Peran intensitas komunikasi dan regulasi emosi terhadap konflik interpersonal pada dewasa awal yang menjalani hubungan berpacaran jarak jauh
on
Jurnal Psikologi Udayana 2020, Vol.7, No.1, 20-30
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 26544024; p-ISSN: 2354 5607
Peran intensitas komunikasi dan regulasi emosi terhadap konflik interpersonal pada dewasa awal yang menjalani hubungan berpacaran jarak jauh
Putu Indira Ayu Aryaningih dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana pandeary@unud.ac.id
Abstrak
Hubungan berpacaran merupakan hubungan yang melibatkan keintiman yang intensif dan mendalam serta perasaan romantis antara dua individu yang saling mengenal. Dalam prosesnya, hubungan berpacaran tidak selalu dapat dilakukan secara berdekatan seperti mengejar pendidikan dan karir di daerah yang berbeda menyebabkan hubungan berpacaran harus dilakukan secara berjauhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran intensitas komunikasi dan regulasi emosi terhadap konflik interpersonal pada dewasa awal yang sedang menjalani hubungan jarak jauh dengan menggunakan metode kuantitatif. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 307 orang dewasa awal yang berada dalam hubungan berpacaran jarak jauh. Pengujian hipotesis menggunakan teknikregresi berganda. Berdasarkan uji hipotesis menunjukan nilai koefisien regresi yaitu 0,596, nilai koefisien determinasi yaitu 0,355 dan nilai signifikansi yaitu 0,000 (p<0,05) dengan nilai koefisien beta terstandarisasi variabel intensitas komunikasi sebesar -0,373 dan regulasi emosi sebesar -0,348. Berdasarkan hasil diatas dapat dikatakan bahwa intensitas komunikasi dan regulasi memiliki peran dalam menurunkan taraf konflik interpersonal pada dewasa awal yang sedang menjalani hubungan berpacaran jarak jauh.
Kata kunci: dewasa awal, hubungan berpacaran jarak jauh, intensitas komunikasi, konflik interpersonal, regulasi emosi.
Abstract
Courtship is type of relationship that involves a greater and deeper intimacy and romantic feelings between two individuals. During the process, courtship could not run smoothly due to education and careers in different areas that causes long distance relationship. The distance becomes an obstacle which triggers several conflicts. The situation of conflict always involves the communication process and emotional aspects. The influent communication tends to cause misunderstanding that lead to conflict. Uncontrolled emotion causes a dangerous conflict. This study applied quantitative method that discussed the role of communication intensity and emotion regulation toward interpersonal conflict at early adulthood undergoing long distance relationships. 307 adults participated in this research. In this study, the scale of interpersonal conflict, communication intensity, and emotional regulation were applied as measuring instruments. Multiple regression technique was use to do data analysis. The results of multiple regression tests showed that a regression coefficient was 0,596; a coefficient value of determination was 0,355; and a significance value was 0,000 (p<0,05) with a standardized beta coefficient on the variable of communication intensity about -0,373 and emotion regulation about -0,348. These results indicate that communication intensity and emotion regulation take a role to decrease interpersonal conflict at early adulthood who have long distance relationships.
Keywords: communication intensity, early adulthood, emotion regulation, interpersonal conflict, long distance relationships.
LATAR BELAKANG
Masa dewasa awal berlangsung sejak usia memasuki 20 tahun hingga memasuki usia 30, dimana pada masa ini individu didorong untuk mampu menjalin hubungan dengan lawan jenis. Pada tahap ini individu mulai memilih teman hidup dan mulai belajar untuk menjalin suatu hubungan (Hurlock, 2004). Salah satu cara untuk menjalani tugas perkembangan ini adalah melalui hubungan berpacaran. Hubungan berpacaran adalah hubungan serius yang melibatkan perasaan romantis kepada individu lain (Florsheim, 2003).
Dalam prosesnya, muncul berbagai hal yang mengubah hubungan jarak dekat menjadi jarak jauh yang membuat pasangan harus menjalani hubungan berpacaran jarak jauh, seperti harus melanjutkan pendidikan dan mengejar karir di lokasi yang berbeda. Suatu hubungan dapat dikategorikan menjadi hubungan jarak jauh jika individu berada sejauh 80 km dari pasangannya dan hubungan jarak jauh tersebut terjadi dalam jangka waktu setidaknya tiga bulan (Mietzner & Lin, 2005).
Banyak dewasa awal yang tetap mempertahankan hubungan meski harus terpisah oleh jarak, akibatnya sebanyak 75% mahasiswa berada dalam hubungan jarak jauh (Dansie, 2012). Menurut data Ristekdikti (2018) usia mahasiswa berkisar pada rentang 19-23 tahun sehingga mahasiswa dapat dikategorikan ke dalam dewasa awal. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Wibisono (2016) didapatkan sebanyak 63,4% responden sedang menjalani hubungan jarak jauh. Hubungan berpacaran jarak jauh rentan dengan kegagalan, hal ini didukung oleh survei yang dilakukan oleh The Center for Study of Long Distance Relationship (2018) dimana sebanyak 42% hubungan berpacaran jarak jauh mengalami kegagalan dan salah satu penyebabnya adalah konflik. Individu dewasa awal memiliki konflik yang lebih banyak dengan pasangan (Madsen & Collins, 2018).
Jarak fisik yang memisahkan pasangan dalam hubungan jarak jauh menimbulkan adanya ketidakpastian hubungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hubungan jarak dekat (Aylor, 2014). Interaksi tatap muka yang terbatas mengharuskan pasangan mencari cara untuk mempertahankan kebahagiaan dan mengurangi ketidakpastian (House, McGinty & Heim, 2017). Interaksi tatap muka yang terbatas mengarah pada munculnya konflik. Konflik selalu ada dalam sebuah hubungan (Wilmot & Hocker, 2007). Konflik interpersonal yang muncul dalam hubungan jarak jauh berkaitan dengan kondisi hubungan yang tidak umum yang membuat pasangan membandingkan hubungannya dengan hubungan jarak dekat, pasangan yang posesif, kesibukan masing-masing, waktu bertemu yang singkat,
kesalahan komunikasi dan adanya orang ketiga (Kusuma & Puspitawati, 2018).
