Gambaran dinamika self-forgiveness dan meaning in life pada pelaku perselingkuhan dalam pernikahan
on
Jurnal Psikologi Udayana 2020, Vol.7, No.1, 31-39
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607
Dinamika self-forgiveness dan meaning in life pada pelaku perselingkuhan dalam pernikahan
Agnes Christy Wijaya dan Theresia Indira Shanti
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya indira.shanti@atmajaya.ac.id
Abstrak
Perselingkuhan dalam pernikahan adalah kondisi dimana ketika salah satu pasangan melanggar komitmen dalam hubungan pernikahan. Penelitian ini membahas dari sisi pelaku, yang tidak banyak dibahas oleh penelitian sebelumnya. Self-forgiveness dijelaskan sebagai proses yang membuat pelaku perselingkuhan mengakui kesalahan, mengakhiri perselingkuhan, berusaha memperbaiki diri dengan mempertahankan rumah tangganya. Self-forgiveness dikaitkan dengan bagaimana pelaku mempertimbangkan makna hidup (meaning in life) sehingga mampu memaknai perselingkuhan sebagai masa lalu sebagai pelajaran untuk memperbaiki pernikahan. Penelitian ini bertujuan melihat gambaran dinamika self-forgiveness dan meaning in life pada pelaku perselingkuhan dalam pernikahan. Penelitian dilakukan pada pelaku perselingkuhan yang tetap pada ikatan pernikahan, kedua pihak saling mengetahui perselingkuhan, sudah mengakhiri perselingkuhannya dan memiliki orientasi seksual heteroseksual. Metode penelitian yang digunakan adalah mixed-methods. Untuk pendekatan kuantitatif, sebanyak 27 partisipan diperoleh menggunakan teknik sampling non-probabilty. Uji korelasi dilakukan dalam pendekatan ini dan hasilnya terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-forgiveness dan meaning in life pada pelaku perselingkuhan dalam pernikahan. Untuk pendekatan kualitatif, sebanyak empat partisipan diperoleh dengan memilih partisipan yang memiliki skor tinggi dan rendah pada pendekatan kuantitatif. Hasil analisis data kualitatif mampu menjelaskan dinamika self-forgiveness dan meaning in life pada pelaku perselingkuhan dalam pernikahan.
Kata kunci: Meaning in life, pelaku perselingkuhan, pernikahan, self-forgiveness.
Abstract
Marriage affair is a condition which a partner violates commitment in their marriage relationship. This study takes a point of view from the side of unfaithful partners, which is not much discussed in previous research. Self-forgiveness is a process which the unfaithful partners admit their mistakes, end the infidelity, and try to better themselves in order to sustain the marriage. Self-forgiveness is related to how the unfaithful partner think the meaning of life which accordingly enabling them to value the infidelity as lesson learned to improve the marriage. This study aims to explore the association between self-forgiveness and meaning in life among unfaithful partner of marriage affair using mix method. Participants of quantitative study were 27 unfaithful partners who stay on their marriage, have a partner who had learned about the affair, the unfaithful partner had ended the marriage affair, and partners are both heterosexual. The sample were collected using non-probability sampling method. A correlational test was performed, and the result shows that there is a significant positive correlation between self-forgiveness and meaning in life among unfaithful partner of marriage affair. Qualitative method was used to explore the data. Four participants who has higher and lower score were chosen. The result of qualitative data analysis explains the description of self-forgiveness and meaning in life among unfaithful partners of marriage affair.
Keywords: meaning in life, unfaithful partner, marriage affair, self-forgiveness.
LATAR BELAKANG
Pernikahan adalah proses yang membahagiakan namun tidak terhindarkan dari permasalahan. Salah satu permasalahan tersebut adalah perselingkuhan. Perselingkuhan meliputi satu atau lebih dari ketiga elemen, yaitu kerahasiaan, aktivitas seksual, dan keterlibatan emosional (Perel, 2017). Cakupan ini sesuai yang dikemukakan Schnell (2018) bahwa ada dua tipe perselingkuhan, yaitu seksual dan emosional. Ada beberapa penyebab perselingkuhan. Scheeren, Martínez de Apellániz, dan Wagner (2018) mengatakan bahwa perselingkuhan disebabkan oleh ketidakpuasan pernikahan, seksualitas (ketidakpuasan seksual dengan pasangan atau kebutuhan untuk mencari pengalaman seksual yang baru), dan kebutuhan untuk mencari kebebasan. Omarzu, Miller, Schultz, & Timmerman (2012) mengatakan bahwa ketidakpuasan dalam aspek seksual dan emosional cenderung menjadi alasan terjadinya perselingkuhan. Sejalan dengan itu, DiBlaso (2000) menyatakan bahwa masalah komunikasi dalam pernikahan juga merupakan salah satu penyebab perselingkuhan. Perel (2015) mengatakan bahwa apapun penyebabnya, perselingkuhan ini melanggar norma. Perselingkuhan yang ditelaah di Indonesia lebih banyak memandang dari sudut korban (Fretes et al., 2016).
Salah satu hal yang berperan dalam proses pelaku memaafkan diri sendiri disebut dengan self-forgiveness. Self-forgiveness didefinisikan sebagai proses saat pelaku menyadari kesalahan, menghadapi emosi negatif sebagai konsekuensi dari kesalahan, dan menebus kesalahan tersebut dengan berusaha memperbaiki diri (Woodyatt & Wenzel, 2013). Setelah perselingkuhan, pelaku mengalami proses psikologis yang terjadi seperti siklus tanpa ujung, yaitu rasa malu, bersalah, pemikiran terus-menerus (rumination) (Fisher & Exline, 2010). Self-forgiveness berperan untuk mendorong pelaku perselingkuhan keluar dari siklus tersebut (Graham et al., 2017).
