Pertanggungjawaban Pidana Pemalsuan Surat Domisili Pada Penerimaan Peserta Didik Baru Dengan Sistem Zonasi
on
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMALSUAN SURAT DOMISILI PADA PENERIMAAN PESERTA
DIDIK BARU DENGAN SISTEM ZONASI
I Gusti Ngurah Agung Deva Hade Raehananda, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : gungdeva27@gmail. com
Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]
DOI : KW.2020.v10.i01.p03
ABSTRAK
Tujuan studi ini untuk mengkaji pertanggungjawaban pidana pelaku pemalsuan surat domisili dalam penerimaan peserta didik baru dengan sistem zonasi serta bentuk pemidanaan bagi pelaku pemalsuan surat domisili. Metode penulisan jurnal ini menggunakan penelitian normatif yang berpatokan pada bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang – undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder yang meliputi buku – buku maupun jurnal dan dengan menggunakan pendekatan undang – undang serta pendekatan konseptual. Penelitian hukum normatif yang dilakukan untuk mengkaji kekosongan norma pada Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 terkait pengaturan surat domisili sebagai pengganti kartu keluarga dalam penerimaan peserta didik baru dengan sistem zonasi. Hasil studi menunjukan bahwa pelaku pemalsuan surat domisili dalam Penerimaan Peserta Didik Baru dengan sistem zonasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila pelaku yang bersangkutan telah memenuhi unsur – unsur dalam pertanggungjawaban pidana dan bentuk pemidanaan bagi pelaku pemalsuan surat domisili yakni pidana penjara bagi orang tua /wali siswa dan peserta PPDB yang usianya diatas 18 tahun, pidana penjara dan pidana denda apabila dilakukan oleh pejabat negara. Upaya diversi bagi pelaku yakni calon peserta PPDB yang masih dibawah umur.
Kata kunci : Pertanggungjawaban pidana, pemalsuan, sistem zonasi
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine the criminal liability of perpetrators of domicile mail forgery in the acceptance of new students with the zonation system as well as forms of funding for perpetrators of domicile mail forgery. This method of writing journals uses normative research based on primary legal materials that include applicable laws and regulations, secondary legal materials that include books and journals and using legal approaches and conceptual approaches. Normative legal research conducted to examine the void of norms in Regulation of the Minister of Education and Culture No. 44 of 2019 related to the arrangement of domicile letters as a substitute for a family card in the acceptance of new students with the zonation system. The results showed that perpetrators of domicile letter forgery in the college acceptance with zonation system can be held criminally liable if the perpetrator has fulfilled elements in criminal accountability and forms of funding for perpetrators of forgery of domicile letters is imprisonment for parents/guardians of students and new students who are over 18 years old, imprisonment and criminal fines if carried out by state officials. Diversion efforts for the perpetrator, namely potential of college acceptance participants who are minors.
Keywords : Criminal liability, forgery, zonation system
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Para pahlawan dan pendiri bangsa sangat mendambakan Indonesia menjadi negara yang maju, tentu tidak hanya para pahlawan dan pendiri bangsa melainkan segenap rakyat Indonesia sangat menginkan negara tercinta ini kelak di kemudian hari menjadi negara yang maju. Tentu untuk mewujudkan Indonesia agar bisa menjadi negara maju, Indonesia harus bisa memperbaiki beberapa sektor internal dalam negara seperti “bidang ekonomi, hukum, sosial, politik, budaya dan bidang pendidikan”. Salah satu faktor yang menunjang atau menjadi kerangka negara maju adalah sektor pendidikan, karena pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan.1 Pendidikan yang baik berdampak pada lahirnya insan – insan manusia Indonesia yang cakap serta berwawasan. Tentu dengan adanya pendidikan yang bermutu akan membuat Indoneia menjadi negara maju, di Tahun 2019 menjadi tahun yang sangat bersejarah dalam dunia pendidikan di Indonesia, karena pada tahun 2019 ini terjadi perubahan dalam sistem penerimaan peserta didik baru yang familiar dengan akronim PPDB2.
PPDB yang diselenggarakan setiap tahun ajaran baru ini merupakan agenda yang wajib bagi calon peserta didik baru dalam menentukan tempat bersekolah dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang selanjutnya dari jenjang yang paling kecil yakni TK hingga SMA/SMK. Perubahan yang dimaksud ialah sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak – Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan (selanjutnya disebut Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019). Terjadi perubahan yang sangat kental terlihat yakni sebelum dikeluarkan Permendikbud, sistem PPDB menggunakan hasil nilai dari ujian nasional setelah diterbitkannya Permendikbud sistem PPDB menggunakan sistem zonasi.
