untuk mendapatkan akses pendidikan serta informasi mengenai perencanaan keluarga (family planning), juga akses terhadap kesehatan dan berbagai pelayanannya di masa kehamilan hingga melahirkan. Seperangkat hak tersebut dikenal dengan istilah hak reproduksi (reproductive rights)

yang memiliki kaitan eran dengan hak asasi lainnya seperti hak atas privasi, hak terbebas dari diskriminasi, hak mendapatkan kesehatan, hak atas persamaan di muka hukum, serta hak atas pendidikan dan akses terhadap informasi, karena tanpa terlindunginya hak-hak tersebut maka akan sulit untuk melindungi hak reproduksi.1 Dalam perkembangannya, hak reproduksi terus menghadapi tantangan, salah satu tantangan bagi hak reproduksi adalah praktik sterilisasi paksa. Sterilisasi paksa adalah praktik pengurangan atau penghilangan kemampuan dari seseorang untuk bereproduksi yang dilakukan secara paksa dan tanpa adanya persetujuan dari orang yang mendapatkan praktik tersebut.2 Sterilisasi paksa masih sering dilakukan oleh berbagai negara di dunia dengan berbagai alasan seperti untuk mengontrol jumlah populasi, untuk mengontrol perkembangan ras tertentu atau mencegah berkembangnya populasi dengan cacat fisik atau mental (disabilitas) untuk mendapatkan populasi dengan gen terbaik (eugenics interests), serta sebagai hukuman bagi pelaku tindak pidana.3 Sterilisasi paksa juga sering menjadi alat diskriminasi terhadap kelompok masyarakat tertentu seperti masyarakat adat dan etnis minoritas.4 Sterilisasi paksa pada masyarakat adat dan etnis minoritas dilakukan dengan tujuan untuk mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu karena dianggap 'kurang sesuai' (the unfits). Pada tahun 1906 hingga 1963 di Amerika Serikat, terdapat kebijakan sterilisasi paksa yang diberlakukan bagi masyarakat suku Indian dan migran dari Amerika Selatan. Selain itu, di Australia sempat berlaku kebijakan sterilisasi paksa bagi masyarakat Aborigin, sedangkan Republik Ceko sempat menuai kecaman dari komunitas internasional karena pelaksanaan kebijakan sterilisasi paksa bagi perempuan ras Roma. 5

Pelaksanaan sterilisasi paksa yang sedang menuai kecaman dari komunitas internasional adalah pelaksanaan sterilisasi paksa oleh Pemerintah Tiongkok terhadap perempuan Etnis Uighur yang bertempat tinggal di wilayah Provinsi Xinjiang. 6 Sebuah laporan menyatakan bahwa Pemerintah Tiongkok mengimplementasikan kebijakan dan strategi yang masif bagi masyarakat Etnis Uighur dengan tujuan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk etnis minoritas tersebut melalui penerapan kebijakan sterilisasi wajib bagi perempuan yang telah memiliki anak dan pendistribusian alat kontrasepsi bagi perempuan berusia 18 hingga 49 tahun. Kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Tiongkok ini berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk dan

menekan angka kelahiran secara signifikan dari masyarakat minoritas Etnis Uighur hingga 85% apabila dibandingkan dengan angka laju penduduk Etnis Uighur selama 20 tahun ke belakang.7

Kajian mengenai pelanggaran HAM bagi Etnis Uighur telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti. Muhammad Fajrin Saragih dalam "Tinjauan Yuridis Pelanggaran HAM Terhadap Muslim Uighur di China Ditinjau Dari Hukum Humaniter " menuliskan mengenai pelanggaran HAM terhadap Etnis Uighur berdasarkan perspektif hukum humaniter internasional serta berkesimpulan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok terhadap Etnis Uighur merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang telah melanggar ketentuan dalam hukum humaniter internasional.

Selain itu, Alaina Feyza Ardianti dalam tulisannya yang berjudul "Realisme: Dilanggarnya Hak Asasi Manusia Etnis Uighur Oleh Kebijakan China di Kamp Xinjiang" menyimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok terhadap Etnis Uighur merupakan sebuah pelanggaran HAM yang tidak dapat dibenarkan apapun alasannya.

Serta, Fithritatus Shalihah dan Muhammad Raka Fikri dalam " Overview of Human Rights Violations Against Rohingya Ethnicity in Burma and Uighur Tribe in China in International Law Perspectives" menuliskan bahwa perlakuan Pemerintah Tiongkok terhadap Etnis Uighur merupakan pelanggaran HAM yang perlu diperhatikan oleh komunitas internasional dan diperlukan adanya penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM.

