Jurnal Psikologi Udayana 2020, Vol.7, No.2. 43-51


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607 doi: 10.24843/JPU.2020.v07.i02.p05

Apakah emotional intelligence dipengaruhi gender?:

Analisis perbedaan kecerdasan emosi kaitannya dengan manajemen konflik suami-istri dalam masa kritis perkawinan

Bidayatul Hidayah, Amarina Ashar Ariyanto, dan Sugeng Hariyadi Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang [email protected]

Abstrak

Studi-studi gender sebelumnya menyebutkan terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan terutama dalam emosi keduanya yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin. Emotional intelligence menjadi menarik dibahas karena selalu bersangkutan dengan aspek kehidupan seperti membina hubungan sampai dengan penyelesaian konflik, terlebih jika dikaitkan dengan manajemen konflik dalam konteks usia kritis perkawinan dimana konflik perkawinan sering kali terjadi. Menggunakan teknik multiple stage cluster, penelitian ini memilih kluster kota Semarang yang merupakan salah satu kota dengan perceraian tertinggi di Jawa Tengah. Sebanyak 91 pasangan suami istri (N=182) berpartisipasi dalam studi ini untuk mengetahui emotional intelligence yang dimiliki dan kaitan emotional intelligence terhadap manajemen konflik perkawinan. Menggunakan analisis product moment correlation dan T-test independent sample, peneliti menemukan terdapat hubungan positif antara emotional intelligence dengan manajemen konflik perkawinan. Kecerdasan emosi memiliki peranan penting dalam mengenali dan mengelola emosi diri dan pasangan sehingga konflik yang dihadapi dalam rumah tangga dapat dikelola dengan baik. Sedangkan uji komparasi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan emotional intelligence antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan emosi laki-laki dan perempuan seringkali dikaitkan dengan perbedaan secara fisiologis dan biologis antar keduanya yang menciptakan peran sosial yang diharapkan. Seiring dengan kemajuan global dan perubahan sosial menimbulkan pergeseran pada norma sosial menyangkut pemberian hak dan kesempatan setara pada wanita menyesuaikan peran gender yang diharapkan. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi adalah tingkat pendidikan, pendidikan emosi oleh keluarga, serta faktor eksternal seperti norma dalam lingkungan masyarakat dan pertemanan.

Kata kunci: emotional intelligence, jenis kelamin, manajemen konflik,

Abstract

Previous gender studies stated that there are differences between men and women, especially in their emotions which are associated with gender differences. Emotional intelligence is interesting to discuss because it always emphasizes aspects of life such as building relationships to resolving conflicts, especially if it is associated with conflict management in the context of a critical period of marriage where marital conflicts often occur. By using the multiple stage cluster technique, this study chose the city cluster of Semarang, which is one of the cities with the highest divorce rate in Central Java. A total of 91 married couples (N = 182) participated in this study to determine their emotional intelligence and the relationship between emotional intelligence and marital conflict management. By using productmoment correlation analysis and independent sample T-test, researchers found that there is a positive relationship between emotional intelligence and marital conflict management. Emotional intelligence has an important role in recognizing and managing the emotions of ourselves and our partners so that conflicts faced in the household can be managed properly. Meanwhile, the comparative test shows that there is no significant difference in emotional intelligence between men and women. The emotional differences between men and women are often related to the physiological and biological differences between the two that create expected social roles. Along with global progress and social change, there has been a shift in social norms related to giving equal rights and opportunities to women according to the expected gender roles. Besides, other factors that influence are the level of education, emotional education by the family, and external factors such as norms in the community and friendship.

Keywords: conflict management, emotional intelligence, gender

LATAR BELAKANG

“Periode balai keluarga muda” adalah istilah yang disebutkan oleh Hurlock (1980) dalam menggambarkan masa-masa awal perkawinan. Masa ini biasanya berlangsung 5 tahun dimulai pada awal menikah (Winata, 2013) . Di masa ini sering timbul ketegangan emosional karena pasangan tengah dalam proses penyesuaian satu sama lain dan anggota keluarga masing-masing, dan kadang kala masing-masing baik suami atau istri menemukan perubahan sikap dan perilaku pasangan yang tidak sesuai dengan harapan seperti pada saat berpacaran (Anjani & Suryanto, 2006) , ini adalah periode sensitif dimana suami-istri mudah tersinggung satu dengan yang lainnya. Tak jarang kegagalan melewati masa ini mendorong ke arah terjadinya perceraian (Faulkner, 2002; Winata, 2013). Dalam menghadapi konflik-konflik awal perkawinan ini, diperlukan manajemen emosi yaitu emotional intelligence yang baik untuk menyelesaikannya (Dildar dkk., 2012).