Konflik sering diartikan sebagai pertengkaran atau perselisihan antara individu atau kelompok yang dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan sering kali dihindari (Puspita, 2018). Konflik merupakan suatu proses yang terjadi ketika tindakan individu mengganggu individu lain. Potensi konflik akan meningkat bila dua individu saling bergantung, berinteraksi dengan intens, dan melakukan banyak aktivitas bersama (Taylor, Peplau & Sears, 2009). Robbins dan Judge (2013) mengatakan munculnya konflik interpersonal dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu komunikasi, struktur dan variabel pribadi. Variabel pribadi meliputi kepribadian, nilai-nilai dan emosi. Emosi memiliki peran besar dalam munculnya konflik interpersonal (Costa dkk, 2018). Regulasi emosi menjadi salah satu bagian emosi yang berperan dalam konflik interpersonal.
Regulasi emosi merujuk pada kemampuan individu dalam memonitor, mengontrol, dan mengevaluasi emosinya dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Gross, 2007). Kemampuan untuk mengatur emosi selama konflik dalam hubungan dapat memprediksi kepuasan hubungan yang lebih besar (Vater & Schroder-Abe, 2015). Semakin banyak emosi negatif yang dialami dan diekspresikan selama konflik akan menimbulkan konsekuensi yang semakin berbahaya (Jung, 2016).Hubungan berpacaran jarak jauh menimbulkan berbagai macam emosi, seperti rasa iri yang timbul akibat perbandingan dengan hubungan jarak dekat dan perasaan tidak nyaman akibat pasangan memberikan perhatian yang berlebihan. Berbagai emosi yang muncul perlu dikendalikan sehingga tidak menjadi suatu konflik (Kusuma & Puspitadewi, 2018).
Konflik interpersonal dipengaruhi oleh faktor lain yaitu komunikasi. Konflik interpersonal dapat muncul ketika komunikasi yang dilakukan terlalu sering atau terlalu jarang (Robbins & Judge, 2013). Komunikasi adalah kunci utama suatu hal dapat menjadi masalah dan konflik (Chatterjee & Kulakli, 2015). Komunikasi menjadi suatu hal yang penting dalam hubungan, apabila komunikasi yang terjalin tidak lancar maka dapat menimbulkan konflik (Puspita, 2018). Adanya jarak membuat pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh tidak dapat melakukan komunikasi secara tatap muka dan membutuhkan bantuan media seperti internet. Pasangan yang menjalani hubungan berpacaran jarak jauh banyak berkomunikasi melalui pesan singkat, telpon dan telpon video (Dansie, 2012).Terdapat hal yang tidak dapat dilakukan oleh pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh dalam melakukan komunikasi seperti tidak bisa melihat ekspresi satu sama lain dan tidak bisa membaca intonasi yang disampaikan secara akurat,
seringkali kondisi seperti ini menjadi sumber permasalahan bagi pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh (Kusuma & Puspitawati, 2018).
Dalam hubungan berpacaran jarak jauh, komunikasi yang terjadi tidak semudah komunikasi dalam hubungan jarak dekat, akibatnya seringkali terjadi konflik yang disebabkan oleh adanya kesalahpahaman akibat komunikasi via media teknologi (Lee, Bassick & Mumpower, 2016). Selain itu, kemampuan untuk mengatur emosi negatif diperlukan untuk mengurangi dampak berbahaya yang muncul akibat konflik (Jung, 2016). Intensitas komunikasi yang tinggi dan kemampuan regulasi emosi yang baik diharapkan mampu membantu pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh untuk mengurangi konflik sehingga mampu mempertahankan hubungan, namun berdasarkan survei sebanyak 42% hubungan berpacaran jarak jauh mengalami kegagalan yang salah satu penyebabnya adalah konflik. Berdasarkan survei tersebut dapat diketahui bahwa muncul perbedaan antara harapan dengan kenyataan, hal ini memunculkan pertanyaan mengapa ada pasangan jarak jauh yang mampu mengurangi konflik dan mempertahankan hubungan serta mengapa ada pasangan jarak jauh yang tidak mampu mengurangi konflik dan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, peneliti berupaya untuk mengetahui peran intensitas komunikasi dan regulasi emosi terhadap konflik interpersonal pada dewasa awal yang menjalani hubungan berpacaran jarak jauh.
METODE PENELITIAN
Variabel dan Definisi Operasional
Konflik interpersonal menjadi variabel tergantung dalam penelitian ini. Intensitas komunikasi dan regulasi emosi menjadi variabel bebas. Masing-masing variabel memiliki definisi operasional sebagai berikut:
Konflik interpersonal
Konflik interpersonal adalah konflik antara dua individu dalam sebuah hubungan yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat, perilaku, tujuan, sikap, dan kepercayaan.
Intensitas komunikasi
Intensitas komunikasi adalah tingkat keluasan dan kedalaman komunikasi yang dapat dilihat dari adanya kejujuran, keterbukaan, dan kepercayaan. Regulasi emosi
Regulasi emosi adalah keterampilan individu untuk melakukan kontrol, mengelola, dan mengatur berbagai reaksi emosional yang dirasakannya untuk mencapai tujuan.
Responden
Populasi dalam penelitian ini adalah dewasa awal yang sedang menjalani hubunga berpacaran jarak jauh.
Pengambilan sampel menggunakan teknik nonprobability sampling berjenis teknik sampling insidental.
Penelitian dilakukan pada tanggal 1 Desember 2019 hingga tanggal 16 Desember 2019. Proses pengambilan data dilakukan dengan menggunakan google form.
Alat Ukur
Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan alat ukur berupa skala yaitu skala konflik interpersonal berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Wilmot dan Hocker (2007), skala intensitas komunikasi yang disusun berdasarkan aspek-aspek dari DeVito (2013), dan skala regulasi emosi berdasarkan aspek-aspek dari Gross (2007). Ketiga skala dirancang oleh peneliti.