Berdasarkan permasalahan tersebut serta sebagai penelitian lanjutan dari penulisan-penulisan sebelumnya, maka dalam penulisan ini akan dibahas mengenai bagaimana perspektif hukum HAM internasional terhadap kegiatan sterilisasi paksa oleh Pemerintah Tiongkok terhadap perempuan Etnis Uighur.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Terdapat sebuah permasalahan yang dikaji dalam penulisan ini yaitu, bagaimanakah kebijakan sterilisasi paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok terhadap perempuan Etnis Uighur ditinjau dari perspektif hukum hak asasi manusia internasional?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan perspektif hukum hak asasi manusia internasional dalam memandang sterilisasi paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok terhadap perempuan Etnis Uighur.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif melalui pendekatan perundang-undangan (statutory approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) yang mengkaji berbagai bahan hukum primer seperti instrumen hukum internasional serta bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan pelaksanaan sterilisasi paksa oleh Pemerintah Tiongkok terhadap perempuan Etnis

Uighur serta perlindungan HAM bagi perempuan Etnis Uighur dari program tersebut.8

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Sterilisasi Paksa Dalam Perspektif Hukum HAM Internasional

Secara umum sterilisasi dapat diartikan sebagai proses untuk mengurangi kemampuan seseorang untuk bereproduksi. 9 Sterilisasi paksa adalah metode yang dilakukan untuk mengendalikan fertilitas dari seseorang tanpa adanya persetujuan dari orang tersebut.10 Federasi Internasional Ginekologi dan Kebidanan (International Federation of Gynecology and Obstetrics), selanjutnya disebut FIGO, telah secara khusus membuat pedoman pelaksanaan sterilisasi. Pedoman tersebut menyatakan bahwa proses sterilisasi haruslah dilaksanakan atas keputusan dari orang tersebut dan hanya dilaksanakan apabila telah memenuhi persyaratan tertentu seperti (1) hanya dapat dilaksanakan kepada orang dewasa, (2) tidak ada batasan jumlah anak yang sudah dimiliki, (3) tidak diperlukan persetujuan dari pasangan, tetapi dianjurkan untuk berkonsultasi bersama dengan pasangan, serta (4) proses sterilisasi haruslah dilaksanakan berdasarkan Pedoman Etika Tentang Penolakan Atas Hati Nurani (Ethical Guidelines on Conscientious Objection). Selain hal tersebut, FIGO menyatakan bahwa dalam pelaksanaan sterilisasi, persetujuan dari orang yang akan dilakukan sterilisasi menjadi hal yang utama dan persetujuan dari orang tersebut tidak dapat diwakilkan oleh siapapun.11 Persetujuan merupakan unsur utama dalam pelaksanaan sterilisasi, hal ini ditegaskan pula dalam Kode Nürnbeg Tahun 1947 (Nuremberg Code) dan Deklarasi Universal Tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia UNESCO Tahun 2005 (Universal Declaration on Bioethics and Human Rights).12 Sterilisasi paksa umumnya diberlakukan kepada golongan masyarakat tertentu, seperti kaum pengidap human immunodeficiency viruses (HIV), kaum perempuan pada etnis dan masyarakat adat tertentu, kaum penyandang disabilitas, serta kaum transgender dan interseks. 13

Merupakan hak bagi setiap orang untuk menentukan berbagai hal yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi mereka, termasuk untuk melakukan sterilisasi atau tidak.14 Sterilisasi yang dilakukan secara paksa dan tanpa

adanya persetujuan dari orang yang disterilisasi merupakan sebuah bentuk pelanggaran terhadap berbagai bentuk HAM yang meliputi pelanggaran hak untuk mendapatkan kesehatan, hak atas informasi, hak privasi, hak memiliki keturunan, hak berkeluarga, serta hak untuk terbebas dari diskriminasi. Selain itu, sterilisasi paksa juga dianggap telah melanggar hak untuk dilindungi dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. 15 Dalam perkembangannya, kebebasan dari sterilisasi paksa menjadi bagian dari hak reproduksi (reproductive rights) dari seseorang. Hak reproduksi sendiri belum memiliki instrumen hukum internasional khusus, tetapi dianggap menjadi suatu hak yang integral dengan hak-hak lainnya.16 Untuk melindungi hak reproduksi, khususnya perlindungan dari sterilisasi paksa, dapat digunakan berbagai instrumen hukum internasional yang telah mengatur mengenai hak-hak terkait yang dapat mendukung terlindunginya hak reproduksi. Instrumen-instrumen hukum tersebut meliputi17: A. Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia bukan merupakan instrumen hukum yang mengikat, melainkan suatu standar umum bagi komunitas internasional atas pengakuan HAM, eksistensi dari deklarasi ini sangat penting bagi perkembangan HAM dan hukum internasional itu sendiri.18 UDHR sebagai permulaan dari segala instrumen hukum terkait HAM telah mencantumkan landasan dari perlindungan hak reproduksi pada beberapa pasal sebagai berikut:

  • 1)    hak untuk terbebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun, hal ini tertuang pada Pasal 2,

  • 2)    hak atas privasi, hal ini tertuang pada Pasal 12,

  • 3)    hak untuk berkeluarga, hal ini tertuang pada Pasal 16, dan

  • 4)    hak untuk memiliki standar hidup yang layak demi kesehatan dan kesejahteraannya, termasuk perlindungan khusus bagi perempuan yang berstatus sebagai ibu, hal ini tertuang pada Pasal 25.