Merujuk dari ketentuan pasal 14 Permendikbud No. 44 Tahun 2019 dijelaskan secara lengkap terkait dengan sistem zonasi. Dalam sistem zonasi ini menitikberatkan pada calon peserta didik yang memiliki kedekatan jarak rumah dengan sekolah jadi apabila semakin dekat jarak rumah dengan sekolah maka peluang diterimanya akan semakin besar. Kebijakan zonasi adalah sistem penerimaan peserta didik berdasarkan radius dan jarak.3 Diterapkannya sistem zonasi ini pemerintah berupaya melakukan pemerataan sistem pendidikan.
Implementasi kebijakan zonasi ini merupakan terobosan lain dalam menjabarkan upaya pemerataan akses dan mutu pendidikan.4 Pada permendikbud ini, dalam sistem PPDB juga mengenal 3 jalur dalam penerimaan peserta didik selain dengan jalur zonasi yakni, jalur afirmasi, perpindahan orang tua/wali dan terakhir jalur prestasi. Sementara untuk nilai ujian nasional termasuk kedalam jalur prestasi yang mana jumlah kuota yang disediakan tergantung dari pada jumlah sisa kuota dari ketiga jalur yang telah disebutkan diatas sebagaimana dipaparkan dalam pasal 11 permendikbud.
Cara untuk menentukan domisili calon peserta PPDB ditetapkan dengan alamat yang tercantum pada kartu keluarga selain penggunaan KK domisili peserta PPDB dapat juga menggunakan surat keterangan domisili sebagai pengganti KK. Surat keterangan domisili tersebut diperoleh berdasarkan bukti dilapangan bahwa yang bersangkutan telah tinggal atau berdomisili di daerah tempat tinggalnya minimal selama satu tahun dan surat domisili ini dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang mengeluarkan surat keterangan domisili.
Tentu berubahnya PPDB pada tahun 2019 ini mendapatkan berbagai respon dari masyarakat mulai dari pro sampai kontra. Sisi pro menganggap bahwa PPDB dengan jalur zonasi merupakan cara adil guna meratakan kualitas pendidikan dan menghilangkan perspektif sekolah favorit. Fakta dilapangan tentang perspektif sekolah favorit sangat kental terasa dalam kehidupan masyarakat, banyak masyarakat menganggap bahwa sekolah yang memiliki label favorit lebih unggul dari sekolah yang tidak memiliki label favorit. Oleh karenanya sistem zonasi dinilai tepat untuk menghilangkan pandangan terkait sekolah favorit dan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia, karena kita ketahui wilayah Indonesia yang luas menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam sistem pendidikan. Sisi yang kontra akan sistem zonasi menganggap bahwa penerapan sistem zonasi ini memberikan rasa ketidakadilan bagi pelajar yang sudah belajar dengan baik hingga meraih nilai tinggi akan tetapi tidak bisa mengenyam pendidikan di sekolah yang didambakan karena terbentur akan sistem zonasi yang menitikberatkan penerimaan peserta didik lewat jarak rumah dengan sekolah.
Banyak wali murid yang merasa sistem ini malah merugikan sang anak dan juga orang tua. Bahkan tak sedikit pula, orang tua yang menginginkan untuk mencopot sistem zonasi ini.5 Diberlakukannya sistem zonasi menimbulkan suatu keresahan bagi orang tua/wali siswa, tidak sedikit orang tua yang menginginkan agar anaknya bisa menuntut ilmu di sekolah yang diinginkan. Ketidaksiapan akan sistem yang baru ini membuat orang tua melakukan berbagai perbuatan untuk mengelabui sistem zonasi. Perbuatan yang dimaksud disini adalah pemalsuan surat domisili, karena penggunaan surat domisili sebagai pengganti kartu keluarga dalam menentukan zonasi peserta PPDB sangat rentan untuk dipalsukan dan dalam Permendikbud No. 44 Tahun 2019 tidak ada dijelaskan sanksi terkait perbuatan pemalsuan surat domisili. Dikutip dari Media Indonesia Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan telah menerima 200 aduan terkait dengan PPDB tahun 20196, selain itu di Jawa Tengah sebanyak 96 pendaftar PPDB dicoret karena menggunakan surat domisili palsu. 7
Surat domisili ialah surat keterangan yang menunjukkan alamat tempat tinggal warga di suatu daerah atau surat yang menyatakan atau menerangkan kediaman atau tempat tinggal dari seseorang8 dan surat ini dikeluarkan oleh pejabat terkait yang memiliki tugas dan kewenangan, apabila pelaku ingin melakukan perbuatan pemalsuan surat domisili tentu bisa saja melibatkan oknum pejabat terkait untuk saling bekerja sama demi mencapai tujuan yang diinginkan. Pemalsuan surat merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang mengandung kebohongan, ketidak benaranan atau palsu sesuatu (objek), yang sesuatu itu tampak dari luar seolah – olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.9
State of the art ditunjukan dengan belum adanya penelitian terdahulu yang membahas mengenai pertanggungjawaban pidana dalam PPDB sistem zonasi. Penelitian sebelumnya lebih berfokus pada dampak diterapkannya PPDB dengan sistem zonasi. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang berjudul “Evaluasi Keefektifan Kebijakan Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Pelajaran 2019/2020” yang ditulis oleh Timo Cahyo Nugroho, Dwi Fathurohman, dan Kustomo menyimpulkan bahwa banyak dijumpai orang tua peserta didik yang berupaya membuat surat domisili palsu, selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Dany Miftahul Ula dan Irvan Lestari dengan judul penelitian yakni “Imbas Sistem Zonasi Bagi Sekolah Favorit Dan Masyarakat” menyimpulkan bahwa imbas negatif dari berlakunya sistem zonasi adalah terdapatnya penyalahgunaan data untuk mendaftar sistem zonasi.
