ISSN 2722-7286

Jurnal

FAPET UNUD


Jurnal


Peternakan Tropika

Journal of Tropical Animal Science

email: [email protected]

Submitted Date: October 1, 2020

Accepted Date: November 1, 2020


Editor-Reviewer Article : Eny Puspani & A.A. Pt. Putra Wibawa

PENGARUH PENYEMPROTAN LARUTAN AIR GARAM

TERHADAP DAYA TETAS TELUR ITIK HIBRIDA

Sutiyo, R. A., M. Wirapartha., G. A. M. Kristina Dewi

PS Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali Email : [email protected], Telepon : +6282350710136

ABSTRAK

Penelitian dilakukan di rumah Bapak Budiono di Desa Sidorejo, Kecamatan Rowokangkung, Kabupaten Lumajang, dan penelitian berlangsung selama 1,5 bulan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan dan masing-masing ulangan berisi 15 butir telur. Perlakuan P0 sebagai kontrol (telur itik disemprot dengan air hangat 38 oC), P1 (telur itik disemprot dengan larutan garam dengan dosis 10 g/liter air hangat 38 oC), P2 (telur itik disemprot dengan

larutan garam dengan dosis 20 g/liter air hangat 38 oC), P3 (telur itik disemprot dengan

larutan garam dengan dosis 30 g/liter air hangat 38 oC). Variabel yang diamati adalah bobot telur, indeks telur, fertilitas, penyusutan telur, bobot DOD, mortalitas, dan daya tetas. Hasil penelitian menunjukan pengaruh penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam pada perlakuan P0, P1, dan P3 tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap bobot telur, indeks telur, fertilitas, penyusutan telur, dan bobot DOD, tetapi pada perlakuan P2 berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap mortalitas dan daya tetas. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengaruh penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam pada konsentrasi kontrol (P0), 10 g/liter air hangat 38 oC (P1), dan 30 g/liter air hangat 38 oC (P3) tidak berpengaruh terhadap bobot telur, indeks telur, fertilitas, penyusutan, dan bobot DOD, tetapi konsentrasi garam 20 g/liter air hangat 38 oC (P2) menurunkan mortalitas embrio selama proses penetasan dan meningkatkan daya tetas telur.

Kata kunci : daya tetas, mesin tetas, penyemprotan air garam, telur itik

THE EFFECT OF SALT SPRAYING ON THE HATCHABILITY PERFORMANCE OF THE HYBRID DUCK EGGS

ABSTRACT

This research hass been done in Mr. Budiono house which stay in Sidorejo Village, Rowokangkung District, Lumajang City, and this research in 1,5 mounth. This research progam is used Completely Randomized Design (CRD) with 4 treatment and 4 repetition and


the contained in every repetition is 15 egg duck. P0 treatment as control (duck egg sprayed with warm water 38 oC), P1 (salt solution with dose 10 g/liter warm water 38 oC), P2 (salt solution with dose 20 g/liter warm water 38 oC), P3 (salt solution with dose 30 g/liter warm water 38 oC). The variable observed is egg weight, eeg indexs, fertility, egg shrinkage, DOD weight, mortality and hatchability. The result of research indicate the influence of spraying hybrid duck eeg with salt water to P0, P1 treatment and P3 not diffirent obvious (P>0,05) toward eeg weight, eeg index, fertility, eeg shrinkage and DOD weight but on P2 treatment real influence (P<0,05) toward mortality and hatchability. The conclusion of this research is influence of spraying hybrid egg duck with salt water on control consentration (P0), 10 g/liter warm water 38 oC (P1), and 30 g/liter warm water 38 oC (P3) hass not effect toward egg weight, egg index, fertility, shrinkage and DOD weight, but salt consentration 20 g/liter warm water 38 oC (P2) reduce embrio mortality during hatchability processed and increase egg hatchability.

Keywords : hatchability, hatching machine, salt water spraying, duck egg

PENDAHULUAN

Ternak itik memiliki peran penting sebagai penyedia protein hewani berupa daging dan telur. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan masyarakat terhadap daging dan telur itik cenderung meningkat, tetapi tidak diimbangi dengan ketersediaan pasokan produksi yang mencukupi (Alkhakim et al., 2016). Menurut Direktorat Jendral Peternakan dan kesehatan hewan (2016), tingkat konsumsi bahan pangan sumber protein hewani semakin meningkat seiring meningkatnya pendapatan masyarakat, progam peningkatan populasi ternak menjadi progam prioritas pemerintah. Peningkatan produksi daging diantaranya adalah, ayam buras 5,26 %, ayam ras petelur 2,86 %, ayam ras pedaging 3,76 %, dan itik 4,28 %. Sedangkan dalam hal produksi telur, tercatat peningkatan produksi telur pada ayam buras sebanyak 2,83 %, ayam ras petelur 4,03 %, dan itik 4,16 %. Penggunaan mesin tetas sebagai media penetasan telur itik sudah banyak dilakukan, tetapi seringkali daya tetas telur itik rendah dikarenakan rendahnya higienitas telur tetas itik (Alkhakim et al., 2016).