UDHR memberikan perlindungan hak reproduksi melalui perlindungan bagi setiap orang dari diskriminasi dalam bentuk apapun, hak atas privasi bagi setiap orang untuk menentukan pilihannya sendiri, hak bagi setiap orang untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak untuk mendapatkan kesehatan dan kesejahteraan, serta perlindungan khusus bagi perempuan yang berstatus sebagai ibu.

  • B.    International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik adalah salah satu instrumen HAM terpenting,

kovenan ini merupakan perpanjangan tangan dari UDHR yang berisikan pengaturan lebih rinci mengenai hak sipil dan politik bagi setiap orang. 19 Instrumen ini tidak secara eksplisit mengatur mengenai pelarangan sterilisasi paksa, namun kovenan ini menekankan bahwa:

  • 1)    setiap orang memiliki hak untuk dilindungi dari segala bentuk diskriminasi, hal ini tertuang pada Pasal 2 ayat (1).

  • 2)    setiap orang memiliki hak untuk terbebas dari intervensi pihak luar atas segala urusan yang memiliki kaitan dengan masalah-masalah pribadi dan keluarganya, ketentuan ini tertuang pada Pasal 17, dan

  • 3)    setiap orang memiliki hak untuk berkeluarga, ketentuan ini tertuang pada Pasal 23 ayat (1) dan (2).

ICCPR memberikan perlindungan hak reproduksi melalui perlindungan bagi setiap orang dari segala bentuk diskriminasi, hak bagi setiap orang untuk tidak dicampuri urusan pribadinya, serta hak bagi setiap orang untuk berkeluarga dan memiliki keturunan. Republik Rakyat Tiongkok belum meratifikasi konvensi ini namun telah menandatanganinya, ini berarti Tiongkok tidak memiliki terikat untuk melaksanakan ketentuan yang ada dalam konvensi ini namun memiliki kewajiban untuk beritikad baik dan tidak melanggar tujuan dari konvensi ini.

  • C.    International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya merupakan instrumen HAM terpenting lainnya. Kovenan ini juga menjadi perpanjangan tangan dari UDHR yang khusus mengatur mengenai berbagai hak ekonomi, sosial, serta budaya.20 Dalam kaitannya dengan hak reproduksi dan sterilisasi paksa, kovenan ini menentukan bahwa:

  • 1)    setiap orang berhak untuk terbebas dari segala bentuk diskriminasi, hal ini tertuang pada Pasal 2 ayat (2),

  • 2)    hak untuk mendapatkan perlindungan bagi keluarganya serta perlindungan khusus bagi perempuan, hal ini tertuang pada Pasal 10,

  • 3)    setiap orang berhak untuk memiliki standar kesehatan tertinggi, baik jasmani maupun rohani, hal ini tertuang pada Pasal 12 ayat (1), dan

  • 4)    hak untuk menikmati pendidikan yang mengarah kepada perlindungan HAM, hal ini tertuang pada Pasal 13.

ICESCR memberikan perlindungan hak reproduksi melalui perlindungan bagi setiap orang dari segala bentuk diskriminasi, hak bagi setiap orang untuk mendapatkan perlindungan bagi keluarga dan perlindungan khusus bagi perempuan, hak bagi setiap orang untuk memiliki tingkat atau standar kehidupan tertinggi serta mendapatkan akses dan layanan pendidikan yang mengarah dan mendukung perlindungan HAM. Republik Rakyat Tiongkok telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 2014 sehingga terikat untuk melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam konvensi ini.

  • D.    Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW)

Convention on the Elimination of Discrimination Against Women atau Konvensi Tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan adalah konvensi pertama yang mengatur khusus mengenai hak-hak perempuan. Konvensi ini mencakup perlindungan hak bagi perempuan secara komprehensif yang meliputi hak ekonomi, sipil, budaya, dan sosial.21 Terkait dengan hak atas reproduksi dan sterilisasi paksa, CEDAW mengatur sebagai berikut:

  • 1)    setiap perempuan berhak untuk mendapatkan perlindungan dari bentuk diskriminasi apapun, ketentuan ini tertuang pada Pasal 1, Pasal 3, dan Pasal 11,

  • 2)    setiap perempuan memiliki hak untuk terbebas dari praktik yang berbahaya baginya, hal ini tertuang pada Pasal 2(f) dan Pasal 5(a),

  • 3)    setiap perempuan memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi, hal ini tertuang pada Pasal 10,

  • 4)    setiap perempuan memiliki hak atas akses terhadap kesehatan dan hak untuk mendapatkan kesehatan, hal ini tertuang pada Pasal 12, dan

  • 5)    setiap perempuan memiliki hak untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga dengan hubungan yang adil antara laki-laki dan perempuan, serta menentukan hal lain terkait keturunan, hal ini tertuang pada Pasal 16 ayat (1).

CEDAW memberikan perlindungan mengkhusus bagi hak reproduksi perempuan melalui perlindungan dari segala bentuk diskriminasi, hak untuk terbebas dari praktik yang berbahaya, hak untuk mendapatkan pendidikan dan informasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi, hak untuk mendapatkan kesehatan dan akses terhadap kesehatan, serta hak untuk berkeluarga dan memiliki keturunan. Republik Rakyat Tiongkok telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 2014 sehingga terikat untuk melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam konvensi ini.

