KEWENANGAN PARALEGAL DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM : PERSPEKTIF PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NO. 22/P/HUM/2018

Arya Made Bayu Permana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

I Putu Rasmadi Arsha Putra, Fakultas Hukum Uniersitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2020.v10.i01.p02

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran jelas mengenai definisi hingga perkembangan Paralegal di Indonesia, dan juga untuk memberikan penjelasan mengenai wewenang Paralegal setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 22/P/HUM/2018. Metode yang digunakan dalam penelitian jurnal ilmiah ini adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan yang menguraikan adanya konflik norma kemudian dikaitkan dengan pendekatan konseptual, serta dalam menganalisis bahan hukum menggunakan teknik deskriptif dan menggunakan teknik analisis kualitatif dengan penulisan secara narasi yang kemudian memuat kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan Paralegal di Indonesia pada awalnya dapat dikatakan mulai dikenal sekitar 1970-an. Melalui Putusan No. 22/P/HUM/2018, yang mengakibatkan Pasal 11 dan 12 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 1 tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum dicabut atau dihapuskan sehingga kewenangan Paralegal tidak lagi dapat berdiri sendiri dalam melakukan kegiatan beracara di Pengadilan. Disarankan kepada pihak Menteri Hukum dan HAM RI untuk membuat suatu peraturan yang lebih jelas lagi mengenai definisi Paralegal, karena hingga saat ini belum ada suatu kejelasan mengenai definisi Paralegal.

Kata kunci : Paralegal, masyarakat, kesejahteraan.

ABSTRACT

This research aims to provide a clear definition of the development of the Paralegal in Indonesia, and also to provide an explanation of the authority of the Paralegal after the ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 22 / P / HUM / 2018. The reserach method used in this journal is a normative judicial research method by collecting primary and secondary legal materials. The approach used is the statute approach which describes the existence of a conflict of norms which is then linked to a conceptual approach, as well as in analyzing legal materials using descriptive techniques and using qualitative analysis techniques with narrative writing which then contains conclusions. The results showed that the development of Paralegals in Indonesia could initially be said to be known around the 1970s. Through Decision Number 22 / P / HUM / 2018, which resulted in Articles 11 and 12 of the Minister of Law and Human Rights Regulation No. 1 of 2018 concerning Paralegal in Providing Legal Aid revoked or abolished so that the authority of the Paralegal can no longer stand alone in conducting legal proceedings in court. It is recommended to the Minister of Law and Human Rights of Republic Indonesia to make a clearer regulation regarding the definition of Paralegal so as to provide clarity about Paralegal because until now there has not been any clarity about the definition of Paralegal.

Keywords : Paralegal, communities, welfare

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Salah satu cita-cita dari didirikannya suatu Negara ialah menjamin adanya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, dalam menjamin kesejahteran masyarakat maka suatu Negara harus membentuk suatu peraturan peundang-undangan atau sistem hukum untuk dapat benar-benar menjamin hal tersebut.

Pasal 1 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, dengan demikian segala aspek yang ada di Indonesia diatur oleh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan jumlah populasi sebanyak kurang lebih 269 juta orang yang memposisikan Indonesia di urutan keempat dalam jumlah penduduk terbesar di seluruh dunia yang secara tidak langsung juga mempertemukan Negara Indonesia dengan dinamika permasalahan penduduknya, baik hal tersebut merupakan permasalahan hukum, budaya, politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain.

Merujuk pada dinamika permasalahan di masyarakat Indonesia khususnya di bidang hukum seharusnya berdampingan dengan peran pemerintah baik dalam ranah eksekutif, yudikatif dan legislatif untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan di masyarakat.

UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 27 ayat (1) menyebutkan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sesuai dengan isi dari pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa warga negara Indonesia seharusnya mendapat hak yang setara tanpa memandang SARA dalam hukum, hal ini juga berkaitan dengan dianutnya asas “equality before the law” oleh sistem hukum di Negara Indonesia yang menjelaskan bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang setara dan tanpa pengecualian di depan hukum. Namun jika di perhatikan dewasa ini maka implementasi Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan juga asas “equality before the law” dapat dikatakan masih jauh dari kata “baik”, dan juga usaha pemerintah dalam memberikan legal aid kepada masyarakat kurang mampu hingga yang terpinggirkan masih belum berjalan mulus.1