Menurut Subiharta dan Yuwana (2012), prinsip penetasan telur dengan mesin tetas adalah menyediakan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan embrio, yakni meniru sifat-sifat alamiah induk ayam atau unggas lainnya. Ditambahkan juga oleh Wirapartha et al., (2012), ada lima prinsip yang mempengaruhi proses perkembangan embrio dan daya tetas yang tinggi dalam proses penetasan telur : 1) Sanitasi/kebersihan mesin tetas dan telur tetas yang baik, 2) Suhu yang optimal untuk perkembangan embrio, 3) kelembaban, 4) Pemutaran telur, 5) Ventilasi yang cukup baik untuk mengatur udara (kesesuaian suplai O2 dan pembuangan CO2).

Mesin tetas yang umum digunakan peternak dengan skala usaha kecil di daerah pedesaan adalah mesin tetas sederhana dengan kapasitas terbatas. Sumber panas yang digunakan dari listrik atau lampu minyak. Namun demikian, dalam penerapannya mesin tetas dengan sumber panas listrik sangat tergantung dari PLN, sehingga ketika listrik padam, maka proses penetasan akan terganggu bahkan dapat menyebabkan kegagalan. Pada mesin tetas sederhana dengan sumber panas listrik perlu dimodifikasi menjadi mesin tetas kombinasi dengan sumber panas listrik dan lampu minyak sehingga meskipun listrik padam suhu dalam mesin tetas tetap stabil dan perkembangan embrio dalam telur tidak terganggu (Nafiu et al., 2014).

Telur itik memiliki cangkang yang lebih tebal dan keras dibandingkan dengan telur ayam. Cangkang telur itik mengandung CaCO3- (kalsium karbonat) yang paling dominan yaitu sekitar 94-96% dan bahan organik lainya seperti magnesium (Mg) dan fosfor (P) (Nurlaela et al., 2014; Schaafsma et al., 2000). Melihat tebalnya cangkang telur itik ini, sehingga pada saat proses penetasan telur itik dengan mesin penetas perlu menggunakan bahan-bahan yang dapat membantu untuk memudahkan memecah cangkang telur (piping). Salah satu alternatif yang dipercaya untuk memecah dan membantu menghancurkan cangkang telur adalah garam (Aziz, 2018).

Garam adalah sejenis mineral yang dapat membuat rasa asin. Biasanya garam dapur yang tersedia secara umum adalah natrium klorida (NaCl) yang dihasilkan oleh air laut. Garam dalam bentuk alaminya adalah mineral kristal yang dikenal sebagai batu garam atau halite (Frank and Mickelsen, 1969). Garam telah banyak digunakan baik sebagai penyedap masakan, campuran ransum ternak, pengawet alami maupun industri pupuk.

Penelitian Aziz (2018), menggunakan penyemprotan air garam dengan dosis 30 g/liter air dengan frekuensi penyemprotan satu kali sehari dari telur umur 25 sampai menetas, dapat digunakan karena menghasilkan fertilitas tinggi, waktu menetas lebih cepat tapi tidak berpengaruh terhadap mortalitas dan daya tetas dari telur itik hibrida super. Penggunaan garam dalam dunia penetasan sampai saat ini dapat dikatakan hanya ada sedikit informasinya, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam pada konsentrasi yang berbeda terhadap daya tetas.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di rumah Bapak Budiono di Desa Sidorejo, Kecamatan Rowokangkung, Kabupaten Lumajang, dan proses penelitian berlangsung selama 1,5 bulan.

Bahan penelitian

Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : bahan utama telur itik hibrida 240 butir yang diperoleh dari peternakan bapak Rokhim dengan umur ternak itik 12 bulan dan berat telur yang homogen 71,83 g/butir, campuran air garam sebagai bahan penyemprotan telur. Bahan kimia yang digunakan untuk fumigasi mesin tetas yaitu formalin dan kalium permanganat (KMn04).

Alat penelitian

Alat–alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 4 buah mesin tetas semi otomatis, timbangan digital, alat penyemprotan, sumber energi listrik, jangka sorong, termometer, dan hygrometer.

Rancangan penelitian

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 kali ulangan. Masing–masing ulangan berisikan 15 butir telur, sehingga menggunakan 240 butir telur dengan frekuensi penyemprotan sebanyak dua kali ( jam 12.00 WIB, dan 18.00 WIB ) perlakuan yang dicobakan adalah :

P0 : telur itik disemprot air hangat 38 oC

P1 : telur itik disemprot larutan garam 10 g/liter air hangat 38

P2 : telur itik disemprot larutan garam 20 g/liter air hangat 38

P3 : telur itik disemprot larutan garam 30 g/liter air hangat 38

Penyiapan telur tetas

Telur tetas yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari peternakan Bapak Rokhim yang bertepatan tidak jauh dari tempat penelitian, telur yang digunakan berasal dari itik hibrida yang produktif dan umur telur 1 hari.

Persiapan mesin tetas

Sebelum digunakan, mesin tetas dibersihkan dan setelah itu dilakukan sanitasi dengan menggunakan formalin 7,6 g dan kalium permanganat (KMnO4) 15.2 cc untuk 1 m3 sehari

sebelum telur dimasukan di dalam mesin tetas, dan mesin tetas dinyalakan 3 jam sebelum telur dimasukan ke dalam mesin tetas.