  • E.    Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD)

Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau Konvensi Tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas merupakan konvensi utama dan pertama yang mengatur secara khusus tentang hak-hak dari kaum disabilitas. Pada intinya, konvensi ini menentukan bahwa kaum disabilitas memiliki kedudukan hukum yang setara dengan non-disabilitas sehingga mereka berhak mendapatkan hak-hak yang setara maupun hak lain yang bersifat khusus untuk meningkatkan standar kehidupan mereka. 22 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 CRPD, setiap Negara anggota sepakat untuk memastikan hak kaum disabilitas untuk diakui di muka hukum dan dapat menikmati perlindungan yang setara dan adil dengan orang lain dalam segala aspek hukum. Hak-hak yang berkaitan dengan hak reproduksi penyandang disabilitas yaitu:

  • 1)    hak untuk menikmati hak dasar yang setara bagi perempuan dan anak penyandang disabilitas, hal ini tertuang dalam Pasal 6 dan Pasal 7,

  • 2)    hak untuk menikmati hak dasar yang setara dengan orang lain, hal ini tertuang dalam Pasal 10,

  • 3)    hak untuk mendapatkan perlindungan dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang keji, tidak manusiawi, dan merendahkan martabatnya hal ini tertuang dalam Pasal 15,

  • 4)    hak untuk mendapatkan perlindungan fisik dan mental yang setara, hal ini tertuang dalam Pasal 17,

  • 5)    hak untuk mendapatkan perlindungan privasi, hal ini tertuang dalam Pasal 22, dan

  • 6)    hak untuk terbebas dari diskriminasi dalam berbagai hal yang berkaitan dengan perkawinan, keluarga, dan hubungan pribadi, mendapatkan kesempatan untuk memiliki keturunan, mendapatkan akses yang setara dalam hal reproduksi dan perencanaan keluarga, hal ini tertuang dalam Pasal 23.

CRPD memberikan perlindungan khusus bagi hak reproduksi penyandang disabilitas melalui pemberian hak untuk menikmati hak dasar yang setara, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Selain itu, hak untuk terbebas dari bentuk diskriminasi apapun dan perlakuan dan penyiksaan atau penghukuman yang keji, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, hak untuk mendapatkan perlindungan fisik dan mental, hak untuk mendapatkan perlindungan atas privasinya, serta hak untuk membentuk keluarga dan memiliki keturunan. Republik Rakyat Tiongkok telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 2014 sehingga terikat untuk melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam konvensi ini.

  • F.    Convention on the Rights of the Child (CRC)

Convention on the Rights of the Child atau Konvensi Hak-hak Anak adalah konvensi yang mengatur secara menyeluruh mengenai hak-hak anak. Konvensi ini membentuk landasan perlindungan hak bagi anak, dan membedakan antara hak-hak anak dengan orang dewasa, dengan ketentuan bahwa anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Konvensi Hak-hak Anak memberikan perlindungan kepada anak dari diskriminasi dan kesetaraan di hadapan hukum.23 Berikut adalah hak-hak anak yang berkaitan dengan hak reproduksi:

  • 1)    anak memiliki hak untuk menikmati standar kehidupan tertinggi, hal ini tertuang dalam Pasal 6,

  • 2)    anak memiliki hak untuk mendapatkan kesehatan dan akses kesehatan yang memadai, serta perlindungan dari praktik yang berbahaya bagi anak, hal ini tertuang dalam Pasal 24,

  • 3)    anak memiliki hak untuk dilindungi dari kekerasan seksual, hal ini tertuang dalam Pasal 34, dan

  • 4)    anak memiliki hak atas perlindungan privasi, termasuk menentukan pilihan terkait kesehatan seksual dan reproduksinya, hal ini tertuang dalam Pasal 16.

CRC memberikan perlindungan terhadap hak reproduksi anak melalui pemberian hak bagi anak untuk menikmati standar kehidupan tertinggi, hak untuk mendapatkan kesehatan dan akses kesehatan yang layak serta perlindungan dari praktik yang berbahaya, hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan seksual serta hak untuk menentukan pilihan yang terkait dengan kesehatan seksual dan reproduksi. Republik Rakyat Tiongkok telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 2014 sehingga terikat untuk melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam konvensi ini.

  • G.    Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT)

Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia adalah konvensi yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan HAM dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.24 Berdasarkan Pasal 1 CAT, penyiksaan adalah segala bentuk perlakuan yang mengakibatkan sakit yang parah dan penderitaan, baik fisik maupun mental, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dari seseorang, menghukum seseorang yang diduga melakukan pelanggaran, atau memaksa seseorang atas dasar diskriminasi dalam bentuk apapun, dimana sakit atau penderitaan itu disebabkan atau di bawah sepengetahuan pejabat publik atau orang lain yang berwenang. Laporan dari Special Rapporteur tentang CAT menyatakan bahwa sterilisasi paksa adalah sebuah penyiksaan dan bentuk kontrol sosial yang melanggar hak seseorang untuk terbebas dari penyiksaan. 25 CAT memberikan perlindungan hak bagi seluruh umat manusia dari perlakuan dan penyiksaan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, salah satunya perlakuan yang berbentuk sterilisasi paksa, melalui perintah bagi negara anggota untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk mencegah penyiksaan serta menjadikan penyiksaan sebagai bentuk tindak pidana di negaranya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 dan 4. 26 Republik Rakyat Tiongkok telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 2014 sehingga terikat untuk melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam konvensi ini.