Berangkat dari isu sosial dan pemaparan penelitian diatas, maka menarik dan urgen untuk dikaji dalam ranah hukum, sehingga penulis mengangkatnya sebagai artikel dengan judul yaitu “Pertanggungjawaban Pidana Pemalsuan Surat Domisili Pada Penerimaan Peserta Didik Baru Dengan Sistem Zonasi”. Pada artikel ini akan membahas lebih lanjut tentang pertanggungjawaban pidana dan bentuk pemidanaan bagi pelaku pemalsuan surat domisili pada PPDB dengan sistem zonasi.
-
1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku pemalsuan surat domisili pada PPDB dengan sistem zonasi ?
-
2. Bagaimana bentuk pemidanaan bagi pelaku pemalsuan surat domisili pada PPDB dengan sistem zonasi ?
-
1. Untuk memahami pertanggungjawaban pidana pelaku pemalsuan surat domisili pada PPDB dengan sistem zonasi
-
2. Untuk memahami bentuk pemidanaan bagi pelaku pemalsuan surat domisili pada PPDB dengan sistem zonasi
Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan penelitian normatif. Penelitian jurnal ini berpatokan pada bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang – undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder yang berupa literatur buku – buku dan jurnal yang menunjang atau yang berkaitan dalam penelitian ini. Penulisan jurnal ini menggunakan jenis pendekatan Undang – undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang – undang dilakukan dengan menelaah semua undang – undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu yang ditangani10 seperti KUHP, UU Administrasi Kependudukan, UU Sistem Peradilan Pidana, UU Perlindungan Anak, Permendikbud serta instrumen hukum lain yang memiliki kaitan dengan topik penulisan jurnal ini. Pendekatan konseptual bertujuan untuk mengetahui dan menelaah konsep – konsep dan asas – asas hukum yang berkaitan dengan topik bahasan dalam penulisan jurnal ini. Penelitian normatif pada penulisan jurnal ini untuk mengkaji kekosongan norma. Bahan hukum diolah dengan teknik editing yaitu dengan memeriksa kembali bahan hukum terkait kelengkapannya, keterkaitan dan kesesuaian dengan permasalahan yang dikaji dan disajikan dalam bentuk teks naratif. Cara yang digunakan dalam penelusuran bahan hukum penulisan jurnal ini adalah penelitian pustaka (library research). Literatur berupa buku – buku dipilih sesuai dengan relevansi masalah dan dapat mendukung dalam penulisan jurnal dan ada jurnal – jurnal ilmiah yang dijadikan sumber hukum dan rujukan bacaan bagi penulis dalam melengkapi sumber penulisan jurnal ilmiah. Analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif teknik yang menguraikan tentang kondisi hukum atau peristiwa hukum.
-
III . Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemalsuan Surat Domisili Pada PPDB Dengan Jalur Zonasi
Ada suatu peribahasa yang menyatakan “Tangan menjinjing, bahu memikul”, yang memiliki sebuah arti bahwa seseorang harus menanggung segala akibat dari tindakan atau kelakuannya. Dalam hukum pidana juga mengenal hal seperti itu, yang dinamakan pertanggungjawaban pidana bedanya ungkapan peribahasa tadi memiliki cakupan yang luas sedangkan pertanggungjawaban pidana hanya dibatasi oleh peraturan perundang – undangan. Pertanggungjawaban pidana
adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu atau dengan kata lain dapat atau tidaknya seseorang dipidana karena perbuatannya. Berbicara mengenai dapat tidaknya seseorang dipidana karena perbuatannya tidak cukup bilamana orang tersebut telah melakukan perbuatan yang melawan hukum saja tetapi juga harus dibuktikan bahwa yang bersangkutan telah melakukan kesalahan. Menurut Ruslan Saleh unsur – unsur pertanggungjawaban pidana meliputi perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, kemampuan bertanggungjawab, dan tidak ada alasan pemaaf.11 Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku selanjutnya ada unsur kesalahan. Kesalahan merupakan suatu hal yang mutlak bagi adanya pertanggungjawaban yang berupa pengenaan pidana.