Sesuai dengan definisi self-forgiveness, pelaku mengakui bahwa keputusan untuk berselingkuh adalah tanggungjawabnya. Kemudian, pelaku menghadapi dan memulihkan diri dari emosi negatifnya setelah melakukan perselingkuhan. Ketika pelaku sudah keluar dari siklus tersebut, pelaku akan mempertimbangkan makna hidup yang dimiliki, terutama tujuan pernikahan. Pelaku yang memilih untuk tetap mempertahankan pernikahannya akhirnya mampu memaknai perselingkuhan sebagai pengalaman masa lalu yang dijadikan pelajaran. Selanjutnya, pelaku dapat juga memaknai itu sebagai hal yang tidak diulangi di masa depan (Graham et al., 2017).
Dalam proses memaafkan diri sendiri, pelaku mempertimbangkan beberapa hal untuk memperbaiki hubungan pernikahannya yaitu kondisi ekonomi, pengasuhan anak dan tujuan pernikahan (Schwartz, 2018). Tujuan pernikahan yang dijadikan salah satu pertimbangan pelaku untuk mempertahankan hubungan, sekaligus menandakan bahwa ia memiliki pemaknaan hidup (Graham et al., 2017). Pemaknaan hidup (meaning in life) adalah kondisi saat seseorang memaknai keberadaannya dalam hidup yang meliputi pemahaman diri dan kehidupan yang dijalani serta
motivasi untuk mencari dan mencapai tujuan dalam hidup (Steger et al., 2006). Bagi seseorang yang sudah menikah, pemaknaan terhadap pernikahan menjadi hal yang penting untuk menjelaskan situasi yang dijalani setiap waktu dalam rangka mencapai tujuan pernikahan. Ketika pelaku menyadari alasan perselingkuhan, makna pernikahan yang semula dipahami perlahan-lahan berubah. Pada awalnya, pelaku mungkin memaknai pernikahan sebagai ikatan yang membahagiakan, tempat yang aman berbagi cerita dan saling memahami. Ketika muncul permasalahan yang menjadi alasan perselingkuhan, makna pernikahan sebagai hal yang membahagiakan dalam hidup cenderung berubah menjadi hal yang penuh dengan ketidakpuasan. Cara pelaku memaknai hidupnya sendiri akan berubah, misalnya semula pelaku memandang dirinya sebagai pasangan yang setia, orangtua teladan, dan anak yang taat pada orangtua, akan berubah seiring pelaku tersebut menjalani perselingkuhan. Ketika makna pernikahan berubah, maka makna hidup juga berubah. Perubahan makna hidup ini seringkali disebut sebagai ruptures of meaning (Graham et al., 2017). Pelaku yang memutuskan untuk mempertahankan pernikahannya setelah perselingkuhan membutuhkan makna hidup yang baru. Dalam menentukan makna hidup yang baru, pelaku harus menempuh proses pemaafan diri yang sesungguhnya (Graham et al., 2017).
Dalam proses perselingkuhan, pelaku mengalami proses psikologis yang bersifat negatif. Emosi negatif yang dirasakan antara lain perasaan malu, bersalah, memikirkan terus-menerus (rumination) atas perselingkuhan. Emosi tersebut dirasakan berulang-ulang seperti siklus tanpa ujung (Graham et al., 2017). Sambil menghadapi dampak negatif yang dialami, pelaku dalam ikatan pernikahan juga harus menghadapi dampak psikologis yang dirasakan korban. Korban mungkin masih dalam keadaan tersakiti, penuh kemarahan, sakit hati, merasa dikhianati, kesulitan untuk mengendalikan emosi dan ingin membalas dendam kepada pelaku, salah satunya dengan cara menghindar (Ginanjar, 2009). Hal ini dapat menyebabkan siklus yang dialami oleh pelaku semakin berulang sehingga dapat menyebabkan masalah yang lebih besar pada pernikahan.
Menurut Graham et al. (2017) dalam Handbook of Selfforgiveness, self-forgiveness berperan untuk mendorong pelaku perselingkuhan keluar dari siklus tersebut. Pelaku yang memiliki self-forgiveness mampu memaafkan diri sendiri karena mengakui kesalahan yang diperbuat, sekaligus nilai-nilai yang dihadapinya, serta memulihkan emosi terhadap diri setelah melakukan perselingkuhan. Ketika pelaku perselingkuhan sudah mampu menerima emosi negatif yang dialami, bentuk pemaafan diri juga didukung dengan upaya untuk berhenti melakukan perselingkuhan.
Dalam proses memaafkan diri sendiri, pelaku perselingkuhan mempertimbangkan beberapa hal untuk memperbaiki hubungan pernikahannya. Menurut Schwartz (2018), hal-hal yang dipertimbangkan oleh pelaku dapat berupa kondisi ekonomi dalam pernikahan, anak-anak, dan tujuan menikah. Ketika pelaku mempertimbangkan tujuan menikah dengan pasangannya yang semula, hal ini menjadi tanda bahwa ia memandang pernikahannya sebagai makna hidup yang berarti. Pemaknaan hidup (meaning in life) adalah kondisi saat
seseorang memaknai keberadaannya dalam hidup yang meliputi pemahaman diri dan kehidupan yang dijalani serta motivasi untuk mencari dan mencapai tujuan dalam hidup (Steger et al., 2006). Pelaku yang memilih untuk tetap mempertahankan pernikahannya akhirnya mampu memaknai perselingkuhan sebagai pengalaman masa lalu yang dijadikan pelajaran. Selanjutnya, pelaku dapat juga memaknai itu sebagai hal yang tidak diulangi di masa depan.