  • H.    The Beijing Declaration and Platform for Action (BPfA)

The Beijing Declaration and Platform for Action atau Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing adalah deklarasi yang dihasilkan dari Konferensi Dunia Tentang Perempuan Keempat di Beijing pada tahun 1995 (Fourth World Conference on Women). Konferensi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menghasilkan produk hukum yang mendukung tercapainya kesetaraan gender.27 BPfA berfokus pada 12 isu utama yaitu:

  • a)    perempuan dan lingkungan,

  • b)    perempuan dalam kekuasaan dan pembuatan keputusan,

  • c)    anak perempuan,

  • d)    perempuan dan perekonomian,

  • e)    perempuan dan kemiskinan, f) kekerasan terhadap perempuan, g) HAM dari perempuan,

  • h)    pendidikan dan pelatihan bagi perempuan,

  • i)    mekanisme institusional demi perkembangan perempuan,

  • j)    perempuan dan kesehatan,

  • k)    perempuan dan media, serta l) perempuan dan konflik bersenjata.

BPfA menyatakan bahwa sterilisasi paksa merupakan perilaku kejahatan terhadap perempuan. Menurut deklarasi tersebut, peremuan memiliki hak untuk mengendalikan, menentukan secara bebas dan bertanggungjawab mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan seksualitasnya, termasuk kesehatan seksual dan reproduksinya, terbebas dari ancaman maupun bentuk perilaku memaksa, diskriminatif dan kekerasan. Kesehatan reproduksi yang dimaksud dalam deklarasi ini adalah keadaan secara menyeluruh yang baik bagi keadaan fisik, keadaan mental, dan keadaan sosial, serta tidak hanya terbebas dari penyakit atau kekurangan lainnya, tetapi juga setiap hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi, dan prosesnya. Hak atas kesehatan seksual dan reproduksi meliputi hak bagi seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan untuk mendapatkan informasi dan mendapatkan akses terhadap metode perencanaan keluarga (family planning methods) yang aman, efektif, terjangkau dan layak sesuai pilihan mereka, serta metode lain yang terkait, dan hak untuk mendapatkan akses layanan kesehatan yang memadai bagi perempuan dalam masa kehamilan dan saat melahirkan.28 BPfA bukanlah suatu instrumen hukum yang mengikat dan sebatas merupakan komitmen dari komunitas internasional dalam memberikan perlindungan kepada perempuan. Salah satu tujuan dari deklarasi ini adalah mendorong negara-negara di dunia untuk meratifikasi CEDAW dan menjadi kerangka kebijakan yang bersifat global mengenai perlindungan terhadap hak-hak perempuan bagi negara-negara di dunia. 29 Republik Rakyat Tiongkok merupakan salah satu negara yang menandatangani deklarasi ini, sehingga Tiongkok memiliki tanggungjawab untuk memenuhi komitmennya.

  • I.    Statuta Roma

Dalam bidang hukum humaniter dan pidana internasional, perlindungan dari sterilisasi paksa diatur dalam Statuta Roma pasal 7 ayat (1) huruf g, pasal 8 ayat (2) huruf b angka xxii, serta pasal 8 ayat (2) huruf e angka vi. Statuta Roma mengatur bahwa kekerasan seksual dan gender (sexual and gender violence) sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan baik dalam keadaan konflik bersenjata internasional maupun non-internasional. 30

Sterilisasi paksa sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g dengan elemen kejahatan (elements of crimes) sebagai berikut:

  • 1)    Pelaku menghilangkan kemampuan reproduksi biologis dari satu orang atau lebih.

  • 2)    Kegiatannya bukan merupakan perawatan kesehatan dan orang yang menerima perlakuan tersebut tidak sepakat untuk melakukannya.

  • 3)    Kegiatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis ditujukan pada populasi masyarakat sipil.

  • 4)    Pelaku mengetahui bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari atau ditujukan untuk penyerangan langsung terhadap masyarakat sipil secara meluas dan sistematis.

Sterilisasi paksa sebagai bentuk kejahatan perang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b angka xxii dalam konflik bersenjata internasional dan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf e angka vi dalam konflik bersenjata non-internasional dengan elemen kejahatan sebagai berikut:

Pasal 8 ayat (2) huruf b angka xxii:

  • 1)    Pelaku menghilangkan kemampuan reproduksi biologis dari satu orang atau lebih.

  • 2)    Kegiatannya bukan merupakan perawatan kesehatan dan orang yang menerima perlakuan tersebut tidak sepakat untuk melakukannya.