Asas “equality before the law” dapat dikatakan sebagai elemen penting dalam prinsip negara hukum. Secara konstitusional di Indonesia pengikraran terhadap asas “equality before the law” tercantum pada isi Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, maknanya adalah bahwa semua orang wajib dan berhak mendapat perlakukan yang tidak berat sebelah di hadapan hukum baik jika diperhatikan melalui sudut pandang gender maupun kedudukan-kedudukan yang dianggap terbelakang seperti kaum difabel, masyarakat miskin dan juga golongan minoritas dan lain-lainnya. Hal ini sangat kuat hubungannya dengan hak untuk menerima legal aid khususnya kepada masyarakat yang dikategorikan sebagai golongan kurang mampu selaku hasil untuk menjamin keadilan bagi semua orang.2

Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan terobosan dengan dibuatnya UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang sejatinya merupakan suatu angin segar bagi seluruh elemen masyarakat yang ingin mendapatkan keadilan, dan juga sebagai usaha negara untuk penjaminan hak konstitusional warga negara dalam memperoleh akses kesamaan dan keadilan di muka hukum. 3

Dengan diberlakukannya UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum di latar belakangi oleh keinginan untuk memenuhi harapan dan impian Negara dalam menjaga hak konstitusional semua orang dalam hal memperoleh perlindungan, jaminan, kepastian serta pengakuan hukum yang setara serta diberlakukan secara tidak pandang bulu di ranah hukum sebagai wadah dalam perlindungan hak asasi, dan juga karena Negara harus menjamin responsibilitas atas pemberian bantuan hukum dan pembelaan bagi masyarakat kurang mampu sebagai manifestasi terhadap akses terjaminnya keadilan, serta klasifikasi mengenai legal aid yang dijalankan oleh Negara atau pemerintah harus berkiblat pada terciptanya kehidupan bermasyarakat yang sejahtera, sehingga pemberian bantuan hukum akan sesuai dan tepat sasaran.4

Legal aid atau bantuan hukum menjadi suatu cara untuk membantu seseorang yang kurang mampu khususnya di lingkup hukum dan lingkup ekonomi. Legal aid di Indonesia dewasa ini masih sangat kurang mendapat perhatian, sehingga tak heran jika mulai timbul mosi tidak percaya terhadap aparat penegak hukum oleh masyarakat yang menuntut keadilan.5

Sudah selayaknya setiap orang yang memiliki permasalahan di bidang hukum memiliki akses untuk memperoleh keadilan (acess to justice) yang diwujudkan melalui bantuan hukum. Akses untuk memperoleh keadilan tidak terkecuali terhadap masyarakat yang tergolong miskin. 6

Selain diundangkannya UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia mengeluarkan suatu Peraturan Menteri, yakni PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Memberi Bantuan Hukum yang bertujuan untuk memberikan legal aid Kepada masyarakat yang kurang mampu, namun terdapat berbagai permasalahan setelah diberlakukannya PERMENKUMHAM tersebut, dimana PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum bersifat kontradiktif dengan UU diatasnya yakni UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat.

Kehadiran Paralegal sebenarnya membawa harapan dalam menjamin keadilan bagi masyarakat kurang mampu, namun para Advokat keberatan dengan wewenang Paralegal yang diatur pada PERMENKUMHAM tersebut sehingga mengajukan keberatan uji materiil ke MA Republik Indonesia, dengan alasan bahwa Paralegal seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan beracara di Pengadilan.

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang memiliki pokok bahasan yang mirip, yang membahas mengenai kewenangan atau peran Paralegal sebagai bahasan utama. Penelitian terdahulu yang dijadikan bahan acuan adalah penelitian yang berjudul “Peran Paralegal Dalam Perlindungan Serta Pemenuhan Hak Hukum Masyarakat” yang dilakukan oleh Neo Adhi Kurniawan yang telah diterbitkan dalam Jurnal Praksis dan Dedikasi, Universitas Negeri Malang pada tahun 2020 yang membahas mengenai peran paralegal dalam hal memberi bantuan hukum untuk melindungi hak hukum masyarakat. Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang berjudul “Eksistensi Paralegal Dalam Mengoptimalkan Pemberian Bantuan Hukum Berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum” yang dilakukan oleh Gede Agung Wirawan Nusantara yang diterbitkan dalam Jurnal Magister Hukum, Universitas Udayana pada tahun 2016 yang membahas mengenai batasan kewenangan paralegal dalam memberikan bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Penelitian berikutnya adalah penelitian yang berjudul “Dampak Peniadaan Paralegal Dalam Perlindungan Hukum Kepada Kelompok Masyarakat Miskin Pasca Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 22/P/HUM/2018” yang dilakukan oleh Jeffri Pri Martono yang diterbitkan dalam Law Review, Universitas Pelita Harapan pada tahun 2019 yang membahas mengenai akibat dari peniadaan paralegal dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin pasca putusan Mahkamah Agung No. 22/P/HUM/2018. Mengacu pada beberapa penelitian terdahulu oleh peneliti lainnya, maka pada penelitian kali ini akan lebih berfokus pada definisi hingga perkembangan Paralegal khususnya di Indonesia dan selain itu juga akan berfokus pada kewenangan Paralegal setelah pihak Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 22/P/HUM/2018, sehingga akan memberikan daya tarik tersendiri untuk menjawab kesimpangsiuran mengenai kewenangan Paralegal dalam pemberian legal aid/bantuan hukum kepada seluruh masyarakat baik yang kurang mampu hingga kaum-kaum marjinal.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Sesuai dengan deskripsi latar belakang diatas, maka terdapat beberapa permasalahan yang akan dikaji sehingga menghasilkan kesimpulan yang memiliki nilai ilmiah, sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana perkembangan Paralegal selaku pemberi bantuan hukum di Indonesia ?