Ada beberapa arti atau istilah terkait dengan kesalahan. Kesalahan dalam arti seluas – luasnya mengandung makna “pertanggungjawaban dalam hukum pidana” pertanggungjawaban dalam hukum pidana disini terkandung makna dapat dicelanya pelaku atas perbuatannya, kesalahan dalam arti sempit berkaitan dengan kealpaan/culpa sedangkan kesalahan dalam arti bentuk yaitu kesalahan dapat berupa kesengajaan (dolus/opzet/intention) dan kealpaan/kelalaian (culpa/nalatigheid/negligence). Unsur selanjutnya dalam pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan bertanggungjawab, dalam KUHP tidak ada dijelaskan mengenai pengertian dari kemampuan bertanggungjawab akan tetapi apabila ditelaah yang dimaksud dengan kemampuan bertanggungjawab adalah kemampuan pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan, tentu agar dapat bertanggungjawab atas perbuatannya kondisi atau keadaan batin pelaku harus dalam keadaan sehat dan normal, apabila keadaan pelaku tidak sehat dan normal sebagaimana penjelasan dalam pasal 44 KUHP yang intisarinya menyatakan bahwa seseorang tidak bisa dijatuhi pidana apabila pertumbuhannya akal sehatnya tidak sempurna atau karena gangguan penyakit (gila) maka pelaku tidak dapat dipidana. Unsur terakhir yakni tidak ada alasan pemaaf, alasan pemaaf ialah alasan penghapusan kesalahan pelaku, perbuatan pelaku merupakan perbuatan melawan hukum akan tetapi pelaku tidak dapat dipidana karena tidak adanya unsur kesalahan. Menurut Mazger kesalahan adalah keseluruhan syarat yang menjadi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat perbuatan pidana.12
Pada Permendikbud No. 44 Tahun 2019 pada Bab VI tentang Sanksi yakni pasal 39 dan 40 pada intisarinya menjelaskan bahwa perbuatan pemalsuan terhadap kartu keluarga (KK), bukti keluarga tidak mampu, bukti atas prestasi dan perbuatan yang melanggar Permendikbud dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Apabila dikaitkan dengan tindakan pelanggaran dalam PPDB dengan jalur zonasi yakni pemalsuan surat domisili pelaku pemalsuan dapat dikenai sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Ditelaah dari peraturan perundang –
undangan yang berlaku pelaku pemalsuan surat domisili dalam PPDB dapat dijerat dengan pasal 263 KUHP yang menyatakan sebagai berikut :
-
1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
-
2. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Dalam penjelasan pasal tersebut pada ayat 1 menjelaskan ada dua tindakan yakni membuat surat palsu dan memalsukan surat, tentu keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Membuat surat palsu adalah perbuatan membuat surat yang sebelumnya tidak ada atau belum ada, pelaku lalu membuat surat palsu seolah – olah benar demi suatu tujuan tertentu, sedangkan memalsukan surat adalah perbuatan pelaku yang merubah isi atau keseluruhan dari surat yang asli untuk tujuan tertentu. Ancaman pidana juga dapat diberikan kepada seseorang yang memakai surat palsu atau dipalsukan. Berbicara mengenai dapat atau tidaknya pelaku pemalsuan surat domisili pada PPDB dimintai pertanggungjawaban pidana tentu harus menelaah unsur – unsur dalam pertanggungjawaban pidana, apabila pelaku pemalsuan surat domisili dilakukan oleh orang tua siswa/wali murid dapat dikenai pasal 263 KUHP dengan ancaman hukuman enam tahun penjara. Pada KUHP ditentukan minimum pidana penjara yakni satu hari 24 jam, dengan demikian pelaku pemalsuan surat domisili dalam PPDB sistem zonasi dapat dijatuhi hukuman minimal satu hari dan maksimal enam tahun. 13 Berdasarkan uraian diatas tentu orang tua/wali murid yang melakukan tindakan pemalsuan surat domisili dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena telah memenuhi unsur – unsur dalam pertanggungjawaban pidana yakni adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, kemampuan bertanggungjawab serta tidak adanya alasan pemaaf.