Sebaliknya, bagi pelaku yang memiliki self-forgiveness yang rendah, ia cenderung akan kesulitan untuk melihat perselingkuhan sebagai tanggungjawabnya, bagian dari keputusannya (Graham et al., 2017). Keputusannya untuk menyalahkan aspek lain sebagai alasan untuk berselingkuh menghambat dirinya dalam proses memaafkan diri. Rasa bersalah dan menghukum diri sendiri tanpa upaya untuk memulihkan emosi juga cenderung menghambat selfforgiveness. Pelaku yang memilih untuk menghentikan pernikahannya tidak mampu memaknai perselingkuhan sebagai kesalahan yang dapat diperbaiki (Graham et al., 2017).
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Van Tongeren et al. (2014) dan Karseboom (2016), terdapat hubungan antara selfforgiveness dengan meaning in life. Studi yang dilakukan oleh Van Tongeren et al. (2014) bertujuan untuk mengukur hubungan forgiveness dengan meaning in life pada mahasiswa dan pasangan. Hasilnya, baik forgiveness sebagai trait maupun state berhubungan positif dengan meaning in life dan pasangan yang sering memaafkan secara berkala memiliki peningkatan meaning in life dari waktu ke waktu. Studi yang dilakukan oleh Karseboom (2016) pada mahasiswa bertujuan untuk mengukur dispositional forgiveness dengan meaning in life. Hasilnya menyatakan bahwa dispositional forgiveness, self-forgiveness (forgiveness of self), dan forgiveness of situations berhubungan dengan meaning in life. Perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai self-forgiveness dengan meaning in life pada pasangan dalam pelanggaran hubungan yang spesifik, terutama pelaku perselingkuhan dalam pernikahan.
Oleh karena itu, self-forgiveness dibutuhkan oleh pelaku perselingkuhan yang ingin mempertahankan pernikahan. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, diperlukan penelitian yang membahas gambaran self-forgiveness dan meaning in life pada pelaku. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui hubungan antara self-forgiveness dan meaning in life pada pelaku perselingkuhan dalam pernikahan; dan 2) menjelaskan gambaran self-forgiveness dan meaning in life pada pelaku perselingkuhan dalam pernikahan. Tujuan pertama dilakukan dengan metode kuantitatif, sehingga diperoleh hasil uji korelasional dan skor pelaku perselingkuhan yang memiliki skor self-forgiveness dan meaning in life yang tinggi maupun rendah. Tujuan kedua diperoleh dengan metode kualitatif, yaitu menggali secara mendalam dinamika self-forgiveness dan meaning in life pada pelaku perselingkuhan. Dengan demikian, gambaran dinamika self-forgiveness dan meaning in life dapat lebih menggambarkan pelaku perselingkuhan serta menyempurnakan data. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan penelitian mix-method.
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan penelitian, metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mixed methods research design, khususnya explanatory sequential design. Creswell dan Clark (dalam Creswell, 2012) menjelaskan mixed methods research design sebagai prosedur mengumpulkan, menganalisis, dan “mencampurkan”, baik metode kuantitatif dan kualitatif untuk memahami suatu pertanyaan penelitian. Hasil statistik yang diperoleh (dari metode kuantitatif) dapat lebih bermakna dengan adanya informasi detail yang dihasilkan metode kualitatif (Creswell, 2012). Pada explanatory sequential design, alur penelitian dimulai dari pengambilan dan analisis data kuantitatif, baru kemudian dari hasil analisis tersebut, dilanjutkan dengan pengambilan dan analisis data kualitatif untuk mendukungnya (Creswell, 2012). Sesuai dengan tujuan penelitian ini, peneliti berharap agar mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, ketimbang dengan hanya menggunakan salah satu metode (baik hanya kuantitatif, maupun hanya kualitatif).
Karakteristik sampel yaitu: a) pernah melakukan perselingkuhan dalam pernikahan, dan saat ini sudah tidak lagi melakukan perselingkuhan; b) saat ini tetap berada dalam ikatan pernikahan bersama pasangan; c) perselingkuhan diketahui oleh kedua belah pihak dalam pernikahan; d) pelaku perselingkuhan memiliki orientasi seksual heteroseksual; e) jenis perselingkuhan bisa berupa emosional maupun seksual, namun bukan berupa retaliatory infidelity; f) tinggal di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Pengambilan data kuantitatif menggunakan form kuesioner online yaitu Google Form. Walaupun pengambilan data dilakukan secara kuantitatif, namun peneliti dapat menghubungi sampel lebih dahulu, sehingga peneliti dapat memastikan bahwa kuesioner diisi oleh sampel dengan karakteristik yang ditentukan dalam penelitian ini. Kelebihan menggunakan metode pengambilan data ini adalah memiliki waktu dan biaya yang lebih efisien dan dapat mendapatkan partisipan yang lebih luas. Sebaliknya, kelemahannya yaitu terdapat kemungkinan partisipan yang kurang memahami instruksi maupun item alat ukur dan tidak dapat mengendalikan situasi saat partisipan mengisi alat ukur.
