Jurnal Psikologi Udayana 2020, Vol.7, No.2, 34-42


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607

Stres kepala sekolah: sumber dan strategi coping

Nasib Tua Lumban Gaol

Prodi Manajemen Pendidikan Kristen, Fakultas Ilmu Pendidikan Kristen, IAKN Tarutung e-mail: [email protected]

Abstrak

Kepala sekolah adalah sebuah pekerjaan professional yang dihadapkan dengan berbagai resiko, termasuk resiko terkena stres kerja. Namun, kajian tentang stres kepala sekolah pada konteks Indonesia masih jarang ditemukan. Dengan reformasi sekolah pada abad keduapuluh satu ini, kepala sekolah dituntut supaya mampu bekerja dengan penuh tanggung jawab dan akuntabilitas. Konsekuensinya, kondisi yang demikian mengarahkan kepala sekolah mangalami stres dikarenakan fungsi dan peran mereka sebagai pemimpin lembaga pendidikan. Studi ini merupakan studi pustaka dimana menganalisis berbagai sumber referensi yang berkaitan dengan stres kepala sekolah. Tujuan studi ini adalah berupaya untuk mengidentifikasi berbagai penyebab stres yang dialami kepala sekolah dan menyarankan strategi mengatasi stres yang dialami kepala sekolah. Berbagai artikel jurnal yang relevan digunakan sebagai bahan referensi untuk membahas topik tersebut. Dengan demikian, hasil studi ini menemukan lima penyebab stres kepala sekolah, yaitu interaksi buruk dengan warga sekolah, sumber daya sekolah tidak memadai, kompleksitas peran dan beban kerja, tantangan terkait kebijakan pendidikan dan keterampilan mengelola waktu yang kurang baik. Selanjutnya, strategi mengatasi stres kepala sekolah terdiri dari pendekatan internal dan pendekatan eksternal.

Kata kunci: stres kepala sekolah; penyebab stres; strategi coping stres, kepemimpinan sekolah.

Abstract

School principal is a profession that deals with various risks, including job stress. However, the research of school principal stress is still rarely in the context of Indonesia. With school reform in the twentieth-first century, school principals are required to be able work with full responsibility and accountability. Consequently, the condition leads school principals to experience stress for their role and functions as leader at the educational institution. The study is a literature review which analyzes various references related to principal stres. This study is aimed to try for identifying various the causes of school principal to perceive stress and providing some recomomendations to copy with the sources of stress. Some relevan journal articles were used as the main data to explore the topic of this study. Therefore, there area five factors that contribute to principals stress, namely poor interactions with school commity, insufficient of school resources, role complexity and working-load, challanging associated with education policy, and lack of time management skills. Moreover, the coping strategy to deal with the sources of stress experienced by school principals can use internal and external approaches.

Keywords: school principal stress, causes of stress, coping strategy, school leadership

LATAR BELAKANG

Situasi stres telah menjadi pengalaman umum bagi siapa saja termasuk pada kalangan akademik, industri, bisnis, sosial, dan pekerjaan lainnya (Okoroma & Robert-Okah, 2007). Secara khusus, dalam konteks bidang pendidikan, kepala sekolah dapat mengalami stres dan kelelahan psikologis karena adanya peningkatan tuntutan peran, kompleksitas tanggung jawab, kebingungan atas informasi, dan kecemasan emosional (Beausaert, Froehlich, Devos, & Riley, 2016; Friedman, 2002). Stres merupakan kondisi perubahan fisik, psikososial, dan psikologis yang muncul ketika seseorang mengalami gangguan atau ancaman terhadap dirinya disebabkan adanya keterbatasan kemampuan dalam menyelesaikan atau mengatasi penyebab-penyebab stres (Harms, Credé, Tynan, Leon, & Jeung, 2017; Lumban Gaol, 2016). Penelitian Sogunro (2012) menemukan tujuh penyebab stres kepala sekolah, yaitu permasalahan dengan orang berkonflik dan hubungan yang tidak menyenangkan, kendala waktu dan isu terkait waktu, krisis di sekolah, tuntutan kebijakan yang penuh dengan tantangan dan mandat yang berlebihan, kendala dana, ketakutan gagal, dan pemberitaan buruk dan berurusan dengan media.

Peran pemimpin sekolah telah berkembang dan meningkat menjadi lebih kompleks sebagaimana sifat alamiah dari pekerjaan tersebut yang berubah fokus untuk memenuhi tantangan dalam upaya menjamin tingkat pembelajaran yang lebih baik kepada semua siswa (Darmody & Smyth, 2016; Wells & Klocko, 2015). Hal tersebut terjadi karena implementasi reformasi manajemen sekolah di seluruh dunia selama beberapa dekade terakhir yang telah mengubah fungsi dan peran kepala sekolah (Denecker, 2019). Peran vital kepala sekolah menjadi faktor utama tidak hanya dalam mengembangkan pembelajaran bagi siswa, tetapi juga untuk kepuasan guru (Hancock et al., 2019; Skaalvik, 2020). Hasil penelitian Ruiz dan Hernández-Amorós (2019) menunjukkan bahwa peran kepala sekolah lebih dipengaruhi oleh berbagai permasalahan dan kesulitan permanen dari luar diri mereka daripada keterbatasan personal kepala sekolah dan dampak kepemimpinan terhadap kehidupan mereka. Dengan peran kepala sekolah sebagai pemain utama tersebut, stres pun muncul (Hancock et al., 2019) sehingga mengakibatkan perubahan kondisi fisik dan mental yang mengarahkan kepala sekolah pada resiko kesehatan (Denecker, 2019), misalnya, secara fisik—tekanan darah tinggi, diabetes, komplikasi jantung, dan sakit kepala serius, dan secara psikologis— cemas, bosan, frustasi, depresi, perasaan bersalah, malu, dan rendah diri (Wadesango, Gudyanga, & Mberewere, 2015). Atau dengan kata lain, kepala sekolah merupakan pemimpin lembaga pendidikan yang mengalami stres ketika memimpin sekolah mereka supaya unggul (Tahir et al., 2018).

Tugas sebagai kepala sekolah merupakan posisi yang penuh dengan tantangan dan kompleksitas (Boyland, 2011; Horng, Klasik, & Loeb, 2009). Kepala sekolah memiliki tugas sehari-hari dengan membuat keputusan terkait serangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan (Kaufman, 2019), misalnya terkait administrasi, manajemen sekolah, kegiatan pengajaran per hari, program pengajaran, hubungan internal dan eksternal

(Horng, Klasik, & Loeb, 2009). Tugas-tugas tersebut dapat menjadi terasa begitu stress dan akibatnya kebanyakan kepala sekolah mengalami peningkatan stres kerja (Boyland, 2011; Tikkanen, Pyhältö, Pietarinen, & Soini, 2017). Tingginya tingkat stres yang dialami kepala sekolah berdampak pada penurunan rasa percaya diri untuk berhasil (Merwe & Parsotam, 2012), gangguan dalam pengambilan keputusan yang baik (Kaufman, 2019), rendahnya kemampuan kontrol eksekutif (Harms et al., 2017; Merwe & Parsotam, 2012) dan ketidakpuasan dalam berkerja (Darmody & Smyth, 2016).