Proses penetasan

Telur diseleksi dan dibersihkan dari kotoran yang menempel pada cangkang telur, selanjutnya telur dimasukan ke dalam mesin tetas dan diinkubasi di dalam mesin tetas selama 28 hari. Telur diletakan pada rak di dalam mesin tetas dengan titik tumpul dibagian atas dengan kemiringan 45o. Pemutaran telur dimulai hari ke-5 setelah itu mulai dilakukan pembalikan telur yaitu 3 kali sehari dan penyemprotan dilakukan 2 kali sehari siang dan sore hari. Proses penyemprotan dilakukan mulai pada hari ke-15, dan selama telur umur 0-14 hari tidak ada nampan air di dalam mesin tetas, proses pembalikan serta penyemprotan dihentikan pada saat telur sudah mulai retak/ piping pada hari ke-25. Selama proses penetasan di dalam mesin tetas suhu/ temperatur udara yang digunakan 37-38 oC, dan kelembaban yang digunakan 60-70 %.

Variabel yang diamati

  • 1.    Berat telur tetas

Pengukuran telur dilakukan dengan cara menimbang telur yang akan digunakan untuk ditetaskan (Lestari et al., 2013).

  • 2.    Indek bentuk telur itik

Indeks telur tetas didapatkan dari pengukuran panjang dan lebar dengan menggunakan jangka sorong (Keynesandy, 2012). Menurut Hermawan (2000) indeks bentuk telur tetas yang baik untuk ditetaskan adalah berkisar 71-79%. Pemilihan telur yang baik pada saat penetasan diharapkan menjadikan anakan itik yang berkualitas baik.

lebar telur Bentuktelur =---------— x IOO % panjang telur

  • 3.    Fertilitas telur

Diumur penetasan 5 hari dilakukan perhitungan presentase telur yang fertil, presentase telur–telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio dari sejumlah telur yang ditetaskan tanpa memperhatikan telur tersebut menetas / tidak. Dengan cara menghitung jumlah telur yang mengalami pembuahan, telur yang mengalami pembuahan ditandai dengan adanya embrio di dalam telur. Presentase fertilitas dihitung dengan menggunakan rumus menurut North and Bell (1990) sebagai berikut :

Fertilitas =


Jumlah telur yang fertil Jumlah telur yang ditetaskan

x IOO %


  • 4.    Presentase penyusutan telur itik (Weight loose)

Perhitungan berdasarkan penelitian Manggiasih (2015), presentase bobot susut telur dari hari inkubasi ke-0 sampai hari ke-25 pada itik dihitung dengan rumus :

Bobot telur hari ke — 0 '.g) — Bobot telur hari ke — 25 (g)

Susut telur (%) --------------n l ,--T—---~ ~-------------x 100%

Bobot telur hari ke — O (g)

  • 5.    Mortalitas (Dead embrio)

Perhitungan mortalitas dapat dilakukan selama waktu penetasan (telur tidak menetas).

  • 6.    Daya tetas telur

Perhitungan daya tetas dapat dilakukan dengan menghitung jumlah telur yang menetas dari jumlah telur fertil yang ditetaskan. Presentase daya tetas dapat dihitung menggunaan rumus menurut North and Bell (1990) sebagai berikut :

Jumlah telur yang menetas

Dayatetas =--------------------— x 100 %

Jumlah telur yang fertil

  • 7.    Berat tetas DOD

Berat tetas dapat diukur menggunakan timbangan digital dengan cara menimbang anak itik yang baru menetas (DOD) kemudian dicatat data pengukuran dan mencari nilai rata rata berat tetas dari masing – masing perlakuan.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, dan apabila didapatkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian pengaruh penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam pada konsentrasi yang berbeda terhadap daya tetas yaitu meliputi : bobot telur, indeks telur, fertilitas telur, penyusutan telur, bobot DOD, mortalitas, dan daya tetas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh penyemprotan larutan air garam terhadap daya tetas telur itik

hibrida

Variabel

Perlakuan1)

SEM2)

P0

P1

P2

P3

Bobot telur (g)

72,10a3)

71,87a

71,59a

71,78a

0,20

Indeks telur (%)

72,92a

72,17a

72,50a

72,52a

0,21

Fertilitas telur (%)

96,67a

93,33a

95,00a

93,33a

2,31

Penyusutan telur (%)

10,88a

10,60a

11,90a

10,29a

0,44

Bobot DOD (g)

45,97a

46,28a

45,97a

46,12a

0,48

Mortalitas (%)

30,83b

23,22cd

20,87d

48,48a

4,86

Daya tetas (%)

69,17b

76,79a

79,13a

51,52b

4,86

Keterangan :

1) P0 : telur itik disemprot air hangat 38 0C

P1 : telur itik disemprot larutan garam 10 g/liter air hangat 38 0C

P2 : telur itik disemprot larutan garam 20 g/liter air hangat 38 0C

P3 : telur itik disemprot larutan garam 30 g/liter air hangat 38 0C

2) SEM (Standart error of the treatment means)

3) Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Hasil penelitian menunjukan bahwa bobot telur itik hibrida pada perlakuan P0 paling tinggi dari perlakuan lain yaitu 72,10 g (Tabel 3.1). Presentase bobot telur itik hibrida pada perlakuan P1, P2, dan P3 masing-masing 0,3%, 0,7%, dan 0,4% lebih rendah dari kontrol (P0) namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Presentase bobot telur itik hibrida pada perlakuan P2 dan P3 lebih rendah 0,39% dan 0,12% dari perlakuan P1 (P>0,05). Berat telur awal diperoleh hasil yang non signifikan (P>0,05), hal ini bertujuan untuk menyeragamkan bobot telur untuk memperoleh materi penelitian telur yang homogen sesuai dengan rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan bobot homogen SD±5%. Berat telur awal ini memiliki ring dari berat 71,59 sampai 72,1 gram (P>0.05). Faktor yang mempengaruhi bobot telur yaitu lingkungan, umur induk, periode bertelur (awal atau menjelang akhir), dan manajeman pemberian pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dewi (2010) semakin meningkat presentase penambahan kalsium pada ransum ternak dapat menghasilkan bobot telur yang lebih tinggi. Lingkungan pemeliharaan di rumah bapak Rokhim di Desa Kedungrejo, Kecamatan Rowokangkung, Kabupaten Lumajang memiliki suhu yang cukup panas dengan suhu ruang selama proses penetasan mencapai 29,66 oC dan kelembaban mencapai 79,42%. Telur itik yang digunakan dalam penelitian ini

merupakan induk yang dipelihara antara 11-12 bulan, merupakan periode pertama bertelur dan memiliki produksi telur yang bagus dan telur yang dihasilkan seragam. Dilihat dari berat telur pada semua perlakuan menunjukan bahwa telur itik yang dipilih sesuai standart deengan kelas/grade besar, hal tersebut sesuai dengan BSN (2008) bobot telur dibagi 3 kelas yakni besar dengan bobot telur lebih dari 60 g/butir, sedang yaitu telur dengan bobot 50-60 g/butir, dan kecil yaitu telur dengan bobot kurang dari 50 g/butir. Ditambahkan oleh Hassan et al. (2005) pemilihan telur harus sesuai tidak kecil dan tidak besar. Bobot telur itik yang melebihi (>77 g) atau kurang dari (<50 g) menyebabkan menurunnya daya tetas telur. Menurut Kataren et al. (1999) bobot telur pertama relatif kecil yaitu berkisar antara 42-48 g/butir. Setelah itu rataan bobot telur meningkat menjadi 58,5 g/butirdan kemudian naik 71,1 g/butir, pada 40-43 minggu bobot telur berkisar 69,6-74,1 g/butir telur.

Hasil penelitian menunjukan bahwa indeks telur itik hibrida pada perlakuan P0 paling tinggi dari perlakuan lain yaitu 72,92% (Tabel 3.1). Presentase indeks telur itik hibrida pada perlakuan P1, P2, dan P3 mengalami penurunan dari perlakuan kontrol (P0) yaitu 1,03%, 0,58%, dan 0,55%, namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Presentase indeks telur itik hibrida pada perlakuan P1 dan P2 lebih rendah 0,48% dan 0,02% dari perlakuan P3 (P>0,05). Indeks telur yang diperoleh pada penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam konsentrasi 10, 20, dan 30 g/liter air hangat 38 oC pada perlakuan (P1), (P2), dan (P3) menunjukan hasil tidak berbeda nyata 1,03%, 0,58%, dan 0,55% lebih rendah dibandingkan dengan indeks telur itik hibrida pada perlakuan kontrol (P0). Faktor yang mempengaruhi indeks telur yaitu sistem pemeliharaaan, umur itik, periode produksi dan pakan, karena indeks telur sangat berhubungan erat dengan bobot telur. Hal ini sesuai pendapat Kunaifi et al. (2019) bahwa faktor yang menyebabkan indeks telur dapat dilihat dari jenis itik, umur induk, pakan, dan manajemen pemeliharaan yang sama. Indeks telur mencerminkan bentuk telur, semakin besar indeks telur maka semakin bulat bentuk telur tersebut, begitu sebaliknya jika semakin rendah bentuk indeks telur maka bentuk telurnya akan lonjong. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Dharma et al. (2001) yang menyatakan nilai indeks telur yang lebih kecil dari 79% akan memberikan penampilan lebih panjang, sedangkan nilai indeks yang lebih besar dari 79% akan memberikan penampilan yang lebih bulat. Indeks telur itik hibrida yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai yang baik dan sudah sesuai dengan kriteria telur tetas, hal ini didukung oleh Hermawan (2000) indeks bentuk telur tetas yang baik untuk ditetaskan adalah berkisar 71-79%. Perbedaan nilai rataan dalam penelitian ini diduga karena sistem pemeliharaan, umur induk dan pakan yang diberikan oleh peternak itik.