Emotional intelligence adalah kemampuan individu tentang bagaimana cara mengekspresikan, memahami, mengelola, mengontrol emosi dalam diri dan emosi orang lain disekitarnya (Naghavi, F. & Redzuan, 2011). Kemampuan ini sangat diperlukan dalam perkawinan karena selain berhubungan dengan pegendalian emosi juga dikaitkan dengan manajemen konflik yang ada secara baik. Walgito (2004) dan Rachmadani (2013) menyebutkan manajemen konflik sebagai kemampuan yang dimiliki individu dalam menghadapi konflik dengan cara yang tepat, sebagai upaya menghindari konsekuensi negatif pada keharmonisan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Bloch dkk. (2014) menemukan bahwa mengelola emosi dapat meningkatkan kepuasan dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan emosi erat kaitannya dengan kecakapan membangun hubungan baik dengan pasangan dan berefek pada perasaan positif yang dirasakan masing-masing (Holm dkk., 2001) . Rendahnya kecerdasan emosi yang dimiliki individu berkaitan dengan kemampuan manajemen konflik karena emosi berpengaruh terhadap kemampuan memahami orang lain (Mohamed & Yousef, 2014; Morrison, 2008). Kecerdasan emosi berkaitan dengan kemampuan pengambilan keputusan individu (Freshwater, D., Stickley, 2009) serta kemampuan empati pasangan (Stenhouse dkk., 2016) selain itu, melalui kecerdasan emosi, individu dapat mengekspesikan emosi dengan tepat sehingga konflik dapat dihindari (Morrison, 2008). Selain kecerdasan emosi (emotional intelligence), faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam kemampuan manajemen konflik antara lain meliputi tipe kepribadian jenis kelamin dan gender (Goleman, 1999; Sari & Widyastuti, 2015; Wirawan, 2010)

Jika ditinjau secara sosial, terdapat terminologi yang berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin adalah perbedaan kodrat perempuan dan laki-laki ditinjau dari fisik secara biologis yang tidak dapat diubah. Sedangkan gender merupakan hasil konstruksi sosial mengenai perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan seperti peluang, peran, dan tanggung jawab dalam kehidupan sosial (Ghuzairoh, 2015; Tangkudung, 2014). Studi ini menekankan konsep gender sebagai faktor pembeda.

Perbedaan gender telah cukup lama berkembang dalam budaya terutama pada masyarakat tradisional patriarkhi

dimana sifat-sifat tertentu dikaitkan dengan jenis kelamin tertentu, misalnya laki-laki digambarkan dengan sifat-sifat maskulin keras, tegar dan perkasa dan dikaitkan dengan dunia kerja, penakhlukan, ekspansi dan agresivitas, Sedangkan perempuan digambarkan dengan sifat feminisme yang memelihara seperti lembut, pemalu, penyayang (Kartono, 1992). Perbedaan gender tradisional didasari oleh perbedaan secara anatomis dan fisiologis yang dikaitkan dengan pola tingkah laku perempuan dan struktur aktivitas laki-laki yang mempengaruhi segi emosi, minat, dan sudut pandang yang berbeda antar keduanya (Astuty & Mari, 2009). Perbedaan biologis tersebut mengasilkan praktik budaya berupa pola pengasuhan anak, peran, stereotip gender, dan ideologi peran seks yang mengarah pada tindakan pemisahan laki-laki dan perempuan (Berry, 1999) . Budaya yang turun temurun seperti perempuan hanya melakukan sesuatu yang berkutik di dalam rumah membuat masyarakat tradisional memiliki realitas bahwa perempuan berada pada posisi kedua hingga pada masa sekarang perempuan masih menjadi kaum marginal.

Studi gender sebelumnya mengungkapkan terdapat sejumlah perbedaan kepribadian antara pria dan wanita terutama kaitannya dengan emosi (Chow dkk., 2013), salah satunya bahwa perempuan memiliki kecerdasan emosi lebih tinggi daripada laki laki (Ahmad et al., 2009; Fernández-Berrocal dkk., 2012; Sudarto, 2003) karena perempuan dianggap lebih banyak menggunakan perasaan dan memiliki kemampuan mengenal emosi yang lebih dari pada laki-laki (Chong, dkk., 2013). Goleman (1999) menyatakan bahwa perbedaan emosi kaitannya dengan gender dapat ditinjau dari pola asuh kehidupan masa kanak-kanak individu, dimana orang tua lebih banyak membahas masalah emosi dengan anak perempuan dibandingkan laki-lakinya. Studi tradisional mengenai gender bahkan mengedepankan istri sebagai pihak yang lebih bertanggung jawab atas penyelesaian konflik dan pengatur emosi yang berhubungan dengan kualitas perkawinan itu sendiri (Mary & Adhikari, 2012; Veshki dkk., 2012). Itulah kenapa istri atau pihak perempuan dinilai memiliki kompetensi dalam mengelola emosi yang lebih baik (Gottman & Levenson, 1988).

Studi mengenai emosi kaitannya dengan gender bahkan menitikberatkan kemampuan regulasi emosi hanya pada pihak wanita saja, karena wanita dianggap memiliki kemampuan mengalah atau membuka diskusi dengan tujuan menghindari kemarahan suami mereka. Sedangkan suami mendominasi dan berperan besar untuk menentukan diskusi yang dilakukan (Ball dkk., 1995). Seperti penelitian yang dilakukan (Mahfudz, 2006) menemukan bahwa kesediaan istri untuk mengalah dalam menghadapi perselisihan dengan suami adalah salah satu faktor kunci mengatasi konflik rumah tangga, karena dianggap akan meredakan emosi suami. Hal ini tentu saja tidak dibenarkan karena pada hakikatnya, pihak suami dan istri bertanggung jawab atas satu sama lain dalam menangani emosi pasangannya, karena emosi negatif laki-laki berpengaruh pada perempuan dan juga sebaliknya (Ferrer & Nesselroade, 2003). Penelitian mengenai emotional intelligence yang dilakukan oleh (Smith dkk., 2008) dalam jangka panjang (longitudinal) mencatat bahwa dalam masalah perkawinan, perempuan lebih banyak melakukan teknik menghindar dan memilih menyembunyikan perasaannya, sehingga menimbulkan rasa ketidakpuasan dalam perkawinan.