  • 3)    Kegiatan tersebut dilakukan dalam suatu situasi atau berkaitan dengan konflik bersenjata internasional.

  • 4)    Pelaku mengetahui bahwa sedang terjadi konflik bersenjata.

Pasal 8 ayat (2) huruf e angka vi:

  • 1)    Pelaku menghilangkan kemampuan reproduksi biologis dari satu orang atau lebih.

  • 2)    Kegiatannya bukan merupakan perawatan kesehatan dan orang yang menerima perlakuan tersebut tidak sepakat untuk melakukannya.

  • 3)    Kegiatan tersebut dilakukan dalam suatu situasi atau berkaitan dengan konflik bersenjata non-internasional.

  • 4)    Pelaku mengetahui bahwa sedang terjadi konflik bersenjata.

Tiongkok bukan merupakan negara anggota dari Statuta Roma sehingga tidak secara otomatis terikat dengan ketentuan yang ada di dalam Statuta ini, akan tetapi suatu negara dapat menerima yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional dalam bentuk deklarasi maupun atas permintaan Dewan Keamanan PBB berdasarkan ketentuan dari Pasal 12 Statuta ini. 31

  • 3.2.   Kasus Sterilisasi Paksa Oleh Pemerintah Tiongkok Terhadap Perempuan

    Etnis Uighur

Di banyak negara, sterilisasi paksa menjadi bagian dari kebijakan pengendalian populasi. Sejak tahun 1930an hingga tahun 1980an, beberapa negara di dunia seperti Jepang, Kanada, Swedia, Australia, Norwegia, Finlandia, Estonia, Slovakia, Swiss, dan Islandia mengundangkan peraturan yang memberlakukan sterilisasi paksa pada penyandang disabilitas, ras minoritas, dan orang pengidap penyakit tertentu. Sedangkan kebijakan sterilisasi paksa ini masih diberlakukan kepada kaum perempuan di negara-negara lainnya seperti Chili, Hungaria, India, Kenya, Afrika

Selatan, Venezuela, dan lain-lain dalam berbagai bentuk.32 Perkembangan terakhir mengenai pelaksanaan sterilisasi paksa yang cukup menuai kritik komunitas internasional adalah pelaksanaan sterilisasi paksa oleh Pemerintah Tiongkok di wilayah Provinsi Xinjiang khususnya terhadap perempuan etnis minoritas Uighur.

Etnis Uighur adalah etnis minoritas yang bertempat tinggal di Provinsi Xinjiang, Barat Laut Tiongkok. Masyarakat Etnis Uighur berasal dari wilayah Turki dan beragama Islam, dengan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah Bahasa Turki. Pada tahun 1945, Etnis Uighur sempat melakukan upaya memisahkan diri dari Tiongkok dengan mendirikan Republik Turkistan Timur (East Turkestan Republic), tetapi upaya tersebut digagalkan oleh pasukan militer Partai Komunis Tiongkok yang berhasil menguasai kembali wilayah Xinjiang. 33 Sejak saat itu, telah terjadi konflik berkepanjangan antara Pemerintah Tiongkok dengan militan Uighur yang kerap melakukan serangan teroris di berbagai kota di Provinsi Xinjiang. Untuk menekan serangan dari militan yang dilabeli "kelompok ekstrimis dan teroris" tersebut, Pemerintah Tiongkok melaksanakan berbagai kebijakan seperti pengawasan dan penangkapan orang-orang yang dianggap separatis, melarang kegiatan keagamaan beserta penggunaan berbagai atributnya, hingga melancarkan kebijakan untuk menekan pertumbuhan penduduk melalui pemberlakuan sterilisasi paksa.34

Berdasarkan laporan yang dipublikasi oleh Adrian Zenz, seorang peneliti di Tiongkok, Pemerintah Tiongkok secara masif melaksanakan sterilisasi paksa di wilayah Xinjiang selama bertahun-tahun. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menentukan bahwa perempuan yang telah memiliki 3 anak harus disterilisasi. Bagi masyarakat yang melanggar kebijakan tersebut maka harus membayar denda sebesar kurang lebih 2500 dolar amerika. Khusus untuk tahun 2019, Pemerintah Tiongkok membuat anggaran biaya perencanaan keluarga (family planning budget) untuk kota Hotan, ibukota Provinsi Xinjiang, sebesar 200 juta dolar amerika dan menargetkan 5,970 pendistribusian alat kontrasepsi intrauterine (IUD) dan sterilisasi bagi 8,064 orang perempuan etnis minoritas. Laporan menyatakan bahwa kebijakan pengendalian populasi oleh Pemerintah Tiongkok tersebut tidaklah berlaku kepada penduduk Etnis Han. 35 Sebagai akibat dari pengimplementasian kebijakan tersebut, angka pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut menurun sebesar 84% sejak tahun 2015. Sedangkan pada tahun 2019, angka kelahiran di Xinjiang menurun sebesar 24%. Pendistribusian IUD secara masal ini mendukung rencana Pemerintah Tiongkok untuk mengurangi pertumbuhan penduduk Etnis Uighur sebesar 85-95% dari angka pertumbuhan rata-rata selama 20 tahun belakangan ini. 36