Hasil penelitian menunjukan bahwa fertilitas telur itik hibrida pada perlakuan P0 paling tinggi dari perlakuan lain yaitu 96,67% (Tabel 3.1). Presentase fertilitas telur itik hibrida pada perlakuan P1, P2, dan P3 mengalami penurunan dari perlakuan kontrol (P0) yaitu 3,4%, 1,7%, dan 3,4%, namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Presentase indeks telur itik hibrida pada perlakuan P1 dan P3 lebih rendah 1,5% dan 1,5% dari perlakuan P2 (P>0,05). Fertilitas telur yang diperoleh pada penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam konsentrasi 10, 20, dan 30 g/liter air hangat 38 oC pada perlakuan (P1), (P2), dan (P3) menunjukan hasil tidak berbeda nyata 3,4%, 1,7%, dan 3,4% lebih rendah dibandingkan dengan fertilitas telur itik hibrida pada perlakuan kontrol (P0). Tidak terdapat adanya interaksi antara fertilitas telur dengan pengaruh penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam pada konsentrasi yang berbeda. Faktor yang menyebabkan telur menjadi infertile yaitu ransum itik, kesehatan itik, umur itik, perbandingan jantan dan betina, serta kebersihan kandang. Hal ini didukung oleh Darmawati et al. (2016) bahwa rendah atau tingginya fertilitas telur tergantung dari sistem pemeliharaan, dimana itik yang dipelihara secara intensif di dalam kandang sudah tersedia pakan dan minum sehingga asupan nutrisi yang diterima itik sudah sesuai dengan kebutuhan. Proses perkawinan lebih mudah dilakukan karenan itik dipelihara dalam satu kandang yang memiliki luasan tertentu sehingga itik jantan lebih mudah menjangkau itik betina. Sedangkan itik dengan proses pemeliharaan secara ekstensif dipelihara diluar kandang (digembalakan) dan itik mencari makanya sendiri sehingga asupan nutrisi yang diterima itik sangat tergantung pada ketersediaan pakan di lahan penggembalaan. Proses perkawinan lebih sulit dilakukan karena itik jantan dan betina dilepas pada padang penggembalaan yang cukup luas yang mengakibatkan itik janta sulit menjangkau itik betina. Ditambahkan oleh King’ori (2011) bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi gagalnya telur fertil untuk menetas. Faktor tersebut diantaranya adalah nutrien di dalam telur dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk perkembangan embrio. Brammel et al. (1996) memperjelas bahwa faktor lain yang mempengaruhi fertilitas telur diantaranya adalah nutrien, misalnya kekurangan vitamin E dalam pakan dapat menyebabkan telur tidak fertile. Motilitas sperma yang lincah dan dapat membuahi sehingga fertilitasnya tinggi dan sperma yang tidak normal dapat mempengaruhi fertilitas.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penyusutan telur itik hibrida pada perlakuan P0 menunjukan 10,88% (Tabel 3.1). Presentase penyusutan telur itik hibrida pada perlakuan P1 dan P3 lebih rendah yaitu 2,57% dan 5,4% dari perlakuan P0 (P>0,05), sedangkan pada perlakuan P2 lebih tinggi 9,3% dari perlakuan P0 namun secara statistik tidak berbeda nyata

(P>0,05). Perlakuan P1 dan P3 presentase penyusutan telur lebih rendah 10,9% dan 13,5% daripada perlakuan P2 dan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Penyusutan telur yang diperoleh pada penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam konsentrasi 10 dan 30 g/liter air hangat 38 oC pada perlakuan (P1) dan (P3) menunjukan penurunan 2,57% dan 5,4% tetapi tidak berbeda nyata dari perlakuan (P0). Sedangkan pada penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam konsentrasi 20 g/liter air hangat 38 oC pada perlakuan (P2) mengalami peningkatan 9,3% dari perlakuan (P0) namun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan oleh nilai rataan pada indeks telur dan bobot telur yang didapat pada penelitian ini tidak berbeda jauh, sehingga diduga ketebalan kerabang dan luas permukaan telur tidak berbeda jauh pula. Kerabang telur yang tipis mengakibatkan telur mudah sekali pecah, sedangkan kerabang yang tebal menyebabkan telur kurang berpengaruh terhadap suhu penetasan dan menyebabkan penguapan air dan gas sangat sedikit. Hal ini didukung oleh Rasyaf (1991), kerabang yang terlalu tebal menyebabkan telur kurang terpengaruh oleh suhu penetasan sehingga penguapan air dan gas sangat kecil. Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga tidak baik untuk ditetaskan. Menurut penelitian Kurtini (1988), pada telur itik yang kerabangnya tebal yaitu telur yang warnanya lebih tua kemudian dikuti dengan warna sedang dan warna terang. Selain itu umur telur sama yaitu berumur 1 hari, dan embrio juga dalam masa pertumbuhan yang sama, ketebalan kerabang diduga relative sama, sehingga pertukaran gas oksigen, CO2, dan susut telur mengalami penguapan air melalui kerabang telur pun relative sama. Hal ini menyebabkan penyusutan telur menjadi tidak berbeda nyata. Menurut Ahyodi (2014), faktor yang menyebabkan penyusutan telur adalah suhu dan kelembaban. Rata-rata suhu dan kelembaban pada penelitian ini yaitu 37,59 oC dan 60,22%, hal ini sesuai dengan Wirapartha et al. (2012), yang menyatakan suhu yang ideal didalam mesin tetas untuk perkembangan embrio yaitu berkisar 37-38 oC, dilanjut oleh Kartasudjana dan suprijatna (2010) bahwa kelembaban pada mesin tetas yang baik pada hari ke-1 hinggan hari ke-18 yaitu 50-60%.