Skala konflik interpersonal berisi 46 aitem, skala intensitas komunikasi berisi 50 aitem, dan skala regulasi emosi terdiri 46 aitem. Skala berbentuk skala likert dengan empat respon jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
Suatu aitem dikatakan valid apabila memiliki nilai r hitung lebih besar dari r table untuk degree of freedom (df) = n-2 dan memiliki nilai positif (Ghozali, 2018). Skala dapat dikatakan reliabel serta dapat digunakan apabila memiliki nilai koefisien alpha lebih besar dari 0,70 (Ghozali, 2018).
Proses uji coba alat ukur dilakukan pada tanggal 7 November 2019 hingga 20 November 2019 dengan subjek dewasa awal yang sedang menjalani hubungan berpacaran jarak jauh. Proses uji coba dilakukan dengan menyebar tautan google form. Skala pada tahap uji coba berisi 6 bagian dimana bagian pertama berisi perkenalan dan pembuka, bagian kedua berisiinformed consent, bagian ketiga berisi identitas, bagian keempat berisi skala intensitas komunikasi, bagian kelima berisi skala regulasi emosi dan bagian keenam berisi skala konflik interpersonal. Subjek yang berpartisipasi dalam proses uji coba sebanyak 83 orang.
Hasil uji validitas skala konflik interpersonal memiliki nilai r hitung berkisar 0,218-0,691. Hasil uji reliabilitas skala konflik interpersonal menunjukan koefisien alpha mampu mengungkap 93,60% nilai skor murni subjek. Berdasarkan hal tersebut skala konflik interpersonal dapat digunakan sebagai alat ukur variabel konflik interpersonal
Hasil uji validitas skala intensitas komunikasi memiliki nilai r hitung berkisar 0,227-0,700. Hasil uji reliabilitas skala intensitas komunikasi
menunjukan koefisien alpha mampu mengungkap 92,00% nilai skor murni subjek. Berdasarkan hal tersebut skala intensitas komunikasi dapat digunakan sebagai alat ukur variabel intensitas komunikasi.
Hasil uji validitas skala regulasi emosi memiliki nilai r hitung berkisar 0,220-0,662. Hasil uji reliabilitas skala regulasi emosi menunjukan koefisien alpha mampu mengungkap 89,80% nilai skor murni subjek. Berdasarkan hal tersebut skala regulasi emosi dapat digunakan sebagai alat ukur variabel regulasi emosi
Teknik Analisis Data
Pengujian hipotesis menggunakan metode analisis regresi berganda yang dilakukan dengan program SPSS 17.0 for Windows. Analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui hubungan lebih dari satu variabel bebas terhadap satu variabel tergantung (Santoso, 2016). Analisis regresi juga dapat menunjukan arah hubungan variabel bebas terhadap variabel tergantung (Ghozali, 2018). Apabila nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) maka variabel bebas berperan secara signifikan terhadap variabel tergantung, namun sebaliknya apabila nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (p>0,05) maka variabel bebas tidak berperan secara signifikan terhadap variabel tergantung (Sugiyono, 2015).
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Subjek
Berdasarkan data karakteristik subjekyang tertera dalam tabel 1, 2 dan 3 (terlampir), diperoleh jumlah subjek sebanyak 307 orang dengan mayoritas subjek berjenis kelamin perempuan, mayoritas subjek berusia 21 tahun dan mayoritas subjek berada di provinsi yang berbeda dengan pasangannya.
Deskripsi Data Penelitian
Berdasarkan hasil deskripsi statistik dalam tabel 4(terlampir) menunjukan bahwa konflik interpersonal memiliki nilai mean teoritis yaitu 100 dan nilai mean empiris yaitu 76,33. Perbedaan nilai mean teoritis dan mean empiris pada variabel konflik interpersonal sebesar 23,671 yang memiliki nilai t yaitu -28,900 (p=0,000).
Berdasarkan hasil deskripsi statistik dalam tabel 4 menunjukan bahwa variabel intensitas komunikasi memiliki nilai mean teoritis yaitu 102,5 dan nilai mean empiris yaitu 127,19. Perbedaan nilai mean teoritis dan mean empiris pada variabel intensitas komunikasi yaitu 24,686 yang memiliki nilai t yaitu 30,102 (p=0,000).
Berdasarkan hasil deskripsi statistik dalam tabel 4 menunjukan bahwa variabel regulasi emosi
memiliki nilai mean teoritis yaitu 105 dan nilai mean empiris yaitu 117,65. Perbedaan antara nilai mean teoritis dan mean empiris pada variabel regulasi emosi yaitu 12,651 yang memiliki nilai t yaitu 18,726 (p=0,000).
Uji Asumsi
Pengujian normalitas dilakukan dengan Kolgomorov-Smirnov. Data penelitian terdistribusi dengan normal apabila signifikansi menunjukan nilai yang lebih besar dari 0,05, namun sebaliknya data penelitian tidak terdistribusi dengan normal apabila signifikansi menunjukan nilai yang lebih kecil dari 0,05. Berdasarkan hasil pengujian normalitas yang sudah dilakukan dan tertera dalam tabel 5 (terlampir) , nilai signifikansi variabel konflik interpersonal sebesar 0,625 (p>0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa variabel konflik interpersonal memiliki data yang terdistribusi dengan normal. Variabel intensitas komunikasi memiliki data yang terdistribusi dengan normal yang dapat dilihat dari signifikansi sebesar 0,347 (p>0,05). Variabel regulasi emosi memiliki data yang berdistribusi normal yang dapat dilihat dari signifikansi sebesar 0,332 (p>0,05).