  • 2.    Bagaimana kewenangan Paralegal setelah dikeluarkannya putusan MA No. 22/P/HUM/2018 ?

  • 1.3    Tujuan penulisan

Penulisan jurnal ilmiah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai bagaimana perkembangan Paralegal selaku pemberi bantuan hukum di Indonesia dan juga mengenai apa saja kewenangan Paralegal setelah dikeluarkannya Putusan MA No. 22/P/HUM/2018.

  • 2.    Metode Penelitian

Dalam pembuatan jurnal ilmiah ini, metode yang digunakan adalah metode kajian/penelitian hukum normatif, yang mengeksplorasi hukum dari perspektif internal dengan sasaran kajiannya adalah norma hukum. 7 Dalam penulisan jurnal

ilmiah ini mengggunakan teknik statute approach atau pendekatan perundang-undangan yang melakukan pendekatan akibat adanya konflik vertikal, yakni konflik antara peraturan UU yang lebih rendah terhadap UU yang lebih tinggi. 8 Kemudian dikaitkan dengan pendekatan konseptual (Conseptual Approach) yang berperan untuk mengelaborasi dan menelaah problem penelitian yang bermula dari adanya kekosongan norma, yang maknanya pada suatu sistem hukum yang diberlakukan belum diberlakukannya norma dari suatu peraturan perundang-undangan yang dapat aplikasikan.9 Dalam kajian ini adalah PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Memberi Bantuan Hukum yang dianggap kontradiktif dengan UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat serta perlunya pengaturan mengenai definisi Paralegal dikarekan belum dibuatnya suatu peraturan di Indonesia yang mengatur secara tegas mengenai definisi Paralegal. Dalam pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder. Analisis study yang digunakan adalah teknik deskriptif yang menjabarkan secara realistis tentang suatu situasi hukum, yakni suatu peraturan UU yang bersifat kontradiktif dengan UU lainnya dengan mengutip pasal-pasal terkait sesuai dengan realitanya.10 Serta menggunakan teknik analisis kualitatif dengan penulisan secara narasi yang kemudian memuat kesimpulan.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Perkembangan Paralegal selaku pemberi bantuan hukum di Indonesia

Hingga dewasa ini, deskripsi mengenai Paralegal masih belum serupa. beberapa masih ada yang menyatakan Paralegal semacam “Pokrol Bambu”. “Pokrol Bambu” merupakan seseorang yang berhak memberi masukan dan wejangan hukum namun belum memperoleh kapabilitas atau belum pernah mengikuti study hukum. Awalnya “Pokrol Bambu” menjadi pemeran sangat urgen dalam pemberian bantuan hukum karena sebagian orang merasa seakan tersekat dengan pengacara yang sudah bersertifikasi. Paralegal yang khusus berada di komunitas atau desa tertentu berperan sebagai pionir terdepan dalam penanganan problematika di luar pengadilan. 11

Black’s Law Dictionary mendefinisi paralegal sebagai “a person with legal skills, but who is not an attorney, and who works under the supervision of a lawyer or no is otherwise authorized by law to use those legal skills”. Paralegal hampir sama dengan pekerjaan seorang yang bekerja di kantor-kantor pengacara, notaris. Di dalam konsep beberapa negar di Eropa dan Amerika, dapat ditemukan bahwa definisi siatas sejalam dengan praktik system bantuan hukum terkait paralegal di kedua Negara tersebut. 12

Paralegal pada saat ini memerankan fungsi yang strategis dan vital dalam gerakan pemberdayaan hukum di Masyarakat. Sejatinya Paralegal berperan sebagai jembatan atau perantara masyarakat yang mencari keadilan dan LBH, yang dimana Paralegal menjalankan peran penting dalam upaya melindungi hak dan kepentingan masyarakat lokal khususnya masyarakat miskin dan kaum-kaum marjinal mengingat posisi

paralegal yang lahir dan terikat langsung dengan komunitas yang ada dan hidup dalam masyarakat.