Hasil penelitian menunjukan bahwa bobot DOD dari telur itik hibrida pada perlakuan P0 yaitu 45,97 g (Tabel 3.1). Bobot DOD dari telur itik hibrida P1 dan P3 lebih tinggi 0,67% dan 0,32% daripada perlakuan P0 (P>0,05), sedangkan telur itik hibrida P2 diperoleh hasil yang sama dengan perlakuan kontrol (P0) yaitu 45,97 g. Perlakuan P1 presentase bobot DOD lebih tinggi 0,34% daripada perlakuan P3 dan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Bobot DOD yang diperoleh pada penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam konsentrasi 10, 20, dan 30 g/liter air hangat 38 oC pada perlakuan (P1), (P2), dan (P3)

menunjukan hasil tidak berbeda nyata dibandingkan dengan berat telur itik hibrida pada perlakuan kontrol (P0). Bobot DOD dari telur itik hibrida P1 dan P3 lebih tinggi 0,67% dan 0,32% daripada perlakuan P0 dan P2 memperoleh nilai yang sama dengan perlakuan kontrol. Faktor yang mempengaruhi bobot DOD antara lain bobot telur, genetik, pakan, lingkungan. Suhu dan kelembaban juga dapat mempengaruhi bobot DOD, karena suhu yang melebihi batas maksimum dari 37–38 oC pada saat inkubasi akan menyebabkan dehidrasi sehingga menyebabkan DOD yang lebih kecil. Menurut Hermawan (2000) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat nyata antara bobot telur dan bobot tetas. Faktor lain yang mempengaruhi bobot DOD, diduga karena jumlah kuning telur dan putih telur sebagai sumber nutirien embrio selama proses penetasan hampir sama, jadi jika semakin besar bobot telur yang ditetaskan maka semakin besar bobot tetas yang dihasilkan. Maka agar mendapatkan bobot DOD yang tinggi perlu dilakukannya seleksi bobot telur. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.1 yang menunjukan perbedaan dari bobot telur tidak berbeda jauh. Menurut Pattison (1993) telur banyak mengandung nutrient seperti vitamin, mineral dan air yang dibutuhkan untuk perkembangan embrio selama inkubasi serta digunakan juga sebagai cadangan makanan. Rahayu (2005) menambahkan berat telur yang seragam maka akan menghasilkan bobot telur yang seragam pula.

Hasil penelitian menunjukan bahwa mortalitas telur itik hibrida pada perlakuan P0 yaitu 30,83% (Tabel 3.1). Mortalitas telur itik hibrida P1 dan P2 lebih rendah 24,6%, 32,3% daripada perlakuan P0 namun secara statistik berbeda nyata (P<0,05), sedangkan telur itik hibrida yang diberi perlakuan P3 lebih tinggi 57,2% dari perlakuan P0 namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Perlakuan P2 presentase mortalitas lebih rendah 10,12% daripada perlakuan P1 dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Mortalitas telur yang diperoleh pada penyemprotan telur itik hibrida pada perlakuan kontrol dan pada konsentrasi 10, 20 g/liter air hangat 38 oC pada perlakuan (P0), (P1), dan (P2) menunjukan hasil yang berbeda nyata 36,4%, 51,8%, dan 56,9% lebih rendah dari perlakuan (P3) dengan penambahan air garam 30 g/liter air hangat 38 oC. Penyemprotan air garam dengan penambahan 20 g/liter air hangat 38 oC (P2) menunjukan hasil yang paling rendah dibandingkan dengan 10 g/liter air hangat (P1) dan 30 g/liter air hangat (P3). Mortalitas paling tinggi pada perlakuan 30 g/liter air hangat 38 oC (P3), hal ini diduga disebabkan karena dosis larutan garam yang terlalu tinggi sehingga larutan air garam masuk ke dalam cangkang dan lapisan dalam putih telur. Akibatnya perkembangan embrio menjadi terganggu dan mengakibatkan kematian embrio di dalam telur. Tingginya kandungan larutan garam dengan

dosis 30 g/liter air hangat 38 oC (P3) juga akan mengurangi/menghambat proses penguapan telur seperti yang di dapat dalam penelitian (10,29%) sehingga dapat menyebabkan embrio mati di dalam cangkang dalam proses perkembangannya/susah keluar dari cangkang dan mati saat proses piping. Hal ini tidak sesuai dengan PT. Multi Breeder Adirama Indonesia, Tbk. (2002) bahwa standart penyusutan telur yang bagus dalam proses penetasan yakni 12-14 %, sehingga kurangnya penyusutan telur menyebabkan mortalitas tinggi pada perlakuan (P3) dengan dosis 30 g/liter air hangat 38 oC.