Perbuatan pemalsuan surat domisili guna untuk mengelabui sistem zonasi dalam PPDB tidak hanya dilakukan oleh orang tua/wali siswa saja, ada indikasi bahwa tindakan pemalsuan surat domisili ini juga melibatkan oknum pejabat yang berwenang mengeluarkan surat domisili. Ditelaah dari undang – undang yang berlaku apabila terdapat indikasi dilakukannya pemalsuan surat domisili dengan melibatkan pejabat yang berwenang maka pelaku dalam hal ini pejabat yang mengeluarkan surat domisili dapat dikenai pasal 55 dan 56 KUHP yang dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 55 KUHP
-
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
-
1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;
-
2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
-
(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sua 2e itu yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dirujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.
Pasal 56 KUHP
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
-
1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
-
2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Dari uraian pasal diatas dapat dilihat bahwa pasal 55 menekankan pada “turut melakukan” yang memiliki arti bahwa adanya kerjasama untuk mencapai tujuan bersama sedangkan pada pasal 56 menekankan pada “upaya membantu” suatu tindakan kejahatan, jika terbukti maka pejabat yang turut melakukan atau membantu upaya pemalsuan surat domisili maka dapat dikenai pasal 55 dan 56 KUHP. Selain dapat dijatuhi pasal pada KUHP pejabat yang melakukan tindak pidana dalam hal ini pemalsuan surat domisili juga dapat dikenakan pasal 98 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU AK). Pejabat terkait dapat dikenai pasal 98 UU Administrasi Kependudukan yang menjelaskan bahwa pejabat dan petugas dan instansi pelaksana yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 93 dan 94 UU Administrasi Kependudukan dipidana dengan pidana yang sama ditambah 1/3 (satu pertiga). Pada pasal 93 tindak pidana yang dimaksud adalah memalsukan surat atau dokumen kepada instansi pelaksana dalam hal melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting dipidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah. Sedangkan tindak pidana pada pasal 94 yakni memerintahkan, memfasilitasi dan melakukan manipulasi data kependudukan atau elemen data penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak sebesar tujuh puluh lima juta rupiah.
Selain pelaku pemalsuan surat domisili dari unsur orang tua/wali siswa atau pejabat yang bersangkutan, perbuatan kecurangan dalam PPDB juga bisa saja dilakukan oleh calon peserta PPDB itu sendiri. Calon peserta PPDB adalah anak – anak dari jenjang TK, SMP, SMA/SMK. Berdasarkan Permendikbud dijelaskan syarat – syarat bagi calon peserta didik. Pada Bab II Bagian kesatu terkait persyaratan PPDB yang mana dari pasal 4 sampai pasal 7 menyebutkan syarat umur minimal dan maksimal peserta PPDB. Rata – rata umur peserta didik yang memenuhi syarat untuk mengikuti PPDB adalah 6 tahun dan paling rendah 4 tahun untuk TK, 12 tahun dan paling rendah 5 tahun untuk jenjang SD, berusia paling tinggi yakni 15 tahun untuk jenjang SMP, dan untuk SMA dan SMK calon peserta PPDB maksimal berusia 21 tahun. Terkait syarat – syarat umur yang dijelaskan diatas didapatkan bahwa rata – rata calon peserta didik baru masih berusia dibawah umur. Dibawah umur disini yang dimaksud adalah anak yang
usianya belum genap berusia 18 tahun sesuai dengan penjelasan pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan”. Berbicara mengenai dapat atau tidak calon peserta PPDB dimintai pertanggungjawaban pidana tentu perbuatannya harus memenuhi unsur – unsur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang – undangan. Dasar dapat dijatuhinya pidana bagi pelaku tindak pidana adalah asas kesalahan dan dasar adanya suatu tindak pidana adalah asas legalitas. 14
Dilihat dari ius constitutum atau hukum yang berlaku sekarang pelaku pemalsuan surat domisili dapat dikenakan pasal 263 KUHP, apabila pelaku pemalsuan surat merupakan calon peserta PPDB tentu untuk meminta pertanggungjawaban pidananya harus merujuk juga pada peraturan yang mengatur terkait dengan anak yang berkonflik dengan hukum yakni Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). Usia anak yang dapat dijatuhi pidana yakni telah berusia minimal 12 tahun dan belum menginjak umur 18 tahun sesuai dengan ketentuan dari UU SPPA. Terkait dengan calon peserta didik baru yang melakukan perbuatan melanggar hukum yakni tindakan pemalsuan surat yang usianya sesuai dengan batas usia anak yang dapat dipidana sebagaimana dijelaskan diatas