Dua variabel memiliki hubungan yang linear apabila signifikansi linearity menunjukan nilai yang lebih kecil dari 0,05, namun sebaliknya dua variabel memiliki hubungan yang tidak linear apabila signifikansi linearity menunjukan nilai yang lebih besar dari 0,05. Berdasarkan pengujian lineritas yang sudah dilakukan dan tertera dalam tabel 6 (terlampir), variabel konflik interpersonal dan intensitas komunikasi memiliki hubungan yang linear yang dapat dilihat dari signifikansi linearity 0,000 (p<0,05). Variabel konflik interpersonal dan regulasi emosi juga memiliki hubungan yang linear yang dapat dilihat dari signifikansi linearity 0,000 (p<0,05).
Dua variabel tidak terjadi korelasi yang tinggi dan tidak terjadi multikolonearitas apabila nilai tolerance dibawah 0,1 dan nilai VIF diatas 10, namun sebaliknya dua variabel terjadi korelasi yang tinggi dan terjadi multikolonearitas apabila nilai tolerance diatas 0,1 dan nilai VIF dibawah 10. Berdasarkan hasil pengujian multikolonearitas yang sudah dilakukan dan tertera dalam tabel 7 (terlampir), variabel intensitas komunikasi dan regulasi emosi tidak terjadi korelasi yang tinggi dan tidak terjadi multikolonearitas yang dapat dilihat dari nilai tolerance 0,867 (tolerance>0,1) dan nilai VIF 1,153 (VIF<10).
Melihat hasil uji asumsi, dapat dikatakan bahwa data penelitian berdistribusi normal, berhubungan secara linear, dan tidak terjadi korelasi yang tinggi sehingga dapat dilakukan pengujian hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda.
a.
b.
c.
Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda yang tertera dalam tabel 8 (terlampir), dapat dilihat nilai F hitung yaitu 83,636 dan signifikansi menunjukkan nilai sebesar 0,000 (p<0,05), sehingga dapat dikatakan bahwa intensitas komunikasi dan regulasi emosi secara bersamaan memiliki peran terhadap konflik interpersonal pada dewasa awal yang sedang menjalani hubungan jarak jauh.
Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda yang tertera dalam tabel 9 (terlampir), dapat dilihat nilai R yaitu 0,596 dan nilai koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,355, sehingga dapat dikatakan bahwa intensitas komunikasi dan regulasi emosi memiliki peran sebesar 35,5% terhadap konflik interpersonal dan variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini memiliki peran sebesar 64,5% terhadap konflik interpersonal.
Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda yang tertera dalam tabel 10 (terlampir), variabel intensitas komunikasi memiliki koefisien beta terstandarisasi -0,373 dan taraf signifikansi 0,000 (p<0,05) oleh karena itu dapat dikatakan bahwa intensitas komunikasi berperan dalam menurunkan tingkat konflik interpersonal. Ketika intensitas komunikasi semakin tinggi maka konflik interpersonal semakin rendah. Variabel regulasi emosi memiliki koefisien beta terstandarisasi -0,348 dan taraf signifikansi 0,000 (p<0,05) oleh karena itu dapat dikatakan bahwa regulasi emosi berperan dalam menurunkan tingkat konflik interpersonal. Ketika regulasi emosi semakin tinggi maka konflik interpersonal semakin rendah.
Apabila rumus regresi berganda dimasukan kedalam persamaan matematis, maka didapat persamaan sebagai berikut:
Y = 173,352 – 0,373X1 – 0,348X2
Keterangan sebagai berikut:
Y = Konflik Interpersonal
X1 = Intensitas Komunikasi
X2 = Regulasi Emosi
Persamaan regresi diatas memiliki arti sebagai berikut:
Konstanta Y dengan nilai 173,352 menunjukkan jika tidak terdapat perubahan satuan nilai pada intensitas komunikasi maupun regulasi emosi, maka taraf konflik interpersonal sebesar 173,352.
Koefisien X1 dengan nilai -0,373 menunjukkan jika terdapat perubahan satuan nilai pada intensitas komunikasi, maka taraf konflik interpersonal berubah sebesar 0,373.
Koefisien X2dengan nilai -0,348 menunjukkan jika terdapat perubahan satuan nilai pada regulasi emosi, maka taraf konflik interpersonal berubah sebesar 0,348.
Analisis Data Tambahan
Dalam penelitian ini dilakukan analisis tambahan untuk memperkaya hasil penelitian. Analisis data yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah kategori jenis kelamin menyebabkan perbedaan taraf konflik interpersonal, intensitas komunikasi dan regulasi emosi. Pengujian tambahan menggunakan independent sample t-test.
Analisis data tambahan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan karakteristik subjek selain jenis kelamin, karena karakteristik subjek seperti usia dan jarak dengan pasangan tidak memenuhi syarat untuk dilakukan uji komparasi. Syarat untuk melakukan uji komparasi adalah dua atau lebih sampel yang akan dibandingkan harus berada dalam kategori yang sama yaitu kategori sampel berukuran kecil (N<30) atau kategori sampel berukuran besar (N>30) (Sudijono, 2012). Berdasarkan deskripsi karakteristik subjek, karakteristik usia dan jarak dengan pasangan tidak berada dalam kategori sampel yang sama, oleh karena itu pengujian analisis tambahan hanya dapat dilakukan dengan karakteristik jenis kelamin.
Data dikatakan terdapat perbedaan berdasarkan jenis kelamin apabila signifikansi pada tabel t-test for equality means menunjukkan nilai yang lebih kecil dari 0,05 (p<0,05), namun sebaliknya data dikatakan tidak terdapat perbedaan berdasarkan jenis kelamin apabila signifikansi pada tabel t-test for equality meansmenunjukkan nilai lebih besar dari 0,05 (p>0,05).
Berdasarkan hasil pengujianindependent sample t-test yang tertera dalam tabel 11 (terlampir), data konflik interpersonal subjek penelitian bersifat homogen dengan signifikansi Levene’s test for equality of variance sebesar 0,738 (p>0,05) sehingga memenuhi syarat untuk melakukan uji independent sample t-test. Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan terdapat perbedaan taraf konflik interpersonal antara subjek dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang dilihat dari signifikansi t-test for equality means sebesar 0,024 (p<0,05).