Dua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Differentiated Process Scale of Self-forgiveness (DPSSF) untuk mengukur self-forgiveness, yang dikembangkan oleh Woodyatt & Wenzel (2013). DPSSF terdiri dari 20 item yang terdiri dari tiga proses seseorang memaafkan dirinya ketika menghadapi pelanggaran dalam hubungan dan mengukur selfforgiveness sebagai suatu proses bukan situasi. Secara rinci, alat ukur ini terdiri dari tiga subskala yaitu genuine selfforgiveness (7 item; misalnya, saya mencoba untuk belajar dari kesalahan saya), pseudo self-forgiveness (6 item; misalnya, saya merasa orang lain pergi untuk apa yang mereka layak dapatkan), dan self-punitive (7 item; misalnya, saya pantas menderita atas apa yang telah saya lakukan). Setiap item DPSSF menggunakan format respons berupa 5 pilihan Skala Likert (1 = sangat tidak setuju, 5 = sangat setuju). Semakin tinggi skor DPSSF maka semakin tinggi pula selfforgiveness pelaku. Jika pelaku memiliki skor yang tinggi
pada dimensi genuine self-forgiveness, maka pelaku cenderung menunjukkan tindakan memperbaiki diri dari kesalahan. Jika pelaku memiliki skor yang tinggi pada dimensi pseudo self-forgiveness, maka pelaku cenderung menunjukkan sikap mengabaikan tanggungjawab atas kesalahannya. Jika pelaku memiliki skor yang tinggi pada dimensi self-punitive, maka pelaku cenderung mengalami perasaan malu, bersalah, dan menghukum diri sendiri. Skor DPSSF merupakan skor total yang menggambarkan ketiga proses dinamis yang telah dilalui oleh partisipan. Untuk mengukur meaning in life, peneliti menggunakan alat ukur Meaning in Life Questionnaire (MLQ) yang ditunjukkan valid dalam studi Rose et al. (2017). MLQ terdiri dari 10 item yang digunakan untuk mengukur meaning in life pelaku perselingkuhan. Peneliti juga melakukan back-to-back translation untuk DPSSSF dan MLQ. Setelah adanya kesepakatan antara 2 penerjemah dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia, dan selanjutnya dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris kembali, maka setiap item dari instrument ini diujicobakan. Seluruh item DPSSF telah teruji valid, dengan rentang nilai r mulai dari 0.255 sampai dengan 0.777. Untuk MLQ, semua item telah teruji valid, dengan rentang nilai r mulai dari 0.210 sampai dengan 0.689. Uji reliabilitas instrumen menggunakan Cronbach’s Alpha. Rentang Cronbach’s Alpha menunjukkan alat ukur tersebut reliabel, dengan rentang nilai 0.7 sampai dengan 0.9 (Kaplan & Saccuzzo, 2016). Pada DPSSF, rentang nilai Cronbach’s Alpha yaitu 0.701 sampai dengan 0.809, sedangkan MLQ yaitu 0.711 sampai dengan 0.804.
HASIL PENELITIAN
Tahap Kuantitatif
Data demografis partisipan
Berdasar teknik statistik deskriptif, diperoleh data yang dijelaskan dalam table 1 (terlampir). Dari data itu terlihat bahwa usia partisipan penelitian ini sebagian besar adalah perempuan (85.19 %) dan berkisar antara 25 sampai 56 tahun. Pada penelitian ini, usia paling banyak yaitu 26-25 tahun (55.55%). Berdasarkan wilayah tempat tinggal, partisipan penelitian paling banyak yaitu berasal dari Jakarta (29.63%) dan paling sedikit dari Depok dan Tangerang (11.11%). Usia perkawinan partisipan sebagian besar ada di usia 0-5 tahun (40.74%). Jenis perselingkuhan yang paling banyak dialami partisipan adalah emosional (55.55%) dan paling sedikit adalah seksual (11.11%). Durasi perselingkuhan partisipan sebagian besar berlangsung selama 0-1 tahun (77.77%). Partisipan penelitian ini sebagian besar tidak/belum memiliki anak (40.74%) dan memiliki satu orang anak (40.74%).
Uji korelasi
Hasil tabel 2 (terlampir) menunjukkan bahwa self-forgiveness dan meaning in life memiliki korelasi sebesar r(25)=.622, p<.05. Hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara selfforgiveness dan meaning in life (r(25)=.622) signifikan pada p<.05, one tailed.
Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat pula bahwa penghitungan r2 dari hasil korelasi self-forgiveness dan meaning in life sebesar .39. Menurut Arikunto (2006), kekuatan nilai korelasi antara
self-forgiveness dan meaning in life termasuk dalam kategori tinggi.
Setelah melakukan uji korelasi, peneliti menentukan empat orang partisipan untuk melanjutkan tahap kualitatif berdasarkan skor yang diperoleh. Tabel 3 menunjukkan empat partisipan utama kualitatif yang memiliki skor tinggi dan rendah pada masing-masing variabel. Skor tinggi dan skor rendah dipilih untuk menggambarkan dinamika partisipan yang memiliki pengalaman subyektif berbeda, sehingga hasil studi ini dapat dipakai untuk memberikan rekomendasi atas dasar variasi pengalaman partisipannya. Dengan demikian, data semakin disempurnakan. Nama partisipan bukan nama yang sebenarnya.
Tahap Kualitatif
Tabel 3 (terlampir) menunjukkan identitas partisipan utama penelitian kualitatif (nama yang diberikan disini adalah bukan nama sebenarnya). Triangulasi dilakukan terhadap data, tidak hanya dengan memberikan pertanyaan yang sama pada significant other dari partisipan, namun juga dengan melakukan interpretasi data yang dilakukan oleh dua orang berbeda. Interpretasi dilakukan dengan memberikan koding terhadap data, dan koding tersebut kemudian didiskusikan sehingga memberikan intepretasi yang disepakati antar pemberi interpretasi.