Kepala sekolah memiliki banyak tanggung jawab termasuk dalam pencapaian mutu pendidikan melalui manajemen sekolah yang efektif dan efisien. Secara keseluruhan, tanggung jawab dan akuntabilitas kepala sekolah tersebut sangat potensial menstimulus adanya stres, sehingga stres pun dikaitkan dengan hal-hal yang demikian (Lindberg, 2012). Selain itu, kepala sekolah dapat merasakan tidak puas dengan pekerjaan mereka dikarenakan berbagai hal, misalnya adanya tuntutan-tuntutan pekerjaan yang begitu kompleks dengan harapan-harapan yang tidak rasional, stakeholder yang sulit dihadapi, keseimbangan hidup atau pekerjaan dan kurangnya dukungan (Jong, Grundmeyer, & Yankey, 2017). Selanjutnya, kepala sekolah juga harus memperhatikan tentang kesejahteraan anggotanya dan penyediaan sebuah lingkungan pembelajaran yang efektif (Kelly, Carey, McCarthy, & Coyle, 2007). Konsekuensinya, banyak kepala sekolah menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan pekerjaannya karena tuntutan pekerjaan yang begitu kompleks (Wells & Klocko, 2015).

Tidak diragukan lagi, penelitian yang berfokus pada stres kepala sekolah saat mengelola lembaga pendidikan telah menerima perhatian serius dan meluas di berbagai negara, seperti Swiss (Denecker, 2019), Malaysia (Tahir, Musah, Panatik, Ali, & Said, 2019), Jepang (Nitta, Deguchi, Iwasaki, Kanchika, & Inoue, 2018), Australia (Beausaert et al., 2016), Amerika Serikat (Grissom, Loeb, & Mitani, 2016; Hancock et al., 2019; Kaufman, 2019) dan Jerman (Hancock et al., 2019). Namun, pengalaman-pengalaman stres kepala sekolah ini masih selalu diabaikan dan sedikit yang mengkaji (Tahir et al., 2018) dengan secara komprehensif, termasuk stres yang dialami kepala sekolah di Indonesia. Berdasarkan hasil pencarian karya ilmiah dari Mesin Pencari (search engines) melalui Google Scholar, sebagai mesin pencari akademik paling komprehensif (Gusenbauer, 2019), ditemukan publikasi tentang stres kepala sekolah Indonesia masih sangat minim (Septiawan, 2018; Sion, 2008). Hal ini bisa saja terjadi karena keterbatasan literatur terkait stres kepala sekolah di Indonesia. Oleh karena itu, kajian studi literatur ini berupaya memberikan solusi terhadap research gab yang ada saat ini.

Berdasarkan uraian rasional di atas, studi ini bergerak dari dua pertanyaan penting dan fundamental yaitu: (1) apakah yang menjadi penyebab kepala sekolah mengalami stres? dan (2) bagaimanakah mengatasi stres yang dialami oleh kepala sekolah? Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, secara khusus, tujuan studi ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai penyebab kepala sekolah mengalami stres di sekolah. Selain itu, penelitian ini juga merekomendasikan solusi untuk mengatasi stres yang dialami kepala sekolah. Dengan

demikian, secara praktis, studi ini menyediakan pengetahuan penting dan sangat bermanfaat bagi kepala sekolah dan pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan secara teoritis, hasil studi ini berkontribusi signifikan pada pengembangan kajian bidang stres kepala sekolah, terkhusus di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, secara khusus, menggunakan sebuah kajian studi pustaka dengan melibatkan artikel-artikel jurnal yang diterbitkan mulai tahun 2000-2019. Artikel-artikel tersebut ditemukan dari pencarian menggunakan data base Google Cendekia (Google Scholar) dengan kata kunci pencarian “stres kepala sekolah + school principal stress + school leadership stress + headmaster stress”. Setiap artikel yang muncul pada data base tersebut diperiksa relevansinya melalui kesesuaian fokus pembahasan dan periode waktu yang telah ditentukan. Selain itu, hanya artikel yang dapat diakses yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian, berdasarkan hasil pengelompokkan dan analisis dari berbagai informasi pada artikel jurnal yang digunakan, pembahasan tentang sumber dan strategi coping kepala sekolah dilakukan dengan melibatkan referensi tersebut.

PEMBAHASAN

Kepala sekolah merupakan kunci utama yang menentukan keberhasilan sekolah. Namun, kepala sekolah sangat rentan dengan pengalaman stres akibat dari peran dan fungsi mereka tersebut. Oleh karena itu, pada bagian pembahasan ini, merujuk pada metode penelitian yang dilakukan, maka berbagi referensi dari artikel jurnal yang relevan digunakan sebagai rujukan untuk mengidentifikasi penyebab stres kepala sekolah dan merekomendasikan berbagai strategi untuk mengatasi stres kepala sekolah.

Penyebab stres kepala sekolah

Kepemimpinan dan stres adalah saling berkaitan satu sama lain (Harms et al., 2017). Sebagai contoh, kepemimpinan sekolah merupakan pekerjaan yang menantang—pekerjaan tersebut mengarah pada tingginya tingkat stres yang dialami kepala sekolah dimana kondisi itu merupakan hasil dari kelelahan pskologis (Tikkanen et al., 2017). Ketika kepala sekolah mengalami stres, respon terhadap sumber stres adalah munculnya perasaan tidak menyenangkan, misalnya perasaan bersalah, tidak adil, kesepian, kekecewaan (Mahfouz, 2018) dan depresi (Nitta et al., 2018). Oleh karena itu, posisi sebagai pemimpin sekolah tidak bisa dielakkan dari pengalaman stres karena adanya berbagai penyebab yang menjadi pemicu stres. Berdasarkan kondisi yang demikan, adalah menjadi sebuah kebutuhan untuk menginvesitgasi stres stimulus kepala sekolah.

Pada bagian ini, secara khusus, pembahasan difokuskan pada lima penyebab stres kepala sekolah yang telah diidentifikasi sesuai dengan referensi yang relevan. Adapun sumber stres kepala sekolah tersebut adalah terdiri dari interaksi yang buruk dengan warga sekolah (Kelly et al., 2007; Sogunro, 2012), sumber daya sekolah yang tidak memadai (Okoroma &

Robert-Okah, 2007; Sogunro, 2012), kompleksitas peran dan beban kerja (Oplatka, 2017; Sogunro, 2012), tantangan terkait kebijakan pendidikan (Mitani, 2018; Sogunro, 2012), dan keterampilan mengelola waktu yang kurang baik (Grissom et al., 2016; Sogunro, 2012).