Data intensitas komunikasi subjek penelitian bersifat homogen dengan signifikansi Levene’s test for equality of variance sebesar 0,770 (p>0,05) sehingga memenuhi syarat untuk melakukan uji independent sample t-test. Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan tidak terdapat perbedaan taraf intensitas komunikasi antara subjek dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang dilihat dari signifikansi t-test for equality means sebesar 0,201 (p>0,05).
Data regulai emosi subjek penelitian bersifat homogen dengan signifikansi Levene’s test for
equality of variance sebesar 0,545 (p>0,05) sehingga memenuhi syarat untuk melakukan uji independent sample t-test. Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan terdapat perbedaan taraf konflik interpersonal antara subjek dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang dilihat dari signifikansi t-test for equality means sebesar 0,000 (p<0,05).
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk melihat peran intensitas komunikasi dan regulasi terhadap konflik interpersonal pada dewasa awal yang sedang menjalani hubungan berpacaran jarak jauh. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa hipotesis adanya peran intensitas komunikasi dan regulasi emosi terhadap konflik interpersonal pada dewasa awal yang sedang menjalani hubungan jarak jauh dapat diterima.
Variabel intensitas komunikasi memiliki koefisien beta terstandarisasi -0,373 dannilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Angka tersebut memiliki arti intensitas komunikasi berperan dalam menurunkan tingkat konflik interpersonal. Sejalan dengan penelitian ini, Lambuan, Mas’amah, dan Letuna (2019) mengungkapkan bahwa dalam membangun hubungan yang baik harus memperhatikan intensitas komunikasi. Menurut Lokasari, Nugroho dan Zuryani (2019) intensitas komunikasi yang baik pada pasangan jarak jauh dapat menumbuhkan perasaan saling percaya antar pasangan sehingga memperkuat hubungan jarak jauh hingga waktu yang lama, selain itu komunikasi yang terjalin juga membantu pasangan jarak jauh untuk saling menguatkan. Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2016) komunikasi yang baik membuat hubungan jarak jauh menjadi lebih intim dan dapat membantu dalam penyelesaian konflik.
Menurut Lambuan, Mas’amah dan Letuna (2019) adanya media komunikasi dan intensitas interaksi yang dilakukan membuat pasangan jarak jauh mampu untuk merasakan keberadaan pasangannya. Intensitas komunikasi yang baik dapat membuat pasangan membina hubungan dengan lebih baik. Hal ini didukung oleh pernyataan Dharmawijati (2016) pasangan dalam hubungan berpacaran jarak jauh memiliki komunikasi yang baik dengan adanya bantuan media seperti aplikasi komunikasi. Lee, Bassick dan Mumpower (2016) mengatakan bahwa pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh melakukan komunikasi dengan intensitas yang lebih tinggi sebagai kompensasi pertemuan yang terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas komunikasi yang dimiliki oleh pasangan jarak jauh dapat menentukan tingkat konflik interpersonal yang muncul.
Variabel regulasi emosi memiliki koefisien beta terstandarisasi -0,348 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Angka tersebut memiliki arti bahwa regulasi emosi berperan dalam menurunkan tingkat konflik interpersonal. Menurut Kusuma dan Puspitawati (2018) hubungan jarak jauh memiliki kerentanan seperti adanya keterbatasan ruang dan waktu yang membuat individu mampu menahan konflik agar tidak menimbulkan masalah. Kerentanan tersebut menuntut individu untuk mampu mengontrol emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diatur oleh regulasi emosi pada individu. Hasil penelitian tersebut juga mengatakan bahwa kemampuan untuk memahami emosi yang sedang dialami membantu individu secara sadar mengatasi gejolak emosi yang dirasakannya sehingga individu mampu mempertahankan emosi positif dan menekan emosi negatif. Hal tersebut merupakan upaya yang dilakukan oleh pasangan agar tidak terjadi konflik.
Menurut Lindner (2006) emosi yang dirasakan oleh individu berdampak pada konflik yang muncul. Ketika individu merasa sakit hati maka individu akan mengembangkan perasaan marah yang selanjutnya berdampak pada munculnya konflik. Individu akan bereaksi dengan amarah ketika meyakini bahwa pasangan menyakitinya dan memiliki kontrol atas dirinya. Individu yang merasa sakit hari akan melayangkan tuduhan-tuduhan yang berakibat pada munculnya konflik (Putri, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa regulasi emosi yang dimiliki oleh pasangan jarak jauh dapat menentukan tingkat konflik interpersonal yang muncul.
Berdasarkan hasil uji regresi berganda, variabel intensitas komunikasi memiliki koefisien beta yang lebih tinggi dibandingkan dengan variabel regulasi emosi, sehingga dapat disebutkan bahwa intensitas komunikasi memiliki peran yang lebih besar terhadap konflik interpersonal dibandingkan regulasi emosi. Peran intensitas komunikasi yang lebih besar terhadap konflik interpersonal berkaitan dengan mayoritas subjek yang berjenis kelamin perempuan. Maulana dan Gamelar (2013) menyebutkan bahwa perempuan membangun hubungan dan keintiman dengan pasangan melalui percakapan yang bersifat pribadi yang meliputi emosi dan perasaan. Pernyataan ini didukung oleh penelitian serupa oleh Pratiwi dan Lestari (2017) dimana perempuan lebih menyukai percakapan pribadi sedangkan laki-laki lebih banyak melakukan percakapan seperti bercanda dan berbicara terkait informasi.
Pada penelitian ini, hasil kategorisasi intensitas komunikasi mayoritas subjek memiliki taraf intensitas komunikasi yang tinggi. Menurut Dansie (2012) peran media komunikasi sangat membantu dalam hubungan jarak jauh. Komunikasi dalam hubungan jarak jauh harus dilakukan dengan
bantuan media komunikasi seperti pesan singkat, telpon dan telpon video. Sejalan dengan hasil penelitian, Maulana dan Gumelar (2013) menyatakan bahwa komunikasi melalui media memudahkan pasangan untuk melakukan kontak tanpa pertemuan, terutama dalam hubungan jarak jauh. Teknologi yang berkembang pesat membantu pasangan yang terpisah oleh jarak untuk tetap mempertahankan keharmonisan hubungan.