Sarah memiliki self-forgiveness dan meaning in life yang tinggi, Diva memiliki self-forgiveness yang tinggi dan meaning in life yang rendah, Tari memiliki self-forgiveness yang rendah dan meaning in life yang tinggi, serta Maria memiliki self-forgiveness dan meaning in life yang rendah.
Berdasarkan analisis masing-masing konstruk, Sarah mengalami proses pemaafan diri yang sesungguhnya. Pada awal perselingkuhan, Sarah memandang bahwa banyak hal yang membuatnya merasa bersalah, terutama kepada Jared, anaknya, dan Juan, suaminya yang setia. Ketika menghadapi dampak negatif perselingkuhan, seperti sulitnya membagi waktu dengan anak, anak menjadi menjauh dan tidak nyaman dengan Sarah, hal ini membuat Sarah menilai ulang apakah perselingkuhan ini layak untuk dilanjutkan atau tidak. Sempat ada pemikiran bahwa Sarah pantas untuk dilayani, merasa bahagia dengan pria lain, karena tidak puas dengan sikap Juan sebagai seorang suami. Namun pada akhirnya, Sarah mengakhiri perselingkuhan karena Anton telah mengecewakan dirinya dan Sarah lebih memprioritaskan Jared.
Pemahaman Sarah dan Anton terhadap tujuan perselingkuhan menjadi penting untuk dibahas. Sarah dan Anton sudah sepakat bahwa perselingkuhan ini terjadi hanya untuk pemenuhan kebutuhan masing-masing. Namun seiring berjalannya waktu, Anton meminta lebih yaitu ingin hidup bersama Sarah dan meminta Sarah meninggalkan keluarganya. Oleh karena itu, Sarah semakin yakin bahwa perselingkuhan ini harus segera diakhiri.
Ketika menjalani perselingkuhan, Sarah pun mengalami perubahan dalam memaknai pernikahannya. Awalnya, Sarah menganggap bahwa Juan adalah pasangan yang setara dan
dapat mendukung mimpinya untuk merintis karier dan studi namun seiring berjalannya waktu Sarah menganggap bahwa Juan yang menjadi penghambat untuk terwujudnya tujuan semula. Perubahan makna ini membuat Sarah juga mempertanyakan apakah perselingkuhan ini tepat untuk dilakukan, Sarah berusaha mencari tahu hal-hal yang penting dalam hidupnya, yang membuat dia keluar dari perasaan bingung dan bersalah. Sarah membaca artikel di internet tentang self-healing dan affair untuk. Sarah juga meminta Rizki untuk membantunya menilai dalam 10 tahun ke depan apakah Sarah bisa hidup dengan pasangan selingkuh atau Juan.
Usai perselingkuhan, Sarah mendapati bahwa dirinya ternyata belum terlalu mengenal diri sendiri dan Juan. Melalui perselingkuhan ini, Sarah menyadari bahwa selama ini Juan adalah pria yang terbaik dan ayah yang sangat menyayangi Jared. Perubahan perilaku yang Juan tunjukkan membuat Sarah tersadar bahwa dia salah menyikapi masalah dalam rumahtangganya. Sarah juga masih mencari arti pernikahan yang sesungguhnya, dalam hal kasih sayang yang “everlasting” atau bukan transaksional seperti yang dia persepsikan saat ini di pernikahannya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki pernikahannya, Sarah tetap mencari hal-hal yang penting dalam hidup sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan hidupnya, dalam karier, studi, keluarga dan pernikahan.
Partisipan kedua bernama Diva. Diva melalui proses pemaafan diri, dimulai dari pseudo self-forgiveness. Diva menganggap bahwa perselingkuhan itu terjadi karena suaminya yang cuek dan tidak memahami dirinya. Namun perasaan bersalah semakin terasa ketika perselingkuhan terungkap. Alih-alih menghukum Diva atas perbuatannya, Fahrul menjadi semakin pengertian dan justru meminta maaf jika dia berkontribusi akan ketidakpuasan dalam pernikahan Diva. Hal ini yang membuat Diva semakin merasa bersalah karena telah mengkhianati suaminya.
Diva juga mengalami perubahan makna hidup ketika berselingkuh. Diva memandang dirinya sebagai trainer yang baik, ibu dan istri yang bertanggungjawab. Ketika perselingkuhan berlangsung, Diva merasa bersalah karena dirinya telah melanggar komitmen yang semula ia pegang, menjadikan makna hidupnya berubah.
Walaupun proses perselingkuhan Diva terungkap akibat kelalaian Rasyid, Diva justru menunjukkan keterbukaan yang tinggi terhadap Fahrul. Diva mengakui perbuatannya dan jujur sepenuhnya ketika mengungkap kesalahannya. Hal ini membuat Fahrul juga mengatakan bahwa jika Diva memang ingin kembali memperbaiki pernikahannya demi anak, maka Fahrul meminta Diva putus hubungan dengan pasangan selingkuh. Tidak hanya itu, Fahrul juga mendampingi Diva dalam proses berduka karena kehilangan pasangan selingkuh tersebut sebagai pendengar yang baik. Dengan demikian, Diva sepenuhnya juga dapat memaafkan diri dan menemukan kembali makna hidup melalui pernikahannya. Selama ini, ada hal yang luput dari tujuan pernikahannya yaitu Diva belum merumuskan bersama suaminya mengenai tujuan pernikahan. Padahal mungkin saja Fahrul punya arah dalam pernikahan
dan konsisten melakukannya, tapi belum dimengerti sepenuhnya oleh Diva. Hal ini menjadi alasan mengapa Diva terus-menerus memandang suaminya tidak punya tujuan yang jelas dalam hidup. Ke depannya, Diva berusaha untuk menebus kesalahan dengan menjadi rumah ternyaman bagi suami dan pendengar yang baik bagi anaknya.