Penelitian ini memiliki dua tujuan: Pertama, mengetahui kaitan emotional intelligence terhadap manajemen konflik suami-istri dalam perkawinan. Kedua, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui perbedaan emotional intelligence yang dimiliki perempuan dan laki-laki dalam perannya sebagai suami dan istri karena terlepas dari studi gender tradisional, studi terbaru menemukan bahwa dalam banyak hal terdapat persamaan trait antara pria dan wanita (Friedman & Schustack, 2008), temuan menyimpulkan bahwa terdapat adanya saling tumpang-tindih yang bersifat substansial antara distribusi trait dan perilaku di kalangan pria dan wanita seiring perubahan peran sosial yang dimiliki keduanya.

METODE PENELITIAN

Responden

Kota Semarang ini dipilih dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa Semarang merupakan salah satu kota dengan perceraian tertinggi di Jawa Tengah. Selain itu berdasarkan data yang ada, peneliti menemukan bahwa penyebab perceraian paling banyak adalah perselisihan dan pertengkaran di dalam masa awal perkawinan (Hidayat, 2018; Kumparan, 2019)

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah multiple stage sampling, yaitu metode pengambilan sampling bertahap dimana sampel dipilih dengan beberapa tahap atau lebih sesuai kebutuhan dengan kombinasi probability dan non probability sampling (Brotowidjoyo, 1991; Sugiarto, dkk., 2001). Sugiarto dkk. (2001) juga menjelaskan bahwa dalam metode pengambilan sampel bertahap, pada setiap tahapnya dapat menggunakan pengambilan sampel yang sama ataupun berbeda, bahkan kombinasi antara probability sampling dan nonprobability sampling.

Kombinasi sampling yang digunakan peneliti ialah cluster sampling dan probability sampling. Sesuai dengan pendapat Nazir (1988)di dalam multiple stage sampling, unit elementer dari hasil sample fraction pertama yang terpilih, akan dipilih kembali unit elementernya melalui sample fraction kedua. Alur tahapan pengambilan sampel bertahap dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Populasi sampling pertama terdiri dari semua kecamatan dari cluster kota Semarang. Beberapa kecamatan diambil secara acak yang kemudian disebut sampel pertama. (2) Kemudian sampel pertama yang terdiri dari kecamatan terpilih dijadikan sebagai populasi sampling kedua, Dari sini, beberapa kelurahan dari tiap kecamatan terpilih diambil secara acak yang merupakan sampel kedua. (3) Selanjutnya sampel kedua disebut sebagai populasi sampling ketiga, yang terdiri dari beberapa kecamatan yang terpilih, kemudian berdasarkan catatan KUA pada masing-masing sub unit kelurahan terpilih kami membuat daftar keseluruhan populasi sesuai dengan beberapa kategori yaitu individu yang telah menikah, tinggal di dalam satu rumah (bukan long distance marriage) dan belum pernah menikah sebelumnya (bukan janda maupun duda). Melalui daftar tersebut, sejumlah 182 partisipan yang merupakan pasangan laki-laki (suami= 50%) dan perempuan (istri= 50%) dengan usia pernikahan antara satu sampai dengan lima tahun

(M=3.6, SD=1.22) berpartisipasi dalam penelitian ini dengan teknik door to door sesuai dengan alamat yang tertera pada catatan KUA. Ilustrasi pengambilan sampel dapat dilihat secara rinci dalam gambar 1.

Alat Ukur

Studi ini menggunakan 2 alat ukur yaitu alat ukur emotional intelligence (Goleman, 1999) dan alat ukur manajemen konflik (Pruitt, D. G. & Rubin, 2009).

Emotional intelligence

Emotional intelligence / kecerdasan emosional (EI) dikembangkan berdasarkan dimensi EI yang disebutkan oleh Goleman (1999) yang peneliti kembangkan menjadi 25 item valid (p=.000 sampai dengan p=0.008) koefisien reliabilitas/ Alpha Cronbach dalam skala ini cukup reliabel (α=.670) dengan bentuk skala likert dengan 5 pilihan respon (angka 1 berarti sangat tidak setuju sampai dengan 5 yang berarti sangat setuju). Dimensi EI menurut Goleman (1999) yang terdiri dari:

Pertama, kemampuan pasangan untuk mengenali emosi diri, yaitu kemampuan dalam mengenali perasaan dalam diri sendiri. Kemampuan yang ditandai dengan menyadari apa yang dirasakan (contoh item “Saya menyadari bahwa saya sedang marah”); mengetahui apa yang harus dilakukan terkait dengan perasaan yang dialami (“Ketika saya merasa senang, saya ingin membagikan kesenangan saya pada orang lain”)

Kedua, kemampuan dalam mengelola emosi, yaitu bagaimana seseorang menangani perasaan agar dapat diungkap dengan baik, kemampuan ini dapat dilihat dari cara individu dalam menghibur diri, kemampuan melepaskan kecemasan, serta emosi negatif lainnya. Kemampuan ini ditandai dengan kemampuan menghibur diri (contoh item “Mencari aktivitas yang membuat saya senang adalah cara yang saya lakukan untuk mengatasi kesedihan.”); kemampuan mengalihkan perasaan negatif (contoh item “Saya merasa emosi saya akan mereda setelah saya melampiaskanya.”- Unfavorable/Reverse code item (UF)); dan dapat mengekspresikan emosi dengan tepat (contoh item “Lebih baik saya diam, daripada saya harus meluapkan kemarahan saya dan lepas kendali”)