Pada penelitian ini, hasil kategorisasi regulasi emosi mayoritas subjek memiliki taraf regulasi emosi yang tinggi. Menurut Gross (2007) proses regulasi emosi mengalami perubahan dan perkembangan sepanjang tahun-tahun masa dewasa. Perubahan proses regulasi emosi terjadi akibat adanya perubahan lingkungan, dimana pada masa dewasa awal terdapat banyak kondisi yang menimbulkan berbagai tekanan seperti dalam lingkungan pendidikan dan lingkungan kerja. Bertambahnya pengalaman juga berkaitan dengan perubahan proses regulasi emosi individu, ketika individu semakin dewasa dan mendapat berbagai pengalaman hidup maka individu semakin belajar untuk menggunakan strategi regulasi emosi yang sehat.
Pembahasan Analisis Tambahan
Berdasarkan hasil pengujian analisis tambahan, signifikansi t-test for equality of means variabel konflik interpersonal yaitu 0,024 (p<0,05). Angka tersebut memiliki arti terdapat perbedaan konflik interpersonal antara subjek berdasarkan kategori jenis kelamin. Penelitian serupa dilakukan oleh Winstok, Smadar-Dror dan Weinberg (2018)yang mengatakan terdapat perbedaan konflik interpersonal antar jenis kelamin.
Penelitian serupa dilakukan oleh Ferres, Segura dan Exposito (2019) mengatakan bahwa perempuan merespon konflik dengan lebih ekspresif sedangkan laki-laki cenderung mengabaikan konflik. Hal ini terjadi karena laki-laki diajarkan untuk menjadi mandiri dan dituntut untuk mampu menghadapi kondisi yang mengancam secara langsung, agresif atau dengan paksaan. Sebaliknya, perempuan diajarkan dalam peran gender tradisional yang didorong untuk menjadi ekspresif dan bergantung oleh karena itu perempuan dituntut untuk mampu bersikap kooperatif dan peduli dengan hubungan.
Berdasarkan hasil pengujian analisis tambahan signifikansi pada t-test for equality of meansvariabel intensitas komunikasi yaitu 0,201 (p>0,05). Angka tersebut memiliki arti tidak terdapat perbedaan intensitas komunikasi antara subjek berdasarkan kategori jenis kelamin. Penelitian serupa dilakukan oleh Widiantari dan Herdiyanto (2013) yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki intensitas komunikasi yang sama. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan komunikasi laki-laki dan perempuan
cenderung sama sehingga tidak menimbulkan perbedaan intensitas komunikasi.
Berdasarkan hasil pengkajian analisis tambahan signifikansi pada t-test for equality of means variabel regulasi emosi yaitu 0,000 (p<0,05). Angka tersebut memiliki arti terdapat perbedaan regulasi emosi antara subjek berdasarkan kategori jenis kelamin. Hasil ini serupa dengan penelitian Ratnasari dan Suleeman (2017) yang mengatakan terdapat perbedaan regulasi emosi berdasarkan jenis kelamin.
Menurut Trives dkk (2016) laki-laki cenderung melakukan strategi regulasi emosi yang sedikit namun lebih adaptif. Perbedaan ini juga didukung oleh penelitian Masumoto, Taishi dan Shiozaki (2016) dimana perempuan cenderung meregulasi emosi dalam proses sadar, sedangkan laki-laki cenderung meregulasi emosi dalam proses otomatis.
Dalam penelitian ini masih terdapat sejumlah keterbatasan dan kekurangan, antara lain penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan hasil pengisian skala dari subjek penelitian sehingga terdapat kemungkinan adanya unsur yang kurang objektif dalam proses pengisian skala. Keterbatasan lain adanya banyaknya jumlah aitem skala yang dapat membuat subjek merasa bosan dalam mengisi skala. Keterbatasan yang lain adalah adanya variabel lain yang tidak dapat dikontrol dalam penelitian ini antara lain intensitas bertemu, intimasi, kepercayaan, kecemburuan, dan lain-lain.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, dapat dilihat bahwa intensitas komunikasi dan regulasi emosi secara bersamaan memiliki peran terhadap konflik interpersonal pada dewasa awal yang sedang menjalani hubungan jarak jauh. Jika dilihat secara terpisah, maka intensitas komunikasi berperan dalam menurunkan konflik interpersonal pada dewasa awal yang sedang menjalani hubungan jarak jauh, dan regulasi emosi berperan dalam menurunkan konflik interpersonal yang terjadi pada dewasa awal yang sedang menjalani hubungan jarak jauh. Berdasarkan hasil analisis data tambahan dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan konflik interpersonal, tidak terdapat perbedaan intensitas komunikasi, dan terdapat perbedaan regulasi emosi apabila dilihat berdasarkan kategori jenis kelamin. Berdasarkan penjelasan diatas, saran yang dapat diberikan bagi dewasa awal dalam hubungan berpacaran jarak jauh adalah pasangan diharapkan mampu mempertahankan intensitas komunikasi dan regulasi emosi sehingga dapat mengurangi konflik yang muncul. Saran bagi peneliti selanjutnya adalah mempertimbangkan jumlah aitem dalam skala penelitian serta mempertimbangkan variabel lain yang mungkin berkaitan dengan konflik
interpersonal khususnya dalam hubungan jarak jauh seperti kecemburuan, kepercayaan, intimasi, kepuasan.
DAFTAR PUSTAKA
Aylor, B. A. (2014). Maintaining long-distance relationships. DalamCanary, D. J., & Dainton, M. (Eds.). (2003).