Jika diperhatikan dalam cakupan global, Paralegal mengacu pada seorang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi hukum (minimal bergelar S.H), yang tugasnya adalah membantu Advokat menjalankan pekerjaannya. Paralegal dalam tugasnya berkewajiban membantu pekerjaan Advokat untuk menyelesaikan kasus-kasus dalam upaya membela kepentingan hukum para klien yang mencari keadilan.

Sebenarnya paralegal adalah orang membantu advokat dalam mengurus klien yang memiliki problematika hukum. Sebagian negara adidaya seperti Amerika Serikat, para yuris mengamini bahwa Paralegal merupakan suatu profesi yang kedudukannya berada dalam kontrol pengacara. Namun, di Britania Raya diartikan sebagai suatu jasa yang tidak dapat disebut sebagai pengacara tetapi memiliki kewenangan dalam pemberian legal service terlepas dari siapa yang mengerjakannya. Namun pada dasarnya belum ada penjelasan yang selaras mengenai peran, status, pekerjaan, kondisi dan syarat kerja, pelatihan, peraturan-peraturan atau apapun mengenai paralegal sehingga setiap otoritas harus memandang melalui sudut pandang masing-masing.13

Berbagai organisasi hukum terkenal di dunia menganjurkan definisi resmi paralegal yang memiliki sedikit perbedaan. Definisi yang dianjurkan adalah :

  • 1.    National Association of Licensed Paralegals Britania Raya mendeskripsikan paralegal sebagai : “Seseorang yang dididik dan dilatih untuk melakukan tugas-tugas hukum, tetapi yang tidak memenuhi syarat pengacara atau pengacara”.

  • 2.    ABA (American Bar Association) sendiri menyebutkan bahwa paralegal: “adalah orang yang memenuhi syarat dengan pendidikan dan pelatihan atau pengalaman kerja di kantor pengacara, kantor hukum, korporasi, badan pemerintah, atau badan lainnya yang melakukan pekerjaan legal substansif yang didelegasikan kepadanya namun dibawah tanggung jawab langsung pengacara.” Dalam hal ini mendeskripsikan bahwa profesi paralegal berpijak langsung di bawah pengacara untuk melaksanakan kewajiban hukum.

  • 3.    From the National Federation of Paralegal Associations (NFPA) Amerika Serikat mendeskripsikan sebagai berikut, “paralegal adalah kualifikasi orang telah menempuh pendidikan, training dan pengalaman kerja untuk melakukan pekerjaan legal substanstif yang memerlukan pengetahuan menganai konsep hukum dan yang lazimnya, namun tidak secara ekslusif dilakukan oleh pengacara. Paralegal bisa dipekerjakan di oleh pengacara, kantor hukum, badan pemerintah atau yang lainnya atau dapat diberi wewenang oleh undang-undang, pengadilan untuk melakukan pekerjaannya. Secara substantif pekerjaan ini perlu pengakuan, evaluasi, organisari, analisis dan komunikasi fakta yang relevan dan konsep hukum”.

  • 4.    National Association of Legal Assistants (NALA) Amerika Serikat, yang mendefinisikan Paralegal sebagai asisten legal “adalah orang yang membantu pengacara dalam menyampaikan jasa hukum. melalui pendidikan formal, training dan pengalaman, paralegal mempunyai pengetahuan dan keahlian mengenai sistem hukum substantif dan hukum prosedural serta memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan yang bersifat hukum di bawah pengawasan seorang pengacara”. NALA mengadopsi definisi ABA pada tahun 2001, yakni paralegal atau pembantu hukum sebagai definisi tambahan.14

Paralegal juga sering disebut dengan istilah Legal Assistant hal ini dikarenakan tugas pokok dari seorang Paralegal adalah membantu Advokat, namun jika diperhatikan di Indonesia keberadaan Paralegal mengikuti bagaimana keadaan di daerah yang tidak bisa di abaikan yang masih banyak kekurangan jumlah tenaga pemberi bantuan hukum, disanalah Paralegal akan berperan mengadvokasi Masyarakat.