Tiongkok telah meratifikasi ICESCR dan CEDAW, serta menandatangani UDHR, ICCPR dan Deklarasi Beijing, sehingga kebijakan yang dilakukan oleh

Pemerintah Tiongkok merupakan sebuah pelanggaran hukum internasional dalam bidang HAM. Penerapan kebijakan yang hanya ditujukan bagi masyarakat Etnis Uighur merupakan sebuah bentuk diskriminasi oleh Pemerintah Tiongkok. Pemerintah juga melakukan intervensi terhadap hal-hal yang bersifat pribadi dari masyarakat tersebut dan melakukan pelanggaran hak sipil mereka dan mengabaikan penghormatan terhadap prinsip persetujuan penuh, bebas dan sadar (full, free and informed consent). Selain itu, Pemerintah Tiongkok juga tidak menghormati hak khusus yang seharusnya diberikan kepada perempuan dan perempuan yang berstatus sebagai ibu. Pembatasan yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok telah membatasi hak asasi dari masyarakat, khususnya perempuan Etnis Uighur, dalam berkeluarga dan menentukan kesehatan seksual dan reproduksinya, serta menutup mata terhadap perlindungan HAM bagi setiap orang untuk terbebas dari perlakuan dan penyiksaan atau penghukuman yang keji, tidak manusiawi dan merendahkan martabat karena menjatuhkan denda kepada masyarakat Etnis Uighur karena memiliki anak. Pelaksanaan sterilisasi paksa oleh Pemerintah Tiongkok merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, yang telah melanggar ketentuan dalam Statuta Roma.

  • IV. Kesimpulan

Sterilisasi paksa adalah sebuah praktik yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kemampuan reproduksi seseorang tanpa persetujuan dari orang tersebut. Selama bertahun-tahun Pemerintah Tiongkok menerapkan kebijakan sterilisasi paksa terhadap perempuan Etnis Uighur, kebijakan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menekan dan meredam pertumbuhan penduduk dan angka kelahiran dari masyarakat Etnis Uighur, sekaligus menjadi cara untuk merepresi masyarakat Etnis Uighur agar tidak melakukan perilaku "separatis dan terorisme". Akan tetapi, kebijakan ini secara jelas telah melanggar HAM dari masyarakat Etnis Uighur sebagaimana telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional yang ada dan telah mereka ratifikasi yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas, Konvensi Hak Anak, Konvensi Melawan Perlakuan dan Penyiksaan atau Penghukuman yang Keji, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat. Sedangkan Tiongkok belum meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik namun telah menandatanganinya sehingga tetap memiliki tanggungjawab untuk tidak melanggar tujuan dari konvensi tersebut. Tiongkok juga telah menyepakati dan berkomitmen dalam Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing, serta telah melanggar ketentuan dalam Statuta Roma.

Untuk menghentikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok terhadap perempuan Etnis Uighur diperlukan adanya kerjasama internasional oleh negara-negara di dunia untuk membentuk suatu mekanisme penegakan HAM yang efektif baik melalui jalur diplomasi maupun jalur lain yang memungkinkan dalam taraf internasional, dan dapat diimplementasikan terhadap Pemerintah Tiongkok.

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL

Alber, Gwendolyn dan Marek Szilvasi. “Intersectional Discrimination of Romani Women Forcibly Sterilized in the Former Czechoslovakia and Czech Republic.Health and Human Rights Journal 19, no. 2 (Desember 2017): 23-34.

Ananda, Gede Resa dan Dewa Gde Rudy. “Pengaturan Terhadap Hak Penentuan Nasib Sendiri Negara Timor Leste Ditinjau Dari Hukum Internasional.” Kertha Negara Law Journal 7, no. 3 (2019): 1-12.

Cherneva, Iveta. “The Drafting History of Article 2 of the Convention Against Torture.” Essex Human Rights Review 9, No. 1 (Juni 2012): 1-14.

Clarke, Michael. “China and the Uyghurs: The “Palestinization” of Xinjiang?” Middle East Policy XXII, No. 3 (Fall 2015), 127-146.

Coomans, Fons. “Application of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights in the Framework of International Organisations.Max Planck Yearbook of United Nations Law 11 (2007): 359-390.

Dickens, B.. “Female contraceptive sterilization.International Journal of Gynecology and Obstetrics 115 (2011): 88-89.

Durojaye, Ebenezer. “Involuntary Sterilisation as a Form of Violence against Women in Africa.Journal of Asian and African Studies 00 (2017): 1-12.

Finnegan, Ciara. “The Uyghur Minority in China: A Case Study of Cultural Genocide, Minority Rights and the Insufficiency of the International Legal Framework in Preventing State-Imposed Extinction.” Laws 9, No. 1 (Januari 2020): 1-20.

Flores, Stephanie. “Redefining Reproductive Rights in an Age of Cultural Revolution.The Undergraduate Journal of the Athena Center for Leadership Studies at Barnard College 2 (2014): 1-32.