Ketiga, kemampuan memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan individu untuk dapat mengelola emosi, dalam mengelola emosi penting kaitannya dengan memotivasi diri sendiri, memberi perhatian dan menguasi diri sendiri untuk mampu menyesuaikan diri dalam apapun yang terjadi. Kemampuan ini penting dimiliki untuk membantu menyelesaikan konflik dalam perkawinan. Kemampuan ini ditandai dengan keyakinan dalam melakukan sesuatu (contoh item “Jika saya berfikir positif, menyelesaikan sebuah masalah adalah hal yang mudah bagi saya”); dan tidak mudah putus asa (contoh item “Sesulit apapun masalah rumah tangga, saya akan berusaha menyelesaikannya”)

Keempat, kemampuan mengenali emosi orang lain, yaitu menangkap ekspresi orang lain. Kemampuan mengenali emosi ini ditandai dengan kemampuan untuk menyadari perubahan sikap orang lain (contoh item “Hanya dengan melihat ekspresi wajah orang lain, saya dapat menebak perasaan yang mereka

rasakan saat itu.”); dan kemampuan menilai apa yang salah (contoh item “Ketika orang yang saya kenal terlihat murung, maka saya akan berusaha mencari tahu penyebabnya”)

Kelima, kemampuan membina hubungan dengan orang lain, yaitu cara seseorang menjalin hubungan, dan membina kedekatan hubungan, serta keterampilan membuat orangorang lain merasa nyaman. Kemampuan ini ditandai dengan kemampuan memahami posisi orang lain (mengambil perspektif) (contoh item “Ketika saya melihat orang lain terlihat murung, saya lebih baik memperlakukanya biasa saja.”); keterampilan sosial (contoh item “Teman-teman saya menilai saya adalah orang yang mudah mencairkan suasana.”); dan keterampilan mengungkapkan perasaan (contoh item “Tidak sulit bagi saya untuk mengungkapkan perasaan yang saya rasakan”).

Manajemen Konflik

Kemampuan manajemen konflik dikembangkan berdasarkan dimensi manajemen konflik oleh Pruit dan Rubin (2009) dan peneliti kembangkan dengan jumlah 20 item dan dinyatakan valid (p= .000 sampai dengan p= .046) dan dinyatakan cukup reliabel (α= .670). Item-item disusun dalam bentuk skala likert dengan lima pilihan respon (angka 1 berarti sangat tidak setuju sampai dengan angka 5 yang berarti sangat setuju). Alat ukur manajemen konflik terdiri dari 5 dimensi berikut:

Pertama, kemampuan untuk menilai konflik yang terjadi secara seutuhnya, yang berarti individu baik suami atau istri menyadari apa dialami benar benar ada, bukan perasaan yang subjektif semata, dan melihat seutuhnya konflik yang terjadi. Kemampuan ini ditandai dengan kemampuan untuk menyadari perubahan sikap pasangan (contoh item “menurut saya perubahan sikap pasangan bukan hal perlu dipermasalahkan (UF)); dan pengetahuan mengenai penyebab konflik (tidak penting bagi saya untuk mengetahui penyebab konflik saya dengan pasangan (UF)).

Kedua, kemampuan dalam melakukan analisis konflik, yang berarti individu dapat melakukan penilaian serta introspeksi diri sehingga dapat menganalisis penyebab konflik sesungguhnya. Kemampuan ini ditandai dengan kemampuan untuk mengintrospeksi diri (contoh item “saya paham apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya saya lakukan saat saya berkonflik dengan pasangan”); Kemampuan untuk melakukan koreksi pasangan dalam situasi konflik (contoh item “Saya berusaha mendengarkan penjelasan dari pasangan saya dalam menghadapi masalah dengan pasangan”); Kemampuan melakukan analisis situasi konflik yang terjadi (contoh item “Sulit bagi saya untuk mengontrol emosi dalam menghadapi permasalahan dengan pasangan” (UF)).

Ketiga, kemampuan melakukan kompromi, yaitu keterampilan melakukan koordinasi dan kompromi dengan pasangan secara baik. Kemampuan ini ditandai dengan kemampuan melakukan diskusi/musyawarah dengan pasangan (contoh item “Saya lebih suka memikirkan sendiri pemecahan dari permasalahan yang saya hadapi.” (UF)); Memiliki keinginan untuk menyelesaikan konflik secara baik (contoh item “Saya merasa penting untuk mengetahui siapa yang bersalah dalam

permasalahan yang saya hadapi dengan pasangan” (UF)); dan kemauan menerima penilaian dari pasangan dalam menghadapi konflik (contoh item “Menyebalkan sekali ketika pasangan mengkritik saya tanpa ia berkaca pada perilaku buruknya terlebih dahulu” (UF)).

Teknik Analisis Data

Uji hipotesis dilakukan dengan analisis korelasi product moment dan t-test two independent sampling dengan software analisis statistika.

HASIL PENELITIAN

Gambaran emotional intelligence dan manajemen konflik dari 91 pasangan suami istri (N=182) dengan usia perkawinan kritis (1-5 tahun) terlampir dalam tabel 1.