  • 1.    Interaksi buruk dengan warga sekolah

Pada umumnya, kepala sekolah berhadapan dengan siswa, pegawai atau tenaga kependidikan, dan guru di sekolah. Interaksi yang tidak baik dapat memicu stres kepala sekolah (Sogunro, 2012). Misalnya, hasil penelitian telah menunjukkan bahwa mengelola perilaku menantang siswa merupakan begitu stres bagi kepala sekolah (Kelly et al., 2007). Hal tersebut menggangu secara signifikan tehadap aktifitas kepala sekolah dalam manajemen sekolah dan proses pendidikan bagi siswa lainnya. Sehingga, ketika ada permasalahan siswa di sekolah, kepala sekolah mulai merasa tidak nyaman dan memikirkan berbagai strategi untuk menangani permasalahan perilaku siswa tersebut.

Penyebab stres lainnya dapat datang dari perilaku buruk guru. Pemimpin sekolah mendapatkan tantangan dari tenaga pengajar yang ada di sekolah (Jong et al., 2017). Hasil penelitian Wadesango et al. (2015) menemukan bahwa guru secara umum dapat berkontribusi terhadap peningkatan stres kepala sekolah. Guru yang tidak disiplin di sekolah dan tidak menunjukkan kinerja yang baik akan cenderung menjadikan kepala sekolah memiliki konflik dengan guru yang demikian. Selain itu, pengajaran yang tidak efektif, hubungan terlarang guru dengan siswa, datang membawa minuman dan merokok di sekolah dan penyalahgunaan hak istimewa. Selanjutnya, tekanan dari guru yang diperoleh kepala sekolah juga dapat menjadi sumber stres kepala sekolah.

Tenaga kependidikan yang tidak kooperatif untuk menyelesaikan atau membantu kepala sekolah dalam berurusan dengan hal-hal administratif dapat memicu ketidaknyamanan secara emosional pada kepala sekolah (Sogunro, 2012). Alhasil, beban kerja menjadi semakin menumpuk dan kepala sekolah harus menyelesaikan pekerjaan tersebut. Sikap dan perilaku tenaga kependidikan yang tidak professional memicu kemarahan dan berdampak pada emosi kepala sekolah. Sehingga, kondisi emosi kepala sekolah yang demikian cenderung mengarah kepada distres.

  • 2.    Sumber daya sekolah tidak memadai

Kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga pendidikan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap sumber daya sekolah. Beausaert et al. (2016) menguraikan bahwa kepala sekolah bertanggung jawab terhadap perihal administrasi, keuangan, dan tanggung jawab legal semua permasalahan [termasuk sumber daya sekolah] yang muncul di sekolah. Sumber daya sekolah termasuk sember daya manusia dan sumber daya nonmanusia. Sumber daya manusia dalam bidang pendidikan termasuk pendidik dan tenaga kependidikan yang bekerja dengan melibatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Aspek non-manusia adalah mencakup benda-benda, seperti buku-buku, mesin fotokopi, printer, laptop, meja, kursi,

papan tulis, dan lain sebagainya bermanfaat dalam pelaksanaan manajemen pendidikan (Saitis & Saiti, 2018).

Sumber daya yang tidak memadai di lingkungan sekolah berdampak pada kondisi pekerjaan. Sarana dan prasarana pembelajaran yang tidak memadai, maka guru menjadi tidak maksimal mengajar dan siswa tidak optimal belajar. Dengan kondisi pekerjaan yang buruk tersebut, kepala sekolah rentan terkena stres. Penelitian Okoroma dan Robert-Okah (2007) menemukan buruknya kondisi pekerjaan menjadi sumber stres kepala sekolah. Selain itu, fasilitas yang tidak memadai juga menjadi sumber stres kepala sekolah. Akibatnya, sebagai pemimpin sekolah, kepala sekolah harus mampu mengupayakan ketersedian fasilitas yang dibutuhkan di sekolah. Sehingga, ketika fasilitas tidak memadai, tekanan dari guru dan siswa untuk belajar lebih efektif menjadi beban moral bagi kepala sekolah. Pada kondisi yang demikian ini, kepala sekolah memiliki tekanan psikologis yang mengarah pada ketidakpuasan dan perasaan bersalah ketika memimpin sekolah.

Kekurangan sumber daya di sekolah menjadi penyebab stres kepala sekolah (Bedi & Kukemelk, 2018). Misalnya, dana sekolah yang tidak memadai dapat menjadi pemicu stres bagi kepala sekolah. Berbagai kegiatan yang ada di sekolah harus terselenggara dengan baik, tetapi permasalahnya adalah kepala sekolah harus mengupayakan dana untuk kegiatan tersebut. Penelitian Okoroma dan Robert-Okah (2007) menemukan pendanaan yang tidak memadai menjadi sumber stres kepala sekolah. Hal tersebut sangat rasional, ketika dana tidak mencukupi secara langsung berbagai program di sekolah tidak akan terlaksana dan pencapaian sekolah akan gagal. Sehingga dalam kondisi yang demikian kepala sekolah dapat mengalami depresi akibat stres yang berlebihan.

  • 3.    Kompleksitas peran dan beban kerja

Tugas dan peran kepala sekolah begitu kompleks di lingkungan lembaga pendidikan yang mereka kelola. Selain sebagai administrator, kepala sekolah juga berperan dalam memantau pengajaran di sekolah, yaitu koherensi antara metode didaktis dan pembelajaran siswa, pengembangan kompetensi, profil lulusan, dan evaluasi (Beausaert et al., 2016). Sebagai pemimpin, kepala sekolah juga bertanggung jawab memformulasikan visi dan tujuan jangka panjang sekolah terhadap apa yang akan dicapai, mendesain strategi pencapaian berbagai tujuan, dan menginspirasi dan memotivasi guru untuk menerima dan bekerja demi tujuan sekolah tersebut (Cheuk, Wong, & Rosen, 2000).

Selanjutnya, hasil penelitian Oplatka (2017) mengidentifikasi empat aspek berkaitan dengan beban pekerjaan kepala sekolah, yaitu tugas yang banyak dan beragam, keterbatasan waktu, kinerja terbatas, dan berbagai tindakan yang tidak penting. Kelebihan beban pekerjaan kepala sekolah berdampak pada kelelahan karena tanggung jawab pekerjaan yang berlebihan (Sytsma, 2009). Akibatnya, kepala sekolah dapat mengalami stres dari banyaknya jumlah pekerjaan yang harus dikerjakan dengan baik (Bedi & Kukemelk, 2018; Okoroma & Robert-Okah, 2007).