Maintaining relationships through communication:
Relational, contextual, and cultural variations. Lawrence Erlbaum Associates
Publishers. https://doi.org/10.4324/9781410606990
Chatterjee, A., & Kulakli, A. (2015). A Study on the Impact of Communication System on Interpersonal Conflict. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 210, 320–329. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.372
Costa, J., Jung, M. F., Czerwinski, M., Guimbretiere, F., Le, T., & Choudhury, T. (2018). Regulating feelings during interpersonal conflicts by changing voice self-perception.Conference on Human Factors in Computing Systems - Proceedings, 2018-April.
https://doi.org/10.1145/3173574.3174205
Curşeu, P. L., Boroş, S., & Oerlemans, L. A. G. (2012). Task and relationship conflict in short-term and long-term groups: The critical role of emotion
regulation. International Journal of Conflict
Management, 23(1), 97–
107. https://doi.org/10.1108/10444061211199331
Dansie, L. (2012). Long-distance dating relationships among college students: the benefits and drawbacks of using technology. (Thesis tidak dipublikasikan). University of Missouri.
Dharmawijati, R. D. (2016). Komitmen dalam berpacaran jarak jauh pada wanita dewasa awal. eJournal Psikologi, 4(2), 237-248
DeVito, J. A. (2013). The Interpersonal communication 13th edition. New Jersey: Pearson Education.
Dunbar, R. I. M., & Machin, A. J. (2014). Sex differences in relationship conflict and reconciliation. Journal of Evolutionary Psychology. 12(2–4), 109–133.
https://doi.org/10.1556/JEP-D-13-00024
Alonso-Ferres, M., Valor-Segura, I., & Expósito, F. (2019). Couple conflict-facing responses from a gender perspective: emotional intelligence as a differential
pattern. Psychosocial Intervention, 28(3), 147–156.
https://doi.org/10.5093/pi2019a9
Firmin, M. W., Firmin, R. L., & Merical, K. L. (2013). Extended communication efforts involved with college long-distance relationships. Contemporary Issues in Education Research, 6(1).
Florsheim, P. (2003) Adolescent romantic and sexual behavior: what we know and where we go from here. In. London: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Ghozali, I. (2018). Aplikasi analisis multivariate dengan program IBM SPSS 25, edisi 9. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gross, J. J. (2007). Handbook of emotion regulation. New York: The Guilford Press.
Nolen-Hoeksema, S., & Aldao, A. (2011). Gender and age differences in emotion regulation strategies and their relationship to depressive symptoms. Personality and Individual Differences, 51(6), 704–708.
https://doi.org/10.1016/j.paid.2011.06.012
House, B., McGinty, M., & Heim, L. (2017). Can you handle the distance? A look into social media & the affects on long-distance relationships. Concordia Journal of Communication Research, 4(3).
Hurlock, E. B. (2004). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Jung, M. F. (2016). Coupling interactions and performance: Predicting team performance from thin slices of conflict. ACM Transactions on Computer-Human Interaction, 23(3). https://doi.org/10.1145/2753767
Kusuma, K. J., & Puspitadewi, N. W. S. (2018). Regulasi emosi pada individu dewasa awal yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh. Jurnal Penelitian Psikologi, 5(2), 1-10.
Lambuan, H., Mas’amah& Letuna, M. A. N. (2019). Penggunaan Whatsapp sebagai media komunikasi pacaran jarak jauh: Studi fenomenologi terhadap mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNDANA. Jurnal Ilmu Komunikasi 8(2).
Lee, S. K., Bassick, M. A., & Mumpower, S. W. (2016). Fighting electronically: Long-distance romantic couples’ conflict management over mediated communication. The Electronic Journal of Communication.
Lindner, E. G. (2006). Emotion and conflict: why it is important to understand how emotions affect conflict and how conflict affects emotions. In Deutsch, Morton, Coleman, Peter T., and Marcus, Eric C (Eds.), The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice. Secon Edition. Chapter Twelve, pp 268-293. San Fransisco, CA: Jossey-Bass.
Lokasari, P. V., Nugroho, W. B., & Zuryani, N. (2019). Komunikasi antarpribadi pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh (long distance relationship) di Kota Denpasar. Jurnal Ilmiah Sosiologi (SOROT), 1(2), 1-11.
Madsen, S., & Collins, W.(2018). Personal relationship in adolescence and early adulthood. In A. Vangelisti & D. Perlman (Eds.), The Cambridge Handbook of Personal Relationship (Cambridge Handbooks in Psychology, pp. 135-147). Cambridge: Cambridge University Press.
Masumoto, K., Taishi, N., & Shiozaki, M. (2016). Age and gender differences in relationships among emotion regulation, mood, and mental health. Gerontology and Geriatric Medicine, 2.
Maulana, H., & Gumelar, G. (2013). Psikologi komunikasi dan persuasi. Jakarta: Akademia Permata.
Mietzner, S., & Lin, L. W. (2005). Would you do it again? Relationship skills gained in a long-distance relationship. College Student Journal, 39(1).
Pratiwi, N. N. A. Y., & Lestari, M. D. (2017). Perbedaan kualitas komunikasi antara individu dewasa awal yang berpacaran jarak jauh dan jarak dekat di Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 4(1).
https://doi.org/10.24843/JPU.2017.v04.i01.p14.
Putri, R. J. (2016). Komunikasi antar pribadi untuk
pengelolaan konflik tuduhan tak berdasar pada
passangan Long-Distance Relationship. (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, Semarang.
Puspita, W. (2018). Manajemen konflik : suatu pendekatan psikologi, komunikasi dan pendidikan. Yogyakarta: Deepublish.
Ratnasari, S., & Suleeman, J. (2017). Perbedaan regulasi emosi perempuan dan laki-laki di perguruan tinggi. Jurnal Psikologi Sosial, 15(1).35–46.
https://doi.org/10.7454/jps.2017.4
Ristekdikti. (2018). Statistik Pendidikan Tinggi Tahun 2018. Jakarta: Pusdatin Iptek Dikti, Sekjen, Kemenristekdikti.
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2013). Organizational
behavior 15th edition. New Jersey: Pearson Education.
Santoso, S. (2016). Panduan lengkap spss versi 23. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Santrock, J. W. (2003). Adolescence: perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga.