Dari perbedaan mean tersebut (tabel 1), dapat diketahui bahwa dimensi emotional intelligence yang memiliki mean tertinggi diantara kelima dimensi dalam kemampuan emotional intelligence yang dimiliki seseorang ialah kemampuan dalam mengelola emosi (M=21.59,  SD=3.10). Hal ini berarti

emotional intelligence seseorang dapat dilihat dari bagaimana seseorang mengungkapkan dengan baik perasaannya, serta menghadapi emosi–emosi negatif yang dialami, bagiamana kemampuan menghibur diri untuk mengatasi kesedihan. Serta apakah seseorang dapat mengekspresikan emosi dengan tepat seperti mengendalikan marah dan sebagainya. Kemampuan mengelola emosi ini penting karena emosi sendiri menyimpan informasi yang kita butuhkan dan mengarahkan kita ke berbagai jalan keluar, aksi atau perubahan pada saat tertentu (Cooper & Sawaf, 1998)

Sedangkan untuk kemampuan manajemen konflik, dimensi yang memiliki mean tertinggi ialah kemampuan dalam melakukan analisis konflik (M= 30.23, SD= 3.50). Hal ini berarti kemampuan manajemen konflik dapat dinilai dari cara individu dalam melakukan penilaian serta instrospeksi diri sehingga dapat menganalisis penyebab konflik sesungguhnya, yaitu dengan memahami yang seharusnya dan tidak seharusnya respon yang dilakukan saat berkonflik dengan pasangan, kemampuan dalam melakukan koreksi pasangan dalam situasi konflik seperti mendengarkan penjelasan dari pasangan dalam menghadapi masalah dengan pasangan, serta keterampilan melakukan analisis situasi konflik yang terjadi yakni bagaimana mengontrol emosi dalam menghadapi permasalahan dengan pasangan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Sadarjoen (2005) bahwa ketidakmampuan dalam menganalisa konflik yang terjadi, akan menyebabkan terakumulasinya konflik-konflik yang ada sehingga akan tercipta konflik yang lebih besar dan berpotensi mengurangi kedekatan hubungan. Gambaran kategorisasi emotional intelligence dan kemampuan manajemen konflik yang dimiliki partisipan dalam studi ini dapat dilihat secara detail sebagai berikut (gambar 2 dan 3).

Hasil analisis korelasi antara emotional intelligence dan manajemen konflik menemukan bahwa terdapat hubungan

antara emotional intelligence seseorang terhadap kemampuan manajemen konflik perkawinan. Hubungan yang terjadi ialah hubungan positif (r= .433, n= 182, p= .000). Artinya semakin tinggi kemampuan emotional intelligence yang dimiliki individu, akan semakin tinggi pula kemampuan manajemen konflik yang dimiliki. Sedangkan uji perbandingan emotional intelligence antara suami dan istri menemukan bahwa tidak ada perbedaan kecerdasan emosi/emotional intelligence yang dimiliki suami M= 88.36, SD= 8.57) maupun istri (M=88.29, SD=6.57), t(180)=- .058, p= . 954 (p> .05) (terlampir pada tabel 2),

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Hasil analisis korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara emotional intelligence dan manajemen konflik perkawinan. Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sari (2008) menemukan bahwa hubungan antara kecerdasan emosi dan manajemen konflik adalah kecerdasan emosional memiliki peranan penting terhadap manajemen konflik perkawinan terutama dalam hal kemampuan mengontrol diri, bagaimana menganalisis konflik sekaligus mencari cara yang dirasa positif dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam rumah tangga. Lebih jauh, penelitian yang dilakukan oleh (Sari & Widyastuti, 2015) juga menemukan bahwa dengan adanya kecerdasan emosional, baik suami atau istri akan dapat melakukan menyesuaikan diri serta dapat mengekspresikan emosi secara tepat yang berimbas pada terkelolanya konflik perkawinan dengan baik. Sejalan dengan temuan tersebut, Wirawan (2010) menyebutkan bahwa emosi dan konflik erat hubungannya karena emosi berperan terhadap individu dalam persepsi situasi. Sehingga apabila emosi bersifat destruktif akan memperburuk situasi konflik, vise versa. Walgito (2004) menambahkan bahwa individu yang memiliki emosi matang dapat mengontrol ekspresi terhadap emosi yang dirasakan, sehingga dapat berpikir secara baik dan lebih objektif dalam menilai sesuatu. Kaitannya dnegan konflik perkawinan, temuan korelasi keduanya ini sangatlah penting karena perceraian/kegagalan yang terjadi dalam perkawinan disebabkan kesalahan dalam cara menyelesaikan konflik dakam perkawinan itu sendiri (Nurcahyanti, 2010; Supratiknya, 1995).

Sedangkan hasil komparasi emotional intelligence yang dimiliki oleh suami dan istri menemukan bahwa tidak ditemukan perbedaan antara emotional intelligence ditinjau dari jenis kelamin. Hasil temuan ini tentu saja bertolak belakang oleh penelitian perbedaan emosi ditinjau dari gender pada penelitian-penelitian tradisional yang menyatakan bahwa perbedaan hormonal dan psikologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki menyebabkan adanya perbedaan karakteristik emosi masing-masing. Beberapa studi terdahulu yang menemukan bahwa perempuan memiliki kemampuan dalam regulasi emosi lebih baik daripada laki-laki (Fernández-Berrocal et al., 2012; Naghavi & Redzuan, 2011)

Temuan mengenai tidak adanya perbedaan mengenai kemampuan emotional intelligence yang dimiliki perempuan dan laki-laki sejalan dengan Tjun dkk (2009), Nurpratiwi