Jumlah beban kerja yang berlebihan dan peran ambiguitas kepala sekolah dapat mengarah pada stres. Penelitian Nitta, Deguchi, Iwasaki, Kanchika, dan Inoue (2018) di Jepang mengungkapkan bahwa beban kerja yang terlalu banyak dan peran ambigu berkaitan dengan tingkat stres kepala sekolah. Hal tersebut dapat terjadi ketika kepala sekolah tidak mampu menyelesaikan semua pekerjaan, interupsi yang selalu ada, jumlah kerjaan terkait berbagai berkas, penyesuaian kerja dengan kehidupan, melakukan komunikasi lewat email, [telepon], kehilangan waktu personal, tuntutan-tuntutan pekerjaan, melakukan evaluasi terhadap guru, dan perasaan kewalahan karena tuntutan pekerjaan begitu banyak (Klocko & Wells, 2015). Selain itu, kepala sekolah harus berurusan juga dengan birokrasi pendidikan, adanya pengawasan rutin dari pengawas sekolah, dan berhubungan dengan layanan pendukung lainnya di luar sekolah, dan peran yang harus dijalankan dalam pengimplementasian berbagai inovasi (Beausaert et al., 2016).

  • 4.    Tantangan terkait kebijakan pendidikan

Kebijakan pendidikan yang selalu progresif dan berubah-ubah dengan adanya tuntutan perbaikan bahkan peningkatan kualitas pendidikan melalui manajemen sekolah merupakan penyebab stres kepala sekolah. Sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam penerapan kebijakan pendidikan, kepala sekolah harus berupaya dengan maksmial dalam menerjemahkan kebijakan dan mengembangkan berbagai strategi supaya kebijakan tersebut dapat diimplementasikan secara efektif. Oleh karena itu, kepala sekolah, sebagai pemimpin lembaga pendidikan, dituntut memiliki kemampuan dalam mengimplementasikan kebijakan sesuai konteks sekolah yang dipimpin.

Kebijakan desentralisasi pendidikan mengarahkan kepala sekolah semakin rentan terhadap stres. Peningkatan kemandirian dalam mengelola sekolah membawa dampak negatif terhadap kesehatan mental kepala sekolah (Beausaert et al., 2016). Meskipun kebijakan desentralisasi dan kemandirian pengeloan sekolah diimplementasikan, tetapi kepala sekolah masih tetap menghadapi kesulitan untuk mengupayakan sekolah menjadi lembaga pendidikan yang dapat memuaskan masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu, pembuat kebijakan perlu menyediakan dukungan professional kepada kepala sekolah untuk mengurani tingkat stres kerja mereka (Mitani, 2018).

  • 5.    Keterampilan mengelola waktu kurang baik

Studi tentang pengelolaan waktu pemimpin dan stres telah mendapat perhatian serius dari peneliti lebih dari satu dekade lampau. Hasil penelitian Claessens, Van Eerde, Rutte, dan Roe (2004) pada 50 perusahan besar di dunia yang berada di enam belas negara, menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara beban kerja dan pengendalian waktu. Misalnya, perilaku merencanakan mengarah pada kemampuan yang lebih dalam mengedalikan waktu sehingga sedikit stres, lebih puas, dan lebih produktif dari pada yang tidak memiliki perilaku merencanakan tersebut. Demikian sebaliknya, perilaku yang

tidak merencanakan dengan memperhatikan waktu akan lebih stres, kurang puas, dan sedikit produktif dalam bekerja.

Waktu bagi kepala sekolah sangat vital. Namun, masih sedikit kajian yang menginvestigasi bagaimana manajer mengelola waktu mereka (Talebi, Ahmadi, & Kazemnejad, 2019), termasuk kepala sekolah sebagai manajer organisasi pendidikan yang dipimpin. Padahal, tuntutan pengelolaan waktu yang efektif menjadi keharusan bagi siapapun (Khiat, 2019) tidak terkecuali kepala sekolah. Pastinya, kepala sekolah yang mengelola waktu dengan baik menunjukkan penggunaan waktu yang lebih efektif dalam mengelola pengajaran di sekolah dan berkaitan dengan peningkatan hasil belajar siswa serta pengalaman stres (Grissom et al., 2016).

Dalam konteks pendidikan, keterampilan mengelola waktu kepala sekolah yang kurang baik dapat memicu terjadinya stres. Hal tersebut dikarenakan bahwa pengelolaan waktu kepala sekolah berkaitan dengan level stres yang dialami (Grissom et al., 2016; Tanner, Schnittjer, & Atkins, 1991). Jadi, kepala sekolah sesungguhnya harus mampu membagi waktunya karena banyak pihak yang akan bekerja dengan kepala sekolah, termasuk para guru, pemimpin guru, siswa, kepala sekolah lainnya, dinas pendidikan, orangtua siswa, dan anggota komite (Sebastian, Camburn, & Spillane, 2018). Membuat pengaturan dengan menguraikan berbagai aktifitas dan alokasi yang dibutuhkan akan cukup membantu dalam mengatasi permasalahan waktu.

Berdasarkan penelitian Lindberg (2012), kepala sekolah melaporkan bahwa mereka merasa frustasi dikarenakan banyaknya jumlah waktu yang harus mereka habiskan dalam menyelesaikanberbagi hal administratif dan tugas manajerial dari pada bidang pendidikan atau pengajaran (Lindberg, 2012). Ketidakmampuan kepala sekolah dalam mengelola tugas-tugas dikaitkan dengan waktu dapat menjadi penyebab stres karena kepala sekolah tidak memiliki keterampilan mengelola waktu dengan efektif. Wujud dari ketidakmampuan kepala sekolah terkait dengan pengelolaan waktu yaitu kesulitan dalam menyesuaikan antara pekerjaan dan hidup, terlalu banyak tugas-tugas dan kewajiban yang tidak terselesaikan, kurang waktu bekerja, dan tidak peduli diri sendiri (Mahfouz, 2018).

Manajemen waktu pemimpin yang baik mengarah pada pengendalian waktu yang dimiliki dan mengatasi stres yang semakin buruk. Hasil penelitian Grissom et al. (2016) mengungkapkan bahwa kepala sekolah yang mengelola waktu dengan baik dikaitkan dengan stres kerja mereka—yaitu semakin baik pengelolaan waktu kepala sekolah, maka akan semakin rendah pula tingkat stres yang dialami oleh kepala sekolah. Hal tersebut dapat terjadi karena kepala sekolah mengelola waktu dengan baik sehingga mengarahkannya pada pengontrolan waktu. Pengontrolan atau pengendalian waktu sangat penting ketika menjadi pemimpin. Apabila kepala sekolah tidak memiliki pengelolaan waktu yang baik, kecenderungan yang terjadi adalah kepala sekolah tidak dapat mengendalikan atau memanfaatkan waktu dengan efektif untuk menyelesaikan pekerjaannya, demikian juga sebaliknya.