Hasil penetian menunjukan bahwa daya tetas telur itik hibrida pada perlakuan itik hibrida P0 yaitu 69,17% (Tabel 3.1). Daya tetas telur itik hibrida perlakuan P3 lebih rendah 25,5% daripada P0 dan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan telur itik hibrida yang diberi perlakuan P1 dan P2 lebih tinggi 11% dan 14,39% daripada perlakuan P0 dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Perlakuan P2 presentase mortalitas lebih tinggi 3,04% daripada perlakuan P1 dan secara statistik berbeda nyata (P<0,05). Daya tetas yang diperoleh pada penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam pada konsentrasi 10, 20 g/liter air hangat 38 oC pada perlakuan (P1) dan (P2) menunjukan hasil yang berbeda nyata lebih tinggi 49% dan 53,5% dari perlakuan (P3) dengan penambahan garam 30 g/liter air hangat 38 oC. Sedangkan perlakuan (P0) dan (P3) menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata 12,58% dan 34,89% lebih rendah dari perlakuan (P2). Hasil rataan daya tetas telur itik hibrida yang paling tinggi diperoleh pada perlakuan P2 dengan dosis 20 g/liter air hangat (79,13%) yang diikuti perlakuan P1 (76,79%), sedangkan pada perlakuan P1 dan P3 menunjukan rataan yang paling rendah (69,17%, dan 51,52%). Hasil rataan daya tetas menggunakan air garam apabila dibandingkan dengan penelitian Aziz (2018) yang diperoleh pada penelitian ini lebih kecil yang berkisar antara 70,90 – 85,69%. Perbedaan ini diduga karena pada penelitian Aziz (2018) menggunakan metode penyemprotan pada saat telur berumur 22 hari didalam mesin tetas. Daya tetas berbanding terbalik dengan mortalitas, secara otomatis bila mortalitasnya rendah maka daya tetasnya akan tinggi. Rataan daya tetas telur itik hibrida yang didapat dalam penelitian tergolong rendah (>50%). Faktor yang mempengaruhi daya tetas yaitu kondisi induk, kondisi telur tetas, pengelolaan penetasan, jika pengelolaan penetasan baik suhu dan kelembaban yang baik maka perkembangan embrio didalam mesin tetas dapat optimal sehingga menyebabkan daya tetas yang bagus. Wibowo dan Juarini (2008) menyatakan bahwa faktor kesuksesan dalam proses penetasan telur antara lain yaitu mesin tetas (suhu dan kelembapan) sesuai persyaratan yang dibutuhkan oleh telur, faktor pengelola proses penetasan dan hal lain yang terjadi sewaktu-waktu seperti ganguan tegangan listrik.

Hasil rataan daya tetas telur itik hibrida yang paling tinggi diperoleh pada perlakuan P2 dengan dosis 20 g/liter air hangat (79,13%) dan paling rendah pada perlakuan P3 dengan dosis 30 g/liter air hangat (51,52%) disebabkan oleh penyusutan telur pada perlakuan P2 (11,9%) dan P3 (10,29%). Pernyatan ini dijelaskan oleh Nakage et al. (2003) dimana suhu inkubasi yang lebih tinggi dari optimal menyebabkan penyusutan telur lebih dari 14% sehingga dapat menyebabkan embrio mati karena dehidrasi. Suhu inkubasi yang lebih rendah dari optimal menyebabkan penyusutan telur kurang dari 12% dan menyebabkan daya tetas menurun.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengaruh penyemprotan telur itik hibrida dengan air garam pada konsentrasi kontrol (P0), 10 g/liter air hangat 38 oC (P1), dan 30 g/liter air hangat 38 oC (P3) tidak berpengaruh terhadap bobot telur, indeks telur, fertilitas, penyusutan, dan bobot DOD, tetapi konsentrasi garam 20 g/liter air hangat 38 oC (P2), menurunkan mortalitas embrio selama proses penetasan dan meningkatkan daya tetas telur.

Saran

  • 1.    Saran yang dapat diberikan yaitu peternak dapat menggunakan penyemprotan air garam dengan dosis 20 g/liter air hangat 38 oC mulai hari ke 15 sampai 25 atau pada saat telur mengalami retak/piping.

  • 2.    Untuk meningkatkan daya tetas dan menurunkan mortalitas embrio sebaiknya cangkang telur itik dipilih yang sudah bersih atau dibersihkan sebelum ditetaskan (seleksi telur diperketat).

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Dekan Fakultas Peternakan, Universitas Udayana Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS., M.Si, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Progam Studi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Ahyodi, F., 2014. Pengaruh Bobot Telur Terhadap Fertilitas, Susut Tetas, Daya Tetas, dan Bobot Tetas Telur Kalkun. Skripsi. Universitas Lampung, Lampung.

Alkhakim, F. H., M. N. Huda., G. D. Fitri., D. Ambarwati., dan H. Tistiana., 2016. Pengaruh ekstrak daun kersen terhadap daya tetas dan mortalitas telur itik hibrida. Malang. Universitas Brawijaya, Malang. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 26(2): 8-13..

Aziz, R., 2018. Pengujian dosis larutan air garam (NaCl/natrium cloride) terhadap daya tetas telur itik pedaging hibrida super. Blitar. Universitas Nahdlatul Ulama, Blitar. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 28(2): 168-174.

Brammel, R. K., C. D. M. C. Daniel, J. L. Wilson and B. Howarth. 1996. Age effect of male and female broiler breeder on spermpenetration of periveithelline layer overlying the germinal disc. Poult. Sci. 75: 755-762.

BSN. 2008. Telur ayam konsumsi. SNI 7558:2009. Badan Standardisasi Nasional.

Darmawati, D., Rukmiasih., dan R. Afnan., 2016. Daya tetas telur itik cihateup dan alabio. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. Vol.04 No.1 : 257-263.

Dewi, G. A. M. K. 2010. Pengaruh Kalsium-Asam Lemak Sawit (Ca-ALS) dan Kalsium Terhadap Bobot Telur, Tebal Kerabang dan Kekuatan Kerabang Ayam Petelur Lohman. MIP. 13(1):20-35.