(2010) dan Khaterina dan Garliah (2012) bahwa tidak ada kaitannya kemampuan kecerdasan emosi dan perbedaan gender. Perempuan yang kerap kali dinilai memiliki kecerdasan emosi yang lebih tinggi daripada laki-laki didasarkan pada tugas dan peran sosial yang membutuhkan kemampuan ini (Fischer dkk., 2018)

Peran gender secara sosial merupakan peran sentral yang terstruktur dan ada di setiap proses sosial dalam kehidupan sehari-hari terkonstruksi secara sosial (Curran et al., 2015; Ferrer & Nesselroade, 2003). Norma sosial tradisional mengenai peran sosial laki-laki dan wanita membuat aturan tidak tertulis mengenai perilaku yang dianggap pantas pada masing-masing gender serta peran yang diharapkan keduanya (Underwood dkk., 2016). Perbedaan biologis tersebut menciptakan stereotip gender disertai dengan ekspektasi peran sosial laki-laki dan perempuan (Berry, 1999). Sifat feminisme atau keibuan yang lekat dengan sikap lembut, dan emosional ada dikarenakan perempuan erat kaitannya dengan peran sebagai Ibu. Stigma mengenai peran-peran sosial tradisional berdasarkan gender ini dibuktikan oleh penelitian Davis dan Greenstein (2009) yang menemukan ekspektasi mengenai peran sosial bahwa semua wanita merawat dan mengasihi dan tidak pada pria.

Namun seiring dengan kinerja global yang menyebabkan tidak ada perbedaan pembagian kerja baik perempuan dan laki-laki pada zaman sekarang karena keduanya memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan (Dessler, 2003; Fakih, 1999). Modernisasi menyebabkan perubahan sosial di kalangan dan menimbulkan pergeseran pada norma sosial menyangkut peran wanita (Kartono, 1992). Dalam masa ini, laki-laki tidak lagi memperoleh penghormatan yang dikaitkan dengan posisi superior, begitupun perempuan yang tidak lagi dibatasi pada peran feminisme tradisional seperti melahirkan dan merawat anak-anak atau tugas domestik rumah tangga (Santrock, 2002). Pandangan kepribadian wanita yang selalu dikaitkan dengan kondisi hormonal secara fisik seperti mood yang berubah-ubah, serta ketidakstabilan emosi pada wanita ialah konsep peran sosial yang sudah sangat tradisional dan dilebih-lebihkan, hal tersebut menyebabkan prasangka kuno terhadap wanita dapat bertahan hingga kini (Friedman & Schustack, 2008). Kesetaraan psikologis dalam pendekatan humanistik antara pria dan wanita, searah dengan pandangan bahwa setiap individu berusaha untuk mencari pemenuhan kebutuhan diri. Perbedaan kepribadian ini akan menjadi semakin hilang sejalan dengan pemberian hak dan kesempatan setara pada peran sosial wanita menyesuaikan peran gender yang diharapkan (Friedman & Schustack, 2008; Hidayah & Hariyadi, 2019).

Lebih lanjut, faktor yang mempengaruhi perbedaan kemampuan emotional intelligence yang dimiliki seseorang bukan hanya jenis kelamin namun ada juga faktor lain seperti tingkat pendidikan (Shanta & Gargiulo, 2014) pendidikan emosi oleh keluarga, dan faktor eksternal seperti lingkungan masyarakat, pertemanan, dan akademik (Goleman, 1999).

Limitasi

Peneliti menggunakan paper-and-pencil quesionaire berupa

bookled dengan item yang sama untuk suami maupun istri. Peneliti hanya membedakan kuesioner tersebut dari judul di cover bookled yang bertuliskan “untuk suami” dan “untuk istri” sebagai pembeda keduanya, karena konteks dan item yang sama, peneliti tidak dapat mengontrol kemungkinan kerjasama dalam pengisian kuesioner tersebut. Maka untuk peneliti selanjutnya yang akan meneliti tema serupa diharapkan membedakan konteks item yang ada dalam skala sesuai dengan peran sosial gender. Selain itu pertimbangan varian aspek demografis seperti tingkat pendidikan dan sosial ekonomi perlu dieksplorasi lebih jauh.

Selain limitasi teknis pengambilan data dan aspek demografis di atas, peneliti selanjutnya diharapkan melakukan studi yang komprehensif dengan melibatkan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan manajemen konflik dan emotional intelligence dan konflik pada masa kritis perkawinan. Terakhir, karena penelitian ini terbatas pada kluster Kota Semarang, maka peneliti selanjutnya juga diharapkan mengambil sampel yang lebih besar dalam konteks budaya lain seperti sistem patriarki, matriarki serta sistem sosial dan faktor lingkungan lainnya yang mungkin berpengaruh dalam perbedaan peran gender dalam sebuah perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S., Bangash, H., & Khan, S. A. (2009). Emotional

Intelligence and gender differences. Agric, 25(251), 127–130. http://www.aup.edu.pk/sj_pdf/EMOTIONAL

INTELLIGENCE AND GENDER DIFFERENCES.pdf

Anjani, C., & Suryanto. (2006). Pola Penyesuaian perkawinan pada periode awal. Insan, 8(3), 198–210.

Astuty, & Mari, E. (2009). Hubungan antara kematangan emosi dan jenis kelamin dengan agresivitas pada Komunitas Slankers. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Ball, F. L. J., Cowan, P., & Cowan, C. P. (1995). Who’s got the power? Gender differences in partners’ perceptions of influence during Marital problem solving discussions. Family Process,  34(3),   303–321.  https://doi.org/10.1111/j.1545-

5300.1995.00303.x

Berry, J. W. (1999). Psikologi lintas budaya: Riset dan aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bloch, L., Haase, C. M., & Levenson, R. W. (2014). Emotion regulation predicts marital satisfaction: More than a wives’ Tale.          Emotion,          14(1),          130–144.

https://doi.org/10.1037/a0034272

Brotowidjoyo, M. D. (1991). Metodologi penelitian dan penulisan karangan ilmiah. Liberty Yogyakarta.