Partisipan ketiga bernama Tari. Tari memaknai pernikahannya sejak sebelum perselingkuhan sebagai upaya untuk mewujudkan keluarga yang harmonis bagi anak-anaknya. Tari tergoda dengan pria lain karena ada konflik yang cukup besar dengan Angga. Tari kecewa dengan Angga yang menggunakan uang dengan tidak bijak ketika keluarganya membutuhkan. Oleh karena itu, Tari menjalin hubungan dengan Anton.
Tari memaknai perselingkuhan itu sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang dan perhatian. Tari tidak pernah memiliki tujuan untuk hidup bersama pasangan selingkuh maupun meninggalkan keluarganya. Pada awal perselingkuhan, proses pemaafan diri yang palsu menjadi hal utama yang peneliti lihat dalam diri Tari. Tari melampiaskan kekecewaannya terhadap Angga dengan cara berhubungan dengan Anton. Setelah itu, sebagai seorang ibu Tari merasa bersalah karena tidak menjadi contoh yang baik untuk anak-anaknya karena memikirkan egonya sendiri. Ketika perselingkuhan berakhir, Tari menyadari bahwa dia tidak salah karena ingin disayang namun perilakunya memiliki konsekuensi yang buruk bagi rumah tangganya. Oleh karena itu, Tari mencoba menebus kesalahan dengan lebih menghargai Angga, bagaimanapun karakter dan kebiasaannya, dengan cara memandang Angga sebagai ayah dari anak-anaknya. Tari juga mengingat kebaikan yang Angga lakukan dengan konsisten. Tari juga lebih fokus untuk mewujudkan pencapaian dalam hidup, dengan begitu Tari semakin termotivasi untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.
Terakhir, partisipan bernama Maria. Maria menjalani kehidupan pernikahan yang hambar dalam aspek seksual. Upaya Maria untuk mengajak Rahman menghadapi persoalan ketidakpuasan seksual berujung sia-sia. Hal ini membuat Maria melalui proses pemaafan diri yang semu, dengan terus-menerus menganggap bahwa dia pantas memenuhi kebutuhan itu melalui pria lain. Di sisi lain, Maria tidak menyatakan bahwa dirinya mengalami dampak negatif dalam perselingkuhan. Hal ini cukup menghambat proses Maria mengakui kesalahan, bahkan untuk sepenuhnya memaafkan diri sendiri akibat perselingkuhan.
Maria mengakhiri perselingkuhannya karena Rahman mengungkapnya. Maria juga tidak sepenuhnya menjelaskan kepada Rahman hal-hal yang membuatnya berpaling dari suaminya itu. Bahkan, Maria sempat memikirkan cara-cara agar tetap mendapatkan hak asuh anak jika saja mereka benar-benar berpisah sebagai suami istri. Minimnya keterbukaan dalam pernikahan Maria dan Rahman menghambat proses Maria memaafkan diri. Pada saat perselingkuhan berakhir, Maria belum menunjukkan usaha untuk menebus kesalahannya dalam pernikahan.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat hubungan yang signifikan antara self-forgiveness dan meaning in life pada pelaku perselingkuhan dalam pernikahan. Hal ini sejalan dengan gambaran dinamika yang digali saat proses wawancara. Selain dimensi yang ada di dalam kedua konstruk tersebut, terdapat beberapa temuan menarik dalam penelitian ini.
Ada empat tema yang muncul dari penggalian data kualitatif. Tema pertama, kebutuhan yang tidak terpenuhi merupakan penyebab perselingkungan. Keempat partisipan menyadari bahwa perselingkungan mereka disebabkan kebutuhan mereka yang tidak dapat dipenuhi pasangan, yaitu kebutuhan untuk merasa diinginkan, disayang, dipuji, dihargai, rasa aman dari sisi ekonomi, dan kebutuhan kehidupan seksual. Keadaan ini sesuai dengan banyak temuan studi bahwa setiap pasangan perlu untuk mengenali kebutuhan sendiri dan kebutuhan pasangannya untuk dapat menjaga pernikahan (Harley, 2011).
Tema kedua adalah adanya pseudo self-forgiveness pada diri mereka dalam bentuk merasa wajar untuk melakukan perselingkungan karena pasangan tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka. Walau ada rasa bersalah, malu, egois, gagal, mengecewakan orang tua, namun mereka memilih untuk tetap melanjutkan perselingkuhan karena mereka merasa bahwa perselingkuhan mereka adalah hal yang wajar untuk memenuhi kebutuhan mereka dan berpikir bahwa pasangan mereka berkontribusi sehingga mereka berselingkuh karena pasangan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka. Keadaan ini mengkonfirmasi teori bahwa pseudo selfforgiveness dilakukan seseorang untuk melindungi diri mereka dari rasa bersalah akibat perbuatan mereka sendiri (Carpenter, 2012 ; Woodyatt & Wenzel, 2013).
Tema ketiga adalah genuine self-forgiveness yang tidak berlarut dialami pelaku perselingkuhan karena pasangan yang menerima dan mendampingi pelaku untuk kembali pada pernikahan. Walau keempat pelaku memutuskan kembali ke pernikahan karena diketahui oleh pasangan mereka, namun pasangan mereka tidak membalas dengan menyakiti perasaan atau fisik. Untuk pasangan yang mengakui bahwa mereka berkontribusi terhadap perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangannya, akan membantu mereka untuk memaafkan diri mereka sendiri, mengurangi tanggungjawab mereka untuk menanggung dampak perselingkuhan seorang diri, dan membuat mereka dapat melangkah ke tahap berikutnya, yaitu memperbaiki pernikahan mereka dengan bantuan pasangan. Penerimaan baik oleh diri sendiri maupun orang lain memang dapat membantu seseorang untuk menyembuhkan rasa malu dan bersalah atas perbuatan yang sudah mereka lakukan (Engel, 2015).