maka pelaku bisa dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam UU SPPA mengenal adanya keadilan restoratif dan diversi, yang mana diversi bisa dikatakan sebagai suatu sistem atau cara untuk menyelesaikan suatu perkara yang bertujuan untuk tercapainya keadilan restoratif. Inti dari adanya keadilan restoratif ini adalah sebagai bentuk pemulihan dari tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam UU SPPA wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dan diversi yang diatur didalam pasal 5 UU SPPA. Undang – undang tersebut juga menyebutkan bahwa dalam proses penyidikan, pemeriksaan dan penuntutan dalam perkara anak mengharuskan melakukan proses diversi, tetapi pelaksanaan diversi baru bisa dilaksanakan dengan syarat tindakan melanggar hukum yang pelakunya adalah anak ancaman pidananya tidak boleh lebih dari tujuh tahun penjara dan bukan termasuk dalam tindak pidana pengulangan, karenanya tidak semua tindakan atau perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh anak dapat diupayakan dengan proses diversi, diversi sendiri dapat dilakukan asal memenuhi syarat atau ketentuan sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Proses diversi mengedepankan musyawarah mufakat yang menitikberatkan pada pemulihan keadaan setelah adanya suatu peristiwa anak berhadapan dengan hukum. Tentu upaya diversi ini melibatkan komponen dari pihak korban dan pihak pelaku, tujuan dilakukannya diversi yakni untuk menyelesaikan perkara anak diluar jalur pengadilan atau jalur non litigasi, untuk menciptakan perdamaian antara korban dan pelaku, menghindari anak dari terampasnya kemerdekaannya, mendorong terciptanya peran aktif orang tua dalam pengawasan terhadap anak,
dan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Diversi sendiri harus memperoleh kesepakatan bersama baik dari pihak korban dan pihak pelaku, akan tetapi dikecualikan apabila tindakan anak tersebut termasuk kedalam kategori tindak pidana pelanggaran, tindak pidana ringan dan tanpa korban.
Upaya diversi yang diatur dalam UU SPPA merupakan tujuan pemindanaan relatif yang mana memandang pidana bukanlah alat atau cara untuk melakukan pembalasan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat15. Melihat tindak kejahatan berupa pemalsuan surat domisili oleh calon peserta didik yang masih dibawah umur tentu upaya diversi dapat dilakukan, mengingat ancaman pidana untuk pemalsuan surat berdasarkan KUHP maksimal enam tahun penjara. Selain itu penjatuhan pidana bagi anak merupakan jalan keluar terakhir, penjatuhan pidana sebagai ultimum remedium atau the last resort principle.16
Perbuatan pemalsuan surat domisili yang dilakukan oleh calon peserta PPDB yang masih dibawah umur yang bertujuan untuk mengelabui sistem zonasi dapat dilakukan upaya diversi sebagaimana diamanatkan oleh UU SPPA karena perbuatan tersebut ancaman pidananya di bawah tujuh tahun penjara dan melihat bahwa penjatuhan pidana pada anak merupakan salah satu perbuatan yang bisa merampas kemerdekaan terhadap anak tersebut. Secara umum, tujuan dari bekerjanya sistem peradilan pidana anak pada intinya didasarkan untuk menciptakan suatu sistem peradilan yang adil dan ramah terhadap anak (fair and humane).17 Upaya diversi ini juga sesuai dengan amanat dari Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada pasal 59 yang inti dari pasal tersebut menyatakan bahwa negara wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak. Perlindungan khusus yang dimaksud disini yaitu perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi tertentu yang bertujuan memberikan rasa nyaman dan aman dari adanya suatu ancaman yang bisa menyebabkan terancamnya kehidupan anak dalam tumbuh kembangnya.
Berbicara mengenai pemidanaan sangat erat hubungannya dengan pidana. Bagi masyarakat awam mungkin mengira pidana dan pemidanaan memiliki pengertian yang sama, tetapi sebenarnya pidana dan pemidanaan memiliki arti yang berbeda. Kata pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yakni straf yang berarti hukuman. Pidana juga dapat diartikan sebagai nestapa, derita, penderitaan, siksaan. Dalam bahasa latin istilah pidana juga dikenal dengan kata “poena” yang memiliki arti nestapa seperti denda atau pembalasan, jadi pidana merupakan
penderitaan atau hukuman yang sengaja dijatuhkan oleh pihak yang memiliki kewenangan kepada seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum. Sedangkan pemidanaan secara sederhana diartikan sebagai penghukuman18 atau penjatuhan pidana pada seseorang yang melanggar hukum oleh petugas yang berwenang sesuai dengan ketentuan – ketentuan yang berlaku, tentu pidana dan pemidanaan sangat berkaitan satu sama lain.