Chong, O.S., Mahamod, Z., & Yamat, H. (2013). Faktor jantina, kaum, aliran kelas dan hubungannya dengan kecerdasan emosi murid dalam mempelajari Bahasa Melayu. Journal Pendidikan Bahasa Melayu, 3(1), 12–23.

Chow, C. M., Ruhl, H., & Buhrmester, D. (2013). The mediating role of interpersonal competence between adolescents’ empathy and friendship quality: A dyadic approach. Journal of Adolescence,                36(1),                191–200.

https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2012.10.004

Cooper, R., & Sawaf, A. (1998). Executive EQ. Gramedia Utama.

http://digilib.lib.unipi.gr/dspace/handle/unipi/3019

Curran, M. A., McDaniel, B. T., Pollitt, A. M., & Totenhagen, C. J. (2015). Gender, emotion work, and relationship quality: A daily diary study. Sex Roles,   73(3–4),   157–173.

https://doi.org/10.1007/s11199-015-0495-8

Davis, S. N., & Greenstein, T. N. (2009). Gender ideology:

Components, predictors, and consequences. Annual Review of Sociology, 35, 87–105. https://doi.org/10.1146/annurev-soc-070308-115920

Dessler, G. (2003). Human resource management. Prentice Hall, Inc. Dildar, S., Bashir, S., Shoaib, M., Sultan, T., & Saeed, Y. (2012).

Chains do not hold a marriage together: Emotional intelligence and marital adjustment (A case of Gujrat District, Pakistan). Middle-East Journal of Scientific Research, 11(7), 982–987.

Fakih, M. (1999). Analisis gender dan transformasi sosial. Pustaka Pelajar.

Faulkner, R. A. (2002). Gender-related influences on marital satisfaction and marital conflict over time for husband and wives. The University Of Georgia.

Fernández-Berrocal, P., Cabello, R., Castillo, R., & Extremera, N. (2012). Gender differences in emotional intelligence: The mediating effect of age. Behavioral Psychology/ Psicologia Conductual, 20(1), 77–89.

Ferrer, E., & Nesselroade, J. R. (2003). Modeling affective processes in dyadic relations via Dynamic Factor Analysis. Emotion, 3(4), 344–360. https://doi.org/10.1037/1528-3542.3.4.344

Fischer, A. H., Kret, M. E., & Broekens, J. (2018). Gender

differences in emotion perception and self-reported emotional intelligence: A test of the emotion sensitivity hypothesis. PLoS ONE,                     13(1),                     1–19.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0190712

Freshwater, D., & Stickley, T. (2009). The heart of the art: emotional intelligence in nursing education. Jossey-bass.

Friedman, H. S., & Schustack, M. W. (2008). Kepribadian: teori klasik dan riset modern. Erlangga.

Ghuzairoh, T. (2015). Perbedaan forgiveness ditinjau dari jenis kelamin pada budaya Jawa. In Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim.

Goleman, D. (1999). Emotional intelligence. Gramedia Pustaka Utama.

Gottman, J. M.,  & Levenson, R. W. (1988). The social

psychophysiology of marriage. In Perspectives on Marital Interaction. Multilingual Matters.

Hidayah, B., & Hariyadi, S. (2019). “Siapa yang lebih terampil mengelola konflik rumah tangga?” Perbedaan manajemen konflik awal perkawinan berdasarkan gender. Jurnal Psikologi Sosial, 17(1), 12–20. https://doi.org/10.7454/jps.2019.3

Hidayat, R. (2018). Melihat tren perceraian dan dominasi penyebabnya.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b1fb923cb04f/m elihat-tren-perceraian-dan-dominasi-penyebabnya/

Holm, K. E., Werner-Wilson, R. J., Cook, A. S., & Berger, P. S. (2001). The association between emotion work balance and relationship satisfaction of couples seeking therapy. American Journal of Family    Therapy,    29(3),    193–205.

https://doi.org/10.1080/019261801750424316

Hurlock, E. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Penerbit Erlangga.

Kartono, K. (1992). Psikologi wanita (jilid 1). Mandar Maju.

Khaterina., & Garliah, L. (2012). Perbedaan kecerdasan emosi pada pria dan wanita yang mempelajari dan yang tidak mempelajari alat musik piano. Predicara,     1(1),     17–20.

https://media.neliti.com/media/publications/160180-ID-perbedaan-kecerdasan-emosi-pada-pria-dan.pdf

Kumparan. (n.d.). Sepanjang 2019, 3876 pasutri di semarang cerai. https://kumparan.com/kumparannews/sepanjang-2019-3-876-pasutri-di-semarang-cerai-1scFkFyKNkW

Mahfudz, N. (2006). Mengalah untuk menang. Pustaka Inti.

Mary, T., & Adhikari, K. (2012). ISSN: 2249-5894. May 2014.

Mohamed, D. F. R., & Yousef, H. R. (2014). Emotional intelligence and conflik among nurse managers at assiut university hospital. Journal of Edukation and Practice, 5(5), 160–165.