Strategi coping terhadap stres kepala sekolah

Strategi mengatasi stres adalah cara membuat stres yang dialami tidak membahayakan karena semakin banyak stres yang dialami akibat respon terhadap penyebab stres dapat berdampak buruk bagi kesehatan baik fisik mupun mental dan bahkan dapat berujung pada kematian (Lumban Gaol, 2016). Pada dasarnya strategi mengatasi stres atau coping strategy yang dilakukan kepala sekolah yaitu dengan emotion dan problem-focused coping strategies (Kaufman, 2019). Terkait hal tersebut, Boyland (2011) mengidentifikasi berbagai strategi dalam manajemen stres, yaitu berolah raga teratur, beristirahat yang cukup, makan sesuai jadwal, tidak membebani diri dengan berbagai permasalahan, membuat catatan pribadi, meluangkan waktu pergi ke luar sekolah untuk refereshing, membangun komunikasi yang efektif, mendengar musik, membuat perencanaan-perencanaan, membuat keputusan dengan bijaksana, memiliki rasa humor, berpikir optimis, merekrut staf yang kompeten, dan menyeimbangkan hidup dengan pekerjaan.

Meskipun beberapa strategi di atas telah disebutkan, namun, pembahasan tentang strategi mengatasi stres kepala sekolah pada bagian ini menggunakan pendekatan yang berbeda yaitu dengan memanfaatkan pendekatan internal dan pendekatan eksternal. Kedua pendekatan ini lebih komprehensif dan mudah dipahami serta diimplementasikan oleh kepala sekolah. Pendekatan ini dikembangkan dengan mensintesis berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang cara mengatasi stres, misalnya Kaufman (2019), Boyland (2011), Wells dan Klocko (2018) dan lain sebagainya. Dengan adanya pendekatan ini, kepala sekolah mampu membedakan tindakan-tindakan yang dapat digunakan untuk mengatasi stres secara mandiri atau dengan melibatkan orang lain. Tentunya pendekatan ini sangat bermanfaat karena memberikan penjelasan dan contoh tindakan praktis yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah atau individu di sekitar mereka.

  • 1.    Strategi pendekatan internal

Pendekatan internal adalah pendekatan pribadi kepala sekolah untuk menyelesaikan stres yang dialami tanpa melibatkan pihak dari luar dirinya. Kepala sekolah dapat mempraktikkan pendekatan ini secara mandiri. Dengan adanya pendekatan ini, kepala sekolah mampu melepaskan atau menghindari penyebab stres sehingga tidak berbahaya bagi kesehatatan fisik dan mental mereka. Misalnya, tindakan yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah untuk mengurangi atau bahkan mengatasi stresnya melalui beberapa pendekatan, yaitu praktik meditasi atau mindfulness (Kaufman, 2019; Klocko & Wells, 2015) dan regulasi diri atau self-regulation (Kaufman, 2019; Tikkanen et al., 2017).

Pertama, praktik meditasi atau mindfulness dapat membantu kepala sekolah berkembang di tempat kerja dan mampu mengurangi stres yang dialami. Hasil penelitian Klocko dan Wells (2015) menemukan sumber pembaruan bagi kepala sekolah yang mengalami stres di tempat kerja yaitu praktik meditasi (mindfulness) dapat membantu pemimpin berkembang di tempat kerja. Mindfulness adalah sebuah praktik meditasi dimana fokus atau perhatian berada pada

kondisi saat ini (Wells, 2015) yang digunakan sebagai sebuah intervensi manajemen stres (Wells, 2013). Merujuk pada Reiser, Murphy, dan McCarthy (2016), meditasi perhatian ini berasal dari filsafat Budha yang memusatkan perhatian pada momen saat ini dengan penuh perhatian dan kesadaran, ketika menangguhkan sikap menilai pada diri sendiri. MBSR (Mindfulness-based stress reduction) merupakan salah satu pelatihan medatasi perhatian, dimana dengan adanya pelatihan tersebut telah terbukti mencegah dan mengurangi gejala stres, meningkatkan pengendalian diri, dan mengatur emosi (Reiser et al., 2016:119-120).

Selanjutnya, meditasi yang dapat bermanfaat mengatasi stres kepala sekolah adalah latihan meditasi pernapafasan. Sebagai contoh, di Indonesia, hasil penelitian Fendina, Nashori dan Sulistyarini (2018) menyimpulkan bahwa bahwa pelatihan meditasi pernafasan dapat menurunkan level stres. Dengan adanya meditasi tersebut, semua partisipan penelitian yang mengikuti kegiatan meditasi mengelami kondisi yang lebih tenang, tidak mudah lelah, badan lebih merasakan kenyamanan, dan penuh dengan kesabaran. Kepala sekolah juga dapat melakukan meditasi pernapasan tersebut untuk mengatasi stres yang dialami, sehingga dengan adanya penurunan stres kinerjanya akan semakin meningkat. Meditasi latihan pernapasan dapat dilakukan pada waktu istirahat.

Kedua, regulasi diri (self-regulation) merupakan tindakan pengaturan perilaku oleh diri sendiri sehingga mampu mengendalikan diri dalam situasi apa pun. Merujuk pada Erdogan dan Senemoglu (2016), pengaturan diri adalah konsep utama Bandura dalam Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial), sebagai pengaruh, orientasi dan kontrol pribadi terhadap perilakunya. Sehingga, pemikiran, perasaan dan tindakan individu memengaruhi perilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, pengaturan diri memampukan individu untuk berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Sebagai contoh, olah raga fisik merupakan kegiatan-kegiatan yang dapat berkontribusi terhadap penurunan stres kepala sekolah. Adanya olah raga rutin atau terartur, sebagai hasil dari pengaturan diri, akan membuat seseorang lebih tahan terhadap stres yang diterima. Sogunro (2012) menyarankan bahwa latihan fisik sangat penting untuk mengurangi stres atau sebagai strategi mengatasi stres.

Strategi pengaturan diri yang secara proaktif dilakukan kepala sekolah berkaitan dengan sebuah kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental (burnout) ringan (Tikkanen et al., 2017). Artinya, dengan adanya pengendalian diri, kepala sekolah tidak mengalami burnout berlebihan. Oleh karena itu, kepala sekolah harus mampu membuat pengaturan diri, seperti dalam mengelola waktu, menentukan tujuan, melakukan berbagai usaha dan mempertahankan kegigihannya dengan seimbang supaya burnot tidak berlebihan dan berujung pada stres. Hasil penelitian Tikkanen et al. (2017) dengan melibatkan kepala sekolah menemukan bahwa adanya hubungan antara penggunaan strategi dan tingkat kelelahan psikologis yang rendah dan stres kerja. Secara khusus, hasil penelitian tersebut yang lainnya mengindikasikan bahwa penggunaan strategi pengaturan diri mencegah kelelahan psikologis dan stres kerja di antara kepala sekolah.