Tujuan dari pemidanaan sendiri adalah untuk mencegah terulangnya kembali suatu tindak pidana, memberikan rasa jera bagi pelaku tindak pidana, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, menumbuhkan rasa damai dan memulihkan kembali keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Dalam perkembangannya lahirlah berbagai teori tentang tujuan pemidanaan, teori tersebut yakni teori absolut atau pembalasan, teori tujuan, dan teori gabungan. Ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda – beda. Teori absolut/pembalasan menitikberatkan tujuan pemidanaan semata – mata sebagai suatu pembalasan tidak mengandung tujuan lain, kesalahan merupakan satu – satunya syarat adanya pidana, selain itu tujuan dari teori absolut ini tidak untuk memperbaiki atau mendidik kembali pelaku kejahatan. Teori yang kedua yakni teori tujuan memiliki karakteristik yang berseberangan dengan teori absolut. Tujuan pemidanaan dalam teori ini untuk pencegahan, pencegahan yang dimaksud adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yakni kesejahteraan masyarakat selain itu hanya pelanggaran – pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku yang memenuhi syarat untuk adanya suatu pidana, selanjutnya yang terakhir ada teori gabungan, teori ini merupakan gabungan dari teori absolut dan teori tujuan. Pidana dikenakan kepada seseorang karena telah melakukan suatu perbuatan kejahatan akan tetapi tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang dilakukannya, disamping itu penjatuhan pidana juga harus memberikan perbaikan dan pengaruh baik bagi masyarakat.
Perubahan zaman tentu memberikan pengaruh terhadap perkembangan bentuk dan dimensi kejahatan, tentulah perkembangan tersebut memerlukan sebuah pencegahan atau penanganan, yang salah satu caranya dengan sarana penjatuhan pidana. Sanksi pidana merupakan salah satu aspek terpenting dalam hukum pidana, oleh karenanya menjadi hal yang penting untuk dikaji bagaimana bentuk penjatuhan pidana yang tepat dalam menanggulangi tindak pidana pemalsuan surat domisili dalam PPDB dengan sistem zonasi.19 Hukum pidana Indonesia menentukan bentuk atau jenis sanksi pidana yang mana dijelaskan dalam pasal 10 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
Pidana terdiri atas :
-
a. Pidana Pokok :
-
1. Pidana Mati
-
2. Pidana Penjara
-
3. Pidana Kurungan
-
4. Pidana Denda
-
b. Pidana Tambahan :
-
1. Pencabutan hak – hak tertentu
-
2. Perampasan barang – barang tertentu
-
3. Pengumuman putusan hakim
Apabila dikaitkan dengan bentuk pemidanaan bagi pelaku pemalsuan surat domisili dalam PPDB dengan sistem zonasi tentu harus melihat dari pasal yang dikenakan pada pelaku. Pemalsuan surat domisili yang dilakukan oleh orang tua/wali siswa dapat dikenai pasal 263 KUHP dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku adalah pidana penjara dengan rentan waktu yang paling lama yakni enam tahun penjara. Sedangkan bagi pelaku pemalsuan surat domisili dari unsur pejabat yang berwenang mengeluarkan surat domisili dapat dikenai pidana penjara paling lama enam tahun penjara ditambah 1/3 dan pidana denda paling banyak sebesar tujuh puluh lima juta rupiah bagi tindakan memerintah, memfasilitasi, dan memanipulasi data kependudukan, serta dijatuhi pidana yang sama ditambah 1/3 dan denda maksimal lima puluh juta rupiah bagi tindakan memalsukan dokumen sebagaimana dijelaskan dalam pasal 98 UU Administrasi Kependudukan. Pemalsuan surat domisili apabila dilakukan oleh calon peserta PPDB yang umurnya lebih dari 18 tahun maka dapat dikenakan pidana penjara sebagaimana diatur dalam pasal 263 KUHP dengan ancaman hukuman yakni enam tahun penjara dan bila mana pemalsuan surat domisili dilakukan oleh calon peserta PPDB yang masih dibawah umur maka dilakukan upaya diversi sebagaimana amanat dari UU SPPA dan UU Perlindungan Anak, diversi ini dapat berbentuk pengembalian kembali anak kepada orang tua untuk dibimbing, anak melakukan kerja sosial terhadap masyarakat, dan pelatihan edukasi kepada anak oleh lembaga pendidikan atau lembaga sosial
IV. Kesimpulan