Morrison, J. (2008). The relationship between emotional intelligence competencies and preferred conflict-handling styles. Journal of     Nursing     Management,     16(8),     974–983.

https://doi.org/10.1111/j.1365-2834.2008.00876.x

Naghavi, F., & Redzuan, M. (2011). The relationship between gender and emotional intelligence. World Applied Sciences Journal, 15(4),                                                555–561.

https://www.researchgate.net/publication/307534657_The_Rel ationship_Between_Gender_and_Emotional_Intelligence

Nazir, M. (1988). Metode penelitian. Ghalia Indonesia.

Nurcahyanti, F. W. (2010). Manajemen konflik rumah tangga. Insania.

Nurpratiwi, A. (2010). Pengaruh kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan pada dewasa awal. Universitas Negeri Syarif Hidayatullah.

Pruitt, D. G. & Rubin, J. Z. (2009). Teori konflik sosial. Pustaka Pelajar.

Rachmadani, C. (2013). Strategi komunikasi dalam mengatasi konflik rumah tangga mengenai perbedaan tingkat penghasilan di RT.29 Samarinda Seberang. EJournal Ilmu Komunikasi, 1(1), 212–228.

Sadarjoen, S. S. (2005). Konflik marital. PT. Refika Aditama.

Santrock, J. W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup. Erlangga.

Sari, T. D. & Widyastuti, A. (2015). Hubungan antara kecerdasan emosi dengan kemampuan manajemen konflik pada istri. Jurnal Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 11(Juni), 49– 54.

Sari, T. N. K. (2008). Kemampuan istri mengelola konflik dalam perkawinan ditinjau dari kecerdasan emosional. Universitas Katolik Soegijapranata.

Shanta, L., & Gargiulo, L. (2014). A study of the influence of nursing education on development of emotional intelligence. Journal of     Professional     Nursing,     30(6),     511–520.

https://doi.org/10.1016/j.profnurs.2014.06.005

Smith, L., Ciarrochi, J., & Heaven, P. C. L. (2008). The stability and change of trait emotional intelligence, conflict communication patterns, and relationship satisfaction: A one-year longitudinal study. Personality and Individual Differences, 45(8), 738–743. https://doi.org/10.1016/j.paid.2008.07.023

Stenhouse, R., Snowden, A., Young, J., Carver, F., Carver, H., & Brown, N. (2016). Do emotional intelligence and previous caring experience influence student nurse performance? A comparative analysis. Nurse Education Today, 43,  1–9.

https://doi.org/10.1016/j.nedt.2016.04.015

Sudarto, T. (2003). Strategi manajemen keuangan dalam rumah tangga. Target Press.

Sugiarto, Siagan, D., Sunaryanto, L.T., & Oetomo, D. S. (2001). Teknik sampling. PT Gramedia Pustaka Utama.

Supratiknya, A. (1995). Komunikasi antarpribadi. Kanisius.

Tangkudung, J. P. M. (2014). Proses adaptasi menurut jenis kelamin dalam menunjang studi mahasiswa FISIP Universitas Sam Ratulangi. Acta Diurna, III(4), 1–11.

Tjun, L., Setiawan, S., & Setiana, S. (2009). Pengaruh kecerdasan emosional terhadap pemahaman akuntansi dilihat dari perspektif gender. Jurnal Akuntansi, 1(2), 101–118.

Underwood, M. K.., Coie, J. D., & Herbsman, C. R. (2016). Display rules for anger and aggression in school-age children. child development. Child Development, 63(2), 366–380.

Veshki, S.K., Jazayeri, R., Sharifi, E., Esfahani, S.B., Aminjafari, A., & Hosnije, A. H. S. (2012). The study of the relationship between emotional  intelligence  and marital  conflict

management styles  in female  teachers in  esfahan.

Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research In Business, 4(7), 148–156.

Walgito, B. (2004). Bimbingan & konseling perkawinan. ANDI.

Winata, S. Y. (2013). Strategi manajemen konflik interpersonal pasangan suami istri (pasutri) yang hamil di luar nikah. Juenal E-Komunikasi, 1(2), 117–128.

Wirawan. (2010). Konflik dan manajemen konflik: Teori, aplikasi & penelitian. Salemba Humanika.

Gambar 1.


LAMPIRAN


Ilustrasi multiple stage cluster tahap pertama dan tahap kedua dalam penelitian



Gambar 2.


Gambaran kategorisasi emotional intelligence



Gambar 3.

Gambaran kategorisasi kemampuan manajemen konflik

■ Rendah

■ Sedang

Tlnggl


Tabel 1.

Perbandingan mean dimensi Emotional Inteligence dan Manajemen Konflik

Variabel

Mean            SD


Emotional intelligence

Kemampuan mengenali emosi diri

17.28

2.18

Kemampuan mengelola emosi

21.59

3.10

Kemampuan memotivasi diri sendiri

20.68

2.24

Kemampuan mengenali emosi orang lain

14.34

2.00

Kemampuan membina hubungan dengan orang lain

21.40

3.03

Manajemen Konflik

Kemampuan untuk menilai konflik yang terjadi secara seutuhnya

18.64

2.75

Kemampuan dalam melakukan analisis konflik

30.23

3.50

Kemampuan melakukan kompromi

23.82

3.22

Tabel 2.

Hasil Uji Komparasi Emotional intelligence Berdasarkan Jenis Kelamin

Emotional intelligence

M

SD

t

p

Laki-laki (Suami)

88.36

8.57

.058

.954

Perempuan (Istri)

88.29

6.57

52