Perkembangan paralegal mengemuka sekitar tahun 1970-an. Saat itu LSM-LSM di Indonesia mulai merealisasikan agenda-agenda penyadaran potensi dan hak-hak masyarakat kurang mampu. Seiring dengan berkembangnya jaman paralegal diilustrasikan sebagai seseorang yang tidak seharusnya menjadi seorang sarjana hukum atau seseorang yang tidak mengeyam dunia pendidikan hukum diperguruan tinggi. Namun paralegal diharuskan untuk turut serta mengikuti pendidikan khusus keparalegalan tentang sistem dan dasar hukum, hak asasi manusia dasar, keterampilan hukum dan pengorganisiran. 15

Seiring dengan berkembangnya jaman dan juga munculnya berbagai dinamika di Indonesia, Paralegal akhirnya dianggap sebagai bagian dari sistem penegakan hukum yang bertujuan dalam memperjuangkan kesetaraan hak seluruh masyarakat yang dimana main point-nya adalah masyarakat kurang mampu (miskin) dan juga masyarakat yang tertinggal (kaum-kaum marjinal).

  • 3.2    Kewenangan Paralegal Pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung Nomor 22/P/HUM/2018

Pada umumnya Paralegal diwajibkan berbekal wawasam hukum dan kompetensi dasar di ranah hukum dan HAM. Biasanya Paralegal sudah berbekal kemahiran di bidang LSM.16

Kewenangan Paralegal dalam memberikan legal aid atau bantuan hukum terlebih dahulu diatur dalam UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang dimana tepatnya pada Pasal 10 huruf (c) yang menyebutkan bahwa “pemberi bantuan hukum diberikan hak melakukan rekruitmen terhadap advokat, paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum”. Secara sederhana pasal ini menjelaskan paralegal sudah mengantongi pengesahan secara hukum sehingga keberadaannya harus dianggap oleh institusi terkait di Indonesia.

Kemudian kewenangan Paralegal mendapat “upgrade” yakni dengan diundangkannya PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 tepatnya pada Pasal 11, 12, dan 13. Pasal 11 PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum berbunyi “Paralegal dapat memberikan bantuan hukum secara litigasi dan nonlitigasi setelah terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum dan mendapatkan sertifikat pelatihan Paralegal tingkat dasar”.

Kewenangan Paralegal diatur lebih lanjut lagi pada Pasal 12 PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 pada Ayat (1) yang berbunyi “Pemberian Bantuan Hukum secara litigasi oleh Paralegal dilakukan dalam bentuk pendampingan advokat pada lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang sama”. Juga pada Ayat (2) yang berbunyi “Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyidikan, dan penuntutan; b. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam

proses pemeriksaan di persidangan; atau c. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap Penerima Bantuan Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara”. Dan pada Ayat (3) menjelaskan bahwa “pemberian bantuan hukum secara litigasi oleh Paralegal harus dibuktikan dengan surat keterangan pendampingan dari advokat yang memberikan bantuan hukum”.

Kemudian pada Pasal 13 mengatur lebih lanjut lagi mengenai kewenangan Paralegal dalam Pemberian Legal Aid secara non litigasi (diluar pengadilan), yang dimana Pasal 13 berbunyi “Pemberian Bantuan Hukum secara nonlitigasi oleh Paralegal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan melalui kegiatan: a) penyuluhan hukum; b) konsultasi hukum; c) investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik; d) penelitian hukum; e) mediasi; f) negosiasi; g) pemberdayaan masyarakat; h) pendampingan di luar pengadilan; dan/atau i) perancangan dokumen hukum”.

Setelah dikeluarkannya PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018, banyak kalangan berpendapat bahwa hal ini merupakan suatu kemajuan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia dan juga dalam upaya penjaminan kesamaan hak setiap orang di hadapan hukum di Indonesia, hal ini dikarenakan semakin banyak elemen yang dapat menjamin bantuan hukum baik melalui jalur pengadilan atau diluar pengadilan.

Namun sistem norma hukum di Indonesia yang berbentuk hierarki, norma hukum yang ditetapkan berkedudukan dalam suatu pola yang bertingkat-tingkat, berkelompok, sekaligus berlapis. Yang berarti bahwa, norma hukum tersebut berdasar dan bersumber pada norma hukum diatasnya, seterusnya sampai pada staatfundamentalnorm negara Indonesia, yaitu: Pancasila. Hierarki dalam sistem hukum ini bertujuan untuk memposisikan kedudukan masing-masing formasi norma hukum mulai dari yang norma hukum yang paling rendah hingga yang paing tinggi tingkatannya. Akibat dari hierarki hukum adalah jika terdapat norma yang bersifat kontradiktif, maka yang diberlakukan adalah yang mempunyai kedudukan lebih tinggi. Dalam kondisi ini diberlakukan asas hukum “lex superiori derogat legi inferiori” yang memiliki makna bahwa hukum yang tingkatannya lebih tinggi menyingkirkan hukum yang tingkatannya lebih rendah. Disisi lain, imbas dari adanya suatu hierarki hukum adalah keselarasan antar berbagai strata hukum, dalam definisi bahwa antar norma hukum dalam strata/tingkatan yang setara tidak boleh berujung kontradiktif. 17