Tema keempat adalah adanya transformasi dalam memaknai perkawinan dan kehidupan. Transformasi berarti perubahan yang bermakna yang biasanya terjadi akibat peristiwa yang memberikan dampak mendalam bagi seseorang (Fincham et al., 2007). Partisipan menyadari bahwa perselingkungan yang
mereka lakukan berdampak pada masa depan anak dan keluarga mereka, juga diri mereka. Keadaan ini membuat mereka sadar bahwa perselingkuhan bukan pemecahan masalah namun penyebab masalah baru. Mereka menyadari bahwa kebutuhan mereka yang tidak dapat dipenuhi, tidak dapat dipecahkan dengan perselingkuhan. Ada partisipan yang menyadari bahwa solusi dari kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi adalah dengan mengkomunikasikannya pada suami sehingga dapat bersama-sama memenuhi kebutuhannya karena pernikahan adalah proses untuk saling memenuhi kebutuhan pasangan. Ada juga partisipan yang memilih untuk mengerti dan mengendalikan diri serta mengendalikan harapannya, karena menyadari bahwa pasangannya tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka, sehingga pernikahan bukan hanya suatu proses transaksional. Ada partisipan yang menyadari bahwa tetap akan ada ketidakpuasan dalam pernikahan, namun dapat diatasi dengan komitmen bersama untuk mengupayakan agar ada kegiatan yang dapat dilakukan bersama. Ia memandang bahwa pernikahan adalah suatu proses yang indah. Transformasi makna perkawinan juga dikaitkan dengan transformasi pada tujuan diri sendiri. Ada partisipan yang mengintegrasikan tujuan pernikahannya ke dalam tujuan pribadi, misalnya ingin menjadi ibu dan istri yang baik, selain juga untuk memiliki karir yang baik demi ekonomi keluarga.
Berikut adalah beberapa saran metodologis yang diberikan peneliti untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.
-
1. Mempertimbangkan untuk mewawancari orangtua sebagai significant others untuk triangulasi data
-
2. Mempertimbangkan untuk mengkaji keterkaitan pelaku perselingkuhan dalam memaafkan diri dan memaknai hidup dengan konstruk lain seperti coping stress, menghadapi disonansi kognitif, dan usia pernikahan ketika melakukan perselingkuhan.
Saran praktis yang dapat diberikan kepada pelaku perselingkuhan yaitu menyadari bahwa perselingkuhan bukan solusi dari ketidakpuasan dan mempertimbangkan kembali tujuan pernikahan di awal. Untuk mencapai pemaafan diri sepenuhnya, pelaku membutuhkan bantuan dan dukungan orang terdekat untuk memulihkan diri.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006). Metodologi penelitian. Bina Aksara.
Carpenter, T. p. (2012). Pseudi self-forgiveness: a response to self-intergrity threat [Submitted to the Graduate Faculty of Baylor University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Master of Arts].
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Creswell, J. W. (2012). Educational research: Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research (4th ed.). Pearson.
DiBlaso, F. A. (2000). Decision-based forgiveness treatment in cases of marital infidelity. Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training, 37(2), 149.
Engel, B. (2015). It wasn’t your fault: Freeing yourself from the shame of childhood abuse with the power of self-compassion. New Harbinger Publications.
Fincham, F. ., Stanley, S. ., & Beach, S. R. . (2007). Transformative processes in marriage: An analysis of emerging trends. Journal of Marriage and Family, 69(2), 275–292.
https://doi.org/doi:10.1111/j.1741-3737.2007.00362.x
Fisher, M. L., & Exline, J. J. (2010). Moving toward self‐forgiveness: Removing barriers related to shame, guilt, and regret. Social and Personality Psychology Compass, 4(8), 548–558.
Fretes, M. D., Nancy, N., & Anggraini, S. (2016). Wife’s Forgiveness for Husband’s Affair (Qualitative Study of Woman as Victims of Husband’s Affairs in Maumere). Seminar Asean 2 Nd Psychology & Humanity Psychlogy Forum UMM.
Ginanjar, A. S. (2009). Proses healing pada istri yang mengalami perselingkuhan suami. Makara, Sosial Humaniora, 13(1), 66– 76.
Graham, K. L., Morse, J. L., O’Donnell, M. B., & Steger, M. F. (2017). Repairing meaning, resolving rumination, and moving toward self-forgiveness. In Handbook of the psychology of self-forgiveness (pp. 59–72). Springer.
Harley, J. W. (2011). His needs, her needs: Building an affair-proof marriage (Revised an). Fleming H. Revell Co.
Kaplan, R. M., & Saccuzzo, D. P. (2016). Psychological testing: principles, applications, & issues (8th ed.). Wadsworth, Cengage Learning.
Karseboom, S. A. (2016). Relationship between meaning in life and dispositional forgiveness [Walden University]. In ProQuest Dissertations and Theses.
http://ezproxy.library.unlv.edu/login?url=https://search.proque st.com/docview/1794656011?accountid=3611%0Ahttp://unlv-primo.hosted.exlibrisgroup.com/openurl/01UNLV/01UNLV_S P??url_ver=Z39.88-
2004&rft_val_fmt=info:ofi/fmt:kev:mtx:dissertation&genre=d isserta
Omarzu, J., Miller, A. N., Schultz, C., & Timmerman, A. (2012). Motivations and emotional consequences related to engaging in extramarital relationships. International Journal of Sexual Health, 24(2), 154–162.