Dharma Y. K., Rukmiasih., dan P. S. Hardjosworo., 2001. Ciri-Ciri Fisik Telur Tetas Itik Mandalung dan Rasio Jantan dengan Betina yang Dihasilkan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan, CV. Karya Cemerlang, Departemen Pertanian RI. Jakarta.

Frank R. L., and O. Mickelsen., 1969. Sodium-potassium chloride mixtures as table salt. American Journal of Clinical Nutrition Vol. 22, No. 44 pp 464-470.

Hassan, S. M., A. A. Siam, M. E. Mady and A. L. Cartwright. 2005. Egg storage period and weight effect on hatchability of Ostrich (Struthio camelus) eggs. Poult. Sci. 84: 19081912.

Hermawan A., 2000. Pengaruh Bobot dan Indeks Telur Terhadap Jenis Kelamin Anak Ayam Kampung pada saat Menetas. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kartasudjana, R dan E. Suprijatna. 2010. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta. 81-94.

Kataren, P. P., L. H. Prasetyo., dan T. Murtikasari., 1999. Karakter produksi telur pada itik silang mojosari x alabio. Bogor: Balai Penelitian Ternak.

Keynesandy, A., 2012. Peforma Sifat Produksi dan Kualitas Telur Hasil Persilangan

Resiplokal Antara Itik Albino dan Peking. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

King’ori, A. M. 2011. Review of the factors that influence egg fertility and hatchability in Poultry. Int. J. Poult. Sci. 10: 483-492.

Kunaifi, M. A., M. Wirapartha dan I K. A. Wiyana. 2019. Pengaruh Penyimpanan Selama 14 Hari Pada Suhu Kamar Terhadap Kualitas Eksternal dan Internal Telur Itik di Daerah Jimbaran. Peternakan Tropika. Denpasar.

Kurtini, T. 1988. Pengaruh Bentuk dan Warna Kulit Telur terhadap Daya Tetas dan Sex Ratio. Tesis. Fakultas Pascasarjana Universitas Padjajaran. Bandung.

Lestari, E., Ismoyowati., dan Sukardi., 2013. Korelasi antara bobot telur dengan bobot tetas dan perbedaan susut bobot pada telur entok (Cairrina moschata) dan itik (Anas plathyrhinchos). Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):163-169.

Manggiasih, N. N., 2015. Susut Telur, Lama dan Bobot Tetas Itik Local (Anas sp.) Berdasarkan Pola Pengaturan Temperature Mesin Tetas. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Padjadjaran.

Nafiu, L. O., M. Rusdin., dan A. S. Aku., 2014. Daya tetas dan lama menetas telur ayam tolaki pada mesin tetas dengan sumber panas yang berbeda. Kendari. Universitas Haluoleo, Kendari. Jitro, Vol : 1.

Nakage, E. S., Cardozo, J. P., Pereira, G. T., Queiroz, S. A., and Boleli, I. C., 2003. Effect of Temperature on Incubation Period, Embryonic Mortality, Hatch Rate, Egg Water Loss And Partridge Chick Weight (Rhynchotus Rufescens). Rev. Bras. Cienc. Avic, 5 (2), 131-135.

North, M. O., dan D. D. Bell., 1990. Commercial Chicken Manual. 4th Ed. Avi Publishing Company Inc. West Port, California.

Nurlaela, A., S. Dewi., K. Dahlan., dan D. Soejoko., 2014. Pemanfaatan limbah cangkang telur ayam dan bebek sebagai sumber kalsium untuk sintesis mineral tulang. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 10(1), 81-85.

Pattison, M., 1993. The Health of Poultry. Longman Scientific and Technical. Harlow.

PT. Mulibreeder Adirama Indonesia, Tbk., 2002. Management Hatchery.

Rahayu, H. S., 2005. Kualitas Telur Tetas Ayam Kampung dengan Waktu Pengulangan Inseminasi Buatan yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Rasyaf, M. 1991. Pengelolaan Penetasan. Edisi ke-2. Kanisius. Yogyakarta.

Schaafsma, A., I. Pakan., G. Hofstede., F. Muskiet., E. Van Der Veer., and P. De Vries., 2000. Mineral, amino acid, and hormonal composition of chicken eggshell powder and the evaluation of its use in human nutrition. Poultry science, 79(12), 1833-1838.

Steel, R. G. D., and J. H. Torrie., 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah: Sumantri, B. Gramedia Pustaka umum, Jakarta.

Subiharta., dan D. M. Yuwana., 2012. Pengaruh penggunaan bahan tempat air dan letak telur di dalam mesin tetas yang perpemanas listrik pada penetasan itik tegal. Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi. Hal 1-7.

Wibowo, B., dan E. Juarini., 2008. Sustanebilitas usaha penetasan telur itik jawa timur. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Wirapartha, M., K. A. Wiyana., W. Wijana., G. A. M. Kristina Dewi., dan K. Karnama., 2012. Penerapan sistem kawin sodok dan mesin tetas meningkatkan produktivitas ayam buras sebagai hewan upakara di desa jimbaran. Udayana Mengabdi, 11 (1): 4044.

Sutiyo, R. A., J. Peternakan Tropika Vol. 8 No. 3 Th. 2020: 606–621

Page 621