Letak Peraturan Menteri yang dibuat setelah diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, baik yang dibuat melalui amanat UU diatasnya maupun yang dibuat atas landasan otoritas di lingkup u pemerintahan tertentu seperti menteri, berkedudukan sebagai peraturan perundang-undangan. Berpatokan dengan hal tersebut, Peraturan Menteri mempunyai power hukum yang karakternya mengikat publik dan dapat digunakan sebagai sasaran uji materiil oleh MA, apabila dinyatakan kontradiktif dengan UU yang ada atau lebih tinggi kedudukannya.18

Jika diperhatikan, PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 tersebut bersifat kontradiktif dengan norma yang dianut UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat. Pasal-pasal yang bertentangan dengan UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat adalah sebagai berikut :

Pasal 4 PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 bersifat kontradiktif dengan Pasal 3 UU No. 1 tahun 2003 tentang Advokat. Dimana Pasal 4 huruf b dan c tersebut

mengatur mengenai keharusan bagi seseorang yang hendak menjadi Paralegal dalam memiliki kemampuan dalam mengadvokasi masyarkat dan juga minimal usia bagi seseorang yang hendak menjadi Paralegal minimal 18 tahun. Pasal ini dianggap berkonflik dengan Pasal 3 UU Advokat yang mengatur mengenai syarat-syarat seseorang yang hendak menjadi Advokat, jika ditarik kedalam garis besar seperti harus berusia minimal 25 (dua pulih lima) tahun, memiliki ijazah sarjana hukum dan juga minimal magang 2 tahun terus-menerus di kantor Advokat. Jika diperhatikan memang hal tersebut merugikan Advokat dimana seseorang yang hendak menjadi Advokat harus menempuh jenjang pendidikan yang lebih lama dan lebih berat dibandingkan Paralegal, hal ini tentu saja menjadi tidak sebanding dengan Paralegal yang memikul beban yang lebih ringan jika dilihat dari minimal riwayat pendidikan dan juga minimal usia apabila Paralegal berhak berdiri sendiri di ruang sidang.

Selanjutnya terdapat pertentangan antara Pasal 11 dan 12 PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (1) dan (2) UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat, dimana Pasal 11 dan 12 tersebut mengatur hal-hal sebagai berikut, Pasal 11 yang berbunyi “Paralegal dapat memberikan Bantuan Hukum secara litigasi dan nonlitigasi setelah terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum dan mendapatkan sertifikat pelatihan Paralegal tingkat dasar”, dan Pasal 12 Ayat (1) yang berbunyi ”Pemberian Bantuan Hukum secara litigasi oleh Paralegal dilakukan dalam bentuk pendampingan advokat pada lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang sama”, pada Ayat (2) berbunyi “Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliput: a) pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyidika, dan penuntutan; b) pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di persidangan; atau c) pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap Penerima Bantuan Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara”, dan Ayat (3) yang berbunyi “Pendampingan advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan surat keterangan pendampingan dari advokat yang memberikan bantuan hukum”.

Pasal 11 dan 12 tersebut menyebabkan Paralegal mengambil alih posisi advokat dan tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”; dan Ayat (2) yang berbunyi “Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”;

Dengan penjabaran Pasal 11 dan 12 PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 dan juga Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, dapat dikatakan dengan jelas bahwa Pasal 4, 11 dan 12 PERMENKUMHAM nomor 1 tahun 2018 mengakibatkan kerugian terhadap pihak pemohon atau para Advokat, kerugian yang dimaksud adalah mengakibatkan kedudukan Paralegal setara dengan Advokat dan juga secara tidak langsung akan menimbulkan kebingungan di masyarakat mengenai apa perbedaan antara Paralegal dan Advokat dikarenakan Paralegal memiliki kewenangan yang sama dengan Advokat dalam kegiatan beracara di Pengadilan atau beracara di jalur Litigasi.

Di sisi lain, tidak sedikit juga yang pro terhadap PERMENKUMHAM tersebut dengan alibi bahwa ini merupakan titik balik dari kurang efektifnya pemberian legal aid yang dapat tersalurkan kepada masyarakat kurang mampu, dimana paralegal sejatinya dapat menjadi angin segar bagi masyarakat yang berpredikat kurang mampu (dalam segi biaya) hingga masyarakat marjinal dalam memperoleh legal aid secara cuma-cuma untuk mendapatkan jaminan keadilan.