  • 2.    Pendekatan eksternal

Pendekatan eksternal adalah pendekatan mengatasi stres dengan melibatkan aspek dari luar diri kepala sekolah untuk menyelesaikan stres yang dialami. Pendekatan eksternal dapat diperoleh dari adanya dukungan sosial (social support), dukungan pemangku kepentingan (steakholder support), dan bantuan atau pertolongan medis dan professional (professional and medical help). Pertama, dukungan sosial merupakan salah satu strategi penting dalam mencegah dan mengatasi (coping strategy) stres kepala sekolah. Merujuk pada Wong dan Cheuk (2005), dukungan sosial dapat berdampak langsung pada kesehatan psikologis dan melindungi dari dampak negatif stres. Selain itu, kekuatan fisik dan psikologis dapat semakin meningkat dengan adanya dukungan sosial (Demir, 2019; Ozbay et al., 2007). Hasil penelitian telah mengungkapkan bahwa dukungan sosial yang diperoleh kepala sekolah dapat menurunkan tingkat stres kepala sekolah (Beausaert et al., 2016; Cheuk et al., 2000; Wells & Klocko, 2015). Misalnya, temuan Beausaert et al. (2016) menunjukkan bahwa dengan adanya dukungan sosial, penurunan level stres dapat terjadi dan selanjutnya berdampak juga pada penurunan kelelahan yang dialami kepala sekolah (Beausaert et al., 2016).

Bentuk dukungan sosial kepada kepala sekolah dapat berupa rangsangan emosial, seperti kata-kata peduli dan dukungan yang dapat meningkatkan harga diri kepala sekolah sehingga lebih efektif dalam mengelola sekolah (Cheuk et al., 2000). Selain itu, dukungan sosial dengan memberikan informasi yang bersifat mendidik, termasuk respon fisiologis, psikologis—kognitif, dan perilaku terhadap emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan adalah sangat membantu (Mahfouz, 2018). Dukungan informasi tersebut dapat bermanfaat bagi seseorang yang mengalami stres melalui peningkatan pemahaman kompetensi mereka atau keyakinan mereka untuk berurusan dengan permasalahan atau kesulitan-kesulitan yang sedang mereka hadapi, sejauh informasi tersebut sesuai dengan penyelesaian terhadap permasalahan (Cheuk et al., 2000).

Selanjutnya, dukungan sosial yang diperoleh kepala sekolah juga dapat bersumber dari dalam maupun dari luar sekolah. Di dalam lingkungan sekolah, misalnya, guru dapat memberikan dukungan sosial kepada kepala sekolah walaupun guru tidak dapat menuntaskan semua stres yang dialami oleh kepala sekolah, tetapi peran guru di sekolah bisa membantu mengurangi efek dari stres (Wells & Klocko, 2015). Di lain pihak, temuan Beausaert et al. (2016) menyoroti bahwa komunitas sekolah yang semakin luas dapat berperan dan berdampak positif dalam memberikan dukungan professional kepada kepala sekolah. Artinya semakin besar dukungan yang diberikan dari lingkungan dalam lingkungan sekolah, kepala sekolah semakin optimis dan percaya diri dalam mengahadapi berbagai kesulitan yang terjadi di sekolah.

Sedangkan di luar lingkungan sekolah, kepala sekolah dapat memperoleh dukungan sosial dari keluarga, kolega, dan lain sebagainya. Hasil penelitian Kaufman (2019) terhadap 320 kepala sekolah mengindikasikan bahwa kepala sekolah yang telah terlibat dengan hubungan ke luar, teman-teman atau kolega dapat mengurangi dampak stres. Di lain pihak,

Wadesango et al. (2015) menyarankan bahwa kepala sekolah sebaiknya memiliki peluang untuk berinteraksi dengan orang lain setelah bekerja untuk mengurangi stres. Atau dengan kata lain, strategi mengatasi stres kepala sekolah dapat dilakukan melalui menghabiskan waktu bersama dengan seseorang yang dicintai dan memiliki waktu luang di luar pekerjaan (Mahfouz, 2018) atau lingkungan sekolah. Dengan demikian, kepala sekolah harus tetap memperoleh dukungan sosial baik dari lingkungan sekolah maupun luar lingkungan sekolah supaya dapat mengatasi stres kerja yang dialami.

Kedua, dukungan pemangku kepentingan pendidikan (steakholder supports) adalah sangat besar mempengaruhi kondisi psikologis kepala sekolah. Pemangku kepentingan utama, seperti pengawas, anggota dewan sekolah, dan badan lainnya harus memahami tantangan yang dihadapi oleh kepala sekolah supaya dapat mengatasi ketidakpuasan kepala sekolah (Jong et al., 2017). Hasil penelitian Jong et al. (2017) menunjukkan empat bagian ketidakpuasan kepala sekolah yaitu: tuntutan pekerjaan yang tinggi dengan harapan yang tidak rasional, menangani pemangku kepentingan pendidikan yang sulit, keseimbangan antara kerja dengan kehidupan, dan kurangnya dukungan. Adanya ketidakpuasan kepala sekolah terhadap pekerjaannya mengarah pada pengalaman stres kepala sekolah terkait pekerjaan (Darmody & Smyth, 2016). Akibatnya, kepala sekolah tidak maksimal dalam mengelola sekolah.

Harapan dan dukungan yang jelas dari pengawas sekolah sangat penting bagi kepala sekolah (Jong et al., 2017). Dengan adanya hal tersebut ambiguitas dan beban kerja kepala sekolah dapat berkurang. Nitta et al. (2018) menyarankan sebagai tindakan mengurangi gejala depresi kepala sekolah, yaitu dengan mengatasi tuntutan atau beban kerja dan ambiguitas peran kepala sekolah. Tentu dalam hal ini, pengawas sekolah sebagai pemerhati sekolah dapat memberikan bimbingan kepada sekolah bagaimana mengelola semua sumber daya yang ada di sekolah. Selain itu, dengan adanya penguraian dan pegemasan ulang tanggung jawab pekerjaan dengan tim administrasi yang membagikan kepemimpinan sekolah dapat menjadi bagian dari solusi (Beausaert et al., 2016).

Selanjutnya, kepala sekolah juga dapat meminta dukungan orang tua dan komite dengan menghadiri pertemuan dewan sekolah, mendukung penguatan klub sekolah atau mendukung sekolah dalam ikatan publik (Jong et al., 2017). Dengan kata lain kepala sekolah dapat melibatkan para orang tua siswa dalam proses manajemen sekolah sehingga dapat membantu kepala sekolah untuk bekerja secara maksimal. Memang, peran kepala sekolah seharusnya dikurangi pergerakan manusia dan sumber daya material, supervisi pengajaran dan pembelajaran, menghadapi pemangku kepentingan, dan memastikan kondisi umum sekolah (Bedi & Kukemelk, 2018). Selain itu, tanggung jawab kepala sekolah, seperti manajemen keuangan, pengajaran, berurusan dengan disiplin siswa dan guru, dan peningkatan sekolah, seharusnya didistribusikan kepada wakil guru yang dipilih. Kemudian, guru yang dipilih tersebut melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang didelegasikan (Bedi & Kukemelk, 2018).