Pelaku pemalsuan surat domisili dalam PPDB dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila pelaku yang bersangkutan telah memenuhi unsur – unsur dalam pertanggungjawaban pidana, unsur – unsur tersebut yakni adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, kemampuan bertanggungjawab serta tidak adanya alasan pemaaf. Bagi orang tua/wali siswa yang melakukan pemalsuan surat domisili dapat dikenai pasal 263 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun. Pejabat negara yang ikut serta melakukan tindakan pemalsuan surat domisili dapat dikenai pasal 55 dan 56 KUHP yang menjelaskan terkait tindakan “turut melakukan dan upaya membantu” selain itu pelaku dari unsur pejabat negara juga dapat dikenakan pasal 98 UU Administrasi Kependudukan dengan ancaman pidana enam tahun penjara ditambah 1/3 dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah untuk perbuatan pemalsuan dokumen serta pidana yang sama dan denda paling banyak tujuh puluh lima juta rupiah untuk perbuatan memerintahkan, memfasilitasi dan melakukan manipulasi data kependudukan. Pemalsuan surat domisili yang dilakukan oleh calon peserta PPDB yang usianya diatas 18 tahun dapat dikenai pasal 263 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal enam tahun sedangkan untuk peserta PPDB yang masih dibawah umur dilakukan upaya diversi. Diperlukan pengaturan yang jelas terkait
surat domisili di dalam undang – undang, serta pengaturan surat domisili di dalam peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan dalam hal penggunaan surat domisili sebagai pengganti KK dalam proses sistem penerimaan peserta didik baru. Perlunya sistem pengawasan terpadu dari pihak – pihak yang terkait dalam PPDB agar tidak terjadi kecurangan dengan memalsukan surat keterangan domisili guna mengakali sistem zonasi serta agar terciptanya keadilan bagi seluruh insan masyarakat dan membuat mutu pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Mahmud Marzuki, Peter. (2005), Penelitian Hukum edisi revisi, Jakarta: Prenada Media Group
Saleh, Roeslan. (1983), Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru
Soedarto. (1974), Hukum Pidana IA, Malang: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Brawijaya
Jurnal :
Alin, Failin. "Sistem Pidana dan Pemidanaan di dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia." JCH (Jurnal Cendekia Hukum) 3, no. 1 (2017): 14-31.
Dewi, Made Aprina Wulantika, and Nyoman A. Martana. "Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah." (2015).
Hutahaean, Bilher. "Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak." Jurnal Yudisial 6, no. 1 (2013): 64-79.
Jusmin, Ahmad. "Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan Masyarakat Dalam Pembuatan Surat Keterangan Domisili Di Kelurahan Yabansai Jayapura. " Future: Jurnal Manajemen dan Akuntansi 2, no. 1 (2014): 52-68.
Pangemanan, Jefferson B. "Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia." LEX ET SOCIETATIS 3, no. 1 (2015): 101108
Perdana, Novrian Satria. "Implementasi ppdb zonasi dalam upaya pemerataan akses dan mutu pendidikan." Jurnal Pendidikan Glasser 3, no. 1 (2019): 7892.
Prasetyo, Teguh. "Penerapan Diversi Terhadap Tindak Pidana Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak." Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 1 (2015): 1-14.
Purwanti, Dian. "Efektivitas Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru Sistem Zonasi Bagi Siswa Rawan Melanjutkan Pendidikan (The Effectiveness of New Student Admission of Zoning System Policy for Students Prone to Continue Education)." Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara 5, no. 4 (2019): 1-7.
Purwanti, Dian, Ira Irawati, Jossy Adiwisastra, and Herijanto Bekti. "Implementasi Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru Berdasarkan Sistem Zonasi di Kota Bandung." Jurnal Governansi 5, no. 1 (2019): 12-23.
Rismauli, Ivonne Tiurma. "PENJATUHAN PIDANA TERHADAP ANAK SEJAK DIBERLAKUKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (Kajian Hukum di Pengadilan Negeri Purbalingga)." Jurnal Idea Hukum 3, no. 1 (2017): 596-608
SP, Emy Widya Kusumaningrum, Eko Soponyono, and Budhi Wisaksono. "Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah. " Diponegoro Law Journal 5, no. 3 (2016): 1-19.
Wardhana, Arief Wisnu. "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEMALSUAN SURAT DALAM DOKUMEN KONTRAK. " Doctrinal 4, no. 1 (2019): 958-975.
Wulandari, Desi, Adelina Hasyim, and Yunisca Nurmalisa. "Pengaruh Penerimaan Peserta Didik Baru Melalui Sistem Zonasi Terhadap Prestasi Belajar Siswa." Jurnal Kultur Demokrasi 5, no. 9 (2018): 1-15
Internet :
https://www.liputan6.com/news/read/3997933/sistem-zonasi-ppdb-2019-dapat-keluhan-orangtua-murid diakses tanggal 26 Maret 2020 pukul 21.05 wita
https://mediaindonesia.com/read/detail/244977-ppdb-berbuntut-200-aduan.html diakses tanggal 18 Agustus 2020 pukul 16.38
https://kumparan.com/kumparannews/96-pendaftar-ppdb-di-jateng-dicoret-karena-pakai-domisili-palsu-1rOLTBjoMDq diakses tanggal 18 Agustus 2020 pukul 16.40
Peraturan Perundang – Undangan :
Kitab Undang- Undag Hukum Pidana
Undang- Undag Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2019 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan.
Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.1 Tahun 2020, hlm. 29-43
Discussion and feedback