Hingga pada akhirnya pihak MA melalui putusan No. 22/P/HUM/2018 yang isinya menyepakati keberatan uji materiil oleh para pemohon (Advokat). Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya keresahan dikalangan Advokat yang beranggapan bahwa PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018, para pemohon beranggapan bahwa Paralegal yang pada hakikatnya merupakan asisten Advokat dalam praktek beracara atau litigasi justru dengan dikeluarkannya PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 tentang Paralegal menyebabkan Paralegal memiliki kedudukan yang setara dengan profesi Advokat.

Dalam putusan tersebut kewenangan Paralegal di “downgrade” dimana Paralegal hanya berhak dalam memberikan legal aid melalui jalur non litigasi sesuai dengan apa yang diatur pada Pasal 13 PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 yang dilakukan melalui kegiatan seperti konsultasi dan penyuluhan hukum, investigasi perkara (elektronik maupun non elektronik), eksplorasi hukum, menjadi pihak ketiga dalam hal mediasi serta negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan secara non litigasi, dan penyusunan dokumen hukum, serta membantu profesi Advokat sebagaimana halnya peran Paralegal di sebagian Negara maju di dunia sehingga Paralegal dapat melakukan kegiatan pembelaan di pengadilan tanpa kontrol langsung dari Pengacara. Melalui putusan nomor 22/P/HUM/2018. Sehingga dengan jelas bahwa Paralegal tidak memiliki kewenangan dalam kegiatan pembelaan di meja hijau atau pengadilan selain berada di bawah kontrol oleh profesi Advokat.

Memang tidak dapat dipungkiri, PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 memicu kegaduhan hingga kecemburuan di kalangan profesi Advokat, hal ini dikarenakan setiap orang yang hendak menjadi Paralegal hanya perlu mengikuti pelatihan Paralegal untuk bisa melakukan kegiatan beracara di pengadilan sedangkan profesi Advokat memerlukan minimal pendidikan S1 Ilmu Hukum dan pendidikan Advokat untuk bisa melakukan kegiatan beracara di Pengadilan, dengan ini juga keputusan MA dalam mengabulkan keberatan uji materiil dirasa sudah tepat dikarenakan Paralegal sejatinya tidak berhak berdiri sendiri dalam melakukan kegiatan beracara di pengadilan.

Keberadaan Paralegal akan tetap dianggap sebagai elemen pendukung profesi Advokat di Indonesia. Juga sebagai pendukung penegakan hukum yang berujung pada terciptanya keadilan dimasyarakat, dan dalam hal penjaminan bantuan hukum bagi masyarakat tanpa adanya unsur tebang pilih. 19

Kehadiran Paralegal khususnya di Indonesia dapat membantu pemerintah dalam upaya penjaminan keadilan. Dengan adanya pemberian legal aid bagi masyarakat kurang mampu hingga golongan yang termarjinalkan yang akan meengejawantahkan kesetaraan due process of law, yang secara otomatis akan menjamah keadilan kepada semua elemen tanpa memandang latar belakang orang tersebut (justice for all).20 Dan dengan dibatalkannya Pasal 11 dan 12 PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 melalui Putusan MA Nomor 22/P/HUM/2018 secara langsung mengharuskan seorang advokat untuk mengetahui dengan pasti bahwa advokat harus melaksanakan

kewajibannya sesuai dengan UU nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat tepatnya pada Pasal 22 terkait dengan pemberian bantuan hukum secara prodeo.21

  • 4.    Kesimpulan

Paralegal sejatinya berperan sebagai komponen yang membantu masyarakat miskin maupun masyarakat tertinggal (kaum marjinal) demi menjamin kesejahteraan dan keadilan mereka. Perkembangan Paralegal di Indonesia pada awalnya dapat dikatakan mulai dikenal sekitar 1970-an. Yang sejalan dengan agenda-agenda sivilisasi potensi dan hak-hak masyarakat kurang mampu atau masyarakat yang tertinggal. Hingga pada akhirnya Paralegal dianggap sebagai salah satu elemen yang diharapkan dapat menjamin kesetaraan hak dalam memperoleh keadilan bagi seluruh masyarakat miskin dan juga kaum-kaum marjinal.