Ketiga, dukungan professional atau tenaga medis (medical and professional supports) adalah strategi penangan serius terhadap stres yang dialami oleh kepala sekolah. Sogunro (2012) menegaskan bahwa bantuan professional dan penanganan medis merupakan cara mengatasi stres. Strategi ini dapat digunakan ketika kepala sekolah tidak mampu lagi menghadapi stres baik secara pribadi maupun dukungan sosial. Pertolongan medis atau professional sangat penting untuk mencegah timbulnya dampak peningkatan stres yang semakin serius. Konselor, terapis, dan dokter adalah tenaga professional dan medis yang dapat membantu kepala sekolah mengatasi stres mereka. Misalnya, hasil penelitian Kaufman (2019) menemukan beberapa sampel kepala sekolah dari penelitianya mengunjungi terapi atau professional lainnya pada bulan lalu. Kunjungan tersebut dilakukan untuk berkonsultasi tentang kesehatan fisik dan mental. Hasil dari kunjungan kepala sekolah tersebut memberikan dampak positif terhadap kesehatan mereka.

Kepala sekolah yang membutuhkan dukungan professional atau tenaga medis dapat membuat jadwal teratur untuk berkunjung ke rumah sakit atau ruang konseling supaya stres yang dialami tidak menjadi semakin buruk. Tenaga medis dan konselor yang memberikan pelayanan terhadap permasalahan fisik—diare dan pusing, dan psikologis—cemas, takut dan lain sebagainya, dapat menolong kepala sekolah menyelesaikan stress dan semakin produktif dalam mengerjakan tugas-tugasnya di sekolah. Dengan adanya pendekatan-pendekatan ilmiah dari tenaga medis dan tenaga professional tersebut, kepala sekolah akan semakin mampu menghadapi sumber stres dan mengelola stres yang dialami.

KESIMPULAN

Kompleksitas pekerjaan kepala sekolah pada abad keduapuluh satu “memaksa” kepala sekolah harus mampu menciptakan sekolah sebagai lembaga pembelajaran yang efektif dan efisien. Tuntutan yang demikian ini mengarahkan kepala sekolah pada peningkatan stres kerja yang dialami. Berbagai tugas yang harus dilakukan kepala sekolah dan ketidakmampuan menghadapi penyebab stres tersebut menjadikan kepala sekolah mengalami dampak buruk terkadap kesehatan psikis dan fisik.

Studi ini mengidentifikasi lima penyebab stres kepala sekolah, yaitu: yaitu interaksi buruk dengan warga sekolah, sumber daya sekolah tidak memadai, kompleksitas peran dan beban kerja, tantangan terkait kebijakan pendidikan, dan keterampilan mengelola waktu yang kurang baik. Selain itu, studi ini juga melaporkan dua pendekatan penting yang dapat digunakan untuk mengatasi stres kepala sekolah yaitu pendekatan internal dan eksternal. Pendekatan internal ini adalah penyelesaian stres dengan melibatkan aspek individu, misalnya meditas, pengaturan diri sendiri, dan peduli diri sendiri. Sedangkan pendekatan eksternal adalah strategi mengatasi stres dengan melibatkan pihak diluar diri kepala sekolah, yaitu adanya dukungan sosial, dukungan pemangku kepentingan (steakholder) pendidikan, dan pertolongan tenaga medis atau professional.

Secara praktis, studi ini berkontribusi pada pengembangan kesehatan mental dan mendukung untuk peningkatan kinerja kepala sekolah dalam mengelola satuan pendidikan yang dipimpin. Rekomendasi juga ditujukan pada pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan pendidikan dimana mereka harus memperhatikan kondisi kesehatan fisik dan mental kepala sekolah. Selain itu, penelitian selanjutnya sangat disarankan untuk mengembangkan model manajemen stres kepala sekolah sesuai dengan konteksnya. Model ini akan sangat bermanfaat menolong kepala sekolah untuk meningkatkan kinerja dengan kemampuan mengatasi stres dengan baik. Terakhir, penelitian berikutnya sangat direkomendasikan untuk mengembangkan instrumen (scale) yang valid dan reliabel sebagai alat untuk mengidentifikasi tingkat stres yang dialami oleh kepala sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Beausaert, S., Froehlich, D. E., Devos, C., & Riley, P. (2016). Effects of support on stress and burnout in school principals. Educational Research, 58(4), 347–365.

Bedi, I. K., & Kukemelk, H. (2018). School principals and job stress: the silent dismissal agent and forgotten pill in the United Nations sustainable development goal 4. US-China Education Review B, 8(8), 357–364.

Boyland, L. (2011). Job stress and coping strategies of elementary principals: a statewide study. Current Issues in Education, 14(3), 1–9.

Cheuk, W. H., Wong, K. S., & Rosen, S. (2000). Kindergarten principals in Hong Kong: Job stress and support from a close friend. Journal of Educational Administration, 38(3), 272–287.

Claessens, B. J. C., Van Eerde, W., Rutte, C. G., & Roe, R. A. (2004). Planning behavior and perceived control of time at work. Journal of Organizational Behavior, 25(8), 937–950.

Darmody, M., & Smyth, E. (2016). Primary school principals ’ job satisfaction and occupational stress. International Journal of Educational Management, 30(1), 115–128.

Demir, S. (2019). A structural model on the role of perceived multi-dimensional social support in attitudinal variables. European Journal of Educational Research, 8(2), 607– 616.

Denecker, C. (2019). School Principals’ Work Stress in an Era of New Education Governance. Swiss Journal of Sociology, 45(3), 447–466.

Erdogan, T., & Senemoglu, N. (2016). Development and validation of a scale on self-regulation in learning (SSRL). Springer Plus, 5(1).

Fendina, F., Nashori, F., & Sulistyarini, I. (2018). Efektivitas pelatihan meditasi pernafasan dalam menurunkan tingkat stres pada pendukung sebaya odha. Jurnal Psikologi Integratif, 6(1), 1.

Friedman, I. A. (2002). Burnout in school principals: role related antecedents. Social Psychology of Education, 5(3), 229–251.

Grissom, J., Loeb, S., & Mitani, H. (2016). Principal time management skills: explaining patterns in principals’ time use, job stress, and perceived effectiveness. Journal of Educational Administration, 53(6), 773–793.

Gusenbauer, M. (2019). Google scholar to overshadow them all? comparing the sizes of 12 academic search engines and bibliographic databases. Scientometrics, 118, 177– 214.