Perel, E. (2015). Rethinking infidelity... a talk for anyone who has ever loved. TED2015.
Perel, E. (2017). The state of affairs: Rethinking infidelity-A book for anyone who has ever loved. Hachette.
Rose, L. M., Zask, A., & Burton, L. J. (2017). Psychometric properties of the Meaning in Life Questionnaire (MLQ) in a sample of Australian adolescents. International Journal of Adolescence and Youth, 22(1), 68–77.
https://doi.org/10.1080/02673843.2015.1124791
Scheeren, P., Martínez de Apellániz, I. de A., & Wagner, A. (2018). Marital infidelity: The experience of men and women. Trends in Psychology, 26(1), 371–385.
https://doi.org/10.9788/TP2018.1-14En
Schnell, S. L. (n.d.). Understanding the Different Types of Infidelity.
Steger, M. F., Frazier, P., Kaler, M., & Oishi, S. (2006). The meaning in life questionnaire: Assessing the presence of and search for meaning in life. Journal of Counseling Psychology, 53(1), 80– 93. https://doi.org/10.1037/0022-0167.53.1.80
Van Tongeren, D. R., Green, J. D., Hook, J. N., Davis, D. E., Davis, J. L., & Ramos, M. (2014). Forgiveness increases meaning in Life. Social Psychological and Personality Science, 6(1), 47– 55. https://doi.org/10.1177/1948550614541298
Woodyatt, L., & Wenzel, M. (2013a). Self-forgiveness and restoration of an offender following an interpersonal transgression. Journal of Social and Clinical Psychology, 32(2), 225–259. https://doi.org/10.1521/jscp.2013.32.2.225
Woodyatt, L., & Wenzel, M. (2013b). The psychological immune response in the face of transgressions: Pseudo self-forgiveness and threat to belonging. Journal of Experimental Social Psychology, 49, 951–958.
https://doi.org/10.1016/j.jesp.2013.05.016
LAMPIRAN
Tabel 1
Data demografis partisipan
Kategori |
Frekuensi |
Perseutase |
Jenis Kelamin | ||
Lalci-Iaki |
4 |
14.81% |
Perempuan |
23 |
85.19% |
Usia | ||
Remaja Akhu- |
4 |
14.81% |
Dewasa Awal |
15 |
55.55% |
Dewasa Akhir |
3 |
11.11% |
Lansia Awal |
3 |
11.11% |
Lansia Akhir |
2 |
7.41% |
Tempat Tinggal | ||
Jakarta |
& |
29.63% |
Bogor |
6 |
22.22% |
Depok |
3 |
11.11% |
Tangerang |
3 |
11.11% |
Bekasi |
25.93% | |
Usia Perkawinan | ||
1-5 tahun |
11 |
40.74% |
6-10 tahun |
7 |
25.93% |
11-15 tahun |
4 |
14.81% |
16-20 tahun |
0 |
0% |
21-25 tahun |
2 |
7.41% |
26-30 tahun |
3 |
11.11% |
Jenis Perselingkuhan | ||
Emosional |
15 |
55.55% |
Seksual |
3 |
11.11% |
Emosional dan Seksual |
9 |
33.33% |
Durasi Perseliugkuhan | ||
0-1 tahun |
21 |
77.77% |
1-2 tahun |
2 |
7.41% |
2-3 tahun |
2 |
7.41% |
3-4 tahun |
2 |
7.41% |
Jumlah Auak | ||
0 |
11 |
40.74% |
1 |
11 |
40.74% |
2 |
5 |
18.52% |
Tabel 2
Uji normalitas data penelitian
Self-Forgiveness |
Meaning in Life | |
SelJr-Forgiveness |
1 |
.622*s |
Sig. (2-tailed) |
0.01 | |
Meaning in Life |
.622" |
1 |
Sig. (2-tailed) 0.01
**Correlation is significant at the 0.01 level
Tabel 3
Identitas Partisipan Tahap Kualitatif
Nama |
Sarah |
Diva |
Tari |
Maria |
Usia |
30 |
33 |
41 |
34 |
Tempat Tinggal |
Jakarta Selatan |
Bekasi |
Jakarta Utara |
Bogor |
Peketjaan |
Dokter umum |
Trainer |
Trainer |
Freelance Fotografer |
Pendidikan Terakhir |
Sl Kedokteran |
Sl Desain Komunikasi Visual |
SD |
Sl Hukum |
Agama |
Islam |
Islam |
Kristen |
Islam |
Suku Bangsa |
Batak |
Jawa |
Tionghoa |
Jawa |
Durasi Perselingkuhan |
1 tahun |
1 tahun |
1 tahun |
1 tahun |
Jenis Perselingkuhan |
Emosional dan Seksual |
Emosional |
Emosional |
Emosional dan Seksual |
Usia Pernikahan |
6 tahun |
7 tahun |
22 tahun |
9 tahun |
Usia Pernikahan ketika herselingkuh |
5 tahun |
4 tahun |
20 tahun |
8 tahun |
Jumlah Anak |
1 |
1 |
2 |
1 |
Usia Anak |
5 tahun |
6 tahun |
22, 17 tahun |
7 tahun |
Rata-rata Skor Self-FOrgiveness |
40.67 (Tinggi) |
33.33 (Tinggi) |
31.67 (Rendah) |
28.00 (Rendah) |
Rata-rata Skor Meaning in Life |
33.50 (Tinggi) |
31.00 (Rendah) |
24.00 (Tinggi) |
21.50 (Rendah) |
39
Discussion and feedback