Kewenangan Paralegal pada awalnya hanya sekedar membantu tugas profesi Advokat di Indonesia, namun setelah Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia mengeluarkan PERMENKUMHAM nomor 1 tahun 2018 yang dimana kewenangan Paralegal mendapat “Upgrade” dimana Paralegal memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan beracara di Pengadilan atau beracara di jalur Litigasi, yang dimana menimbulkan kegaduhan di kalangan Advokat yang merasa bahwa PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum khususnya pada Pasal 11 dan 12 bertentangan dengan UU diatasnya yakni UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat. Dapat dikatakan dengan jelas bahwa Pasal 11 dan 12 tersebut mengakibatkan kerugian terhadap pihak pemohon atau para Advokat, kerugian yang dimaksud adalah mengakibatkan kedudukan Paralegal setara dengan Advokat dan juga secara tidak langsung akan menimbulkan kebingungan di masyarakat mengenai apa perbedaan antara Paralegal dan Advokat dikarenakan Paralegal memiliki kewenangan yang sama dengan Advokat dalam kegiatan beracara di Pengadilan atau beracara di jalur Litigasi.

Berkaca dengan hal tersebut, pada akhirnya MA Republik Indonesia meyepakati keberatan uji materiil para pemohon (Advokat) melalui Putusan No. 22/P/HUM/2018, yang mengakibatkan Pasal 11 dan 12 PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018 dicabut atau dihapuskan sehingga kewenangan Paralegal tidak lagi dapat berdiri sendiri dalam melakukan kegiatan beracara di Pengadilan melainkan hanya dapat melalukan pemberian bantuan hukum secara non litigasi sesuai dengan Pasal 13 PERMENKUMHAM No. 1 tahun 2018.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Diantha, I. Made Pasek, and MS SH. Metodologi penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum. Prenada Media, 2016.

Sigalingging, Abdul Azis. "Paralegal Berbasis Organisasi Rakyat. " Aktor Kunci Gerakan Bantuan Hukum Berbasis Komunitas, Padang, LBH Padang (2015).

Warjiyati, Sri. "Modul Panduan Advokasi bagi Paralegal." (2019).

Jurnal Ilmiah

Angga, Angga, and Ridwan Arifin. "Penerapan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Kurang Mampu di Indonesia." DIVERSI: Jurnal Hukum 4, no. 2 (2019).

Arliman, Laurensius. "Pendidikan Paralegal Kepada Masyarakat Sebagai Bentuk Perlindungan Anak Yang Berkelanjutan." UIR Law Review 1, no. 01 (2017).

Budijanto, Oki Wahju. "Peningkatan Akses Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Miskin (Intensify Access of Law AIDS to the Poor). " Jurnal Penelitian Hukum DE JURE 16, no. 4 (2017).

Kurniawan, Neo Adhi. "PERAN PARALEGAL DALAM PERLINDUNGAN SERTA PEMENUHAN HAK HUKUM MASYARAKAT." Jurnal Praksis dan Dedikasi Sosial (JPDS) 3, no. 1 (2020).

Lailam, Tanto. "Konstruksi Pertentangan Norma Hukum dalam Skema Pengujian Undang-Undang. " Jurnal Konstitusi 11, no. 1 (2016).

Martono, Jeffri Pri. "DAMPAK PENIADAAN PARALEGAL DALAM PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KELOMPOK MASYARAKAT MISKIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 P/HUM/2018." Law Review 18, no. 3 (2019).

Muhlizi, Arfan Faiz. "Penguatan Peran Tokoh Adat Sebagai Paralegal dalam Memberikan Bantuan Hukum. " Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 8, no. 1 (2019).

Nusantara, Gede Agung Wirawan. "Eksistensi Paralegal Dalam Mengoptimalkan Pemberian Bantuan Hukum Berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. " Udayana Master Law Journal 5, no. 2 (2016).

Rahmat, Diding. "Implementasi Kebijakan Program Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Kabupaten Kuningan." UNIFIKASI: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 1 (2017).

Rosalina, Maria. "Aspek Hukum Paralegal Sebagai Pemberi Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Miskin Dan Marginal Dalam Mencari Keadilan. " Jurnal Hukum Kaidah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat 17, no. 2 (2018).

RUMIARTA, I. NYOMAN PRABHU BUANA. "Kedudukan Peraturan Menteri pada Konstitusi." Kerta Dyatmika 12, no. 2 (2015).

Sihombing, Eka NAM. "Eksistensi Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin." Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum 6, no. 1 (2019).

Taufik, Ade Irawan. "Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara Dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 2, no. 1 (2013).

Wahyudi, Putu Chahya, and Ida Bagus Wyasa Putra. "PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ORANG MISKIN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 49, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4288

Undang-undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Bantuan Hukum, Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 104, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5248

Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 22/P/HUM/2018

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.1 Tahun 2020, hlm. 17-28