Hancock, D. R., Müller, U., Stricker, T., Wang, C., Lee, S., & Hachen, J. (2019). Causes of stress and strategies for managing stress among German and US principals. Research in Comparative and International Education, 14(2), 201–214.

Harms, P. D., Credé, M., Tynan, M., Leon, M., & Jeung, W. (2017). Leadership and stress: a meta-analytic review. Leadership Quarterly, 28(1), 178–194.

Horng, E. L., Klasik, D., & Loeb, S. (2009). Principal timeuse and school effectiveness (school leadership research report no. 09-3). Stanford, CA: Stanford University, Institute for Research on Education Policy & Practice.

Jong, D. De, Grundmeyer, T., & Yankey, J. (2017). Identifying and addressing themes of job dissatisfaction for secondary principals. School Leadership and Management, 37(4), 354–371.

Kaufman, J. A. (2019). Stress and Coping Among Public School Principals in a Midwest Metropolitan Sample. SAGE Open, 9(1), 1–6.

Kelly, Á., Carey, S., McCarthy, S., & Coyle, C. (2007). Challenging behaviour: Principals’ experience of stress and perception of the effects of challenging behaviour on staff in special schools in Ireland. European Journal of Special Needs Education, 22(2), 161–181.

Khiat, H. (2019). Using automated time management enablers to improve self-regulated learning. Active Learning in Higher Education, 1 –13.

Klocko, B. A., & Wells, C. M. (2015). Workload Pressures of Principals: A Focus on Renewal, Support, and Mindfulness. NASSP Bulletin, 99(4), 332–355.

Lindberg, E. (2012). The power of role design: balancing the principals financial responsibility with the implications of stress. Educational Assessment, Evaluation and Accountability, 24(2), 151–171.

Lumban Gaol, N. T. (2016). Teori stres: stimulus, respons, dan transaksional. Buletin Psikologi, 24(1), 1–11.

Mahfouz, J. (2018). Principals and stress: few coping strategies for abundant stressors. Educational Management Administration and Leadership, 1–19.

Merwe, H. van der, & Parsotam, A. (2012). School principal stressors and a stress alleviation strategy based on controlled breathing. Journal of Asian and African Studies, 47(6), 666–678.

Mitani, H. (2018). Principals’ working conditions, job stress, and turnover behaviors under NCLB accountability pressure. Educational Administration Quarterly, 54(5), 822–862.

Nitta, T., Deguchi, Y., Iwasaki, S., Kanchika, M., & Inoue, K. (2018). Depression and occupational stress in Japanese school principals and vice-principals. Occupational Medicine, 69(1), 39–46.

Okoroma, N. S., & Robert-Okah, I. (2007). Administrative Stress: Implications for Secondary School. Educational Research Quarterly, 30(3), 4–22.

Oplatka, I. (2017). Principal workload: components, determinants and coping strategies in an era of

standardization and accountability. Journal of Educational Administration, 55(5), 552–568.

Ozbay, F., Johnson, D. C., Dimoulas, E., Morgan, C. A., Charney, D., & Southwick, S. (2007). Social support and resilience to stress: from neurobiology to clinical practice. Psychiatry (Edgmont), 4(5), 35–40.

Reiser, J. E., Murphy, S. L., & McCarthy, C. J. (2016). Stress prevention and mindfulness: A psychoeducational and support group for teachers. Journal for Specialists in Group Work, 41(2), 117–139.

Ruiz, M. A. M., & Hernández-Amorós, M. J. (2019). Principals in the role of sisyphus: school leadership in challenging times. Leadership and Policy in Schools, 1– 19.

Saitis, C., & Saiti, A. (2018). Initiation of Educators into Educational Management Secrets. Switzerland: Spring International Publishing AG.

Sebastian, J., Camburn, E. M., & Spillane, J. P. (2018). Portraits of principal practice: time allocation and school principal work. Educational Administration Quarterly, 54(1), 47–84.

Septiawan, B. (2018). Analisa faktor penyebab stres dan manajemen stres kepala SMA Bahrul Maghfrioh Malang. Jurnal al–Hikmah, 6(1), 36–45.

Sion, H. (2008). Keterampilan manajerial kepala sekolah, komitmen, daya tahan terhadap stres, kepuasan dan performansi mengajar guru. Jurnal Ilmu Pendidikan, 15(2), 111–119.

Skaalvik, C. (2020). School principal selfefficacy for instructional leadership: relations with engagement , emotional exhaustion. Social Psychology of Education, hal. 1–20.

Sogunro, O. A. (2012). Stress in school administration: coping tips for principals. Journal of School Leadership, 22(3), 664–700.

Sytsma, S. (2009). The educational leader’s alchemy: creating the gold within. Management in Education, 23(2), 78– 84.

Tahir, L. M., Khan, A., Musah, M. B., Ahmad, R., Daud, K., Al-Hudawi, S. H. V.,  … Talib, R. (2018).

Administrative stressors and islamic coping strategies among muslim primary principals in malaysia: a mixed method study. Community Mental Health Journal, 54(5), 649–663.

Tahir, L., Musah, M. B., Panatik, S. A., Ali, M. F., & Said, M. N. H. M. (2019). Primary school leadership in Malaysia: the experience of stress among deputy heads. Educational Management Administration and Leadership, 47(5), 785–814.

Talebi, M., Ahmadi, F., & Kazemnejad, A. (2019). Dynamic self-regulation as an effective time management strategy for clinical nurses: a qualitative study. Collegian, 26(4), 463–469.

Tanner, C. K., Schnittjer, C. J., & Atkins, T. T. (1991). Effects of the use of management strategies on stress levels of high school principals in the united states. Journal of Composite Materials, 27(2), 203–224.

Tikkanen, L., Pyhältö, K., Pietarinen, J., & Soini, T. (2017). Interrelations between principals’ risk of burnout profiles and proactive self-regulation strategies. Social

Psychology of Education, 20(2), 259–274.

Wadesango, N., Gudyanga, E., & Mberewere, M. (2015). Occupational stress among school head teachers: a case for Hwedza district secondary schools’ head teachers. Journal of Social Sciences, 45(1), 31–35.

Wells, C. M. (2013). Principals responding to constant pressure: finding a source of stress management. NASSP Bulletin, 97(4), 335–349.

Wells, C. M. (2015). Conceptualizing mindful leadership in schools: how the practice of mindfulness informs the practice of leading. NCPEA Education Leadership Review of Doctoral Research, 2(1), 1–23.

Wells, C. M., & Klocko, B. A. (2015). Can teacher leadership reduce principal stress? Journal of School Leadership, 25(2), 313–344.

Wells, C. M., & Klocko, B. A. (2018). Principal well-being and resilience: mindfulness as a means to that end. NASSP Bulletin, 102(2), 161–173.

Wong, K. S., & Cheuk, W. H. (2005). Job-related stress and social support in kindergarten principals: the case of Macau. International Journal of Educational Management, 19(3), 183–196.

4 2