Schoeder-Abe, M., & Schutz, A. (2011). Walking in each other’s shoes: Perspective taking mediates effects of emotion intellegence on relationship quality. European Journal of Personality, 25.https://doi.org/10.1002/per.818
Sudijono. (2012). Pengantar statistika pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. (2015). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan kombinasi (mx methods). Bandung: Alfabeta.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial edisi kedua belas. Jakarta: Kencana.
The Center for Study of Long Distance Relationship. (2018). Do LDRs work? Do Long Distance Relationship work? Diunduh dari
http://www.longdistancerelationships.net/faqs.htm#Do_L DRs_work_Dolong_ 25 April 2019.
Trives, J. J. R., Bravo, B. N., Postigo, J. M. L., Segura, L. R., & Watkins, E. (2016). Age and gender differences in emotion regulation strategies: Autobiographical memory, rumination, problem solving, and distraction. The Spanish
Journal of Psychology, 19.
https://doi.org/10.1017/sjp.2016.46
Vater, A.,& Schroder-Abe, M. (2015). Explaining the link between personality and relationship satisfaction:
Emotion regulation and interpersonal behaviour in
conflict discussions. European Journal of Personality, 29(2). 201-215. https://doi.org/10.1002/per.1993
Wibisono, N. (2016). Menerabas jarak demi cinta. Diunduh dari https://tirto.id/menerabas-jarak-demi-cinta-bw5f 25 April 2019.
Widiantari, K. S., & Herdiyanto, Y. K. (2013). Perbedaan intensitas komunikasi melalui jejaring sosial antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert pada remaja. Jurnal Psikologi Udayana, 1(1), 106–115.
https://doi.org/10.24843/jpu.2013.v01.i01.p11
Winstok, Z., Smadar-Dror, R., & Weinberg, M. (2018). Gender differences in intimate-conflict initiation an escalation tendencies. Aggresive Behavior,
44(1).https://doi.org/10.1002/ab.21750
Wilmot, W. W., & Hocker, J. L. (2007). Interpersonal
conflict 7th edition. New York: McGraw-Hill.
LAMPIRAN
Tabel 1
Deskripsi subjek berdasarkan jenis kelamin | ||
Jenis Kelamin |
Jumlah |
Presentase |
Laki-laki |
62 |
20,19% |
Perempuan |
245 |
79,80% |
Total |
307 |
100% |
Tabel 2
Deskripsi subjek berdasarkan usia
TJsia |
Jumlah |
Presentase |
19 |
50 |
16,28% |
20 |
48 |
15,63% |
21 |
IOO |
32,5 7% |
22 |
54 |
17,5 8% |
23 |
20 |
6,51% |
24 |
17 |
5,53% |
25 |
3 |
2,60% |
26 |
5 |
1,62% |
27 |
3 |
0,97% |
28 |
1 |
0,32% |
29 |
1 |
0.32% |
Total |
307 |
100% |
Tabel 3
Deskripsi subjek berdasarkan jarak dengan pasangan
Jarak dengan Pasangan |
Jumlah |
Presentase |
Luar Negeri |
28 |
9,12% |
Luar Provinsi |
233 |
75,89% |
Dalam Provinsi |
46 |
14,98% |
Total |
307 |
100% |
Tabel 4
Deskripsi data penelitian
Variabel |
N |
Mean Teoritis |
Mean Empiris |
Std Deviasi Teoritis |
Std Deviasi Empiris |
Sebaran Teoritis |
Sebaran Empiris |
t |
Konflik Interpersonal |
307 |
100 |
76,33 |
20 |
14,351 |
40-160 |
43-117 |
-28,900 (p=0,00 0) |
Intensitas Komunikasi |
307 |
102,5 |
127,19 |
20,5 |
14,369 |
41-164 |
79-157 |
30,102 (p=0,00 0) |
Regulasi Emosi |
307 |
105 |
117,65 |
21 |
11,838 |
42-168 |
84-149 |
18,726 (p=0.00 0) |
Tabel 5
Hasil uji normalitas
Tabel 6
Hasil uji linearitas
Variabel |
Linearity- |
Kesimpulan |
Konflik Interpersonal* Intensitas Komunikasi |
0,000 |
Data Linear |
Konflik Interpersonal* Regulasi Emosi |
0,000 |
Data Linear |
Tabel 7
Hasil uji multikolonearitas
Variabel |
Tolerance |
VIF |
Kesimpulan |
Intensitas Komunikasi |
0,867 |
1,153 |
Tidakteriadimultikolonearitas |
Regulasi Emosi |
0,867 |
1,153 |
Tidakterjadimultikolonearitas |
Tabel 8
Hasil uji regresi berganda Sum. ofSq uares |
df Mean Sq uares F Sig. |
Regression 22369.502 Residual 40654,270 |
2 11184,751 83,63 6 0,000 304 133,731 |
Total 63023,772 |
306 |
Tabel 9
Besar sumbangan variabel bebas terhadap variabel tergantung
R RSquare |
Adjlisted R Sq uare |
Std. Error of the Estimate |
0,596 0,355 |
0351 |
11,564 |
Tabel 10
Peran intensitas komunikasi dan regulasi emosi terhadap konflik interpersonal
Variabel |
Unstandardized Coejpcients Standardized Coejpcienls B Std. Error Beta , |
(Constant) Intensitas Komunikasi Regulasi Emosi |
173352 7,575 11,884 0,000 -0,3 73 0,49 -03 73 -7,549 0,000 -0,421 0,060 -0,348 -7,028 0,000 |
Tabel 11
Hasil uji independent sample t-test
V ariabel - |
Levene's Test for Equality OfVariance |
t-test for Equalifr of Means | |||
F |
Sig- |
t df |
Sig. (2 tailed) | ||
Konflik Interpersonal |
0,112 |
0,738 |
-2,263 |
305 |
0,024 |
Intensitas Komunikasi |
0,086 |
0,770 |
1,282 |
305 |
0201 |
Regulasi Emosi |
0367 |
0,545 |
3,825 |
305 |
0,000 |
30
Discussion and feedback