Flores, Tathiana. “The Rome Statute’s Sexual Related Crimes: an Appraisal under the Light of International Humanitarian Law.” Journal of International Law of Peace and Armed Conflict 19 (2006): 169-202.

Gable, Lance. “Reproductive Health as a Human Right.Case Western Reserve Law Review 60 (2010): 957-996.

Gilmore, S. dan L. Moffett. “Redressing forced sterilisation: the role of the medical profession.International Journal of Obstetrics and Gynaecology (Maret 2020): 923926.

Hakim, FY. “Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.” Jurnal Hukum Internasional 4, No. 1 (Oktober 2006): 133-168.

Harahap, Rahayu Repindowaty. “Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD).” Jurnal Inovatif 8, No. 1 (January 2015): 17-29.

Kendall, Tamil dan Claire Albert. “Experiences of coercion to sterilize and forced sterilization among women living with HIV in Latin America.Journal of the International AIDS Society (2015): 1-7.

Maryam, Rini. “Menerjemahkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) ke Dalam Peraturan Perundang-undangan.” Jurnal Legislasi Indonesia 9, No. 1 (April 2012): 99-118.

McLaughlin, Lindsay Carniak. “The Price of Failure of Informed Consent Law: Coercive Sterilizations of HIV-Positive Women in South Africa.Law & Inequality: A Journal of Theory and Practice 32, No. 1 (2014): 69-93.

Parta, Rommy. “Perlindungan Hak Konstitusional untuk Bebas dari Penyiksaan di Indonesia.” Jurnal Konstitusi 15, No. 3 (September 2018): 565-591.

Patel, Priti. “Forced sterilization of women as discrimination.Public Health Reviews 38 (2017): 1-12.

Rena, Ravinder. “Child Rights’ Convention and Its Implementation.” Indian Ocean Digest 22, No. 1 & 2 (Januari-Desember 2007): 1-11.

Rowlands, Sam dan Jean-Jacques Amy. “Involuntary sterilisation: we still need to guard against it.Bournemouth Medical Journal (2018): 1-8.

Schabas, William. "The International Criminal Court and Non-Party States," Windsor Yearbook of Access to Justice 28 (2010): 1-21.

Seibert-Fohr, Anja. “Domestic Implementation of the International Covenant on Civil and Political Rights Pursuant to its article 2 para. 2.Max Planck Yearbook of United Nations Law 5 (2001): 399-472.

Sifris, Ronli. “Conceptualising Involuntary Sterilisation as ‘Severe Pain or Suffering’ for the Purposes of Torture Discourse.Netherlands Quarterly of Human Rights 28, No. 4 (2010): 523-547.

Zampas, Christina dan Adriana Lamačková. “Forced and coerced sterilization of women in Europe.International Journal of Gynecology and Obstetrics 114 (2011): 163-166.

BUKU

Centre, European Roma Rights. Sterilisation and its Consequences for Romani Women in the Czech Republic (1966-2016). Budapest: European Roma Rights Centre, 2016.

Schonard, Martina, dkk.. Sexual and reproductive health rights and the implication of conscientious objection. Brussels: European Union, 2018.

Women, UN. The Beijing Declaration and Platform for Action Turns 20. New York: United Nations Women, 2015.

DOKUMEN RESMI PBB

United Nations Population Fund. Reproductive Rights are Human Rights: A Handbook for National Human Rights Institutions. Jenewa: United Nations Secretariat, 2014.

World Health Organization. Eliminating forced, coercive and otherwise involuntary sterilization: an interagency statement, OHCHR, UN Women, UNAIDS, UNDP, UNFPA, UNICEF and WHO. Jenewa: WHO Library Cataloguing-in-Publication Data.

INTERNET

Adrian Zenz, “China’s Own Documents Show Potentially Genocidal Sterilization Plans in       Xinjiang,”       Foreign       Policy,       1       Juli       2020,

https://foreignpolicy.com/2020/07/01/china-documents-uighur-genocidal-sterilization-xinjiang/.

Anonim, “Sterilization of Women and Girls with Disabilities,Human Rights Watch, 10 November  2011, https://www.hrw.org/news/2011/11/10/sterilization-

women-and-girls-disabilities#:~:text=Sterilization%20is%20defined%20as%20%E2%80%9Ca,an% 20opportunity%20to%20provide%20consent.

Anonim, “China: Uighur women reportedly sterilized in attempt to suppress population,” DW News, 1 Juni 2020, https://www.dw.com/en/china-uighur-women-reportedly-sterilized-in-attempt-to-suppress-population/a-54018051.

Anonim, “China forcing birth control on Uighurs to suppress population, report says,” BBC News, 29 Juni 2020, https://www.bbc.com/news/world-asia-china-53220713.

Linda Tarr-Whelan, "The Impact of the Beijing Platform for Action: 1995 to 2010," American        Bar        Association,        1        Juli        2010,

https://www.americanbar.org/groups/crsj/publications/human_rights_mag azine_home/human_rights_vol37_2010/summer2010/the_impact_of_the_beiji ng_platform_for_action/.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10 No. 1 Tahun 2020, hlm. 1-16